Anda di halaman 1dari 4

Tradisi bayi yang baru lahir dari suku batak

.Tradisi “maranggap” pada masyarakat Batak Toba tidak hanya


mengandung nilai-nilai, tetapi juga sejumlah pengetahuan medis.
Maranggap adalah satu tradisi di mana para tetangga bermalam di rumah
keluarga yang baru memperoleh anak. Dulu kegiatan ini bisa dilakukan
sampai satu minggu.

Selama maranggap mereka menggelar acara untuk menghilangkan


kejenuhan. Pada dasarnya maranggap dilakukan untuk membantu keluarga
yang baru saja dikarunai anak itu. Terutama keluarga yang baru mendapat
anak pertama. Maklum, selain belum berpengalaman mengurus anak,
kehadiran tetangga itu juga untuk membantu si istri dalam proses
pemulihan pasca melahirkan.

Yang perempuan akan mengurus pekerjaan di dapur. Sedangkan pada


malam harinya, kelompok laki-laki akan berjaga-jaga. Mereka menjagai si
ibu dan bayinya. Dalam keyakinan masyarakat Batak Toba di masa lalu,
bayi yang baru lahir, rentan diganggu roh halus.

Selain itu juga kerap menjadi sasaran seseorang yang sedang menuntut
ilmu. Karena itu ari-ari bayi harus ditanam secara sembunyi-sembunyi.
Jangan ada yang tahu. Karena tak jarang orang maranggap untuk mencari
tahu dimana ari-ari itu ditanam.

Biasanya ari-ari itu dimasukkan ke dalam tandok kecil yang diayam dari
pandan lengkap bdengan 1 biji kemiri, 1 buah jeruk purut, dan tujuh
lembar daun sirih. Umumnya ditanam di tanah becek atau sawah dengan
harapan, si anak kelak akan dilimpahi rezeki.

Hal itu dijelaskan budayawan Batak Toba dari Komunitas Laponta, Batara
Guru Simanjuntak kepada medanbisnisdaily.com, Jumat (15/9).

Maklum persalinan di masa lalu, tidak seperti sekarang ini. Setelah si ibu
melahirkan, ia perlu mendapat terapi khusus. Pada umumnya si ibu akan
“marbara”. Yakni menghangatkan tubuhnya dengan bara api. Hal ini
dilakukan agar tulang dan persendiannya cepat sembuh dan tidak keropos.

Ketika marbara si ibu harus dijaga ketat. Apalagi saat malam hari. Bara api
dipastikan harus tetap menyala. Maklum udara di kampung sangat dingin.
Kondisi ibu yang baru melahirkan sangat rentan dengan iklim dingin.
Dikhawatirkan si ibu menggigil sehingga berpengaruh kepada kesehatan
dan ASI-nya.
Begitu juga dengan si bayi. Meski sudah dilampin dengan beberapa lapis
kain, tetap juga harus berada dalam ruang yang hangat.

?Namun yang harus lebih diperhatikan adalah posisi tidur si bayi dan
ibunya. Sering terjadi karena lalai, si bayi tertimpa ibunya sendiri.
Termasuk ada kasus ibu yang melempar bayinya karena ia bermimpi
buruk. Untuk memastikan itulah si ibu perlu ditemani secara intens,” jelas
Batara Guru.

Pengetahuan Medis

Proses bersalin dalam tradisi masyarakat Batak Toba cukup unik. Sebelum
sarana kesehatan memadai, persalinan biasa ditangani oleh si baso. Si baso
adalah sebutan bagi seorang perempuan yang mempunyai bermacam
keahlian. Salah satunya dalam bidang persalinan.

Biasanya, si baso juga memiliki sejumlah pengetahuan yang tak dimiliki


kebanyakan orang. Misalnya ia dapat meramal nasib atau menentukan
hari-hari baik. Bahkan adakalanya ia mampu berkomunikasi dengan
makhluk-makhluk halus.

Setelah ibu melahirkan, si baso lalu memecahkan kemiri, mengunyahnya


dan kemudian memberikannya kepada bayi. Tujuannya untuk
membersihkan kotoran yang dibawa bayi dari kandungan.

“Juga membersihkan saluran pencernaan makanan dari kotoran pertama si


bayi, yang disebut tilan,” jelas Batara.

Ia juga memilin benang berwarna merah, putih, hitam untuk dijadikan


kalung atau gelang. Kemudian membungkus beberapa jenis tanaman obat
seperti jerango untuk dijadikan mainan kalung atau gelang itu. Beberapa
hari kemudian, dalam bungkusan itu, biasanya juga disimpan tali pusarnya.

Dalam budaya Batak Toba, proses kehamilan sampai kelahiran


mengandung nilai-nilai. Contohnya, pada bulan 1 adalah proses
menyatunya benih roh dan rohani dengan jasmani dan kodrati Mulajadi
Nabolon (Sang Pencipta).

