Anda di halaman 1dari 30

Tugas Makalah

KARAKTERISTIK SOSIAL, EKONOMI, DAN BUDAYA


MASYARAKAT PESISIR DAN KEPULAUAN

Dosen Pengampu: Dr. Suhadi,S.K.M.,M.Kes.

Disusun Oleh:

Suci Fitrah Damayanti

J1A120231

Kelas D

Mata Kuliah: Ilmu Pesisir Kepulauan

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

T.A. 2020/2021
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan Puji Syukur atas Kehadirat Allah Yang Maha Kuasa karena atas
Rahmat dan Hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan judul
“KARAKTERISTIK SOSIAL, EKONOMI, DAN BUDAYA MASYARAKAT WILAYAH
PESISIR DAN KEPULAUAN” dengan tujuan untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah
Pengantar Ilmu Pesisir Kepulauan Tahun Ajaran 2021.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tugas ini masih jauh dari kategori sempurna.
Oleh karena itu, penulis dengan hati dan tangan terbuka mengharapkan saran dan kritik yang
membangun demi kesempurnaan tugas yang akan datang.

Selanjutnya dalam kesempatan ini penulis tidak luupa untuk menyampaikan ucapan
terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan
moral dan spritual, langsung maupun tidak langsung dalam menyelesaikan tugas ini. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Raha, 21 November 2020

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman Judul…………………………………………………………………………………

Kata Pengantar………………………………………………………………………………...

Daftar Isi……………………………………………………………………………………….

Bab I Pendahuluan……………………………………………………………………………

A. Latar belakang……………………………………………………………………
B. Rumusan Masalah…………………………………………………………………
C. Tujuan……………………………………………………………………………...

Bab II Pembahasan…………………………………………………………………………….

A. Masyarakat Pesisir………………………………………………………
B. Karakteristik Masyarakat Pesisir…………………………………………………
C. Karakteristik Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir…………………………………
D. Budaya dan Tradisi Masyarakat Pesisir……………………………………….
E. Wujud dan Komponen Budaya…………………………………………
F. Perubahan Sosial Budaya …………………………………………
G. Pengelolaan Sumber Daya Alam Oleh Masyarakat Pesisir……………

Bab III Penutup………………………………………………………………………………

A. Kesimpulan……………………………………………………………………….
B. Saran……………………………………………………………………………...

Daftar Pustaka………………………………………………………………………………..
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Secara geografis, Indonesia terdiri dari beribu pulau yang sebagian besar wiliyahnya
(62%) merupakan perairan laut, selat dan teluk; sedangkan 38 % lainnya adalah daratan yang
didalamnya juga memuat kandungan air tawar dalam bentuk sungai, danau, rawa, dan waduk.
Demikian luasnya wiliyah laut di Indonesia sehingga mendorong masyarakat yang hidup di
sekitar wilayah laut memanfaatkan sumber kelautan sebagai tumpuan hidupnya.
Ketergantungan masyarakat terhadap sektor kelautan ini memberikan identitas tersendiri
sebagai masyarakat pesisir dengan pola hidup yang dikenal sebagai kebudayaan pesisir
(Geertz, H., 1981: 42).

Sebagai negara kepulauan, tidaklah mengherankan jika lebih kurang dua pertiga dari
teritorial negara kesatuan yang berbentuk republik ini merupakan perairan, dengan luas lebih
kurang 5,8 juta km2. Selain itu, Indonesia juga merupakan salah satu negara yang memiliki
garis  pantai terpanjang di dunia setelah Kanada yang mencapai lebih kurang 81.000 km.

Demikian luasnya wiliyah laut di Indonesia sehingga mendorong masyarakat yang hidup
di sekitar wilayah laut memanfaatkan sumber kelautan sebagai tumpuan hidupnya.
Ketergantungan masyarakat terhadap sektor kelautan ini memberikan identitas tersendiri
sebagai masyarakat pesisir dengan pola hidup dan karakteristik tersendiri.

Saat ini, kebanyakan orang memahami gagasan "budaya" yang dikembangkan di Eropa
pada abad ke-18 dan awal abad ke-19. Gagasan tentang "budaya" ini merefleksikan adanya
ketidakseimbangan antara kekuatan Eropa dan kekuatan daerah-daerah yang dijajahnya.
Mereka menganggap 'kebudayaan' sebagai "peradaban" sebagai lawan kata dari "alam".
Menurut cara pikir ini, kebudayaan satu dengan kebudayaan lain dapat diperbandingkan;
salah satu kebudayaan pasti lebih tinggi dari kebudayaan lainnya. Pada akhir abad ke-19, para
ahli antropologi telah memakai kata kebudayaan dengan definisi yang lebih luas.
Pada tahun 50-an, subkebudayaan-kelompok dengan perilaku yang sedikit berbeda dari
kebudayaan induknya-mulai dijadikan subyek penelitian oleh para ahli sosiologi. Sebuah
kebudayaan besar biasanya memiliki sub-kebudayaan, yaitu sebuah kebudayaan yang
memiliki sedikit perbedaan dalam hal perilaku dan kepercayaan dari kebudayaan induknya.
Munculnya sub-kultur disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya karena perbedaan umur,
ras, etnisitas, kelas, aesthetik, agama, pekerjaan, pandangan politik dan gender.

Berbicara masalah budaya, Indonesia mempunyai berbagai macam suku ras, adat, dan
budaya serta alam lainnya. Indonesia juga kaya akan budaya. Namun seiring dengan
perkembangan jaman era globalisasi. Kebudayaan Indonesia mulai luntur. Hal ini
dikarenakan semakin berkembangnya teknologi. Dengan demikian pola pikir Indonesia
menjadi terpengaruh kehidupan barat atau pola budaya Barat, sehingga mereka melupakan
kebudayaannya sendiri.

Desa pesisir merupakan entitas sosial,ekonomi, ekologi dan budaya, yang menjadi batas
antara daratan dan lautan, di mana di dalamnya terdapat suatu kumpulan manusia yang
memiliki pola hidup dan tingkah laku serta karakteristik tertentu. Masyarakat pesisir ini
menjadi tuan rumah di wilayah pesisir sendiri. Mereka menjadi pelaku utama dalam
pembangunan kelautan dan perikanan, serta pembentuk suatu budaya dalam kehidupan
masyarakat pesisir. Banyak diantaranya faktor-faktor yang menyebabkan masyarakat pesisir
menjadi suatu komunitas yang terbelakang atau bahkan terisolasi sehingga masih jauh untuk
menjadikan semua masyarakat setempat sejahtera.

Dilihat dari faktor internal masyarakat pesisir kurang terbuka terhadap teknologi dan
tidak cocoknya pengelolaan sumberdaya dengan kultur masyarakat setempat. Sebagai usaha
untuk menindak lanjuti masalah tersebut, pemerintah seharusnya membekali masyarakat
dengan Ilmu pengetahuan Budaya, agar manusia dapat menjadi manusia yang berbudaya dan
agar tidak melupakan budayannya sendiri.
Oleh karena itu, kebudayaan Pesisir dapat diartikan sebagai sistem-sistem pengetahuan
yang isinya adalah perangkat-perangkat model pengetahuan yang dipunyai dan dijiwai oleh
masyarakat pendukungnya. Perangkat model-model pengetahuan tadi, berisi konsep-konsep,
teori-teori, dan metode atau teknik . Keseluruhannya itu digunakan secara selektif untuk
melangsungkan kehidupan, yaitu memenuhi kebutuhan-kebutuhan: fisik, sosial, dan
integratifnya dalam lapangan: bahasa, agama, seni, ilmu pengetahuan, organisasi sosial
(politik), teknologi, dan ekonomi.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah pada makalah ini.

