Anda di halaman 1dari 45

MAKALAH

PELAYANAN KEBIDANAN DALAM PERSPEKTIF BUDAYA LOKAL


“BUDAYA SUKU BALI”

OLEH :
NI NYOMAN SRI YUNIARTI
P07124117024

POLI TEKNIK KESEHATAN KEMENKES PALU


PRODI DIII KEBIDANAN TINGKAT II A
PERIODE 2018/2019

1
KATA PENGANTAR
Puji syukur penyusun haturkan kehadirat Tuhan yan Maha Esa. Karena atas rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kelompok kami dapat menyelesaikan tugas yang Berjudul “Perspektif
Kesehatan Ibu Dan Anak Dalam Budaya Kaili” tugas ini disusun untuk memenuhi tugas mata
kuliah Pelayanan Kebidanan Dalam Perspektik Budaya Lokal
Dalam penyusunan makalah ini sekiranya masih banyak kekurangan dan masih jauh dari
kesempurnaanya, oleh karena itu kritik dan saran dari dosen dan teman-teman sangat kami
butuhkan demi penyempurnaan makalah kami ini. Kami berharap, makalah ini dapat diterima
dan bermanfaat bagi siapa saja yang membaca dan dapat digunakan sebagai bahan referensi
untuk pembelajaran. Akhir kata dari kami ucapkan terima kasih .

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………………… 1
A. LATAR BELAKANG……………...……………………………………………………… 1
B. RUMUSAN MASALAH………………………………………………………………..… 2
C. TUJUAN…………………………………………………………………………...………. 3

BAB II PEMBAHASAN………………………………………………………...………… 4
2.1 KONSEP BUDAYA SECARA UMUM………………….…………………………… 4
2.2 MEMAHAMI BUDAYA BALI……………………………………………………… 5
2.3 KONTEKS PESPEKTIF KESEHATAN IBU DAN ANAK DALAM BUDAYA
SUKU BALI………………………………………………………………………….. 16
2.4 SUDUT PANDANG KESEHATAN IBU DAN ANAK DALAM BUDAYA
SETEMPAT DITINJAU DARI PANDANGAN POSITIF DAN NEGATIF………. 36
2.5 PENGEMBANGAN BUDAYA SETEMPAT DALAM PERSPEKTIF
KESEHATAN IBU DAN ANAK……………………………………………………. 38
2.6 ALKULTURAL BUDAYA DI INDONESEIA……………………………………… 43
2.7 PRAKTIK PENGEMBANGAN BUDAYA SETEMPAT DALAM KONTEKS
KESEHATANIBU DAN ANAK PADA PENERAPAN ASUHAN KEBIDANAN… 49

BAB III PENUTUP…………………………...…………………………………………… 52


3.1 KESIMPULAN……………………………………………………………………….. 52
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………..………………. 53

3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG

Kebudayaan berasal dari kata sansekerta buddayah, yang merupakan bentuk


jamak dari buddhi, yang berarti budi atau akal. Dengan demikian, kebudayaan berarti hal-
hal yang bersangkutan dengan akal. Adapun ahli antropologi yang merumuskan definisi
tentang kebudayaan secara sistematis dan ilmiah adalah Taylor, yang menulis dalam
bukunya: “Primitive Culture”, bahwa kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks,
yang di dalamnya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum,
adat-istiadat, dan kemampuan lain, serta kebiasaan yang di dapat oleh manusia sebagai
anggota masyarakat (Ranjabar, 2006).
Bali berasal dari kata “Bal” dalam bahasa Sansekerta berarti “Kekuatan”, dan
“Bali” berarti “Pengorbanan” yang berarti supaya kita tidak melupakan kekuatan kita.
Supaya kita selalu siap untuk berkorban. Bali mempunyai 2 pahlawan nasional yang
sangat berperan dalam mempertahankan daerahnya yaitu I Gusti Ngurah Rai dan I Gusti
Ketut Jelantik.
Kebudayaan Bali pada hakikatnya dilandasi oleh nilai-nilai yang bersumber pada
ajaran agama Hindu. Masyarakat Bali mengakui adanya perbedaaan ( rwabhineda ), yang
sering ditentukan oleh faktor ruang ( desa ), waktu ( kala ) dan kondisi riil di lapangan
(patra ). Konsep desa, kala, dan patra menyebabkan kebudayaan Bali bersifat fleksibel
dan selektif dalam menerima dan mengadopsi pengaruh kebudayaan luar. Pengalaman
sejarah menunjukkan bahwa komunikasi dan interaksi antara kebudayaan Bali dan
budaya luar seperti India (Hindu), Cina, dan Barat khususnya di bidang kesenian telah
menimbulkan kreatifitas baru dalam seni rupa maupun seni pertunjukkan. Tema-tema
dalam seni lukis, seni rupa dan seni pertunjukkan banyak dipengaruhi oleh budaya India.
Demikian pula budaya Cina dan Barat/Eropa memberi nuansa batu pada produk seni di
Bali. Proses akulturasi tersebut menunjukkan bahwa kebudayaan Bali bersifat fleksibel
dan adaptif khususnya dalam kesenian sehingga tetap mampu bertahan dan tidak
kehilangan jati diri (Mantra 1996).

4
Selain nilai-nilai keseimbangan dan harmonisasi, dalam kebudayaan Bali juga
dikenal adanya konsep tri semaya yakni persepsi orang Bali terhadap waktu. Menurut
orang Bali masa lalu (athita ), masa kini ( anaghata ) dan masa yang akan datang
( warthamana ) merupakan suatu rangkaian waktu yang tidak dapt dipisahkan satu
dengan lainnya. Kehidupan manusia pada saat ini ditentukan oleh hasil perbuatan di masa
lalu, dan perbuatan saat ini juga menentukan kehidupan di masa yang akan datang.
Dalam ajaran hukum karma phaladisebutkan tentang sebab-akibat dari suatu perbuatan,
perbuatan yang baik akan mendapatkan hasil yang baik. Demikian pula seBaliknya,
perbuatan yang buruk hasilnya juga buruk atau tidak baik bagi yang bersangkutan.

1.2 RUMUSAN MASALAH


A. Bagaimana Konsep Budaya Secara Umum?
B. Bagaimana Pemahamam Budaya Setempat?
C. Bagaimana Sudut Pandang Kesehatan Ibu Dan Anak Dalam Budaya Setempat? Yang
Ditinjau Dari Pandangan Positif Dan Negatif?
D. Bagaimana Aktualisasi Budaya Diindonesia?
E. Apa Saja Praktik Pengembangan Budaya Setempat Dalam Konteks Kesehatan Ibu
Dan Anak Pada Penerapan Asuhan Kebidanan?

1.3 TUJUAN
A. Mahasiswa Dapat Mengetahui Bagaimana Konsep Budaya Secara Umum
B. Mahasiswa Dapat Memahami Budaya Setempat
C. Mahasiswa Mengetahui Bagaimana Sudut Pandang Kesehatan Ibu Dan Anak Dalam
Budaya Setempat Yang Ditinjau Dari Pandangan Positif Dan Negatif
D. Mahasiswa Dapat Mengetaui Apa Saja Aktualisasi Budaya Diindonesia
E. Mahasiswa Mengetahui Bagaimana Praktik Pengembangan Budaya Setempat Dalam
Konteks Kesehatan Ibu Dan Anak Pada Penerapan Asuhan Kebidanan

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.8 KONSEP BUDAYA SECARA UMUM


2.8.1 PENGERTIAN BUDAYA
Kebudayaan berasal dari kata sansekerta buddayah, yang merupakan bentuk
jamak dari buddhi, yang berarti budi atau akal. Dengan demikian, kebudayaan berarti
hal-hal yang bersangkutan dengan akal. Adapun ahli antropologi yang merumuskan
definisi tentang kebudayaan secara sistematis dan ilmiah adalah Taylor, yang
menulis dalam bukunya: “Primitive Culture”, bahwa kebudayaan adalah keseluruhan
yang kompleks, yang di dalamnya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan,
kesenian, moral, hukum, adat-istiadat, dan kemampuan lain, serta kebiasaan yang di
dapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat (Ranjabar, 2006).
Goodenough (dalam Kalangie, 1994) mengemukakan, bahwa kebudayaan
adalah suatu sistem kognitif, yaitu suatu sistem yang terdiri dari pengetahuan,
kepercayaan, dan nilai yang berada dalam pikiran anggota-anggota individual
masyarakat. Dengan kata lain, kebudayaan berada dalam tatanan kenyataan yang
ideasional. Atau, kebudayaan merupakan perlengkapan mental yang oleh anggota-
anggota masyarakat dipergunakan dalam proses orientasi, transaksi, pertemuan,
perumusan, gagasan, penggolongan, dan penafsiran perilaku sosial nyata dalam
masyarakat mereka.
Soemardjan dan Soemardi (dalam Soekanto, 2007) merumuskan,
kebudayaansebagai semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. Karya masyarakat
menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah
(material culture) yang diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam sekitarnya
agar kekuatan serta hasilnya dapat diabdikan untuk keperluan masyarakat.
Menurut Koentjaraningrat (2002) mengatakan, bahwa menurut ilmu
antropologi kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya
manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan millik diri manusia
dengan belajar. Dia membagi kebudayaan atas 7 unsur: sistem religi, sistem

6
organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, sistem mata pencaharian hidup,
sistem teknologi dan peralatan bahasa dan kesenian. Kesemua unsur budaya tersebut
terwujud dalam bentuk sistem budaya/adat-istiadat (kompleks budaya, tema budaya,
gagasan), sistem sosial (aktivitas sosial, kompleks sosial, pola sosial, tindakan), dan
unsur-unsur kebudayaan fisik (benda kebudayaan)
2.8.2 MACAM-MACAM BUDAYA DI INDONESIA

Menurut TAP MPR No.11 tahun 1998 kebudayaan Nasional adalah


perwujudan cipta, karya dan karsa bangsa Indonesia dan merupakan keseluruhan
daya upaya manusia Indonesia untuk mengembangkan harkar dan martabat bangsa,
serta diarahkan untuk memberikan wawasan dan makna pada pembangunan nasional
dalam segenap kehidupan bangsa. Dengan demikian pembangunan nasional
merupakan pembangunan yang berbudaya.
Kebudayaan Indonesia tersebar di banyak daerah. Tersebar di 33 Provinsi
yang ada di Indonesia dengan berbagai ciri khas dan karakteristik. Bentuknya pun
dapat bermacam-macam. Karena sejatinya kebudayaan adalah nilai-nilai kedaerahan
yang dikemas dalam berbagai bentuk. Macam macam kebudayaan tersbeut
diantaranya :
2.8.2.1 Rumah Adat
Rumah adat adalah salah satu bentuk kebudayaan Indonesia yang lahir dari
seni bangunan atau arsitektur dan biasanya memiliki cirikhas khusus
tergantung pada daerah asalnya. Bentuk kebudayaan satu ini digunakan untuk
tempat hunian oleh suatu suku bangsa tertantu. Dan tahukah kamu bahwa
rumah adat yang ada di setiap daerah merupakan representasi daripada
kebudayaan yang paling tinggi dalam sebuah komunitas suku ataupun
masyarakat.
2.8.2.2 Pakaian Adat
Pakaian adat atau pakaian tradisional juga merupakan salah satu dari
banyaknya kebudayaan yang ada di Indonesia. Selain karena ciri khas dari
setiap daerah, pakaian adat juga dapat merepresentasikan karakter ataupun
prinsip dari suku atau masyarakat daerah tertentu. Indonesia memiliki banyak

