Anda di halaman 1dari 22

HUKUM ISLAM DAN POLITIK

Makalah disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat


Hukum Islam
Dosen Pengampu:
Dr. Fakhruddin., M.Hi

Oleh:
Siti Nurul Fatimah Tarimana 15780032
Khalilullah

15780025

PRODI AL-AHWAL AL-SYAKHSHIYAH


PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2015

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Hukum dan politik merupakan dua aspek yang tidak bisa
dipisahkan, keduanya juga berkaitan erat dengan eksistensi
seorang penguasa dalam suatu negara, instansi dan bahkan
organisasi sekalipun. Hukum dan politik tidak memandang suku,
ras, agama dan negara serta tidak pula terbatas oleh ruang dan
waktu.
Semua aspek kehidupan manusia khususnya dalam tatanan
negara akan sangat berdampingan dan tidak akan pernah bisa
terlepas dari kedua hal tersebut (hukum dan politik). Seyogyanya
hukum yang merupakan aturan yang dibuat untuk menciptakan
kedamaian, ketertiban, keteraturan dan kondisifan untuk
menciptakan kesejahteraan dalam bernegara. Dikotori dengan
kepentingan-kepentingan elit politik yang menguasai panggung
politik dalam suatu negara, sehingga bukan ketertiban,
keteraturan, kesejahteraan tetapi pendiskriminasian karena
kaidah-kaidah hukum (aturan perundang-undangan) dibuat tidak
lagi berdasarkan keadilan sosial bagi seluruh lapisan masyarakat
namun berubah menjadi aturan hukum yang berasaskan
kepentingan peribadi atau kelompok kecil yang tidak
memperhatikan kesejahtraan seluruh bangsa.
Orang bijak mengatakan hukum tanpa penguasa merupakan
angan-angan yang tidak dapat terwujud dan diwujudkan begitu
pula penguasa tanpa hukum adalah otoriter yang menindas dan
berjalan tanpa adanya tujuan yang jelas dan tidak mungkin akan
menciptakan keadilan. Oleh sebab itu dalam makalah ini, penulis

akan mencoba menyajikan pentingnya hukum dan politik dalam


suatu negara, instansi dan organisasi yang hal itu tidak bisa
lepas dari seorang penguasa dan elit yang memiliki kepentingan
serta masyarakat yang selalu menharapkan dan
memperjuangkan keadilan.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian Hukum Islam dan Politik?
2. Bagimana politik dalam kajian Hukum Islam?
3. Bagaimana Keniscayaan Serta Hubungan Hukum,
Kekuasaan Dan Keadilan?
C. TUJUAN MASALAH
1. Untuk mengetahui pengertian Hukum Islam dan Politik.
2. Untuk mengetahui politik dalam kajian Hukum Islam.
3. Untuk mengetahui keniscayaan serta hubungan Hukum,
Kekuasaan Dan Keadilan

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hukum Islam dan Politik
1. Hukum Islam
Hukum Islam adalah hukm yang bersumber dari al-Quran
dan al-Sunnah dan menjadi salah satu bagian dari ajaran Islam
yang terdiri dari tiga bagian: pertama, berhubungan dengan
al-Aqidah (system keyakinan-kepercayaan), kedua,
berhubungan dengan al-Syariah (system hukum baik al-Ibadah,
al-Muamalah, al-Jinayat, al-Ahwal al-Syakhshiyyah dan lainlain), dan ketiga, berhubungan dengan al-Haqiqah (system etika
dan tasawuf).1
Jika kita bandingkan hukum islam bidang muamalah ini
dengan hukum barat yang membedakan antara hukum privat
(hokum perdata) dengan hukum public, maka sama halnya
dengan hukum adat di tanah air kita, hukum islam tidak
membedakan (dengan tajam) antara hukum perdata dengan
hukum publik disebabkan karena menurut system hukum islam
pada hukum perdata terdapat segi-segi publik ada segi-segi
perdatanya.
Itulah sebabnya maka dalam hukum islam tidak dibedakan
kedua bidang hukum itu. Yang disebutkan adalah bagian-bagian
nya saja seperti misalnya, (1) munakahat (2) wirasah (3)
muamalat dalam arti khusus (4) jinayat atau ukubat (5) al
ahkam as-sulthaniyah (khilifah), (5) siyar dan (7) mukhasamat.2
Berdasarkan hal tersebut, maka Hukum Islam dapat
dibedakan menjadi dua bagian bila mengikuti sistematika
Hukum Barat yakni Hukum Privat (Perdata) dan Hukum Publik.
1Dahlan Tamrin, Filsafat Hukum Islam, (Malang: UIN Press: 2007),
h. 7.
2H.M Rasjidi, Hukum Islam dan Pelaksanaanya dalam Sejarah.
(Jakarta: Bulan Bintang, 1976), h. 25.