1. Apa itu masyarakat pesisir?


2. Bagaimana karakteristik masyarakat pesisir?
3. Bagaimana karakteristik sosial ekonomi masyarakat pesisir?
4. Bagaimana budaya dan tradisi masyarakat pesisir?
5. Bagaimana wujud dan komponen budaya?
6. Bagaimana perubahan sosial budaya?
7. Bagaimana pengelolaan sumber daya alam oleh masyarakat pesisir?

C. Tujuan

Tujuan dalam pembuatan makalah:


1. Untuk mengetahui tentang masyarakay pesisir.
2. Untuk mengetahui karakteristik masyarakat pesisir.
3. Untuk mengetahui karakteristik sosial ekonomi masyarakat pesisir.
4. Untuk memahami budaya dan tradisi masyarakat pesisir.
5. Untuk mengetahui wujud dan komponen budaya.
6. Untuk mengetahui perubahan sosial budaya.
7. Untuk mengetahui pengelolaan sumber daya alam oleh masyarakat pesisir.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Masyarakat Pesisir

Masyarakat (sebagai terjemahan istilah society) adalah sekelompok orang yang


membentuk sebuah sistem semi tertutup (atau semi terbuka), di mana sebagian besar
interaksi adalah antara individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut. Kata
"masyarakat" sendiri berakar dari kata dalam bahasa Arab, musyarak. Lebih abstraknya,
sebuah masyarakat adalah suatu jaringan hubungan-hubungan antar entitas-entitas.
Masyarakat adalah sebuah komunitas yang interdependen (saling tergantung satu sama lain).
Umumnya, istilah masyarakat digunakan untuk mengacu sekelompok orang yang hidup
bersama dalam satu komunitas yang teratur. Berikut  pengertian masyarakat menurut
beberapa ahli :

1. John J. Macionis : Masyarakat adalah orang-orang yang berinteraksi dalam sebuah


wilayah tertentu dan memiliki budaya bersama.

2. Gillin & Gillin : masyarakat adalah kelompok manusia yang mempunyai kebiasaan
tradisi, sikap dan perasaan persatuan yang diikat oleh bersamaan.

3. Harton haunt : Masyarakat adalah suatu organisasi manusia yang saling  berhubungan.

4. Selo Sumardjan : Masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama dan


menghasilkan kebudayaan.

Pesisir merupakan daerah pertemuan antara darat dan laut; ke arah darat meliputi bagian
daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti
pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin; sedangkan ke arah laut meliputi bagian laut
yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan
aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti
penggundulan hutan dan pencemaran (Soegiarto, 1976; Dahuri et al, 2001).
Berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP.10/MEN/2002
tentang Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu, Wilayah Pesisir
didefinisikan sebagai wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang saling
berinteraksi, dimana ke arah laut 12 mil dari garis pantai untuk propinsi dan sepertiga dari
wilayah laut itu (kewenangan propinsi) untuk kabupaten/kota dan ke arah darat batas
administrasi kabupaten/kota.

Secara teoritis, masyarakat pesisir merupakan masyarakat yang tinggal dan melakukan
aktifitas sosial ekonomi yang terkait dengan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan. Dengan
demikian, secara sempit masyarakat pesisir memiliki ketergantungan yang cukup tinggi
dengan potensi dan kondisi sumberdaya pesisir dan lautan. Namun demikian, secara luas
masyarakat pesisir dapat pula didefinisikan sebagai masyarakat yang tinggal secara spasial di
wilayah pesisir tanpa mempertimbangkan apakah mereka memiliki aktifitas sosial ekonomi
yang terkait dengan potensi dan kondisi sumberdaya pesisir dan lautan.

Menurut Fahmi, Masyarakat pesisir itu sendiri dapat didefinisikan sebagai kelompok
orang atau suatu komunitas yang tinggal di daerah pesisir dan sumber kehidupan
perekonomiannya bergantung secara langsung pada pemanfaatan sumberdaya laut dan
pesisir.

B. Karakteristik Masyarakat Pesisir

Masyarakat pesisir pada umumnya telah menjadi bagian masyarakat pluraristik tapi
masih tetap memiliki jiwa kebersamaan. Artinya bahwa struktur masyrakat pesisir rata rata
merupakan gabungan karakteristik masyarakat perkotaan dan perdesan. Karena, Struktur
masyarakat pesisir sangat plurar, sehingga mampu membentuk sistem dan nilai budaya dari
masing masing komponen yang membentuk struktur masyarakat.
Hal menarik adalah bahwa bagi mastarakat pesisir, hidup di dekat pantai merupakan hal
yang paling di inginkan untuk dilakukan mengingat segenap aspek kemudahan dapat mereka
peroleh dalam berbagai aktifitas kesehariannya. Dua contoh sederhana dari kemudahan –
kemudahanan tersebut diantaranya ; pertama,bahwa kemudahan aksebilitas dari dan
kesumber mata pencarian lebih terjamin, mengingat sebagian masyarakat pesisir
menguntungkan kehidupannya pada pemanfaat potensi perikanan dan laut yang dapat di
sekitarnya, seperti penangakapan ikan, pengumpulan atau budidaya rumput laut, dan
sebagainya.

Masyarakat pesisir mempunyai sifat-sifat atau karakteristik tertentu yang khas/unik.


Sifat ini sangat erat kaitannya dengan sifat usaha di bidang perikanan itu sendiri. Karena sifat
dari usaha-usaha perikanan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti lingkungan, musim
dan pasar, maka karakteristik masyarakat pesisir juga terpengaruhi oleh faktor-faktortersebut.
Beberapa sifat dan karakteristik usaha-usaha masyarakat pesisir diuraikan sebagai berikut.

1. Mata Pencaharian
Masyarakat pesisir pada umumnya sebagian besar penduduknya  bermatapencaharian di
sektor pemanfaatan sumberdaya kelautan (marine resource based), seperti nelayan,
pembudidaya ikan, penambangan pasir dan transportasi laut.

Masyarakat di kawasan pesisir Indonesia sebagian besar berprofesi sebagai nelayan yang
diperoleh secara turun-temurun dari nenek moyang mereka. Karakteristik masyarakat nelayan
terbentuk mengikuti sifat dinamis sumberdaya yang digarapnya, sehingga untuk mendapatkan
hasil tangkapan yang maksimal, nelayan harus berpindah-pindah. Selain itu, resiko usaha
yang tinggi menyebabkan masyarakat nelayan hidup dalam suasana alamyang keras dimana
selalu diliputi oleh adanya ketidakpastian dalam menjalankan usahanya.
2. Penghasilan
Karakteristik masyarakat pesisir berbeda dengan karakterisik masyarakat agraris atau
petani. Dari segi penghasilan, petani mempunyai pendapatan yang dapat dikontrol karena
pola panen yang terkontrol sehingga hasil pangan atau ternak yang mereka miliki dapat
ditentukan untuk mencapai hasil pendapatan yang mereka inginkan. Berbeda halnya dengan
masyarakat pesisir yang mata  pencahariannya didominasi dengan pelayan. Pelayan bergelut
dengan laut untuk mendapatkan penghasilan, maka pendapatan yang mereka inginkan tidak
bisa dikontrol.