7
sekali pakaian adat yang ada di setiap daerahnya, bahkan ada beberapa daerah
yang memiliki lebih dari satu jenis pakaian adat. Selain itu pakaian adat
Indonesia juga kerap menuai pujian dari negara-negara lain..
2.8.2.3 Upacara Adat
Salah satu cara untuk mengenang dan mengenal sejarah suatu suku atau
masyarakat adalah melalui upacara. Arti dari kata upcara adalah serangkaian
tindakan atau perbuatan yang terikat pada aturan tertentu berdasarkan adat
istiadat, agama dan kepercayaan. Istilah upacara adat sendiri memiliki arti
yakni salah satu cara menelusuri jejak sejarah masyarakat Indonesia pada
masa praaksara. Upacara adat yang dimaksud disini diantaranya upacara
penguburan, upacara perkawinan, upacara labuhan, upacara camas pusaka
dan masih banyak lagi.
2.8.2.4 Seni Musik
Musik nusantara merupakan cabang seni khususnya seni musik yang lahir dan
berkembang di seluruh wilayah kepualaun Indonesia dan juga merupakan
kebiasaan turun menurun yang masih dijalankan dalam masyarakat. Seperti
halnya kebudayaan lainnya, seni musik juga tersebar di seluruh daerah dan
memiliki cirikhas masing-masing. Cabang seni musik nusantara ini juga dapat
digolongkan ke dalam beberapa jenis seperti : Musik daerah (karawitan,
keroncong, dll), musik perjuangan (Lagu-lagu nasional seperti halo-halo
bandung, dll), musik anak-anak (Pok Ame-ame, Kasih Ibu, Balonku ada
lima,dll), musik populer ( Dangdut, dll).
2.8.2.5 Seni Tari Tradisional
Tidak kalah dengan kebudayaan lainnya, seni tari juga memiliki berbagai
macam jenis yang tersebar di seluruh wilayah kepulauan Indonesia. Secara
umum pengertian seni tari adalah suatu gerak ritmis yang dapat
menghadirkan karakter manusia saat mereka bertindak. Jenis-jenis seni tari
sangatlah banyak, salah satunya adalah seni tari tradisional. Seni tari
tradisional adalah seni tari yang lahir dan berkembang di seluruh wilayah
kepulauan Indonesia. Ia lahir sebagai buah pemikiran dan pengaplikasian
nilai-nilai kepercayaan masyarakat setempat.
8
2.8.2.6 Seni Rupa Tradisional
Mungkin diantara kalian sudah banyak yang faham dan hatam tentang seni
rupa. Ya, banyak sekali hasil karya sein rupa yang lahir dan berkembang di
Indonesia, baik terapan ataupun karya seni rupa murni. Diantaranya ada seni
bangunan, batik, cobek, dll.
2.8.2.7 Senjata Tradisional
Produk budaya yang satu ini erat hubungannya dengan suatu masyarakat
tertentu. Selain lahir sebagai bentuk melindungi dari serangan musuh, senjata
tradisional juga lahir untuk menopang kegiatan berladang dan berburu yang
menjadi mata pencaharian masyarakat jaman dulu. Dewasa ini, senjata
tradisional menjadi identitas suatu bangsa yang mengambil peran dan turut
serta memperkaya kebudayaan indonesia.
2.8.2.8 Suku Bangsa
Kita semua pasti tidak asing dengan kata satu ini. Ya, Suku. Kata yang selalu
dikaitkan dan menjadi dasar atau komponen yang tidak dapat dilepaskan dari
kebudayaan, khususnya kebudayaan Indonesia. Secara istilah, suku adalah
sebuah realitas /kenyataan dari kelompok masyarakat tertentu di daerah yang
ditandai oleh adanya kebiasaan-kebiasaan dan praktek hidup yang ada pada
kelompok masyarakat itu sendiri. Kebudayaan Indonesia benar-benar tidak
dapat dipisahkan dari suku itu sendiri

2.9 MEMAHAMI BUDAYA BALI


2.9.1 Budaya bali dan Kesehatan

Kebudayaan Bali pada hakikatnya dilandasi oleh nilai-nilai yang bersumber


pada ajaran agama Hindu. Masyarakat Bali mengakui adanya perbedaaan
( rwabhineda ), yang sering ditentukan oleh faktor ruang ( desa ), waktu ( kala ) dan
kondisi riil di lapangan (patra ). Konsep desa, kala, dan patra menyebabkan
kebudayaan Bali bersifat fleksibel dan selektif dalam menerima dan mengadopsi
pengaruh kebudayaan luar. Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa komunikasi dan
interaksi antara kebudayaan Bali dan budaya luar seperti India (Hindu), Cina, dan

9
Barat khususnya di bidang kesenian telah menimbulkan kreatifitas baru dalam seni
rupa maupun seni pertunjukkan. Tema-tema dalam seni lukis, seni rupa dan seni
pertunjukkan banyak dipengaruhi oleh budaya India. Demikian pula budaya Cina dan
Barat/Eropa memberi nuansa batu pada produk seni di Bali. Proses akulturasi
tersebut menunjukkan bahwa kebudayaan Bali bersifat fleksibel dan adaptif
khususnya dalam kesenian sehingga tetap mampu bertahan dan tidak kehilangan jati
diri (Mantra 1996).
Kebudayaan Bali sesungguhnya menjunjung tinggi nilai-nilai keseimbangan
dan harmonisasi mengenai hubungan manusia dengan Tuhan ( parhyangan ),
hubungan sesama manusia (pawongan ), dan hubungan manusia dengan lingkungan
( palemahan ), yang tercermin dalam ajaran Tri Hita Karana (tiga penyebab
kesejahteraan). Apabila manusia mampu menjaga hubungan yang seimbang dan
harmonis dengan ketiga aspek tersebut maka kesejahteraan akan terwujud.
Selain nilai-nilai keseimbangan dan harmonisasi, dalam kebudayaan Bali juga
dikenal adanya konsep tri semaya yakni persepsi orang Bali terhadap waktu.
Menurut orang Bali masa lalu (athita ), masa kini ( anaghata ) dan masa yang akan
datang ( warthamana ) merupakan suatu rangkaian waktu yang tidak dapt dipisahkan
satu dengan lainnya. Kehidupan manusia pada saat ini ditentukan oleh hasil
perbuatan di masa lalu, dan perbuatan saat ini juga menentukan kehidupan di masa
yang akan datang. Dalam ajaran hukum karma phaladisebutkan tentang sebab-akibat
dari suatu perbuatan, perbuatan yang baik akan mendapatkan hasil yang baik.
Demikian pula seBaliknya, perbuatan yang buruk hasilnya juga buruk atau tidak baik
bagi yang bersangkutan.
Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia (basic human
needs) yang sangat penting bagi manusia. Hal ini terkait erat dengan kenyataan
bahwa manusia yang sehat jasmani dan rohani memungkinkannya untuk melakukan
peran-peran sosial sesuai dengan statusnya di masyarakat. Untuk memenuhi
kebutuhan mereka akan kesehatan, setiap masyarakat di unia mengembangkan sistem
medis yang berisi tentang seperangkat kepercayaan, pengetahuan, aturan, dan
praktik-praktik sebagai satu kesatuan yang digunakan untuk memobilisasi berbagai
sumber daya dalam rangka memelihara kesehatan, mencegah dan menyembuhkan
10
penyakit, baik fisik maupun rohani. Dengan demikian, sistem medis pada hakekatnya
adalah pranata sosial yang memberi pedoman atau petunjuk bagi kelakuan manusia
untuk memenuhi kebutuhan mereka akan kesehatan dalam suatu sistem sosial, atau
sistem kesehatan sebagai sistem budaya.
Dalam setiap sistem medis akan dijumpai adanya dua sub sistem terkait, yaitu
sistem teori penyakit atau etiologi penyakit, dan sistem perawatan kesehatan. Sistem
teori penyakit atau etiologi penyakit (etiologi/of illness) terdiri dari kepercayaan
tentang sebab-sebab terjadinya suatu penyakit dan gejala-gejala simtomatis yang
dialami penderita. Sedangkan sistem perawatan kesehatan (health care system) terdiri
dari sistem diagnosis atau penentuan penyebab penyakit, dan tindakan terapi atau
teknik pengobatan yang digunakan.
Menurut Kleiman (1980) sistem perawatan kesehatan dapat dipandang
sebagai sistem kebudayaan karena merupakan suatu kesatuan hirarkis yang tidak
dapat dipisahkan yang menyangkut tentang proses dan mekanisme pengambilan
keputusan keluarga dalam pemilihan sektor-sektor pelayanan kesehatan (health
seekking behaviour) yang tersedia untuk menanggulangi berbagai penyakit yang
dihadapi.
Tindakan penyembuhan secara hirarkis berkaitan erat dengan ide tentang
sebab sakit dan bentuk penggolongan penyakit, serta pemilihan tindakan pengobatan
yang dianggap tepat untuk penyakit tersebut. Kesatuan hirarkis ini ditujukan terhadap
masalah penanggulangan gangguan kesehatan secara tepat guna. Dengan demikian,
dalam setiap sistem perawatan kesehatan kepercayaan tentang etiologi penyakit
merupakan hal yang sangat penting karena azas penyembuhan dalam semua sistem
kesehatan selau didasarkan pada kepercayaan tentang sebab-sebab terjadinya
penyakit tersebut.
Secara komprehensif dapat dikatakan bahwa setiap masyarakat memiliki
sistem kesehatan sendiri. Dapat dimaklumi apabila Indonesia yang terdiri dari
berbagai kelompok suku bangsa dengan beraneka ragam budaya etnis memiliki
berbagai sistem kesehatan. Masing-masing kelompok suku bangsa tersebut telah
mengembangkan sistem kesehatan mereka yang mungkin satu sama lain memiliki
banyak perbedaan dan persamaan. Akan tetapi pada umumnya karakteristik sistem
11
kesehatan tradisional mereka dapat dibedakan dengan sistem kesehatan moderen
yang berasal dari Barat.
Suku bangsa Bali sebagai salah satu dari ratusan suku bangsa yang tersebar di
Indonesia, secara terun-temurun juga telah mengembangkan sistem kesehatan atau
pengobatan secara tradisional yang populer disebut dengan pengobatan usada, dan
praktisi medisnya disebut dengan balian.
Hingga kini, walaupun ilmu dan teknologi kedokteran sudah mengalami
kemajuan pesat dan sudah sangat dikenal di Bali sejak lama, namun peran dan
eksistensi pengobatan usada (balian) di Bali sebagai sumber alternatif masih cukup
menonjol. Kondisi ini terjadi menurut berbagai kalangan karena pengobatan usada
ini di samping dianggap masih fungsional secara sosial dan lebih murah biayanya,
juga cukup efektifnya untuk menyembuhkan jenis atau golongan penyakit tertentu.
Menurut Klainman (1980), dalam masyarakat secara umum dikenal adanya
tiga sektor pelayanan kesehatan sebagai satu sistem medis tersendiri, yaitu (1) sektor
pelayanan umum atau rumah tangga (popular sector/home remedies), (2) sektor
kedukunan (folk medical system), dan (3) sektor profesional atau kosmopolitan
(profesional and cosmopolite medical system). Ketiga sektor pelayanan tersebut oleh
masyarakat dijadikan sebagai alternatif pilihan manakala mereka mengalami
gangguan kesehatan, baik secara tersendiri maupun secara tumpang tindih, dan atau
bersamaan. Pemanfaatan sektor-sektor tersebut, baik secara tersendiri maupun
digambung bersama dipengaruhi oleh faktor-fator tertentu. Faktor-faktor tersebut
antara lain, yaitu persepsi tentang tingkat keparahan penyakit, persepsi tentang
etiologi penyakit yang diderita, efektivitas pengobatan yang pernah digunakan,
aksesibilitas, dan keterjangkauan secara ekonomi.
Konsepsi Sehat-Sakit, Etiologi Penyakit, dan Praktek Penyembuhannya
Konsepsi Orang Bali tentang Sehat-Sakit
Secara komprehensif yang dimaksud dengan sehat, yaitu suatu keadaan
dalam mana seseorang dapat mempergunakan secara efektik keseluruhan fungsi
fisik, mental dan sosial yang dia miliki dalam berhubungan dengan lingkungannya,
sehingga hidupnya berbahagia dan bermanfaat bagi masyarakat. Menurut
definisi Word Health Organization (WHO) sehat adalah suatu kondisi manusia yang
12
bukan saja bebas dari penyakit dan kecacatan fisik, tetapi juga bebas dari gangguan
mental. Sebaliknya secara mikro dan emik, oleh karena adanya perbedaan latar
belakang budaya dan lingkungan masyarakat menyebabkan konsepsi tentang sehat-
sakit sering dijumpai sangat bervariasi dan bersifat subyektif antara satu kebudayaan
dengan kebudayaan yang lain.
Pada dasarnya masalah kesehatan bersifat biologis. Namun kesehatan dapat
ditinjau dari segi sosial dan kebudayaan karena ternyata pandangan dan konsepsi
tetang sehat-sakit tidak selalu sama antara satu masyarakat dengan masyarakat
lainnya. Perbedaan itu timbul karena adanya perbedaan-perbedaan pola adaptasi
masyarakat terhadap lingkungan baik fisik maupun sosialnya, sumber daya kesehatan
yang tersedia, serta kemampuan cara berpikir dari masing-masing masyarakat.
Dengan kata lain pandangan masyarakat terhadap kesehatan merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari kebudayaan dan pola-pola adaptasi suatu masyarakat terhadap
lingkungannya.
Pada masyarakat Bali konsepsi tentang kondisi sehat atau sakit mengacu pada
prinsip keseimbangan dan ketidakseimbangan sistemik unsur-unsur pembentuk tubuh
dan unsur-unsur yang ada di dalam tubuh manusia, serta keseimbangan hubungan
dengan lingkungan yang 5Bih luas. Keseimbangan dan berfungsinya unsur-unsur
sistemik dalam tubuh serta terpeliharanya keharmonisan hubungan dengan
lingkunggan, baik fisik maupun sosial, budaya dan psikis menjadi penyebab utama
terbentuknya kondisi sehat. Sebaliknya, ketidakseimbangan unsur-unsur tersebut
menjadi faktor utama gangguan kesehatan atau penyebab sakit. Dengan demikian,
menurut konsepsi orang Bali sehat tidak hanva menyangkut bebas dari sakit atau
penyakit, tetapi juga untuk menikmati seterusnya tanpa terputus-putus terhadap
keadaan fisik, mental dan spiritual yang bahagia dan utuh.
Konsep dari keadaan keseimbangan yang benar dan hakeki, tidak hanya
menyangkut berfungsinya sistem dan organ tubuh manusia dengan baik dan lancar,
psikis dan spiritual, tetapi juga menyangkut keseimbangan hubungan secara dinamis
dengan lingkungan yang lebih luas, yakni hubungan harmonis dengan sesama ciptaan
Tuhan (bhuana, makrokosmos), antaranggota keluarga sendiri, tetangga, teman dekat

