Anda di halaman 1dari 29

ETIKA PROFESI KEPOLISIAN (LALU-LINTAS)

MAKALAH

Untuk memenuhi tugas mata kuliah

ETIKA PROFESI HUKUM

Yang di ampu oleh, Dr. Ashadi L. Diab, M.H

Oleh:

ZUL ARWIKI JECKY, PANJI NURRAHMAN,

DHITA AMALIA,

HASNA, WULAN AYU E.

Fakultas Syariah

Hukum Perdata Islam

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KENDARI

Periode:2018-2019 M
DAFTAR ISI

BAB I : PENDAHULUAN.....................................................................................1

Latar Belakang......................................................................................................1

Rumusan Masalah ................................................................................................4

BAB II : PEMBAHASAN......................................................................................5

Pengertian Profesi Hukum ...................................................................................5

Kepolisian Negara Republik Indonesia ...............................................................6

Tugas Kepolisian Lalu Lintas .............................................................................18

Fungsi Kepolisian Lalu Lintas ….......................................................................18

Tata Cara Pemberhentian Pengendara Bermotor oleh Polisi Lalu-Lintas ..........22

BAB III : PENUTUP ........................................................................................25

Daftar Pustaka ....................................................................................................26


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.

Setiap manusia yang sehat secara rohani pasti memiliki sikap moral dalam
menghadapi keadaan-keadaan yang menyertai perjalanan hidupnya. Sikap moral ini
ada yang hadir begitu saja tanpa harus disertai pergulatan atas pilihan-pilihan
dilematis, namun ada pula sikap moral yang perlu direnungkan secara mendalam
sebelum ditetapkan menjadi suatu keputusan. Sikap moral itulah yang pada
umumnya dijadikan pedoman bagi manusia ketika mengambil suatu tindakan.
Renungan terhadap moralitas tersebut merupakan pekerjaan etika. Dengan
demikian, setiap manusia siapapun dan apapun profesinya membutuhkan
perenungan-perenungan atas moralitas yang terkait dengan profesinya. Dalam
konteks inilah lalu timbul suatu cabang etika yang disebut etika profesi.

Etika profesi sesungguhnya telah menjadi bahan perbincangan klasik, setua


dengan kemunculan sebutan “profesi” itu sendiri. Tentu saja perbincangan tentang
etika profesi itu pada awalnya masih berskala makro, yakni tentang dasar-dasar
moral yang baik bagi semua orang yang menekuni pekerjaan di segala bidang.
Mengingat karakteristik setiap pekerjaan tidak selalu sama, selanjutnya pekerjaan
itu diartikan secara lebih spesifik, lalu lahirlah sebutan profesi, yakni jenis-jenis
pekerjaan yang antara lain menuntut pendidikan dan keterampilan tertentu. Salah
satu diantara sekian banyak profesi yang ada, profesi hukum merupakan salah satu
profesi yang tergolong paling tua dalam sejarah kehidupan manusia.

Di perguruan tinggi di Indonesia, etika profesi hukum dapat dikatakan


masih menjadi bahan kajian yang “serbatanggung”. Materi ini-khususnya yang
diajarkan di Program Sarjana Ilmu Hukum1belum lama dilangsungkan dan
dimasukkan dalam kurikulum.

1
Pemberian materi etika profesi hukum wajib menurut Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor
0325/U/1994 tentang kurikulum yang Berlaku Secara Nasional Program Sarjana.
Memang di beberapa perguruan tinggi sudah ada yang mengambil inisiatif
mengadakan mata kuliah khusus tentang etika profesi hukum ini. Tetapi secara
nasional baru pada tahun 1994 materi ini dijadikan materi wajib nasional.

Materi etika profesi hukum ini memang selayaknya diberikan kepada calon
penyandang profesi hukum sedini mungkin2. Seperti dinyatakan oleh Franz
Magnis-Suseno, etika profesi baru dapat ditegakkan apabila ada tiga ciri moralitas
yang utama, yaitu:

1. Berani berbuat dengan bertekad bertindak sesuai dengan tuntunan profesi,

2. Sadar akan kewajibannya, dan

3. Memiliki idealisme yang tinggi.

Jelaslah ciri-ciri moralitas demikian membutuhkan proses, paling tidak


harus terbina sejak calon penyandang profesi hukum itu di didik di bangku kuliah,
bukan ketika yang bersangkutan sudah menjalankan tugasnya sebagai fungsionaris
hukum3.

Lalu lintas merupakan salah satu sarana penting bagi masyarakat untuk
memperlancar berbagai aktivitas yang dilakukan. Menurut Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan,
lalu lintas adalah gerakan kendaraan dan orang di ruang lalu lintas jalan. Dengan
adanya lalu lintas, aktivitas masyarakat di jalan akan lebih tertib dan teratur. Selain
berguna untuk memperlancar aktivitas, tidak bisa kita pungkiri bahwa lalu lintas
juga dapat mengakibatkan kerugian yang sangat besar bagi kita seperti kecelakaan
bahkan kematian. Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 dijelaskan bahwa
kecelakaan lalu lintas adalah suatu peristiwa dijalan yang tidak diduga dan tidak

2
Aristoteles mengatakan “ sebaiknya etika tidak dipelajari oleh orang muda, antara lain karena mereka belum memiliki cukup
pengalaman hidup untuk menangkap dan menilai dengan semestinya jangkauan serta bobot masalah-masalah etis. Para
penulis makalah ini setuju dengan pendapat K. Bertens, bahwa untuk kondisi dewasa ini, khusus bagi dunia pendidikan tinggi
Indonesia, pemberian studi tentang etia tidak mungkin ditunda lagi. Jika mereka tidak diperkenalkan dengan studi etika,
terutama etika profesi yang bakal diembannya-praktis mereka tidak memiliki kesempatan lagi. (lihat : K. Bertens, Etika,
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994), hlm.x.
3
Dr. Shidarta, S.H., M.Hum., Moralitas Profesi Hukum, Suatu Tawaran Kerangka Berpikir, (Bandung: Refika Aditama,
cet. Kedua, maret 2009), hlm. 1-3.
disengaja melibatkan kendaraan dengan atau tanpa pengguna jalan yang
mengakibatkan korban manusia dan atau kerugian harta benda.

