Anda di halaman 1dari 22

CRITICAL JURNAL REVIEW

MK. PENGANTAR ILMU


HUKUM

PRODI S1 PPKN-FIS

Skor Nilai:

Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum

(URGENSI HUKUM ADAT DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA NASIONAL )

RAHMAT Hi. ABDULLAH

Nama : Iqbal Al Ahmid

Nim : 3193111016

Dosen Pengampu : Arief Wahyudi, SH., M.H

Mata Kuliah : Pengantar Ilmu Hukum

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL - UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

November 2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan
rahmat serta karunianya, penulis dapat menyelesaikan tugas Critical Jurnal Rreview ini tepat
pada waktunya. Critical Jurnal Review ini adalah adalah untuk memenuhi salah satu tugas kuliah
yaitu Pengantar Ilmu Hukum. Critical Journal Review ini diberikan agar setiap mahasiswa
mampu dalam mengkritik sebuah Jurnal, baik jurnal utama maupun beserta pembandingnya
dengan baik.

Dalam kesempatan ini, adapun jurnal yang akan di Review adalah berjudul Urgensi
Hukum Adat Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, oleh Rahmat Hi. Abdullah, dengan
Journal pembanding yang berjudul Hukum(sanksi) Pidana Adat Dalam Pembaharuan Hukum
Pidana Nasional, oleh Nyoman Serikat Putra Jaya

Sebelumnya penulis ucapkan Terima Kasih kepada Dosen pengampu yakni Bapak Arief
Wahyudi yang telah memberikan dan menjelaskan pedoman dan cara mengerjakan Critical
Journal Review ini. Dan tidak lupa penulis mengucapkan terimakasih kepada Orangtua yang
telah mendukung baik serta memberikan banyak nasehat dalam dunia perkuliahan ini. Karena
keterbatasan pengetahuan dan pengalaman penulis, sehingga masih banyak kekurangan dalam
pengerjaan Critical Journal Review ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran
yang membangun. Semoga Critical Journal Review ini bermanfaat bagi kita semua.

Akhir kata dari penulis menucapkan Terima Kasih

Medan, 14 November 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………………………………….i

DAFTAR ISI……………………………………………………………………………………ii

BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………………….

A. Rasionalisasi Pentingnya CJR…………………………………………………………..1

B. Tujuan Penulisan…………………………………………………………………………1

C. Manfaat Penulisan………………………………………………………………………..1

D. Identitas Jurnal…………………………………………………………………………...2

BAB II RINGKASAN ISI JURNAL……………………………………………………………..

A. Jurnal Utama……………………………………………………………………………...3

B. Jurnal Pembanding ……………………………………………………………………….7

BAB III PEMBAHASAN/ANALISIS JURNAL………………………………………………...

A. Pembahasan Isi Jurnal……………………………………………………………………13

B. Kelebihan dan Kelemahan Jurnal………………………………………………………..15

BAB IV PENUTUP………………………………………………………………………………..

A. Kesimpulan………………………………………………………………………………18

B. Saran……………………………………………………………………………………...18

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………………..19

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. RASIONALISASI

Mata Kuliah Pengantar Ilmu Hukum merupakan salah satu mata kuliah penting bagi
para akademis. Dalam proses penguasaan mata kuliah ini, sebagai mahasiswa, selain mendengar
panduan dan arahan dari dosen yang bersangkutan, kita juga harus mencari informasi yang seluas
luasnya. Jurnal adalah satu satu kebutuhan yang saat ini tebilang mutlak sebagai pegangan
seorang mhasiswa dalam memperoleh ilmu pengetahuan. Dalam Critical Journal Review ini
berisi laporan hasil review jurnal utama yang berjudul Urgensi Hukum Adat DalamPembaharuan
Hukum Pidana Nasional dan jurnal pembanding dengan judul Hukum(sanksi) Pidana Adat
Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Nasional

B. Tujuan Penulisan
Ada pun tujuan penulisan adalah guna untuk menyelesaikan tugas mata kuliah serta
menambah pengetahuan, meningkatkan pemahaman, dan menguatkan materi pembelajaran
kuliah Pengantar Ilmu Hukum

C. Manfaat Penulisan
1. Mengetahui kekurangan dan kelebihan Jurnal yang direview
2. Membantu dalam membandingkan antara Jurnal yang disusun oleh satu penulis dengan
penulis yang lain.
3. Membantu semua kalangan dalam mengetahui inti dari hasil penelitian yang terdapat
dalam suatu Jurnal

1
D. IDENTITAS JURNAL
Jurnal Utama
Judul : Urgensi Hukum Adat dalam Pembaharuan Hukum Pidana
Nasional

Jurnal : Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum


Volume : 9 No. 2, April-Juni 2015
Tahun : 2015
Penulis : Rahmat Hi. Abdullah
Reviewer : Iqbal Al Ahmid
Tanggal : 14 November 2019
Download : https://jurnal.fh.unila.ac.id
Issn : 1978-5186
Jurnal Pembanding
Judul : Hukum (sanksi) Pidana Adat Dalam Pembaharuan Hukum Pidana
Nasional

Jurnal : Jurnal Ilmu Ilmu Hukum

Volume : 45 No. 2, april 2016


Tahun : 2016
Penulis : Nyoman Serikat Putra Jaya
Reviewer : Iqbal Al Ahmid
Tanggal : 14 November
Download : https://ejournal.undip.ac.id
Issn : 2527-4716