13
dan anggota masyarakat secara lebih luas, dan antara kita dengan Tuhan Sang
Pencipta.
Dalam kosmologi Bali alam semesta dipandang sebagai sesuatu yang bersifat
nyata (sekala) dan dapat ditangkap dengan panca indra serta bersifat tidak nyata
(niskala/gaib) yang tidak dapat ditangkap dengan panca indra, tetapi dipercaya ada.
Secara keseluruhan isi alam semesta ini terdiri atas lima unsur, yaitu (1) bayu,
(2) teja, (3) apah, (4) akasa, dan (5) pertiwi. Semua unsur itu disebut Panca Maha
Bhuta yang keseluruhannya merupakan sumber dari kehidupan manusia.
Alam semesta sebagai kesatuan kehidupan terwujud dalam dua kosmos, yaitu
makrokosmos dan mikrrolosmos. Makrokosmos merupakan suatu wadah
keseimbangan dunia yang amat besar tak terhingga, tetapi tetap diakui memiliki
batas yang jelas dengan keadaan yang bersifat teratur dan tetap (fixed) dengan Tuhan
sebagai pusat pengendali keseimbangan alam sermesta. Sebaliknya, mikrokosmos
adalah manusia itu sendiri yang merupakan reflika dari makrokosmos dengan unsur-
unsur Panca Maha Bhuta sebagai inti kehidupan. Walaupun manusia merupakan
reflika dari makrokosmos dan memiliki kemampuan untuk mencipta, namun mereka
pun menyadari akan keterbatasan akan kemampuannya dan tidak pernah bisa
menolak kehendak-Nya. Dalam kehidupan masyarakat Bali, penggambaran
keterbatasan manusia dihadapan-Nya tererfleksi dalam sebutan-sebutan, seperti
Tuhan Maha Besar (Sang Hyang Widhy), Maha Tahu (Sang Hyang Wisesa), Maha
Kosong (Sang Hyang Embang), Maha Kuasa (Sang Hyang Wisesa), Maha Pencipta
(Sang Hyang Rekha), dan seterusnya

2.9.2 Mitos Yang Ada Dimasyarakat Bali

Bali merupakan daerah yang memiliki berbagai macam kebudayaan. Selain


itu, di Bali juga memiliki berbagai macam kepercayaan-kepercayaan yang sering kita
sebut mitos. Mitos di Bali memiliki berbagai macam arti. Baik dari yang positif
hingga negatif. Terkadang ada beberapa mitos yang memiliki maksud lain. Saya
ingin berbagi sedikit informasi mengenai mitos yang berdar di Bali.

14
a. Mitos bagi suami tidak boleh mencukur rambut saat istri sedang hamil, hal ini
dipercaya dapat memuat anak yang dilahirkan mejadi baik dan penurut.
Logikanya: Jika dilihat secra logis, hal itu berhubungan dengan sisi psikologis
dari istri dimana jika seorang istri sedang hamil maka emosi yang
dimiliki istri terkadang tidak stabil. Hal ini yang menyebabkan
apabila sang istri melihat suaminya mencukur rambutnya dan terlihat
tampan maka akan timbul rasa cemburu dan takut suaminya akan
mencari istri yang lebih cantik karena saat itu tubuh istri terlihat
kurang proporsional.
b. Mitos tidak boleh menyapu saat malam hari, hal ini dipercaya akan membuang
rejeki.
Logikanya: Jika dilihat secara logis, menyapu di malam hari akan menyebabkan
tidak terlihatnya barang yang kecil. Sehingga apabila ada suatu
barang kecil terjatuh dan barang itu penting, maka itu akan ikut
tersapu dan terbuang.
c. Mitos tidak boleh memotong kuku saat malam hari, hal ini di percaya akan
mendatangkan penyakit
Logikanya: Jika dilihat secara logis, saat jaman listrik belum ditemukan
masyarakat menggunkan penerangan seadaanya. Jika malam hari
memotong kuku, maka tidak akan terlihat kuku yang ingin dipotong
karena penerangan yang seadanya. Sehingga apabila memotong
kuku pada malam hari akan menyebabkan kemungkinan kesalahan
memotong kuku terjadi.
d. Mitos tidak menduduki bantal kepala, hal ini dipercaya akan membuat pantatnya
bisul.
Logikanya: Jika dilihat secara logis, mitos ini diberikan orang tua kepada anaknya
agar si anak tidak menduduki bantal kepala. Hal ini dikarenakan
bantal yang dipergunakan untuk dikepala tidak pantas untuk diduduki
dan orang Bali mengatakan itu “Tulah”.
e. Mitos tidak boleh duduk di ambang pintu, hal ini dipercaya orang itu tidak akan
mendapat jodoh. Dan bagi ibu hamil akan sulit waktu bersalin.
15
Logikanya: Jika dilihat secara logis, duduk di ambang pintu akan membuat orang
lain sulit untuk berjalan dan lewat sehingga mitos ini dipergunakan
agar anak-anak atau remaja yang sering duduk di ambang pintu tidak
duduk disana lagi.

2.10KONTEKS PESPEKTIF KESEHATAN IBU DAN ANAK DALAM BUDAYA SUKU


BALI
2.10.1 Pra-Nikah, Hamil, Bersalin, Dan Kb
Pra nikah/pernikahan

Sebagaimana seperti yang telah ditahui bahwa di dalam ajaran agama Hindu
terdapat empat jenjang hidup/tahapan kehidupan yang disebut dengan Catur Asrama,
yaitu tahapan yang pertama adalah Brahmacari, yaitu jenjang didalam masa hidup
kita untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya. Tahapan yang kedua adalah Grehastha,
yaitu berumah tangga. Tahapan ketiga disebut Wanaprastha, yaitu mulai tahapan
untuk mulai melepaskan diri kita dari ikatan keduniawian dan tahapan yang keempat
adalah Bhiksuka/Sanyasin, yaitu penyebaran ilmu agama kepada umat, dan dirinya di
abdikan sepenuhnya kepada Ida Hyang Widhi Wasa. Wiwaha di dalam ajaran Hindu
memiliki arti penting untuk awal atau sebagai langkah pertama untuk masuk ke
dalam jenjang Grehastha Asrama.
Definisi perkawinan menurut hokum, tepatnya menurut undang-undang No. 1
tahun 1974 pasal 1 disebutkan : Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang
pria dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dapat kita
simpulkan dari definisi diatas bahwa perkawinan adalah ikatan antara pria dengan
wanita secara lahir maupun batin dengan tujuan membentuk rumah tangga atau
keluarga yang bahagia dengan di dasari atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
Berdasarkan definisi diatas pernikahan mempunyai ikatan yang erat dengan
Agama. Pernikahan bukanlah hanya sekedar melakukan hubungan biologis untuk
memenuhi hasrat yang mendapat legalitas hokum, melaikan pernikahan adalah ikatan
batin yang kuat antara pria dan wanita berdasarkan Agama. Pernikahan dikatakan sah

16
bila sudah memenuhi beberapa syarat. Didalam ajaran Agama Hindu pernikahan
dikatakan sah bla sudah melakukan minimal upacara bykala.
Beberapa syarat yang harus di penuhi untuk membuat suatu pernikahan sah,
salah satunya adalah adanya saksi. Dalam upacara bykala (wiwaha)sudah terkandung
3 macam saksi yang dikenal dengan isatilah Tri Upasaksi (tiga saksi), yaitu Dewa
Saksi, Manusa Saksi, dan Bhuta Saksi. Dewa Saksi adalah saksi Dewa ( Ida Hyang
Widhi Wasa) yang dimohonkan untuk menyaksikan pewiwahan tersebut. Manusa
Saksi adalah semua orang yang dating menghadiri pewiwahan tersebut dapat di
katakan sebagai saksi, utamanya Bendesa, Kelian Dinas, pemangku yang muput
upacara tersebut dan sebagainya. Saksi dari para Bhuta kala disebut dengan Bhuta
Saksi. Dalam upacara byakala kita membakar tetimpug ( beberapa ruas bamboo yang
kedua ruasnya masih ada) sehingga menimbulkan suara ledakan. Suara dari tetimpug
tersebut merupakan simbol untuk memanggil Bhuta kala untuk hadir pada upacara
tersebut, kemudian diberikan suguhan supaya tidak menggangu jalannya upacara.
Setelah selesai melaksanakan upacara byakala (Wiwaha) maka mereka telah sah
menjadi suami istri dan wajib melaksanakan tugas-tugas/kewajiban didalam jenjang
Grehastha.
Upacara Bayi dalam Kandungan
Magedong- gedongan (GarbhadhanaSamskara). Upacara ini dilaksanakan
pada saat kandungan berusia 7 bulan .
Sarana :
1. Pamarisuda: Byakala dan prayascita.
2. Tataban: Sesayut, pengambean, peras penyeneng dan sesayutpamahayutuwuh.
3. Di depan sanggar pemujaan : benang hitam satu gulung kedua ujung dikaitkan
pada dua dahan dadap, bambu daun talas dan ikan air tawar, ceraken (tempat
rempah-rempah).

Waktu Upacara Garbhadhana dilaksanakan pada saat kandungan berusia 210


hari (7 bulan). Tidak harus persis, tetapi disesuaikan dengan hari baik. Tempat
Upacara Garbhadhana dilaksanakan di dalam rumah, pekarangan, halaman rumah, di
tempat permandian darurat yang khusus dibuat untuk itu, dan dilanjutkan di depan

17
sanggar pemujaan (sanggah kamulan). Pelaksana Upacara ini dipimpin oieh Pandita,
Pinandita atau salah seorang yang tertua (pinisepuh).
Tata Pelaksanaan :
1. lbu yang sedang hamil terlebih dahulu dimandikan (siraman) di parisuda,
dilanjutkan dengan mabyakala dan prayascita.
2. Si lbu menjunjung tempat rempah-rempah, tangan kanan menjinjing daun talas
berisi air dan ikan yang masih hidup.
3. Tangan kiri suami memegang benang, tangan kanannya memegang bamboo
runcing.
4. Si Suami sambil menggeser benang langsung menusuk daun talas yang dijinjing si
Istri sampai air dan ikannya tumpah.
5. Selanjutnya melakukan persembahyangan memohon keselamatan.
6. Ditutup dengan panglukatan dan terakhir natab.

Upacara kelahiran (JatakarmaSamskara).


Upacara ini dilaksanakan pada waktu bayi baru dilahirkan. Upacara ini adalah
sebagai ungkapan kebahagiaan atas kehadiran si kecil di dunia.
Sarana :
1. Dapetan, terdiri dari nasi berbentuk tumpeng dengan lauk pauknya (rerasmen)
dan buah buahan.
2. Canang sari / canang genten, sampiyanjaet dan penyeneng.
Untuk menanam ari-ari (mendem ari-ari) diperlukan sebuah kendil (periuk kecil)
dengan tutupnya atau sebuah kelapa yang airnya dibuang. Waktu Upacara
Jatakarma dilaksanakan pada waktu bayi baru dilahirkan dan telah mendapat
perawatan pertama.
Tempat Upacara Jatakarma dilaksanakan di dalam dan di depan pintu rumah.
Pelaksana Upacara kelahiran dilaksanakan atau dipimpin oleh salah seorang
keluarga yang tertua atau dituakan, demikian juga untuk menanam (mendem) ari-
arinya. Dalam hal tidak ada keluarga tertua, misalnya, hidup di rantauan, sang
ayah dapat melaksanakan upacara ini.