Hukum Perdata Islam: 3


1) Al-Munakahat, yakni hukum yang mengatur segala
sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan,
perceraian dan segala akibatnya. Hukum perdata bidang
munakahat yang disebut juga dengan hukum keluarga
dalam islam.
2) Al-Wiratsah, yakni hukum yang mengatur segala masalah
yang berhubungan dengan pewaris, ahli waris, harta
peninggalan serta pembagian warisan. Hukum kewarisan
Islam disebut juga dengan Faraidl.
3) Al-Muamalat yakni hukum Islam dalam arti khusus,
mengatur masalah kebendaan dan hak-hak atas benda,
tata hubungan manusia dalam masalah jual beli, sewa
menyewa, pinjam meminjam, perserikatan, hukum bisnis
syariah dan sebagainya.
Hukum Publik Islam adalah: 4
1) Al-Jinayat, yakni hukum Islam yang memuat aturan-aturan
yang mengenai perbuatan-perbuatan yang diancam
dengan hukuman baik jarimah hudud maupun jarimah
tazir. Yang dimaksud dengan jarimah adalah perbuatan
pidana.
2) Al-Ahkam al-Sulthaniyah yakni hukum Islam yang
membicarakan soal-soal yang berhubungnan dengan
kepala Negaara, pemerintahan, baik pemerintah pusat
maupun daerah, tentara, pajak dan sebagainya.
3) Al-siyar yakni hukum Islam yang mengatur urusan perang
dan damai, tata hubungan pemeluk agama dan Negara
lain seperti perlunya Perserikatan Bangsa-Bangsa, Forum
umat beragama dan lain-lain.
4) Al-Mukhshamat mengatur soal peradilan, kehakiman,
mediasi, advokasi, hukum acara dan lain-lain.
3Dahlan Tamrin, Filsafat Hukum, h. 11-12.
4Dahlan Tamrin, Filsafat Hukum, h. 12-13.

Secara umum, hukum Islam berdiri di atas prinsip-prinsip


yang harus dipertahankan secara absolut dan universal. Prinsipprinsip tersebut, sebagaimana dikemukakan oleh Masdar Farid
Mas'udi, adalah ajaran yang qath'i dan menjadi tolok ukur
pemahaman dan penerimaan hukum Islam secara keseluruhan.5
Prinsip-prinsip tersebut diidentifikasikan oleh Masdar yang
antara lain adalah prinsip kebebasan dan pertanggungjawaban
individu, prinsip kesetaraan derajat manusia di hadapan Allah,
prinsip keadilan, prinsip persamaan manusia di hadapan hukum,
prinsip tidak merugikan diri sendiri dan orang lain, prinsip kritik
dan kontrol sosial, prinsip menepati janji dan menjunjung tinggi
kesepakatan, prinsip tolong menolong untuk kebaikan, prinsip
yang kuat melindungi yang lemah, prinsip musyawarah dalam
urusan bersama, prinsip kesetaraan suami-istri.
Adapun ciri-ciri khas hukum Islam yang relevan untuk dicatat
disini adalah hukum islam. Berwatak universal berlaku abadi
untuk ummat islam dimanapun mereka berada tidak terbatas
pada ummat islam di suatu tempat atau Negara pada suatu
masa saja. Menghormati martabat manusia sebagai kesatuan
jiwa dan raga, rohani dan jasmani serta memelihara kemuliaan
manusia dan kemanusiaan secara keseluruhan. Pelaksana
annya dalam praktik digerakkan oleh iman(akidah) dan akhlak
ummat manusia.6
Dengan demikian, sesungguhnya tujuan dari Hukum Islam itu
sendiri adalah mencapai kemaslahatan hamba baik di dunia
maupon di akhirat. Seperti yang idkatakan oleh asy-Syathibi
5Masdar Farid Mas'udi, Islam dan Hak-Hak Reproduksi
Perempuan: Dialog Fiqh Pemberdayaan, cet. II (Bandung: Mizan,
1997), hlm. 29-30.
6 T.M Hasbi Ash shieddieqy. Falsafah Hukum Islam. (Jakarta:
Tintamas 1975), h. 156-212.

