Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Persoalan Pedagang Kaki Lima (PKL) merupakan persoalan bersama yang
harus diselesaikan. Dalam hal ini perlu adanya koordinasi dari pemerintah daerah,
para PKL, dan masyarakat. Koordinasi tersebut diwujudkan dengan adanya dialog
yang memperbincangkan persoalan-persoalan PKL serta bagaimana penataan dan
pengaturannya, sehingga keberadaan PKL di tiap daerah bisa menunjang
perekonomian masyarakat daerah. Keberadaan PKL juga diharapkan tidak
merusak atau menurunkan kualitas lingkungan hidup yang ada disekitarnya agar
dapat tercipta tata ruang yang mempertahankan ekosistem lingkungan fisik
maupun social yang ada di dalamnya. Oleh karena itu diperlukan adanya penataan
bagi PKL untuk mewujudkan fungsi tata ruang kota yang optimal, dalam hal ini
menyangkut aspek ekonomi, social budaya dan lingkungan itu sendiri.
Selain itu, di Kabupaten Garut Khususnya di sepanjang Jalan Jendral Ahmad
Yani yang menjadi pusat Kota dan lalu lintas kendaraan justru di tempat inilah
banyak PKL yang berjualan. Sebagian besar PKL menawarkan berbagai barang
dagangan di trotoar sebagai kawasan ruang publik. Berdasarkan hal tersebut para
pejalan kaki telah terganggu atau terenggut haknya untuk berjalan kaki di atas
trotoar, karena telah dipenuhi oleh PKL yang menjajankan berbagai barang
dagangannya. Trotoar sebagai kawasan ruang public menjadi hilang fungsinya
dengan keberadaan PKL yang berada di sekitarnya.

Selain permasalahan di atas, keberadaan PKL juga dapat berdampak pada


kesehatan masyarakat seperti adanya limbah cair dan padat sebagai dampak dari
PKL. Sebagai contoh, PKL yang bergerak di bidang usaha makanan pada
umumnya akan membuang sisa makanan dan minuman di tempat umum. Dari sisi
lokasi dan letak, keberadaan PKL yang kurang tertata mengganggu eksistensi
ruang terbuka hijau dan lalu lintas kendaraan yang berlalu lalang.

Banyak kasus yang mendasari keberadaan PKL terhadap fungsi tata ruang
kota. Di satu sisi, para PKL tetap ingin menjalankan usahanya untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya sehari-hari, tetapi da sisi lain perlu adanya perwujudan
penataan fungsi tata ruang kota yang memperhatikan aspek lingkungan secara
optimal. Dalam hal ini berarti diharapkan para PKL tetap berjualan menjalankan
usahanya untuk mendapatkan penghasilan mereka sehari-hari, tetapi tidak
mengganggu optimalisasi fungsi tata ruang yang ada. Sebagai contoh banyak PKL
yang berjualan di trotoar, padahal kaki, sehingga pejalan kaki terenggut haknya
tidak dapat menikmati fasilitas umum yang ada dan keselamatannya terganggu.
Selain hal tersebut banyak PKL yang tidak memperhatikan kondisi kebersihan di
sekitar tempat berjualan, sehingga menyebabkan lokasi tersebut terlihat kotor atau
kumuh.
Banyak dari PKL mengalami kondisi dilematis. Di satu sisi, mereka ingin
berjualan di tempat yang strategis sehingga akan lebih mudah mendapatkan
keuntungan, tetapi loksi strategis tersebut mengganggu fungsi tata ruang kota
yang ada,yang berkaitan dengan ketersediaan fasilitas ruang public yang
teganggu. Oleh karena itu dari pihak Pemerintah Daerah berupaya untuk menata
keberadaan PKL yang berjualan di sekitar ruang publik.

B. Rumusan dan Identifikasi Masalah


Dalam penulisan makalah ini tentulah kami memiliki beberapa perumusan
masalah guna meminimalisir keraguan atau pelebaran masalah. Perumusan
masalah ini, yakni sebagai berikut :
1. Apakah sudah optimal penegakan Peraturan Daerah K3 mengenai Keindahan,
Kebersihan, dan Ketertiban Umum oleh SATPOL PP terhadap pedagang kaki
lima di Kabupaten Garut?
2. Dampak apa yang akan ditimbulkan oleh Pedagang Kaki Lima (PKL) yang
berjualan khususnya di sepanjang Jalan Jenderal Ahmad Yani yang tidak sesuai
dengan tata ruang kota di Kabupaten Garut?

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah yang kami buat ini yakni, sebagai
berikut :
1. Untuk mengetahui penegakan Peraturan Daerah K3 mengenai Keindahan,
Kebersihan, dan Ketertiban Umum oleh SATPOL PP terhadap pedagang kaki
lima di Kabupaten Garut.
2. Untuk mengetahui dampak yang akan ditimbulkan oleh Pedagang Kaki Lima
(PKL) yang berjualan khususnya di sepanjang Jalan Jenderal Ahmad Yani yang
tidak sesuai dengan tata ruang kota di Kabupaten Garut.

