Anda di halaman 1dari 34

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat Rahmat dan

hidyah-Nya penulis dapat menyelesaikan Critical Book Review ini dengan tepat

waktu.

Laporan penulisan Critical Book Review ini sengaja penulis buat untuk

memenuhi tugas Mata Kuliah Politik Lokal dan Otonomi yang diampu oleh

Bapak Budi Ali Mukmin, S.IP., M.A.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai

pihak yang telah mendukung dan membantu atas penyelesaian laporan ini, yaitu

kepada Orang tua penulis yang selalu mendoakan dan mendukung secara materil.

Kepada Bapak Budi Ali Mukmin, S.IP., M.A. selaku dosen pengampu Mata

Kuliah Politik Lokal dan Otonomi yang telah memberikan bimbingan serta

pengarahan untuk kelancaran setiap proses pembuatan laporan ini.

Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh

karena itu, kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat penulis

harapkan demi adanya perbaikan-perbaikan di masa yang akan datang.

Medan, Mei 2019

Kelompok 2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN 1

А. Latar Belakang 1

В. Tujuan Penulisan 2

C. Manfaat Penulisan 2

D. Identitas Buku 2

BAB II RINGKASAN BUKU 4

ВАB II РЕМВАНASAN 30

A. Analisis 30

В. Perbandingan 31

С. Kelebihan dan Kekurangan 31

BAB IV PENUTUP 34

A. Kesimpulan 34

В. Saran 34
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pemerintah Indonesia

membuat suatu kebijakan untuk daerah. Yaitu daerah tingkat I dan daerah tingkat

Il diberi wewenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan rumah tangganya

sendiri, dengan tujuan mensejahterahkan masyarakat. Kebijakan ini dikenal

dengan otonomi daerah. Terbentuknya otonomi daerah memiliki sejarah yang

sangat panjang mulai dari zaman kolonial yang memberi peluang untuk daerah

terbentuknya satuan pemerintahan yang mempunyai keuangan sendiri.

Otonomi daerah menjadi sesuatu yang disaklarkan pasca reformasi 199.

Banyaknya perdebatan seputar otonomi daerah sebagai manifestasi dari

desentralisasi kekuasaan mendorong pemerintah untuk secara sunggu-sungguh

merealisasikan konsep otonomi daerah secara jujur. Menurut aspek yuridis formal,

sejak pertama kali muncul dalam UU No. 1 tahun 1945 sampai dengan UU No 5

tahun 1974, semangat otonomi daerah sudah kelihatan dan menjadi dasar hukum

pelaksanaan pemerintahn didaerah hanya saja semangat para penyelenggara

pemerintahan masih jauh dari idealisme konsep otonomi daerah itu sendiri.

Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republic yang terdiri dari

provinsi-provinsi dan kabupaten/kota yang merupakan daerah otonom dan

memiliki hak otonomi daerah sebagaimana diatur dalam UU No.32 tahun 2004

tentang pemerintahan daerah. Hak otonomi daerah bukan berarti untuk memecah

belah daerah-daerah yang ada di Indonesia melainkan untu memajukan daerah

dengan melibatkan peran aktif masyarakat di daerah dapat dilakukan dengan cara

pemberian otonomi daerah tersebut. otonomi daerah merupakan salah satu


kebijakan pengembangan pada tingkat lokal, memberi ruang gerak pada bidang

politik, pengelolaan keuangan daerah dan efisiensi pemanfaatan sumber daya

daerah untuk kepentingan masyarakat lokal, sehingga muncul formulasi dan

model pembangunan daerah yang efisien dan terdesentralisasi.

Dalam hal ini Banten adalah salah satu dari lima provinsi yang dibentuk

setelah diberlakukannya UU No 22 dan 25 tahun 1999. Secara historis banten pernah berstatus sebagai
daerah otonom, yakni pada periode kesultanan (tahun

1552-1809). Berbagai organisasi dibentuk sebagai wadah sekaligus sarana untuk

merealisasikan tuntutan pembentukan provinsi banten.

B. Tujuan Penulisan

Berdasarkan pemaparan latar belakang tujuan penulisan dalam laporan

penelitian ini yaitu:

1. Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pemerintah Indonesia

membuat suatu kebijakan untuk daerah.

2. Untuk mengetahui bentuk partisiasi masyarakat dalam upaya pencapian

kesejahtearaan daerah

3. Untuk mengetahui terbentuknya otonomi daerah di bangun

C. Manfaat Penulisan

„Berdasarkan pemaparan latar belakang, tujuan penulisan di atas, maka

yang menjadi manfaat penulisan dalam laporan penelitian ini yaitu:

1. Sebagai bahan referensi

dan masukan bagi para akademisi dalam

melakukan penelitian yang serupa ataupun yang sejalan dengan topik

penelitian.

2. Sebagai sumber informasi bagi instansi terkait dan sarana perbaikan dalam

pelaksanaan otonomi daerah.


3. Sebagai salah satu bahan dasar tindakan masyarakat, terutama pemuda dan

pemudi ketika memutuskan untuk terjun dalam pencapaian kesejahteraan

indonesia.

4. Bagi penulis sebagai pengetahuan baru dan salah satu saluran dalam

berkontribusi mengenai otonomi setiap daerah

D. Identitas Buku

1. Judul Buku Utama

Politik Local Di Indonesia

2. Penulis

: Henk Schulte Nordholt Dan Gerry

Van Klinken

3. Isbn

: 978-979-461-615-4

4. Penerbit

: Buku Obor

5. Tahun Terbit

6. Dimensi Buku

: 2007

:16x24 Cm

7. Tebal Buku

: Xvi+706 Halaman

1. Judul Buku Pembanding

: Politik Local Dan Otonomi Daerah

2. Penulis

: Leo Agustino
3. Isbn

:978-602-289-029-4

4. Penerbit : Alfabet

5. Tahun Terbit : 2014

6. Dimensi Buku :16x24 Cm

7. Tebal Buku : Xii+316 Halaman

BAB II

RINGKASAN BUKU

Bisnis dan Politik di Provinsi Banten

Dimotivasi oleh keinginan untuk memahami secara lebih utuh tentang

relasi kekuasaan dalam penyelenggaraan pemerintah di daerah Indonesia,

khususnya pada periode "pasca pemerintah Soeharto", saya kemudian

memutuskan untuk melakukan penelitian ini, dengan tema "bisnis dan politik di

Provinsi Banten". Dalam artikel ini, “Zal" inisial si penulis, menjelaskan pengaruh

para jawara dalam pelaksanan pemerintahan di daerah Banten.

Informasi jurnalistik yang diturunkan oleh Zal pada harian Kompas itu,

sedikitnya, telah menginspirasi saya untuk melakukan investigasi lebih mendalam

tentang peran jawara dalam penyelenggaran pemerintah di daerah Banten pada

periode awal ia berdiri sebagai provinsi. Dalam kapasitas sebagai pengusaha,

tentunya mereka sangat berkepentingan untuk mendapatkan akses terhadap

sumber daya yang dikontrol oleh pemerintah daerah.

Dugaan sementara tentang keberadaan "jawara berstatus ganda", seperti

dikemukakan di atas, selanjutnya telah mengilhami penulis untuk membangun


sejumlah pertanyaan yang akan dijawab dalam penelitian di Banten. Sebagai

pengusaha, mereka akan memaksimalkan "sumber daya keuangan" yang dimiliki.

Sementara, dalam kapasitas sebagai jawara, mereka juga menggunakan "sumber

daya kekerasan".

Latar Belakang sejarah, karakteristik sosial, dan profil ekonomi Banten.

Banten adalah salah satu dari lima provinsi baru yang dibentuk setelah

diberlakukannya UU No.22 dan 25/1999. Secara historis, Banten memang pernah

berstatus sebagai daerah otonom, yakni pada periode kesultanan (tahun 1552-

1809). Namun, pada masa pendudukan pemerintah kolonial Belanda, sejalan

dengan dihapuskannya Kesultanan Banten maka status daerah otonom pun

dihilangkan (tahun 1817). Sebagai gantinya, Banten telah diberi status sebagai

keresidenan (Khatib Mansur 2001:531).