bahwa tujuan hukum Islam itu ada 5 yang biasa disebut dengan
Maqashid al-Syariah, di antaranya (1) memelihara Agama, (2)
memelihara jiwa, (3) memelihara akal, (4) memelihara
keturunan, dan (5) memelihara kekayaan.
2. Politik
Kata politik dalam bahasa Arab berasal dari kata
( mengatur atau memimpin). Kata as-Siyasah bisa berarti
kiasan seperti dalam contoh berikut: ( saya
mengatur rakyat dengan menggunakan politik) ketika saya
memerintah dan melarang rakyat. Sedangkan kata berikut:
( menyelesaikan persoalan dengan
menggunakan politik) dan as-Siyasah di sini berarti melakukan
sesuatu yang akan mendatangkan kebaikan.7
Dalam Ensiklopedi al-Ulum al-Ijtimaiyah, secara ekplisit
dikatakan bahwa politik adalah segala aktifitas manusia yang
berkaitan dengan penyelesaian berbagai konflik dan
menciptakan keamanan bagi masyarakat. Untuk mencapai
tujuan tersebut, politik tidak bisa dipisahkan dengan kekuatan
ataupun usaha lain yang bersifat keras.
Politik berasal dari bahasa Yunani, yaitu Polis yang berarti
kota, negara kota. Dari konsep polis berkembang konsep Polites
yang bermakna warga negara dan konsep politikos yang berarti
kewarganegaraan.8 Dari penjelasan etimologi tersebut maka
politik sebagai sesuatu yang berhubungan antara warga negara
pada suatu (negara) kota. Sedangkan akar katanya dari bahasa
Inggris adalah politics, yang bermakna bijaksana. Kalau kita
lanjutkan pemahaman etimologis dari dua akar kata dari bahasa
7Yusuf al-Qaradhawi, Meluruskan Dikotomi Agama & Politik;
Terjemahan: Khoirul Amru Harahap, (Jakarta: al-Kautsar, 2008), h.
19.
8Damsar, pengantar Sosiologi Politik, ( Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, tt), h. 10.

yang berbeda tersebut, dari bahasa Inggris maupun Yunani,


maka politik dapat dipahami sebagai suatu proses dan sistem
penentuan dan pelaksanaan kebijakan yang berkaitan warga
negara dalam Negara.9
Politik dipahami sebagai kekuasaan (power), kewenangan
(authority), kehidupan publik (public live), pemerintahan
(goverment), negara (state), konflik dan resolusi konflik (conflict
dan conflict resolution), kebijakan (policy), pengambilan
keputusan (decisionmaking), dan pembagian (distribution) atau
alokasi (allocation).
Berdasarkan paparn di atas, dapat dikemukakan bahwa politik
adalah berbagai kegiatan dalam suatu negara yang berkaitan dengan proses
menentukan tujuan dan upaya-upaya dalam mewujudkan tujuan tersebut,
pengambilan keputusan (decisionmaking) menegenai seleksi dari beberapa
alternatif dan penyusunan skala prioritasnya.
B. Politik dalam kajian hukum Islam
Jika kita sudah memahami definisi kata as-Siyasah baik
secara etimologi maupun terminologi, maka kita juga harus
meluruskan kata tersebut menurut tradisi Islam, ilmu fikih,
pemikiran keislaman, dan dari sumber-sumber hukum Islam. Kata
as-Siyasah tidak terdapat dalam al-Quran baik dalam ayat-ayat
makkiyah maupun madaniyah, bahkan tidak ada satu kata pun
yang merpakan derifasi dara kata as-Siyasah baik sebagai kata
kerja maupun kata sifat.

10

Berangkat dari sini, sebagian orang menyimpulkan bahwa alQuran atau Islam tidak berkaitan dengan politik, bahkan tidak
punya kepedulian terhadap politik. Tentu saja pandangan ini
merupakan kesalahan besar karena seringkali suatu lafadz tidak
terdapat dalam al-Quran, tetapi ditemukan kata lain yang
9Ibid,,
10Yusuf al-Qaradhawi, Meluruskan Dikotomi Agama..., h. 20.

mempunyai kandungan makna yang senada dengan kata


tersebut.
Walaupun al-Quran tidak menggunakan kata as-Siyasah,
tetapi banyak kata lain yang mengandung arti senada bahkan
memiliki kandungan makna yang sama dengan kata as-Siyasah.
Al-Quran menggunakan kata atau redaksi yang bermacammacam untuk mengungkapkan kata politik, baik dengan nada
memuji ataupun mencela. Di antaranya al-Quran menyebutkan
kerajaan atau kekuasaan yang adil, kerajaan yang zhalim,
kerajaaan yang demokratis dan kerajaan otoriter. Seperti
yang diungkapkan dalam Surat an-Nisaa ayat 54, Allah
menyebutkan tentang kerajaan yang baik yaitu:


Sesungguhnya Kami telah memberikan kitab dan Hikmah
kepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah memberikan
kepadanya kerajaan yang besar. (an-Nisaa: 45)
Allah juga mengisahkan Nabi Yusuf yang bermunajat kepadaNya dengan mengatakan, Ya Tuhanku, sesungguhnya Engkau
telah menganugrahkan kepadaku sebagian kerajaan. (Yusuf:
101).
Dikatakan sebagai sebagian kerajaan karena Nabi yusuf
tidak memiiki kerajaan secara independen. Akan tetapi dia
seorang perdana menteri yang memiliki atasan, yaitu seorang
raja. Raja tersebut suatu hari pernah berkata kepada Nabi Yusuf,
Sesungguhnya kamu (Nabi Yusuf) (mulai) hari ini menjadi
seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya pada sisi
kami. (Yusuf: 45).11

11Yusuf al-Qaradhawi, Meluruskan Dikotomi Agama..., h. 21.