D. Manfaat Penulisan
Dengan diselesaikannya penulisan makalah ini, penulisan makalah ini
diharapkan hasilnya dapat memberikan manfaat teoritis dan praktis sebagai
berikut :
1. Kegunaan teoritis
Semoga makalah ini bermanfaat untuk memberikan wawasan dan masukan yang
sangat penting bagi kami selaku penyusun makalah penelitian ini, terutama dalam
pembentukan asimsi khususnya dala ruang lingkup kewargaegaraan dan social.
2. Kegunaan praktis
Semoga makalah ini dapat dijadikan sebagai acuan yang penting bagi pihak-pihak
yang terkait dengan permasalahan yang menyangkut tentang peran satuan polisi
pamong praja (SATPOL PP) dalam menertibkan pedagang kaki lima untuk
melaksanakan Peraturan Daerah K3 tentang Keindahan, Kebersihan dan
Ketertiban Umum.
E. Metode Penulisan
Dalam penyusunan makalah ini, kami menggunakan metode yuridis
normatif yang berbentuk studi pustaka. Yaitu tekhnik pengambilan data yang
didasarkan pada sumber-sumber primer dan sekunder.
F. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan dalam karya tulis ini adalah :
Bab I : pendahuluan, yang terdiri dari : latar belakang masalah, identifikasi dan
rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan dan
sistematika penulisan.
Bab II : tinjauan pustaka, yang terdiri dari : teori hukum, asas hukum, dan
landasan hukum.
Bab III : pembahasan, yang terdiri dari : penegakan peraturan daerah k3 mengenai
keindahan, kebersihan, dan ketertiban umum oleh SATPOL PP terhadap
pedagang kaki lima, dampak yang ditimbulkan oleh pedagang kaki lima yang
berjualan khususnya di sepanjang Jalan Jenderal Ahmad Yani yang tidak sesuai
dengan tata ruang kota di Kabupaten Garut.
Bab IV : penutup, yang terdiri dari : kesimpulan dan saran.
DAFTAR PUSATAKA
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Teori Hukum

1. Teori Penegakan Hukum


Menurut Black’s Law Dictionary, penegakan hukum (law enforcement), diartikan
sebagai “the act of putting something such as a law into effect; the execution of a
law; the carrying out of a mandate or command”. Secara sederhana dapat
dikatakan bahwa penegakan hukum merupakan usaha untuk menegakkan norma-
norma dan kaidah-kaidah hukum sekaligus nilai-nilai yang ada di belakangnya.
Aparat penegak hukum hendaknya memahami benar-benar jiwa hukum (legal
spirit) yang mendasari peraturan hukum yang harus ditegakkan, terkait dengan
berbagai dinamika yang terjadi dalam proses pembuatan perundang-undangan
(law making process).
2. Teori Efektifitas Hukum
Berdasarkan teori efektivitas hukum yang dikemukakan Soerjono Soekanto,
efektif atau tidaknya suatu hukum ditentukan oleh 5 (lima) faktor. Pertama; faktor
hukumnya sendiri (undang-undang). Kedua; faktor penegak hukum, yakni pihak-
pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. Ketiga; faktor sarana atau
fasilitas yang mendukung penegakan hukum. Keempat; faktor masyarakat, yakni
lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. Kelima; faktor
kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa
manusia di dalam pergaulan hidup.
Menurut Mochtar Koesoemaatmadja bahwa tujuan pokok penerapan hokum
apabila hendak direduksi pada satu hal saja adalah ketertiban (order). Ketertiban
adalah tujuan pokok dan merupakan syarat pokok (fundamental) bagi adanya
mesyarakat yang teratur ; di samping itu tujuan lainnya adalah tercapainya
keadilan yang berbeda-beda isi dan ukurannya,menurut masyarakat pada
zamannya.

B. Asas Hukum
Sesuai dengan hakikat Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai Negara
hukum. Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOL PP) dalam menertibkan pedagang
kaki lima yang berjualan di sembarang tempat khususnya di Jalan Jendral Ahmad
Yani (sekitar pengkolan) harus berlandaskan dasar hukum yang jelas, tegas dan
menyeluruh guna menjamin kepastian hukum bagi upaya penegakan Peraturan
Daerah mengenai K3 (Keindahan, Kebersihan, dan Ketertiban Umum) yang
sekaligus berhubungan dengan penataan ruang kota di Kabupaten Garut.
Dasar Hukum itu dilandasi oleh asas penataan ruang sebagaimana
disebutkan dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang :
1. Asas Keterpaduan
Asas Keterpaduan adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan
mengintegrasikan berbagai kepentingan yang bersifat lintas sektor, lintas wilayah,
dan lintas pemangku kepentingan. Pemangku kepentingan, antara lain, adalah
Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.

