Disusun Oleh:
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
2017
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Persoalan Pedagang Kaki Lima (PKL) merupakan persoalan bersama
yang harus diselesaikan. Dalam hal ini perlu adanya koordinasi dari pemerintah
daerah, para PKL, dan masyarakat. Koordinasi tersebut diwujudkan dengan
adanya dialog yang memperbincangkan persoalan-persoalan PKL serta
bagaimana penataan dan pengaturannya, sehingga keberadaan PKL di tiap
daerah bisa menunjang perekonomian masyarakat daerah. Keberadaan PKL
juga diharapkan tidak merusak atau menurunkan kualitas lingkungan hidup
yang ada disekitarnya agar dapat tercipta tata ruang yang mempertahankan
ekosistem lingkungan fisik maupun social yang ada di dalamnya. Oleh karena
itu diperlukan adanya penataan bagi PKL untuk mewujudkan fungsi tata ruang
kota yang optimal, dalam hal ini menyangkut aspek ekonomi, social budaya
dan lingkungan itu sendiri.
Banyak kasus yang mendasari keberadaan PKL terhadap fungsi tata
ruang kota. Di satu sisi, para PKL tetap ingin menjalankan usahanya untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, tetapi da sisi lain perlu adanya
perwujudan penataan fungsi tata ruang kota yang memperhatikan aspek
lingkungan secara optimal. Dalam hal ini berarti diharapkan para PKL tetap
berjualan menjalankan usahanya untuk mendapatkan penghasilan mereka
sehari-hari, tetapi tidak mengganggu optimalisasi fungsi tata ruang yang ada.
Sebagai contoh banyak PKL yang berjualan di trotoar, padahal kaki, sehingga
pejalan kaki terenggut haknya tidak dapat menikmati fasilitas umum yang ada
dan keselamatannya terganggu. Selain hal tersebut banyak PKL yang tidak
memperhatikan kondisi kebersihan di sekitar tempat berjualan, sehingga
menyebabkan lokasi tersebut terlihat kotor atau kumuh.
Sebagian besar PKL menawarkan berbagai barang dagangan di trotoar
sebagai kawasan ruang publik. Berdasarkan hal tersebut para pejalan kaki telah
terganggu atau terenggut haknya untuk berjalan kaki di atas trotoar, karena
telah dipenuhi oleh PKL yang menjajankan berbagai barang dagangannya.
Trotoar sebagai kawasan ruang public menjadi hilang fungsinya dengan
keberadaan PKL yang berada di sekitarnya.
Selain permasalahan di atas, keberadaan PKL juga dapat berdampak
pada kesehatan masyarakat seperti adanya limbah cair dan padat sebagai
dampak dari PKL. Sebagai contoh, PKL yang bergerak di bidang usaha
makanan pada umumnya akan membuang sisa makanan dan minuman di
tempat umum. Dari sisi lokasi dan letak, keberadaan PKL yang kurang tertata
mengganggu eksistensi ruang terbuka hijau dan lalu lintas kendaraan yang
berlalu lalang.
Pedagang Kaki Lima (PKL) merupakan salah satu sektor informal yang
dominan di daerah perkotaan, sebagai wujud kegiatan ekonomi skala kecil
yang menghasilkan dan atau mendistribusikan barang dan jasa. Barang-barang
yang dijual yaitu barang-barang convenience (berkatagori menyenangkan)
seperti makanan hingga souvenir. PKL menjajakan dagangannya berkeliling
atau mengambil tempat di trotoar dan emper toko.
Banyak dari PKL mengalami kondisi dilematis. Di satu sisi, mereka
ingin berjualan di tempat yang strategis sehingga akan lebih mudah
mendapatkan keuntungan, tetapi lokasi strategis tersebut mengganggu fungsi
tata ruang kota yang ada,yang berkaitan dengan ketersediaan fasilitas ruang
publik yang teganggu. Oleh karena itu dari pihak Pemerintah Daerah berupaya
untuk menata keberadaan PKL yang berjualan di sekitar ruang publik.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis paparkan sebelumnya, maka
penulis merumuskan permasalahan menjadi sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan Penataan Ruang?
2. Bagaimanakah pengaturan Pedagang Kaki Lima dalam aspek Hukum
Tata Ruang?
BAB II
PEMBAHASAN
1
D.A Tiasnaadmidjaja dalam Asep Warlan Yusuf. Pranata Pembangunan. Bandung: Universitas
Parahiayang 1997. hlm. 6.