Polantas sebetulnya adalah profesi yang mulia, bahkan penulis pernah


menyaksikan bagaimana polantas masih tetap sabar mengatur arus lalu lintas dikala
hujan ataupun ditengah teriknya matahari, sehingga hal ini sempat menimbulkan
simpati dari penulis. Bagaimana kesabaran polantas tersebut mampu menjalankan
tugasnya dalam berbagai kondisi dan cuaca merupakan hal yang patut diapresiasi
oleh masyarakat dan harus tetap dipertahankan.

Namun citra positif ini ternyata tak selamanya mampu disampaikan oleh
semua polantas. Masih banyak polantas yang malah tidak memahami bagaimana
kemuliaannya sebagai polantas. Ia malah sibuk mencari-cari kesalahan dari
pengendara bermotor. Oknum ini bisa dikatakan mereka-mereka yang haus dengan
uang, kejujurannya bisa dibeli dengan uang senilai tiga puluh ribu rupiah.
Sesungguhnya tanpa mereka sadari, dengan berbuat demikian harga dirinya sebagai
pelayan masyarakat telah dijual dengan harga yang teramat murah.

Adalah hal yang sangat miris, ketika polantas tidak lagi memiliki etika, dan
mengabaikan kode etik kepolisian. Slogan yang menyatakan dirinya sebagai
pelayan masyarakat ternyata hanya dijadikan lips service saja. Bagaimana bisa
melayani masyarakat, kalau ternyata dalam mindset polantas tersebut masih
menjadikan masyarakat sebagai lumbung uang. Bahkan pelayanan yang seharusnya
menjadi kewajibannya tidak dijalankan dengan baik dan malah kesangaran dan
kegararangannya yang ditunjukkan pada masyarakat. Seolah ia sebagai polantas
paling hebat dan berkuasa serta mengangap rendah orang lain4.

4
https://lajulangkahharrokah.wordpress.com/2010/08/20/mempertanyakan-etika-polantas.
B. Rumusan Masalah.

1. Bagaimana tugas dan fungsi Polisi Lalu-lintas yang sebenarnya?

2. Bagaimana Tata Cara Pemberhentian Pengendara Bermotor oleh Polisi


Lalu-Lintas?.

3. Bagaimana pandangan Undang-undang berkaitan dengan, apabila


diberhentikan Polisi Lalu-lintas secara tiba-tiba dijalan?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Profesi Hukum.

Sebenarnya para sarjana belum ada kata sepakat tentang apa sebenarnya
yang menjadi definisi profesi sebab tidak ada suatu standar (yang telah disepakati)
pekerjaan/ tugas yang bagaimanakah yang dikatakan dengan profesi tersebut.
Sebagai pegangan dapat diutarakan pendapat yang dikemukakan oleh Dr. J.
Spillane SJ. Dalam “Nilai-nilai etis dan kekuasaan Utopis”, yaitu suatu profesi
dapat didefinisikan secara singkat sebagai jabatan seseorang kalau profesi tersebut
tidak bersifat komersial, mekanis, pertanian dan sebagainya5.

Profesi hukum adalah profesi untuk mewujudkan ketertiban berkeadilan


yang memungkinkan manusia dapat menjalani kehidupannya secara wajar (tidak
perlu tergantung pada kekuatan fisik maupun finansial). Hal ini dikarenakan
Ketertiban berkeadilan adalah kebutuhan dasar manusia; dan Keadilan merupakan
Nilai dan keutamaan yang paling luhur serta merupakan unsur esensial dan martabat
manusia. Pengemban profesi hukum itu mencakup 4 (empat) bidang karya hukum,
yaitu:

1. Penyelesaian konflik secara formal (peradilan yang melibatkan profesi


hakim, Advokat, dan Jaksa);

2. Pencegahan konflik (perancangan hukum);

3. Penyelesaian konflik secara informal (mediasi, negoisasi); dan

4. Penerapan hukum di luar konflik.

5
Suhrawardi K. Lubis, Etika Profesi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, cet. Ke-9 April 2016), hlm. 10
Profesi hukum di Indonesia meliputi semua fungsionaris utama hukum
seperti Hakim, Jaksa, Advokad, Notaris, Kepolisian dan Jabatan lain. Apabila
terjadi penyimpangan atau pelanggaran kode etik, maka mereka harus rela
mempertanggungjawabkan akibatnya sesuai dengan tuntukan kode etik. Biasanya
dalam organisasi profesi ada dewan kehormatan yang akan mengoreksi pelanggaran
kode etik.Profesi hukum merupakan salah satu profesi yang menuntut pemenuhan
nilai moral dan perkembangannya. Nilai moral itu merupakan kekuatan yang
mengarahkan dan mendasari perbuatan luhur6. Kode etik kepolisian diatur dalam
Perkapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara
Republik Indonesia (“Perkapolri 14/2011”) yang ruang lingkupnya terdiri dari
(Pasal 4 Perkapolri 14/2011):

1. Etika Kenegaraan;

2. Etika Kelembagaan;

3. Etika Kemasyarakatan; dan

4. Etika Kepribadian7.

B. Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah alat negara dalam rangka


pembangunan Nasional Semesta Berencana untuk menuju tercapainya masyarakat
adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyatakan sebagai berikut:

1. Pasal 1 ayat (1): Kepolisian adalah segala hal ihwal yang berkaitan dengan
fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

2. Pasal 4 : Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk


mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya

6
https://www.beritatransparansi.com/etika-profesi-hukum-dan-penegakan-hukum-di-indonesia-hambatan-dan-upaya-
mengatasinya.
7
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5556176995585/etika-polantas-dalam-memberhentikan-pengendara-
bermotor.
keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum,
terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat, serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung
tinggi hak asasi manusia.