2. Asas Keserasian, Keselarasan, dan Keseimbangan


Asas Keserasian, Keselarasan, dan Keseimbangan adalah bahwa penataan ruang
diselenggarakan dengan mewujudkan keserasian antara struktur ruang dan pola
ruang, keselarasan antara kehidupan manusia dengan lingungannya,
keseimbangan pertumbuhan dan perkembangan antar daerah serta antara kawasan
perkotaan dan kawasan pedesaan.
3. Asas Keberlanjutan
Asas Keberlanjutan adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan
menjamin kelestarian dan kelangsungan daya dukung dan daya tamping
lingkungan dengan memperhatikan kepentingan generasi mendatang.
4. Asas Keberdayagunaan dan Keberhasilgunaan
Asas Keberdayagunaan dan Keberhasilgunaan adalah bahwa penataan ruang
disellenggarakan dengan mengoptimalkan manfaat ruang dan sumber daya yang
terkandung di dalamnya serta menjamin terwujudnya tata ruang yang berkualitas..
5. Asas Keterbukaan
Asas Keterbukaan adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan
memberikan akses yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mendapatkan
informasi yang berkaitan dengan penataan ruang.
6. Asas Kebersamaan dan Kemitraan
Asas Kebersamaan dan Kemitraan adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan
dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan.
7. Asas Perlindungan Kepentingan Hukum
Asas Perlindungan Kepentingan Hukum adalah bahwa penataan ruang
diselenggarakan dengan mengutamakan kepentingan masyarakat.
8. Asas Kepastian Hukum dan Keadilan
Asas Kepaastian Hukum dan Keadilan adalah bahwa penataan ruang
diselenggarakan dengan berlandaskan hukum/ketentuan peraturan perundang-
undangan dan bahwa penataan ruang dilaksanakan dengan mempertimbangkan
rasa keadilan masyarakat serta melindungi hak dan kewajiban semua pihak secara
adli dengan jaminan kepastian hukum.
9. Asas Akuntabilitas
Asas Akuntabilitas adalah bahwa penyelenggaraan penataan ruang dapat
dipertanggungjawabkan, baik prosesnya, pembiayaanya.

C. Landasan Hukum
Regulasi mengenai Keindahan, Kebersihan, Ketertiban Umum dan Penataan
Ruang yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah dalam menjalankan
fungsinya adalah :
a. Pasal 33 UUD 1945 :
1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat
hidup orang banyak dikuasai oleh Negara.
3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh
Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan
prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan
kesatuan ekonomi nasional.

b. Pasal 1 angka 1 UU No. 26 Tahun 2007


Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara,
termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan
makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan
hidupnya.

c. Pasal 1 (30) UU No. 26 Tahun 2007


Kawasan strategis kabupaten/kota adalah wilayah yang penataan ruangnya
diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup
kabupaten/kota terhadap ekonomi, sosial, budaya,dan/atau lingkungan.
Pasal 11 (1) dan (2) UU No. 26 Tahun 2007
1) Wewenang pemerintah daerah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan penataan
ruang meliputi :
a. pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang
wilayah kabupaten/kota dan kawasan strategis kabupaten/kota;
b. pelaksanaan penataan ruang wilayah kabupaten/kota;
c. pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis kabupaten/kota; dan
d. zzkerja sama penataan ruang antarkabupaten/kota

2) Wewenang pemerintah daerah kabupaten/kota dalam pelaksanaan penataan ruang


wilayah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
a. perencanaan tata ruang wilayah kabupaten/kota;
b. pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota; dan
c. pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota.

c. Pasal 28 huruf c UU No. 26 Tahun 2007

Ketentuan perencanaan tata ruang wilayah kabupaten sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 27 berlaku mutatis mutandis untuk
perencanaan tata ruang wilayah kota, dengan ketentuan selain rincian dalam Pasal
26 ayat (1) ditambahkan :

rencana penyediaan dan pemanfaatan prasarana dan sarana jaringan pejalan kaki,
angkutan umum, kegiatan sektor informal, dan ruang evakuasi bencana, yang
dibutuhkan untuk menjalankan fungsi wilayah kota sebagai pusat pelayanan sosial
ekonomi dan pusat pertumbuhan wilayah.
d. Pasal 3 (5) Peraturan Daerah No 2 Tahun 1988

Setiap pedagang keliling, kaki ima, penjual makanan yang menimbulkan sampah
diwaibkan menyediakan tempat sampah sendiri dan atau membuang sampah pada
bak sampah yang telah tersedia dan melarang membuang sampah ke kali atau
selokan

e. Pasal 7 huruf a Peraturan Daerah No. 2 Tahun 1988

Pada jalan, jalur hijau, trotoar dan taman dilarang : Mengotori dan merusak jalan,
jalur hijau, trotoar dan taman dan tempat umumlainnya kecuali untuk kepentingan
dinas.

f. Pasal 15 (8) dan (9) Peraturan Daerah no 2 Tahun 1988

(8) Setiap orang dilarang untuk berjualan selain pada lokasi yang telah ditetapkan
oleh Pemerintah Daerah.
(9) Setiap orang dilarang berjualan di atas trotoar.
BAB III
PEMBAHASAN