Pada bulan ke-2, Debata Natolu hadir dalam diri janin. Kehadiran Debata
Natolu, diyakini akan menjaga, merawat dan menuntun bayi serta ibunya.
Kehadiran Debata Natolu mengiringi proses yang terjadi di bulan-bulan
berikutnya.
Dalam pengetahuan orang Batak Toba, setelah sembilan bulan dalam
kandungan, bayi akan mulai berputar mencari lubang untuk keluar.
Kejadian ini berlangsung selama tujuh hari. Setelah hari ketujuh itu,
diyakini pintu bumi akan terbuka dan bayi tersebut keluar.

Selama fase mengandung dan melahirkan itu, kita juga mengenal beberap
ritus lain, yang kini sudah jarang dipraktikkan. Antara lain, mangirdak.
Mangirdak berarti memberi semangat. Yakni kelurga istri datang dan
memberi makan anak perempuannya. Biasanya ini dilakukan pada fase
tujuh bulanan.

Dalam kesempatan itu juga diberikan ulos tondi. Ulos tondi menyimbolkan
kekuatan jiwa dan fisik, khususnya bagi si ibu agar diberi kekuatan dan
semangat untuk menghadapi proses melahirkan.

Sesudah anak lahir, selanjutnya akan digelar ritus mangharoani, yakni


syukuran karena si bayi telah lahir dengan selamat. Pada terminologi lain
kerap disebut mamboan aek si unte. Air yang dibawa merupakan simbol
untuk memperlancar ASI.
Tradisi nifas suku batak
Ada sebuah tradisi yang cukup mengerikan jika dibandingkan dengan perkembangan
dunia medis modern saat ini. Neno Boha adalah salah satu budaya di suku Timor yang
peruntukan pada ibu pasca melahirkan selama 40 hari. Selama masa nifas (40 hari)
seorang ibu dilarang keluar dari rumah bulat, yakni rumah adat timor, begitu juga dengan
bayinya.
Setiap hari ibu dan bayi harus tinggal di rumah bulat, dan hanya boleh dijenguk oleh
kerabat terdekatnya saja. Ibu tidak hanya tinggal di rumah bulat, tetapi harus menjalani
ritual yang sangat tidak lazim bagi dunia medis modern saat ini. Ibu setiap hari akan
dikompres dengan air panas yang diletakkan pada kain timor. Tujuan pengompresan ini
adalah untuk memperlancar peredaran darah. Proses ini disebut dengan Tatobi.
Selama habis melahirkan, ibu juga harus menjalani ritual Peanggan. Ritual ini adalah
mengasapi tubuh ibu dan bayi. Perapian dibuat tepat di bawah tempat tidur, lali ibu dan
bayi ada di atasnya. Tujuan dari peanggan adalah agar mengeringkan luka-luka pasca
melahirkan. Pengasapan ini dilakukan hampir setiap hari dan harus dijalani selama 40
hari.
[caption caption="Seorang ibu sedang meniti/menumbuk jagung bose yang digunakan
untuk bahan makanan (dok.pri)."]

[/caption]
Tradisi yang ketiga adalah, ibu hanya boleh mengonsumsi jagung bose. Jagung bose
adalah jagung lokal yang tumbuh di Pulau Timor. Jagung ini menjadi satu-satunya asupan
makanan bagi ibu, dan ibu kepada bayinya lewat air susu ibu. Selama mengonsumsi
jagung bose, tidak boleh dicampur dengan jenis makanan lain. Alasan tidak boleh
dicampur dengan makanan lain, adalah adanya ketakutan jika terjadi apa-apa pada ibu
dan bayinya. Contohnya jika dia mengonsumsi ikan, maka ibu bisa gatal-gatal demikian
juga dengan bayinya. Jika mengonsumsi kacang-kacangan takut kembung pada ibu dan
bayinya. Sebuah ketakutan yang kadang tidak beralasan tetapi benar-benar ditaati karena
sudah menjadi adat turun-temurun.
Maria, salah satu ibu yang baru saja melahirkan menceritakan kisah selama 40 hari di
rumah bulat. Sudah 3 kali dia melahirkan, dan mendapat perlakuan yang sama. Acapkali
dia menangis saat tinggal di rumah bulan 1 bulan 10 hari. Rasa bosan kerap melanda
setiap hari. Tidak hanya bosan akan suasana, tetapi juga bosan dengan makanan yang
monoton jagung saja, setiap hari dikompres yang kadang hingga melepuh, dan diasap.
[caption caption="Ibu ini menceritkan bagaimana dia harus mengikuti tradisi Neno baha
untuk kelahiran anak pertama dan keduanya, sedangkan anak ketiganya dia sudah tinggal
di rumah kotak dan makan makanan yang bervarisi (dok.pri)."]

Anda mungkin juga menyukai