Setelah "terkubur" sekian lama, sejalan dengan bercokolnya pemerintahan

rezim Orde Baru, semangat untuk mendirikan Provinsi Banten tersebut muncul

kembali di permukaan awal tahun 1999. Inilah titik kulminasi dari perjalanan

sejarah masyarakat Banten dalam mewujudkan cita-citanya untuk memiliki

Provinsi sendiri.

Berbagai organisasi dibentuk sebagai wadah sekaligus sarana untuk

merealisasikan tuntutan pembentukan Provinsi Banten. Tiga diantara organisasi

tersebut adalah Komite Pembentukan Provinsi Banten (KPPB), Kelompok Kerja

(POKJA), dan Badan Koordinasi (Bakor). Dalam tiga organisasi inilah para tokoh

dan elemen-elemen masyarakat lainnya (termasuk jawara dan pengusaha)

bergabung menjadi satu. Secara formal, Banten berdiri sebagai provinsi, terpisah

dari Jawa Barat, adalah pada awal bulan Oktober tahun 2000, sejalan dengan

ditetapkannya UU No 23/2000.Dari karakteristik sosial, satu diantara keunikan


yang dimiliki oleh Banten adalah terciptanya hubungan yang harmonis antara

jawara dan ulama. Dalam pemahaman awam, antara antara ulama dan jawara

merupakan "dua dunia" yang saling bertolak belakang, ternyata di Banten dapat

bersinergi secara harmonis.

Namun demikian bila ditelusuri lebih jauh tentang peran dari ulama dan

jawara dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di Banten-mulai dari periode

kesultanan, masa penjajahan Belanda, dan sampai Banten kontemporer (setelah

resmi berdiri sebagai provinsi)-maka akan terlihat adanya beberapa persamaan

dan perbedaan yang cukup segnifikan antara keduanya sejalan dengan perubahan

tersebut.Dari sisi perekonomian, data statistik mengindikasikan bahwa ada tiga

sektor utama yang memegang peranan penting dalam perekonomian Provinsi

Banten. Pada tahun 2000 misalnya, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

Provinsi Banten terbagi antara 50,41% untuk sektor industri pengolahan, 17,36%

untuk sektor perdagangan, hotel, dan restoran, dan 9,49% untuk sektor pertanian,

dengan sejumlah sektor lain yang lebih kecil.

Yang selanjutnya berperan sebagai aktor utama di studio saya di Banten,

adalah di antara tokoh penting padajajaran jawarm-pengusaha tersebut. Besar

sebagai pengusaha kelas atas, mendukung dalam bidang konstruksi, bukan hal

yang baru, karena status ini telah melekat sejak tahun 1980-an Ketika Banten

belum berdiri sebagai provinsi, Tuan Besar lebih banyak berhubungan dengan

pemerintah Provinsi Jawa Barat, dan sering menggunakannya untuk menangan

pelaksanaan proyek-proyek fisik (konstruksi) berskala besar.Sementara, status

Tuan Besar sebagai tokoh jawara merupakan sisi lain dari identitas yang sulit

dipisahka dari dirinya. Ini karena, status sebagai tokoh jawara ini tidak hanya

diperolel berdasarkan garis keturunan, tetapi karena perannya sebagai pendiri dari
salał atu organisasi jawara terkemuka di Banten saatini. Lebih jauh dari itu, selain

dikena ebagai pengusaha-jawara, Tuan Besar juga mendukung salah satu politisi

senio di Lingkungan Partai Golkar, dan pernah beberapa kali membahas

kepentingan penting dalam kepengurusan Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai

Golkar Banten.

Pemerintah Formal dan Informal : Realitas Empiris dan Pendekatan

Studi Di Banten

Ketenaran Tua Pemerintah formal dan informal realitas empiris dan

mengakses studi d Banten Segera setelah Banten ditetapkan sebagai provinsi

maka ditentukanlangkah pun diakuisisi untuk melengkapi perangkat pemerintah

yang akan menakhodai provinsi yang masih belia tersebut. Pada awal bulan

Maret 2001, pembentukan Panitia Pengisia Keanggotaan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Banten, yang diketuai oleh Hassan Alaydrus

"Panita ini, kemudian disebut dengan sebutan Panitia Pengisian Keanggotaan

(PPK) -DPRDProvinsi Banten, atau TimLima, yang diangka oleh Mendagri di

Jakarta. Tugas utama dari tim ini adalah: mengatur jumlal "Tuan Besar (IB) bukan

nama sebenamys Ini merupakan sebutan yang saya penulisl gunakan untui

melindungi privasi yang diperlukan. Tuan mewakili sebutan lain dari 'Bapak

untuk oran yang diundang. Sementara sebutan Besar, menunjukkan tingkat /

status, pengaruh, dan kekuasaan, yang ia miliki dianggap Tuan Besar merupakan

tokoh sentral dalam studi saya di Banten, maka pad diskusi selanjutnya, sebutan

Tuan Besar (IB) akan semakin sering digunakan. Tuan Besar (TB) studio

perbandingan di Banten, tidak hanya mewakili tokoh jawara-pengusaha, tetapi


juga sebagai akuor dalam praktik informan gorermance di Provinsi Banten saat ini

(Banten kontemporer) "Pembentukan Panitis Pengisian Keanggotaan DPRD

Provinsi Banten ini, ditctapkan melalu keputusan Menteri Dalam Negeri No. 162-

35 / 2001, tertanggal 2 Marct 2001. Ilasan Alaydrus yang ditunjuk sebagai ketua

panitia adalah salah scorang tokoh pcjuang pembenrukan Provinsi Banten.

Kursi yang diperoleh masing-masing partai politik di DPRD provinsi

berdasark: pemilihan presiden bulan Juni 1999; menyusun, mengumpulkan dan

mengumumkan Daftai alon Sementara

Baru (DCSB);

Menuju dan

menindaklanjuti keberlanjutan nasyarakat terhadap DCSB; menyusun, menyusun

dan mengumumkan Dafta alon Tetap Baru (DCTB); dan yang terakhir disetujui

calon terpilih.

Irama kerja PPK-DPRDukungan cukup cepat. Kurang dari

sepekan setelah eresmian lembaga ini, PPK-DPRD telah berhasil mengatur

agenda kerja yang dilakukan (Agus Sutisna 2001: 48). Selanjutnya, dalam kurun

waktu lebih dari dua bulan setelah menjalankan tugasnya, kemudian pada bulan

Juli 2001, Timah berhasil menyelesaikan agenda yang terakhir, yaitu penelusuran

bersama anggota DPRD Provinsi Banten. 12 Secara keseluruhan, jumlah kursi d

PRD alokatif ntuk TNI / Polri . Jumlah ini berarti, jumlah kursi yang

dialokasikan untuk partai-partai politik Provinsi Banten berjumlah 75. Namun,

kursi santai lupa jatah eserta Pemilu 1999 berjumlah 67.1 "Lembaga DPRD

Provinsi Banten itu sendiri, untuk masa bakti 2001-2004 ipimpin oleh Dharmono

K. Lawi ( sebagai ketua), seorang politisi PDI erjuangan. Sementara itu, pada

lapisan kedua (wakil ketua) diduduki olch, masing-masing nasing: Muslim


Jamaluddin (Partai Golkar), Kol. Inf. Rohman (TNI-AD), dar Aufrodi Muchsin

(PPP). " Dari sisi peta kekuatan politik, secara keseluruhan, DPRI Banten

dilindungi oleh tiga partai politik besar, yaitu Partai Demokrasi ndonesia

Perjuangan (PDI-P), Partai Golkar, dan Partai Persatuan Pembanguna PPP). Dari

67 kursi yang ada, 24 kursi diduduki oleh PDI-P, 12 kursi olch Parta Golkar, dan

12 kursi oleh PPP (Agus Sutisna 2001: 51-52). Peta kekuatan politik ni, secara

eksplisit menyetujui DPRD Provinsi Banten pasang surut oleh salah satu partai

politik yang ada.

