PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Persoalan Pedagang Kaki Lima (PKL) merupakan persoalan bersama yang
harus diselesaikan. Dalam hal ini perlu adanya koordinasi dari pemerintah daerah,
para PKL, dan masyarakat. Koordinasi tersebut diwujudkan dengan adanya dialog
yang memperbincangkan persoalan-persoalan PKL serta bagaimana penataan dan
pengaturannya, sehingga keberadaan PKL di tiap daerah bisa menunjang
perekonomian masyarakat daerah. Keberadaan PKL juga diharapkan tidak
merusak atau menurunkan kualitas lingkungan hidup yang ada disekitarnya agar
dapat tercipta tata ruang yang mempertahankan ekosistem lingkungan fisik
maupun social yang ada di dalamnya. Oleh karena itu diperlukan adanya penataan
bagi PKL untuk mewujudkan fungsi tata ruang kota yang optimal, dalam hal ini
menyangkut aspek ekonomi, social budaya dan lingkungan itu sendiri.
Selain itu, di Kabupaten Garut Khususnya di sepanjang Jalan Jendral Ahmad
Yani yang menjadi pusat Kota dan lalu lintas kendaraan justru di tempat inilah
banyak PKL yang berjualan. Sebagian besar PKL menawarkan berbagai barang
dagangan di trotoar sebagai kawasan ruang publik. Berdasarkan hal tersebut para
pejalan kaki telah terganggu atau terenggut haknya untuk berjalan kaki di atas
trotoar, karena telah dipenuhi oleh PKL yang menjajankan berbagai barang
dagangannya. Trotoar sebagai kawasan ruang public menjadi hilang fungsinya
dengan keberadaan PKL yang berada di sekitarnya.
Banyak kasus yang mendasari keberadaan PKL terhadap fungsi tata ruang
kota. Di satu sisi, para PKL tetap ingin menjalankan usahanya untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya sehari-hari, tetapi da sisi lain perlu adanya perwujudan
penataan fungsi tata ruang kota yang memperhatikan aspek lingkungan secara
optimal. Dalam hal ini berarti diharapkan para PKL tetap berjualan menjalankan
usahanya untuk mendapatkan penghasilan mereka sehari-hari, tetapi tidak
mengganggu optimalisasi fungsi tata ruang yang ada. Sebagai contoh banyak PKL
yang berjualan di trotoar, padahal kaki, sehingga pejalan kaki terenggut haknya
tidak dapat menikmati fasilitas umum yang ada dan keselamatannya terganggu.
Selain hal tersebut banyak PKL yang tidak memperhatikan kondisi kebersihan di
sekitar tempat berjualan, sehingga menyebabkan lokasi tersebut terlihat kotor atau
kumuh.
Banyak dari PKL mengalami kondisi dilematis. Di satu sisi, mereka ingin
berjualan di tempat yang strategis sehingga akan lebih mudah mendapatkan
keuntungan, tetapi loksi strategis tersebut mengganggu fungsi tata ruang kota
yang ada,yang berkaitan dengan ketersediaan fasilitas ruang public yang
teganggu. Oleh karena itu dari pihak Pemerintah Daerah berupaya untuk menata
keberadaan PKL yang berjualan di sekitar ruang publik.
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah yang kami buat ini yakni, sebagai
berikut :
1. Untuk mengetahui penegakan Peraturan Daerah K3 mengenai Keindahan,
Kebersihan, dan Ketertiban Umum oleh SATPOL PP terhadap pedagang kaki
lima di Kabupaten Garut.
2. Untuk mengetahui dampak yang akan ditimbulkan oleh Pedagang Kaki Lima
(PKL) yang berjualan khususnya di sepanjang Jalan Jenderal Ahmad Yani yang
tidak sesuai dengan tata ruang kota di Kabupaten Garut.
D. Manfaat Penulisan
Dengan diselesaikannya penulisan makalah ini, penulisan makalah ini
diharapkan hasilnya dapat memberikan manfaat teoritis dan praktis sebagai
berikut :
1. Kegunaan teoritis
Semoga makalah ini bermanfaat untuk memberikan wawasan dan masukan yang
sangat penting bagi kami selaku penyusun makalah penelitian ini, terutama dalam
pembentukan asimsi khususnya dala ruang lingkup kewargaegaraan dan social.
2. Kegunaan praktis
Semoga makalah ini dapat dijadikan sebagai acuan yang penting bagi pihak-pihak
yang terkait dengan permasalahan yang menyangkut tentang peran satuan polisi
pamong praja (SATPOL PP) dalam menertibkan pedagang kaki lima untuk
melaksanakan Peraturan Daerah K3 tentang Keindahan, Kebersihan dan
Ketertiban Umum.