2
Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
3
Ibid. Pasal 1 Angka 3.
4
Ibid. Pasal 1 Angka 5.
5
Herman Hermit. Pembahasan Undang-Undang Penataan Ruang. Bandung: Mandar Maju. 2008.
hlm. 68.
pendekatan dalam pengaturan (substansi peraturan perundang-undangan) apa
pun, termasuk UndangUndang Penataan Ruang, wajib dijiwai oleh asas
keadilan”. Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007
ditegaskan bahwa penataan ruang diselenggarakan berdasarkan asas:6
1. Keterpaduan.
Keterpaduan adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan
mengintegrasikan berbagai kepentingan yang bersifat lintas sektor,
lintas wilayah, dan lintas pemangku kepentingan. Pemangku
kepentingan antara lain, adalah pemerintah, pemerintah daerah, dan
masyarakat.
2. Keserasian, keselarasan, dan keseimbangan.
Keserasian, keselarasan, dan keseimbangan adalah bahwa penataan
ruang diselenggarakan dengan mewujudkan keserasian antara struktur
ruang dan pola ruang, keselarasan antara kehidupan manusia dengan
lingkungannya, keseimbangan pertumbuhan dan perkembangan antar
daerah serta antara kawasan perkotaan dan kawasan perdesaan.
3. Keberlanjutan.
Keberlanjutan adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan
menjamin kelestarian dan kelangsungan daya dukung dan daya
tampung lingkungan dengan memperhatikan kepentingan generasi
mendatang.
4. Keberdayagunaan dan keberhasilgunaan.
Keberdayagunaan dan keberhasilgunaan adalah bahwa penataan ruang
diselenggarakan dengan mengoptimalkan manfaat ruang dan sumber
daya yang terkandung di dalamnya serta menjamin terwujudnya tata
ruang yang berkualitas.
5. Keterbukaan.
6
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007. Op.,Cit. Pasal 2.
Keterbukaan adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan
memberikan akses yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk
mendapatkan informasi yang berkaitan dengan penataan ruang.
6. Kebersamaan dan kemitraan.
Kebersamaan dan kemitraan adalah bahwa penataan ruang
diselenggarakan dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan.
7. Perlindungan kepentingan umum.
Perlindungan kepentingan umum adalah bahwa penataan ruang
diselenggarakan dengan mengutamakan kepentingan masyarakat.
8. Kepastian hukum dan keadilan.
Kepastian hukum dan keadilan adalah bahwa penataan ruang
diselenggarakan dengan berlandaskan hukum/ketentuan peraturan
perundang-undangan dan bahwa penataan ruang dilaksanakan dengan
mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat serta melindungi hak dan
kewajiban semua pihak secara adil dengan jaminan kepastian hukum.
9. Akuntabilitas.
Akuntabilitas adalah bahwa penyelenggaraan penataan ruang dapat
dipertanggungjawabkan, baik prosesnya, pembiayaannya, maupun
hasilnya.
1. Penataan ruang berdasarkan sistem terdiri atas sistem wilayah dan sistem
internal perkotaan.
2. Penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan terdiri dari kawasan
lindung dan kawasan budi daya.
3. Penataan ruang berdasarkan wilayah administrasi terdiri atas penataan
ruang wilayah nasional, penataaan ruang wilayah provinsi, dan penataan
ruang wilayah kabupaten/kota.
4. Penataan ruang berdasarkan kegiatan kawasan terdiri atas penataan ruang
kawasan perkotaan, dan penataan ruang kawasan perdesaan.
5. Penataan ruang berdasarkan nilai strategis kawasan terdiri atas penataan
ruang kawasan strategis nasional, penatan ruang kawasan strategis
provinsi, dan penataan ruang kawasan strategis kabupaten/kota.
7
Buchari Alma, 1992, Manajemen Pemasaran dan Pemasaran Jasa, Alfabeta : Bandung.