Dalam kondisi seperti ini, proses pemilihanngota DPRD

Pruvinsi Banien ini, pada dasarnya Kronologis, dan dinamika dapat diihat dalam

Agus Sutisna (2001: 43-54) Sesuai dengan Keputusan Presiden Republik

Indonesia No. 6/2000, maka kcakup DPRD provin dan kabupaten / kota pada

daerah yang baru terdiri dari: (a) anggota DPRD povinsi indu yang dalam

pemilihan umum 1999 dicalonkan untuk mewakili daerah kabupaten / kota yang

berat di wilayah provinsi yang baru dibentuk, dan anggota DPRD kabupaten /

kota yang dalar pemilihan umum 19 dicalonkan dani wilayah kecamatan yang

termasuk kabupaten / kota yang dibangun; (B) anggora berdasarkan hasil

pemilihan umum 1999. (c) anggota yan diangkat dari TNI / POLRI.

Surat

Keputusan Menteri Daam Negen Na. 161/2001, tertanggal 24 -8- 2001, tentang

Peresmia Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Bantern Pada

akhirnya, akan lebih banyak setiap proses proses pengambilan keputusan yang

akan diambil oleh lobi dan kompromi kepentingan. Agenda politik selanjutnya,

dan ini merupakan tugas pertama bagi DPRI rovinsi Banten, adalahme

dilaksanakanpemiihan pasangangubemur dan wakil gubemu ntuk masa bakti


2001-2006.

Proses pemilihan dimulai pada tanggal 16 September 001, danbenkhir

pada tanggal 3 Desember 2001 dengan memilihnya pasangan Djok Munandar dan

Ratu Atut Chosiyah sebagai pemenang. Djoko Munandar adalah putra kelahiran

Solo, Jawa Tengah. Karier birokras crakhir sebclum terpilih sebagai Gubenur

Banten adalah Wakil Walikota Cilegan ada saat menyetujui diri sebagai calon

kandidat gubernur, Djoko bernaun di bawah payung Partai Persatuan

Pembangunan (PPP).

Sementara itu, Ratu Atu hosiyah, adalah pengusaha

kelahiran Serang, putri kandung Kiyai Haji Tubagus Chasan Sochib (Ketua

Persatuan Pendekar Persilatan dan Seni Buday anten Indonesia; politisi senior di

Partai Golkar, dan juga sebagai Ketua KADIN anten) (Iwan Kusuma Hamdan et

al. 2004). Pencalonan Atut sebagai Waki Gubernur Banten dari Partai Golkar.

Dengan DPRD dan DPRD, serta telah terpili dan dilantiknya pasangan Gubernur

dan Wakil Gubernur Banten periode 2001 6 tersebut, maka lengkaplah yang telah

menginstal perangkat penyelenggar emerintah formal di Provinsi Banten.

Harapan dan optimisme untuk mewujudkan Banten yang lebih makmur,

sejahtera, integrasi, dar gamis telah ditumpukan di dua lembaga penting

pemerintahan daerah terseburt hususnya untuk gubemur dan wakil gubemur

terpilih. Harapan yang sama, pada awalnya, juga telah menyertai saya saat akan

memulai enelitian di Banten pada bulan April 2004 (lebih kurang tiga tahun

setelah Banter erdiri sebagai provins). Namun, harapan tersebut mulai bergerak

ke Arah yang erlawanan kompilasi pada dua bulan pertama melakukan penelitian

lapangan, mengatakan: ikejutkan oleh sebagian besar para narasumber yang

berusaha 'pesimistik lalam meminta bantuan pemerintah provinsi, dan


menganggap' kurang darah 'dalam nenengarai masa depan Banten. Beberapa

narasumber yang telah diwawancarai, misalnya, mengatakan emerintah Provinsi

Banten saat ini tidak berdaya, atau bahkan hampir lumpuh otal dalam

menjalankan fungsi formalnya, karena ada kekuatan informal yang lapat

mengendalikan gubernur. Lebih jauh, HOS, seorang anggota DPRI rovinsi,

secara ekplisit tentang di Banten saat ini ada di semarang, dan tokol merinahan

swasta yang dipimpin olch Tuan Besar. "Dia adalah seora awara, juga sebagai

pengusaha di Banten.

Pemerintahan swasta yang dipimpin oleh Tuan Besar tersebut, dinyatakan

HOS, memiliki pengaruh yan sangat kuat dalam mengendalikan pemerintah

provinsi, mendukung dalam bidan konomi. Mereka tidak hanya memiliki

memonopoli paling seluruh proyck pemerintal laerah, tetapi juga dapat membantu,

atau juga mendukung, pemerintah prov, gar dan penetapat rogram pembangunan.

informasi lebih menarik lagi dikemukakan oleh BOB, seorang akademisi

Universitas Tirtayasa ".

la dalam hal ini, tidak hanya mengakui akan ada

keterlibatan informal dalam sektor ekonomi, seperti yang telah disarankan oleh

HÒ dan juga menjelaskan praktik pemerintahan informal di sektor birokras

emerintah daerah.

Dengan menunjuk pada kasus Ayip, HOS mencoba untuk

mempertanyakan tentang kekuatan dan kekuatan Tuan Besar dalam memilih

promosi dan ergonomi pada strukrur birokrasi pemerintah daerah. Ayip Muchfi

adalal ejabat Sekretaris Dacrah (Sckda) Provinsi Banten yangpertama.

la

dinunjuk unnu nenduduki posisi sebagai sekda tersebut, segera setelah Hakamudin
Jamal diangka ebagni Pejabat Sementara (Pis) Gubernur Banten. Namun, dalam

perkembanga berikutnya, setelah pasangan Djoko Munandar dan Atut Chosiyah

mendudul abatan Guberur dan Wakil Gubernur Banten, Ayip diberhentikan secara

tiba-tiba iba, dan tidak melalui prosedur yang semestinya.

Konon, lanjut BOB, pergantia sekda ini terkait dengan konflik pribadi

antara Ayip dan Tuan Besar yan berlanjut beberapa waktu scbelumnya Dua kasus

yang dikemukakan oleh HOS dan BOB di atas (kasus premanism proyek dan

kasus per penggantian Ayip), telahmenjadi titik awal bagi saya dalar perubahan

investigasi pola interaksiantara penguasa, pengusaha, dan jawara, pada khususny

(orang akademisi dan aktivis ISM, wawancara 4Di antara narasumber yang diwawancarai adalah: pada
tanggal 15-2004); MUM (seorang anggota DPRD

Provinsi Banten, wawancara pada tanggal 30- 2004): INT (scorang pejabat tinggi

di Kabupaten erang, wawancara pada tanggal 14-5-2004), da MAA (scorang

jurnalis Banten, wawancara, 15-5-2004) HOS adalah scorang anggota DPRD

Proving, Banten. Wawancara, 9.5.2004 Wawancara denan BOB, 7-5-2004. Dan

pola hubungan bisnis dan politik di Banten, pada umumnya. Setelah membaca

lebih lanjut tentang dua kasus tersebut, umum dapat dikataka itu, memang

merupakan bukti yang cukup kuat tentang adanya dominas kekuatan politik dan

ekonomi informal dalam penyelenggaraan pemerintahas daerah di Provinsi

Banten saat ini.

Dalam studi hubungan negara-sosial, melibatkan dari pemerintahan

informal (pemerintahan informal), atau negara bagian, sebenarnya lebih menyukai

sesuatu

yar banu.

Pada tataran teonitis, diskusi

kalangan para pengamat


tentang fenomena shado tate ini sudah muncul di permukaan sejak awal tahun

1990-an.

Contoh saja, Barbara

Harriss-White (2003) telah menulis

tentanginterkorelasi antara ekonomi informal dan negara bayangan dengan

melibatkan temuan sudinya di India pada tahun 1990 n Tanpa kontak dengan

Indonesia, ksusna pada peiodepasca memang perlu analisis tentang praktik

bayangan negara tersebu telah banyak dilakukan. Henk Schulte Nordholt (2003),

barangkali, satu di antan pengamat yang secara eksplisit menyebutkan tentang

praktik bayangan negara dalan mengeluarkannya dengan kebijakan desentralisasi

dan otonomi daerah pada periode pascapemerintahan Suharto.