3. Pasal 5 : Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang


berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,
menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan
pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan
dalam negeri.

Sebagai penegak hukum, kepolisian seperti halnya juga hakim, jaksa,


pengacara juga mempunyai tugas, yang tentu saja mulia. Pada pasal 13 bahwa tugas
pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah:

a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat.

b. Menegakkan hukum; dan

c. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.

Kemudian dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud


pada pasal 13 dan 14 Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum
berwenang:

a) Menerima laporan dan atau pengaduan;

b) Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang


dapat mengganggu ketertiban umum;

c) Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat;

d) Mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau


mengancam persatuan dan kesatuan bangsa;

e) Mengeluarkan aturan kepolisian dalam lingkup kewenangan


administratif kepolisian;
f) Melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan
kepolisian dalam rangka pencegahan;

g) Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;

h) Mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret


seseorang;

i) Mencari keterangan dan barang bukti;

j) Menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional;

k) Mengeluarkan surat izin dan atau surat keterangan yang diperlukan


dalam rangka pelayanan masyarakat;

l) Memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan


putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan
masyarakat;

m) Menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu.

Sehubung dengan tugas pokok kepolisian adalah memelihara keamanan dan


ketertiban masyarakat, maka tugas itu di tujukan kepada semua orang dan golongan
dari warga negara indonesia, dan juga termasuk orang-orang asing yang berada di
Indonesia. Ini artinya, polisi sebagai penegak hukum tidak boleh atau tidak
dibenarkan pandang bulu terhadap para pelanggar hukum. Kemudian wewenang
kepolisian dalam mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat
ditujukan kepada penyakit-penyakit masyarakat yang akan atau telah menjadi
kejahatan/ pelanggaran. Adapun yang dimaksud dengan penyakit masyarakat
adalah:

1. Pengemisan;

2. Pelacuran;

3. Perjudian;

4. Pemadatan, pemabukan;
5. Perdagangan manusia;

6. Pengisapan;

7. Pergelandangan (sholeh So’an, 2004 : hlm. 149)

Dalam menangani penyakit-penyakit masyarakat yang tersebut diatas, tentu


saja pihak kepolisian tidak akan mampu melakukan sendiri. Walaupun secara jujur
harus diakui bahwa masyarakat kita sekarang ini sangat mendambakan kehadiran
polisi yang ideal yang benar-benar berpihak pada kepentingan masyarakat, bukan
menjadi alat penguasa. Adapun kriteria polisi yang ideal menurut R.E. Barimbing
adalah:

1. Mengetahui batas-batas wewenangnya;

2. Memahami dan terampil dalam melaksanakan hukum;

3. Tidak mengharapkan imbalan uang dalam tugasnya;

4. Mempunyai kebanggaan terhadap profesinya (R.E. Barimbing, 2001 : hlm.


58)8

Pekerjaan kepolisian, menurut Satjipto Rahardjo adalah pekerjaan


penegakan hukum in optima forma. Polisi adalah hukum yang hidup. Melalui polisi
ini, janji-janji dan tujuan-tujuan hukum untuk mengamankan dan melindungi
masyarakat menjadi kenyataan. Kepolisian Negara Republik Indonesia juga
termasuk dalam Lembaga-lembaga Independen yang dasar pembentukannya diatur
dalam UUD 19459.

Pandangan Satjipto Rahardjo tersebut memang sesuai dengan realitas tugas


dan kewenangan polisi sebagai penyelenggara profesi hukum. Hal ini karena tujuan
hukum yang antara lain berkaitan dengan perlindungan terhadap keamanan
masyarakat dan pembaruan hidupnya akan dapat dipahami, dipraktikkan, dan
diberdayakan oleh masyarakat bilamana polisi lebih dahulu telah memberikan
teladan nyata tentang keharusan dipatuhinya hukum. Mengapa polisi disebut

8
Kamaruddin, Ilmu Hukum, (Kendari: 23 Agustus 2008), hlm. 141-144.
9
Mahruddin, Hukum Tata Negara, (Kendari: Agustus 2010), hlm. 96.
sebagai “hukum yang hidup”? Karena tugas dan tanggung jawab polisi merambah
persoalan nyata yang telah, sedang, dan bahkan akan dihadapi oleh masyarakat.
Ragam persoalan di tengah masyarakat, baik yang dikategorikan sebagai tindak
kejahatan maupun masih tergolong penyakit-penyakit sosial (social desease )
membutuhkan pesan nyata (empirik) polisi.

Karena peran sosial praksis itu, terjadi pelekatan yuridis kapada polisi.
Artinya, dinamika profesi polisi tidak bisa dilepaskan dengan kuantitas dan kualitas
hubungannya dengan persoalan-persoalan yang dihadapi (menimpa) masyarakat.
Cita-cita tertib sosial dan peradaban (civilization and social order) akan dapat
diwujudkan berkat peran konstruktif yang ditunjukkan oleh polisi. Dalam posisi
peran konstruktif ini, kehadiran polisi mampu mendatangkan kemanfaatan yang
tidak sedikit. Bahkan kalau dicermati, melalui tugas polisi secara substansial, akan
dapat diketahui bahwa polisi bukan sekadar penegak hukum, tetapi dapat memasuki
tataran sebagai filsuf hukum.

Secara umum, peran konstruktif polisi dapat diamati dalam Undang-undang


Nomor 13 tahun 1961 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, antara lain
sebagai berikut:

1. Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum.

2. Memelihara keselamatan orang, benda dan masyarakat, termasuk memberi


perlindungan dan pertolongan.

3. Memelihara keselamatan negara terhadap gangguan dari dalam.

4. Mencegah dan memberantas menjalarnya penyakit-penyakit masyarakat.

5. Mengusahakan ketaatan warga negara dan masyarakat terhadap peraturan-


peraturan negara.