A. Penegakan Peraturan Daerah K3 Mengenai Keindahan, Kebersihan, dan


Ketertiban Umum oleh SATPOL PP terhadap Pedagang Kaki Lima
Pedagang kaki lima atau yang biasa disingkat dengan kata PKL adalah
istilah untuk menyebut penjaja dagangan yang menggunakan gerobak. Istilah itu
sering ditafsirkan karena jumlah kaki pedagangnya ada lima. Lima kaki tersebut
adalah sua kaki pedagang ditambah tiga kaki gerobak (yang sebenanya adalah tiga
roda atau dua roda dan satu kaki). Dahulu namanya adalah pedagang emperan
jalan, sekarang menjadi Pedagang Kaki Lima, namun saat ini istilah PKL
memiliki arti lebih luas, Pedagang Kaki Lima digunakan pula untuk menyebut
pedagang di jalan umumnya. Tapi menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia
susunan W. J. S Poerwadarminta, istilah kaki lima adalah lantai yang diberi atap
sebagai penghubung rumah dengan rumah, arti yang kedua adalah lantai (tangga)
dimuka pintu atau tepi jalan. Arti yang kedua ini lebih cenderung diperuntukan
bagi bagian depan bangunan rumah took,dimana di jaman sialm telah terjadi
kesepakatan antar perencanaan kota bahwa bagian depan dari toko lebarnya harus
sekitar lima kaki dan diwajibkan dijadikan suatu jalur dimana pejalan kaki dapat
melintas.
Dalam rangka penegakan Perda, unsur utama sebagai pelaksana di lapangan
adalah pemerintah daerah, dalam hal ini kewenangan tersebut di emban oleh
SATPOL PP yang didalamnya juga terdapat Penyidik Pegawai Negeri Sipil, yang
sudah dididik, dilatih dan sudah memiliki surat keputusan sebagai penyidik.
Sebagaimana tertuang dalam Pasal 148, 149 UU No 34 tahun 2004 Tentang
Pemerintahan daerah, bahwa (1) Untuk membantu kepala daerah dalam
menegakkan Perda dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman
masyarakat dibentuk Satuan Polisi Pamong Praja.
Adapun wewenang Satpol PP No. 6 Th 2010 tentang satuan polisi Pamong
Praja bab III Pasal 6, Polisi Pamong Praja berwenang :
a) melakukan tindakan penertiban nonyustisial terhadap warga masyarakat, aparatur,
atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau
peraturankepala daerah;
b) menindak warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang mengganggu
ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat;
c) fasilitasi dan pemberdayaan kapasitas penyelenggaraan perlindungan masyarakat;
d) melakukan tindakan penyelidikan terhadap warga masyarakat, aparatur, atau
badan hukum yang didugamelakukan pelanggaran atas Perda dan/atau
peraturankepala daerah; dan
e) melakukan tindakan administratif terhadap warga masyarakat, aparatur, atau
badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau peraturan kepala
daerah.
Namun dalam kenyataan di lapangan penegakan Perda yang menyangkut
ketertiban dan ketentraman umum amat bersinggungan dengan kepentingan
masyarakat banyak, dalam hal ini masyarakat menengah kebawah, betapa
banyaknya hal-hal dan kegiatan masyarakat yang diwarnai dengan pelanggaran,
namun pelanggaran itu sendiri tidak dirasakan oleh sipelanggarnya, dan bahkan
jauh dari itu masyarakat yang melanggar malah meyakini bahwa tindakan yang