Pemerintahan Kendati tulisan Schulte Nordholt (2003) meminta skeptis

dalam penekananot perubahan dan kontinyuitas dari karakteristik negara dan

masyarakat di Indonesia pada periode pasca Orde Baru, dan tidak secara eksplisit

menjelaskan cara kerja lari bayangan negara sendiri, namun ia telah menyodorkan

suatu proposisi yang sangat propokatif tentang kemungkinan adanya praktik

bayangan negara pada tingka pemerintahan daerah. Untuk lebih jelasnya, Schulte

Nordholt (2003: 558.579 nenulis: Cara-cara baru melihat 'negara' diperlukan

untuk melacak terus-menerus dalam pola patrimonial dan untuk menggabungkan

berbagai pengaturan yang menghubungkan lembaga formal dengan jaringan

informal, yang membantu untuk melemahkan perbedaan buatan antara 'negara', masyarakat, dan pasar
'. Desentralisasi di Indonesia tidak serta

merta

menghasilkan demokratisasi pemerintahan yang baik, dan penguatan masyarakat

sipil di tingkat daerah. Sebaliknya, kami menyaksikan desentralisasi korupsi,

kolusi dan politika. Kekerasan yang dulunya milik rezim terpusat Orde Baru,
sekarang dibentuk dalam pola patrimonial yang ada di tingkat daerah. Secara

keseluruhan, kepemimpinan daerah dapat mengambil bentuk seperti apa yang

John Side (1999) menyebut bosisme, yang beroperasi di rezim thrim regional

yang ditandai oleh aliansi birokrat, bos partai, pengusaha, militer, dan penjahat.

arbara Harriss-White (2003) terlihat telah memberikan diskusi mengenai n empiris

yang lebih membahas tentang praktik ekonomi informal dan makan di India.

Menurut Harriss-White, ada dua pengertian yang melekat pada terminologi

ekonomi informal. Pertama, kegiatan usaha perorangan, dan / perusahaan yang

tidak didaftarkan pada pemerintah, dan tidak membayat ajak.

Kedua, terkait

dengan perilaku (formal) dari instirusi formal (publik aupun swasta) undi

kalkulasi kontribusi dari kegiatan informa onomi yang disebut kedua ini, antara

lain: kelonggaran pajak, perbaiki ebijakan publik, korupsi, kolusi, dan pemaksaan

swastanisasi aset negara ( Harris hite 2003: 4-6). Dari dua kegiatan ekonomi

informal di atas, terlihat dengan las ekonomi informal yang pertama merupakan

arena bagi si-ekonomi (petani dan pengusaha kecil). Sementara bentuk ekonomi

informal yang merupakan domain dari'si-besar (para pengusaha besar dan para

pejabat au egara). Dalam upaya membahas praktik perekonomian informal dan

negara bayangan di India arbara Harriss-White telah mengaplikasikan

pemanfaatan, apa yang disebut dengan Struktur Akumulasi resmi (SSA). Ciri

khas dari pembahasan ini, antara lain terletak pada diartikulasinya struktur sosial

sebagai bagian dari faktor determinan agi dikumpulkan ekonomi. Berbicara

tentang struktur sosial, tentu saja, sangat ompleks.

Namun, untuk kepentingan studinya di India, Harriss-White (2003) adalah

analisis persyaratan hanya pada empat dimensi dari struktur sosial elas, kasta,
gender, dan ruang. Secara singkat, berdasarkan hasil studi yang dilakukan clah,

Harriss-White kemudian menulis, hampir sebahagian besar dar ransaksi ekonomi

di India yang dilakukan melalui hubungan ekonomi informal raktik ekonomi

informal berjalan dalam suasana kekeluargaan, berdasarkar putasi sering dengar danya uns (tantangan)
kekerasan. Lebih jauh, kompilasi membahas tentang rakuk

bayangan negara di India, Harriss-White (Harriss-White 2003: 89) menjelaskan

SyarifHidaya Beberapa peran di negara bayangan dimainkan secara bersamaan

oleh biro negara resmi; misalnya, menerima rribute, patronage dan atau

clientelage

Mata pencaharian negara bagian lain adalah bentuk wirausaha, meskipun

mereka bergantung pada pegawai negeri, politisi, dan pasukan sosial lain yang

tertarik untuk pendapatan mereka, misalnya, pasukan swasta yang menegakkan

kontrasepsi hitam atau korup, perantara, teknisi ixern, penjaga gerbang, ajudik

sengketa, orang kepercayaan, kontraktor dan konsultan Oleh karena itu negara

yang sebenarnya, termasuk bayangannya, lebih besar dari negara formal, dan

memiliki hak interet dalam pengabadian negara formal yang porak poranda dan

berpori. akhir tahun 1990-an di beberapa wilayah di India, terutama Bihar, hingga

40 persen dari anggaran pembangunan dikatakan telah dikacaukan oleh para

kontraktor. Stai bayang-bayang menumpahkan spasial ke jalur-jalur di sekitar

kantor nate dan ke ruang pribadi rumah tangga para pejabat. Ini harus menjadi

gambar yang paling jelas dari batas-batas yang buram antara stae dan masyarakat.

Berikut ini adalah contoh yang paling jelas tentang batas yang kabur antara stae

dan masyarakat

Pertama, jelas tergambarkan bahw pasar formal dan negara hadir hadir,

tumbuh, dan berkembang sebagai dai erjadinya pelapukan fungsi dari insttusi

formal (negara), Keadaannya akan lebih banyak muncul jika dibandingkan dengan
perubahan ekonomi yang terjadi. Kedua, mengumpulkan keuntungan, ekonomi,

jangka pendek, manfaat politik dan ekonomi di luar bingka egulasi formal,

merupakan tujuan utama dari 'transaksi'melalui informal markei Pada saat diskusi,

masing-masing akan mencari sumber daya yang Limiliki, untuk kemudian

diperjual-belikan 'dalaminformal market. Ketiga, modu perandi, atau ikatan kerja

dari pasar informal dan shadow stalecukupbervaiasi dan secara umum dapat

dibedakan dalam dua kategori utama, yaitu: melalu nemanipulasi kebijakan

publik, dan melalui aliansi jaringan antarpribadi (individu ikatan), serta aliansi

antarlembaga (aliansi kelembagaan). Keempat, akto keterlibatan) yang terlibat

dalam pasar informal dan negara bayangan adalah par enyelenggara negara (aktor

atate) dan aktor-aktor dalam masyarakat (aktor sosial) claku yang disebut terakhir

sangat beragam. Schulte Nordholt (2003) menunjuk nisalnya, para pengusaha,

politisi partai polik, dan bahkan kelompok kriminal Sementara Harriss-White

(2003) membahas tentang peran dari pengusaha dan elit nasyarakat lain yang

dikelompokkan berdasarkan kasta, kelas, dan gender.

Pemilihan pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur Banten

Dinamika politik local pada proses pemilihan pasangan Gubernur dan Wakil

Gubernur Banten sangat menarik untuk disimak. Ini karena, pada fase inilah

berbagai eleman kekuatan social, ekonomi,dan politik yang ada terlihat lebih

transparan berkompetisi untuk memperebutkan atau paling tidak mempengaruhi

proses pemilihan pucuk pimpinan eksekutif pemerintahan provinsi yang baru

berdiri tersebut.