Tugas dan kewenangan polisi, seperti tersebut dalam undang-undang, lebih


dititiktekankan pada persoalan kemasyarakatan. Artinya, kehadiran polisi
memegang kunci penting dalam memainkan peran sebagai pengayom, pendidik,
dan pemberantas berbagai kesulitan yang dihadapi masyarakat.
Dalam kaitannya dengan fungsinya sebagai penyelenggara profesi hukum,
polisi mendapatkan kepercayaan untuk memperkenalkan, memasyarakatkan, dan
memberi teladan praksis tentang daya imperatif suatu perundang-undangan. Di
tangan polisi, hukum akan memiliki kekuatan sosial yang mampu menjembatani
aspirasi hukum masyarakat. Interaksi dan masyarakat yang bersifat makro sangat
memungkinkan bagi polisi untuk lebih leluasa dalam menyampaikan kepada
masyarakat tentang eksistensi hukum, baik sosiologis maupun filosofis.

Di samping fungsi kemasyarakatan secara aktif tersebut, polisi juga


menempatkan jati dirinya sebagai unsur vital dari suatu proses peradilan.
Manajemen hukum akan bisa berjalan proporsional dan dapat menjembatani
masyarakat pencari keadilan (fungsionalisasi) manakala polisi dapat menempatkan
tugasnya sesuai dengan garis perundang-undangan yang mengaturnya.

Dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang


Hukum Acara Pidana dijelaskan mengenai kedudukan, tugas, dan kewenangan
polisi sebagaimana berikut, “penyelidik adalah setiap pejabat polisi negara
Republik Indonesia” (pasal 4).

1. Penyelidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 4:

a. Karena kewajibannya mempunyai wewenang:

1) Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang


adanya tindak pidana;

2) Mencari keterangan dan barang bukti;

3) Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan


serta memeriksa tanda pengenal diri;

4) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang


bertanggungjawab.
b. Atas perintah penyidik dapat melakukan tugas:

1) Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan


dan penyitaan;

2) Pemeriksaan dan penyitaan surat;

3) Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;

4) Membawa dan menghadapkan seseorang pada penyidik;

2. Penyidik membuat dan menyampaikan laporan hasil pelaksanaan tindakan


sebagaimana tersebut pada ayat (1) huruf a dan huruf b kepada penyidik.

Tugas dan kewenagan polisi, seperti tersebut dalam Undang-undang Nomor


8 tahun 1981 (KUHP), masih dalam lingkup dan kedudukan polisi sebagai
penyelidik10 dan belum pada tahap penyidikan. Pada posisi sebagai penyidik, tugas
polisi bertambah berat, seperti mengadakan pemeriksaan terhadap saksi-saksi dan
mebuat atau menyusun berita acara pemeriksaan (BAP). Sehingga timbul
pertanyaan, “Apakah penyelidikan merupakan fungsi yang berdiri sendiri, terpisah
dari fungsi penyidikan”11? Pada penyusunan BAP misalnya, profesionalisme polisi
sudah dituntut mutlak untuk dimiliki. Sebab, pada BAP tersebut, hasil kerja polisi
akan diuji di pengadilan, baik dalam hubungannya dengan saksi-saksi maupun
tersangka (terdakwa).

Kasus pengingkaran secara beramai-ramai yang dilakukan oleh tersangka


dalam kasus terbunuhnya “buruh Marsinah” dalam menolak isi BAP misalnya,
merupakan contoh bahwa polisi dalam penyelidikan dan lebih-lebih dalam
penyidikan, akan dituntut pertanggungjawabannya.” Atau masalah yang baru-baru
ini menghiasi seluruh media massa12, baik elektronik maupun cetak, yaitu kasus

10
Pasal 1 butir 5 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana berbunyi: “penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik
untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya
dilakukan penyidikan menurut dan yang diatur dalam undang-undang ini”.
11
Penyelidikan bukanlah merupakan fungsi yang berdiri sendiri, terpisah dari fungsi penyidikan, melainkan hanya merupakan
salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan, yang mendahului tindakan lain yaitu penindakan yang
berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan,
penyelesaian dan penyerahan berkas perkara kepada Penuntut Umum. (lihat dalam buku Penyidik Penuntut Umum, Hakim,
dalam proses Hukum Acara Pidana, karya Djoko Prakoso, S.H, hlm. 55.)
12
Alat-alat komunikasi massa ini selain berfungsi sebagai alat penyalur atau alat perantara antara individu atau golongan
dengan massa, juga mempunyai fungsi kemasyarakatan yaitu sebagai: alat informasi, alat mendidik, alat menghibur, alat
bibit dan Chandra Hamzah, Wakil Ketua KPK, yang BAP-nya senantiasa berubah-
ubah.

Dalam posisi fungsional sebagai penyelidik, polisi sudah dihadapkan pada


tugas yang cukup berat karena ia harus berhadapan langsung dengan beragam
individu dan persoalan di tengah masyarakat. Manusia yang dihadapi oleh polisi
adalah individu-individu pelarian yang berusaha menyelamatkan diri dari modus
pelanggaran hukumnya dari jangkauan kerja atau profesinya, atau individu-
individu “diduga” terlibat dalam pelanggaran hukum (kejahatan).

Menurut J. Skolnick, ada dua unsur yang mempengaruhi tugas polisi, yaitu
unsur bahaya dan kewenangan. Unsur bahaya dekat dengan curiga, sedangkan
unsur kewenangan dapat berubah menjadi kesewenang-wenangan. Sikap curiga
bermuatan unsur pada penilaian terhadap keburukan atau fenomena-fenomena
(perilaku-perilaku sosial) yang cenderung bermodus pelanggaran hukum. Sikap ini
mendekatkan polisi pada kemungkinan datangnya bahaya (akibat buruk) yang
sewktu-waktu menimpanya. Kalau orang yang dicurigai mengetahui bahwa sudah
ada pihak berwajib yang bisa membaca gejala kejahatannya, tentulah ia makin
waspada dan berupaya menghilangkan hal-hal yang dapat mengundang kecurigaan
buruk, termasuk misalnya, “mewaspadai” dan membunuh polisi yang
mencurigainya.