Secara umum, pendapatan nelayan memang sangat berfluktuasi dari hari ke hari. Pada
suatu hari, mungkin nelayan memperoleh tangkapan yang sangat tinggi, tapi pada hari
berikutnya bisa saja “kosong”. Hasil tangkapan dan pada giliranya  pendapatan nelayan juga
dipengaruhi oleh jumlah nelayan operasi penangkapan di suatu daerah penangkapan Di
daerah yang padatpenduduknya, akan mengalami kelebihan tangkap (overfishing). Hal ini
mengakibatkan volume hasil tangkap dari para nelayan menjadi semakin kecil, sehingga pada
akhirnya akan mempengaruhi pendapatan mereka.

3. Ketergantungan pada Kondisi Lingkungan


Salah satu sifat usaha perikanan yang sangat menonjol adalah bahwa keberlanjutan atau
keberhasilan usaha tersebut sangat bergantung pada kondisi lingkungan, khususnya air.
Keadaan ini mempunyai implikasi yang sangat penting bagi kondisi kehidupan sosial
ekonomi masyarakat pesisir. Kehidupan masyarakat pesisir menjadi sangat tergantung pada
kondisi lingkungan itu dan sangat rentan terhadap kerusakan lingkungan, khususnya
pencemaran, karena limbah industri maupun tumpahan minyak, misalnya, dapat
menggoncang sendi-sendi kehidupan sosial ekonomi masyarakat pesisir. Pencemaran di
pantai Jawa beberapa waktu lalu, contohnya, telah menyebabkan produksi udang tambak
anjlok secara drastis. Hal ini tentu mempunyai konsekuensi yang besar terhadap kehidupan
para petani tambak tersebut.
4. Ketergantungan pada Musim

Karakteristik lain yang sangat menyolok di kalangan masyarakat pesisir,, khususnya


masyarakat nelayan, adalah ketergantungan mereka pada musim. Ketergantungan pada
musim ini semakin besar bagi para nelayan kecil. Pada musim penangkapan para nelayan
sangat sibuk melaut. Sebaliknya, pada musim peceklik kegiatan melaut menjadi berkurang
sehingga banyak nelayan yang terpaksa menganggur.

Kondisi ini mempunyai implikasi besar pula terhadap kondisi sosial ekonomi
masyarakat pantai secara umum dan kaum nelayan khususnya. Mereka mungkin mampu
membeli barang-barang yang mahal seperti kursi-meja, lemari, dan sebagainya. Sebaliknya,
pada musim paceklik pendapatan mereka menurun drastis, sehingga kehidupan mereka juga
semakin buruk.

Secara umum pendapatan nelayan memang sangat berfluktuasi dari hari ke hari. Pada
satu hari mungkin memperoleh tangkapan yang sangat tinggi, tapi pada hari berikutnya bisa
saja “kosong”. Hasil tangkapan, dan pada gilirannya pendapatan nelayan, juga sangat
dipengaruhi oleh jumlah nelayan yang beroperasi di suatu daerah penangkapan (fishing
ground). Di daerah yang padat penduduknya seperti daerah pantai utara Jawa, misalnya,
sudah terjadi kelebihan tangkap (overfishing). Hal ini mengakibatkan volume hasil tangkapan
para nelayan menjadi semakin kecil, sehingga pada akhirnya akan mempengaruhi pendapatan
mereka.

Kondisi di atas turut pula mendorong munculnya pola hubungan tertentu yang sangat
umum dijumpai di kalangan nelayan dan juga petani tambak, yakni pola hubungan yang
bersifat patron-klien. Karena keadaan ekonomi yang buruk, maka para nelayan kecil, buruh
nelayan, petani tambak kecil, dan buruh tambak seringkali terpaksa meminjam uang dan
barang-barang kebutuhan hidup sehari-hari dari para juragan atau para pedagang pengumpul
(tauke). Konsekuensinya, para peminjam tersebut menjadi terikat dengan pihak juragan atau
pedagang. Keterikatan tersebut antara lain berupa keharusan menjual produknya kepada
pedagang atau juragan tersebut. Pola hubungan yang tidak simetris ini tentu saja sangat
mudah berubah menjadi alat dominansi dan eksploitasi.
Stratifikasi sosial yang sangat menonjol pada masyarakat nelayan dan petani tambak
adalah stratifikasi yang berdasarkan penguasaan alat produksi. Pada masyarakat nelayan,
umumnya terdapat tiga strata kelompok yaitu :

a. Strata pertama dan yang paling atas adalah mereka yang memiliki kapal motor
lengkap dengan alat tangkapnya. Mereka ini biasanya dikenal dengan nelayan besar
atau modern. Biasanya mereka tidak ikut melaut. Operasi penangkapan diserahkan
kepada orang lain. Buruh atau tenaga kerja yang digunakan cukup banyak, bisa
sampai dua atau tiga puluhan.

b. Strata kedua adalah mereka yang memiliki perahu dengan motor tempel. Pada strata
ini biasanya pemilik tersebut ikut melaut memimpin kegiatan penangkapan. Buruh
yang ikut mungkin ada tapi terbatas dan seringkali merupakan anggota keluarga saja.

c. Strata terakhir adalah buruh nelayan. Meskipun para nelayan kecil bisa juga
merangkap menjadi buruh, tetapi banyak pula buruh ini yang tidak memiliki sarana
produksi apa-apa, hanya tenaga mereka itu sendiri.

Seringkali nelayan besar juga merangkap sebagai pedagang pengumpul. Namun


demikian, biasanya ada pula pedagang pengumpul yang bukan nelayan, sehingga pedagang
ini merupakan kelas tersendiri. Mereka biasanya menempati posisi yang dominan ketika
berhadapan dengan para nelayan kecil. Dalam masyarakat petani tambak, stratifikasi sosial
berdasarkan penguasaan alat produksi ini juga menonjol. Mirip dengan strata sosial yang
adapada masyarakat nelayan, masyarakat petani tambak juga terdiri dari 3 strata sosial yang
dominan yaitu :

a. Strata atas adalah mereka yang menguasai tambak yang luas.


b. Strata menengah yang memiliki luas tambak sedang/kecil.
c. Strata paling bawah adalah para pengelola/buruh.
Bagi para nelayan, penguasaan alat produksi tadi sangat berhubungan dengan daya
jelajah mereka dalam melakukan penangkapan. Mereka yang beroperasi dengan
menggunakan kapal motor, misalnya, dapat melakukan penangkapan dan sekaligus
pemasaran di daerah-daerah yang sangat jauh. Sementara nelayan kecil yang menggunakan
perahu tanpa motor hanya mampu beroperasi di daerah yang dekat atau daerah pantai/pesisir
saja.

