Anda di halaman 1dari 16

TUGAS

HUKUM TATA RUANG


Pedagang Kaki Lima Dalam Aspek Hukum Tata Ruang

Disusun Oleh:

DHEA NADA SAFA PRAYITNO


1403005208

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
2017
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Persoalan Pedagang Kaki Lima (PKL) merupakan persoalan bersama
yang harus diselesaikan. Dalam hal ini perlu adanya koordinasi dari pemerintah
daerah, para PKL, dan masyarakat. Koordinasi tersebut diwujudkan dengan
adanya dialog yang memperbincangkan persoalan-persoalan PKL serta
bagaimana penataan dan pengaturannya, sehingga keberadaan PKL di tiap
daerah bisa menunjang perekonomian masyarakat daerah. Keberadaan PKL
juga diharapkan tidak merusak atau menurunkan kualitas lingkungan hidup
yang ada disekitarnya agar dapat tercipta tata ruang yang mempertahankan
ekosistem lingkungan fisik maupun social yang ada di dalamnya. Oleh karena
itu diperlukan adanya penataan bagi PKL untuk mewujudkan fungsi tata ruang
kota yang optimal, dalam hal ini menyangkut aspek ekonomi, social budaya
dan lingkungan itu sendiri.
Banyak kasus yang mendasari keberadaan PKL terhadap fungsi tata
ruang kota. Di satu sisi, para PKL tetap ingin menjalankan usahanya untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, tetapi da sisi lain perlu adanya
perwujudan penataan fungsi tata ruang kota yang memperhatikan aspek
lingkungan secara optimal. Dalam hal ini berarti diharapkan para PKL tetap
berjualan menjalankan usahanya untuk mendapatkan penghasilan mereka
sehari-hari, tetapi tidak mengganggu optimalisasi fungsi tata ruang yang ada.
Sebagai contoh banyak PKL yang berjualan di trotoar, padahal kaki, sehingga
pejalan kaki terenggut haknya tidak dapat menikmati fasilitas umum yang ada
dan keselamatannya terganggu. Selain hal tersebut banyak PKL yang tidak
memperhatikan kondisi kebersihan di sekitar tempat berjualan, sehingga
menyebabkan lokasi tersebut terlihat kotor atau kumuh.
Sebagian besar PKL menawarkan berbagai barang dagangan di trotoar
sebagai kawasan ruang publik. Berdasarkan hal tersebut para pejalan kaki telah
terganggu atau terenggut haknya untuk berjalan kaki di atas trotoar, karena
telah dipenuhi oleh PKL yang menjajankan berbagai barang dagangannya.
Trotoar sebagai kawasan ruang public menjadi hilang fungsinya dengan
keberadaan PKL yang berada di sekitarnya.
Selain permasalahan di atas, keberadaan PKL juga dapat berdampak
pada kesehatan masyarakat seperti adanya limbah cair dan padat sebagai
dampak dari PKL. Sebagai contoh, PKL yang bergerak di bidang usaha
makanan pada umumnya akan membuang sisa makanan dan minuman di
tempat umum. Dari sisi lokasi dan letak, keberadaan PKL yang kurang tertata
mengganggu eksistensi ruang terbuka hijau dan lalu lintas kendaraan yang
berlalu lalang.
Pedagang Kaki Lima (PKL) merupakan salah satu sektor informal yang
dominan di daerah perkotaan, sebagai wujud kegiatan ekonomi skala kecil
yang menghasilkan dan atau mendistribusikan barang dan jasa. Barang-barang
yang dijual yaitu barang-barang convenience (berkatagori menyenangkan)
seperti makanan hingga souvenir. PKL menjajakan dagangannya berkeliling
atau mengambil tempat di trotoar dan emper toko.
Banyak dari PKL mengalami kondisi dilematis. Di satu sisi, mereka
ingin berjualan di tempat yang strategis sehingga akan lebih mudah
mendapatkan keuntungan, tetapi lokasi strategis tersebut mengganggu fungsi
tata ruang kota yang ada,yang berkaitan dengan ketersediaan fasilitas ruang
publik yang teganggu. Oleh karena itu dari pihak Pemerintah Daerah berupaya
untuk menata keberadaan PKL yang berjualan di sekitar ruang publik.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis paparkan sebelumnya, maka
penulis merumuskan permasalahan menjadi sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan Penataan Ruang?
2. Bagaimanakah pengaturan Pedagang Kaki Lima dalam aspek Hukum
Tata Ruang?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi dan Asas Penataan Ruang