E. Metode Penulisan
Dalam penyusunan makalah ini, kami menggunakan metode yuridis
normatif yang berbentuk studi pustaka. Yaitu tekhnik pengambilan data yang
didasarkan pada sumber-sumber primer dan sekunder.
F. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan dalam karya tulis ini adalah :
Bab I : pendahuluan, yang terdiri dari : latar belakang masalah, identifikasi dan
rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan dan
sistematika penulisan.
Bab II : tinjauan pustaka, yang terdiri dari : teori hukum, asas hukum, dan
landasan hukum.
Bab III : pembahasan, yang terdiri dari : penegakan peraturan daerah k3 mengenai
keindahan, kebersihan, dan ketertiban umum oleh SATPOL PP terhadap
pedagang kaki lima, dampak yang ditimbulkan oleh pedagang kaki lima yang
berjualan khususnya di sepanjang Jalan Jenderal Ahmad Yani yang tidak sesuai
dengan tata ruang kota di Kabupaten Garut.
Bab IV : penutup, yang terdiri dari : kesimpulan dan saran.
DAFTAR PUSATAKA
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Teori Hukum
B. Asas Hukum
Sesuai dengan hakikat Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai Negara
hukum. Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOL PP) dalam menertibkan pedagang
kaki lima yang berjualan di sembarang tempat khususnya di Jalan Jendral Ahmad
Yani (sekitar pengkolan) harus berlandaskan dasar hukum yang jelas, tegas dan
menyeluruh guna menjamin kepastian hukum bagi upaya penegakan Peraturan
Daerah mengenai K3 (Keindahan, Kebersihan, dan Ketertiban Umum) yang
sekaligus berhubungan dengan penataan ruang kota di Kabupaten Garut.
Dasar Hukum itu dilandasi oleh asas penataan ruang sebagaimana
disebutkan dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang :
1. Asas Keterpaduan
Asas Keterpaduan adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan
mengintegrasikan berbagai kepentingan yang bersifat lintas sektor, lintas wilayah,
dan lintas pemangku kepentingan. Pemangku kepentingan, antara lain, adalah
Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
C. Landasan Hukum
Regulasi mengenai Keindahan, Kebersihan, Ketertiban Umum dan Penataan
Ruang yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah dalam menjalankan
fungsinya adalah :
a. Pasal 33 UUD 1945 :
1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat
hidup orang banyak dikuasai oleh Negara.
3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh
Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan
prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan
kesatuan ekonomi nasional.
rencana penyediaan dan pemanfaatan prasarana dan sarana jaringan pejalan kaki,
angkutan umum, kegiatan sektor informal, dan ruang evakuasi bencana, yang
dibutuhkan untuk menjalankan fungsi wilayah kota sebagai pusat pelayanan sosial
ekonomi dan pusat pertumbuhan wilayah.
d. Pasal 3 (5) Peraturan Daerah No 2 Tahun 1988
Setiap pedagang keliling, kaki ima, penjual makanan yang menimbulkan sampah
diwaibkan menyediakan tempat sampah sendiri dan atau membuang sampah pada
bak sampah yang telah tersedia dan melarang membuang sampah ke kali atau
selokan
Pada jalan, jalur hijau, trotoar dan taman dilarang : Mengotori dan merusak jalan,
jalur hijau, trotoar dan taman dan tempat umumlainnya kecuali untuk kepentingan
dinas.
(8) Setiap orang dilarang untuk berjualan selain pada lokasi yang telah ditetapkan
oleh Pemerintah Daerah.
(9) Setiap orang dilarang berjualan di atas trotoar.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas jelaslah bahwa peran SATPOL PP dalam
penegakan Perda No. 2 Tahun 1988 mengenai K3 sudah optimal. Dalam
pelaksanaan Perda ini SATPOL PP berpedoman atas dasar Keputusan Bupati
Garut No.211 tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan pemeliharaan
ketentraman dan ketertiban umum serta penegakan peraturan daerah di kabupaten
Garut pada dasarnya adalah untuk kelancaran pelaksanaan pemeliharaan
ketentraman dan ketertiban umum serta dalam rangka penegakan dan
mempedomani pelaksanaan ketertiban.