Sifat usaha penangkapan juga menyebabkan munculnya pola tertentu dalam hal
kebersamaan antar anggota keluarga nelayan. Bagi para nelayan kecil, misalnya, seringkali
mereka berangkat sore hari kemudian kembali besok harinya. Ada juga yang berangkat pagi-
pagi sekali, kemudian kembali pada sore atau malam harinya. Sementara mereka yang
beroperasi dengan kapal motor bisa meninggalkan rumah berminggu-minggu bahkan
berbulan-bulan.

Aspek lain yang perlu diperhatikan pada masyarakat pantai adalah aktivitas kaum
wanita dan anak-anak. Pada masyarakat ini, umumnya wanita dan anak-anak ikut bekerja
mencari nafkah. Kaum wanita (orang tua maupun anak-anak) seringkali bekerja sebagai
pedagang ikan (pengencer), baik pengencer ikan segar maupun ikan olahan. Mereka juga
melakukan pengolahan ikan, baik kecil-kecilan di rumah untuk dijual sendiri maupun sebagai
buruh pada pengusaha pengolahan ikan. Sementara itu, anak laki-laki seringkali sudah
dilibatkan dalam kegiatan melaut. Ini antara lain yang menyebabkan anak-anak nelayan
banyak yang tidak sekolah.

5. Ketergantungan pada Pasar

Karakteristik lain dari usaha perikanan yang dilakukan oleh masyarakat pesisir ini
adalah ketergantungan pada pasar. Tidak seperti petani padi, para nelayan dan petani tambak
ini sangat tergantung pada keadaan pasar. Hal ini disebabkan karena komoditas yang
dihasilkan oleh mereka itu harus dijual baru bisa digunakan untuk memenuhi keperluanhidup.
Jika petani padi yang bersifat tradisional bisa hidup tanpa menjual produknya atau hanya
menjual sedikit saja, maka nelayan dan petani tambak harus menjual sebagian besar hasilnya.
Setradisional atau sekecil apapun nelayan dan petani tambak tersebut, mereka harus
menjual sebagian besar hasilnya demi memenuhi kebutuhan hidup. Karakteristik di atas
mempunyai implikasi yang sangat penting, yakni masyarakat perikanan sangat peka terhadap
harga. Perubahan harga produk perikanan sangat mempengaruhi kondisi sosial ekonomi
masyarakat perikanan.

6. Aktivitas kaum Perempuan dan Anak

Ciri khas lain dari suatu masyarakat pesisir adalah aktivitas kaum perempuan dan anak-
anak. Pada masyarakat ini, umumnya perempuan dan anak-anak ikut  bekerja mencari
nafkah. Kaum perempuan (orang tua maupun anak-anak) seringkali bekerja sebagai pedagang
ikan (pengecer), baik pengecer ikan segar maupun ikan olahan. Mereka juga melakukan
pengolahan hasil tangkapan, baik  pengolahan kecil-kecilan di rumah untuk dijual sendiri
maupun sebagai buruh  pada pengusaha pengolahan ikan atau hasil tangkap lainnya.
Sementara itu anak laki-laki seringkali telah dilibatkan dalam kegiatan melaut.

7. Memiliki Sistem Kepercayaan yang Kuat dan Adat

Dilihat dari aspek kepercayaan, masyarakat pesisir masih menganggap bahwa laut
memilki kekuatan magic sehingga mereka masih sering melakukan adat  pesta laut atau
sedekah laut. Namun, dewasa ini sudah ada dari sebagian  penduduk yang tidak percaya
terhadap adat-adat seperti pesta laut tersebut. Mereka hanya melakukan ritual tersebut hanya
untuk formalitas semata.

C. Karakteristik Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir


Pada mata pencaharian, sebagian besar masyarakat di pulau pesisir bermata pencaharian
di sektor pemanfaatan sumber daya kelautan (marine resuourse base), seperti nelayan, petani
ikan (budidaya tambak dan laut), penambangam pasir, kayu mangrove dan lain-lain. Sebagai
contoh, Kecamatan Seribu, Jakarta Utara dengan penduduk 17.991 jiwa, selitar 71,64%
merupakan nelayan.

Adapun tingkat pendidikan bagi masyarakat pulau pesisir, yakni sebagian besar
penduduk wilayah pesisir memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Sebagai contoh,
penduduk Kecamatan Kepulauan Seribu, Jakarta Utara sekitar 70,10% merupakan tamatan
Sekolah Dasar dan sejalan dengan tingkat tersebut, fasilitas pendidikan yang ada masih
sangat terbatas.

Kondisi lingkungan permukiman masyarakat pesisir, khususnya nelayan masih belum


tertata dengan baik dan terkesan kumuh. Dengan kondisi sosial ekonomi yang relatif berada
dalam tingkat kesejahteraan rendah, maka dalam jangka panjang tekanan terhadap sumber
daya pesisir akan semakin besar guna pemenuhan kebutuhan pokoknya.

Sebagian besar kategori sosial nelayan Indonesia adalah nelayan tradisional dan nelayan
buruh. Mereka adalah penyumbang utama kuantitas produksi perikanan tangkap nasional.
Walaupun demikian, posisi sosial mereka tetap marginal dalam proses transaksi ekonomi
yang timpang dan eksploitatif sehingga sebagai pihak produsen, nelayan tidak memperoleh
bagian pendapatan yang besar. Pihak yang paling beruntung adalah para pedagang ikan
berskala besar atau pedagang perantara. Para pedagang inilah yang sesungguhnya menjadi
penguasa ekonomi di desa-desa nelayan. Kondisi demikian terus berlangsung menimpa
nelayan tanpa harus mengetahui bagaimana mengakhirinya.

Hal ini telah melahirkan sejumlah masalah sosial ekonomi yang krusial pada masyarakat
nelayan. Namun demikian, belenggu structural dalam aktivitas perdagangan tersebut bukan
merupakan satu-satunya factor yang menimbulkan persoalan sosial di kalangan nelayan,
faktor-faktor lain yang sinergi, seperti semakin meningkatnya kelangkaan sumberdaya
perikanan, kerusakan ekosistem pesisir dan laut, serta keterbatasan kualitas dan kapasitas
teknologi penangkapan, rendahnya kualitas sumberdaya manusia, ketimpangan akses
terhadap sumberdaya perikanan, serta lemahnya proteksi kebijakan dan duakungan fasilitas
pembangunan untuk masyarakat nelayan masih menjadi faktor yang menimbulkan persoalan.

Kondisi kesejahteraan sosial yang memburuk di kalangan nelayan sangat dirasakan di


desa-desa pesisir yang perairannya mengalami overfishing (tangkap lebih) sehingga hasil
tangkap atau pendapatan yang di peroleh nelayan bersifat fluktuatif, tidak pasti, dan semakin
menurun dari waktu ke waktu. Dalam situasi demikian, rumah tangga nelayan akan
senantiasa berhadapan dengan tiga persoalan yang sangat krusial dalam kehidupan mereka,
yaitu.