Menurut D.A. Tisnaadmidjaja, yang dimaksud dengan ruang adalah
“wujud fisik wilayah dalam dimensi geografis dan geometris yang merupakan
wadah bagi manusia dalam melaksanakan kegiatan kehidupannya dalam suatu
kualitas kehidupan yang layak”.1 Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan
pola ruang.2 Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem
jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan
sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan
fungsional.3
Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang,
pemanfaatan tata ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.4 Hal tersebut
merupakan ruang lingkup penataan ruang sebagai objek Hukum Administrasi
Negara. Jadi, hukum penataan ruang menurut Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2007 yaitu hukum yang berwujud struktur ruang (ialah sususnan pusat-
pusat pemukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi
sebagai pendukung kegiatan ekonomi masyarakat yang secara hierarkis
memiliki hubungan fungsional) dan pola ruang (ialah distribusi peruntukan
ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi
lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budi daya).
Menurut Herman Hermit5 “sebagaimana asas hukum yang paling utama
yaitu keadilan, maka arah dan kerangka pemikiran serta pendekatan-

1
D.A Tiasnaadmidjaja dalam Asep Warlan Yusuf. Pranata Pembangunan. Bandung: Universitas
Parahiayang 1997. hlm. 6.
2
Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
3
Ibid. Pasal 1 Angka 3.
4
Ibid. Pasal 1 Angka 5.
5
Herman Hermit. Pembahasan Undang-Undang Penataan Ruang. Bandung: Mandar Maju. 2008.
hlm. 68.
pendekatan dalam pengaturan (substansi peraturan perundang-undangan) apa
pun, termasuk UndangUndang Penataan Ruang, wajib dijiwai oleh asas
keadilan”. Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007
ditegaskan bahwa penataan ruang diselenggarakan berdasarkan asas:6
1. Keterpaduan.
Keterpaduan adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan
mengintegrasikan berbagai kepentingan yang bersifat lintas sektor,
lintas wilayah, dan lintas pemangku kepentingan. Pemangku
kepentingan antara lain, adalah pemerintah, pemerintah daerah, dan
masyarakat.
2. Keserasian, keselarasan, dan keseimbangan.
Keserasian, keselarasan, dan keseimbangan adalah bahwa penataan
ruang diselenggarakan dengan mewujudkan keserasian antara struktur
ruang dan pola ruang, keselarasan antara kehidupan manusia dengan
lingkungannya, keseimbangan pertumbuhan dan perkembangan antar
daerah serta antara kawasan perkotaan dan kawasan perdesaan.
3. Keberlanjutan.
Keberlanjutan adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan
menjamin kelestarian dan kelangsungan daya dukung dan daya
tampung lingkungan dengan memperhatikan kepentingan generasi
mendatang.
4. Keberdayagunaan dan keberhasilgunaan.
Keberdayagunaan dan keberhasilgunaan adalah bahwa penataan ruang
diselenggarakan dengan mengoptimalkan manfaat ruang dan sumber
daya yang terkandung di dalamnya serta menjamin terwujudnya tata
ruang yang berkualitas.
5. Keterbukaan.