dilakukan mereka bukan suatu pelanggaran, walau sudah ada aturan yang
mengaturnya. Hal ini tentu yang menjadi salah satu penyebab adalah masyarakat
tidak pernah mendapat informasi ataupun peringatan-peringatan dari aparat yang
berwenang mengenai larangan-larangan yang tertuang dalam suatu Perda
yang berlaku secara syah dan kurangnya ketegasan pihak Pemda terhadap aturan
dimaksud.
Memang dirasakan oleh berbagai kalangan bahwa suatu Perda yang sudah
diberlakukan secara efektif tidak pernah disosialisasikan oleh pemerintah daerah
bersama aparat kepolisian atau instansi terkait, sehingga pemahaman masyarakat
akan pentingnya Perda ini amat dangkal. Dilain pihak Penegakan peraturan tidak
memberikan rasa dan kesan keadilan bagi masyarakat. Aparat kadang kala
melakukan tindakan setelah pelanggaran tersebut sudah terakumulasi sehingga
dalam penegakannya memerlukan tenaga, biaya dan pikiran yang cukup berat,
karena bagaimanapun dengan sudah banyaknya pelanggaran akan banyak juga
resiko yang dihadapai dalam penegakan Perda, bahkan akan berpotensi besar
terhadap timbulnya masalah yang lebih serius yang bisa membahayakan
kepentingan masyarakat luas / kepentingan umum. Tidak jarang penegakan
hukum atas Perda dilaksanakan oleh Sat Pol PP dan PPNS yang bertindak sangat
represif dan terkesan arogan.
Sebagai suatu daerah yang otonom Pemerintah daerah mempunyai
wewenang dalam mengeluarkan suatu Perda, dimana salah satu tujuannya adalah
guna menjamin kepastian hukum dan menciptakan serta memelihara ketentraman
dan ketertiban umum. Berbicara tentang kepastian hukum dan penegakan Perda
dalam penyelenggaraan pemerintahan, tentu tidak terlepas dari terciptanya
keamanan dan ketertiban masyarakat, yang dalam perwujudannya diperlukan
suatu kemampuan manajemen dan profesionalisme dalam menangani berbagai
pelanggaran-pelanggaran menyangkut ketertiban sehingga hasil yang dicapai
sesuai dengan apa yang diharapkan, dimana langkah-langkah tersebut meliputi
kegiatan:
1. Perencanaan. Dalam pelaksanaan kegiatan perencanaan perlu adanya kemampuan
untuk menyusun stategi baik Pre-emtif, Pre-ventif, berupa :
1) Tujuan yang akan dicapai dalam penegakan suatu Perda.
2) Konsep kegiatan yang akan dilaksanakan termasuk didalamnya cara bertindak
dengan sasaran yang telah ditetapkan.
3) Kekuatan yang akan digunakan dalam penegakan Perda.
4) Menentukan konsep pengendalian yang dilakukan, agar semua kegiatan yang
dilaksanakan dapat terkontrol dengan baik sehingga akan membuahkan hasil
sebagaimana yang diharapakan.
2. Pengorganisasian. Dalam rangka pelaksanaan penegakan Perda perlu adanya
pengorganisasian sehingga akan dapat ditentukan secara pasti, siapa berbuat apa,
siapa bekerja sama dengan siapa serta bertanggung jawab kepada siapa, dengan
tanpa melupakan prinsip-prinsip dalam pengorganisasian yakni :
1) Adanya kesatuan perintah.
2) Adanya pembagian tugas yang jelas.
3) Terjaminnya rentang kendali yang efektif.
4) Penyelenggaraan pendelegasian wewenang yang jelas.
5) Adanya lapis kekuatan dan lapis kemampuan guna keperluan back up dalam
pelaksanaan tugas.