1. Pergulatan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.


2. Tersendat-sendatnya pemenuhan kebutuhan pendidikan anakanaknya.
3. Terbatasnya akses mereka terhadap jaminan kesehatan.

Ketiga akses diatas merupakan kebutuhan hidup yang paling mendasar dalam rumah
tangga nelayan, yang sering tidak terpenuhi secara optimal. Dengan realitas kehidupan yang
demikian, sangat sulit merumuskan dan membangun kualitas sumberdaya masyarakat
nelayan, agar mereka memiliki kemampuan optimal dalam mengelola potensi sumber daya
pesisir laut yang ada.

Ketiadaan atau kekurangan kemampuan kreatif masyarakat nelayan untuk mengatasi


sosial ekonomi didaerahnya akan mendorong mereka masuk perangkat keterbelakangan yang
berkepanjangan sehingga dapat mengganggu pencapaian tuj uan kebijakan pembangunan di
bidang kelautan dan perikanan. Untuk itu, perlu dipikirkan solusi strategi alternative untuk
mengatasi persoalan kehidupan sosial-ekonomi yang dihadapi oleh masyarakat nelayan.
Dalam hal ini, program jaminan sosial (sosial security) yang dirancang secara formal
merupakan salah satu strategi yang patut dipertimbangkan untuk mengatasi kemelut sosial
ekonomi yang menimpa kehidupan dari masyarakat nelayan.
Sekalipun negara atau pemerintah telah mengimplementasikan sejumlah kebijakan
untuk membangun sektor perikanan tangkap dan pemberdayaan ekonomi produktif dalam
rangka meningkatkan kesejahteraan nelayan, namun hasil yang dicapai masih belum
maksimal.

Selama ini spirit kebijakan nasional dalam pembangunan perikanan sejak awal 1970-an
dan masih terus di berlakukan hingga saat ini yang mengutamakan meningkatan produksi,
mengakibatkan kelangkaan sumberdaya perikanan, kerusakan ekosistem pesisir laut,
kemiskinan, dan kesenjangan sosial. Kebijakan demikian tidak disertai atau di kawal dengan
kebijakan pembanding tentang bagaimana masyarakat nelayan harus menjaga keberlanjutan
sumberdaya kelautan. Sebenarnya, kebijakan ini member keuntungan ekonomi bagi
paranelayan bermodal besar yang secara kuantitatif berjumlah sedikit, namun pda akhirnya
semua nelayan dari berbagai kategori usaha mengahadapi persoalan yang sama.

Demikian juga kebijakan pemberdayaan ekonomi masyarakat nelayan yang selama ini
diterapkan. Kalau dianalogikan dengan orang memancing, kebijakan tersebut hanya memberi
ikan kepada nelayan, tetapi tidak memberikan jaminan keberlanjutan bagaiaman seandainya
alat pemancing itu rusak. Hal ini dapat ditunjukkan dengan lemahnya dukungan kebijakan
lembaga-lembaga perbankan resmi untuk penyaluran kredit dengan bunga rendah kepada
masyarakat nelayan secara berkesinambungan dan konsisten.Pada dasarnya, dukungan ini
sangat dibutuhkan nelayan untuk menjaga kelanjutan usaha perikanannya.

Gejala fluktual diatas mencerminkan belum adanya payung kebijakan pemberdayaan


yang bersifat nasional dan menjadi referensi para penentu keputusan setingkat menteri
sehingga hal demikian memberikan rasa aman bagi lembaga perbankan untuk bekerja sama
dengan nelayan dalam transaksi bantuan kredit.

Disamping itu, tidak adanya pihak-pihak yang membantu secara total dan bersungguh-
sungguh dalam membangun masyarakat nelayan, mendorong masyarakat nelayan
mengembangkan strategi kemandirian berdasarkan kemampuan sumberdaya yang dimiliki
untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang mereka hadapi Kemandirian ini
membangkitkan sikap-sikap otonom di kalangan nelayan merupakan modal sosial yang
sangat berharga sebagai basis kelangsungan hidup mereka.  Manifestasi dari sikap-sikap
otonom nelayan terwujud dalam konstruksi pranata sosial, seperti perkumpulan simpan
pinjam, arisan, dan jaringan sosial berfungsi untuk menggalang kemampuan sumberdaya
ekonomi kolektif dalam relasi timbal balik sehingga eksistensi masyarakat nelayan tetap
terjamin.

Jaringan patron-klien merupakan wadah dan sarana yang menyediakan sumber daya
jaminan sosial secara tradisional untuk menjaga kelangsungan hidup nelayan. Kekuatan
hubungan patron-klien ini dapat dilihat pada pola-pola relasi sosial antara lain.

1. Nelayan pemilik dengan nelayan buruh.


2. Nelayan pemilik dengan penyedia modal usaha, (pedagang ikan/pedagang perantara.
3. Nelayan (nelayan pemilik dan nelayan buruh) dengan pemilik toko yang
menyediakan kebutuhan hidup dan kebutuhan melaut. Jika hasil tangkapan nelayan
diberikan dalam bentuk ikan, biasanyahubungan patron-klien antara nelayan buruh
dan pedagang ikan juga intensif.

Strategi Perekonomian Keluarga Nelayan

Strategi nelayan dalam menghadapi kemiskinana dapat dilakukan melalui hal-hal berikut.

1. Peranan Anggota KeluargaNelayan (istri dan anak). Kegiatan-kegiatan ekonomi


yang dilakukan oleh anggota rumahtangga nelayan (istri dan anak) merupakan
salah satu dari strategi adaptasi yang harus ditempuh untuk menjaga
kelangsungan hidup mereka.

2. Diversifikasi Pekerjaan, dalam menghadapi ketidakpastian penghasilan, keluarga


nelayan dapat melakukan kombinasi pekerjaan.
3. Jaringan Sosial, melalui jaringan sosial, individu-individu rumah tangga akan
lebih efektif dan efisien untuk mencapai atau memperoleh akses terhadap
sumberdaya yang tersedia di lingkungannya. Jaringan sosial memberikan rasa
aman bagi rumahtangga nelayan miskin dalam menghadapi setiap kesulitan hidup
sehingga dapat mengarungi kehidupan dengan baik. Jaringan sosial secara
alamiah bisa ditemukan dalam segala bentuk masyarakat dan manifestasi dari
hakikat manusia sebagai makhluk sosial.

Tindakan sosial-budaya yang bersifat kreatif ini mencerminkan bahwa tekanan-


tekanan atau kesulitan kesulitan ekonomi yang dihadapi nelayan tidak di respon
dengan sikap yang pasrah. Secara umum, bagi rumah tangga nelayan yang
pendapatan setiap harinya bergantung sepenuhnya pada penghasilan melaut,
jaringan sosial berfungsi sangat strategis dalam menjaga kelangsungan kehidupan
mereka.

4. Migrasi, hal ini dilakukan ketika di daerah nelayan tertentu tidak sedang musim
ikan dan nelayan pergi untuk bergabung dengan unit penangkapan ikan yangada
di daerah tujuan yang sedang musim ikan. Maksud migrasi adalah untuk
memperoleh penghasilan yang tinggi dan agar kebutuhan hidup keluarga
terjamin. Dalam waktuwaktu tertentu, penghasilan yang telah diperoleh, mereka
bawa pulang kampung untuk diserahkan kepada keluarganya.