18
Tata Cara :
1. Bayi yang baru lahir diupacarai dengan bantendapetan, canang sari, canang
genten, sampiyan dan penyeneng. Tujuannya agar atma / roh yang menjelma
pada si bayi mendapatkan keselamatan.
2. Setelah ari-ari dibersihkan, selanjutnya dimasukkan ke dalam kendil lalu
ditutup. Apabila mempergunakan kelapa, kelapa itu terlebih dahulu dibelah
menjadi dua bagian, selanjutnya ditutup kernbali. Perlu diingat sebelum
kendil atau kelapa itu digunakan, pada bagian tutup kendil atau belahan
kelapa bagian atas ditulisi dengan aksara OM KARA (OM) dan pada dasar
alas kendil atau bagian bawah kelapa ditulisi aksara AH KARA (AH) .
3. Kendil atau kelapa selanjutnya dibungkus dengan kain putih dan di
dalamnya diberi bunga.
4. Selanjutnya kendil atau kelapa ditanam di halaman rumah, tepatnya pada
bagian kanan pintu ruangan rumah untuk anak Iaki-laki, dan bagian kiri
untuk wanita bila dilihat dari dalam rumah.

Upacara ini merupakan cetusan rasa bahagia dan terima kasih dari kedua
orang tua atas kelahiran anaknya, walaupun disadari bahwa hal tersebut akan
menambah beban baginya. Kebahagiaannya terutama disebabkan beberapa hal
antara lain :

1. Adanya keturunan yang diharapkan akan dapat melanjutkan tugas-tugasnya


terhadap leluhur dan masyarakat.
2. Hutang kepada orang tua terutama berupa kelahiran telah dapat dibayar.

2.10.2 Anak (Masa Konsepsi, Bayi, Remaja, Dewasa)

Upacara kepuspuser

Upacara kepuspuser atau pupus puser adalah upacara yang dilakukan pada
saat puser bayi lepas.

Sarana :

1. Banten penelahan: Beras kuning, daun dadap.


19
2. Banten kumara: Hidangan berupa nasi putih kuning, beberapa jenis kue,
buahbuahan (pisang emas), canang, lengawangi, burat wangi, canang sari.
3. Banten labaan: Hidangan/ nasi dengan lauk pauknya.
4. Segehan empat buah dengan warna merah, putih, kuning, dan hitam.
Masingmasing berisi bawang, jahe dan garam.

Waktu Upacara kepuspuser dilaksanakan pada saat bayi sudah


kepuspusernya, umumnya pada saat bayi berumur tiga hari. Tempat Upacara ini
dilaksanakan di dalam rumah terutama di sekitar tempat tidur si bayi. Pelaksana
Untuk melaksanakan upacara ini cukup dipimpin oleh keluarga yang tertua
(sesepuh), atau jika tidak ada, orang tua si bayi.

Tata Cara :
1. Puser bayi yang telah lepas dibungkus dengan kain putih lalu dimasukkan ke
dalam “ketupat kukur” (ketupat yang berbentuk burung tekukur) disertai dengan
rempah-rempah seperti cengkeh, pala, lada dan lain-lain, digantung pada bagian
kaki dari tempat tidur si bayi.
2. Dibuatkan kumara (pelangkiran) untuk si bayi, tempat menaruh sesajian.
3. Di tempat menanam ari-ari dibuat sanggah cucuk, di bawahnya ditaruh sajen
segehan nasi empat warna, dan di sanggah cucuk diisi dengan banten kumara.
4. Tidak ada mantram khusus untuk upacara ini, dipersilakan memohon
keselamatan dengan cara dan kebiasaan masing-masing.

Upacara bayi umur 12 hari (Upacara NgelepasHawon)

Setelah bayi berumur 12 hari dibuatkan suatu upacara yang disebut Upacara
NgelepasHawon. Sang anak biasanya baru diberi nama (nama dheya) demikian pula
sang catur sanak atau keempat saudara kita setelah dilukat berganti nama di
antaranya: Banaspati Raja, Sang Anggapati, Banaspati dan Mrajapati.

Sarana Upakara yang kecil : Peras, Penyeneng, Jerimpen tunggal dll,


semampunya.

Upacara yang biasa (madia) : Peras, Penyeneng, Jerimpen tunggal, di sini


hanya ditambah dengan penebusan.
20
Upacara yang besar : Seperti upacara madia hanya lebihnya jerimpentegeh
dan diikuti wali joged atau wayang lemah.

Waktu Upacara ngelepashawon dilaksanakan pada saat si bayi sudah berumur


genap 12 hari. Tempat Upacara ini dilaksanakan di dalam rumah pekarangan yaitu di
sumur (permandian), di dapur, serta di sanggah kamulan. Pelaksana Untuk
melaksanakan upacara ini dipimpin oieh keluarga yang paling dituakan.

Tata Cara :
Pelaksanaan upacara ini ditujukan kepada si ibu dan si anak. Upacaranya
dilakukan di dapur, di permandian dan di kemulan berfungsi memohon pengelukatan
ke hadapan Bhatara Brahma, Wisnu dan Siwa. Inti pokok upacara yang ditujukan :
- Kepada si ibu adalah: bantenbyakaon dan prayascita disertai dengan tirta
pebersihan dan pengelukatan.
- Kepada si bayi adalah: bantenpasuwungan yang terdiri dari peras, ajuman,
daksina, suci. Soroan alit pengelukatan, dan lainnya.

Banten pengelukatan di dapur, permandian dan kemulan pada pokoknya


sama, hanya saja warna tumpengnya yang berbeda. Yaitu:
- tumpeng merah untuk di dapur
- tumpeng hitam untuk di permandian dan
- tumpeng putih untuk di kemulan.

Inti pokok bantenpengelukatan tersebut antara lain: peras dengan tumpeng,


ajuman, daksina, pengulapan, pengarnbian, penyeneng dan sorotan alit serta periuk
tempat tirta pengelukatan.

Upacara kambuhan (umur 42 hari)

Upacara ini dilakukan setelah bayi berusia 42 hari. Tujuannya untuk


pembersihan lahir batin si bayi dan ibunya, di samping juga untuk membebaskan si
bayi dari pengaruh-pengaruh negative (mala).

Sarana Untuk upacara kecil:

1. Upakara untuk ibu : Byakala, prayascita, tirthapanglukatan dan pabersihan.


21
2. Upakara untuk si bayi : Banten pasuwungan, banten kumara dan dapetan.

Untuk upacara yang lebih besar


1. Upakara untuk ibu : Byakala, prayascita, tirthapanglukatan dan pabersihan.
2. Upakara untuk si bayi : Banten pasuwungan, banten kumara, jejanganan,
bantenpacolongan untuk di dapur, di permandian dan di sanggah kamulan serta
tataban.

Waktu Upacara kambuhan dilaksanakan pada saat bayi berusia 42 hari.


Tempat Keseluruhan rangkaian upacara kambuhan dilaksanakan di dalam lingkungan
rumah, di dapur, di halaman rumah dan di sanggah kamulan. Pelaksana Untuk
upacara kambuhan dipimpin oleh seorang pinandita atau pandita.
Tata cara Untuk upacara kecil:
1. Kedua orang tua si bayi mabyakala dan maprayascita.
2. Si bayi beserta kedua orang tua diantar ke sanggah kamulan untuk natab.

Tata Cara Untuk upacara yang lebih besar :


1. Si bayi dilukat di dapur, di permandian, dan terakhir di sanggah kamulan.
2. Kedua orang tua si bayi mabyakala dan maprayascita
3. Si bayi beserta kedua orang tuanya natab di sanggah kamulan

Upacara Tutug Kambuhan (Upacara setelah bayi berumur 42 hari), merupakan


upacara suci yang bertujuan untuk penyucian terhadap si bayi dan kedua orang
tuanya. Penyucian kepada si Bayi dimohonkan di dapur, di sumur/tempat mengambil
air dan di Merajan/Sanggah Kemulan (Tempat Suci Keluarga). Upacara Tutug
Sambutan (Upacara setelah bayi berumur 105 hari), adalah upacara suci yang
tujuannya untuk penyucian Jiwatman dan penyucian badan si Bayi seperti yang
dialami pada waktu acara Tutug Kambuhan. Pada upacara ini nama si bayi disyahkan
disertai dengan pemberian perhiasan terutama gelang, kalung/badong dan
giwang/subeng, melobangi telinga.
Upacara Mepetik merupakan upacara suci yang bertujuan untuk penyucian
terhadap si bayi dengan acara pengguntingan / pemotongan rambut untuk pertama
kalinya. Apabila keadaan ubun-ubun si bayi belum baik, maka rambut di bagian
22
ubun-ubun tersebut dibiarkan menjadi jambot (jambul) dan akan digunting pada
waktu upacara peringatan hari lahir yang pertama atau sesuai dengan keadaan.
Upacara Mepetik ini adalah merupakan rangkaian dari upacara Tutug Sambutan yang
pelaksanaannya berupa 1 (satu) paket upacara dengan upacara Tutug Sambutan.
Upacara nelubulanin (umur 3 bulan) – NiskramanaSamskara
Upacara yang dilakukan pada saat bayi berumur 105 hari, atau tiga bulan
dalam hitungan pawukon.
Sarana Upakara kecil:
- panglepasan, penyambutan, jejanganan, banten kumara dan tataban.

Sarana Upakara besar:


- panglepasan, penyambutan, jejanganan, banten kumara, tataban, pula gembal,
bantenpanglukatan, banten turun tanah.

Waktu Upacara ini dilakukan pada saat anak berusia 105 hari. Bila keadaan
tidak memungkinkan, misalnya, keluarga itu tinggal di rantauan dan ingin upacaranya
dilangsungkan bersama keluarga besar sementara si anak terlalu kecil untuk dibawa
pergi jauh, upacara bisa ditunda. Biasanya digabungkan dengan upacara 6 bulan.
Tempat Seluruh rangkaian upacara bayi tiga bulan dilaksanakan di lingkungan rumah.
Pelaksana Upacara ini dipimpin oleh Pandita atau Pinandita.
Tata Cara :
1. Pandita / Pinandita memohon tirthapanglukatan.
2. Pandita / Pinandita melakukan pemujaan, memerciki tirtha pada sajen dan pada si
bayi.
3. Bila si bayi akan memakai perhiasan-perhiasan seperti gelang, kalung dan lain-
lain, terlebih dahulu benda tersebut diparisudha dengan diperciki tirtha.
4. Doa dan persembahyangan untuk si bayi, dilakukan oleh ibu bapaknya diantar
oleh Pandita / Pinandita.
5. Si bayi diberikan tirthapengening (tirthaamertha) kernudianngayabjejanganan.
6. Terakhir si bayi diberi natab sajen ayaban, yang berarti memohon keselamatan.

Upacara satu oton – (Otonan)

23
Upacara yang dilakukan setelah bayi berumur 210 hari atau enam bulan
pawukon. Upacara ini bertujuan untuk menebus kesalahan-kesalahan dan keburukan-
keburukan yang terdahulu, sehingga dalam kehidupan sekarang mencapai kehidupan
yang lebih sempurna.
Sarana
Upakara kecil: Prayascita, parurubayan, jajanganan, tataban, peras, lis,
bantenpesaksi ke bale agung (ajuman) sajen turun tanah dan sajen kumara.
Upakara yang lebih besar: Prayascita, parurubayan, jejanganan, tataban, peras,
lis, bantenpesaksi ke bale agung (ajuman) sajen turun tanah, sajen kumara, ditambah
gembalbebangkit.
Waktu Upacara wetonan dilaksanakan pada saat bayi berusia 210 hari. Pada
saat itu kita akan bertemu dengan hari yang sama seperti saat lahimya si bayi
(pancawara, saptawara, dan wuku yang sama). Selanjutnya boleh dilaksanakan setiap
210 hari, semacam memperingati hari ulang tahun. Tentu saja semakin dewasa,
semakin sederhana bantennya.
Tempat Seluruh rangkaian upacara ini dilaksanakan di rumah. Pelaksana
Upacara dipimpin oieh Pandita / Pinandita atau oleh keluarga tertua.
Tata cara:
1. Pandita / Pinandita sebagai pimpinan upacara melakukan pemujaan untuk
memohon persaksian terhadap Hyang Widhi Wasa dengan segala manifestasinya.
2. Pemujaan terhadap Siwa Raditya (Suryastawa).
3. Penghormatan terhadap leluhur.
4. Pemujaan saat pengguntingan rambut (potong rambut). Ini dilakukan pertama
kali, untuk wetonan selanjutnya tidak dilakukan.
5. Pemujaan saat pawetonan dan persembahyangan

Upacara tumbuh gigi (Ngempugin)


Upacara yang dilakukan pada saat anak tumbuh gigi yang pertama. Upacara
ini bertujuan untuk memohon agar gigi si anak tumbuh dengan baik.
Sarana :
- Upacara kecil : Petinjo kukus dengan telor.

24
- Upacara besar : Petinjo kukus dengan ayam atau itik, dilengkapi dengan tataban.

