Oktavianus Y.A Nau - PerbaikanNilai
Oktavianus Y.A Nau - PerbaikanNilai
Daftar isi
Bab 1 Pendahuluan ...................................................................................................................3
A. Pengertian Budaya..............................................................................................................8
C. Komponen Budaya.............................................................................................................9
Bab 5 Kesimpulan....................................................................................................................23
5.1 Kesimpulan...........................................................................................................................23
5.2 saran.....................................................................................................................................23
3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Arsitektur dalam masyarakat adalah pembentukan ruang sebagai wadah tempat
kegiatan, ruang yang berwujud fisik, teknik, dan estetika, serta citra keindahan
lingkungan yang terdapat di sebuah lahan (Lynch, 1960). Ruang sendiri merupakan
elemen penting dalam arsitektur. Ruang yang dihasilkan dalam arsitektur, tidak bisa
muncul secara tiba-tiba tanpa adanya pemahaman tentang ruang dan elemen- elemen lain
yang berhubungan dengannya. Elemen- elemen yang dimaksud antara lain kondisi sosial,
budaya maupun kejiwaan dalam hubungan antar individu yang terlibat dan
lingkungannya. Ruang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, baik ruang yang
konkrit maupun ruang secara abstrak. Arsitektur terbentuk ketika ruang yang awalnya
tidak berbentuk namun kita bisa bergerak, melihat, mendengar didalamnya telah
ditetapkan melalui persepsi dan imajinasi manusia (Laurens, 2004). Menurut Laurens
(2004: 26) juga menyatakan bahwa arsitektur bukanlah sekedar benda status atau
sekumpulan objek fisik yang kelak akan lapuk. Mempelajari bidang ini berarti juga
mempelajari hal-hal yang tidak kasat mata sebagai bagian dari realitas, realitas yang
konkret dan realitas yang simbolik.
Menurut Tuan (1977), organisasi ruang dalam konteks tempat (place) dan ruang
(space) harus selalu dihubungkan dengan budaya saat menjelaskan maknanya dalam
konteks budaya yang berkaitan dengan ruang permukiman. Budaya dari setiap daerah
bersifat unik, artinya budaya di suatu daerah akan berbeda bahkan sangat berbeda
meskipun memiliki makna yang sama. Sedangkan ruang ritual merupakan ruang yang
terwujud pada suatu tempat khusus/sakral (sacred) atau pada waktu yang memiliki
kesakralan tertentu (Norget, 2000). Dalam pernyataan Knowles (1996), manusia tidak
akan pernah terlepas dari ritual. Ritual tersebut akan selalu ada dalam segala aspek
kehidupan manusia meski ia hidup dalam tipe masyarakat apa pun. Beberapa ritual
dianggap sebagai atribut budaya yang dilakukan secara kolektif dalam ruang bersama.
Budaya, disebut juga kebudayaan, secara etimologi berakar dari kata yaitu
buddhayah. Kata buddhayah yang dalam bahasa Sansekerta dapat dipahami sebagai akal
dan budi manusia, dapat diwariskan dari generasi ke generasi melalui proses pendidikan,
baik yang bersifat formal maupun adat. Hal ini sejalan dengan pernyataan
Koentjaraningrat dalam Kusumohamidjojo (2009) yang menegaskan bahwa, dilihat dari
sudut pandang antropologi, kebudayaan merupakan seluruh sistem ide dan rasa, tindakan,
serta karya yang diciptakan manusia, kemudian dianggap sebagai miliknya.
Kebudayaan manusia, sebagai hasil budidaya dapat dikategorikan menjadi dua,
yaitu:kebudayaan material (lahir) dan kebudayaan immaterial (spritual/batin)
Segala sesuatu yang diciptakan manusia sebagai makhluk yang berbudaya merupakan
perwujudan dari kebudayaan itu sendiri. Perwujudan kebudayaan itu dapat berupa
perilaku, peralatan hidup, bahasa, religi, seni, organisasi sosial dan sebagainya, yang
diciptakan dengan tujuan untuk membantu manusia dalam menjalankan kehidupan
bermasyarakatnya. Maka arsitektur dapat diletakkan sebagai hasil kebudayaan manusia
yang berwujud fisik meski pada dasarnya arsitektur tidak hanya mencakup wujud
kebudayaan secara fisik saja.
4
Selain itu keunikan yang dimiliki adalah bahwa proses ritual yang dilakukan merupakan
percampuran antara budaya Islami dan kejawen (animisme-dinamisme).
Turirejo, desa Sumber porong, desa Sumber ngepoh dan desa Mulyoarjo,
sedangkan 2 kelurahan tersebut adalah kelurahan Lawang dan kelurahan Kalirejo.