Perhatian terhadap kawasan pesisir tidak hanya didasari oleh pertimbangan pemikiran
bahwa kawasan itu tidak hanya menyimpan potensi sumber daya alam yang cukup besar,
tetapi juga potensi sosial masyarakat yang akan mengelola sumberdaya alam tersebut secara
berkelanjutan. Potensi masyarakat ini sangat penting karena sebagian besar penduduk yang
bermukim di pesisir dan hidup dari pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan
tergolong miskin. Kebijakankebijakan pembangunan di bidang perikanan (revolusi biru)
selama ini ternyata belum mampu meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat pesisir.
Beberapa hal yang menjadi perhatian dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut
antara lain:

1. Penataan Ruang, yang meliputi dua aspek penataan ruang sejalan dengan
perundangan di atas, yaitu berkaitan dengan pengaturan fungsifungsi pesisir pantai
serta penetapan kriteria penentuan dan perubahan fungsi tata ruang kawasan/lahan
dalam rangka penyusunan rencana tata ruang.

2. Lingkungan, terutama dimensi persoalan lingkungan pesisir tidak bisa di lihat pada
kondisi lokal namun menyangkut sistem yang luas, dalam hal keterkaitan ekosistem
yang lebih luas. Dari sudut lingkungan wilayah pesisir Kabupaten Mimika sangat
rentan terpengaruh terhadap arus perubahan kegiatan perkotaan dan masyarakatnya.

3. Permukiman, khususnya permukiman di wilayah pesisir pada beberapa distrik melalui


suatu perencanaan sehingga menciptakan pola pemukiman yang sesuai dengan tata
ruang untuk pemukiman wilayah pesisir.

4. Sarana dan prasarana, terutama sarana dan prasarana umum yang terbangun di kawasan
pesisir yang masih belum seimbang.

5. Sumber air bersih, yaitu perlu adanya pemikiran-pemikiran pengembangan teknologi


terapan untuk mengatasi kelangkaan air bersih dalam perencanaan pengembangan
kawasan pesisir yang semakin lama akan semakin padat.

6. Pariwisata, yaitu kegiatan pariwisata harus dikelola dengan baik dan menempatkan
masyarakat setempat sebagai bagian dari pelaku kegiatan.

Semangat Pemberdayaan Masyarakat Pesisir

Seperti telah dipaparkan diatas bahwa masyarakat pesisir masih dalam kategori
masyarakat miskin di negeri ini, walau secara definisi beberapa golongan yang termasuk
dalam masyarakat pesisir adalah para nelayan dengan pemilik modal yang memperkerjakan
para nelayan kecil yang memang memiliki taraf hidup yang lebih baik. Tapi sebagian besar
masyarakat pesisir adalah masyarakat yang tidak memiliki kapital besar untuk mengelola dan
memanfaatkan sumberdaya kelautan dan perikanan. Sehingga kondisi dilapangan
mendifinisikan bahwa mayoritas masyarakat pesisir adalah para nelayan kecil dengan
peralatan sederhana, para buruh dari nelayan-nelayan bermodal besar, buruh pabrik, dan para
pembudidaya ikan skala tradisonal.

Pemberdayaan masyarakat pesisir seyogyanya harus mengacu pada analisa sosial


ekonomi masyarakat pesisir itu sendiri agar program bisa mencapai tujuan yang diharapkan
serta tepat sasaran, karena tanpa itu semua maka setiap program pemberdayaan tidak pernah
akan menyentuh sasaran yang diharapkan. Kondisi sosial ekonomi masyarakat pesisir adalah
para meter penentuan target dan tujuan yang di formulasikan dalam visi misi program
pemberdayaan masyarakat pesisir, dengan kekhasan yang dimiliki kita akan mampu
menetukan metode dan strategi yang tepat dalam rangka pemberdayaan masyarakat pesisir.

D. Budaya dan Tradisi Masyarakat Pesisir

Masyarakat Pesisir meyakini bahwa lautan yang dimiliki oleh mereka berdasarkan
pembagian kawasan laut yang disahkan oleh Raja Desa itu merupakan suatu sumberdaya
alam yang dijadikan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan lebihnya dijual untuk
keuntungannya.

Karakteristik masyarakat pesisir berbeda dengan karakterisik masyarakat agraris atau


petani. Dari segi penghasilan, petani mempunyai pendapatan yang dapat dikontrol karena
pola panen yang terkontrol sehingga hasil pangan atau ternak yang mereka miliki dapat
ditentukan untuk mencapai hasil pendapatan yang mereka inginkan. Berbeda halnya dengan
masyarakat pesisir yang mata pencahariannya didominasi dengan pelayan. Pelayan bergelut
dengan laut untuk mendapatkan penghasilan, maka pendapatan yang mereka inginkan tidak
bisa dikontrol. “Nelayan menghadapi sumberdaya yang bersifat open acces dan beresiko
tinggi. Hal tersebut menyebabkan masyarakat pesisir sepeti nelayan memiliki karakter yang
tegas, keras, dan terbuka” (Satria, 2002).
Selain itu, karakteristik masyarakat pesisir dapat dilihat dari beberapa aspek diantaranya,
aspek pengetahuan, kepercayaan (teologis), dan posisi nelayan sosial. Dilihat dari aspek
pengetahuan, masyarakat pesisir mendapat pengetahuan dari warisan nenek moyangnya
misalnya mereka untuk melihat kalender dan penunjuk arah maka mereka menggunakan rasi
bintang.

Sementara, dilihat dari aspek kepercayaan, masyarakat pesisir masih menganggap bahwa
laut memilki kekuatan magic sehingga mereka masih sering melakukan adat pesta laut atau
sedekah laut. Namun, dewasa ini sudah ada dari sebagian penduduk yang tidak percaya
terhadap adat-adat seperti pesta laut tersebut. Mereka hanya melakukan ritual tersebut hanya
untuk formalitas semata. Begitu juga dengan posisi nelayan sosial, pada umumnya, nelayan
bergolong kasta rendah.

Kehidupan sosial budaya masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia sangatlah
beragam. perkembanagan sosial budaya ini secara langsung dan tidak langsung dipengaruhi
oleh faktor alam. Perkembangan selanjutnya memberikan karakteristik dalam aktifitasnya
mengelola SDA. Tidaklah jarang ditemukan bahwa masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil
belum tentu memilih laut sebagai lahan mata pencarian utama. Demikian pula, pada
menunjukan pola dan karakter yang berbeda dari kawasan perairan satu ke kawasan lain
memiliki pola yang berbeda.

Adat istiadat suku yang bermukim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sangatlah
beragam pula. Di beberapa tempat sering dijumpai adanya budaya pengaturan lahan laut atau
sering disebut Hak ulayat laut. Aturan-aturan semacam ini merupakan satu kearifan local
yang perlu dihargai sesuai dengan UUD 1945 Pasal 18B ayat 2 yang disebutkan bahwa
Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-
hak tradisionalnya sepanjang hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dengan Undang-Undang.
Kebudayaan masyarakat pesisir dapat diartikan sebagai keseluruhan pengetahuan atau
sistem kognisi yang ada dan berkembang pada masyarakat pesisir, yang isinya adalah
perangkat-perangkat model pengetahuan yang secara selektif dapat digunakan untuk
memahami dan menginterpretasi lingkungan yang dihadapi untuk mendorong dan
menciptakan kelakuan-kelakuan yang diperlukan.