Namun dalam kenyataan di lapangan penegakan Perda yang menyangkut
ketertiban dan ketentraman umum amat bersinggungan dengan kepentingan
masyarakat banyak, dalam hal ini masyarakat menengah kebawah, betapa
banyaknya hal-hal dan kegiatan masyarakat yang diwarnai dengan pelanggaran,
namun pelanggaran itu sendiri tidak dirasakan oleh sipelanggarnya, dan bahkan
jauh dari itu masyarakat yang melanggar malah meyakini bahwa tindakan yang
dilakukan mereka bukan suatu pelanggaran, walau sudah ada aturan yang
mengaturnya. Hal ini tentu yang menjadi salah satu penyebab adalah masyarakat
tidak pernah mendapat informasi ataupun peringatan-peringatan dari aparat yang
berwenang mengenai larangan-larangan yang tertuang dalam suatu Perda
yang berlaku secara syah dan kurangnya ketegasan pihak Pemda terhadap aturan
dimaksud.
Selain itu dengan adanya PKL ini akan menimbulkan dampak-dampak,
selain dari dampak positif, tetapi kebanyakan dampak negatifnya yaitu PKL
mengambil ruang dimana-mana tidak hanya ruang kosong atau terabaikan, tetapi
juga pada ruang yang jelas peruntukkannya secara formal. PKL secara ilegal
berjualan hampir di seleruh jalur pedestrian, ruang terbuka, jalur hijau dan ruang
kota lainnya. Alasannya karena aksestabilitasnya yang tinggi dan lokasi yang
strategis sehingga berpotensi besar untuk mendatangkan konsumen juga.
Akibatnya adalah kaidah-kaidah penataan ruang menjadi mati oleh pelanggaran-
pelanggaran yang terjadi akibat keberadaan PKL tersebut. Keberadaan PKL yang
tidak terkendali mengakibatkan pejalan kaki berdesak-desakkan, sehingga dapat
menimbulkan tindak kriminal (pencopetan). Mengganggu kegiatan ekonomi
pedagang formal karena lokasinya yang cenderung memotong jalur pengunjung
seperti pinggir jalan dan depan toko. Selain itu, pada beberapa tempat keberadaan
PKL mengganggu para pengendara kendaraan bermotor dan mengganggu
kelancaran lalu lintas.
B. Saran
Dalam perencanaan tata kota, relokasi PKL seharusnya melibatkan PKL
mulai dari tahap penentuan lokasi hingga kapan harus menempati. Rekomendasi
kebijakannya adalah penciptaan forum stakeholder pembangunan perkotaan untuk
meningkatkan partisipasi dan akses ke proses pengambilan keputusan. Pemerintah
mestinya serius untuk mendengarkan aspirasi para PKL melalui paguyuban-
paguyuban PKL di lokasi masing-masing sehingga program-program penataan
yang diluncurkan tidak menjadi sia-sia belaka.
Dalam keadaan Seperti ini sebaiknya Pemerintah melakukan pembinaan
mental, yaitu bagaimana mengelola PKL itu sendiri. Kalau kita bicara tentang
PKL itu bukan hanya mengelola tempat tetapi juga mengelola orang. Salah satu
keengganan orang untuk berbelanja di pasar adalah kesadaran lingkungan yang
rendah dan ketidakjujuran. Kesadaran lingkungan yang rendah terhadap sampah
dan aroma yang menyengat hidung juga menyebabkan kalah populernya PKL
dibanding pusat perbelanjaan modern. Dan ketidakjujuran sangat mengganggu
proses jual beli di PKL. Untuk mencegah dan mengurangi hal tersebut salah satu
cara dengan social value system atau nilai-nilai yang mengikat di masyarakat.
Upaya pembinaan mental terhadap PKL perlu dilakukan agar PKL menjadi lebih
jujur dan sadar lingkungan.
Kepada Pemerintah Kabupaten Garut diharapkan agar segera merancang
pembuatan Perda mengenai masalah penertiban Pedagang Kaki Lima.
Dikarenakan masalah mengenai PKL di Kabupaten Garut ini sudah kompleks
sekali. Selain dari itu pelaksanaan tugas SATPOL PP pun akan lebih mudah dan
bisa optimal dikarenakan mempunyai payung hukum yang kuat dalam
menertibkan PKL ini. Lalu mengenai Perda No. 2 Tahun 1988 mengenai K3 itu
bersifat luas hanya mengenai keindahan, kebersihan, ketertiban umum, tetapi
tidak mengatur secara tegas dan rinci mengenai penertiban PKL. Kemudian dalam
hal sanksi juga masih bersifat lemah dan tidak membuat jera para PKL. Oleh
karena itu Pemerintah harus segera membuat Perda mengenai penertiban PKL.