Kecenderungan lain yang juga tidak kalah menarik untuk disimak pada

periode pemilihan pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur adalah, mulai tidak

terlihatnya, atau bahkan nyaris hilangnya, peran dari beberapa tokoh masyarakat
banten yang pada periode sebelumnya tercatat sebagai actor utama dalam

perjuangan pembentukan provinsi Banten. Diantara tokoh pejuang yang dimaksud

adalah, TryanaSjam’un, UwesQorni. Sementara, padasisi lain, Tuan besar yang

pada periode pejuangan pembentukan provinsi Banten lebih banyak berperan

sebagai actor di belakang layar, pada periode pemilihan pasangan gubernur dan

wakil gubernur muncul sebagai kekuatan dominan. Tuan besar tidak saja dapat

mempengaruhi kekuatan-kekuatan politik yang ada, tetapi juga dapat mengontrol

hampir seluruh tahap-tahap proses pemilihan pasangan Gubernur dan Wakil

Gubernur yang telah ditetapkan.

Secara teknis, sedikitnya ada lima tahap (putaran) yang dilakukan dalam

prosesi pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Banten. Lima putaran yang

dimaksud adalah penjaringan bakal calon, penyaringan balon tahap I; penyaringan

balon tahap II; Penetapan pasangan Gubernurdan Wakil Gubernur, dan terakhir

adalah pemilihan pasangan gubernur dan wakil gubernur (hari H).

Penyaringan bakal calon (balon) Gubernur dan wakil Gubernur

Putaran pertama dimulai pada tanggal 16 september 2001. Dinamika politik

local sejak dimulainya pendaftaran ini hingga pada hari H. Pemilihan pasangan

gubernur dan wakil gubernur tentunya tidak terlalu sulit untuk di prediksi.

Berbagai kekuatan politik yang ada dan elemen-elemen masyarakat lainnya mulai

mengelus dan menjagokan calonnya masing-masing.

Diantara isu penting yang menarik untuk disimak disini adalah tidak

terlihatnya nama tuan besar dalam balon Gubernur Banten bukan berarti yang

bersangkutan tidak menaruh kepentingan atas posisi pucuk pimpinan pemerintah

provinsi tersebut. Tetapi ini justru merupakan bagian dari strategi untuk

memenangkan “Permainan”. Jauh sebelum proses pemilihan Gubernur dan wakil


Gubernur Banten dimulai non telah tersebar rumor, yang antara lain menyebutkan

bahwa tuan besar berambisi untuk menduduki posisi banten (gubernur).

Secara organisatoris sebagai tokoh, sebagai tokoh senior di lingkungan

partai golkar Banten, Tuan besar tentunya berkewajiban mendukung calon

Gubernur (Moch.Aly Yahya) dan wakil Gubernur (Atut Chosiyah) yang

dianjurkan oleh partai berlambang pohon beringin ini. Tetapi secara khusus, Tuan

besar sangat berkepentingan untuk menggol-kan t sebagai calon wakil Gubernur

Banten. Keinginan kuat dari Tuan besar ini, tidak mengherankan karna antara

kedua memiliki hubungan keluarga yang sangat dekat.

Tuan Besar Dan Praktik Pemerintah Informal : Kasus Premanisme

Proyek

Memang harus diakui di sini bahwa untuk mengetahui secara persis berapa

nilai proyek yang dikelola langsung oleh tuan besar sulit untuk dilakukan. Ini

disebabkan oleh selain tuan besar sendiri memiliki sejumlah perusahaan yang

tidak secara langsung atas nama dirinya, juga oleh tuan besar sering kali

menggunakan perusahaan lain yang bukan miliknya sebagai bentuk dari strategi

untuk memenangkan tender.

Bagaimana sehingga isu tentang premanisme proyek muncul ke

permukaan? Secara kronologis, perbincngan tentang praktik premanisme proyek

sudah mulai bergulir di kalangan anggota DPRD Provinsi Banten sejak akhir

Februari 2003. Menurut keterangan dari beberapa orang anggota DPRD Provinsi

Baanten yang telah diwawancarai, kecurigaan akan kemungkinan terjadinya

malpraktik dalam pengelolaan proyek proyek pembangunan pemerintahan

daerah Provinsi Banten tersebut, berawal dari adanya laporan resmi Badan

Pemeriksaan keuangan (BPK) kepada ketua DPR-RI pada tanggal 19 Februari


2003, yang antara lain menyebutkan:

Dugaan sementara tentang adanya premanisme proyek tersebut kemudian

muncul ke permukaan pada tanggal 26 Agustus 2003, ketika fraksi Amanat

Bintang Keadilan (ABK), DPRD Provinsi banten. Praktik premanisme proyek ini

adalah salah satu bentuk praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang harus

diberantas di masa reformasi ini. Hanya dengan kesungguhan dan keberanian

semua pihak, barulah perbuatan kotor ini dapat dibersihkan secara tuntas.

Pada tanggal 27 Agustus 2003, misalnya, salah satu surat kabar terkemuka

di Banten (FB) menurut pemberitaan dengan tajuk (Tuan Besar). Adanya

pernyataan fraksi ABK tentang premanisme proyek tidak hanya akan memecah

belah, tetapi juga akan berdampak pada penghancuran kultur Banten yang agamis.

Pernyataan pernyataan yang tidak jelas dasarnya, hanya mengobarkan

perpitnahan, lalim dan pembantaian terhadap karisma dan tujuan masyarakat

banten.

Sementara Tuan Besar bersama kelomponya berupaya melakukan gerakan

counter opinion atas praktik premanisme proyek, pada sisi lain sejumlah

dukungan terhadap fraksi ABK pun mulai mengalir. Polemik premanisme proyek

mulai menghangat, dan melebar ketika Tuan Besar dalam salah satu pernyataan di

media massa menyebutkan bahwa anggota DPRD Provinsi Banten bagaikan

"maling teriak maling”

Eskalasi polemik tentang premanisme proyek kemudian mencapai titik

kulminasinya pada tanggal 9 september 2003. Menanggapi ancaman dari Kadin

banten tersebut, pada tempat terpisah ketua fraksi ABK dengan tegas mengatakan

bahwa pihaknya tidak takut terhadap ancaman pengaduan ke kepolisian oleh

kadin Banten”. Ini karena selain Fraksi ABK memiliki bukti - bukti yang cukup
kuat tentang adanya praktik premanisme proyek, juga karena Fraksi ABK telah

mendapat dukungan dari berbagai pihak.

Dalam perkembangan selanjutnya, polemik tentang kasus premanisme

proyek ini cenderung mereda seiring dengan perjalanan waktu. Harapan

masyarakat Banten untuk mengusut tuntas praktik premanisme proyek melalui

tangan fraksi ABK tampaknya sulit untuk terwujudkan. Sejumlah kendala teknis

dan politis telah menghambat kasus ini untuk diselesaikan melalui jalur hukum.

Sejalan dengan adanya kebijakan reformasi hubungan pusat daerah pada

periode pemerintahan pasca Suharto, maka studi tentang desentralisasi dan

otonomi daerah pun mulai banyak menarik perhatian para analis. Pada satu sisi,

semakin berkembangnya studi - studi tersebut setelah memiliki implikasi yang

sangat positif terhadap penyempurnan konsep maupun kebijakan desentralisasi

dan otonomi daerah itu sendiri. Namun, pada sisi lain, juga terdapt implikasi yang

cenderung kontra - produktif, antara lain, adanya “pemaksaan akademis”

dikalangan para analisis ketika menjastifikasi keterkaitan antara isu - isu yang

sedang dikaji dengan implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah.

Akibatnya, tidak mengherankan jika kemudian banyak analisis yang telah

dilakukan cenderung bias, utamanya ketika mencoba menjelaskan keterkaitan

antara munculnya berbagai persoaln di daerah dan implementasi kebijakan

desentralisasi.

Naik Daun Dan Kejatuhan Gubernur Puteh

Sebagian besar pelaporan media mengenai Aceh sebelum tsunami adalah

tentang perang yang pelaporannya terfokus pada dua pihak bersenjata yaitu TNI

dan pasukan pemebebasan Aceh, GAM, Otonomi khusus yang dimulai pada bulan

Juli 2001 memberikan anggaran yang lebih besar bagi pemerintah. Reformasi
belum memberikan banyak perubahan pada Aceh, militer datang dan pergi, tetapi

pemerintahan sipil terus berjalan.