8
Hessel Nogi S. Tangkilisan, 2004, Strategi Pengembangan Sumber Daya Manusia Birokrasi
Publik, YPAPI : Yogyakarta.
lebih dahulu harus dipahami sifat-sifat semua pemeran serta bagian atau
peran apa yang mereka lakukan, wewenang atau bentuk kekuasaan yang
mereka miliki dan bagaimana mereka saling berhubungan. Pemerintah
harus berusaha untuk mengatasi permasalahan ini dengan bijak dan
terbuka dengan menyadarkan kepada masyarakat baik terhadap pedagang
kaki lima itu sendiri maupun konsumennya untuk selalu berusaha mentaati
segala aturan yang ada dalam pemerintahan. Kebijakan pemerintah yang
harus diambil dalam mengatasi permasalah itu adalah :
a. Alokasi tempat
Pemerintah tidak hanya memberikan peringatan kepada pedagang kaki
lima saja yang melakukan kesalahan namun juga harus mampu
memberikan solusi untuk mengatasi permasalah tersebut salah satunya
adalah memberikan lahan atau tempat untuk berjualan kepada pihak
pedagang kaki lima.
b. Sarana dan prasarana
Untuk dapat menjual dagangannya maka pedagang kaki lima harus bisa
diberikan sarana dan prasarana yang baik sehingga baik pedagang
maupun para pengunjung segan dan menikmati suasana yang
menyenangkan sehingga betah dan krasan bisa ada ditempat tersebut.
c. Adanya peraturan dan larangan
Baik pedagang kaki lima maupun pengunjung tetap harus mentaati
peraturan dan larangan yang dibuat oleh pemerintah dengan tujuan
untuk pelaksanaan kegiatan dagang dapat berjalan secara teratur, tertib
dan tidak sendiri-sendiri.
9
M. Irfan Islamy, Kebijakan Publik, Universitas Terbuka, Jakarta; 2004, h. 20
10
Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Adminstrasi Indonesia, Gajah Mada Press, Yogyakarta;
1993, h. 152
dalam pelaksanaannya. Peran serta semua pihak sangat diharapkan karena
keberhasilan masalah pedagang kaki lima merupakan masalah bersama
dan perlu dipecahkan secara kebersamaan. Setiap permasalahan
diusahakan dipecahkan secara musyawarah untuk mencapai kemufakatan
namun hal ini peran pemerintah sangat penting dan dominan karena
pemerintah sebagai wadah negara dalam membentuk suatu tatanan yang
baik dan terencana namun berdasarkan aturan atau peraturan yang telah
ditetapkan secara transparan.
PENUTUP
A. Simpulan
Dalam penyelesaian masalah terkait pedagang kaki lima (PKL) perlu
diambil beberapa solusi antara lain adalah:
1. Proses perumusan kebijakan publik
Kebijakan pemerintah yang harus diambil dalam mengatasi
permasalahan ini adalah :
a. Alokasi tempat
Pemerintah tidak hanya memberikan peringatan kepada pedagang kaki
lima saja yang melakukan kesalahan namun juga harus mampu
memberikan solusi untuk mengatasi permasalah tersebut salah satunya
adalah memberikan lahan atau tempat untuk berjualan kepada pihak
pedagang kaki lima.
b. Sarana dan prasarana
Untuk dapat menjual dagangannya maka pedagang kaki lima harus bisa
diberikan sarana dan prasarana yang baik sehingga baik pedagang
maupun para pengunjung segan dan menikmati suasana yang
menyenangkan sehingga betah dan krasan bisa ada ditempat tersebut.
c. Adanya peraturan dan larangan
Baik pedagang kaki lima maupun pengunjung tetap harus mentaati
peraturan dan larangan yang dibuat oleh pemerintah dengan tujuan
untuk pelaksanaan kegiatan dagang dapat berjalan secara teratur, tertib
dan tidak sendiri-sendiri.
2. Pihak-pihak yang relevan dan peranannya dalam perumusan,
implementasi dan evaluasi kebijakan publik tersebut adalah pemerintah
daerah (wali kota, DPRD, Dinas tata kota, Satpol PP, Kejaksaan Negeri,
Kepolisian Kota Besar, Pengadilan), Masyarakat, Tokoh Agama dan
Tokoh masyarakat, Lembaga sosial masyarakat.
3. Produk Hukum yang cocok sebagai formulasi kebijakan Publik tersebut
dan implementasinya adalah Peraturan Daerah.
B. Saran
Untuk selanjutnya penulis berharap bahwa makalah ini dapat
dipergunakan dengan baik dalam hal peningkatan pengetahuan mahasiswa.
Selain itu dpaat dijadikan rekomendasi kepada pemerintah daerah setempat
dalam hal penanggulangan pedagang kaki lima.
DAFTAR PUSTAKA
A. Literatur
B. Jurnal
Dinarjati Eka Puspitasari. 2010. Penataan Pedagang Kaki Lima Kuliner untuk
Mewujudkan Fungsi Tata Ruang Kota di Yogyakarta dan Kabupaten
Sleman. Mimbar Hukum : Yogyakarta.