Adapun kewenangan yang dapat berubah menjadi kesewenang-wenangan


adalah ekspresi keburukan perilaku yang lepas dari kontrol etika dan hukum. Ia
hanya menempatkan profesinya sebagai peluang untuk memenuhi target-target
ekonomi dan ambisiusnya, dengan menjadikan masyarakat pencari keadilan
sebagai “objeknya”. Akhirnya, berlakulah otoritas yang arogan dan tidak
manusiawi. Profesi hukum menjadi jalan (media) pengabdian, tetapi sekaligus
menjadi sarana mutlak untuk memenuhi kepentingan pribadi.

membimbing dan meyalurkan pendapat umum, alat menghubungkan serta alat mengontrol dan menilik.( lihat di buku Public
Relations, (karya Nurdin Karim. S.Ag., M.Ag, edisi Pertama, cet. Ke-1 kendari 2009), hlm. 103
Padahal, seperti kata Anton, “Polisi dari segi fungsinya adalah sebagai
penegak hukum, pelayan dan pelindung masyarakat (1991).” Dalam rangka
melayani masyarakat, wajar jika ada sejumlah pelaku sosial mengeluhkan layanan
yang dilakukan oleh polisi. Pada proses kerja (penegak profesinya) yang menuntut
pertanggungjawaban sosial, polisi masih dituntut untuk mempertanggungjawabkan
secara “birokratis”. Artinya, apa yang dikerjakan dilapangan dalam kaitannya
dengan penyelidikan, seperti perburuan terhadap seseorang yang diduga melakukan
kejahatan, wajib dilaporkan (dipertanggungjawabkan).

Dengan keterlibatannya secara langsung terhadap skop kerja makro yang


bermodus sosial empiris, cukup wajar bilamana profesi polisi mendapatkan tempat
tertinggi dalam visi dan penilaian publik. Hubungan polisi dengan beragam orang,
terutama dengan seseorang yang diduga sebagai perilaku tindak kejahatan maupun
dengan korban kejahatan akan mudah memunculkan beragam penilaian terhadap
dirinya. Hubungan polisi dengan seseorang yang diduga sebagai pelaku tindak
kejahatan dan kuasa hukumnya (penasihat hukum) dapat menimbulkan kecurigaan
masyarakat kepadanya. Pertanyaan masyarakat, “apa mungkin antara tersangka
dengan polisi atau antara penasihat hukum tersangka dengan polisi sudah ada
main?”

Penyelenggaraan profesi hukumnya dituntut dapat memenuhi standar


substansial dan formal. Apabila standar ini terpenuhi, ia masih harus
mempertanggungjawabkan hasil kerjanya kepada instansi profesi hukum lain,
disamping kepada masyarakat pencari keadilan. Untuk memenuhi idealitas
penyelenggara profesi polisi, dibutuhkan sekurang-kurangnya persyaratan berikut.

1. Kemampuan memahami substansi Perundang-undangan

Persyaratan ini bukan hanya memiliki orientasi terhadap tugas-tugas


birokratis,seperti memenuhi kewajiban dalam menyusun berita acara pemeriksaan
atau mengorelasikan antara suatu tindak kejahatan dan dasar hukum yang
seharusnya, tetapi juga untuk mendidik masyarakat dalam proses penyadaran
hukum. Tugas polisi yang dinamis secara sosiologis sangat menentukan terhadap
perkembangan pemahaman dan keberdayaan hukum masyarakat sebab polisi
berhubungan langsung dengan masyarakat yang hendak dan sedang melakukan
pelanggaran hukum. Informasi hukum maupun penindakan yang dilakukannya
harus mencerminkan tingkat pemahamannya terhadap hukum positif.

2. Dukungan Masyarakat secara Konstruktif

Ahli Kepolisian AS., Walter Hartinger mengatakan, “Seandainya anda


melihat masyarakat semerawut, tidak disiplin, jangan tergesa-gesa menilai
polisinya jelek, tetapi boleh jadi, memang begitulah kondisi masyarakatnya ketika
itu.” Pernyataan tersebut tidak semata-mata sebagai tangkisan (apologi)
kesebandingan dalam melihat dan menyikapi peran polisi, tetapi menuntut visi dan
sikap logis dari masyarakat bahwa peran polisi sebagai penyelenggara hukum
berkorelasi dengan peran-peran yang ditunjukkan masyarakat dalam kaitannya
dengan penerapan hukum. Masyarakat akan menjadi patuh hukum manakala
(antara lain) ada peran aktif polisi yang mampu menciptakan suasana edukatif yang
dapat mendorong masyarakat mematuhi peraturan.

3. Peningkatan Kesejahteraan

Persyaratan ini sangat penting. Sebab, setidaknya dengan meningkatnya


kesejahteraan polisi, kemungkinan terjebaknya polisi pada praktik persekongkolan
jahat dengan oknum-oknum masyarakat yang melanggar hukum dapat dihindari.
Selain itu, peningkatan kesejahteraan akan mengurangi kesenjangan sosial-
ekonomi di lingkungan (komunitas) profesi hukum.

J.E. Sahetapy mengatakan, “meningkatnya kualitas kejahatan itu sejalan


dengan kemajuan yang dicapai oleh masyarakat13. Perkembangan kejahatan dewasa
ini yang memang seiring dengan dinamika sosial kultural dan teknologi merupakan
tantangan bagi polisi.”