Waktu Upacara ini dilaksanakan pada saat bayi tumbuh gigi yang pertama
dan sedapat mungkin tepat pada waktu matahari terbit. Tempat Keseluruhan
rangkaian upacara dilaksanakan di rumah. Pelaksana Upacara ini dipimpin oleh
seorang pandita / pinandita atau salah seorang anggota keluarga tertua.
Tata Cara :
1. Pemujaan terhadap Hyang Widhi Wasa dengan mempersembahkan segala
sesajen yang tersedia.
2. Si bayi natab mohon keselamatan.
3. Selesai upacara si bayi diberikan sesajen tadi untuk dinikmatinya dan
selanjutnya gusinya digosok-gosok dengan daging dari sesajen.

Upacara tanggalnya gigi pertama (Makupak)


Upacara ini bertujuan mempersiapkan si anak untuk mempelajari ilmu
pengetahuan.
Sarana :
1. Banten byakala dan sesayuttatebasan.
2. Canang sari.
Waktu Saat si anak untuk pertama kalinya mengalami tanggal gigi. Upacara ini
dapat pula disatukan dengan wetonan berikutnya. Tempat Keseluruhan
rangkaian upacara dilaksanakan di rumah. Pelaksana Upacara dipimpin oleh
keluarga tertua.
Tata Cara :
1. Pemujaan mempersembahkan sesajen kehadapan Hyang Widhi Wasa.
2. Si anak bersembahyang.
3. Setelah selesai sembahyang, dilanjutkan dengan natabsesayut / tetebasan.
4. Si anak diperciki tirtha.

Upacara menekdeha (Rajaswala)

25
Upacara ini dilaksanakan pada saat anak menginjak dewasa. Upacara ini
bertujuan untuk memohon ke hadapan Hyang Samara Ratih agar diberikan jalan
yang baik dan tidak menyesatkan bagi si anak.
Sarana :
Banten pabyakala, banten prayascita, banten dapetan, banten sesayut tabuh
rah (bagi wanita), banten sesayutngraja singa (bagi Iaki-laki), banten padedarian.
Waktu Upacara menginjak dewasa (munggahdeha) dilaksanakan pada saat
putra/ putrid sudah menginjak dewasa. Peristiwa ini akan terlihat melalui perubahan-
perubahan yang nampak pada putra-putri. Misalnya pada anak Iaki-laki perubahan
yang menonjol dapat kita saksikan dari sikap dan suaranya. Pada anak putri mulai
ditandai dengan datang bulan (menstruasi) pertama.
Orang tua wajib melaksanakan upacara meningkat dewasa (munggahdeha)
ini. Tempat Upacara dilaksanakan di rumah. Pelaksana Dilakukan oleh Pandita /
Pinandita atau yang tertua di dalam lingkungan keluarga.
Tata Cara :
Dalam upacara meningkat dewasa, pertama-tama putra / putri yang diupacarai
terlebih dahulu mabyakala dan maprayascita. Setelah itu dilanjutkan dengan
natabsesayut tabuh rah (bagi yang putri), sayut raja singa bagi yang putra.
Ciri-ciri anak telah meningkat dewasa.
Siklus kehidupan makhluk didunia adalah lahir, hidup dan mati (kembali
keasalnya). Manusia hidup di dunia mengalami beberapa phase yaitu, fase anak-
anak, pada fase ini anak dianggap sebagai raja, semua permintaannya dipenuhi.
Phase berikutnya adalah pada masa anak meningkat dewasa. Saat ini anak itu tidak
lagi dianggap sebagai raja, tetapi sebagai teman. Orang tua memberikan nasehat
kepada anak-anaknya dan anak itu bisa menolak nasehat orang tuanya bila kondisi
dan lingkungannya tidak mendukung, artinya terjadi komunikasi timbal balik atau
saling melengkapi. Dan yang terakhir adalah phase tua, di sini anak tadi menjadi
panutan bagi penerusnya. Sebagai tanda dari kedewasaan seseorang adalah suaranya
mulai membesar /berubah/ngembakin (bahasa Bali) bagi laki-laki dan bagi
perempuan pertama kalinya ia mengalami datang bulan. Sejak saat ini seseorang
mulai merasakan getar-getar asmara, karena Dewa Asmara mulai menempati lubuk
26
hatinya. Bila perasaan getar-getar asmara ini tidak dibentengi dengan baik akan
keluar dari jalur yang sebenarnya.
Perasaan getar-getar asmara itu dibentengi melalui dua jalur yaitu, jalur
niskala, membersihkan jiwa anak dengan mengadakan Upacara yang disebut Raja
Sewala dan jalur sekala, dengan memberikan wejangan-wejangan yang bermanfaat
bagi dirinya.
Upacara Raja Sewala ini sesuai dengan apa yang diungkapkan didalam
Agastya Parwa bahwa, disebutkan ada tiga perbuatan yang dapat menuju sorga,
yaitu: Tapa (pengendalian), Yadnya (persembahan yang tulus iklas) dan Kirti
(perbuatan amal kebajikan) Upacara Raja Sewalamerupakan Yadnya (persembahan
yang tulus iklas) yang membuat peluang bagi keluarganya untuk masuk sorga.
Nilai pendidikan
Upacara Raja Sewala/meningkat dewasa yang dilakukan oleh umat Hindu
adalah merupakan salah satu jenis Upacara Manusa Yadnya yang bertujuan untuk
memohon kehadapanSanghyang Widhi Waça (Tuhan Yang Maha Esa) dalam
menifestasinya sebagai Sang Hyang Semara Ratih, agar orang itu dibimbing,
sehingga ia dapat mengendalikan dirinya dalam menghadapi Pancaroba. Pada masa
pancaroba ini seseorang sangat rentan terhadap godaan-godaan khususnya godaan
dari Sad Ripu yaitu: Kroda (sifat marah), Loba (rakus/tamak), Kama
(nafsu/keinginan), Moha (kebingungan), Mada (kemabukan), dan Matsarya (rasa iri
hati).
Pada Upacara ini juga terselip nilai pendidikan. Anak diberikan wejangan-
wejangan yang menyatakan bahwa dirinya telah tumbuh dewasa, apapun yang akan
diperbuatnya akan berakibat juga kepada orang tuanya. Jadi anak itu tidak bebas
begitu saja menerjunkan diri dalam pergaulan dimasyarakat. Dia harus tahu mana
yang pantas untuk dilakukan dan mana yang dilarang. Dalam hal ini anak-anak juga
merasa mendapat perhatian dari orang tuanya sehingga menimbulkan rasa lebih
hormat kepada orang tuanya.
Melalui Upacara Raja Sewala/Meningkat dewasa ini diharapkan seseorang
dapat meningkatkan kesucian pribadinya sehingga mampu memilih dan memilah
mana yang baik dan mana yang buruk.
27
Upacara potong gigi (mepandes / metatah)
Upacara ini bertujuan untuk mengurangi pengaruh Sad Ripu yang ada pada
diri si manak.
Sarana :
1. Sajen sorohan dan suci untuk persaksian kepada Hyang Widhi Wasa.
2. Sajen pabhyakalanprayascita, panglukatan, alat untuk memotong gigi beserta
perlengkapannya seperti: cermin, alat pengasah gigi, kain untuk rurub serta
sebuah cincin dan permata, tempat tidur yang sudah dihias.
3. Sajen peras daksina, ajuman dan canang sari, kelapa gading dan sebuah bokor.
4. Alat pengganjal yang dibuat dari potongan kayu dadap. Belakangan dipakai
tebu, supaya lebih enak rasanya.
5. Pengurip-urip yang terdiri dari kunyit serta pecanangan lengkap dengan isinya.

Waktu Upacara ini dilaksanakan setelah anak meningkat dewasa, namun


sebaiknya sebelum anak itu kawin. Dalam keadaan tertentu dapat pula dilaksanakan
setelah berumah tangga. Tempat Seluruh rangkaian upacara potong gigi dilaksanakan
di rumah dan di pemerajan. Pelaksana Upacara potong gigi dilaksanakan oleh
Pandita/Pinandita dan dibantu oleh seorang sangging (sebagai pelaksana langsung).
Tata Cara :
1. Yang diupacarai terlebih dahulu mabhyakala dan maprayascita.
2. Setelah itu dilanjutkan dengan muspa ke hadapan Siwa Raditya memohon
kesaksian.
3. Selanjutnya naik ke tempat upacara menghadap ke hulu. Pelaksana upacara
mengambil cincin yang dipakai ngerajah pada bagian-bagian seperti: dahi, taring,
gigi atas, gigi bawah, lidah, dada, pusar, paha barulah diperciki tirthapesangihan.
4. Upacara dilanjutkan oieh sangging dengan menyucikan peralatannya.
5. Orang yang diupacari diberi pengganjal dari tebu dan giginya mulai diasah, bila
sudah dianggap cukup diberi pengurip-urip.
6. Setelah diberi pengurip-urip dilanjutkan dengan natabbanten peras kernudian
sembahyang ke hadapan Surya Chandra dan Mejaya-jaya.

Acuan
28
Sumber sastra mengenai upacara potong gigi adalah lontar Kala
Pati,kalatattwa, Semaradhana, dan sang Hyang Yama.dalam lontar kala Pati
disebutkan bahwa potong gigi sebagai tanda perubahan status seseorang menjadi
manusia sejati yaitu manusia yang berbudi dan suci sehingga kelak di kemudian hari
bila meniggal dunia sang roh dapat bertemu dengan para leluhur di sorgaLoka.Lontar
Kala tattwa menyebutkan bahwa Bathara Kala sebagai putra Dewa Siwa dengan
Dewi Uma tidak bisa bertemu dengan ayahnya di sorga sebelum taringnya dipotong.
Oleh karena itu, manusia hendaknya menuruti jejak Bathara kala agar rohnya dapat
bertemu dengan roh leluhur di sorga.dalam lontar Semaradhana disebutkan bahwa
Bethara Gana sebagai putra Dewa Siwa yang lain dapat mengalahkan raksasa
Nilarudraka yang menyerang sorgaloka dengan menggunakan potongan taringnya.
Selain itu disebutkan bahwa Bethara Gana lahir dari Dewi Uma setelah Dewa
Siwa dibangunkan Dari tapa semadhinya oleh Dewa Semara (Asmara) namun
kemudian Dewa Siwa menghukum Dewa Semara bersama istrinya, Dewi
Ratih,dengan membakarnya sampai menjadi abu. kemudian menyebarkan abu
tersebut ke dunia dan mengutuk manusia agar tidak bisa hidup tanpa berpasangan
(laki-perempuan) dalam suami istri. Dalam lontar Sang Hyang yama disebutkan
bahwa upacara potong gigi boleh dilaksanakan bila naka sudah menginjak dewasa,
ditandai dengan menstruasi untuk wanita dan suara yang membesar untuk pria.
Biasanya hal ini muncul di kala usia 14 tahun.
Tujuan Upacara Potong Gigi
Tujuan upacara potong gigi dapat disimak lebih lanjut dari
lontarkalapatidimana disebutkan bahwa gigi yang digosok atau diratakan dari gerigi
adalah enam buah yaitu dua taring dan empat gigi seri di atas. Pemotongan enam gigi
itu melambangkan symbol pengendalian terhadap sad Ripu (enam musuh dalam diri
manusia). Meliputi kama (hawa nafsu), Loba (rakus), Krodha (marah), mada
(mabuk), moha (bingung), dan Matsarya (iri hati). Sad Ripu yang tidak terkendalikan
ini akan membahayakan kehidupan manusia, maka kewajiban setiap orang tua untuk
menasehati anak-anaknya serta memohon kepada Hyang Widhi Wasa agar terhindar
dari pengaruh sad ripu.Makna yang tersirat dari mitologi Kala Pati, kala Tattwa, dan
Semaradhana ini adalah mengupayakan kehidupan manusia yang selalu waspada
29
agar tidak tersesat dari ajaran agama (dharma) sehingga di kemudian hari rohnya
dapat yang suci dapat mencapai surge loka bersama roh suci para leluhur, bersatu
dengan Brahman (Hyang Widhi).Dalam pergaulan mudamudi pun diatur agar tidak
melewati batas kesusilaan seperti yang tersirat dari lontar
Semaradhana.
Upacara potong gigi biasanya disatukan dengan upacara NgerajaSewala atau
disebutkan pula sebagai upacara “menek kelih”, yaitu upacara syukuran karena si
anak sudah menginjak dewasa,meninggalkan masa anak-anak menuju ke masa
dewasa.
Urutan Upacara :
1. Setelah sulinggihngargatirta,mereresik dan mapiuning di SangahSurya,maka
mereka yang akan mepandes dilukat dengan padudusanmadya,setelah itu mereka
memuja Hyang raitya untuk memohon keselamatan dalam melaksanakan
upacara.
2. Potong rambut dan merajah dilaksanakan dengan tujuan mensucikan diri serta
menandai adanya peningkatan status sebagai manusia yaitu meningalkan masa
anak-anak ke masa remaja.
3. Naik ke bale tempat mepandes dengan terlebih dahulu menginjak caru sebagai
lambingkeharmonisan,mengetukkan linggis tiga kali (Ang,Ung,Mang) sebagai
symbol mohon kekuatan kepada Hyang Widhi dan ketiak kiri menjepit caket
sebagai symbol kebulatan tekad untuk mewaspadai sad ripu.
4. Selama mepandes,air kumur dibuang di sebuah nyuh gading afar tidak
menimbulkan keletehan.
5. Dilanjutkan dengan mebiakala sebagai sarana penyucian serta menghilangkan
mala untuk menyongsong kehidupan masa remaja.
6. Mapedamel berasal dari kata “dama” yang artinya bijaksana.Tujuanmapedamel
setelah potong gigi adalah agar si anak dalam kehidupan masa remaja dan
seterusnya menjadi orang yang bijaksana,yaitu tahap menghadapi suka duka
kehidupan,selalu berpegang pada ajaran agama Hindu,mempunyai pandangan
luas,dan dapat menentukan sikap yang baik, karena dapat memahami apa yang