Dan masih banyak lagi redaksi yang Allah gunakan dalam alQuran terkait tentang politik, di antaranya: at-tamkin
(kedudukan), al-istikhlaf (berkuasa), dan al-hukm (hukum).12
Selain itu, kata as-Siyasah juga terdapat dalam sebuha hadits
Nabi yang diriwayatkan Abu Hurairah. Diceritakan bahwasanya
Nabi saw. Bersabda: Dulu, Bani Israil dipimpin oleh para Nabi,
setiap ada seorang Nabi yang gugur, muncul Nabi lain. Tetapi
tidak akan ada Nabi lagi sesudah saya, selanjutnya (kalian akan
dipimpin) oleh para khalifah yang berjumlah banyak.
Para Sahabat bertanya kepada beliau, lalu, apa yang engkau
perintahkan kepada kami?, Beliau menjawab: Lakukanlah baiat
kepada khalifah pertama, setelah itu baiat khalifah sesudahnya,
berikan kepada para khalifah tersebut hak mereka yang telah
ditentukan oleh Allah untuk mereka, sesungguhnya Allah akan
menanyakan mereka tentang kepemimpinannya.13
Berdasarkan paparan di atas, bisa dikatakan bahwa dalam
ajaran islam masalah politik termasuk dalam kajian fiqih siyasah.
Fiqih siyasah adalah salah satu disiplin ilmu tentang seluk beluk
pengaturan kepentingan umat manusia pada umumnya, dan
negara pada khususnya, berupa hukum, peraturan, dan
kebijakan yang dibuat oleh pemegang kekuasaan yang
bernafaskan ajaran islam.
Dengan demikian, bahwa politik merupakan bagian dari
ajaran hukum Islam. Dalam kajian hukum Islam politik adalah
pengaturan urusan-urusan (kepentingan) umat baik dalam negeri
maupun luar negeri berdasarkan hukum-hukum Islam. Pelakunya
bisa negara (khalifah) maupun kelompok atau individu rakyat.
Sebagaimana hadits Rasulullah yang telah disebutkan
12Yusuf al-Qaradhawi, Meluruskan Dikotomi Agama..., h. 22-25.
13Diriwayatkan dari Abu Hurairah oleh Al-Bukhari dalam Bab
Ahadits Al-Anbiya, no. 3455.

sebelumnya bahwa Khalifahlah yang mengatur dan mengurus


rakyatnya (kaum Muslim) setelah nabi saw.
Hal ini juga ditegaskan dalam hadits Rasulullah: Imam
adalah seorang penggembala dan ia akan dimintai
pertanggungjawaban atas gembalaannya. Jadi, esensi politik
dalam pandangan Islam adalah pengaturan urusan-urusan rakyat
yang didasarkan kepada hukum-hukum Islam. Adapun hubungan
antara politik dan Islam secara tepat digambarkan oleh Imam alGhajali: Agama dan kekuasaan adalah dua saudara kembar.
Agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalah penjaganya.
Segala sesuatu yang tidak berpondasi niscaya akan runtuh dan
segala sesuatu yang tidak berpenjaga niscaya akan hilang dan
lenyap14.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa segala
kejadian di masa Rasulullah saw dan sesudahnya, menyangkut
cara para khalifah mengendalikan pemerintahan masing-masing
berikut semua peristiwa yang terjadi di zaman mereka, termasuk
politik pemerintahan, administrasi negara dan sistem pemilihan
para pejabat, perubahan kondisional yang seharusnya menang
terjadi akibat penaklukan-penaklukan serta bertambah luasnya
wilayah negara, ditambah lagi adanya perbedaan sistem masingmasing khalifah, sampai peristiwa al-fitnah al-kubra.15
Dengan demikian, sistem-sitem politik dalam pemerintahan
Islam, telah muncul pada masa Rasulullah dan sesudahnya yakni
ketika masa pemerintahan Khulafa al-Rasyidin. Pemerintahan
yang dilakukan oleh Rasulullah dalam dua periode (sebelum
hijrah dan sesudah hijrah), antara keduanya tidaklah ada
14 Muhammad Iqbal dan H. Amin Husein Nasution, Pemikiran
Politik Isam, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 29.
15 Abdul Ghafar, Islam Politik_Pro & Kontra, Terj. (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1993), h. 85.