3. Pelaksanaan. Dalam pelaksanaan penegakan suatu Perda tentunya berpedoman


pada hal-hal yang sudah direncanakan, dengan menggunakan kekuatan yang telah
dipersiapkan sebelumnya sebagaimana tertuang dalam surat perintah yang
berisikan antara lain :
1) Tugas apa yang akan dilaksanakan.
2) Mengapa tugas itu harus dilakukan.
3) Apa sasaran yang akan dicapai.
4) Bagaimana tindakan yang harus dilakukan.
5) Siapa penanggung jawab kegiatan.

4. Pengendalian. Guna keberhasilan pelaksanaan tugas dilapangan dan agar rencana


yang sudah ditetapkan dalam penegakan Perda dapat berjalan sebagaimana
mestinya perlu adanya suatu pengendalian oleh pimpinan Satuan Polisi Pamong
Praja dengan tujuan :
1) Menjamin keberhasilan tugas.
2) Menghindari timbulnya berbagai penyimpangan.
3) Sebagai tindakan korektif bila terjadi kesalahan.
Dalam rangka penerapan Peraturan Daerah No.2 tahun 1988 tentang
Kebersihan, Keindahan dan Ketertiban di Kabupaten Garut dan atas dasar
Keputusan Bupati Garut No.211 tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan
pemeliharaan ketentraman dan ketertiban umum serta penegakan peraturan daerah
di kabupaten Garut pada dasarnya adalah untuk kelancaran pelaksanaan
pemeliharaan ketentraman dan ketertiban umum serta dalam rangka penegakan
dan mempedomani pelaksanaan ketertiban.
Pedoman Surat Keputusan Bupati ini dilaksanakan sebagai pedoman kerja
bagi setiap aparat polisi pamong praja dan anggota pejabat pegawai negeri sipil
serta aparat lainnya dalam menjalakan tugas dan fungsinya dengan tujuan untuk
mewujudkan ketentraman dan ketertiban umum serta penegakkan peraturan
daerah dan peraturan pelaksanaannya serta norma-norma yang berlaku.
Dalam pelaksanaan ketertiban berdasarkan peraturan daerah dan keputusan
Bupati tersebut dilakukan petugas keamanan dalam hal ini polisi pamong praja
yang melaksanakan pemantauan ketentraman dan ketertiban umum serta
melaporkan hasilnya secara tertulis kepada atasan langsung yang selanjutnya
dilaporkan kepada Pimpinan secara berjenjang.
Yang dimaksud dengan Pemantauan tersebut adala pemantauan terhadap
pelaksanaan Peraturan Daerah yang menjadi tugas dan fungsi Dinas/lembaga
teknis lainnya dilakukan oleh Satuan olisi Pamong Pradjabersama-sama Dinas/
Lembaga Teknis terkait.
Dalam melaksanakan tugas tersebut, Kantor Satuan Polisi Pamong Pradja
menyelenggarakan fungsi yaitu menyusun rencana pelaksanaan dibidang
ketentraman dan ketertiban sesuai dengan kebijakan Bupati dan melaksanakan
langkah dan tindakan untuk menciptakan terwujudnya ketentraman dan ketertiban
dalam masyarakat dan tegaknya peraturan perundang-undangan yang berlaku
serta melaksanakan koordinasi dan konsultasi dengan perangkat daerah dalam
membina dan memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat.
Tetapi, tugas Satuan Polisi Pamong Praja dalam pelaksanaan fungsi di
bidang ketentraman dan ketertiban tetap belum optimal dan belum bias
menertibkan para Pedagang Kaki Lima. Hal ini tampak terlihat bagaimana
keberadaan Pedagang Kaki Lima di Pengkolan makin marak dan beragam
dagangannya, khususnya pada Sabtu malam dan Minggu pagi.
Pedagang Kaki Lima khususnya di Jalan Ahmad Yani pun selama ini
seringkali menjadi salah satu penyebab kemacetan lalu lintas di jalan itu. Hal itu
dilihat banyaknya Pedagang Kaki Lima yang masih berjualan di pinggiran jalan,
yang walau sudah ditertibkan tetapi mereka masih tetap melakukan aktivitsanya.
Selain itu dalam pelaksanaan Perda mengenai K3 ini sanksinya lemah sehingga
tidak bisa menjerat atau membuat jera para PKL yang berjualan tersebut.
Kemudian dalam hal pembuatan sebuah kebijakan, dalam implementasinya
kebijakan pemerintah itu harus dilakukan dengan pemikiran yang rasional dan
proporsional. Logikanya pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan dalam hal ini
relokasi, relokasi tersebut adalah pemerintah berupaya mencari win-win solution
atas permasalahan PKL. Dengan dikeluarkannya kebijakan relokasi, pemerintah
dapat mewujudkan tata kota yang indah dan bersih, namun juga dapat
memberdayakan keberadaan PKL untuk menopang ekonomi daerah.
Pemberdayaan PKL melalui relokasi tersebut ditujukan untuk formalisasi aktor
informal, artinya dengan ditempatkannya pedagang kaki lima pada kios-kios yang
disediakan maka pedagang kaki lima telah legal menurut hukum. Sehingga
dengan adanya legalisasi tersebut pemkab dapat menarik restribusi secara dari
para pedagang agar masuk kas pemerintah dan tentunya akan semakin menambah
Pendapatan Asli Daerah.