30
disebut dharma dan apa yang disebut adharma.Secara simbolis ketika
mepadamel,dilakukan sebagai berikut :
- Mengenakan kain putih,kampuhkuning,dan selempang samara ratih sebagai
symbol restu dari Dewa Semara dan Dewi Ratih (berdasarkan lontar
Semaradhana tersebut).
- Memakai benang pawitra berwarna tridatu (merah,putih,hitam) sebagai
symbol pengikatan diri terhadap norma-norma agama.
- Mencicipi Sad rasa yaitu enam rasa berupa rasa pahit dan asam sebagai
simbol agar tabah menghadapi peristiwa kehidupan yang kadang-kadang
tidak menyenangkan, rasa pedas sebagai simbol agar tidak menjadi marah
bila mengalamai atau mendengar hal yang menjengkelkan, rasa sepat sebagai
symbol agar taat ada peraturan atau norma-norma yang berlaku, rasa asin
sebagai simbol kebijaksanaan, selalu meningkatkan kualitas pengetahuan
karena pembelajaran diri, dan rasa manis sebagai symbol kehidupan yang
bahagia lahir bathin sesuai cita-cita akan diperoleh bilamana mampu
menhadapi pahit getirnya kehidupan, berpandangan luas, disiplin, serta
enantiasa waspada dengan adanya sad ripu dalam diri manusia.
7. Natabbanten,tujuannya memohon anugerah Hyang Widhi agar apa yang menjadi
tujuan melaksanakan upacara dapat tercapai.
8. Metapak,mengandung makna tanda bahwa kewajiban orang tua terhadap anaknya
dimulai sejak berada dalam kandungan ibu sampai menajdi dewasa secara
spiritual sudah selesai,makna lainnya adalah ucapan terima kasih si anak kepada
orang tuanya karena telah memelihara dengan baik,serta memohon maaf atas
kesalahan-kesalahan anak terhadap orang tua,juga mohon doa restu agar selamat
dalam menempuh kehidupan di masa datang.

2.11SUDUT PANDANG KESEHATAN IBU DAN ANAK DALAM BUDAYA SETEMPAT


DITINJAU DARI PANDANGAN POSITIF DAN NEGATIF

Pada beberapa masyarakat tradisional di Indonesia kita bisa melihat konsepsi budaya
yang terwujud dalam perilaku berkaitan dengan pola pemberian makan pada bayi yang

31
berbeda, dengan konsepsi kesehatan modern. Sebagai contoh, pemberian ASI menurut
konsep kesehatan moderen ataupun medis dianjurkan selama 2 (dua) tahun dan pemberian
makanan tambahan berupa makanan padat sebaiknya dimulai sesudah bayi berumur 4 tahun.
Namun, pada suku Sasak di Lombok, ibu yang baru bersalin selain memberikan nasi pakpak
(nasi yang telah dikunyah oleh ibunya lebih dahulu) kepada bayinya agar bayinya tumbuh
sehat dan kuat. Mereka percaya bahwa apa yang keluar dari mulut ibu merupakan yang
terbaik untuk bayi. Sementara pada masyarakat bersuku bali, pada usia sebulan bayi sudah
diberi bubur tepung, bubur nasi nasi, pisang dan lain-lain. Ada pula kebiasaan memberi roti,
pisang, nasi yang sudah dilumatkan ataupun madu, teh manis kepada bayi baru lahir
sebelum ASI keluar. Demikian pula halnya dengan pembuangan colostrum (ASI yang
pertama kali keluar). Di beberapa masyarakat tradisional, colostrum ini dianggap sebagai
susu yang sudah rusak dan tak baik diberikan pada bayi karena warnanya yang kekuning-
kuningan. Selain itu, ada yang menganggap bahwa colostrum dapat menyebabkan diare,
muntah dan masuk angin pada bayi. Sementara, colostrum sangat berperan dalam
menambah daya kekebalan tubuh bayi.
Walaupun pada masyarakat tradisional pemberian ASI bukan merupakan
permasalahan yang besar karena pada umumnya ibu memberikan bayinya ASI, namun yang
menjadi permasalahan adalah pola pemberian ASI yang tidak sesuai dengan konsep medis
sehingga menimbulkan dampak negatif pada kesehatan dan pertumbuhan bayi. Disamping
pola pemberian yang salah, kualitas ASI juga kurang. Hal ini disebabkan banyaknya
pantangan terhadap makanan yang dikonsumsi si ibu baik pada saat hamil maupun sesudah
melahirkan. Sebagai contoh, pada masyarakat Kerinci ibu yang sedang menyusui pantang
untuk mengkonsumsi bayam, ikan laut atau sayur nangka. Di beberapa daerah ada yang
memantangkan ibu yang menyusui untuk memakan telur.
Adanya pantangan makanan ini merupakan gejala yang hampir universal berkaitan
dengan konsepsi "panas-dingin" yang dapat mempengaruhi keseimbangan unsur-unsur
dalam tubuh manusia -tanah, udara, api dan air. Apabila unsur-unsur di dalam tubuh terlalu
panas atau terlau dingin maka akan menimbulkan penyakit. Untuk mengembalikan
keseimbangan unsur-unsur tersebut maka seseorang harus mengkonsumsi makanan atau
menjalani pengobatan yang bersifat lebih "dingin" atau sebaliknya. Pada, beberapa suku
bangsa, ibu yang sedang menyusui kondisi tubuhnya dipandang dalam keadaan "dingin"
32
sehingga ia harus memakan makanan yang "panas" dan menghindari makanan yang
"dingin". Hal sebaliknya harus dilakukan oleh ibu yang sedang hamil (Reddy, 1990).
Menurut Foster dan Anderson (1978: 37), masalah kesehatan selalu berkaitan dengan
dua hal yaitu sistem teori penyakit dan sistem perawatan penyakit. Sistem teori penyakit
lebih menekankan pada penyebab sakit, teknik-teknik pengobatan pengobatan penyakit.
Sementara, sistem perawatan penyakit merupakan suatu institusi sosial yang melibatkan
interaksi beberapa orang, paling tidak interaksi antar pasien dengan si penyembuh, apakah
itu dokter atau dukun. Persepsi terhadap penyebab penyakit akan menentukan cara
pengobatannya. Penyebab penyakit dapat dikategorikan ke dalam dua golongan yaitu
personalistik dan naturalistik. Penyakit- penyakit yang dianggap timbul karena adanya
intervensi dari agen tertentu seperti perbuatan orang, hantu, mahluk halus dan lain-lain
termasuk dalam golongan personalistik. Sementara yang termasuk dalam golongan
naturalistik adalah penyakit- penyakit yang disebabkan oleh kondisi alam seperti cuaca,
makanan, debu dan lain-lain.

2.12PENGEMBANGAN BUDAYA SETEMPAT DALAM PERSPEKTIF KESEHATAN IBU


DAN ANAK

Hingga saat ini sudah banyak program-program pembangunan kesehatan di


Indonesia yang ditujukan pada penanggulangan masalah-masalah kesehatan ibu dan anak.
Pada dasarnya program-program tersebut lebih menitik beratkan pada upaya-upaya
penurunan angka kematian bayi dan anak, angka kelahiran kasar dan angka kematian ibu.
Hal ini terbukti dari hasil-hasil survei yang menunjukkan penurunan angka kematian bayi
dan anak, angka kelahiran kasar. Namun tidak demikian halnya dengan angka kematian ibu
(MMR) yang selama dua dekade ini tidak menunjukkan penurunan yang berarti. SKRT 1994
menunjukkan hahwa MMR sebesar 400 – 450 per 100.000 persalinan.
Selain angka kematian, masalah kesehatan ibu dan anak juga menyangkut angka
kesakitan atau morbiditas. Penyakit-penyakit tertentu seperti ISP A, diare dan tetanus yang
sering diderita oleh bayi dan anak acap kali berakhir dengan kematian. Demikian pula
dengan peryakit-penyakit yang diderita oleh ibu hamil seperti anemia, hipertensi, hepatitis
dan lain-lain dapat membawa resiko kematian ketika akan, sedang atau setelah persalinan.