13
Abdul Wahid, Jawa Pos, 1 Juli 1991.
Sebagai suatu tantangan profesi hukum, tentulah menjadi kewajiban polisi
untuk mempersiapkan diri secara edukatif, dalam hal ini memahami gejala-gejala
yang terjadi dalam dunia kriminalitas. Tingkat kepekaan dan intelegensia polisi
dituntut untuk meningkatkan kualitasnya seiring dengan semakin berkualitasnya
modal kecendekiaan oknum-oknum sosial yang bermaksud melakukan tindak
kehahatan. Istilah “polisi selalu terlambat” dalam membaca strategi dan modus-
modus operandi kejahatan harus dijawab oleh polisi dengan meningkatkan
kuantitas dan kualitas pelatihan terhadap daya antisipasi fenomena-fenomena sosial
yang bisa diakumulasikan menjadi faktor-faktor kriminogen.

4. Pemberdayaan Etika Profesi

Standar etika bagi profesi kepolisian merupakan kunci pemberdayaannya,


terutama yang terkait dengan layanan dan pengabdiannya kepada masyarakat.
Dengan integritas moral yang tinggi dan melekat pada profesinya, polisi dapat
terhindar dari keterjebakan melakukan penyimpangan profesi yang berakibat buruk
terhadap hak-hak asasi manusia dan citra profesi polisi itu sendiri. Standar etika
profesi polisi tersebut memperjelas tentang garis-garis besar haluan tugas dan
kewenangan secara moral maupun kemasyarakatan yang harus dilaksanakan oleh
polisi. Dengan standar ideal ini, polisi diikat dalam suatu tanggung jawab empiris
dan praksis. Bagi Polisi Republik Indonesia, standar etika (moral) profesi itu dapat
merujuk (berkiblat) pada sumpah jabatan atau pada “TRI BRATA” dan “CATUR
PRASETIA” Kepolisian14.

Peranan yang seharusnya dari kalangan penegak hukum tertentu, telah


dirumuskan di dalam beberapa undang-undang. Disamping itu, di dalam undang-
undang tersebut juga dirumuskan perihal peranan yang ideal. Secara berurut
peranan yang ideal dan diharuskan, adalah:

a. Undang-undang Nomor 13 tahun 1961 tentang ketentuan-ketentuan Pokok


Kepolisian Negara:

14
Muhammad Nuh, Etika Profesi Hukum, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), 263-270.
a) Peranan yang ideal:

Pasal 1 ayat 2 yang isinnya adalah:

“kepolisian Negara dalam menjalankan tugasnya selalu menjunjung


tinggi hak-hak asasi rakyat dan hukum negara”.

b) Peranan yang seharusnya:

Pasal 1 ayat 1 yang isinya adalah:

“Kepolisian Negara Republik Indonesia, selanjutnya disebut


Kepolisian Negara, ialah alat negara penegak hukum yang terutama
bertugas memelihara keamanan di dalam negeri”.

Pasal 2 yang isinya adalah:

a. “Dalam melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 maka Kepolisian


Negara mempunya tugas:

1) memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;

2) mencegah dan memberantas menjalarnya penyakit-penyakit


masyarakat;

3) memelihara keselamatan negara terhadap gangguan dari dalam;

4) memelihara keselamatan orang, benda dan masyarakat, termasuk


memberi perlindungan dan pertolongan; dan

5) mengusahakan ketaatan warga negara dan masyarakat terhadap


peraturan-peraturan negara.

b. Dalam bidang peradilan mengadakan penyidikan atas kejahatan dan


pelanggaran menurut ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Hukum
Acara Pidana dan lain-lain peraturan negara;

c. Mengawasi aliran-aliran kepercayaan yang dapat membahayakan


masyarakat dan negara;
d. Melaksanakan tugas-tugas khusus lain yang diberikan kepadanya oleh suatu
peraturan negara”.15

C. Tugas Kepolisian Lalu Lintas.

Tugas Polisi Lalu Lintas adalah melaksanakan Tugas Polri di bidang Lalu-
lintas yang meliputi segala usaha, pekerjaan dan kegiatan dalam pengendalian Lalu-
lintas untuk mencegah dan meniadakan segala bentuk gangguan serta ancaman agar
terjamin keamanan, ketertiban, keselamatan dan kelancaran Lalu-lintas di jalan
umum16. Pada dasarnya polisi lalu lintas bertugas mengawasi, membantu, menjaga
agar sistem transportasi jalan raya berfungsi secara lancar dan efisien17.

D. Fungsi Kepolisian Lalu Lintas.

Fungsi Polisi Lalu Lintas adalah penyelenggaraan tugas Polri di bidang


Lalu-lintas yang merupakan penjabaran kemampuan teknis profesional yang
meliputi :

1. Pendidikan masyarakat lalu lintas.

Pendidikan dan pembinaan masyarakat dalam rangka keamanan Lalu-lintas


dengan kegiatan-kegiatan yang diarahkan terhadap :

1) Masyarakat yang terorganisir adalah :

a) Patroli Keamanan Sekolah (PKS).

b) Pramuka Lantas.

c) Kamra Lalu-lintas.

2) Masyarakat yang tidak terorganisir adalah :

15
Prof. Dr. Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), ed.1,
cet. 13, hlm. 23-24.
16
http://artikelddk.com/tugas-fungsi-dan-peranan-polisi-lalu-lintas-polantas
17
Andrew R, Penegakan Hukum Lalu Lintas. (Bandung: Nuansa, 2011.), hlm. 27
Terhadap masyarakat pemakai jalan ditujukan untuk menciptakan “Traffic
Mindennes”, melalui kegiatan :

a) Penerangan, penyuluhan, pemberitaan melalui media massa, film dan


brosur.

b) Pekan Lalu-lintas, pameran lalu-lintas.

c) Taman Lalu-lintas.

2. Pengkajian masalah Lalu-lintas meliputi kegiatan sebagai berikut :

a) Penelitian terhadap penyebab kecelakaan, kemacetan dan pelanggaran Lalu-


lintas (yang menyangkut kondisi jalan dan kendaraan).

b) Pengawasan terhadap pemasangan dan penempatan : Jalan, Rambu-rambu


Lalu-lintas, Alat-alat pengatur Lalu-lintas, dan Marka jalan.