Kecamatan Lawang berbatasan langsung dengan Kabupaten Pasuruan disebelah
utara, Kecamatan Jabung di sebelah timur, Kecamatan Singosari disebelah selatan
dan Kecamatan Singosari disebelah barat
Lokasi penelitian berada di desa Polaman, Kecamatan Lawang, Kabupaten
Malang, Jawa Timur. Tempat ini terletak di Jalan Indrokilo, Dusun Polaman, Desa
Kalirejo, Lawang, Kabupaten Malang yang berada sekitar 5 km ke arah barat dari
pasar Lawang atau dari jalan raya Malang-Surabaya. Desa Polaman berada di
ketinggian 500-560 meter dpl dengan suhu rata-rata 23- 32C dan curah hujan rata-
rata 349 mm/tahun. Desa Polaman memiliki luas 30 hektar, desa ini masuk
wilayah RW 10 Kelurahan Kalirejo yang meliputi 4 RT, yaitu RT 01, RT 02, RT
03, RT 04, dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 257 KK. Jumlah penduduk
desa Polaman RW 10 sebanyak 897 jiwa, dengan jumlah warga laki-laki 445
orang dan warga perempuan 452 orang.
Batas Desa Polaman terdiri dari Desa Karangsono di sebelah utara, Desa Bedali
disebelah timur, Desa Bedali disebelah selatan dan Desa Sumber Mlaten disebelah
barat
349 mm/tahun. Hawa desa Polaman termasuk dingin karena berada di dekat
gunung Arjuno. Topografi yang mendominasi adalah tanah pertanian, sedangkan
kawasan permukiman berada diantara gunung dan sawah.
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 Kajian Budaya
a. Pengertian Budaya
Budaya merupakan cara hidup yang berkembang, serta dimiliki bersama
oleh kelompok orang, serta diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya ini
terbentuk dari berbagai unsur yang rumit, termasuk sitem agama dan politik, adat
istiadat, perkakas, bahasa, bangunan, pakaian, serta karya seni. Budaya
merupakan pola hidup yang menyeluruh. budaya memiliki sifat yang kompleks,
abstrak, serta luas. Bebagai budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur
sosial-budaya ini tersebar, serta meliputi banyak kegiatan sosial manusia.
Menurut Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski, mengemukakan
bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh
kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu
adalah Cultural-Determinism.
Menurut Selo Soemardjan, dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah
sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
Sedangkan menurut Effat al-Syarqawi mendefinisikan budaya berdasarkan
dari sudut pandang Agama Islam, Ia menjelaskan bahwa budaya adalah khazanah
sejarah sekelompok masyarakat yang tercermin didalam kesaksian & berbagai
nilai yang menggariskan bahwa suatu kehidupan harus mempunyai makna dan
tujuan rohaniah.
Menurut KBBI, Budaya berarti sebuah pemikiran, adat istiadat atau akal
budi. Secara tata bahasa, arti dari kebudayaan diturunkan dari kata budaya
dimana cenderung menunjuk kepada cara berpikir manusia.
Bermacam definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa kebudayaan
merupakan sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan, serta meliputi
sistem ide atau sebuah gagasan yang ada dalam pikiran seorang manusia,
sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak.
b. Unsur – Unsur Budaya
Melville J. Herskovits menyebutkan kebudayaan memiliki 4 unsur pokok,
yaitu:
1. Alat-alat teknologi
2. Sistem ekonomi
3. Keluarga
4. Kekuasaan politik
9
1. Bahasa
2. Sistem pengetahuan
3. Sistem tekhnologi, dan peralatan
4. Sistem kesenian
5. Sistem mata pencarian hidup
6. Sistem religi
7. Sistem kekerabatan, dan organisasi kemasyarakatan
c. Komponen Budaya
b. Ritual Perkawinan
Kecenderungan ini merupakan satu bentuk ciptaan yang ada pada diri manusia,
sebagai urgensi kelangsungan hidupnya. Seperti makan, minum dan menikah.
Tujuan perkawinan bagi masyarakat hukum adat yang bersifat
kekerabatan, adalah untuk mempertahankan dan meneruskan keturunan
menurut garis kebapakan dan keibuan atau keibu-bapakan, untuk kebahagiaan
keluarga/kerabat, untuk memperoleh adat budaya dan kedamaian, dan untuk
mempertahankan kewarisan.
Tujuan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan pasal 1 adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan tujuan
perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam adalah untuk mewujudkan
kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.Sebelum
menjelaskan mengenai pernikahan di Jawa maka perlu dijelaskan Dalam
undang-undang No.1 tahun 1974 pasal 1 menyebutkan bahwa pernikahan
adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami-istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa.
2.3 Budaya Bermukim
Budaya bermukim Kecamatan Lawang, atau sering disebut kota Lawang, merupakan
wilayah kabupaten Malang yang memilikisatu dari beberapa tempat wisata menarik
yang mempunyai keunikan dan cerita mistis yaitu Pemandian Sumber Polaman.