6
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007. Op.,Cit. Pasal 2.
Keterbukaan adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan
memberikan akses yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk
mendapatkan informasi yang berkaitan dengan penataan ruang.
6. Kebersamaan dan kemitraan.
Kebersamaan dan kemitraan adalah bahwa penataan ruang
diselenggarakan dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan.
7. Perlindungan kepentingan umum.
Perlindungan kepentingan umum adalah bahwa penataan ruang
diselenggarakan dengan mengutamakan kepentingan masyarakat.
8. Kepastian hukum dan keadilan.
Kepastian hukum dan keadilan adalah bahwa penataan ruang
diselenggarakan dengan berlandaskan hukum/ketentuan peraturan
perundang-undangan dan bahwa penataan ruang dilaksanakan dengan
mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat serta melindungi hak dan
kewajiban semua pihak secara adil dengan jaminan kepastian hukum.
9. Akuntabilitas.
Akuntabilitas adalah bahwa penyelenggaraan penataan ruang dapat
dipertanggungjawabkan, baik prosesnya, pembiayaannya, maupun
hasilnya.

Klasifikasi penataan ruang ditegaskan dalam Undang-Undang Penataan


Ruang bahwa penataan ruang diklasifikasikan berdasarkan sistem, fungsi
utama kawasan, wilayah administratif, kegiatan kawasan, dan nilai strategis
kawasan. Selanjutnya ditegaskan sebagai berikut:

1. Penataan ruang berdasarkan sistem terdiri atas sistem wilayah dan sistem
internal perkotaan.
2. Penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan terdiri dari kawasan
lindung dan kawasan budi daya.
3. Penataan ruang berdasarkan wilayah administrasi terdiri atas penataan
ruang wilayah nasional, penataaan ruang wilayah provinsi, dan penataan
ruang wilayah kabupaten/kota.
4. Penataan ruang berdasarkan kegiatan kawasan terdiri atas penataan ruang
kawasan perkotaan, dan penataan ruang kawasan perdesaan.
5. Penataan ruang berdasarkan nilai strategis kawasan terdiri atas penataan
ruang kawasan strategis nasional, penatan ruang kawasan strategis
provinsi, dan penataan ruang kawasan strategis kabupaten/kota.

Penyelenggaraan penataan ruang harus memperhatikan hal sebagai


berikut:

1. Kondisi fisik wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang rentan


terhadap bencana.
2. Potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya
buatan, kondisi ekeonomi, sosial, budaya, politik, hukum, pertahanan
keamanan, lingkungan hidup, serta ilmu pengetahuan dan teknologi
sebagai satu kesatuan.
3. Geostrategi, geopolitik, dan geoekonomi.

Penataan ruang wilayah nasional, penataan ruang wilayah provinsi, dan


penataan ruang wilayah kabupaten/kota harus dilakukakn secara berjenjang
dan komplementer. Komplementer yang dimaksud disini adalah bahwa
penataan ruang wilayah nasional, penataan ruang wilayah provinsi, dan
penataan ruang wilayah kabupaten/kota saling melengkapi satu sama lain,
bersinergi, dan dalam penyelenggaraannya tidak terjadi tumpah tindih
kewenangan.

B. Pedagang Kaki Lima dalam Aspek Hukum Tata Ruang

PKL, seperti halnya kegiatan informal, memiliki ciri-ciri yaitu tidak


terorganisasi secara baik, tidak memiliki ijin usaha yang sah, pola kegiatan
tidak teratur (tidak ada jam kerja), usahanya tidak kontinyu (mudah berganti
usaha ), modal usaha relatif kecil (barang dagangan milik sendiri ataupun milik
orang lain), teknologi yang digunakan sangat sederhana, dan umumnya tingkat
pendidikan rendah).7

PKL tumbuh tidak terencana dan memiliki keragaman dalam bentuk


maupun jasa pelayanannya. Perkembangan itu tidak pernah terhenti sejalan
dengan pertumbuhan perkembangan penduduk. Pertumbuhan tersebut
demikian pesat, terlebih lagi menyusul krisis ekonomi melanda Indonesia sejak
medio tahun 1997.