2
BAB II

PEMBAHASAN ISI JURNAL

A. JURNAL UTAMA

1. PENDAHULUAN

Pembangunan nasional hingga saat ini telah memperlihatkan kemajuan, tidak hanya
menyangkut dibidang ekonomi semata namun juga menyangkut seluruh aspek kehidupan
masyarakat termasuk pembangunan dibidang hukum. Kemajuan dibidang hukum ditandai
dengan usaha untuk memperbaharui hukum itu sendiri, karena hukum sebagai salah satu
penunjang utama dalam menjamin ketertiban masyarakat, diharapkan mampu mengantisipasi dan
mengatasi segala tantangan, kebutuhan serta kendala yang menyangkut sarana dan prasarana,
disamping itu juga harus lebih beradaptasi dengan perubahan perubahan yang terjadi dalam
masyarakat.

Perubahan dan pembaharuan dibidang hukum pidana khususnya mengenai hukum pidana
material( substantif) merupakan hal yang penting dan mendasar, karena hukum yang berlaku
sekarang khususnya hukum pidana material peninggalan kolonial sudah tidak lagi dapat
memenuhi kebutuhan masyarakat indonesia sekarang. Pembaharuan hukum pidana di indonesia
khususnya hukum pidana material, sudah dilakukan sejak tahun 1946 dengan dikeluarkannya UU
nomor 1 tahun 1946. Dimana pasal 5 UU tersebut menentukan bahwa”peraturan hukum pidana,
yang seluruhnya atau sebagian sekarang tidak dapat dijalankan atau bertentangan dengan
kedudukan Republik Indonesia sebagai negara merdeka atau tidak mempunyai arti lagi, harus
dianggap seluruhnya atau sebagian sementara tidak berlaku lagi. Sedangkan dalam pasal 8
merupakan perubahan kata kata dalam penghapusan berbagai pasal dalam KUHP.

Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa usaha melakukan pembaharuan hukum (pidana)
pada dasarnya merupakan kegiatan yang berlanjut dan terus menerus (kontinu) tak kenal henti.
Dalam rangka melakukan pembaharuan hukum pidana di indonesia, tentu tidak terlepas dari
tugas politik hukum untuk meneliti perubahan perubahan yang perlu diadakan terhadap hukum
yang ada sehingga dapat memenuhi tuntutan tuntutan dan kebutuhan kebutuhan baru dalam
masyarakat. Politik hukum berusaha meneruskan arah perkembangan tertib hukum, dari Ius

3
Constitutum yang bertumpu pada kerangka landasan hukum yang terdahulu menuju pada
penyususnan hukum dimasa yang akan datang atau Ius Constituendum.

Barda Nawawi Arief secara jelas merumuskan latar belakang dan urgensi pembaharuan
hukum pidana dapat ditinjau dari aspek Sosio-politik, Sosio-filosofis, dan Sosio-Kultutal.
Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya mengandung makna, suatu upaya untuk melakukan
reorientasi dan reformulasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai nilai sentral Sosio-politik,
Sosio-Filosofis, Sosio-Kultural masyarakat indonesia yang melandasi kebijakan Sosial,
Kebijakan Kriminal, dan Kebijakan Penegakan Hukum di indonesia.

Menurut Prof. Sudarto, paling sedikit ada 3 alasan untuk mengadakan pembaharuan
KUHP yaitu Politis, sosiologis, dan Praktis. Dipandang dari segi politis, Negara republik
indonesia yang telah lama merdeka, sudah sewajarnya mempunayi KUHP yang diciptakan
sendiri. Dipandang dari segi Sosiologis, Wetboek Van Strafrech atau KUHP yang berasal dari
belanda sudah tidak cocok lagi bagi bangsa indoneisa. Dipandang dari segi praktik sehari hari
mengapa KUHP sekarang harus diganti karena tidak banyak orang yang menyadari bahwa
sampai saat ini teks resminya dari KUHP yang berlaku di indonesia ini masih bertuliskan dalam
bahasa Belanda.

Sebagai identitas bangsa, eksistensi hukum adat mesti memiliki ciri dan karakteristik
yang sesuai dengan filosofi dan budaya bangsa. Hukum pidana yang berlaku secara Nasional
sekarang menentukan bahwa dalam hal menetapkan adanya tindak pidana dilarang menggunakan
analogi. Namun realitasnya, kebiasaan masyarakat indonesia mempunyai kaidah tersendiri yang
diantaranya mempunyai sanksi yang biasa dikenal dengan hukum adat. Hal ini menjadi indikasi
bahwa masyarakat indonesia masih memegang teguh hukum tidak tertulis. Dengan demikian,
kedudukan hukum adat beserta sanksinya masihlah utuh dan teguh dan menjadi perhatian dalam
hal politik hukum pidana khususnya pembaharuan hukum pidana nasioanl, baik hukum pidana
materil maupun hukum pidana formil.