Selain dari itu, Pemerintah Daerah juga harus memperhatikan beberapa hal
dalam menangani PKL di Kabupaten Garut ini yaitu :
1. Mengawali dengan paradigma bahwa PKL bukanlah semata-mata beban atau
gangguan bagi keindahan dan ketertiban kota. Tetapi, PKL juga punya hak hidup
dan mendapatkan penghasilan secara layak, namun tentunya alasan seperti ini
jangan sampai digunakan pedagang untuk berdagang tanpa mematuhi aturan
karena tidak semua lokasi bisa dipakai sebagai tempat usaha. Pemkot tetap harus
tegas namun tentunya ini membutuhkan komunikasi dengan penuh keterbukaan.
2. PKL sesungguhnya juga merupakan aset dan potensi ekonomi jika benar-benar
bisa dikelola dengan baik. Paradigma ini akan berimplikasi pada cara pendekatan
Pemkot ke PKL yang selama ini dianggap sangat represif-punitif yang justru
melahirkan perlawanan dan mekanisme “kucing-kucingan” yang sama sekali tidak
menyelesaikan masalah.
3. Masalah yang muncul berkenaan dengan PKL ini adalah banyak disebabkan oleh
kurangnya ruang untuk mewadahi kegiatan PKL di perkotaan. Konsep
perencanaan ruang perkotaan (RTRW) yang tidak didasari oleh pemahaman
informalitas perkotaan sebagai bagian yang menyatu dengan sistem perkotaan
akan cenderung mengabaikan tuntutan ruang untuk sektor informal termasuk
PKL. Kawasan yang dikhususkan untuk PKL telah terbukti menjadi solusi
dibeberapa tempat di Indonesia. Bahkan bisa menjadi alternative tempat wisata
jika dimodifikasi dengan hiburan yang menarik perhatian masyarakat.
4. Pemerintah Kota harus memiliki riset khusus secara bertahap untuk mengamati
dan memetakan persoalan PKL, pasang-surut perkembangan PKL serta bangunan
liar di berbagai wilayah kota, sehingga bisa meletakkan argumen logis untuk
aktivitas berikutnya. Sehingga model pembinaan ke PKL bisa beragam bentuknya
dan tidak mesti dalam bentuk bantuan modal. Model pembinaan PKL dari Pemkot
yang memang sudah berjalan dan dirasakan efektif mungkin bisa dilanjutkan
tinggal bagaimana memperkuat pengawasan implementasi di lapangan karena
masih banyak keluhan indikasi lemahnya pengawasan penyimpangan.
5. Pemerintah Kota harus membuka diri untuk bekerja sama dengan elemen
masyarakat dalam penanganan masalah PKL ini. Semisal LBH dan beberapa LSM
atau pihak akdemis mungkin bisa dilibatkan untuk melakukan riset pemetaan
persoalan PKL dan advokasi ke mereka. Beberapa Ormas bahkan Parpol pun bisa
berperan dalam hal pembinaan ke mereka sehingga PKL ini benar-benar menjadi
tanggung jawab bersama masyarakat.
6. Pemerintah Kota harus memastikan payung hukum (Perda) yang tidak
menjadikan PKL sebagai pihak yang dirugikan. Pelibatan semua elemen yang
terkait baik itu masyarakat, pengusaha, dewan, dinas terkait dan elemen yang lain
dengan semangat keterbukaan justru akan menjadikan kebijakan pemkot didukung
dan dikawal implementasinya oleh banyak kalangan.
7. Penertiban terhadap PKL liar mestinya harus dilakukan dengan pendekatan dialog
yang bernuansa pembinaan dan bukan pendekatan represif yang justru memicu
perlawanan dan tidak boleh terkesan tebang pilih karena bisa memicu kecurigaan
masyarakat tentang adanya tekanan politis dari kekuatan tertentu yang
mengarahkan penertiban hanya pada komunitas tertentu. Penggusuran yang tidak
disertai keberlanjutan program yang pasti bisa berdampak pada peningkatan
jumlah pengangguran dan kemiskinan. Pengangguran yang jika tidak terkendali
dengan baik justru memicu tindakan kriminalitas baru.
DAFTAR PUSTAKA
H.Juniarso Ridawan dan Achmad Sodik, Hukum Tata Ruang dalam Konsep
Kebijakan Otonomi Daerah, Nuansa, Bandung, cetakan III 2013
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 Tentang Pemerintahan daerah
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang
PP Nomor 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja
Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 1988 Tentang Kebersihan, Keindahan, dan
Ketertiban Umum