Selain itu, kekecewaan rakyat dari kegagalan pemerintah akibat tindakan

militer yang sangat brutal. Gerakan perlawanan bersenjata merupakan bentuk

ketidaksenangan rakyat bukan hanya kepada kebijaksanaan yang berasal dari

Jakarta, tetapi kepada pola pemerintahan lokal yang mengakar begitu dalam di

Aceh. Pemerintahan dijalankan menurut neo patrimonialisme, nepotisme yang

ditimbulkannya secara fundamental berbenturan dengan yang diharapkan oleh

rakyat

Max Weber mendefenisikan sistem patrimonial sebagai sistem obyek

kepatuhan terhadap personal individu yang dinikmati berkat status tradisionalnya,

dengan hubungan personal antara patron dan klien yang masih penting terutama

ketika institusi-intitusi negara masih lemah, tetapi hubungan lebih bersifat

pragmatik

Suatu politik yang dijalankan berdasarkan garis-garis neo-patrimonial

secara inheren bersifat nepotistis dan cenderung bersifat komunal, ini tidak berarti

instabilitas tak bisa dihindari dan menunjukkan bahwa politik seperti itu

menghadapi tiga macam ketegangan inheren. Yang pertama adalah ketegangan

antara elit patrimonial dan faksional elit. Yang kedua ketegangan antara klaim

pemerintahan universalistis dan praktik favoritisme politis. Yang ketiga adalah

ketegangan antara kepentingan-kepentingan elit patrimonial untuk menyingkirkan

partisipasi politis massal. Dengan kata lain, para elit patrimonial perlu

mengerahkan massa untuk meraih dukungan politik massa, tetapi mereka tidak

ingin ada hal-hal yang lepas dari kendali mereka. Transisi ketiga ketegangan

tersebut bisa datang bersama-sama untuk menciptakan instabilitas. Kisah tentang


naik daun dan jatuhnya Gubernur Aceh Abdullah Puteh mengilustrasikan nilai

dari pengamatan-pengamatan tersebut.

Pembentukan negara dan kelas menengah baru

Keliru memandang politik neo-patrimonial sebagai kelanjutan dari pola

prakolonial. Negara modern menciptakan sebuah kelas mengenah baru diantara

populasi yang ada terutama agraris yang terdiri dari birokrat, kontraktor dan para

profesional independen. Hanya kelompok yang terakhir itulah yang berdiri agak di

luar jaringan patronase elit negara.

Orang Belanda memupus Kesultanan Aceh pada awal abad ke-20, mereka

mempertahankan para bangsawan, hulubalang sehingga ini menjadi perantara

pemerintah dengan rakyat. Perkebunan komersial dan sumur minyak digarap di

zaman penjajahan dimiliki oleh kapitalis luar dengan dukungan pemerintah. Gas

ditemukan pada tahun 1970an menyumbangkan US 2-3 miliar per tahun sejak

tahun 1980an, dan sebagian besar orang Aceh tetap menjadi petani.

Ekonomi terbelah mejnadi antara pertanian tradisonal, perkebunan besar,

eksploitasi hutan dan hidrokarbon serta industri di pihak lain. Muncul kelas baru

pengusaha pemasok barang dan jasa diseput sebagai kontraktor sebagai mitra

pemerintah dan mitra pemodal besar. Sebagian besar sumber ekonomi disalurkan

ke Aceh melalui APBN dan APBD yang orang-orang ini berkepntingan dalam politik lokal, jumlah
kontraktor ini mencapai ribuan, para purnawirawan juga

berpengaruh dengan mengandalkan partai pemerintah, Golkar.

Di tempat lain sejak tahun 1980an muncul advokasi bagi kaum miskin

meliputi pengacara, wartawan, dan aktivis LSM. Mereka mempunyai banyak

asosiasi. Para ulama mempunyai kedudukan terhormat di daerah sebagian besar

agama Islam ini, mereka mengandalkan kualifikasi-kualifikasi ketimbang alur

keturunan, Beberapa sekolah kegamaan dibayar oleh negara dan hanya beberapa
yang bekerja untuk Depag dan MUI yang penghidupannya tergantung pada

pemerintah.

Pemilu 1999

Terlepas dari dominasi ekonomi negara, institusi-institusi tidak kuat dalam

arti memaksakan kehendak terlepas dari pribadi-pribadi. Sebagai gantinya, negara

membangun otoritasnya diatas aliansi-aliansi personal dengan elit-elit lokal.

Pertama memperhatikan politik di Aceh mengarah pada terpilihnya

seorang gubernur baru di Aceh, dengan munculnya aliansi-aliansi berbasis

kabupaten antar garis-garis partai politik. Reformasi menyodorkan kebebasan-

kebebasan baru untuk berbicara dan menciptakan organisasi politik, Golkar

menjadi kekuatan politik terbesar di Aceh sejak pemilu 1987. Sebelum itu, Golkar

diganjal oleh partai Islam PPP.

Pemilu nasional pada 7 Juni 1999 menghadapi gangguan dari GAM,

setelah pemerintah mengakhiri operasi militer khusus pada bualn Agustus 1998,

banyak pemimpin GAM kembali dari pengasingan di Malaysia untuk membangun

kembali organisasi separatis itu di tengah-tengah kebebasan baru tersebut.

Intimidasi GAM mengakibatkan nyaris tidak satu pun orang memilih di

Kabupaten Pidie dan Aceh Utara, dan hanya setengah memilih di Aceh Timur.

Pemerintah terpaksa memperkirakan hasil pemilu berdasarkan peroleh suara partai

dari luar daerah-daerah itu. DPRD yang terbentuk pada 5 Oktober 1999

mempunyai 14 kursi PPP, sembilan PAN, delapan golkar, enam PDIP, dan 11

untuk partai kecil, enam untuk tentara dan polisi.

Pemilihan Gubernur dan Patron komunal

Setelah merbut kursi ketua DPRD dan sukses mendongkel gubernur dari

jabatannya, partai PPP yang dulu (agak) oposisional tentu saja merasa dirinya
berada dalam posisi yang kuat utnuk merebut kursi gubernur. Bahwa mereka

akhirnya dipecundangi oleh orang kuat Golkar dan mantan tentara T.Johan lebih

banyak berkaitan dengan politik patron-client berbasis kedaerahan di aceh

ketimbang dengan kepiawaian Johan sendiri ( yang tidak boleh di remehkan ).

Anggota-anggota DPRD dari tiap-tiap kabupaten secara reguler bertemu

untuk menyelenggarakan “ kaukus” mereka sendiri, terlepas dari partai asal

merek. Tentu saja uang memainkan peranna penting dalam pemilihan gubernur.

Masing-masing "tim sukses” dari ketiga pasangan kandidat untuk memperebutkan

jabatan tertinggi provinsi tersebut mengeluarkan uang khususnya untuk merayu

para anggota yang sikapnya kurang jelas. Abdyullah Puteh terpilih dalam dua

putaran pemilu pada sebuah sidang istemewa DPRD yang diselenggarakan pada 4

November 200. Dalam putaran pertamaputeh dan pasangnnya meraih 25 suara,

sedikit kurang dari 50 persen plus satu yang di jadikan syarat. Dua pasangan yang

lain masing-masing mmeperoleh 14 dan 9 suara, dengan 5 suara tidak sah dan satu

abstain. Diputaran itu mendiskualifikasi 3 pasangan terlemah.

Aturan-aturan dalam undang-undang pemilihan yang baru (UU

No.22/1999) menyatakan bahwa para calon gubernur dan wakil gubernur harus

mencalonkan diri bersama-sama dlam satu paket untuk memastikan agar mereka

bisa bekerja sama. Setiap pasangan yang memenuhi kriteria seleksi diizinkan

mendaftar sebagai pasangan bakal calon. Faksi-faksi partai DPRD kemudian

memilih dari antara pasangan-pasangan bakal calon ini siapa yang mereka ingin

dukung sebagai calon. Ini mengurangi jumlah pasangan yang kemudian

diserahkan sebuah voting rahasia dalam DPRD untuk menentukan siapa pasangan

pemenangnya.