3. Penegakan hukum Lalu-lintas

1) Preventif :

a) Pengaturan Lalu-lintas

b) Penjagaan/pengawasan Lalu-lintas

c) Pengawalan Lalu-lintas

d) Patroli Lalu-lintas

2) Represif :

a) Penyidikan kecelakaan Lalu-lintas

b) Penindakan terhadap pelanggaran Lalu-lintas

4. Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor

a) Pemeriksaan pengetahuan dan kemampuan calon pengemudi kendaraan


bermotor.

b) Penyelenggaraan perijinan pengemudi kendaraan bermotor.


c) Penyelenggaraan Administrasi, Registrasi dan Identifikasi Kendaraan
Bermotor.

d) Pengumpulan dan pengolahan data Lalu-lintas.

5. Patroli Jalan Raya (PJR).

a) Menyelenggarakan kegiatan pengaturan, penjagaan, pengawalan dan patroli


di sepanjang jalan raya lingkungannya.

b) Melaksanakan penindakan pelanggaran lalu-lintas dan penanganan pertama


TKP kecelakaan lalu-lintas di sepanjang jalan yang menjadi
tanggungjawabnya.

c) Melaksanakan penindakan kriminalitas yang terjadi disepanjang jalan atau


melalui jalan tempat kejadian perkara.

d) Mengirimkan berkas perkara pelanggaran lalu-lintas ke pengadilan dan


berkas penanganan pertama kecelakaan lalu-lintas dan kriminalitas ke
satuan kewilayahan sesuai dengan tempat kejadian perkara.

e) Membuat rencana dan program kegiatan PJR dalam menghadapi ancaman


Kamtibmas di jalan dalam beat wilayah tugasnya.

f) Memelihara sarana pendukung tugas sesuai dengan spesifikasi, kualitas dan


kuantitasnya.

g) Melaksanakan pedoman/petunjuk dan prosedur tugas-tugas PJR.

h) Mengadakan koordinasi dan kerjasama dalam rangka melaksanakan


pengkajian terbatas, penegakan hukum gabungan (emisi, teknik laik jalan),
penelitian kecelakaan lalu-lintas dan survey rute perjalanan VVIP / VIP.

i) Melaksanakan kegiatan Dikmas lantas kepada masyrakat pemakai jalan.

j) Melaksanakan pengawasan, analisa dan evaluasi pelaksanaan tugas PJR


secara kualitatif dan kuantitatif dengan berjenjang dari Unit PJR sampai
dengan Den PJR.
6. Informasi Lalu-lintas.

a) Pelaksanaan perumusan kebijaksanaan penyelenggaraan pembinaan sistem


informasi lalu-lintas dalam rangka pembinaan fungsi lalu-lintas Kepolisian
secara menyeluruh.

b) Pelaksanaan dan penyiapan serta perumusan rencana penyelenggaraan


kegiatan sistem informasi lalu-lintas yang bersifat terpusat maupun tingkat
kewilayahan.

c) Penyiapan dan perumusan rencana pengadaan piranti lunak dan piranti keras
serta aplikasi guna mendukung kegiatan sistem informasi lalu-lintas.

d) Penyelenggaraan pengkajian dan pengembangan teknologi informasi lalu-


lintas untuk menjamin kecepatan, ketepatan dan kelancaran serta keamanan
dan kerahasiaan data dan informasi lalu-lintas.

e) Penyelenggaraan administrasi operasional, pengumpulan dan pengolahan


data kendaraan bermotor, pengemudi, kecelakaan lalu-lintas dan
pelanggaran lalu-lintas serta pelaksanaan dan pengevaluasian untuk
menjadi informasi lalu-lintas dalam bentuk angka, statistik, diagram atau
badan / peta yang teratur.

f) Penyelenggaraan koordinasi dan kerjasama dengan


organisasi/badan/instansi terkait dalam rangka pelaksanaan tugasnya.

g) Membantu pelaksanaan pemantauan situasi lalu-lintas di jalan dan


pengerahan sistem pengendalian mobil patroli jalan raya yang
menggunakan sistem GPS/ GIS.

h) Penyelenggaraan pemeliharaan dan perawatan terhadap piranti lunak


maupun keras sistem aplikasi yang telah berjalan dan digunakan.
i) Penyelenggaraan pelatihan komputer guna peningkatan kemampuan
personel lalu-lintas dalam mengoperasikan aplikasi bidang lalu-lintas untuk
mendukung tugas sehari-hari18.

E. Tata Cara Pemberhentian Pengendara Bermotor oleh Polisi Lalu-


Lintas.

Tata cara pemberhentian pengendara bermotor oleh Polantas (Polisi Lalu


Lintas) ini memiliki keterkaitan dengan pemeriksaan kendaraan bermotor di jalan
yang diatur dalam Pasal 265 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan (“UU LLAJ”):

1. Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 264 meliputi pemeriksaan:

a) Surat Izin Mengemudi, Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor, Surat


Tanda Coba Kendaraan Bermotor, Tanda Nomor Kendaraan Bermotor, atau
Tanda Coba Kendaraan Bermotor;

b) tanda bukti lulus uji bagi kendaraan wajib uji;

c) fisik Kendaraan Bermotor;

d) daya angkut dan/atau cara pengangkutan barang; dan/atau

e) izin penyelenggaraan angkutan.

2. Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) dapat dilakukan secara berkala atau insidental sesuai dengan
kebutuhan.

3. Untuk melaksanakan pemeriksaan Kendaraan Bermotor sebagaimana


dimaksud pada ayat (1), petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia
berwenang untuk:

18
http://tribratanews.kepri.polri.go.id/2018/02/25/fungsi-polisi-lalu-lintas.
a) menghentikan Kendaraan Bermotor;

b) meminta keterangan kepada Pengemudi; dan/atau

c) melakukan tindakan lain menurut hukum secara bertanggung jawab19.