Pertumbuhan PKL yang demikian pesat tersebut berdampak positif dan


negatif. Positif, karena dapat menjadi sumber bagi pendapatan asli daerah,
dapat menjadi alternatif untuk mengurangi pengangguran, dan dapat melayani
kebutuhan masyarakat khususnya bagi golongan masyarakat ekonomi
menengah ke bawah. Sebailiknya, pertumbuhan PKL yang sangat pesat setelah
masa krisis ekonomi menjadi tidak terkendali. Hal itu dapat menjadi
penghalang bagi visi pemerintah kota (Kota Madya Denpasar) untuk
mewujudkan ketertiban umum dan muncul fenomena sosial lain yaitu potensi
konflik antar-PKL maupun dengan kelompok-kelompok preman yang
menguasai lokasi kaki lima.

Masalahnya adalah bagaimana pemerintah kota memandang hal itu dan


membuat kebijakan-kebijakan yang tepat untuk meningkatkan taraf hidup para
PKL yang sebagian besar miskin, dan sekaligus menegakkan hukum bagi
pengendalian dan pengaturan tata kota.8

1. Proses perumusan kebijakan publik


Upaya mengatasi pedagang kaki lima yang berpotensi menghambat
pembangunan ekonomi atau pengganggu ketertiban umum yaitu
bagaimana pedagang kaki lima bisa tetap berjalan namun tidak sampai
mengganggu ketertiban umum. Menurut Charles Lindblom mengatakan
bahwa untuk memahami siapa sebenarnya yang merumuskan kebijakan

7
Buchari Alma, 1992, Manajemen Pemasaran dan Pemasaran Jasa, Alfabeta : Bandung.
8
Hessel Nogi S. Tangkilisan, 2004, Strategi Pengembangan Sumber Daya Manusia Birokrasi
Publik, YPAPI : Yogyakarta.
lebih dahulu harus dipahami sifat-sifat semua pemeran serta bagian atau
peran apa yang mereka lakukan, wewenang atau bentuk kekuasaan yang
mereka miliki dan bagaimana mereka saling berhubungan. Pemerintah
harus berusaha untuk mengatasi permasalahan ini dengan bijak dan
terbuka dengan menyadarkan kepada masyarakat baik terhadap pedagang
kaki lima itu sendiri maupun konsumennya untuk selalu berusaha mentaati
segala aturan yang ada dalam pemerintahan. Kebijakan pemerintah yang
harus diambil dalam mengatasi permasalah itu adalah :
a. Alokasi tempat
Pemerintah tidak hanya memberikan peringatan kepada pedagang kaki
lima saja yang melakukan kesalahan namun juga harus mampu
memberikan solusi untuk mengatasi permasalah tersebut salah satunya
adalah memberikan lahan atau tempat untuk berjualan kepada pihak
pedagang kaki lima.
b. Sarana dan prasarana
Untuk dapat menjual dagangannya maka pedagang kaki lima harus bisa
diberikan sarana dan prasarana yang baik sehingga baik pedagang
maupun para pengunjung segan dan menikmati suasana yang
menyenangkan sehingga betah dan krasan bisa ada ditempat tersebut.
c. Adanya peraturan dan larangan
Baik pedagang kaki lima maupun pengunjung tetap harus mentaati
peraturan dan larangan yang dibuat oleh pemerintah dengan tujuan
untuk pelaksanaan kegiatan dagang dapat berjalan secara teratur, tertib
dan tidak sendiri-sendiri.

Negara kita adalah negara hukum sehingga setiap langkah dan


kegiatan yang dilakukan oleh manusia atau masyarakat dibatasi dengan
hukum dan tidak bisa tanpa batas. Pemerintah atau administrasi negara
diberikan kewenangan yang luas untuk melakukan berbagai tindakan
hukum dalam rangka melayani kepentingan masyarakat untuk
mewujudkan kesejahteraan umum. Pemberian kewenangan kepada
pemerintah atau administrasi negara untuk bertindak atas inisiatif sendiri
lazim disebut dengan istilah “ Fries Ermessen “ atau discretionary power.
Pemerintah sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas
kesejahteraan rakyatnya (welfare state) harus berusaha untuk menjadikan
rakyat menjadi sejahtera.