33
Baik masalah kematian maupun kesakitan pada ibu dan anak sesungguhnya tidak
te.rlepas dari faktor-faktor sosial budaya dan lingkungan di dalam masyarakat dimana
mereka berada. Disadari atau tidak, faktor-faktor kepercayaan dan pengetahuan budaya
seperti konsepsi-konsepsi mengenai berbagai pantangan, hubungan sebab- akibat antara
makanan dan kondisi sehat-sakit, kebiasaan dan ketidaktahuan, seringkali membawa
dampak baik positif maupun negatif terhadap kesehatan ibu dan anak. Pola makan,
misalnya, pacta dasarnya adalah merupakan salah satu selera manusia dimana peran
kebudayaan cukup besar. Hal ini terlihat bahwa setiap daerah mempunyai pola makan
tertentu, termasuk pola makan ibu hamil dan anak yang disertai dengan kepercayaan akan
pantangan, tabu, dan anjuran terhadap beberapa makanan tertentu.
Dari sudut pandang sistem medis moderen adanya persepsi masyarakat yang berbeda
terhadap penyakit seringkali menimbulkan permasalahan. Sebagai contoh ada masyarakat
pada beberapa daerah beranggapan bahwa bayi yang mengalami kejang- kejang disebabkan
karena kemasukan roh halus, dan hanya dukun yang dapat menyembuhkannya. Padahal
kejang-kejang tadi mungkin disebabkan oleh demam yang tinggi, atau adanya radang otak
yang bila tidak disembuhkan dengan cara yang tepat dapat menimbulkan kematian.
Kepercayaan-kepercayaan lain terhadap demam dan diare pada bayi adalah karena bayi
tersebut bertambah kepandaiannya seperti sudah mau jalan. Ada pula yang menganggap
bahwa diare yang sering diderita oleh bayi dan anak-anak disebabkan karena pengaruh
udara, yang sering dikenal dengan istilah "masuk angin". Karena persepsi terhadap
penyebab penyakit berbeda-beda, maka pengobatannyapun berbeda-beda. Misalnya, di suatu
daerah dianggap bahwa diare ini disebabkan karena "masuk angin" yang dipersepsikan
sebagai "mendinginnya" badan anak maka perlu diobati dengan bawang merah karena dapat
memanaskan badan si anak. Sesungguhnya pola pemberian makanan pada anak, etiologi
penyakit dan tindakan kuratif penyakit merupakan bagian dari sistem perawaatan kesehatan
umum dalam masyarakat (Klienman, 1980). Dikatakan bahwa dalam sistem perawatan
kesehatan ini terdapat unsur-unsur pengetahuan dari sistem medis tradisional dan moderen.
Hal ini terlihat bila ada anak yang menderita sakit, maka si ibu atau anggota keluarga lain
akan melakukan pengobatan sendiri (self treatment) terlebih dahulu, apakah itu dengan
menggunakan obat tradisional ataupun obat moderen. Tindakan pemberian obat ini
merupakan tindakan pertama yang paling sering dilakukan dalam upaya mengobati penykit
34
dan merupakan satu tahap dari perilaku mencari penyembuhan atau kesehatan yang dikenal
sebagai "health seeking behavior". Jika upaya ini tidak berhasil, barulah dicari upaya lain
misalnya membawa ke petugas kesehatan seperti dokter, mantri dan lain-lain.
Kehamilan, persalinan dan kematian ibu. Permasalahan utama yang saat ini masih
dihadapi berkaitan dengan kesehatan ibu di Indonesia adalah masih tingginya angka
kematian ibu yang berhubungan dengan persalinan. Menghadapi masalah ini maka pada
bulan Mei 1988 dicanangkan program Safe Motherhood yang mempunyai prioritas pada
peningkatan pelayanan kesehatan wanita terutama paada masa kehamilan, persalinan dan
pasca persalinan. Perawatan kehamilan merupakan salah satu faktor yang amat perlu
diperhatikan untuk mencegah terjadinya komplikasi dan kematian ketika persalinan,
disamping itu juga untuk menjaga pertumbuhan dan kesehatan janin. Memahami perilaku
perawatan kehamilan (ante natal care) adalah penting untuk mengetahui dampak kesehatan
bayi dan si ibu sendiri. Pacta berbagai kalangan masyarakat di Indonesia, masih banyak ibu-
ibu yang menganggap kehamilan sebagai hal yang biasa, alamiah dan kodrati. Mereka
merasa tidak perlu memeriksakan dirinya secara rutin ke bidan ataupun dokter. Masih
banyaknya ibu-ibu yang kurang menyadari pentingnya pemeriksaan kehamilan
menyebabkan tidak terdeteksinya faktor-faktor resiko tinggi yang mungkin dialami oleh
mereka. Resiko ini baru diketahui pada saat persalinan yang sering kali karena kasusnya
sudah terlambat dapat membawa akibat fatal yaitu kematian. Hal ini kemungkinan
disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan dan kurangnya informasi. Pada penelitian
yang dilakukan yang dilakukan di RS Hasan Sadikin, Bandung, dan 132 ibu yang
meninggal, 69 diantaranya tidak pernah memeriksakan kehamilannya atau baru datang
pertama kali pada kehamilan 7 -9 bulan (Wibowo, 1993). Selain dari kurangnya
pengetahuan akan pentingnya perawatan kehamilan, permasalahan-permasalahan pada
kehamilan dan persalinan. dipengaruhi juga oleh faktor nikah pada usia muda yang masih
banyak dijumpai di daerah pedesaan. Disamping itu, dengan masih adanya preferensi
terhadap jenis kelamin anak khususnya pada beberapa suku, yang menyebabkan istri
mengalami kehamilan yang berturut-turut dalam jangka waktu yang relatif pendek,
menyebabkan ibu mempunyai resiko tinggi pacta saat melahirkan.
Permasalahan lain yang cukup besar pengaruhnya pada kehamilan adalah masalah
gizi. Hal ini disebabkan karena adanya kepercayaan-kepercayaan dan pantangan- pantangan
35
terhadap beberapa makanan. Sementara, kegiatan mereka sehari-hari tidak berkurang
ditambah lagi dengan pantangan-pantangan terhadap beberapa makanan yang sebenamya
sangat dibutuhkan oleh wanita hamil tentunya akan berdampak negatif terhadap kesehatan
ibu dan janin. Tidak heran kalau anemia dan kurang gizi pada wanita hamil cukup tinggi
terutama di daerah pedesaan. Dari data SKRT 1986 terlihat bahwa prevalensi anemia pada
wanita hamil di Indonesia sebesar 73,7%, dan angka menurun dengan adanya program-
program perbaikan gizi menjadi 33% pada tahun 1995. Dikatakan pula bahwa penyebab
utama dari tingginya angka anemia pada wanita hamil disebabkan karena kurangnya zat gizi
yang dibutuhkan untuk pembentukan darah
Memasuki masa persalinan merupakan suatu periode yang kritis bagi para ibu hamil
karena segala kemungkinan dapat terjadi sebelum berakhir dengan selamat atau dengan
kematian. Sejumlah faktor memandirikan peranan dalam proses ini, mulai dari ada tidaknya
faktor resiko kesehatan ibu, pemilihan penolong persalinan, keterjangkauan dan ketersediaan
pelayanan kesehatan, kemampuan penolong persalinan sampai sikap keluarga dalam
menghadapi keadaan gawat.
Di daerah pedesaan, kebanyakan ibu hamil masih mempercayai dukun beranak untuk
menolong persalinan yang biasanya dilakukan di rumah. Data Survei Kesehatan Rumah
Tangga tahun 1992 rnenunjukkan bahwa 65% persalinan ditolong oleh dukun beranak.
Beberapa penelitian yang pernah dilakukan mengungkapkan bahwa masih terdapat praktek-
praktek persalinan oleh dukun yang dapat membahayakan si ibu. Penelitian Iskandar dkk
(1996) menunjukkan beberapa tindakan/praktek yang membawa resiko infeksi seperti
"ngolesi" (membasahi vagina dengan rninyak kelapa untuk memperlancar persalinan),
"kodok" (memasukkan tangan ke dalam vagina dan uterus untuk rnengeluarkan placenta)
atau "nyanda" (setelah persalinan, ibu duduk dengan posisi bersandar dan kaki diluruskan ke
depan selama berjam-jam yang dapat menyebabkan perdarahan dan pembengkakan).
Pemilihan dukun beranak sebagai penolong persalinan pada dasarnya disebabkan karena
beberapa alasan antara lain dikenal secara dekat, biaya murah, mengerti dan dapat
membantu dalam upacara adat yang berkaitan dengan kelahiran anak serta merawat ibu dan
bayi sampai 40 hari. Disamping itu juga masih adanya keterbatasan jangkauan pelayanan
kesehatan yang ada. Walaupun sudah banyak dukun beranak yang dilatih, namun praktek-
praktek tradisional tertentu rnasih dilakukan. lnteraksi antara kondisi kesehatan ibu hamil
36
dengan kemampuan penolong persalinan sangat menentukan hasil persalinan yaitu kematian
atau bertahan hidup. Secara medis, . penyebab klasik kematian ibu akibat melahirkan adalah
perdarahan, infeksi dan eklamsia (keracunan kehamilan). Kondisi-kondisi tersebut bila tidak
ditangani secara tepat dan profesional dapat berakibat fatal bagi ibu dalam proses persalinan.
Namun, kefatalan ini sering terjadi tidak hanya karena penanganan yang kurang baik tepat
tetapi juga karena ada faktor keterlambatan pengambilan keputusan dalam keluarga.
Umumnya, terutama di daerah pedesaan, keputusan terhadap perawatan medis apa yang
akan dipilih harus dengan persetujuan kerabat yang lebih tua; atau keputusan berada di
tangan suami yang seringkali menjadi panik melihat keadaan krisis yang terjadi. Kepanikan
dan ketidaktahuan akan gejala-gejala tertentu saat persalinan dapat menghambat tindakan
yang seharusnya dilakukan dengan cepat. Tidak jarang pula nasehat-nasehat yang diberikan
oleh teman atau tetangga mempengaruhi keputusan yang diambil. Keadaan ini seringkali
pula diperberat oleh faktor geografis, dimana jarak rumah si ibu dengan tempat pelayanan
kesehatan cukup jauh, tidak tersedianya transportasi, atau oleh faktor kendala ekonomi
dimana ada anggapan bahwa membawa si ibu ke rumah sakit akan memakan biaya yang
mahal. Selain dari faktor keterlambatan dalam pengambilan keputusan, faktor geografis dan
kendala ekonomi, keterlambatan mencari pertolongan disebabkan juga oleh adanya suatu
keyakinan dan sikap pasrah dari masyarakat bahwa segala sesuatu yang terjadi merupakan
takdir yang tak dapat dihindarkan

2.13ALKULTURAL BUDAYA DI INDONESEIA

Akulturasi merupakan suatu proses yang mana seseorang atau kelompok dari satu
budaya datang untuk mengadopsi praktik dan nilai-nilai budaya lain, sementara masih tetap
mempertahankan budaya mereka sendiri yang berbeda. Proses ini paling sering terjadi dalam
hal budaya minoritas yang mengadopsi unsur-unsur budaya mayoritas, seperti biasanya
terjadi pada kelompok imigran yang secara kultural atau etnis berbeda dari mayoritas di
tempat mereka berimigrasi.
Namun, akulturasi adalah proses dua arah, sehingga mereka yang berada di dalam
budaya mayoritas sering mengadopsi unsur-unsur budaya minoritas yang bersentuhan
dengannya, dan prosesnya perpaduan tersebut terjadi di antara kelompok-kelompok di mana

37
tidak ada yang mayoritas atau minoritas. Hal ini dapat terjadi pada tingkat kelompok dan
individu dan dapat terjadi sebagai akibat dari kontak atau kontak orang dalam melalui seni,
sastra, atau media.
Contohnya dapat dilihat pada saat islam masuk di Nusantara yang mana mengadopsi
budaya lokal seperti pertunjukan wayang yang diisi dengan dakwah penyebaran agama
islam di Nusantara yang pada akhirnya diterima dengan baik oleh masyarakat
setempat. Akulturasi tidak sama dengan proses asimilasi, meskipun beberapa orang
menggunakan kata-kata secara bergantian. Asimilasi dapat menjadi hasil akhir dari proses
akulturasi, tetapi prosesnya dapat memiliki hasil lain juga, termasuk penolakan, integrasi,
marjinalisasi, dan transmutasi.
Akulturasi Secara Umum
Akulturasi adalah sebuah proses yang muncul pada suatu kelompok yang memiliki
sebuah kebudayaan tertentu dalam menghadapi adanya budaya asing yang masuk ke dalam
kelompok tersebut. Berikut akan dikaji lebih dalam mengenai pengertian akulturasi menurut
beberapa tokoh yang ahli di bidangnya.
Akulturasi Menurut Para Ahli
3. Menurut Nardy, akulturasi merupakan proses sosial yang dihadapi oleh suatu
kelompok manusia saat mereka menghadapi masuknya budaya asing. Namun, seiring
dengan perkembangan zaman kebudayaan asing yang masuk dapat diterima tanpa harus
menghilangkan ciri khas dari kebudayaan asalnya.
4. Hasyim (2011) menyatakan bahwa akulturasi adalah hasil perpaduan antara dua
kebudayaan dalam kehidupan manusia.
5. Menurut John W. Berry (2005) akulturasi adalah sebuah perpaduan dua buah
kebudayaan yang disebabkan oleh adanya kontrak antar kelompok.
6. Dwi Hayudiarto (2005) menyatakan bahwa akulturas adalah sebuah perpaduan antara
dua buah kebudayaan yang secara perlahan mulai diterima tanpa menghilangkan
kebudayaan aslinya.
7. Menurut Suyono, akulturasi adalah perpaduan antara dua atau lebih kebudayaan yang
saling bertemu dan dan saling menerima

38
8. Koentjaraningrat menyatakan bahwa akulturasi adalah sebuah proses dimana masuknya
kebudayaan asing secara perlahan dapat diterima tanpa menghilangkan kebudayaan
aslinya.
9. Menurut KBBI akulturasi adalah adanya penyerapan suatu budaya dari kelompok
lainnya yang saling berinteraksi.

Proses Akulturasi
Proses akulturasi yang terjadi di negeri ini sangatlah khas, hal ini dikarenakan
akulturasi dapat terjadi dengan cara melalu kontak budaya yang akan dikaji berikut ini:
1. Kontak sosial pada yang terjadi pada seluruh kalangan masyarakat tanpa terkecuali.
2. Kontak budaya pada berbagai kondisi seperti persahabatab atau kondisi saling
bermusuhan.
3. Kontak budaya antar kelompok di mana ada kelompok yang menguasai dan ada yang
dikusaai dalam semau unsur budaya yang ada dalam berbagai bidang seperti ekonomi,
teknologi, ilmu pengetahuan maupun keagamaan dan lain – lain.
4. Kontak budaya antar masyarakat baik yang memiliki warga yang sedikit atau pun
banyak.
5. Kontak budaya antar sistem baik sistem budaya, sosial dan unsur budaya fisik.

Bentuk Akulturasi
Di zaman yang serba modern ini telah banyak sekali perpaduan yang menimbulkan
perubahan suatu kebudayaan yang mana meskipun terdapat jenis kebudayaan asing yang
masuk tidak menubah kebudayaan yang telah ada. Meskipun beberapa ada yang
ditambahkan untuk menjadikannya lebih bermanfaat. Nah, Berikut ini akan dikaji bentuk –
bentuk akulturasi yang ada di negeri ini.
1. Substitusi, Substitusi merupakan sarana untuk mengganti unsur lama dengan yang baru
sehingga dapat melengkapi unsur trsebut sehingga lebih baik.
2. Sinkretisme, Sinkretisme adalah sebuah perapaduan antara budaya lama dengan yang
baru dan menghasilkan sistem yang baru.
3. Penambahan, Penambahan adalah sarana mengkombinasikan antara dua atau lebih unsur
budaya sehingga memberikan nilai tambah pada unsur tersebut.

39
4. Penggantian, Dalam hal ini unsur budaya lama digantikan dengan budaya yang baru yang
lebih praktis dan efisien. Contohnya adalah pada kendaraan, seiring dengan
berkembanagnya zaman kini alat angkutan umum delman telah tergantikan dengan
ankutan umum.
5. Originasi, Unsur budaya baru yang masuk memberikan pengaruh yang besar terhadap
kehidupan. Contohnya adalah adanya listrik. Dahulu, sebelum ada listrik sarana untuk
penerangan adalah dengan sentir, namun perkembangan teknologi menjadikan
munculnya listrik yang sampai kini manfaatnya telah banyak kita manfaatkan bersama.
6. PenolakaN, Dalam hal ini adanya penolakan budaya baru yang masuk. Penolakan
tersebut dikarenakan adanya faktor ketidaksiapan manusia dalam menerima unsur budaya
baru.