4
2. PEMBAHASAN

Setelah perang dunia kedua, banyak bermunculan negara negara baru. Negara ini
mempelopori upaya untuk memperbaharui hukum pidana atau KUHP nya. Di indonesia sendiri
masih menggunakan KUHP peninggalan Belanda. Upaya pembaharuan ini dipandang perlu
mengingat indonesia sudah merdeka dan terdapat Urgensi untuk menyusun suatu KUHP
Nasional yang baru. Menyusun suatu KUHP yang baru dan bersumber dari jati diri bangsa
sendiri tidaklah mudah. Ada banyak permasalahan yang muncul didalam penyusunan KUHP
Nasional ini. Menurut guru besar hukum pidana, Soedarto ada 4 permasalahan yang muncul di
dalam upaya pembaharuan hukum pidana ini, Keempat masalah itu adalah: 1. Kriminalsisasi dan
Dekriminalisasi; 2. Masalah pemberian pDengan kriminalisasi dimaksudkan proses penetapan
suatu perbuatan orang sebagai perbuatan yang dapat dipidanaidana; 3. Pelaksanaan hukum
pidana; 4. Sejauh mana urgensi dibentuknya KUHP Nasional1.

Pertama, Kriminalisasi dan Deskriminalisasi. Kriminalisasi dimaksudkan proses penetapan


suatu perbuatan orang sebagai perbuatan yang dapat di pidana. Proses ini diakhiri dengan
terbentuknya Unang Undang dimana perbuatan itu diancam dengan suatu sanksi yang berupa
pidana. Sebaliknya pengertian Dekriminalisasi mengandung arti suatu proses dimana dihilangkan
sama sekali sifat dapat dipidananya suatu perbuatan. Masalah kriminalisasi ini erat kaitannya
dengan Criminal Policy yaitu usaha yang rasional baik fari masyarakat/pemerintah utnuk
menanggulangi tindak pidana baik menggunakan sarana penal maupun non penal

Kedua, Pemberian pidana. Sudarto berpandangan pemberian pidana ini mempunyai dua arti
yaitu: 1. Dalam arti umum yaitu menyangkut pembentuk UU, menetapkan stlsel sanksi pidana; 2.
Dalam arti konkrit, ialah menyangkut berbagai badan atau jabatan yang kesemuanya mendukung
dan melaksanakan stelsel sanksi hukum pidana itu.

Ketiga, Pelaksanaan pidana. Dibutuhkan peraturan peraturan yang memungkinkan UU


pidana itu dilaksanakan. Pedomanan pelaksanaan pidana ini adalah Hukum Acara Pidana
(KUHAP).

Keempat, Sejauh mana urgensi dibentuknya KUHAP nasional. Muladi menambahkan satu
pertimbangan mengapa harus diadakan pembaharuan hukum pidana nasional, yaitu

5
pertimbangan adaptatif dimana sebisa mungkin mengadaptasi perkembangan yang terjadi di
dunia internasional tanpa harus menghilangkan nilai nilai nasional

Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai beraneka ragam suku bangsa dan
sudah tentu budaya serta norma norma yang dianut juga akan berbeda. Didalam pasal 28 I ayat
(3) dinyatakan bahwa, identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan
perkembangan zaman dan peradaban. hukum tidak tertulis atau hukum adat memunyai
kedudukan yang mapan secara konstitusional. Eksistensi hukum tidak tertulis dapat
dirasionalisasikan ketika kepentingan politik pembentukan sistem hukum nasional atau
pembaharuanhukum menuntut hukum tidak tertulis menjadi bagian dari sakralitasnya.
Pengakuan terhadap eksistensi nilai nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup itu diakui secara
konstitusional. Dalam konstitusi (UUD NRI 1945) jelas, bahwa negara mempunyai kewajiban
untuk mengakui dan sekaligus merespon perkembangan hukum adat. Dalam muatan pasal 18 B
ayat (2), secara normatif dapat ditarik menjadi 4 unsur yang harus diperhatikan sebagai prasyarat
eksistensi dan validitas masyarakat hukum adat di indonesia. Pertama, yaitu Unsur” sepanjang
masih hidup” ; Kedua. Yaitu “ Sesuai dengan perkembangan masyarakat”; Ketiga, yaitu “Prinsip
negara kesatuan republik indonesia”; keempat, yaitu “ Yang diatur oleh Undang Undang”.

Hukum pidana yang berlaku di indonesia , ialah hukum pidana yang telah dokodifikasi, yakni
sebagian besar aturan aturannya telah disusun dalam KUHP. Karenanya upaya pembaharuan
hukum pidana terus dilakukan. Hukum pidana adat indonesia yang tersebar diberbagai kesatuan
hukum adat, adalah cerminan dari peradaban asli bangsa indonesia yang pernah memperlakukan
hukum adatnya. Hukum adat tersebut tidak mengenal hukum yang statis, tiap tiap peraturannya
timbul, berkembang, dan selanjutnya lenyap, karenanya perubahan hukum , perubahan zaman
diikuti oleh perubahan peraturan. Perubahan-perubahan itu dipengaruhi oleh rasa keadilan lahir
batin masyarakatnya. Salah satu konsep pokok bentuk pengakuan hukum yang berkembang atau
hidup di masyarakat adalah dengan diadopsinya sistem sanksi dalam hukum adat( pidana adat)
dalam sistemhukum nasional sebagai bentuk pembaharuan hukum pidana nasional.

Membahasakan realitas perkembangan hukum adat ( pidana adat) kedalam RUU KUHP atau
ranah pembaharuan hukum pidana nasional memang tidak mudah, karena hukum adat bersifat
Pluralisme. Dimasing asing daerah terdapat keragaman sanksi sanksi pidana adat yang bisa
dijadikan sebagian kearifan lokal guna mewarnai pembaharuan hukum pidana nasional.