B. Dampak Yang Ditimbulkan oleh Pedagang Kaki Lima yang Berjualan


Khususnya di Sepanjang Jalan Jenderal Ahmad Yani yang Tidak Sesuai
dengan Tata Ruang Kota di Kabupaten Garut
Munculnya Pedagang Kaki Lima atau yang sering disebut PKL telah
memberikan banyak dampak, baik itu dampak positif maupun dampak negative.
Di bawah ini akan diuraikan beberapa dampak positif dan dampak negatif :
1. Dampak Positif
Pada umumnya barang-barang yang diusahakan PKL memiliki harga yang
relative terjangkau oleh pembelinya, dimana pembeli utamanya adalah masyarakat
menengah ke bawah yang memiiki daya beli yang rendah.keberadaan PKL bias
menjadi potensi pariwisata yang cukup menjanjikan, sehingga keberadaan PKL
benyak menjamur di sudut-sudut kota. Dampak positif lainnya terlihat pula dari
segi social dan ekonomi, karena seltor informal memiliki karakteristik efisien dan
ekonomis. Hal tersebut menurut Sethurahman selaku coordinator penelitian sector
informal yang dilakukan ILO di 8 negara berkembang, karena kemampuan
menciptakan surplus bagi investasi dan dapat membantu meningkatkan
pertumbuhan ekonomi. Hali ini dikarenakan usaha-usaha sector informal bersifat
subsistem dan modal yang digunakan kebanyakan berasal dari usaha sendiri.
Modal ini sama sekali tidak menghabiskan sumber daya ekonomi yang besar.
2. Dampak Negatif
Penurunan kualitas ruang kota ditunjukkan oleh semakin tidak terkendalinya
perkembangan PKL sehingga seolah-olah semua lahan kosong yang strategis
maupun tempat-tempat yang strategis merupakan hak PKL. PKL mengambil
ruang dimana-mana tidak hanya ruang kosong atau terabaikan, tetapi juga pada
ruang yang jelas peruntukkannya secara formal. PKL secara ilegal berjualan
hampir di seleruh jalur pedestrian, ruang terbuka, jalur hijau dan ruang kota
lainnya. Alasannya karena aksestabilitasnya yang tinggi dan lokasi yang strategis
sehingga berpotensi besar untuk mendatangkan konsumen juga. Akibatnya adalah
kaidah-kaidah penataan ruang menjadi mati oleh pelanggaran-pelanggaran yang
terjadi akibat keberadaan PKL tersebut. Keberadaan PKL yang tidak terkendali
mengakibatkan pejalan kaki berdesak-desakkan, sehingga dapat menimbulkan
tindak kriminal (pencopetan). Mengganggu kegiatan ekonomi pedagang formal
karena lokasinya yang cenderung memotong jalur pengunjung seperti pinggir
jalan dan depan toko. Selain itu, pada beberapa tempat keberadaan PKL
mengganggu para pengendara kendaraan bermotor dan mengganggu kelancaran
lalu lintas.
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas jelaslah bahwa peran SATPOL PP dalam
penegakan Perda No. 2 Tahun 1988 mengenai K3 sudah optimal. Dalam
pelaksanaan Perda ini SATPOL PP berpedoman atas dasar Keputusan Bupati
Garut No.211 tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan pemeliharaan
ketentraman dan ketertiban umum serta penegakan peraturan daerah di kabupaten
Garut pada dasarnya adalah untuk kelancaran pelaksanaan pemeliharaan
ketentraman dan ketertiban umum serta dalam rangka penegakan dan
mempedomani pelaksanaan ketertiban.
Namun dalam kenyataan di lapangan penegakan Perda yang menyangkut
ketertiban dan ketentraman umum amat bersinggungan dengan kepentingan
masyarakat banyak, dalam hal ini masyarakat menengah kebawah, betapa
banyaknya hal-hal dan kegiatan masyarakat yang diwarnai dengan pelanggaran,
namun pelanggaran itu sendiri tidak dirasakan oleh sipelanggarnya, dan bahkan
jauh dari itu masyarakat yang melanggar malah meyakini bahwa tindakan yang
dilakukan mereka bukan suatu pelanggaran, walau sudah ada aturan yang
mengaturnya. Hal ini tentu yang menjadi salah satu penyebab adalah masyarakat
tidak pernah mendapat informasi ataupun peringatan-peringatan dari aparat yang
berwenang mengenai larangan-larangan yang tertuang dalam suatu Perda
yang berlaku secara syah dan kurangnya ketegasan pihak Pemda terhadap aturan
dimaksud.
Selain itu dengan adanya PKL ini akan menimbulkan dampak-dampak,
selain dari dampak positif, tetapi kebanyakan dampak negatifnya yaitu PKL
mengambil ruang dimana-mana tidak hanya ruang kosong atau terabaikan, tetapi
juga pada ruang yang jelas peruntukkannya secara formal. PKL secara ilegal
berjualan hampir di seleruh jalur pedestrian, ruang terbuka, jalur hijau dan ruang
kota lainnya. Alasannya karena aksestabilitasnya yang tinggi dan lokasi yang
strategis sehingga berpotensi besar untuk mendatangkan konsumen juga.
Akibatnya adalah kaidah-kaidah penataan ruang menjadi mati oleh pelanggaran-
pelanggaran yang terjadi akibat keberadaan PKL tersebut. Keberadaan PKL yang
tidak terkendali mengakibatkan pejalan kaki berdesak-desakkan, sehingga dapat
menimbulkan tindak kriminal (pencopetan). Mengganggu kegiatan ekonomi
pedagang formal karena lokasinya yang cenderung memotong jalur pengunjung
seperti pinggir jalan dan depan toko. Selain itu, pada beberapa tempat keberadaan
PKL mengganggu para pengendara kendaraan bermotor dan mengganggu
kelancaran lalu lintas.