Contoh Akulturasi
Akulturasi kebudayaan dapat kita lihat dalam lingkungan sekitar kita. Berikut ini
akan dikaji lebih banyak contoh – contoh akulturasi dalam kehidupan, antara lain adalah:
1. Seni Bangunan
Salah satu contohnya adalah bangunan candi. Mengapa demikian? Hal ini dikarenakan
bangunan pada candi merupakan perpaduan antara seni pada bangsa ini dengan seni
budaya bangsa india. Salah satunya dapat kita amati pada bangunana Candi Borobudur.
Pada bangunan candi tersebut pada umumnya digunakan untuk tempat pemujaan dewa.
2. Seni Tari
Perbedaan tempat tinggal menjadi penyebab lahirya kebiasaan pada masyarakat setempat.
Oleh karena itu, adanya perbedaan kebiasaan akan melahirkan ciri khas tertentu.
Contohnya adalah pada Tari Betawi. Salah satu contoh lainnya adalah perbaduan antara
orang betawi dengan Cina menghasilkan sebuah tari antara lain adalah tarik cokek,
lenong, da gambang kromong.
3. Sistem PakaiaN
Salah satu contoh dari pakaian adat betawi ada beberapa ciri khas antara lain adalah tutup
kepala dengan baju jas yang menutup leher dengan dilengkapi celana panjang. Selain itu,
pada pakaian adat ini pada bagian pinggang di beri selembar kain batik dan belati

40
dipasangkan pada bagian perut. Pakaian adat pada wanita umumnya menggunakan
kebaya yang dilengkapi dengan selendang panjang yang menutupi kepala dan kain batik.
4. Seni Rupa
Dalam hal ini banyak sekali kesenian yang hadir di Indonesia yang merupakan perabduan
dari kesenian dan kebudayaan India. Salah satunya adalah pada patung Budha.
5. Seni Sastra
Seni sastra dapat kita lihat pada prasasti kuno yang dapat kita jumpai di Kalimantan,
Timur, Jawa Tenagh, Jawa Barat dan lain – lain. Senisastra tersebut menampilkan
kombinasi Hindu dan Budha. Prasasti tersebut di tulis menggunakan huruf Pallawa. Nah,
itulah salah satu contoh adanya akulturasi pada zaman dahulu.
6. Kalender
Indonesia mengadobsi penanggalan dari Indonesia, yaitu menggunakan tahun Saka di
Indonesia. Itulah salah satu bentuk akulturasi yang digunakan di negeri ini.
7. Pemerintahan
Kebudayaan Hindu Budha memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam sistem
pemerintahan di negeri ini. Hal ini ditandai dengan perubahan dari kepala pemerintahan
yang dulunya kepala suku menjadi raja.
8. Adat Kebiasaan
Adat kebiasaan dapat anda lihat dalam akulturasi budaya Tionghoa dan budaya islam.
Salah satunya adala dengan saling berbagi dan memberi rezeki di bulan syawal. Berbagi
dapat mempererat tali persaudaraan antar sesama muslim.

Dampak Akulturasi
Akulturasi memberi dampak yang besar terhadap kehidupan di negeri ini. Hal ini
dapat memicu terjadinya perubahan ataupun perpaduan antara dua atau lebih kebudayaan.
Berikut akan dikaji beberapa dampak akulturasi:
3. Akulturasi berdampak pada munculnya perubahan cara pandang masayarakat zaman
dahulu dengan zaman sekarang. Salah satu contohnya adalah dahulu untuk dapat
bersilaturahmi kepada orang yang lebih tua harus datang dan saling berhadapan
langsung. Sekarang kini dapat bersilaturahmi dengan melalui telepon atau pun pesan
singkat.

41
4. Akulturasi juga berpengaruh terhadap pergaulan remaja yang semakin terbuka.
Terjadinya perubahan wawasan akibat perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan.
Salah satu contohnya adalah kini kita dapat mengakses beragam informasi melalui
smartphoneanda.
5. Perubahan mentalis, rasa malu serta keahlian masyarakat. Salah satu contohnya adalah
seiring perkembangan zaman seorang wanita dapat bekerja dan mengikuti arus politik,
menjadi pengusaha dan bisa juga menjadi pelopor pendirian sebuah perusahaan dan lain
– lain.

2.14PRAKTIK PENGEMBANGAN BUDAYA SETEMPAT DALAM KONTEKS


KESEHATANIBU DAN ANAK PADA PENERAPAN ASUHAN KEBIDANAN

Asuhan Kebidanan merupakan penerapan fungsi dan kegiatan yang menjadi


tanggung jawab dalam memberikan pelayanan kepada klien yang mempunyai kebutuha
natau masalah dalam bidang kesehatan ibu pada masa hamil, bersalin, nifas, bayi setelah
lahir,serta keluarga berencana (Depkes RI, 2008).Asuhan antenatal bertujuan memberikan
asuhan yang efektif dan menyeluruh (holistik) bagi ibu, bayi dan keluarganya melalui
tindakan skrining, pencegahan dan penanganan yang tepat (Holmes, dkk, 2012Hal. 256).
Sedangkan tujuan asuhan persalinan normal adalah menjaga kelangsungan hidup dan
memberikan derajat kesehatan yang tinggi bagi ibu dan bayinya, melalui upaya yang
terintegrasi dan lengkap tetapi dengan intervensi yang seminimal mungkin agar prinsip
keamanan dan kualitas pelayanan dapat terjaga pada tingkat yang diinginkan
(optimal)(JNPK-KR, Persalinan, 2007).Pemberian asuhan selanjutnya adalah pada masa
nifas dengan mejaga kesehatan ibu dan bayinya, baik fisik maupun psikologis, mendeteksi
masalah, mengobati dan merujuk jika terjadi komplikasi pada ibu maupun bayinya (Saleha,
2009. Hal 172).Kemudian asuhan segera pada bayi baru lahir adalah asuhan yang diberikan
pada bayi yang baru lahir (Saifudin, dkk, 2006.Hal 200).Masalah Kesehatan Ibu dan Anak
(KIA) merupakan salah satu masalah kesehatan yang menyita perhatian dunia. Hal ini
disebabkan karena Angka Kematian Ibu (AKI) maupun Angka Kematian Bayi (AKB)
merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk melihat derajat kesehatan
dunia(Saifuddin, 2009. Hal. 203).Kematian ibu menurut WHO, 2007 adalah kematian yang

42
terjadi saat hamil, bersalin, atau dalam 42 hari pasca persalinan dengan penyebab yang
berhubungan langsung atau tidak langsung terhadap kehamilan. AKI di Indonesia selama
tahun 2016 adalah sebesar 228per 100.000 kelahiran hidup (SDKI 2016).AKB di Indonesia
menunjuk kanangka 25,5 per 1000 bayilahir (BPS 2016). Sedangkan AKI di Propinsi Jawa
Timur tahun 2016 adalah sebesar 97,39 per 100.000 kelahiran hidup (SDKI, 2016). AKB di
Povinsi Jawa Timur pada tahun 2016 menunjuk kanangka 13,09 per 100.000 kelahiranhidup
(SDKI, 2016).
Untuk mengatasi AKI dan AKB antara lain melalui penempatan bidan di desa,
pemberdayaan keluarga dan masyarakat dengan menggunakan Buku Kesehatan Ibu dan
Anak, Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K), penyediaan
PONED di Puskesmas dan PONED di Rumah Sakit serta adanya penerapan Asuhan
Kebidanan secara komprehensif terutama pada ibu hamil. Asuhan yang diberikan harus
mengutamakan pelayanan yang berkesinambungan (Continuity of Care) sehingga kesehatan
ibu dan janin dapat terpantau dengan baik. Penerapan asuhan kebidanan berbasis
Continuityof Care merupakan pelayanan bidan yang berkesinambungan yaitu bidan diakui
sebagai seseorang yang professional dan bertanggung jawab. Pelayanan ANC secara ANC
Terpadu dan pelayanan sesuai standart ANC 10 T yaitu timbang berat badan dan ukur tinggi
badan, pemeriksaan tekanan darah, nilai status gizi (ukur lingkar lengan atas), pemeriksaan
puncak rahim (tinggi fundus uteri), tentukan presentasi janin dan denyut jantung janin (DJJ),
skrining status imunisasi Tetanus dan berikan imunisasi Tetanus Toksoid (TT) bila
diperlukan, pemberian Tablet zat besi minimal 90 tablet selama kehamilan, test laboratorium
(rutin dan khusus), tatalaksana kasusdan temu wicara (konseling), termasuk Perencanaan
Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K) serta KB paska persalinan.

43
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN

Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia (basic human needs) yang
sangat penting bagi manusia. Hal ini terkait erat dengan kenyataan bahwa manusia yang
sehat jasmani dan rohani memungkinkannya untuk melakukan peran-peran sosial sesuai
dengan statusnya di masyarakat. Untuk memenuhi kebutuhan mereka akan kesehatan, setiap
masyarakat di unia mengembangkan sistem medis yang berisi tentang seperangkat
kepercayaan, pengetahuan, aturan, dan praktik-praktik sebagai satu kesatuan yang digunakan
untuk memobilisasi berbagai sumber daya dalam rangka memelihara kesehatan, mencegah
dan menyembuhkan penyakit, baik fisik maupun rohani. Dengan demikian, sistem medis
pada hakekatnya adalah pranata sosial yang memberi pedoman atau petunjuk bagi kelakuan
manusia untuk memenuhi kebutuhan mereka akan kesehatan dalam suatu sistem sosial, atau
sistem kesehatan sebagai sistem budaya.
Pada masyarakat Bali konsepsi tentang kondisi sehat atau sakit mengacu pada prinsip
keseimbangan dan ketidakseimbangan sistemik unsur-unsur pembentuk tubuh dan unsur-
unsur yang ada di dalam tubuh manusia, serta keseimbangan hubungan dengan lingkungan
yang 5Bih luas. Keseimbangan dan berfungsinya unsur-unsur sistemik dalam tubuh serta
terpeliharanya keharmonisan hubungan dengan lingkunggan, baik fisik maupun sosial,
budaya dan psikis menjadi penyebab utama terbentuknya kondisi sehat. Sebaliknya,
ketidakseimbangan unsur-unsur tersebut menjadi faktor utama gangguan kesehatan atau
penyebab sakit. Dengan demikian, menurut konsepsi orang Bali sehat tidak hanva
menyangkut bebas dari sakit atau penyakit, tetapi juga untuk menikmati seterusnya tanpa
terputus-putus terhadap keadaan fisik, mental dan spiritual yang bahagia dan utuh.

44
Daftar Pustaka

https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8
&ved=2ahUKEwj7m9jbltfjAhWKuY8KHaq-
CfQQFjAAegQIBBAB&url=https%3A%2F%2Fwww.academia.edu%2F9337995%2F
KESEHATAN_IBU_DAN_ANAK_PERSEPSI_BUDAYA_DAN_DAMPAK_KESEH
ATANNYA&usg=AOvVaw1HCCbpqlw9EUIy0ZQUkLwZ
https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=http://repository.usu.ac.id/bitstre
am/handle/123456789/27228/Chapter%2520II.pdf%3Fsequence%3D4%26isAllowed%
3Dy&ved=2ahUKEwi5wNfYqtXjAhWHro8KHUh8B7cQFjADegQICRAC&usg=AOv
Vaw1mLZt5mqPzc72BwwMUYbPt
https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=http://download.garuda.ristekdik
ti.go.id/article.php%3Farticle%3D949859%26val%3D14662%26title%3DMENYAMB
UT%2520GENERASI%2520BARU%2520DALAM%2520KONTEKS%2520BUDAY
A:%2520METAETNOGRAFI%2520BUDAYA%2520PERSALINAN%2520DI%2520
INDONESIA&ved=2ahUKEwi5wNfYqtXjAhWHro8KHUh8B7cQFjAGegQIBRAB&
usg=AOvVaw1Qp8_eN0Udr760UVeXISpX
https://www.google.com/amp/s/syafroafni.wordpress.com/2013/05/14/dampak-positif-dan-
negatif-terhadap-perkembangan-budaya-perbedaan-kebudayaan-dan-peradaban-konsep-
nilai-dan-sistem-nilai-budaya/amp/
http://umatsedharma.blogspot.com/2009/11/pawiwahan-dan-rangkaian-
upacaranya.html?m=1http://phdi.or.id/artikel/makna-upacara-magedong-gedongan
https://yanartha.wordpress.com/runtutan-upacara-manusia-yadnya-dalam-agama-hindu-serta-
sarana-dan-tatacara-pelaksanaannya/

45

Anda mungkin juga menyukai