kelebihan ataupun perbedaan yang menonjol sebagaimana yang


dinyatakan oleh sebagian kaum orientalis. Lebih tepat dikatakan,
masa yang pertama adalah masa persiapan untuk kedua.
Pada masa sebelum hijrah, kita bisa lihat langkah-langkah
permulaan dari masyarakat Islam dan peletakkan sendi-sendi
yang mendasar secara umum, sedangkan masa sesudahnya
merupakan penyempurnaan tatanan masyarakat yang bersifat
lebih rinci serta mengacu pada prinsip-prinsip yang baru.
Kemudian semua prinsip itu diterapkan sehingga muncul Islam
dalam derap kehidupan, dengan geraknya yang terpadu,
serempak menuju kepada satu tujuan.16
Jadi, masa kenabian itu sendiri sebagai masa pembentukan
dan pembinaan untuk meletakkan dasar bagi sesuatu yang besar
dengan segala peristiwa yang akan dilalui oleh generasi
selanjutnya.
Meskipun al-Quran tidak menyatakan secara eksplisit
bagaimana system politik itu muncul, tetapi menegaskan bahwa
kekuasaan politik dijanjikan kepada orang-orang beriman dan
beramal shaleh.Ini berarti kekuasanan politik terkait dengan
kedua factor tersebut. Pada sisi lain politik juga terkait dengan
ruang dan waktu. Ini berarti ia adlah budaya manusia sehingga
keberadaanya tiak dapat dilepaskan dari dimensi kesejarahan.17
C. Keniscayaan Serta Hubungan Hukum, Kekuasaan Dan
Keadilan
1. Hukum dan Kekuasaan
Untuk menciptakan ketertiban dalam kehidupan
bermasyarakat yang memiliki perinsip kebebasan dibutuhkan
kekuatan hukum yang berprinsip pada keadilan dan tidak pada
16Abdul Ghafar, Islam Politik.., h. 86.
17Abd. Muin Salim, Fiqih Siyasah:Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al Quran,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h. 286.

kepentingan individualisme. Untuk itu sangat perlu adanya


dibuat kaidah-kaidah atau aturan hukum yang kepatuhannya
tidak berlandaskan pada kemauan perorangan, melainkan
ditegagkan dan diterapkan oleh otoritas publik yang
kehadirannya dapat diterima oleh masyarakat.18
Untuk mengetahui keberlakuan hukum dalam sebuah
masyarakat, maka yang menjadi barometer utamanaya adalah
harus mengetahui apakah hukum tersebut benar-benar berlaku
atau tidak dalam masyarakat. Dan untuk mengetahui hal
tersebut diperlukan beberapa anggapan yang ditawarkan oleh
Soerjono Soekanto dalam bukunya Sosiologi Hukum dalam
Masyarakat seperti berikut ini: (1) kaidah hukum berlaku secara
yuridis, apabila penentuannya didasarkan pada kaidah yang
lebih tinggi tingkatannya atau bila berbentuk menurut cara yang
telah ditetapkan atau apabila menunjukkan hubungan keharusan
antara suatu kondisi dan akibatnya. (2) kaidah hukum berlaku
secara sosiologis, apabila kaidah tersebut berlaku secara efektif.
Maksudnya kaidah tersebut dapat dipaksa oleh penguasa
walaupun tidak diterima oleh masyarakat atau kaidah tersebut
berlaku karena diterima dan diakui oleh masyarakat itu sendiri.
(3) kaidah tersebut berlaku secara filosofis, artinya sesuai
dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif yang diharapkan.19
Pelaksanaan hukum dalam masyarakat memerlukan
kekuasaan, karena tanpa kekuasaan, hukum hanya bersifat
anjuran. Begitupun sebaliknya hukum memerlukan kekuasaan
untuk menentukan batas-batasnya. Orang bijak mengatakan

18B. Arif Sidarta, Refleksi terhadap Paradigma Ilmu Hukum di


Indonesia (Bandung: PPS. UNPad, 1999), hlm. 04.
19Soerjono Soekanto & Mostofa Abdullah, Sosiologi Hukum
dalam Masyarakat (Jakarta: Raja Wali Pers, 1982), hlm. 13.