6
Memasukkan beberapa sanksi pidana yang berkembang dimasyarakat adat merupakan wujud
pembaharuan hukum dengan model mengindonesiakan hukum pidana adat dengan harapan,
bahwa masyarakat adat diseluruh indonesia mempunyai payung untuk berperilaku dan
mempertanggungjawabkan berbagai bentuk perbuatan yang berkategori pelanggaran atau
kejahatan adat.

B. JURNAL PEMBANDING

1. PENDAHULUAN

Pembangunan secara harfiah pada hakikatnya adalah suatu kegiatan yang bersifat mengubah
keadaan dari yang lama menjadi baru, yang dilaksanakan secara bertahap. Oleh karena itu
sasaran pembangunan adalah manusia indonesia, maka perubahan yang diinginkan itu selain
tertuju pada kebutuhan, juga akan mengubah sikap dan tingkah laku manusia itu sendir. Oleh
karena itu pelaksanaan pembangunan perlu ditunjang oleh hukum sebagai pengarah dan sarana
menuju masyarakat Pancasila yang kita cita citakan berdasarkan Undang Undanf Dasar Negara
Republik Indonesia 1945.

Salah satu kesimpulan Konvensi Hukum Nasioanl yang diselenggarakan BPHN pada tanggal
15 s/d 16 Maret 2008 tentang Grand Design dalam perencanaan Legislasi Nasional angka 5
ditentukan, “Pembangunan hukum tidaklah terlepas dari sejarah, karena itu dengan telah
dimulainya reformasi tidaklah berarti kita memulai segala sesuatunya dari nol.” Selanjutnya
dapat dikemukakan di sini bahwa pembangunan dalam bidang hukum khususnya pembangunan
hukum pidana, tidak hanya mencakup pembangunan yang bersifat Stuktural, yakni pembangunan
lembaga lembaga hukum yang bergerak dalam suatu mekanisme, tetapi harus juga mencakup
pembangunan substansi berupa produk produk yang merupakan hasil suatu sistem hukum dalam
bentuk peraturan hukum pidana yang bersifat kultural, yakni sikap dan nilai nilai yang
mempengaruhi berlakunya suatu sistem hukum. Usaha pembaharuan hukum pidana saat ini
dilakukan dengan satu tujuan utama, yakni menciptakan suatu kodifikasi hukum pidana materill
untuk menggantikan hukum pidana yang meruapakan warisan kolonial.

7
2. PEMBAHASAN
a) Landasan Yuridis Berlakunya Hukum Pidana Adat

Sumber hukum pidana indonesia adalah hukum pidana tertulis dan pidana tidak tertulis.
Sumber hukum pidana tertulis adalah KUHP yang berasal dari Wetboek Strarech Voor
Nederlandsch Indie, yang mulai berlaku 1 Januari 1918. Sebelum 1 januari 1918 di Hindia
Belanda berlaku 2 Wvs, yaitu Wvs untuk golongan Eropa berdasarkan K.B 1866 dan untuk
golongan orang Bumiputra dan yang dipersamakan berdasarkan Ordinantie 6 Mei 1872. Dengan
demikian secara formal hukum pidana saat itu diberlakukan oleh pemerintah penjajah belanda di
Hindia Belanda, walapun scara Materill tetap berlaku dan tetap diterapkan dalam praktek
peradilan.

Di era kemerdekaan pemberlakuan hukum pidana adat, mendapat landasan hukum dengan
dikeluarkannya UU.No.1 Drt 1951, khususnya pasal 5 ayat (3) Sub b, yang pada intinya memuat
Tiga hal: 1.) Tindak pidana adat yang ada bandingnya /padananannya dalam KUHP yang
sifatnya tidak berat atau yang dianggap tindak pidana adat yang ringan, ancaman pidananya
adalah pidana penjara paling lama tiga bulan/denda lima ratus ribu rupiah. Sedangkan untuk
tindak pidana adat yang berat, ancaman pidanya adalah paling lama 10 tahun, sebagai pengganti
dari hukuman adat yang tidak dijalani oleh terhukum; 2.) Tindak pidana adat yang ada
bandingnya dalam KUHP, maka ancaman pidananya sama dengan ancaman pidana yang ada
dalam KUHP; 3.) Sanksi adat menurut UU Darurat No. 1 Tahun 1951 diatas, dapat dijadikan
pidana pokok atau pidana utama oleh hakim dalam memeriksa dan mengadili perbuatan yang
menuntut hukum yang hidup dinaggap sebagai tindak pidana yang tidak ada bandingannya
dengan KUHP, sedangkan yang ada bandingannya harus dikenai sanksi sesuai dengan dalam
KUHP

Otje salman soemadiningrat sebagaimana dikutip Lilik Mulyadi mengemukakan bahwa


hukum pidana adat berikut sanksi sanksi adat diupayakan untuk dihapus dari sitem hukum di
indonesia dan diganti oleh peraturan perundang undangan sehingga prosedur penyelesaian
perkara perkara pidana pada umumnya disalurkan melalui peradilan umum. Pengakuan atau
pemberian tempat bagi hukum tidak tertulis ditegaskan dalam aturan yang bersifat umum, yaitu
dalam :