Pada waktu seleksi bakal calon di tutup pada bulan sepetember 1999, ada
enam pasangan calon gubernur yang dipertaruhkan, atau lima nama-nama serius

mengingat yang satu (T.Syaukani markam) tidak mempunyai pendukung di

DPRD. Kelima orang itu adalah birokrat atau manmtan birokrat, yang telah

membangun pengikut dalam masyarakat aceh ketika mereka masih menjabat

merek adalah:

1. Ir. Abdullah Puteh (1948) dari Aceh Timur, aktivis Golkar 2. Drs. A. Malik Raden (1945) dari Aceh
Besar, kepala Kanwil Departemen

pendidikan

3. Drs.M. Kayosyah (1940)dari Aceh Utara, aktivis PPP

4. Ir. IskandarHusin (1946) daripidie, sekretaris Jenderal dalam kementrian

Negara Hak-Hak Asasi Manusia

5. RamliRidwan (1942) dari Aceh Utara, pejabat gubernur

Hanya dua dari lima nama dia atas yang aktif dalam partai politik. Tetapi

dukungan partai terpecah belah menurut garis kabupaten.

PAN , partai terbesar kedua di DPRD , didera oleh masalah-masalah serupa.

Karena terlalu kecil untuk mengincar kursi gubernur , partai ini berharap setidak-

tidaknya bias meraih kursi wakil gubernur, dan mula-mula menyiapkan empat

orang anggotanya untuk maju kedepan (belakangan dikurangi menjadi dua).

Kemudian muncul ketidak sepakatan mengenai calon gubernur mana yang harus

mereka pilih untuk digandeng. Beberapa anggota lebih menyukai Abdullah Puteh

, yang lain Kayosyah , yang lain lagi Iskandar Husin. Pertimbangan-pertimbangan

kedaerahan sekali lagi memainkan peranan besar. Hasilnya , pasangan-pasangan

yang didukung PAN itu memecah belah suara PAN persis sebagaimana suara PPP

juga terpecah-belah

Peluang calon-calon lain terancam oleh pertimbangan-pertimbangan

berbasis kabupaten yang sama. Malik Raden, misalnya , mestinya sudah bias
merangkul teman dengan jalan memberikan fasilitas-fasilitas pada para kontraktor

dan politikus melalui posisinya di Departemen Pendidikan, dan ia aktif dalam

berbagai organisasi Islam pada tahun 1970-an. Tetapi suara PPP yang terpecah-

belah, dan kehadiran dua calon lain dari Aceh besar, memperlemahkan

dukungannya. Iskandar Husin juga mempunyai jaringan yang luas melalui

jabatannya dulu di Departemen Transmigrasi seta aktivitas-aktivitas sosialnya,

antara lain sebagai ketua persatuan sepak bola provinsi , tetapi basis dukungannya

di Pidie , kabupaten yang hanya mempunyai enam anggota DPRD , terlalu kecil

untuk sukses di parlemen yang berjumlah 54 kursi.

Dalam siding pleno pertamanya pada 30 September 2000 , DPRD memberikan

suara bagi kelima pasang bakal calon yang dipimpin oleh nama-nama di atas

untuk menyeleksi tiga pasangan terkuat. Yang tersisa adalah Abdullah Puteh

Malik Raden, dan Iskandar Husin, masing-masing dengan pasangan mereka.

Mereka menikmati dukungan lintas partai terbesar. Lima dari keenam faksi

memilih Puteh (militer/polisi abstain), sementara dua calon lainnya berturut-turut

mendapatkan empat dan tiga suara. Struktur pemerintahan yang dihadapi oleh

Gubernur Puteh berbeda jauh dari struktur pemerintahan para pendahulunya.

Undang-Undang otonomi daerah (UU No.22/1999 dan 25/1999) memberikan

kekuasaan yang lebih besar pada kabupaten ketimbang pada provinsi

memisahkan legislative dari eksekutif, dan dengan demikian dari control

gubernur, serta memberikan control lebih besar atas uang pada daerah-daerah.

Konflik di Aceh juga membuahkan dua undang-undang khusus untuk Aceh (UU

No.44/1999 dan 18/2001), yang mengembalikan banyak kekuasaan pada

pronvinsi , serta meningkatkan pengaruh para ulama pada pemerintah lokal.

Undang-undang itu juga meningkatkan penerimaan Aceh dari minyak dan


gas dengan masing-masing sebesar 55% dan 40% melebihi ketentuan yang

ditetapkan dalam UU No.25/1999, meskipun hanya selama delapan tahun. Para

cendekia ragu-ragu apakah memberikan kekuasaan lebih besar pada kabupaten-

kabupaten membuat daerah-daerah itu lebih efektif dan demokratis atau tidak.

Seorang bupati yang memgang kendali lebih besar atas uang bias menjadi raja

kecil jikamerekabersekongkoldenganketua DPRD , pengusaha , dan komandan

militer. Syarif Hidayat telah menunjukkan bagaimana di Riau , Banten, dan Nusa

Tenggara Barat undang-undang otonomi daerah terutama hanya menguntungkan

kepentingan elit lokal. Begitu pula Hadiz menunjukkan bahwa institusi-institusi

demokratis dalam pemilu-pemilu utama di Medan dan Jakarta pada tahun 2000

dibajak oleh kepentingan-kepentingan parasitis yang diinkubasi oleh pemerintah

Orde Baru.

Favoritisme dalam proyek-proyek pembangunan

Otononi keuangan berlaku sebulan setelah puteh resmi menjabat. Jika

dalam orde baru sebagian besar uang pemerintah di salurkan ke daerah-daerah

melalui kantor-kantor provinsi dari departemen-departemen pemerintahan pusat,

sekarang semua kantor iyu, kecuali dua, dibubarkan dan diganti dengan dinas-

dinas profinsi di bawah control gubernur provinsi. Gubernur diberi kompensasi

untuk bebean gaji ekstra melalui suatu block grant tahunan sebesar sekitar 300

milyar atau dana alokasi umum. Sementara tugas-tugas khusus seperti pendidikan

dan kesehatan didanai melalui grant lain (dana alokasi khusus). Yang penting

adalah penerimaan minyak dan gas yang meningkat secara luar biasa di bawah

UUNI 25/1999.

PT seulawah NAD Air


Sejak itu mulai tidak beres atau lebih tepat lagi mula-mula berjalan lancer

saja sebelum mengalami kemerosotan yang memang tak terhindarkan keamanan

yang terganggu setelah pertengahan 1999 berulang-ulang mengangganggu

perjalanan darat antara Aceh dan dunia luar. Orde baru telah membuat Aceh

menjadi tidak lebih dari pedalaman bagi medan di sumatera utara. Rute

alternative paling mudah ke Medan adalah kapal Pelni yang jaln 3 kali seminggu

daan penerbangan garuda sekali sehari dengan booking 737-300 kursi pesawat

dari Medan selalu sulit diperoleh setelah Medan penerbangan banyak. Karena

meningkatkan yang yerbaik bagi daerahnya, gubernur puteh mengambil pilihan,

bukan dengan membuka rute udara Medan bagi sesuatu perusahaan penerbangan

swasta meskipun Bayu Airlines sudah mengajukan tawaran melainkan dengan

mendirikan sebuah perusahaan penerbangan milik provinsi.

Pada 28 juni 2001 PT Seulawah Air di daftarkan di Jakarta dengan notaris

Ny. Chairunnisa Said nama itu di ambil dari gunung seulawah, yang menjulang di

langit ibukotaprovinsi, banda aceh, diapit di tiap-tiap sisi oleh Aceh Besar dan

Pidie, dua tempat kelahiran budaya Aceh itu juga nama pesawat Dakota yang

disumbangkan oleh rakyat Aceh kepada presiden Sukarno yang mewakili

pemerintah inadonesia selama revolusi nasional 1948, yang sampai sekarang

masih di anggap cikal bakal Garuda Indonesia Airways. Tujuh bulan kemudian

pada 28 januari 2002, perusahaan ini secara resmi berubah nama menjadi PT

Seulawah NAD Air, karena alas an-alasan yang tidak jelas, tetapi yang jelas

Safuan group tidak lagi menjadi bagian dari proyek itu.