Dalam pengertian, kebudayaan adalah suatu model pengetahuan yang dijadikan pedoman
atau pegangan oleh manusia untuk bersikap atau bertindak dan beradaptasi dalam
menghadapi lingkungannya untuk dapat melangsungkan kehidupannya (lihat Suparlan
1983:67).

Masyarakat pesisir memerlukan bentuk kegiatan nyata yang dapat membangun ekonomi
mereka tanpa menghilangkan kultur dan karakteristik dari masyarakat pesisir tersebut. Maka
diperlukan bentuk kegiatan yang berbasis masyarakat. Berdasarkan Undang-Undang no.22
tahun 1999 tentang desentralisasi dan otonomi daerah yang memberikan wewenang kepada
daerah untuk mengurus sendiri segala urusan daerahnya. Begitu juga dengan wilayah pesisir,
ketua masyarakat atau kepala suku dapat bekerjasama dengan penduduk untuk mengurus
pesisir dan lautnya sesuai dengan adat mereka.

Kerajinan tangan, tarian, silat tradisional dan masih banyak lainnya telah menjadi bukti
betapa masyarakat pesisir ini seperti masyarakat kaledupa memiliki beragam budaya yang tak
kalah dengan daerah lain. Jenis dan penggunaannya pun terasa sangat jelas dan memiliki nilai
yang besar dikalangan masyarakat. Penghargaan dan penghormatan terhadap nilai-nilai
budaya tentu harus menjadi sesuatu yang mendasar demi tercapainya kelestarian budaya
masyarakat karena betapapun modernnya suatu masyarakat rasanya sangat sulit untuk
mencapai sebuah keharmonisan tanpa adanya nilai-nilai budaya yang menjadi pedoman hidup
disamping Al-Qur’an dan Al-Hadits serta pertaturan-peraturan yang ditetapkan oleh
masyarakat dan pemerintah.

Penghargaan terhadap nilai budaya di lingkungan kehidupan masyarakat Kaledupa


terlihat dari masih banyaknya padepokan-padepokan yang mempelajari silat tradisional khas
daerah serta taman belajar tarian yang mempelajari berbagai jenis tarian dan kesenian
tradisional daerah yang bersangkutan. Melestarikan berbagai kesenian daerah bukan berarti
bahwa mereka tidak mau mengikuti perkembangan zaman yang serba modern ini tetapi hanya
ingin agar budaya warisan dari leluhur mereka tidak punah ditelah waktu dan keadaan yang
serba modern seperti sekarang ini.

Tradisi sedekah laut juga merupakan sebuah bentuk rasa syukur yang hampir dimiliki
banyak masyarakat pesisir di Nusantara. Tradisi sedekah laut dihelat sebagai wujud syukur
kepada Tuhan atas limpahan kekayaan laut yang dapat menghidupi para nelayan. Di
Karimunjawa tradisi sedekah laut dikenal dengan nama Pesta Lomba dan dilaksanakan pada
hari ketujuh setelah Idul Fitri.

Tradisi masyarakat pesisir didaerah pantai utara jawa yaitu Indramayu, dan Cirebon juga
terdapat upacara nadran yaitu mempersembahkan sesajen (yang merupakan ritual dalam
agama Hindu untuk menghormati roh leluhurnya) kepada penguasa laut agar diberi limpahan
hasil laut, sekaligus merupakan ritual tolak bala (keselamatan). Sesajen yang diberikan,
disebut ancak, yang berupa anjungan berbentuk replika perahu yang berisi kepala kerbau,
kembang tujuh rupa, buah-buahan, makanan khas, dan lain sebagainya. Sebelum dilepaskan
ke laut, ancak diarak terlebih dahulu mengelilingi tempat-tempat yang telah ditentukan
sambil diiringi dengan berbagai suguhan seni tradisional, seperti tarling, genjring, barongsai,
telik sandi, jangkungan, ataupun seni kontemporer (drumband).

Tradisi masyarakat pesisir sangat kental dengan aktivitas bahari, jauh sebelum teknologi
mesin modern menempel di perahu-perahu mereka, jauh sebelum itu mereka ber-panggayo
dari satu tempat ke tempat lainnya. Panggayo (Bahasa yang digunakan masyarakat pesisir
Maluku), atau dalam bahasa Indonesia berarti mendayung yang merupakan salah satu bentuk
kearifan lokal dan adaptasi masyarakat pesisir wilayah yang dikelilingi laut tersebut dalam
menyambung rantai kehidupan mereka.
Bagi masyarakat daerah pesisir, menangkap ikan dengan cara yang tradisional selain
untuk melestarikan budaya pendahulu juga dianggap sebagai cara yang tepat untuk tetap bisa
bersahabat dengan alam sekitar yang telah menjadi tempat menggantungkan hidup mereka.
Kedekatan mereka dengan alam sekitar telah terbukti dengan tetap lestarinya fauna dan flora
yang tersebar luar disepanjang pantai dan lautan tempat mereka menghabiskan waktu untuk
mencari penghidupan.

E. Wujud dan Komponen Budaya

1. Wujud
Menurut J.J. Hoenigman, wujud kebudayaan dibedakan menjadi tiga yakni:

a. Gagasan (Wujud ideal) adalah wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang
berbentuk kumpulan ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan
sebagainya yang sifatnya abstrak; tidak dapat diraba atau disentuh. Wujud
kebudayaan ini terletak dalam kepala-kepala atau di alam pemikiran warga
masyarakat. Jika masyarakat tersebut menyatakan gagasan mereka itu dalam
bentuk tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal itu berada dalam karangan dan
buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat tersebut.

b. Aktivitas (tindakan) adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari
manusia dalam masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem
sosial. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling
berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya menurut
pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sifatnya konkret, terjadi
dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat diamati dan didokumentasikan.

c. Artefak (karya) adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas,
perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau
hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya paling konkret
diantara ketiga wujud kebudayaan.
Dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, antara wujud kebudayaan yang satu tidak
bisa dipisahkan dari wujud kebudayaan yang lain. Sebagai contoh: wujud kebudayaan ideal
mengatur dan memberi arah kepada tindakan (aktivitas) dan karya (artefak) manusia.

2. Komponen
Berdasarkan wujudnya tersebut, kebudayaan dapat digolongkan atas dua komponen
utama:

1. Kebudayaan material.
Kebudayaan material mengacu pada semua ciptaan masyarakat yang nyata,
konkret. Termasuk dalam kebudayaan material ini adalah temuan-temuan
yang dihasilkan dari suatu penggalian arkeologi: mangkuk tanah liat,
perhisalan, senjata, dan seterusnya. Kebudayaan material juga mencakup
barang-barang, seperti televisi, pesawat terbang, stadion olahraga, pakaian,
gedung pencakar langit, dan mesin cuci.