8
a. pasal 18 B (2) UUD 1945 (Amandemen Ke-2) yakni Negara mengakui dan menghormati
keatuan kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak hak tradisionalnya sepanjang masih hidup
dan sesuai dengan perkembangan masyarakat hukum adat dan prinsip dasar NKRI yang diatur
dalam UU;

b. UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman UU

1.) Pasal 5 ayat 1 : Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami
nilai nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

c. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

1.) Putusan nomor 1644k/pid/1988 tanggal 15 Mei 1991, antara lain menentukan : “seseorang
yang telah melakukan perbuatan yang menurut hukum yang hidup (hukum adat) di daeerah
tersebut adalah merupakan suatu yang melanggar hukum adat, yaitu “Delict Adat”.

b) Asas Legalitas, Sifat Melawan Hukum dan Hukum Pidana Adat

Menurut Muladi, mengaitkan asas legalitas dengan hukum pidana adat secara serampangan,
jelas tidak akan cocok. Hukum pidana adat dilandasi falsafah harmoni dan cummonal morality
akan bertentangan dengan asas legalitas yang berporos pada : (1) Legal definition of crime, (2)
he crime, (3) Doctrine of free will, (4) Death penalty for some offenes, (5) No empirical
research, (6) Definite sentence, yang merupakan karakteristik dari aliran klasik. Asas legalitas
dalam arti kontemporer dengan spirit yang berbeda dari aslinya, akan lebih demokratis dan spirit
adalah: (a) Forward Looking, (b) Restoratif Justice, (c) Natural Crima, (d) Integratif.

Hukum pidana adat termasuk hukum yang hidup atau The Living Law dapat mejadi : Sumber
hukum positif, dan sumber hukum yang negatif. Dalam arti, ketentuan ketentuan hukum pidana
adat dapat menjadi alasan pembenar, memperinga, atau alasan memperberat pidana.

c) Hukum (sanksi) Pidana Adat dalam RUU KUHP

Kebijakan yang ditempuh oleh bangsa indonesia dalam rangka melaksanakan pembaharuan
hukum pidana, melalui dua jalur yaitu: 1. Pembentukan Perundang undangan pidana yang
maksudnya mengubah, menambah, dan melengkapi KUHP yang berlaku sekarang, 2.

9
Pembuatan Konsep Rancangan KUHP Nasional guna menggantikan KUHP yang berlaku
sekarang.

Pasal yang berkaitan dengan hukum (sanksi) Pidana Adat atau The Living Law dalam RUU
KUHP 2015 adalah pasal 1 dan pasal 2.

Pasal 1 Konsep KUHP 2015 menentukan:

1. Tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali perbuatan
yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang
undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan.

2. Dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang menggunakan Analogi.

Pasal 2 konsep KUHP 2015 menentukan:

1. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi


berlakunya hukum yang hidup dalam masyrakat yang menentukan bahwa
seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam
perundang undangan.
2. Berlakunya hukum yang hidup dalam masyrarakat sebagaimana dimaksud dalam pasal 1
ayat (1) sepanjang sesuai dengan nilai nilai yang terkandung dalam pancasila, Hak asasi
manusia dan Prinsip prinsip hukum yang diakui oleh masyarakat bangsa bangsa.

Berdasarkan perspektif kajian perbandingan dan kajian ke ilmuan, pengakuan terhadap


eksistensi hukum yang hidup atau hukum tidak tertulis sebagai sumber hukum bukanlah sesuatu
yang asing. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Hukum kebiasaan atau hukum yang hidup medapat tempat sebagai sumber
hukum dalam tradisi Common Law maupun dala sistem hukum adat(traditional
system law).
2. Adanya teori /doktrin/ajaran “SMH” (Sidat Melawan Hukum) materil”, Teori
“Perbuatan funsional” atau Pengertian “Perbuatan dari sudut ilmiah”, Adanya
Doktrin “Tiada pidana tanpa kesalahan””, dan diakuinya “Pendapat ahli/pakar” atau
“Ilmu pengetahuan”.Dalam Praktek penegakan hukum, pada dasarnya mengandung

10
arti bahwa yang dapat menjadi sumber hukum (sumber kepastian) tidak hanya
kepastian Formal tetapi juga Kepastian yang bersifat materill/Substansial.

Dokumen internasional juga memberi peluang diterapkannya “Prinsip-prinsip” hukum


umum yang diakui oleh masyarakat bangsa atau “Hukum Kebiasaan Internasional”, seperti:

Pembentukan:

1. The international Military (IMT) yang berkedudukan di Nurenberg


2. The Internasioanl Military Tribunal for the far East (IMTFE)
3. The International Criminal Tribunal for the Former Yugoslava di Den Haag
4. The International Criminal Tribunal untuk Rwanda di Arusha yang mengadopsi hukum
kebiasaan Internasioanl guna mengadili dan memidana para pelaku kejahatan perang.

Disamping merumuskan asa legalitas sebagai “landasan juridis” untuk menyatakan kapan
suatu perbuatan “feit” merupakan “Tindak pidana” ( strafbaarfeit). Konsep juga merumuskan
“Batasan/pengertian juridis” tentang sifat/hakikat tindak pidana, dalam pasal 12 konsep. Dengan
adanya batasan/pengertian juridis, suatu perbuatan yang sudah memenuhi rumusan delik dalam
Undang Undang, tidak otomatis dapat dinyatakan sebagai tindak pidana. Untuk dapat dinyatakan
sebagai tindak pidana, perbuatan yang telah memenuhi rumusan delik dalam UU, harus juga
bersifat melawan hukum secara materill dengan menengaskan bahwa setiap tindak pidana selalu
dipandang bersifat melawan hukum.