Di desa Polaman sendiri terdapat beberapa ruang bersama dan ruang budaya yang
terbentuk akibat aktivitas masyarakatnya. Ruang bersama yang terbentuk antara lain
ruang bersama yang terbentuk karena aktivitas kerohanian (pengajian, tahlilan dan
pertapaan), kerja bakti bersih desa, biyada/sinoman, gotong royong membongkar
rumah, membangun rumah. Sedangkan ruang ritual budaya yang ada adalah ruang yang
terbentuk karena aktivitas ritual wiwit / panenan dan ritual barikan. Biyada dan wiwit
merupakan bagian dari sebuah kebudayaan immaterial dalam masyarakat Jawa.
Sehingga ruang budaya yang terbentuk karena aktivitas biyada dan wiwit juga bersifat
immaterial. Berdasarkan pernyataan Sumendra (2013), maka budaya merupakan
bentuk majemuk budi-daya yang memiliki arti cipta, rasa dan karsa dari manusia.
dan barikan. Budaya masyarakat tersebut mengedepankan gotong royong dan tenggang
rasa antar anggota masyarakat. Sikap tenggang rasa dan gotong royong yang kuat
dimungkinkan karena adanya sistem kekerabatan yang dekat dalam masyarakat
Polaman. Ada beberapa warga yang merupakan pendatang di Polaman. Pendatang di
desa Polaman lebih disebabkan karena warga tersebut menikah dengan penduduk asli
Polaman. Sedangkan keluarga yang benar-benar berasal dari luar desa Polaman hanya
sebagian kecil saja. Sistem Kekerabatan yang masih dekat ini lah yang dapat dianggap
sebagai faktor guyubnya warga Polaman. Masyarakat Polaman merasa malu jika dia
memiliki perselisihan dengan warga lain karena adanya ikatan persaudaraan tersebut.
Sehingga hampir dalam seluruh aktivitas bersama, masyarakat Polaman memiliki sifat
gotong royong dan tenggang rasa yang tinggi. Menurut Tuan (1977), organisasi ruang
dalam konteks tempat (place) dan ruang (space) harus selalu dihubungkan dengan
budaya saat menjelaskan maknanya dalam konteks budaya yang berkaitan dengan
ruang permukiman. Doxiadis dalam Ekisticnya (Kuswartojo,1997) mengungkapkan
bahwa lingkungan permukiman merupakan suatu sistem yang terdiri dari 5 (lima)
elemen yaitu: nature (unsur alami), man (manusia), society (masyarakat), shell (tempat
atau lindungan), dan network (jaringan). Kelima elemen tersebut membentuk suatu
lingkungan permukiman yang terdiri atas nature (unsur alam) merupakan wadah,
manusia yang ada didalamnya membentuk kelompok-kelompok sosial yang berfungsi
sebagai suatu masyarakat. Kelompok sosial tersebut membutuhkan perlindungan
sebagai tempat untuk dapat melaksanakan kehidupannya berupa shell. Kemudian
berkembang bertambah besar dan semakin kompleks, sehingga membutuhkan network
untuk menunjang berfungsinya lingkungan permukiman tersebut. Pada dasarnya suatu
permukiman terdiri atas ”isi’ yaitu manusia, baik secara individual maupun dalam
masyarakat, dan ”wadah” yaitu lingkungan fisik permukiman yang merupakan wadah
bagi kehidupan manusia pengejewatahan dari tata nilai, sistem sosial dan budaya
masyarakat.
Polaman. Secara fisik, sumber mata air di Polaman memenuhi standar air bersih
dan ini sudah bukan lagi sumber air alami, melainkan sudah dibangun tandon-
tandon sumber air dan pipa-pipa penyalur air ke daerah yang lebih rendah.
Sumber air berada di bawah perbukitan dan sejak tahun 1900 telah didirikan
tandon oleh pemerintah kolonial Belandadan beberapa tambahan bangunan baru
dibangun oleh ABRI Masuk Desa (AMD) dan PDAM Kabupaten Malang.
Penyediaan air bersih dari mata air Polaman dan Kali Biru kepada seluruh
penduduk Kecamatan Lawang bagian Utara dibuat dengan menggunakan sistem
pembagian pendistribusian air dan waktu pengaliran air dari PDAM untuk
penduduk desa Mulyoarjo dan Sumber porong. Debit air yang didistribusikan
kepada seluruh penduduk sebesar 123,99 liter/detik atau 10.712.736 liter/hari dan
model pendistribusian air yaitu dengan simulasi pola pendistribusian air tiap desa
di Kecamatan Lawang bagian Utara pola pendistribusian tiap desa di Kecamatan
Lawang bagian utara yang terdiri dari desa Mulyoarjo dan desar Sumber Porong
dengan kebutuhan air bersih pada desa Mulyoarjo sebesar 448.732,5 liter/hari dan
desa Sumber Porong sebesar 496.092,87 liter/hari sehingga total kebutuhan air
bersih kedua desa tersebut sebesar 944.825,37 liter/hari.