bahwa hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan dan


kekuasaan tanpa hukum adalah bentuk dari kezaliman.20
Menurut penulis, kekuasaan dapat dijadikan suatu jembatan
untuk menegaakan ketertiban dalam masyarakat sehingga
terjalin kehidupan dalam masyarakat yang teratur, berperinsip,
disiplin, bermoral dan tertib. Dan kekuasaan seyogyanya
dipegang oleh seorang penguasa yang berintegritas, bermoral,
bijaksana adil dan mampu memaksa kehendak hukum yang
berprinsip pada kaidan yang berasaskan pada keadilan.
Kekuasaan memiliki beberapa sumber yaitu: (1) dimiliki oleh
orang yang memiliki kewenangan resmi dan kekuatan, baik fisik
maupun ekonomi serta oleh seseorang yang memiliki kejujuran
dan memiliki pengetahuan yang luas. pada dasarnya kekuasaan
memiliki ciri yang khas yaitu cenderung merangsang seseorang
yang memilikinya (penguasa) untuk lebih berkuasa lagi.21 Oleh
sebab itulah seorang penguasa menjadi ujung tombak dan
penentu terhadap keberhasilan atau tidak serta baik buruknya
organisasi atau negara yang berada dala kekuasaannya. Artinya,
baik buruknya kekuasaan aharus diukur dengan kegunaanya
untuk mencapai satu tujuan yang sudah ditentukan dan disadari
oleh masyarkat lebih dahulu. Hal ini merupakan unsur mutlak
dalam masyarakat yang tertib dan bahkan bagi setiap
organisasi.22
Untuk mengetahui keeratan hubungan antara hukum dan
kekuasaan dapat ditelaah dari dua cara, yaitu:23
1) Menelaah dari konsep sanksi
20Moctar Kusuma Atmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum
dalam Pembangunan Nasional (Bandung: Bina Cipta, 1970), hlm.
15.
21Moctar, Fungsi dan perkembangan, hlm. 06.
22Soerjono Soekanto, Pengantar Sosioogi Hukum (Jakarta:
Bhaeatara Karya Aksara, 1977), hlm 19.

Sanksi hukum diperlukan untuk penegakan hukum


bagi pelaku yang melanggar kaidah-kaidah hukum yang
diberlakukan. Karena sanksi merupakan bentuk kekerasan
sebagai wujud penegakan keadilan maka diperlukan
legitimasi yuridis (pembenaran hukum) agar
menjadikannya sebagai kekuasaan yang sah.
2) Dengan menelaah konsep penegakan konstitusi
Pembinaan sistem aturan-aturan hukum dalam suatu
negara yang teratur diatur oleh hukum itu sendiri, biasanya
tercantum dalam konstitusi negara itu sendiri. Penegakan
konstitusi itu, termasuk penegakan prosedur yang benar
dalam penegakan dalam pembinaan hukum itu yang
mengasumsikan digunakannya kekuatan.
Dari uraian diatas dapat disipulkan bahwa pada hakikatnya
hukum itu memerlukan perlindungan dari unsur kekuatan luar
selain hukum untuk kepentingan penegak hukum dalam hal ini
adalah seorang penguasa.
Kekuatan yang diperlukan seperti tersebut diatas, dapat
terwujud melalui:24
1.
2.
3.
4.

Keyakinan dari masyrakat itu sendri;


Persetujuan (konsensus) dari seluruh rakyat;
Kewibaan dari eorang pemimpin (kkarismatik);
Kekuatan semata-mata yang sewenang-wenang

(kekerasan semata), dan


5. Gabungan dari fakjtor-faktor diatas.
2. Kekuasaan dan Keadilan
Manusia sebagai masyarakat individual tidaak bisa lepas dari
kehidupan bermasyakat sehingga ia pasti hidup dalam suatu
komiditas atau masyarakat yang didalammnya sudah barang
tentu ada sistem konseptual tentang mora dan hukum. Karena
23Lili Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat Hukum (Bandung: Citra Aditya
Bhakti, 1996), hlm. 80-81.
24Lili, Dasar, hlm. 82.

manusia tumbuh didalamnya maka secara otomatis ia


menjadikan sistem dan konsepsi tersebut sebagai bagian dari
drinya. Namun meskipun seperti itu, manusia akan memelih dan
menempatkan drinya sesuai dengan posisi yang dikendakinya
atas konsepsi dan sistem yang berlaku dalam suatu masyarakat
tersebut. hal tersebut dipengaruhi oleh sifat unik peribadi yang
dimiliki oleh orang itu sendiri.25
Mengenai muatan moral yang terdapat dalam huku, Lou fuller
membedakannya dalam dua aspek, yaitu aspek internal dan
eksternal. Aspek eksternalnya menunjukkan pada tuntunan
moral hukum yang harus dipenuhi agar hukum dapat berfungsi
dengan baik dan adil.26
Sebagai makhluk yang bermatabat manusia memiliki
berbagai hak sebagai makhluk individual, yang bertumpu pada
tiga asas, yaitu:27
1. Kemerdekaan dalam arti fundamental yaitu hak individu
untuk merealisasikan kehidupannya sebagai sejarah dari
dirinya sendiri, yang meliputi hak untuk berinteraksi
dengan dunia atau hak untuk mengintegrasikan segala
sesuatu untuk pengembangan diri berdasarkan rencana
yang dibuatnya sendiri.
2. Setiap individu harus mewujudkan dirinya sendiri dengan
cara aktif mengembangkan drinya.
3. Untuk dapat merealisasikan diri, tiap individu harus dapat
memiliki bagian tertentu dari dunia dan mengembangkan
relasi-relasi tertentu dengan dunia.