Harus ada pergeseran wawasan atau paradigma dalam memaknai Asas legalitas dan Asa
Keadilan sehubungan dengan pemberlakuan Hukum pidana secara Retroaktif sebagai berikut:

Pertama, Asas legalitas hanya memberikan perlindungan kepada individu pelaku tindak pidana
dam kurang memberikan perlindungan kepada Masyarakat/kelompok masyarakat yang menjadi
korban tindak pidana.

Kedua, Meskipun asal legalitas diakui asas yang yang fundamental, namun berlakunya tidak
secara mutlak ketika perbuatan tersebut bertentangan dengan prinsip prinsip hukum umum yang
diakui masyarakat.

11
Ketiga, pemberlakuan hukumpidana secara retroaktif merupakan pengecualian dari asas
legalitas atas dasar “Ekstra ordinary Crimes”, seperti pelanggraran HAM yang berat.

Jika terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, maka konsep KUHP
memberikan jalan keluar sebagaimana dirumuskan dalam pasal 13 konsep KUHP 215 yait:

(1)Hakim dalam mangadili suatu perkara pida mempertimbangkan tegaknya hukum dan
keadilan. Hakim dalam mengadili suatu perkara pidana mempertimbangkan tegaknya hukum
dan keadilan.

(2)Jika dalam mempertimbangkan trgaknya hukum dan keadilan sebagaimana pada ayat 1
terdapat pertentangan yang tidak dapat dipertemukan, maka hakim dapat mengutamakan
Keadilan.

Sudarto mengemukakan bahwa bagian terpenting dari suatu KUHP adalah stelsel pidananya.
Stelsel pidana yang ada tersbut dapat dijadikan ukuran sejauh peradaban bangsa yang
bersangkutan. Dengan demikian, hukum pidana adat dan the Living Law termasuk sanksi
adatnya mendapat tempat dalam pemaharuan perkembangan hukum pidana nasional baik sebgai
sumber hukum pidana negatif serta sangat beralasan atau mendapat pmbenaran, tidak hanya
berdasrkan praktik hukum kebiasaan nasional tetapi juga didunia internasional

12
BAB III

PEMBAHASAN/ANALISI JURNAL

A. PEMBAHASAN ISI JURNAL

Secara keseluruhan jurnal utama menjelaskan bahwa Pembangunan nasional dari masa
kemasa memperlihatkan kemajuan, tidak hanya menyangkut dibidang ekonomi semata namun
juga menyangkut seluruh aspek kehidupan masyarakat termasuk pembangunan dibidang hukum.
Salah satu contohnya adalah dengan adanya Perubahan dan pembaharuan dibidang hukum
pidana khususnya mengenai hukum pidana material( substantif). Pembaharuan hukum pidana di
indonesia khususnya hukum pidana material, sudah dilakukan sejak tahun 1946 dengan
dikeluarkannya UU nomor 1 tahun 1946. Selain itu Barda Nawawi Arief juga menyatakan
bahwa usaha melakukan pembaharuan hukum (pidana) pada dasarnya merupakan kegiatan yang
berlanjut dan terus menerus (kontinu) tak kenal henti. Didalam melakukan pembahruan hukum
pidana khusunya di indonesia, tentunya tidak terlepas dari tugas politik hukum yaitu untuk
meneliti perubahan perubahan terhadap hukum sehingga dapat memenuhi apa yang dibutuhkan
masyarakat. Peran politik hukum disini adalah berusaha meneruskan arah perkembangan tertib
hukum, dari Ius Constitutum yang bertumpu pada kerangka landasan hukum yang terdahulu
menuju pada penyususnan hukum dimasa yang akan datang atau Ius Constituendum.Ada tiga
aspek yang menjadi latar belakang adanya pemharuan hukum pidana menurut Barda Nawawi
yaitu Aspek Sosio-politik, Sosio-Filosofis, dan juga Sosio-Kultural.Makna dari pembaharuan
hukum pidana pada hakikatnya adalah untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana
yangs sesuai dengan nilai nilai dan kebijakan kebijakan yang ada di indonesia.

Dan menurut Prof. Sudarto, paling sedikit ada 3 alasan untuk mengadakan pembaharuan
KUHP yaitu Politis, sosiologis, dan praktis. Indonesia adalah negara yang juga kental akan
namanya hukum adat dimana hukum ini dijadikan Sebagai identitas bangsa dan tentunya
eksistensi hukum adat mesti memiliki ciri dan karakteristik yang sesuai dengan filosofi dan
budaya bangsa. Setelah merdeka dan bebas dari belanda Banyak negara yang mempelopori
bahwa Indonesia harus memperbaharui KUHP nya sebab indonesia sendiri masih menggunakan
KUHP peninggalan Belanda. Dan dalam penyusunan KUHP nasioanl ada banyak permasalahan