Pola Hubungan Antar DesaMasyarakat pedesaan (sawah) dengan para petani yang
tinggal di pedesaan, sering disebut sebagai tiyang tani. Kreatifitas masyarakat
pedesaan berupa penyatuan faham primordial dengan patokan dan potensi alam.
Dalam hubungan kosmoslogi, masyarakat Pedesaan Jawa selalu memiliki lokasi
pepunden desa, baik berupa Makam Sesepuh, atau tempat sumber air (sumber
penghidupan) dengan pohon besar diatasnya, maupun tempat lain yang
dikeramatkan. Pada lokasi ini selalu diadakan ritual sebagai sarana menyatukan
hubungan antara makrokosmos dengan mikrokosmos.
Masyarakat lereng gunung oleh Hefner (1999) dilihat dari unsur karakter
masyarakatnya dan adanya relasi antara alam dengan pola hehidupan
masyarakatnya. Adanya alam pegunungan yang relatif dingin, dan memiliki
kondisi tertentu telah membentuk karakter masyarakat yang memiliki rasa
sederajat, bermatapencaharian berladang, serta memiliki pola spiritual yang
menunjukkan adanya relasi antara alan gunung dengan manusia sebagai
pengisinya.
Menurut Morgan (dalam Waterson, 1990), masyarakat Jawa, secara asli memiliki
Javamoncapat, yaitu sistem klasifikasi primitif bagi masyarakat Jawa, berupa
hubungan antar desa, pada 4 arah dengan pusat berupa desa ke-5. Dia menekankan
adanya hubungan faham ini dengan konsep kosmologi Hindu, meskipun
masyarakat desa Sumber Polaman banyak menganut muslim, tetapi budaya
kepercayaan adat Jawa Kuno masih kental dan sering mereka lakukan.
Masyarakat menganggap bahwa alam, dunia,
merupakan makrokosmos (dunia agung), dan pribadi/rumah merupakan
mikrokosmos (dunia alit).
Ungkapan mikrokosmos di dalam bangunan rumah terekspresi pada layout,
struktur, ornamen sebagai konsep kesatuan alam dan sosial. Secara bersama
masyarakat lereng gunung akan menjaga hubungan dengan gunung, dalam bentuk
tradisi, ritual, serta kepercayaan terhadap legenda yang mengkait ke gunung
(Lucas,1987).
15
BAB III
PEMBENTUKAN RUANG PERMUKIMAN
3.1 Pembentukan Ruang Permukiman studi kasus 1
Bahasa yang digunakan sehari-hari di desa Polaman adalah Bahasa Jawa. Bahasa Jawa
yang sering digunakan. yaitu bahasa Jawa Ngoko. Sedangkan bahasa jawa kromo inggil
sebagai bahasa ibu ini sudah jarang digunakan oleh anak- anak hanya orang dewasa dan
orang-orang lanjut usia yang masih tetap menggunakan bahasa Jawa Kromo inggil. Lahan
pertanian betupa tegal dan persawahan masih sangat luas dan subur dengan tanaman padi
serta selada air. Fisik lingkungan di Polaman Lawang berawal dari perkembangan arsitektur
yang dipengaruhi oleh latar belakang masyarakat yang sebagian besar merupakan masyarakat
menengah ke bawah dengan penghasilan sehari hari dari hasil pertanian, hasil ternak dan
sebagai buruh pabrik. Secara fisik, permukiman desa Sumber Polaman ini di kelilingi oleh
persawahan (desa bagian timur), sedangkan desa bagian barat berada di lereng gunung.
Tinjauan secara makro dilihat dari adanya hubungan antar desa, baik hubungan secara
vertikal, yaitu antara makrokosmos-mikrokosmos, maupun hubungan secara horisontal
berupa hubungan antar desa. Desa Polaman merupakan desa yang masih banyak mengadakan
acara adat setempat, Selain itu masih banyak pengajian desa yang berhubungan dengan
agama mayoritas mereka, yaitu muslim. Hubungan antar desa dalam bentuk lain adalah
hubungan ekonomi. Sebagai sebuah permukiman Desa Sumber Polaman ini tidak memiliki
pasar secara menetap. Menurut Bapak Saidan (juru kunci makam desa) memang daerah
gunung selayaknya tidak memiliki pasar. Bila ingin belanja, mereka memanfaatkan warung,
atau pada waktu akan berbelanja dalam jumlah banyak, dengan cara menukarkan hasil panen
ke pasar Lawang.