Kebijakan publik itu sendiri mempunyai arti serangkaian tindakan


yang ditetapkan dan dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah
yang mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan tertentu demi
kepentingan seluruh masyarakat.9 Menurut Philipus M, Hadjon,
mengatakan bahwa peraturan kebijakan pada hakekatnya merupakan
produk dari perbuatan tata usaha negara yang bertujuan “ naar buiten
gebracht shireftelijk beleid “ yaitu menampakkan keluar suatu kebijakan
tertulis10

Dewasa ini sektor informal di daerah perkotaan Indonesia


menunjukkan pertumbuhan yang pesat. Membengkaknya sektor informal
mempunyai kaitan dengan berkurangnya sektor formal dalam menyerap
pertambahan angkatan kerja di kota. Sedang pertambahan angkatan kerja
sebagai akibat migrasi ke kota lebih pesat daripada pertumbuhan
kesempatan kerja. Akibatnya terjadi pengangguran terutama di kalangan
usia muda dan terdidik, yang diikuti dengan membengkaknya sektor
informal.

Masalah pedagang kaki lima perumusan kebijakan publik


menggunakan model demokratis dimana pengambilan keputusan harus
sebanyak mungkin mengelaborasi suara, menghendaki agar setiap “
pemilik hak demokratis” diikut sertakan sebanyak-banyaknya. Dalam hal
memutuskan suatu permasalah dalam hal ini adalah pedagang kaki lima
baik pemerintah maupun pedagang dan masyarakat diberikan haknya
untuk memberikan saran dan masukan guna mencari solusi yang terbaik

9
M. Irfan Islamy, Kebijakan Publik, Universitas Terbuka, Jakarta; 2004, h. 20
10
Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Adminstrasi Indonesia, Gajah Mada Press, Yogyakarta;
1993, h. 152
dalam pelaksanaannya. Peran serta semua pihak sangat diharapkan karena
keberhasilan masalah pedagang kaki lima merupakan masalah bersama
dan perlu dipecahkan secara kebersamaan. Setiap permasalahan
diusahakan dipecahkan secara musyawarah untuk mencapai kemufakatan
namun hal ini peran pemerintah sangat penting dan dominan karena
pemerintah sebagai wadah negara dalam membentuk suatu tatanan yang
baik dan terencana namun berdasarkan aturan atau peraturan yang telah
ditetapkan secara transparan.

Kalau kita lihat perkembangan pedagang kaki lima tidak pernah


hentinya dengan pertumbuhan penduduk. Hal ini akan memberikan
dampak yang positif maupun dampak yang negatif. Positifnya
perdagangan kaki lima dapat menjadi sumber pendapatan asli daerah
(PAD) bagi pemerintah daerah, dapat berfungsi sebagai alternatif dalam
mengurangi jumlah pengangguran serta dapat melayani kebutuhan
masyarakat khususnya bagi golongan masyarakat ekonomi menengah ke
bawah. Negatifnya adalah dapat menimbulkan masalah dalam
pengembangan tata ruang kota seperti gangguan ketertiban umum dan
timbulnya kesan penyimpangan terhadap peraturan akibat sulitnya
mengendalikan perkembangan sektor informal ini. Masalah sekarang
bagaimana pemerintah memandang hal ini dan menurunkan kebijakan-
kebijakan yang tepat untuk meningkatkan taraf hidup mereka yang
sebagian besar miskin, sekaligus menegakkan hukum bagi pengendalian
dan pengaturan tata kota.