13
yang muncul. Menurut guru besar hukum pidana, Soedarto memandang ada 4 permasalahan
yang muncul di dalam upaya pembaharuan hukum pidana ini, Keempat masalah itu adalah :
pertama, Kriminalsisasi dan Dekriminalisasi; Kedua, Masalah pemberian Dengan kriminalisasi
dimaksudkan proses penetapan suatu perbuatan orang sebagai perbuatan yang dapat
dipidanaidana; Ketiga, Pelaksanaan hukum pidana; Keempat, Sejauh mana urgensi dibentuknya
KUHP Nasional. Hukum pidana yang berlaku di indonesia, ialah hukum pidana yang telah
dikodifikasi, yakni sebagian besar aturan aturannya telah disusun dalam KUHP. Salah satu
konsep pokok bentuk pengakuan hukum yang berkembang atau hidup di masyarakat adalah
dengan diadopsinya sistem sanksi dalam hukum adat( pidana adat) dalam sistem hukum nasional
sebagai bentuk pembaharuan hukum pidana nasional.

Sedangkan secara keseluruhan jurnal pembanding menjelaskan bahwa usaha pembaharuan


hukum saat ini dilakukan dengan satu tujuan utama, yakni menciptakan suatu kodifikasi hukum
pidana materill untuk menggantikan hukumm pidana warisan kolonial. Sumber hukum pidana
indonesia adalah hukum pidana tertulis dan pidana tidak tertulis. Sumber hukum pidana tertulis
adalah KUHP. Seiring berkembangnya zaman tepatnya Di era kemerdekaan, pemberlakuan
hukum pidana adat, mendapat landasan hukum dengan dikeluarkannya UU.No.1 Drt 1951,
khususnya pasal 5 ayat (3) Sub b, yang pada intinya memuat Tiga hal: salah satunya adalah
Tindak pidana adat yang ada bandingnya /padananannya dalam KUHP yang sifatnya tidak berat
atau yang dianggap tindak pidana adat yang ringan, ancaman pidananya adalah pidana penjara
paling lama tiga bulan/denda lima ratus ribu rupiah. Sedangkan untuk tindak pidana adat yang
berat, ancaman pidanya adalah paling lama 10 tahun, sebagai pengganti dari hukuman adat yang
tidak dijalani oleh terhukum

Pengakuan atau pemberian tempat bagi hukum tidak tertulis ditegaskan dalam aturan yang
bersifat umum, yaitu dalam :

a. Pasal 18 B (2) UUD 1945 (Amandemen Ke-2)

b. UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman UU

Kebijakan yang ditempuh oleh bangsa indonesia dalam melaksanakan pembaharuan hukum
pidana, melalui dua jalur yaitu: 1. Pembentuksn Perundang undangan pidana yang maksudnya

14
mengubah, menambah, dan melengkapi KUHP yang berlaku sekarang, 2. Pembuatan Konsep
Rancangan KUHP Nasional guna menggantikan KUHP yang berlaku sekarang.

Membahaa mengenai konsep, Dokumen internasional juga memberi peluang diterapkannya


“Prinsip-prinsip” hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa atau “Hukum Kebiasaan
Internasional”, seperti:

Pembentukan:

1. The international Military (IMT) yang berkedudukan di Nurenberg


2. The Internasioanl Military Tribunal for the far East (IMTFE)
3. The International Criminal Tribunal for the Former Yugoslava di Den Haag
4. The International Criminal Tribunal untuk Rwanda di Arusha yang mengadopsi hukum
kebiasaan Internasioanl guna mengadili dan memidana para pelaku kejahatan perang.

Disamping merumuskan asas legalitass sebagai “landasan Juridis” untuk menyatakan kapan
suatu perbuatan “feit” merupakan “Tindak pidana” ( strafbaarfeit), Konsep juga merumuskan
“Batasan/pengertian juridis” tentang sifat/hakikat tindak pidana, dalam pasal 12 konsep. Untuk
dapat dinyatakan sebagai tindak pidana, perbuatan yang telah memenuhi rumusan delik dalam
UU, harus juga bersifat melawan cara materill dengan menengaskan bahwa setiap tindak pidana
selalu dipandang bersifat melawan hukum.

Bagian terpenting dari suatu KUHP menurut Sudarto adalah Stelsel Pidananya. Stelsel
pidana yang ada dapat dijadikan ukuran sejauh peradaban bangsa yang bersangkutan. Dengan
demikian, hukum pidana adat dan the Living Law termasuk sanksi adatnya mendapat tempat
dalam pemaharuan perkembangan hukum pidana nasional baik sebgai sumber hukum pidana
negatif serta sangat beralasan atau mendapat pmbenaran, tidak hanya berdasrkan praktik hukum
kebiasaan nasional tetapi juga didunia internasional.