Gambar 8. Peta pola permukiman Desa Polaman (sumber: BPN Kabupaten Malang, 2010)
17
BAB IV
ANALISA
4.1 Pola Ruang/pembentukan ruang pada topik – Lokasi Terpilih
Ruang budaya masyarakat Lokasi yang menjadi obyek penelitian memiliki beberapa
budaya, dengan ataupun tanpa ritual. Budaya masyarakat yang ada di desa Polaman ini antara
lain biyada pada saat pernikahan warga, ritual wiwit/panen, dan barikan. Budaya masyarakat
tersebut mengedepankan gotong royong dan tenggang rasa antar anggota masyarakat. Warga
Rt 03 dan 04, RW 10, Kelurahan Kalirejo, desa Polaman merupakan satu-satunya kelompok
masyarakat di kecamatan Lawang yang masih melaksanakan ritual budaya tersebut. Acara
wiwit / panen dilakukan sebagai wujud syukur kepada Tuhan YME serta sebagai permohonan
agar masyarakat Polaman terhindar dari mara bahaya. Hal ini lah yang menjadikan desa
Polaman unik. Selain itu keunikan yang dimiliki adalah bahwa proses ritual yang dilakukan
merupakan percampuran antara budaya Islami dan kejawen (animisme-dinamisme). Karena
merupakan hasil akulturasi budaya yang berbeda maka ruang budaya yang terbentuk karena
aktivitas batikan di Polaman menjadi unik. Karakteristik sosial masyarakat Masyarakat di
desa Polaman merupakan masyarakat yang agamis. Hal ini tercermin dari kegiatan-kegiatan
agama yang dilakukan masyarakat baik rutin maupun insidental, baik di tingkat rt maupun
rw. Terdapat 2 agama dan 1 kepercayaan yang dipeluk oleh masyarakat Rt 03 dan 04, yaitu
agama Islam, Kristen dan kepercayaan Sapto Dharmo. Setiap anggota masyarakat dapat
melaksanakan kegiatan religi dengan bebas sesuai keyakinannya. Meski memiliki karakter
yang agamis, dalam kehidupan bermasyarakatnya tenggang rasa dan gotong royong selalu
dilakukan. Hal ini merupakan salah satu ciri masyarakat Jawa yang masih dimiliki
masyarakat desa Polaman. Sistem KekerabatanSikap tenggang rasa dan gotong royong yang
kuat dimungkinkan karena adanya sistem kekerabatan yang dekat dalam masyarakat
Polaman. Ada beberapa warga yang merupakan pendatang di Polaman. Pendatang di desa
Polaman lebih disebabkan karena warga tersebut menikah dengan penduduk asli Polaman.
Sedangkan keluarga yang benar-benar berasal dari luar desa Polaman hanya sebagian kecil
saja. Sistem Kekerabatan yang masih dekat ini lah yang dapat dianggap sebagai faktor
guyubnya warga Polaman. Masyarakat Polaman merasa malu jika dia memiliki perselisihan
dengan warga lain karena adanya ikatan persaudaraan tersebut. Sehingga hampir dalam
seluruh aktivitas bersama, masyarakat Polaman memiliki sifat gotong royong dan tenggang
rasa yang tinggi.
4.2 Pola ruang/pembentukan Ruang Pada study kasus
Masyarakat pedesaan (sawah) dengan para petani yang tinggal di pedesaan, sering
disebut sebagai tiyang tani. Kreatifitas masyarakat pedesaan berupa penyatuan faham
primordial dengan patokan dan potensi alam. Dalam hubungan kosmoslogi, masyarakat
Pedesaan Jawa selalu memiliki lokasi pepunden desa, baik berupa Makam Sesepuh, atau
tempat sumber air (sumber penghidupan) dengan pohon besar diatasnya, maupun tempat lain
yang dikeramatkan. Pada lokasi ini selalu diadakan ritual sebagai sarana menyatukan
20
hubungan antara makrokosmos dengan mikrokosmos. Masyarakat lereng gunung oleh Hefner
(1999) dilihat dari unsur karakter masyarakatnya dan adanya relasi antara alam dengan pola
hehidupan masyarakatnya. Adanya alam pegunungan yang relatif dingin, dan memiliki
kondisi tertentu telah membentuk karakter masyarakat yang memiliki rasa sederajat,
bermatapencaharian berladang, serta memiliki pola spiritual yang menunjukkan adanya relasi
antara alan gunung dengan manusia sebagai pengisinya. Menurut Morgan (dalam Waterson,
1990), masyarakat Jawa, secara asli memiliki Javamoncapat, yaitu sistem klasifikasi primitif
bagi masyarakat Jawa, berupa hubungan antar desa, pada 4 arah dengan pusat berupa desa ke-
5. Dia menekankan adanya hubungan faham ini dengan konsep kosmologi Hindu, meskipun
masyarakat desa Sumber Polaman banyak menganut muslim, tetapi budaya kepercayaan adat
Jawa Kuno masih kental dan sering mereka lakukan. Masyarakat menganggap bahwa alam,
dunia,merupakan makrokosmos (dunia agung), dan pribadi/rumah merupakan mikrokosmos
(dunia alit).Ungkapan mikrokosmos di dalam bangunan rumah terekspresi pada layout,
struktur, ornamen sebagai konsep kesatuan alam dan sosial. Secara bersama masyarakat
lereng gunung akan menjaga hubungan dengan gunung, dalam bentuk tradisi, ritual, serta
kepercayaan terhadap legenda yang mengkait ke gunung (Lucas,1987). Sosial budaya
masyarakat di kawasan dusun Polaman Lawang sangat kental dengan budaya ritual
keagamaan yang selalu dilakukan pada hari dan tempat tertentu, misalnya sholat berjamaah di
masjid desa, kegiatan tahlilan/ wiridan serta acara pengajian setiap kamis malam Jum’at legi
di masjid dan rumah warga. Hal ini dikarenakan sebagian masyarakat desa Polaman
mayoritas beragama Islam. Kondisi masyarakat Polaman terlihat guyub dan aktif dalam
kegiatan sosial seperti menjaga kampung secara bergantian, kegiatan karang taruna, dan
kegiatan ibu- ibu PKK di desa.