Pedagang Kaki lima merupakan tangung jawab bersama sehingga


perlu dipecahkan secara bersama-sama baik pemerintah, pedagang kaki
lima, LSM sehingga permasahan yang ada dipecahkan melalui suatu rapat
guna mencari solusi yang lebih baik disini peran pedagang kaki lima
diberikan haknya untuk memberikan masukan demi jalannya proses
pemerintahan dimana apa yang diharapkan pemerintah baik pemerintah
daerah untuk memberikan rasa nyaman, tertib dan tata kota tercapai
disamping itu pedagang kaki lima juga bisa menikmati serta dapat
menjalankan usahanya demi untuk kelangsungan hidupnya. Permasalahan
dibahas kemudian dirumuskan yang terbaik dan setelah ada titik temu
maka disahkan oleh pemerintah (wali kota dan DPRD) sebagai pengemban
tugas negara dalam menciptakan suasana yang diharapkan yaitu rasa
nyaman, tentram, asri dan indah. Dalam model demokratis ini setiap
keputusan merupakan hasil bersama dan tidak perorangan maka apabila
melanggar maka akan diberikan sanksi yang tegas. Sehingga jelas disini
bahwa model ini sangat efektif implementasinya karena setiap pihak
mempunyai kewajiban untuk ikut serta mencapai keberhasilan kebijakan
karena setiap pihak bertanggung jawab atas kebijakan yang dirumuskan
dan bukan merupakan tanggung jawab perorangan.

Harapan dengan penataan yang baik dan benar mampu


mengendalikan masalah pedagang kaki lima secara proporsional, dengan
tidak melanggar ketentuan atau peraturan perundang-undangan yang ada,
dan sesuai dengan visi dan misi pembangunan Kota yang nyaman bagi
penghuninya.

2. Pihak-pihak yang relevan dan peranannya dalam perumusan,


implementasi dan evaluasi kebijakan publik tersebut adalah pemerintah
daerah (wali kota, DPRD, Dinas tata kota, Satpol PP, Kejaksaan Negeri,
Kepolisian Kota Besar, Pengadilan), Masyarakat, Tokoh Agama dan
Tokoh masyarakat, Lembaga sosial masyarakat.
Pemerintah (Wali kota, DPRD, Dinas tata kota, Satpol PP,
Kejaksaan negeri, Kepolisian Kota Besar, Pengadilan ) adalah sebagai
pembentuk peraturan perundang-undangan bersama dengan DPRD dalam
rangka penertiban pedagang kaki lima dan sebagai pelaksana pentertiban
satpol PP. Masyarakat adalah orang-orang yang ada disekitar dan yang
menikmati jalan yang dipakai oleh pedagang kaki lima. Tokoh agama dan
tokoh masyarakat orang yang dituakan, disegani, dihormati. LSM adalah
lembaga yang bergerak di bidang sosial masyarakat. SatPol PP adalah
satuan polisi pamong praja yang melakukan pentertiban. Kepolisian,
Kejaksaan dan pengadilan bertugas apabila sudah terjadi penindakan dan
dilanjutkan dalam penyidikan sampai ke persidangan. Dinas Tata Kota
adalah memberikan sarana dan petunjuk serta plafon larangan yang
ditempatkan di tempat-tempat trotoar.
Untuk menanggulangi persoalan pedagang kaki lima dan masalah
lain yang berkaitan dengan ketertiban umum maka pemerintah melakukan
kebijakan sosialisasi rencana tata kota yang pokoknya adalah membangun
kota yang berbasis masyarakat; pengembangan lingkungan kehidupan
perkotaan yang berkelanjutan; pengembangan kota sebagai kota jasa skala
nasional maupun internasional.
3. Produk Hukum yang cocok sebagai formulasi kebijakan Publik tersebut
dan implementasinya adalah Peraturan Daerah.
Dengan ketentuan apabila ada pedagang kaki lima yang melakukan
pelanggaran ketentuan atau peraturan perundang-undangan yang ada, dan
tidak sesuai dengan visi dan misi pembangunan kota yang nyaman bagi
penghuninya karena merupakan barometer penilaian atas kinerja
pemerintah kota dalam menata kota yang ada di Indonesia maka perlu
ditegakkan hukum sesuai dengan peraturan daerah dengan melakukan
upaya tindakan tegas dengan diberikan sanksi. Pelaksana adalah Satpol PP.
Penataan PKL sering kali diterjemahkan dalam wujud pembersihan
sebuah ruang publik dari kegiatan bisnis PKL yang tidak resmi.
Pembersihan tersebut sering dilakukan dengan tanpa solusi yang baik,
sehingga gesekan antara PKL dan aparatur pemerintah (Satuan Polisi
Pamong Praja). Penataan yang dilakukan dengan memperhatikan harkat
dan martabat PKL akan mengurangi resiko gejolak dan gesekan-gesekan
yang tidak perlu. Penataan sebaiknya diterjemakan dengan pembinaan,
sehingga PKL diajak dibimbing kearah kemandirian ekonomi dan
disadarkan tentang kesadaran akan lingkungan sekitarnya. Pembinaan
adalah bentuk pendidikan yang diberikan pemerintah kepada masyarakat,
hal ini memang merupakan tugas dan kewajiban dari pemerintah.
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan
Dalam penyelesaian masalah terkait pedagang kaki lima (PKL) perlu
diambil beberapa solusi antara lain adalah:
1. Proses perumusan kebijakan publik
Kebijakan pemerintah yang harus diambil dalam mengatasi
permasalahan ini adalah :
a. Alokasi tempat
Pemerintah tidak hanya memberikan peringatan kepada pedagang kaki
lima saja yang melakukan kesalahan namun juga harus mampu
memberikan solusi untuk mengatasi permasalah tersebut salah satunya
adalah memberikan lahan atau tempat untuk berjualan kepada pihak
pedagang kaki lima.
b. Sarana dan prasarana
Untuk dapat menjual dagangannya maka pedagang kaki lima harus bisa
diberikan sarana dan prasarana yang baik sehingga baik pedagang
maupun para pengunjung segan dan menikmati suasana yang
menyenangkan sehingga betah dan krasan bisa ada ditempat tersebut.
c. Adanya peraturan dan larangan
Baik pedagang kaki lima maupun pengunjung tetap harus mentaati
peraturan dan larangan yang dibuat oleh pemerintah dengan tujuan
untuk pelaksanaan kegiatan dagang dapat berjalan secara teratur, tertib
dan tidak sendiri-sendiri.
2. Pihak-pihak yang relevan dan peranannya dalam perumusan,
implementasi dan evaluasi kebijakan publik tersebut adalah pemerintah
daerah (wali kota, DPRD, Dinas tata kota, Satpol PP, Kejaksaan Negeri,
Kepolisian Kota Besar, Pengadilan), Masyarakat, Tokoh Agama dan
Tokoh masyarakat, Lembaga sosial masyarakat.
3. Produk Hukum yang cocok sebagai formulasi kebijakan Publik tersebut
dan implementasinya adalah Peraturan Daerah.