25Arif Sidharta, Refleksi tentang Hukum (Bandung Citra Aditya


Bhakti, 1996), hlm. 224.
26Arif Sidharta, Hukum dan Moralitas (Bandung: PPs Unpad,
1999), hlm. 04.
27Arif, Hukum, hlm. 03.

Berdasarkan hak-hak fundamentalis diatas, maka tuntutan


moral mencakup:
a. Hukum harus mempertahankan standart hidup manusiawi;
b. Hukum harus menyelenggarakan ketertiban dan
keamanan;
c. Hukum harus melindungi yang lemah;
d. Hukum harus menciptakan kondisi yang perlu bagi
kehidupan manusia yang adil.
Sedangkan aspek internal moralitas hukum, menunjukkan
pada aturan-aturan teknikal dari perwujudan hukum dalam
aturan-aturan atau kaidah-kaidah hukum sebagai wahana yang
memungkinkan aspek eksternal moralitas hukum dapat
diwujudkan. Untuk mengetahui seorang penguasa dapat
mewujudkan keadilan bagi masyarakat, dapat berpedoman pada
beberapa asas keadilan bagi masyarakat sebagai makhluk
individual yang memiliki moral dan martabat, yaotu:28
1. Setiap individual harus dihormati dan diperlakukan sebagai
nilai mutlak. Dalam hal ini Imanuel Khan mengatakan,
manusia merupakan tujuan darai dirinya sendiri,
2. Individu seyogyanya mendukung pada masyarakat atau
mengabdi pada masyarakat sebagai keseluruhan,
3. Kolektivitas seyogyanya membagi kekayaan masyarakat
tanpa pandang pilih terhadap kelompok atau individual.
Menurut Plato, keadilan adalah kebijakan dalam arti
keselarsan dan keseimbangan batin yang tidak dapat diketahui
atau diterangkan berdasarkan argumen rasional. Berbeda
dengan Aristoteles yang mengatakan bahwa keadilan
merupakan kebijakan yang bersifat politis, dimana peraturan
diatur berdasarkan aturan-aturan hukum yang diatur dengan
peraturan-peraturan yang adil dan peraturan-peraturan tersebut

28Arif, Hukum, hlm. 02.

merupakan patokan dari apa yang benar. Menurut Aristoteles


terdapat beberapa macam keadilan, yaitu: 29
1) Keadilan distributif dan korektif
Keadilan distributif adalah keadilan yang mengacu pada
pemberian jasa dan barang kepada seseorang sesuai
kedudukannya dalam masyarakat, dan keberlakuan yang sama
dihadapan hukum. Sedangkan yang dimaksud keadilan korektif
adalah keadilan yang merupakan teknis dari prinsip-prinsip
yang mengatur penerapan hukum. Dalam mengatur
hubungan-hubungan hukum harus ditemukan suatu standart
yang umum untuk memperbaiki setiap akibat dari setiap
tindakan, tanpa memperhatikan pelakunya, tujuan dari
perilaku-perilaku dan objek-objek tersebut harus diukur melalui
ukuran objektif.
2) Keadilan menurut hukum dan alam
Keadilan menurut hukum adalah keadilan yang
mendapatkan kekuasaannya dari apa yang diterpakan sebagai
hukum, adil atu tidak. Sedangkan keadilan merut alam adalah
keadilan keadilan yang mendapat kekuasaanya dari apa yang
menjadi sifat dasar manusia yang tidak dibatasi oleh ruang
dan waktu.
3) Keadilan abstrack
Dalam hal ini hukum harus menyamaratakan dan banyak
memerlukan kekerasan dalam penerapannya terhadap
masalah individu dan kepatuhan serta menguji kekerasan
tersebut dengan mempertimbangkan hal yang bersifat
individual.
Banyak teori keadilan yang dikemukakan oleh para pakar,
bagaimana seorang penguasa dapat bertingkah laku dan
29Fredman, W, Teori Filsafat Hukum: Telaah Kritis Atas Teori-teori
Hukum (Jakarta: Raja Wali Press, 1990), hlm. 10-11.