Gambar 12. Diagram Sistem Organisasi Sosial (sumber: analisis, 2015)
bersifat insidental, maka ruang budaya yang terbentuk pun bersifat sementara atau remanen.
Pada ritual wiwit, ruang yang awalnya bersifat profan berubah menjadi sebuah ruang yang
bersifat sakral. Pelaksanaan kegiatan tradisi budaya di desa Polaman Lawang merupakan
wujud konsistensi masyarakat dalam melaksanakan tradisi budaya yang telah dilakukan
secara turun temurun Hal ini menunjukkan bahwa mitos dan sejarah masyarakat desa
Polaman memiliki peran penting dalam membentuk kepercayaan bagi masyarakat untuk terus
melanjutkan adat tradisi budaya mereka. Ritual wiwit merupakan salah satu ritual yang
dilakukan secara rutin oleh warga desa Polaman dilakukan akrivitas panen padi. Wiwit atau
ada pula yang menyebutnya wiwitan, adalah upacara tradisi yang secara turun temurun
dilakukan oleh keluarga petani. Wiwit biasa dilakukan menjelang musim panen atau diawal
musim panen padi biyada mempersiapkan makanan sejak dini hari. Pada resepsi tersebut para
remaja laki-laki biasanya bertugas menjadi pagar bagus dan sebagian lagi bertugas mengatur
area arkir yang menggunakan sebagian jalan raya dan juga mengatur lalu lintas. Sedangkan
sebagian remaja putri akan menjadi pagar ayu dan membantu berlangsungnya acara. Setelah
resepsi pernikahan, sebagian warga yang melakukan biyada tidak langsung pulang tetapi
membersihkan tempat resepsi dan segala sesuatunya. Kemudian esok harinya, sebagian ibu-
ibu yang setelah acara resepsi pulang ke rumahnya akan kembali mempersiapkan makanan
untuk acara sepasar.
4.5 Perbandingan Studi Kasus
Studi Kasus 1
Ruang Budaya Pada Proses Daur Hidup (Pernikahan) dan Tradisi
Wiwit di Desa Sumber Polaman, Lawang Jawa Timur (Fifi Damayanti Universitas
Brawijaya, Malang, Indonesia). Dalam penelitian ini digunakan metode penelitian deskriptif
kualitatif.Peneliti ingin meneliti mengenai ruang budaya masyarakat dengan data yang
bersifat tidak numerik. Pendekatanyang digunakan adalah pendekatan fenomenologi.
Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan pola peruangan kegiatan ritual budaya di desa
Polaman serta menganalisis ruang budaya yang terbentuk akibat ritual budaya
dengan melihat pola perubahan perilaku dari masyarakat yang melakukan ritual budaya
tersebut. Ruang budayadi Polaman Lawang menjadi potensi daerah yang harus dilindungi,
sehingga menjadi kawasan wisata budaya lokal yang menarik dan banyak dikunjungi
wisatawan. Lokasi yang menjadi obyek penelitian memilik beberapa budaya, dengan ataupun
tanpa ritual. Budaya masyarakat yang ada di desa Polaman ini antara lain biyada pada saat
pernikahan warga, ritual wiwit/panen, dan barikan.
Budaya masyarakat tersebut mengedepankan gotong royong dan tenggang rasa antar
anggota masyarakat. Warga Rt 03 dan 04, RW 10, Kelurahan Kalirejo, desa Polaman
merupakan satu-satunya kelompok masyarakat di kecamatan Lawang yang masih
melaksanakan ritual budaya tersebut. Acara wiwit / panen dilakukan sebagai wujud syukur
kepada Tuhan YME serta sebagai permohonan agar masyarakat Polaman terhindar dari mara
bahaya. Hal ini lah yang menjadikan desa Polaman unik. Selain itu keunikan yang dimiliki
adalah bahwa proses ritual yang dilakukan merupakan percampuran antara budaya Islami dan
kejawen (animisme-dinamisme). Masyarakat desa Polaman memiliki karakteristik sebagai
masyarakat yang guyub atau memiliki derajat kohesi yang tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan
adanya aktivitas sosial maupun aktivitas religi yang dilakukan sehingga membentuk sebuah
ruangbudaya berdasarkan aktivitasnyaRuang budaya yang terbentuk akibat aktivitasbudaya di
22
desa Polaman diantaranya ruang budaya biyada dan wiwitan. Oleh karena pelaksanaan
keduaaktivitas budaya tersebut bersifat insidental, makaruang budaya yang terbentuk pun
bersifat sementara atau remanen. Pada ritual wiwit, ruang yang awalnyabersifat profan
berubah menjadi sebuah ruang yangbersifat sakral. Pelaksanaan kegiatan tradisi budayadi
desa Polaman Lawang merupakan wujudkonsistensi masyarakat dalam melaksanakan tradisi
budaya yang telah dilakukan secara turun temurun.