B. KELEBIHAN DAN KEKURANGAN ISI JURNAL

1. KELEBIHAN

15
a. Kedua jurnal ini memaparkan Abstsrak yang sudah cukup jelas dan tidak keluar dari
topik pembahasannya
b. Kedua jurnal ini memaparkan pembahasan yang sudah jelas, dimana topik bahasan
didalam setiap jurnal ini menggunakan kalimat kalimat yang orang umum mudah
mencernanya, sehingga tidak menimbulkan penafsiran yang aneh
c. Pembahasan materi pada kedua jurnal ini cukup luas dan mendalam, serta didukung oleh
pendapat para ahli.
d. Kedua jurnal ini memilki keterkaitan antara jurnal utama dengan jurnal pembanding,
yaitu sama sama terdapat topik tentang pembaharuan terhadap tindak hukum pidana atau
KUHP di Indonesia.
e. Pemaparan materi pada pendahuluan atau latar belakang pada kedua jurnalini sudah rapi
dan juga jelas , sehingga dengan tampilan pendahuluan atau latar belaknag yang jelas dan
tersusun rapi tentunya akan ada ketertarikan lebih dari pembaca untuk membaca jurnal
ini.
f. Penulisan pada ketiga jurnal menurut saya cukup teratur
g. Kedua jurnal ini menggunakan kata yang bersifat baku dan juga sudah sesuai dengan
kamu EYD bahasa indonesia.
h. Menyertakan kesimpulan dan daftar pustaka
i. ISSN pada kedua jurnal sudah terdaftar

2. KEKURANGAN
1. Walaupun isi dari masing masing jurnal sudah bagus, tetapi masih ada kekerungannya
yaitu karena masih terdapat beberapa kata dan kalimat pada jurnal yang menggunakan
bahasa yang tinggi yang tentunya juga akan mampu menimbulkan kebingungan dari
pembaca. Tidak semua kalimat tetapi ada beberapa kalimat saja, sekiranya begitu.
2. Walaupun pada kedua jurnal ini sudah menggunakan kalimat yang orang umum mudah
memahaminya, tetapi tetap masih terdapat kata/istilah yang cukup sulit untuk dipahami
ditambah dengan ketiadaan penjelasannya.
3. Format penulisan pada kedua jurnal ini masih kurang rapi, sebab masih terdapat
penempatan tanda baca seperti (.) (,) pada kalimat yang masih kuramg cocok sehingga

16
pembaca menjadi susah kaena harus lagi menyesuaikan makna dari kalimat kaliamt yang
ada pada jurnal.
4. Pembahasan dari kedua jurnal ini sudah jelas, tetapi penjelasan dari kedua jurnal ini juga
masih meimilki kekurangan yaitu pembahsan yang dipaparkan terlalu melebar khsusunya
di Jurnal Utama. Maksudnya ada kalimat yang sekiranya tidak perlu dibahas etapi di
jurna itu dibahas. Alangkah baiknya jika jurnal ini memaparkan isinya singkat tetapi
langsung ke point point yang langsung ke pokok pembahasannya

17
BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Bukan suatu hal yang mudah dalam memasukkan hukum adat yang jelas jelas bersifat
pluralistik di Indonesia. Walaupun tidak mudah, hal ini harus dilakukan sebab begitu pentingnya
pengakuan terhadap nilai nilai yang hidup di masyarakat sebagai hukum adat dalam sistem
hukum nasional atau hukum pidana untuk pemenuhan keadilan sosial sesuai dengan cita cita
nasional bangsa indonseia. Dalam pembaharuan hukum pidana Indonesia khususnya RUU
KUHP, hukum pidana dijadikan salah satu sumber untuk menentukan suatu perbuatan dapat di
pidana atau tidak, baik sebagai sumber yang positif maupun negatif. Sanksi adat berupa
pemenuhan kewajiban adat, disamping sebagai pidana tambahan, dapat juga menjadi pidana
yang diutamakan, semata mata terhadap pelanggaran hukum adat.

B. SARAN

Saran yang bisa saya berikan disini adalah didalam kehidupan bangsa dan negara apalagi
indonesia ini yang kental akan budaya yang tentuya pasti memiliki hukum yang khusus yaitu
hukum adat. Kita mengetahui hukum adat adalah hukum yang telah melekat dan mendarah
daging bagi masyrakat indonesia dari zaman dahulu bahkan sampai sekarang. Namun Jika kita
ingin menciptakan masyarakat yang sejahtera dan damai tentunya tidak hanya hukum adat yang
diutamakan, sebab hukum nasional atau hukum pidana juga menjadi salah satu pengikat
masyarakat dalam berperilaku. Maka dari itu alangkah lebih baik dan sempurnanya jika kedua
hukum ini baik hukum adat maupun hukum nasional harus saling mengisi serta saling berkaitan
dan berikatan. Tidak hanya itu jika ingin mendapatkan sebuah negara dengan masyarakat yang
damai, maka kedua hukum ini tidak boleh ego atau lebih menonjolkan siapa yang lebih baik dan
yang benar. Hendaknya hukum nasional harus melindungi hukum adat, begitupun hukum adat,
hukum adat juga harus melindungi serta memberikan dukungan dalam pembangunan hukum
pidana nasional. Jadi jika kedua hukum ini sudah sejalan dengan baik maka bukan tidak mungkin
kalau indonesia akan memiliki masyarakat yang sejahtera, aman, tenteram dan damai.

18
DAFTAR PUSTAKA

Rahmat Hi. Abdullah. 2015. Dalam Jurnal: Urgensi Hukum Adat Dalam Pembaharuan Hukum
Pidana Nasional. Fiat Jutisia Jurnal Hukum. Volume 9 No. 2, April 2015

Nyoman Serikat Putra Sajaya. 2016. Dalam Jurnal: Hukum (Sanksi) Pidana Adat Dalam
Pembaharuan Hukum Pidana Nasional. Jurnal IlmunIlmu Hukum. Volume 45 No. 2, April 2016

19

Anda mungkin juga menyukai