menegakkan keadilan dengan mempertimbankan keadilan


dalam masyarakat dan individual, namun dalam kenyataanya
masih saja terjadi dengan berbagai dalih yang disampaikan
penguasa terjadi diskriminasi yang diperoleh oleh masyarakat
sehingga terjadi ketidak kompakan antara kaidah-kaidah huku
(peraturan perundang-undanga), penguasa dan masyarakan
sebagai objek hukum itu sendiri.
Pada akhirnya, untuk dapat ditegakannya hukum yang
berwujud keadilan dalam masyarakat sosial, maka terdapat
beberapa hal yang dapat dijadikan pedoman, bahwa:
1. Setiap orang tanpa membedakan kedudukannya harus
tunduk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku
dan harus mempertanggung jawabkan perbuatannya
dimuka pengadilan.
2. Hukum harus berdasarkan moral dan keadilan, bukan
kekuasaan yang menjadi dasar suatu masyarakat, baik
nasional maupun internasional.
3. Kekuasaan pemerintah tidak boleh dilakukan tanpa
pembenaran yang dapat diterima untuk mengurangi atau
menyingkirkan hak-hak individu, kecuali apabila tindakantindakan pemerintah itu terpaksa dilakukan demi
kepentingan umum, sedangkan intervensi dari pemerintah
yang seperti itu harus didasarkan pada norma-norma atau
kaidah-kaidah objektif yang di dalam setiap keadaan dapat
diselidiki dan di uji ada atau tidaknya keharusan oleh
kekuasaan kehakiman yang bebas dari segala pengaruh.30

30R. Ramani, Tanggapan Atas Pra saran Prof. Dr. Muctar Kusuma
Atmadja, Artikel, hlm. 21.

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
1. Hukum Islam merupakan hukum yang bersumber dari alQuran dan al-Sunnah, yang mana hukum islam ini
mengatur kehidupan manusia dalam bidang hukum privat
maupun hukum public. Kemudian Hukum Islam mempunyai
prinsip-prinsip yang harus dipertahankan demi mencapai
tujuannya, yakni menciptakan kemashlahatan bagi
manusia. Sedangkan politik adalah proses pembentukan
dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara
lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya
dalam negara.
2. Dalam ajaran islam masalah politik termasuk dalam kajian fiqih siyasah.
Adapun Fiqih siyasah adalah salah satu disiplin ilmu tentang seluk beluk
pengaturan kepentingan umat manusia pada umumnya, dan negara pada
khususnya, berupa hukum, peraturan, dan kebijakan yang dibuat oleh
pemegang kekuasaan yang bernafaskan ajaran islam.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Qaradhawi, Yusuf. Meluruskan Dikotomi Agama & Politik;
Terjemahan: Khoirul Amru Harahap, Jakarta: al-Kautsar,
2008.
Ash-shieddieqy, Hasbi. Falsafah Hukum Islam. Jakarta: Tintamas
1975.
Atmadja, Kusuma, Moctar. Fungsi dan Perkembangan Hukum
dalam Pembangunan Nasional. Bandung: Bina Cipta, 1970.
Damsar. pengantar Sosiologi Politik, Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, tt.
Ghafar, Abdul. Islam Politik_Pro & Kontra, Terj. Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1993.
Iqbal, Muhammad. dan Nasution, H. Amin Husein. Pemikiran
Politik Isam, Jakarta: Kencana, 2010.
Mas'udi, Masdar Farid. Islam dan Hak-Hak Reproduksi
Perempuan: Dialog Fiqh Pemberdayaan, cet. II Bandung:
Mizan, 1997.
Ramani, R. Tanggapan Atas Pra saran Prof. Dr. Muctar Kusuma
Atmadja, Artikel.
Rasjidi, Lili. Hukum Islam dan Pelaksanaanya dalam Sejarah,
Jakarta: Bulan Bintang, 1976.
__________ Dasar-dasar Filsafat Hukum. Bandung: Citra Aditya
Bhakti, 1996.
Salim, Abd. Muin. Fiqih Siyasah:Konsepsi Kekuasaan Politik
dalam Al Quran, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.
Sidarta, B. Arif. Refleksi terhadap Paradigma Ilmu Hukum di
Indonesia. Bandung: PPS. UNPad, 1999.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Sosioogi Hukum. Jakarta:
Bhaeatara Karya Aksara, 1977.

Soekanto, Soerjono dan Mostofa, Abdullah. Sosiologi Hukum


dalam Masyarakat. Jakarta: Raja Wali Pers, 1982.
Tamrin, Dahlan, Filsafat Hukum Islam, Malang: UIN Press: 2007.
W, Fredman, Teori Filsafat Hukum: Telaah Kritis Atas Teori-teori
Hukum.
Sidharta, Arif. Refleksi tentang Hukum. Bandung Citra Aditya
Bhakti, 1996.

Anda mungkin juga menyukai