Studi Kasus 2
Lokasi penelitian di Desa Woloara Dusun Nuaone Kecamatan Kelimutu
Kabupaten Ende.Berdasarkan kriteria-kriteria yang telah disebutkan di atas, maka site
dimana bangunan rumah adat direncanakan untuk bangun kembali adalah site yang
terletak di desa Woloara dusun nuaone. Pencapaian ke lokasi ini dapat dilakukan dengan
menggunakan kendaraan pribadi roda dua maupun roda empat atau dengan kendaraan umum.
(lumbung).
Dilakukan dengan dua tahapan yaitu survey primer dan survey sekunder. Survey
primer berupa observasi yaitu pengamatan langsung terhadap obyek penelitian dan
wawancara langsung kepada pranata adat Desa Nuaone dan masyarakat sekitar desa.
Sedangkan survey sekunder yaitu studi literature melalui buku- buku dan sumber- sumber
tertulis tentang Profil Lokasi Dusun Nuaone, Desa Woloara. Metode pembahasan secara
deskriptif yaitu dengan memaparkan, menguraikan dan menjelaskan mengenai design
Reqruipment (persyaratan desain) dan design determinant (ketentuan desain) dari
persyaratan desain dan ketentuan desain dapat ditelusuri data-data yang dibutuhkan.
Jarak pemukiman adat Desa Woloara dari pusat kota Ende sekitar 48 Km, seperti
pemukiman suku Lio pada umumnya, Desa Woloara sendiri merupakan desa yang
masih menjaga adat istiadat budaya Suku Ende Lio. Hal ini bisa dilihat dari pola
pemukiman yang masih memegang nilai-nilai budaya dan tradisi setempat, pemukiman
adat suku Ende Lio Desa Woloara, Dusun Nuaone memiliki berbagai macam bangunan mulai
dari Sao Ria (rumah besar), Sao Keda (tempat musyawarah), Kanga (arena lingkaran), Tubu
Musu (tugu batu), Rate (kuburan), Sao Bhaku (tempat ritual), Sao Kuwu Lewa (dapur
umum), dan Kebo Ria.
Ciri khas permukiman adat Suku Ende Lio sangat berbeda dengan pemukiman
tradisional yang ada di Indonesia pada umumnya. Rumah tradisional Suku Ende Lio yang
lazimnya disebut dengan Sao Ria (Rumah besar), ada juga bangunan pendukung lainnya
adalah Sao Keda (tempat musyawarah) merupakan tempat dilaksanakan musyawarah adat
beserta upacara-upacara adat, Kanga (arena lingkaran) adalah pelataran yang berbentuk
bulat dan berpagar batu merupakan tempat suci dan simbol kekuatan di situlah para
moyang dikuburkan dan diberi persembahan serta tempat untuk melangsungkan upacara
adat, Tubu Musu (Tugu batu) yang letaknya pada bagian tengah kanga atau arena
lingkaran, Pemukiman Tradisional Dusun Nuaone merupakan satu kawasan masyarakat
Ende Lio yang masih sarat muatan adat dan budayanya.
23
Studi Kasus 3
Dusun Limbungan yang terletak dikawasan kaki Gunung Rinjani ini memilikikawasan
rumah adat menempati dua gugus,yaitu Limbungan Timur sebanyak 68 unit rumah dan
Limbungan Barat sebanyak 71 unit rumah.Kedua hunian itu dibatasi tanaman hidup dan
pagar bambu yang dianyam kasar, yang mereka sebut kampu. Rumah-rumah mereka
berdinding bambu yang dianyam, berlantai tanah campuran tahi kerbau, beratap alang-alang,
dengan rangka konstruksi campuran kayu dan bambu. Dusun ini sudah ditetapkan sebagai
desa budaya oleh pemerintah Lombok Timur, sebagai salah satu perkampungan tradisional
dengan rumah-rumah adat dengan keunikan sosial budaya yang masih kental.Pola tata ruang
permukiman tradisional serta gaya arsitektur tradisional yang terdapat diDusun Limbungan
merupakan salah satu bentukpusaka budaya yang kaya akan nilai sejarah,filosofi, seni, dan
budaya masyarakat setempat.Oleh karena itu sebagai salah satu desa adat yang memiliki pola
tata ruang permukiman unikyang sarat akan nilai budaya, Dusun Limbungan perlu
mendapatkan perhatian khusus yang dimaksudkan untuk tetap memperhatikan eksistensi dan
kesinambungan prinsip-prinsip ke dalam tradisi yang baku, yaitu berupa pola tata ruang
permukiman tradisional yang telah terwujud dalam ruang tradisional Dusun Limbungan.