Berkaitan apabila diberhentikan Polisi secara tiba-tiba dijalan, Pasal 106


ayat (5) Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan (“UU LLAJ”) mengatur bahwa pada saat diadakan pemeriksaan kendaraan
bermotor di jalan setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor wajib
menunjukkan:

a) Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (STNK) atau Surat Tanda Coba
Kendaraan Bermotor;

b) Surat Izin Mengemudi (SIM);

c) bukti lulus uji berkala; dan / atau

d) tanda bukti lain yang sah.

Adapun mengenai saat razia pengendara Polantas itu harus ada surat
perintah atau tidak, kita mengacu pada hal-hal teknis yang wajib diperhatikan polisi
pada saat melakukan pemeriksaan dengan mengacu pada Peraturan Pemerintah
Nomor 80 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di
Jalan dan Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“PP 80/2012”)
antara lain:

Pasal 15 ayat (1) PP 80/2012:

Petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Penyidik Pegawai


Negeri Sipil di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang melakukan
Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan secara berkala atau insidental atas dasar
Operasi Kepolisian dan/atau penanggulangan kejahatan wajib dilengkapi dengan
surat perintah tugas.

19
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5556176995585/etika-polantas-dalam-memberhentikan-pengendara-
bermotor.
Jadi, memang saat razia kendaraan bermotor di jalan, Polisi Lalu-lintas
harus melengkapinya dengan surat perintah tugas. Mengenai kewenangan
pembenhentian dan penahanan, dapat juga dilihat dalam Pasal 260 ayat (1) huruf a
dan h UU LLAJ. Dalam pasal tersebut dikatakan bahwa dalam hal penindakan
pelanggaran dan penyidikan tindak pidana, Penyidik Kepolisian Negara Republik
Indonesia di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan berwenang memberhentikan,
melarang, atau menunda pengoperasian dan menyita sementara Kendaraan
Bermotor yang patut diduga melanggar peraturan berlalu lintas atau merupakan alat
dan/atau hasil kejahatan dan melakukan penahanan yang berkaitan dengan tindak
pidana kejahatan Lalu Lintas20.

20
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5556176995585/etika-polantas-dalam-memberhentikan-pengendara-
bermotor
BAB III

PENUTUP

Dari pemaparan diatas dapat ditarik benang merah, Kepolisian Negara


Republik Indonesia adalah alat negara dalam rangka pembangunan Nasional
Semesta Berencana untuk menuju tercapainya masyarakat adil dan makmur
berdasarkan Pancasila. Pada dasarnya polisi lalu lintas bertugas mengawasi,
membantu, menjaga agar sistem transportasi jalan raya berfungsi secara lancar dan
efisien.

Adapun fungsi dari Polisi Lalu-lintas:

1. Pendidikan masyarakat lalu lintas.

2. Pengkajian masalah Lalu-lintas meliputi kegiatan sebagai berikut :

3. Penegakan hukum Lalu-lintas

4. Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor

5. Patroli Jalan Raya (PJR).

6. Informasi Lalu-lintas.

Semoga dengan kerja keras polisi lalu lintas, koordinasi apik dari berbagai
pihak, dan kesadaran masyarakat dapat mengurangi dan menekan angka kemacetan
di jalan. Polisi harus aktif, tegas namun ramah pada masyarakat, dan harapan
masyarakat seharusnya menjadi batu pijakan penyemangat dan inspirasi polisi
untuk membenahi bumi pertiwi. Kemacetan dapat diselesaikan dengan kesadaran
dan kedisiplinan semua warga negara. Tidak hanya ungkapan dan harapan saja
namun dibutuhkan implementasi yang membawa perubahan untuk Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

Kamaruddin, Ilmu Hukum, Kendari: 23 Agustus 2008.


Karim, Nurdin, Public Relations,. edisi Pertama, cet. Ke-1 kendari 2009.
Mahruddin, Hukum Tata Negara, Kendari: Agustus 2010.
Nuh, Muhammad, Etika Profesi Hukum, Bandung: Pustaka Setia, 2011.
Prakoso, Djoko, Penyidik Penuntut Umum, Hakim, dalam proses Hukum Acara
Pidana, PT. Bina Aksara, cet. Pertama januari 1987.
Perkapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara
Republik Indonesia (Perkapolri 14/2011).
Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pemeriksaan
Kendaraan Bermotor di Jalan dan Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan (“PP 80/2012”)
Pasal 106 ayat (5) Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan (“UU LLAJ”).
R, Andrew, Penegakan Hukum Lalu Lintas, Bandung: Nuansa, 2011.
Soekanto, Soerjono, Faktor-faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum,
(Jakarta: Rajawali Pers, ed.1, cet. 13, tahun 2014.
Shidarta, Moralitas Profesi Hukum, Suatu Tawaran Kerangka Berpikir, Bandung:
Refika Aditama, cet. Kedua, maret 2009.
{ HYPERLINK
"https://lajulangkahharrokah.wordpress.com/2010/08/20/mempertanyakan-
etika-polantas" }. Diakses pada tanggal 08 Oktober 2018.
{ HYPERLINK "https://www.beritatransparansi.com/etika-profesi-hukum-dan-
penegakan-hukum-di-indonesia-hambatan-dan-upaya-mengatasinya" }.
Diakses pada tanggal 08 Oktober 2018.
{ HYPERLINK
"https://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5556176995585/etika-
polantas-dalam-memberhentikan-pengendara-bermotor" }. Diakses pada
tanggal 08 Oktober 2018.
{ HYPERLINK "http://artikelddk.com/tugas-fungsi-dan-peranan-polisi-lalu-lintas-
polantas" }. Diakses pada tanggal 08 Oktober 2018.
{ HYPERLINK "http://tribratanews.kepri.polri.go.id/2018/02/25/fungsi-polisi-
lalu-lintas" } Diakses pada tanggal 08 Oktober 2018.
{ HYPERLINK
"https://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5556176995585/etika-
polantas-dalam-memberhentikan-pengendara-bermotor" }. Diakses pada
tanggal 08 Oktober 2018.

Anda mungkin juga menyukai