B. Saran
Dalam perencanaan tata kota, relokasi PKL seharusnya melibatkan PKL
mulai dari tahap penentuan lokasi hingga kapan harus menempati. Rekomendasi
kebijakannya adalah penciptaan forum stakeholder pembangunan perkotaan untuk
meningkatkan partisipasi dan akses ke proses pengambilan keputusan. Pemerintah
mestinya serius untuk mendengarkan aspirasi para PKL melalui paguyuban-
paguyuban PKL di lokasi masing-masing sehingga program-program penataan
yang diluncurkan tidak menjadi sia-sia belaka.
Dalam keadaan Seperti ini sebaiknya Pemerintah melakukan pembinaan
mental, yaitu bagaimana mengelola PKL itu sendiri. Kalau kita bicara tentang
PKL itu bukan hanya mengelola tempat tetapi juga mengelola orang. Salah satu
keengganan orang untuk berbelanja di pasar adalah kesadaran lingkungan yang
rendah dan ketidakjujuran. Kesadaran lingkungan yang rendah terhadap sampah
dan aroma yang menyengat hidung juga menyebabkan kalah populernya PKL
dibanding pusat perbelanjaan modern. Dan ketidakjujuran sangat mengganggu
proses jual beli di PKL. Untuk mencegah dan mengurangi hal tersebut salah satu
cara dengan social value system atau nilai-nilai yang mengikat di masyarakat.
Upaya pembinaan mental terhadap PKL perlu dilakukan agar PKL menjadi lebih
jujur dan sadar lingkungan.
Kepada Pemerintah Kabupaten Garut diharapkan agar segera merancang
pembuatan Perda mengenai masalah penertiban Pedagang Kaki Lima.
Dikarenakan masalah mengenai PKL di Kabupaten Garut ini sudah kompleks
sekali. Selain dari itu pelaksanaan tugas SATPOL PP pun akan lebih mudah dan
bisa optimal dikarenakan mempunyai payung hukum yang kuat dalam
menertibkan PKL ini. Lalu mengenai Perda No. 2 Tahun 1988 mengenai K3 itu
bersifat luas hanya mengenai keindahan, kebersihan, ketertiban umum, tetapi
tidak mengatur secara tegas dan rinci mengenai penertiban PKL. Kemudian dalam
hal sanksi juga masih bersifat lemah dan tidak membuat jera para PKL. Oleh
karena itu Pemerintah harus segera membuat Perda mengenai penertiban PKL.
Selain dari itu, Pemerintah Daerah juga harus memperhatikan beberapa hal
dalam menangani PKL di Kabupaten Garut ini yaitu :
1. Mengawali dengan paradigma bahwa PKL bukanlah semata-mata beban atau
gangguan bagi keindahan dan ketertiban kota. Tetapi, PKL juga punya hak hidup
dan mendapatkan penghasilan secara layak, namun tentunya alasan seperti ini
jangan sampai digunakan pedagang untuk berdagang tanpa mematuhi aturan
karena tidak semua lokasi bisa dipakai sebagai tempat usaha. Pemkot tetap harus
tegas namun tentunya ini membutuhkan komunikasi dengan penuh keterbukaan.
2. PKL sesungguhnya juga merupakan aset dan potensi ekonomi jika benar-benar
bisa dikelola dengan baik. Paradigma ini akan berimplikasi pada cara pendekatan
Pemkot ke PKL yang selama ini dianggap sangat represif-punitif yang justru
melahirkan perlawanan dan mekanisme “kucing-kucingan” yang sama sekali tidak
menyelesaikan masalah.
3. Masalah yang muncul berkenaan dengan PKL ini adalah banyak disebabkan oleh
kurangnya ruang untuk mewadahi kegiatan PKL di perkotaan. Konsep
perencanaan ruang perkotaan (RTRW) yang tidak didasari oleh pemahaman
informalitas perkotaan sebagai bagian yang menyatu dengan sistem perkotaan
akan cenderung mengabaikan tuntutan ruang untuk sektor informal termasuk
PKL. Kawasan yang dikhususkan untuk PKL telah terbukti menjadi solusi
dibeberapa tempat di Indonesia. Bahkan bisa menjadi alternative tempat wisata
jika dimodifikasi dengan hiburan yang menarik perhatian masyarakat.
4. Pemerintah Kota harus memiliki riset khusus secara bertahap untuk mengamati
dan memetakan persoalan PKL, pasang-surut perkembangan PKL serta bangunan
liar di berbagai wilayah kota, sehingga bisa meletakkan argumen logis untuk
aktivitas berikutnya. Sehingga model pembinaan ke PKL bisa beragam bentuknya
dan tidak mesti dalam bentuk bantuan modal. Model pembinaan PKL dari Pemkot
yang memang sudah berjalan dan dirasakan efektif mungkin bisa dilanjutkan
tinggal bagaimana memperkuat pengawasan implementasi di lapangan karena
masih banyak keluhan indikasi lemahnya pengawasan penyimpangan.
5. Pemerintah Kota harus membuka diri untuk bekerja sama dengan elemen
masyarakat dalam penanganan masalah PKL ini. Semisal LBH dan beberapa LSM
atau pihak akdemis mungkin bisa dilibatkan untuk melakukan riset pemetaan
persoalan PKL dan advokasi ke mereka. Beberapa Ormas bahkan Parpol pun bisa
berperan dalam hal pembinaan ke mereka sehingga PKL ini benar-benar menjadi
tanggung jawab bersama masyarakat.
6. Pemerintah Kota harus memastikan payung hukum (Perda) yang tidak
menjadikan PKL sebagai pihak yang dirugikan. Pelibatan semua elemen yang
terkait baik itu masyarakat, pengusaha, dewan, dinas terkait dan elemen yang lain
dengan semangat keterbukaan justru akan menjadikan kebijakan pemkot didukung
dan dikawal implementasinya oleh banyak kalangan.
7. Penertiban terhadap PKL liar mestinya harus dilakukan dengan pendekatan dialog
yang bernuansa pembinaan dan bukan pendekatan represif yang justru memicu
perlawanan dan tidak boleh terkesan tebang pilih karena bisa memicu kecurigaan
masyarakat tentang adanya tekanan politis dari kekuatan tertentu yang
mengarahkan penertiban hanya pada komunitas tertentu. Penggusuran yang tidak
disertai keberlanjutan program yang pasti bisa berdampak pada peningkatan
jumlah pengangguran dan kemiskinan. Pengangguran yang jika tidak terkendali
dengan baik justru memicu tindakan kriminalitas baru.
DAFTAR PUSTAKA

H.Juniarso Ridawan dan Achmad Sodik, Hukum Tata Ruang dalam Konsep
Kebijakan Otonomi Daerah, Nuansa, Bandung, cetakan III 2013
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 Tentang Pemerintahan daerah
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang
PP Nomor 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja
Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 1988 Tentang Kebersihan, Keindahan, dan
Ketertiban Umum

Anda mungkin juga menyukai