Metode yang digunakan dalam studi ini adalah metode deskriptif evaluatif, melalui
observasi, kuisioner, dan wawancara.Pengambilan sampel dihitung dengan rumus Slovin,
menggunakan teknik pengambilan proporsional untuk mendapatkan sampel yangmerata di
seluruh wilayah studi. Pola permukiman Dusun Limbungan dipengaruhi oleh faktor berikut:
Faktor kepercayaan penduduk terhadap faktor keamanan dan rumah penduduk dalam
memperoleh cahaya matahari karena bagunan rumah yang tidak memiliki jendela, hal ini
yang memandang arah timur sebagai arah yang diutamakan sebagai sumber kekuatan selain
itu juga didukung sebagai alat pertahanan untuk mengetahui saat mereka saat diserang oleh
musuh.Faktor hukum adat yang menuntut penduduk Limbungan untuk menjaga rumah asli
mereka baik dari bahan rumah yang terbuat dari bahan alam, orientasi massa bangunan, serta
pola rumah asli Suku Sasak tersebut. Adanya kepatuhan penduduk terhadap hukum adat dan
kearifan lokal (genius local) penduduk merupakan faktor paling penting terhadap pelestarian
keutuhan rumah asli ini.Membentuk pola grid yang mengelompok menjadi satu kesatuan,
rumah-rumah dan elemennya disusun berjejer rapi seperti tusuk sate, pola ini mencerminkan
sistem kekerabatan.
24
BAB V
KESIMPILAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Ruang budaya merupakan ruang yang mewadahi aktivitas kebiasaan hidup masyarakat
di suatu komunitas sebagai cerminan budaya, tradisi, ritual keagamaan dari masyarakatnya.
Toleransi ruang yang terjadi adalah berkaitan dengan kebutuhan manusia sebagai makhluk
sosial yang membutuhkan interaksi dengan manusia lainnya dan lingkungan tempat
tinggalnya. Ritual budaya tersebut membentuk ruang budaya dimana simbol-simbol
digunakan sebagai bentuk penghubung secara vertikal maupun horisontal dalam hubungan
dan interaksi kelompok manusia. Bentuk dan ruang tergantung pada persepsi seseorang
terhadap batas- batas spasial yang didefinisikan oleh elemen-elemen bentuk. Ketika ruang
mulai dirasakan dan terbentuk oleh elemen massa maka saat itulah arsitektur hadir.
Masyarakat desa Polaman memiliki karakteristik sebagai masyarakat yang guyub atau
memiliki derajat kohesi yang tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan adanya aktivitas sosial
maupun aktivitas religi yang dilakukan sehingga membentuk sebuah ruang budaya
berdasarkan aktivitasnya Ruang budaya yang terbentuk akibat aktivitas budaya di desa
Polaman diantaranya ruang budaya biyada dan wiwitan. Oleh karena pelaksanaan kedua
aktivitas budaya tersebut bersifat insidental, maka ruang budaya yang terbentuk pun bersifat
sementara atau remanen. Pada ritual wiwit, ruang yang awalnya bersifat profan berubah
menjadi sebuah ruang yang bersifat sakral. Pelaksanaan kegiatan tradisi budaya di desa
Polaman Lawang merupakan wujud konsistensi masyarakat dalam melaksanakan tradisi
budaya yang telah dilakukan secara turun temurun Hal ini menunjukkan bahwa mitos dan
sejarah masyarakat desa Polaman memiliki peran penting dalam membentuk kepercayaan
bagi masyarakat untuk terus melanjutkan adat tradisi budaya mereka.
5.2 Saran
upacara adat ritual desa ini rutin dilakukan masyarakat setempat untuk menghormati
arwah leluhur sebagai permohonan kepada Tuhan untuk kemakmuran masyarakat desa.
Ritual budaya tersebut membentuk ruang budaya Ruang budaya di Polaman Lawang menjadi
potensi daerah yang harus dilindungi, sehingga menjadi kawasan wisata budaya lokal yang
menarik dan banyak dikunjungi wisatawan.
25
DAFTAR PUSTAKA
Aron Mbete, Dkk (2006). Khasanah Budaya Lio-Ende, Pustaka Larasan, Dinas
Pendidikan Dan Kebudayaan Kabupaten Ende.
Aset Seni Budaya Daerah Kabupaten Ende (2003). Dinas Pariwisata Kab.Ende,