Tugas berikutnya adalah mendapatkan srtifikat udara operasi udara dari

departemen perhubungan, melakukan study kelaikan, merekrut 27 staf kabin,dan


mencari sebuah pesawat. Karena safuan group telah mengundurkan diri mereka

menyewa sebuah Boeing 737-300 dari stansmile group Bhd, yang bermarkas

besar di kuala lumpur. Pada bulan September 2002 departemen perhubungan

mengeluarkan sertifikat operasi gubernur puteh merasa sudah tiba saatnya untuk

menyampaikan prestasinya pada parlemen aceh sebagai wakil rakyat Aceh.

Masalahnya undang-undang tidak memperbolehkan gubernur berinvestasi di

perusahaan swasta gubernur hanya boleh berinvestasi pada perusahaan milik

Negara, yang hanya bias didirikan dengan legislasi parlemen padahal PT

Seulawah NAD Air adalah sebuah perusahaan swasta. Dua dari anggota

komisarisnya adalah pejabat tinggiprovinsi, tetapi KTP yang dikutip dalam akta

pendirian hanya mendaftar mereka sebagai individu perorangan, bukan dalam

kapasitas resmi mereka.

Dengan DPRD puas, gubernur PUteh mulai mengorganisisr penerbangan

perdana dari bandara Blang Bintang, Banda Aceh dan dadakan upacara

spektakuler pada 25 september 2002 dan diramaikan oleh 300 penar dan untuk

menyambut presiden megawati untuk memotong pita. Penerbangan komersial di

mulai dua hari kemudian, dua kali sehari ke Medan dan dua kali per minggu ke

Jakarta dan harga tiket pun diberi sedikit harga di bawah garuda sehinga

menjadikan seulawah NAD menjadi nama tenar di kalangan agen-agen perjalanan

banda Aceh. Agam Patra seorang kontraktor dan teman dekat Gubernur Puteh,

tak lama kemudian di tunjuk sebagai agen tunggal penjualan tiket seulawah NAD

di ibu kota provinsi. Ini adalah awal mula kesulitan dan Sam Walean, yang sudah

terlanjur berjanji pada perusahaan lain untuk menunjuk merekan sebagai agen

tunggal dan janjji itu tidak lagi bias dipenuhi. Ketergesa-gesaan dan kolusi tidak

transparan dan mewarnai pendirian perusahaan itu tak lama kemudian


memunculkan mkonflik-konflik lain. Para penumpang di hadapkan pada nomor-nomor ganda, para
megegang saham mulai curiga satu sama lain, sebab dari

ketiga pemegang saham itu hanya pemerintah provinsi yang benar-benar

menyetorkan modal kedalam usaha itu, sementara dewan komisaris di dominasi

oleh perusahaan swasta yang di pimpin oleh Sam Walean. Pada 31 oktober 2002,

belum satu bulan setelah operasi di mulai, gubernur Puteh memberi surat kepada

Sam Wilean yang berisi perintah untuk menransfer uang penjualan tiket ke

rekening pribadinya serta Usman Budiman akan tetapi Sam tidak merespon surat

itu. Yang pada akhirnya gubernur PUteh mengatur pertemuan bersama

komisarisnya di Jakarta yang memanggil para peserta hanya melalui pia telpon

dan akhirnya pertemuan itu menjadi rapat umum yang memutuskan menghentikan

Sam WIleam sebagai direktur utama dan di gantikan dengan mantan direktur

Garuda, M. Supomo, yang kenal baik dengan gubernur Puteh yang tak lama

kemudia Supomo memecat Rekan-rekan dekat Sam Wileam dalam perusahaan

tersebut, dan dengan demikian praktis mendepak walean.

Karena mara dan mengklaim haknya sebagai pemegang saham dan

pendiri telah di langar Sam Wikean memperkarakan Usman BUdiman dan

Thantawi ishak kepengadilan di Banda Aceh dengan tuduhan mereka telah

mengidentifikasikan diri secara poalsu dalam akta pendirian resmi perusahaan

tersebut sebagai pegawai sawasta dan bukan sebagai pegawai negeri dan ia juga

menuduh Abdullah PUteh dan Usman Budiman secara tidak sah memerintah uang

perusahaan di transfer ke rekening-rekening pribadi mereka, dan menyatakan

bahwa rapat umum pemegang-pemegang saham tidak memenuhi syarat-syarat

yang telah di tetapkan oleh hokum niaga.

Hal itu sangat memalikan gubernur Puteh dan krooni-kroninya. Dan

membuat mereka takut. Mereka menyebar retorika dengan keras dan mulai melobi
mereka menungkapkan bahwa dari semua peemgang saham itu baru Aceh yang

menyetorkan modal sementara urusan KTP itu hanyalah sebagai kehilafan

pengacara mereka dan secara pribadi mereka meminta Sam Wileam menarik

tuduhan. Dan karena sudah mendapatkan angina Sam wileam meminta berdamai

dengan jamindan sebesar 3 milyar untuk selesai secara damai

Di tangan Supomo pesusahaan penerbnagn itu jauh lebih inefisien dari

pada ketika di bawa Sam Wilean pengeluaran gaji meleldak dari Rp 150 juta

menjadi Rp 450 juta sebulan. Sementara Ramzi Tharfi tidak menyetorkan

penjualaaan tiket medan sebesar Rp 200 juta. Perusahaan itu juga melamai

persaingan sengit di rute medan Jakarta. Pada awal maret 2003 outstanding

payments kepada transmile group Bhd untuk sewa pesawat terbang dan pada

pertamina untuk bahan bakar pesawat hamper mencapai 10 milyar meskipun

sebelumnya DPRD sepakat untuk menyuntikkan tambahan sebesar 4 milyar.

Akibatnya transmile Group Bhd membawa pulang pesawat terbangnya dan

Seulawah NAD berhenti terbang hanya 6 bulan setelah mengudara.

Dikejutkan oleh krisis tersebut DPRD memanggil menejemen perusahaan

itu untuk memberikan pertanggungjawaban tentang dirinya sendiri pada 20 maret

2003 dan anehnya Sam Wilean tidak di panggil untuk memberikan

keterangan, ketika ditanya mengapa saham perusahaan berada dalam daftar

kepemilikannya, direktur perusahaan daerah pembangunan aceh mengatakan

bahwa ia sama sekali tidak tahu menau. Seulawah NAD Air sekarang jelas terlalu

di bebani hutang untuk bias beroperasi lagi ia juga masih berhutang kepada Sam

Wilean karena manarik kembali pengaduan kepada Abdullah Puteh dan kawan-

kawan. Selain itu adalah mustahil jika mengalihkan hutang sebnyak itu ke

provinsi sebagaimana biasa dilakukan pada masa lau. Para anggota DPRD dan
lawan-lawan Abdullah Puteh sudah kehilangan kesabaran untuk menghadapi

perusahaan itu PT Seulawah NAD Air bangkrut. Salah satu cara yang masih tetap

terbuka adalah membebankan hutang itu pada sesuatu proyek khusus atau darurat

mestinya ini udah dilakukan mengingat pemegang kuncinya adalah Thantwi Ishak

dan Usman Budiman memegang kinci dalam birokrasi.

Organisasi Amal YPAB Nur Raudha

Marlinda Purnomo (1964), istri kedua Abdullah Puteh, merasa dia tidak

boleh duduk bermalas-malasan, melainkan seharusnya membantu suaminya dan

berbuat sesuatu bagi rakyat Aceh. Ia merasa kedudukan- kedudukan formal yang

ia pegang, sebagai ketua PKK dan Dewan Kerajinan daerah, tidak memberikan

cukup ruang untuk "berbuat lebih banyak” untuk membantu meredakan

penderitaan masyarakat tentu saja mereka menyambut baik ide-ide baru itu, dan

tak lama kemudian ia mendelekrasikan gerakan kepedulian bagi anak-anak

Anda mungkin juga menyukai