2. Kebudayaan nonmaterial.
Kebudayaan nonmaterial adalah ciptaan-ciptaan abstrak yang diwariskan dari
generasi ke generasi, misalnya berupa dongeng, cerita rakyat, dan lagu atau
tarian tradisional.

F. Perubahan Sosial Budaya

Perubahan sosial budaya dapat terjadi bila sebuah kebudayaan melakukan kontak
dengan kebudayaan asing. Perubahan sosial budaya adalah sebuah gejala berubahnya struktur
sosial dan pola budaya dalam suatu masyarakat.

Perubahan sosial budaya merupakan gejala umum yang terjadi sepanjang masa dalam
setiap masyarakat. Perubahan itu terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar manusia yang
selalu ingin mengadakan perubahan. Hirschman mengatakan bahwa kebosanan manusia
sebenarnya merupakan penyebab dari perubahan.
Ada tiga faktor yang dapat mempengaruhi perubahan sosial yakni: (1) tekanan kerja
dalam masyarakat; (2) keefektifan komunikasi; (3) perubahan lingkungan alam.

Perubahan budaya juga dapat timbul akibat timbulnya perubahan lingkungan


masyarakat, penemuan baru, dan kontak dengan kebudayaan lain. Sebagai contoh,
berakhirnya zaman es berujung pada ditemukannya sistem pertanian, dan kemudian
memancing inovasi-inovasi baru lainnya dalam kebudayaan.

Penetrasi kebudayaan adalah masuknya pengaruh suatu kebudayaan ke kebudayaan


lainnya. Penetrasi kebudayaan dapat terjadi dengan dua cara yakni:

G. Pengelolaan Sumber Daya Alam Oleh Masyarakat Pesisir

Sejarah pengelolaan sumberdaya alam di wilayah pesisir telah ada sejak jaman nenek
moyang mulai memanfaatkan sumberdaya alam tersebut untuk menunjang kehidupan
mereka. Sebelum era dunia modern pengelolaan sumberdaya alam masih  bersifat lokal,
dimana struktur masyarakat dan aktivitasnya masih sederhana. Beberapa ciri dari pengelolaan
sumberdaya alam secara tradisional antara lain adalah :

1. Pengelolaan sumberdaya alam cenderung berkelanjutan.


2. Struktur pihak yang terlibat masih sederhana.
3. Bentuk pemanfaatannya terbatas dan termasuk skala kecil.
4. Tipe masyarakat dan kegiatannya relatif homogen.
5. Komponen pengelolaannya (manajemen) berasal dan berakar pada masyarakat.
6. Rasa kepemilikan dan ketergantungan terhadap sumberdaya alam tinggi.
7. Rasa untuk melindungi dan menjaga juga tinggi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Menurut Fahmi, Masyarakat pesisir itu sendiri dapat didefinisikan sebagai kelompok
orang atau suatu komunitas yang tinggal di daerah pesisir dan sumber kehidupan
perekonomiannya bergantung secara langsung pada pemanfaatan sumberdaya laut dan
pesisir.

Masyarakat pesisir mempunyai sifat-sifat atau karakteristik tertentu yang khas/unik.


Sifat ini sangat erat kaitannya dengan sifat usaha di bidang perikanan itu sendiri. Karena
sifat dari usaha-usaha perikanan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti lingkungan,
musim dan pasar, maka karakteristik masyarakat pesisir juga terpengaruhi oleh faktor-faktor
tersebut.

Sebagian besar kategori sosial nelayan Indonesia adalah nelayan tradisional dan nelayan
buruh. Mereka adalah penyumbang utama kuantitas produksi perikanan tangkap nasional.
Walaupun demikian, posisi sosial mereka tetap marginal dalam proses transaksi ekonomi
yang timpang dan eksploitatif sehingga sebagai pihak produsen, nelayan tidak memperoleh
bagian pendapatan yang besar. Pihak yang paling beruntung adalah para pedagang ikan
berskala besar atau pedagang perantara. Para pedagang inilah yang sesungguhnya menjadi
penguasa ekonomi di desa-desa nelayan. Kondisi demikian terus berlangsung menimpa
nelayan tanpa harus mengetahui bagaimana mengakhirinya.

Hal ini telah melahirkan sejumlah masalah sosial ekonomi yang krusial pada masyarakat
nelayan. Namun demikian, belenggu structural dalam aktivitas perdagangan tersebut bukan
merupakan satu-satunya factor yang menimbulkan persoalan sosial di kalangan nelayan,
faktor-faktor lain yang sinergi, seperti semakin meningkatnya kelangkaan sumberdaya
perikanan, kerusakan ekosistem pesisir dan laut, serta keterbatasan kualitas dan kapasitas
teknologi penangkapan, rendahnya kualitas sumberdaya manusia, ketimpangan akses
terhadap sumberdaya perikanan, serta lemahnya proteksi kebijakan dan duakungan fasilitas
pembangunan untuk masyarakat nelayan masih menjadi faktor yang menimbulkan persoalan.

Masyarakat Pesisir meyakini bahwa lautan yang dimiliki oleh mereka berdasarkan
pembagian kawasan laut yang disahkan oleh Raja Desa itu merupakan suatu sumberdaya
alam yang dijadikan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan lebihnya dijual untuk
keuntungannya.

Perubahan sosial budaya dapat terjadi bila sebuah kebudayaan melakukan kontak dengan
kebudayaan asing. Perubahan sosial budaya adalah sebuah gejala berubahnya struktur sosial
dan pola budaya dalam suatu masyarakat.

Perubahan sosial budaya merupakan gejala umum yang terjadi sepanjang masa dalam
setiap masyarakat. Perubahan itu terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar manusia yang
selalu ingin mengadakan perubahan. Hirschman mengatakan bahwa kebosanan manusia
sebenarnya merupakan penyebab dari perubahan.

Sejarah pengelolaan sumberdaya alam di wilayah pesisir telah ada sejak jaman nenek
moyang mulai memanfaatkan sumberdaya alam tersebut untuk menunjang kehidupan
mereka. Sebelum era dunia modern pengelolaan sumberdaya alam masih  bersifat lokal,
dimana struktur masyarakat dan aktivitasnya masih sederhana.

B. Saran
DAFTAR PUSTAKA

https://www.researchgate.net/publication/282662169_Sistem_Sosial_Ekonomi_dan_Budaya_
Masyarakat_Pesisir

https://coastaleco.wordpress.com/2008/04/26/karakteristik-sosial-ekonomi-masyarakat-
pesisir/

http://triachia.blogspot.com/2013/10/masyarakat-pesisir-ditinjau-dari-segi.html

Nurrachmawati, Anggraeni, 2008, Tradisi Keppercayaan Masyarakat Pesisir Mengenai


Kesehatan Ibu dan Anak di Desa Tanjung Limau Muara Badak Kalimantan Timur, Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Mulawarman, Samarinda.

www.academia.edu/38156258/Karakteristik_Masyarakat_Pesisir
Nasution A, Badaruddin. 2005. Isu-Isu Kelautan Dari Kemiskinan Hingga Bajak Laut. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar

Anda mungkin juga menyukai