B. Saran
Untuk selanjutnya penulis berharap bahwa makalah ini dapat
dipergunakan dengan baik dalam hal peningkatan pengetahuan mahasiswa.
Selain itu dpaat dijadikan rekomendasi kepada pemerintah daerah setempat
dalam hal penanggulangan pedagang kaki lima.
DAFTAR PUSTAKA

A. Literatur

Alma, Buchari. 1992. Manajemen Pemasaran dan Pemasaran Jasa. Alfabeta


: Bandung.
D.A Tiasnaadmidjaja dalam Asep Warlan Yusuf. 1997. Pranata
Pembangunan. Universitas Parahiayang : Bandung.
Hadjon, Philipus M. 1993. Pengantar Hukum Adminstrasi Indonesia. Gajah
Mada Press : Yogyakarta
Hermit, Herman. 2008. Pembahasan Undang-Undang Penataan Ruang.
Mandar Maju : Bandung.
Islamy, M. Irfan. 2004. Kebijakan Publik. Universitas Terbuka : Jakarta.
Tangkilisan, Hessel Nogi S.. 2004. Strategi Pengembangan Sumber Daya
Manusia Birokrasi Publik. YPAPI : Yogyakarta.

B. Jurnal
Dinarjati Eka Puspitasari. 2010. Penataan Pedagang Kaki Lima Kuliner untuk
Mewujudkan Fungsi Tata Ruang Kota di Yogyakarta dan Kabupaten
Sleman. Mimbar Hukum : Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai