Anda di halaman 1dari 25

BAB I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Cagar alam bukit tangkiling merupakan salah satu cagar alam yang berada
di kota Palangka Raya, Provinsi Kalimantan Tengah. Pengertian istilah cagar
alam sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990
Tentang konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Pasal 1
angka 10 menyebutkan : “cagar alam adalah kawasan suaka alam karena
keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa dan ekosistemnya
atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya
berlangsung secara alami”.
Cagar alam bukit tangkiling merupakan kawasan konservasi yang ditunjuk
berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 046/Kpts/Um/1/1977
tanggal 25 Januari 1977 yang terdiri dari cagar alam bukit tangkiling seluas
2.061 hektar. Keadaaan topografi Cagar alam bukit tangkiling bervariasi mulai
dari daratan rendah yang landai bergelombang hingga berbukit dengan
kelerengan 2 derajat hingga 45 derajat, dengan ketinggian dari permukaan
laut 25 meter sampai dengan 170 meter. Secara geografis cagar alam bukit
tangkiling berada di 113° 0’ - 113° 02’ BT dan 1° 45’ - 2° LS. Letak secara
administrasi pemerintahan berada pada wilayah Provinsi Kalimantan Tengah,
Kotamadya Palangka Raya, Kecamatan Bukit Batu, Desa Tangkiling dan Desa
Banturung. Kawasan cagar alam merupakan daerah tangkapan air walaupun
tidak terdapat sungai di kawasan ini, namun secara hidrologis keberadaan
kawasan ini sangat mempengaruhi proses ketersediaan air bagi daerah
disekitarnya. (sumber : Balai KSDA Kalimantan Tengah/email admin :
bksdakalteng@yahoo.com).
Namun sangat disayangkan bahwa keberadaan Cagar alam bukit tangkiling
sudah sangat memprihatinkan, hal ini disebabkan adanya kegiatan
penambangan batu yang dilakukan oleh masyarakat secara illegal, karena nilai
ekonomis batu yang berada di Cagar alam bukit tangkiling sangat bernilai

karya tulis / karya ilmiah di bid. kepolisian kehutanan dalam bentuk makalah - oktober 2018 1
tinggi untuk dimanfaatkan sebagai bahan bangunan, baik untuk pemukiman
maupun untuk pembuatan jalan.
Menurut Koesnandi Hardjasoemantri (1997:314) pada prinsipnya setiap
usaha atau kegiatan akan menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup.
Oleh karena itu dalam pelaksanaannya perlu diberlakukan perijinan yang ketat,
hal ini disebabkan kegiatan usaha pertambangan tentunya dapat menimbulkan
dampak negatif dan positif sehingga sejak dini telah dapat dipersiapkan
langkah untuk menanggulangi dampak negatif dan mengembangkan dampak
positifnya. Kegiatan pertambangan yang kebanyakan dilakukan masyarakat
adalah kegiatan pertambangan tanpa ijin atau dikenal pula pertambangan liar
(illegal mining). Istilah pertambangan liar terjadi karena keluarnya Surat
Keputusan Mentri Pertambangan dan Energi No. 01P/201/M.PE/1986 tentang
Pedoman Pengelolaan Pertambangan Rakyat Bahan Galian Strategis dan Vital.
Di dalam Kepmen tersebut disebutkan bahwa usaha pertambangan rakyat
yang dilakukan setelah adanya kuasa penambangan atau kontrak karya
dianggap tidak sah dan dapat digolongkan sebagai penambangan liar. Ini
artinya pertambangan rakyat yang tidak mendapat kuasa tambang
digolongkan sebagai pertambangan liar.
Tiga faktor utama munculnya penambangan liar yaitu :
1. Faktor kemiskinan dan tidak ada alternatif sumber pendapatan lain
mendorong masyarakat mengambil jalan pintas untuk memenuhi
kebutuhan ekonomi dengan menggali bahan tambang secara liar. Hal ini
diperparah dengan adanya pelaku ekonomi bermodal yang tergiur untuk
mendapat rente ekonomi secara jangka pendek dengan membiayai
kegiatan penambangan liar.
2. Faktor peraturan dan kapasitas aparatur. Tidak ada perangkat aturan dan
kebijakan yang tegas, konsisten, dan transparan yang mengatur usaha
pertambangan termasuk di antaranya dalam perizinan, pembinaan,
kewajiban, dan sanksi. Lemahnya pemahaman aparat pemerintah lokal
dalam pemahaman tata laksana penambangan yang benar (good mining
practices) dan perilaku aparat yang berusaha mengambil manfaat pribadi

karya tulis / karya ilmiah di bid. kepolisian kehutanan dalam bentuk makalah - oktober 2018 2
atas kegiatan penambangan liar, menjadi faktor penting tumbuhnya
penambangan liar.
3. Faktor pola hubungan dan kebijakan perusahaan berizin. Hubungan antara
penambangan liar dan perusahaan berizin yang dijarah dilandasi oleh rasa
curiga dan konflik. Dengan pola hubungan seperti ini dan penerapan
kebijakan yang represif untuk mengusir penambangan liar sesegera
mungkin, mungkin akan menjadikan penambangan liar sulit diberantas.
(sumber : http:www.burukab.go.id).
Banyak kegiatan penambangan yang mengundang sorotan masyarakat
sekitarnya karena pengrusakan lingkungan, apalagi penambangan tanpa izin
yang selain merusak lingkungan juga membahayakan jiwa penambang karena
keterbatasan pengetahuan si penambang dan juga karena tidak adanya
pengawasan dari dinas instansi terkait. Banyaknya kegiatan pertambangan
yang dilakukan oleh masyarakat secara perseorangan di kawasan cagar alam
bukit tangkiling yang tidak memiliki ijin, tentunya menimbulkan permasalahan
yang perlu segera ditindak lanjuti, seperti memberitahukan kepada
penambang tanpa ijin untuk segera menghentikan kegiatannya sebab lokasi
yang dijadikan tambang termasuk cagar alam yang dilindungi oleh Pemerintah
dan sebagai tindakan selanjutnya melakukan penegakan hukum terhadap
mereka yang masih melakukan penambangan tanpa ijin.
Berdasarkan penelitian awal di kantor Balai Konservasi Sumber Daya Alam
Provinsi Kalimantan Tengah. Banyaknya usaha yang dilakukan masyarakat
yang dilakukan secara perseorangan dalam bidang pengambilan bahan
tambang batuan, sebagaimana terjadi di cagar alam bukit tangkiling. Perilaku
masyarakat yang mengambil bahan bebatuan di kawasan cagar alam bukit
tangkiling disebabkan juga masih kurang efektifnya sinergi terkait pengawasan
dari pihak pusat maupun pemerintah daerah terhadap keutuhan kawasan
cagar alam bukit tangkiling dan kurangnya pemahaman masyarakat terkait
adanya kawasan konservasi. Beberapa permasalahan nyata yang terjadi,
dalam area cagar alam bukit tangkiling ada masyarakat telah memiliki SKT
(Surat Keterangan Tanah) yang diketahui dan ditandatangani oleh lurah

karya tulis / karya ilmiah di bid. kepolisian kehutanan dalam bentuk makalah - oktober 2018 3
setempat. Dalam prakteknya keberadaan kepemilikan tanah di dalam kawasan
cagar alam bukit tangkiling sangat bertentangan, dan oleh pemilik SKT area
tersebut dijadikan objek tambang batu belah. Tentunya upaya preventif yang
dapat segera dilakukan adalah dengan adanya penegakkan supremasi hukum
di bidang lingkungan hidup guna mengantisipasi dampak pertambangan
secara illegal terhadap keseimbangan lingkungan dan menghindari terjadinya
kerusakan cagar alam bukit tangkiling Kota Palangka Raya.
Permasalahan illegal mining ini tentunya perlu segera ditindak lanjuti,
seperti memberitahukan kepada penambang tanpa ijin untuk segera
menghentikan kegiatannya sebab lokasi yang dijadikan tambang termasuk
cagar alam yang dilindungi oleh Pemerintah dan sebagai tindakan selanjutnya
melakukan penegakan hukum terhadap mereka yang masih melakukan
penambangan tanpa ijin.

B. Metode Penelitian
1. Spesifikasi Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitis yaitu penelitian yang
menggambarkan dan menguraikan keadaan atau fakta yang ada tentang
penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana illegal mining di dalam
kawasan Cagar Alam Bukit Tangkiling ditinjau dari perspektif sosiologi
hukum, serta pengawasan pemerintah dalam melindungi Cagar Alam Bukit
Tangkiling dari pelaku tindak pidana illegal mining, kemudian gambaran
umum tersebut dianalisis dengan bertitik tolak dari peraturan perundang-
undangan, teori yang ada dan pendapat para ahli yang bertujuan untuk
mencari dan mendapatkan jawaban dan pokok masalah yang akan dibahas
lebih lanjut.
2. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan adalah metode yuridis normatif yaitu
penelitian yang menekankan pada data sekunder yakni dengan mempelajari
dan mengkaji azas-azas hukum, khususnya kaidah-kaidah hukum dalam

karya tulis / karya ilmiah di bid. kepolisian kehutanan dalam bentuk makalah - oktober 2018 4
peraturan perundang-undangan serta ketentuan-ketentuan yang berkaitan
dengan sosiologi hukum.
3. Penelitian kepustakaan
Penelitian kepustakaan yaitu penelitian teoritis dengan mengandalkan
bahan-bahan dan buku-buku literatur, peraturan perundang-undangan,
majalah dan surat kabar yang mempunyai relevansi dengan masalah yang
dibahas. Dan penelitian kepustakaan ini diperoleh gambaran secara teoritis
tentang masalah yang dihadapi, sehingga mendapatkan data sekunder dan
bahan hukum.
4. Penelitian Lapangan
Penelitian lapangan dilakukan guna mendapatkan data primer sebagai
pendukung bagi analisis hasil penelitian. Penelitian lapangan diperlukan
untuk mendapatkan data yang berguna tentang penegakan hukum
terhadap pelaku tindak pidana illegal mining di dalam kawasan Cagar Alam
Bukit Tangkiling di tinjau dari perspektif sosiologi hukum, serta pengawasan
pemerintah dalam melindungi Cagar Alam Bukit Tangkiling dari pelaku
tindak pidana illegal mining.
Penelitian lapangan ini dengan mengambil responden yaitu:
a. Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah;
b. Dinas Energi Dan Pertambangan Mineral Kota Palangka Raya;
c. Balai Konservasi Sumber Daya Alam Provinsi Kalimantan Tengah.
5. Teknik Yang Digunakan Dalam Penelitian
Dalam penelitian ini alat yang digunakan antara lain :
a. Studi Kepustakaan.
Dengan cara mempelajari ketentuan-ketentuan hukum pidana yang
berhubungan dengan Tindak Pidana Illegal Mining.
b. Wawancara
Wawancara yang Penulis gunakan dalam penelitian ini adalah
wawancara dengan sistem bebas terpimpin, dimana Penulis tidak terikat
dengan teks pertanyaan terhadap pihak-pihak yang ada relevansinya

karya tulis / karya ilmiah di bid. kepolisian kehutanan dalam bentuk makalah - oktober 2018 5
untuk memperoleh data atau keterangan dengan permasalahan yang
dibahas.
6. Analisis Data
Data sekunder dan data primer sebagaimana penelitian yang sifatnya
deskriptif analitis dengan pendekatan yuridis normatif, maka analisa data
dilakukan secara kualitatif dengan tidak menggunakan rumus statistik.

C. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pengawasan Pemerintah dalam melindungi Cagar Alam Bukit
Tangkiling dari pelaku tindak pidana illegal mining ?
2. Bagaimanakah penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana illegal
mining di dalam kawasan Cagar Alam Bukit Tangkiling di tinjau dari
perspektif sosiologi hukum ?

karya tulis / karya ilmiah di bid. kepolisian kehutanan dalam bentuk makalah - oktober 2018 6
BAB II. PEMBAHASAN

A. Pengawasan Pemerintah Dalam Melindungi Cagar Alam Bukit Tangkiling Dari


Pelaku Tindak Pidana illegal Minning
Cagar alam merupakan suatu daerah hutan suaka dilindungi serta
ditetapkan sebagai daerah pelestarian bagi kekhas-an alamnya, termaksud
flora dan fauna, yang perlu dilindungi untuk kepentingan ilmu pengetahuan
dan pendidikan kebudayaan. Jika kawasan seperti itu tidak disediakan maka
bisa dibayangkan kerakusan manusia akan kekayaan bumi semakin liar
sehingga perlu perlindungan dan pelestarian, dari kepunahan atau agar
terjaga keseimbangan ekosistem. (sumber : http://contohpengertian.com/
cagar-alam/#.U0FbSO9gJ-8).
Adapun yang dimaksud dengan Cagar alam adalah sebagai mana
disebutkan dalam UU No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistem Pasal 1 angka 10, menyebutkan : “cagar alam
adalah kawasan suaka alam karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan
tunbuhan, satwa, dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu
dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami”.
Salah satu cagar alam yang ada di Provinsi Kalimantan Tengah adalah
Cagar Alam Bukit Tangkiling. Letak bukit-bukit batu itu tidak terlalu jauh dari
Palangka Raya, ibukota Propinsi Kalimantan Tengah, hanya berjarak 34 Km ke
arah Barat Laut, tepatnya di Kelurahan Banturung dan Tangkiling Kecamatan
Bukit Batu. Bukit inilah yang terkenal di kalangan masyarakat Palangka Raya
dan sekitarnya, bernama bukit tangkiling yang selanjutnya ditetapkan sebagai
kawasan konservasi yang di sebut cagar alam bukit tangkiling. Di dalam
kawasan cagar alam bukit tangkiling terdapat 4 (empat) buah bukit batu yaitu
bukit tangkiling, bukit baranahu, bukit liau dan bukit buhis. (sumber : Balai
KSDA Kalimantan Tengah / Email admin:bksdakalteng@yahoo.com).
Sejak ditetapkan menjadi kawasan konservasi oleh Menteri Pertanian
melalui SK No.46/Kpts/Um/I/1977 tanggal 25 Januari 1977 dengan luas cagar
alam bukit tangkiling yaitu 2.061 Ha., sampai saat ini status pengukuhan

karya tulis / karya ilmiah di bid. kepolisian kehutanan dalam bentuk makalah - oktober 2018 7
kawasan belum final. Berdasarkan hasil pengukuran tata batas di lapangan
sesuai BAP Tata Batas tanggal 28 Agustus 1978 luas kawasan cagar alam bukit
tangkiling berkurang menjadi 1.462 Ha. Menangapi penunjukan kawasan
konservasi oleh Pusat, Gubernur Kalimantan Tengah melalui surat yang
ditujukan ke Menteri Pertanian nomor : EK. 21/I/17 tanggal 1 Oktober 1980
mengusulkan peninjauan kembali atau pembatalan serta mengusulkan
penggantian areal lain di luar kawasan sebagai cagar alam dengan alasan
bahwa lokasi tersebut merupakan deposit batu gunung yang sangat diperlukan
sebagai bahan bangunan di Kota Palangka Raya dan telah diusahakan sejak
Tahun 1958. Disamping itu di dalam areal cagar alam terdapat hak-hak
masyarakat baik tanah, bangunan dan tanaman yang belum
dibebaskan/diganti rugi. Menteri Pertanian melalui surat Nomor :
199/Mentan/III/1981 tanggal 5 Maret 1981 menyatakan tidak keberatan untuk
meninjau kembali/membatalkan SK Penunjukan dimaksud dengan syarat
diupayakan areal pengganti yaitu cagar alam marang dengan luas minimal
sama.
Pada perkembangannya kondisi cagar alam marang telah rusak dan
disarankan areal pengganti di Areal Konservasi Sebangau yang telah difasilitasi
oleh WWF Indonesia. Pembahasan terakhir pada rapat koordinasi instansi
terkait dan tokoh masyarakat tanggal 20 April 1994 menghasilkan kesepakatan
bahwa 4 (empat) bukit di dalam kawasan cagar alam bukit tangkiling yaitu
bukit tangkiling, bukit baranahu, bukit liau dan bukit buhis ditetapkan sebagai
cagar alam bukit tangkiling dengan luas kurang lebih 2.061 Ha. Berita Acara
Pelaksanaan Tata Batas Cagar Alam Bukit Tangkiling tersebut telah
ditandatangani oleh Walikota Palangka Raya dan instansi terkait, namun belum
ditandatangani oleh Gubernur Kalimantan Tengah maupun Direktur Bina
Program, Direktorat Jenderal Kehutanan.
Selama proses penetapan yang berkepanjangan, menimbulkan dampak
semakin maraknya aksi penambangan batu serta pembukaan aksebilitas ke
dalam kawasan cagar alam bukit tangkiling memicu aksi okupasi kawasan.
Parahnya okupasi ini tidak hanya dilakukan oleh masyarakat setempat untuk

karya tulis / karya ilmiah di bid. kepolisian kehutanan dalam bentuk makalah - oktober 2018 8
berladang, namun berkembang menjadi pengkaplingan tanah dan areal
berbatu oleh kalangan bermodal di kota. Rasanya tidak perlu dibicarakan lagi
bagaimana percepatan kerusakan ekosistem terjadi, terlebih pada 4 bukit batu
di kawasan cagar alam bukit tangkiling yang dieksploitasi.
Sebagaimana data yang penulis peroleh dari Kelurahan Banturung
Kecamatan Bukit Batu, jumlah pemilik pernambang batu belah (Golongan C)
yang beroperasi di wilayah Cagar Alam Bukit Tangkiling dan semuanya tidak
memiliki ijin. Sebagaimana daftar dibawah ini :
No Nama Pemilik Luas Areal Lokasi Status
1. Tia Djunas 1,08 Ha Bukit Baranahu Tidak Berijin
2. Herman Djunas 1,5 Ha Bukit Baranahu Tidak Berijin
0,63 Ha Bukit Tangkiling
3 Ha Bukit Tangkiling
3. Kredit 2 Ha Bukit Baranahu Tidak Berijin
4. Hester Saleh 3,5 Ha Bukit Baranahu Tidak Berijin
5. Fran Ubak 1 Ha Bukit Buhis Tidak Berijin
6. Sulei Injing 0,8 Ha Bukit Buhis Tidak Berijin
7. Uber Gala 0,63 Ha Bukit Buhis Tidak Berijin
8. Emoe Juni 3 Ha Bukit Buhis Tidak Berijin
9. Ikis Jahari 2 Ha Bukit Tangkiling Tidak Berijin
10. Sangiak Injing 1,5 Ha Bukit Liau Tidak Berijin
11. Pari Jahari 2 Ha Bukit Liau Tidak Berijin
12. Yoel Udak 2 Ha Bukit Liau Tidak Berijin
13. Manasye/Sambung 0,15 Ha Bukit Tangkiling Tidak Berijin
14. Salute N Tulis 0,25 Ha Bukit Tangkiling Tidak Berijin
15. Jasmadi 0,25 Ha Bukit Tangkiling Tidak Berijin
16. H. Matisan 2,5 Ha Bukit Baranahu Tidak Berijin
Sumber : Kelurahan Banturung 2018

Berkenaan dengan kerusakan lingkungan di kawasan cagar alam bukit


tangkiling, maka perlu diambil suatu tindakan oleh pejabat yang berwenang,
baik dari segi penegakan hukum terhadap pelaku perusak atau penambang
penambang liar tersebut dan yang tidak kalah pentingnya adalah melakukan
pengawasan oleh Pemerintah dalam melindungi keberadaan cagar alam bukit
tangkiling.

karya tulis / karya ilmiah di bid. kepolisian kehutanan dalam bentuk makalah - oktober 2018 9
Hukum sejatinya merupakan upaya manusia dalam hidup bersama
untuk menata, menertibkan dan menjaga kehidupan agar tercipta suasana
harmonis dalam wadah kehidupannya. Dari hal tersebut di atas penulis
memberi penilaian tentang hukum itu sendiri sebagai salah satu instrumen
yang menjanjikan pengintegrasian hubungan dalam masyarakat, salah
satunya dalam wujud pembagian dan pendistribusian sumber daya alam yang
ada untuk kepentingan bersama.
Sehubungan dengan sumber daya alam dimaksud, Undang-Undang
Dasar 1945 Pasal 33 ayat 3 menegaskan bahwa bumi, air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Mengingat cagar alam bukit tangkiling
merupakan salah satu kawasan konservasi yang di dalamnya terkandung
kekayaan alam berupa bebatuan yang terdapat di Kota Palangka Raya, maka
pengelolaannya perlu dilakukan seoptimal mungkin, efisien, transparan,
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan serta berkeadilan agar
memperoleh manfaat sebesar besarnya bagi kemakmuran rakyat.
Sesuai dengan konstitusi bangsa Indonesia, seluruh potensi sumber
daya alam dikuasai oleh negara. Pemerintah berperan dan mempunyai
wewenang untuk mengatur, mengurus dan mengawasi pengelolaannya.
Dalam hal pengawasan yang dilakukan pemerintah terhadap kehadiran
pertambangan haruslah secara komprehensif arti tidak hanya pengawasan
melalui pemberian perijinan saja juga pengawasan terhadap para penambang
liar atau penambang tanpa ijin khususnya bahan tambang yang termasuk
golongan C.
Disamping itu pula pengawasan di titik beratkan pada dua hal yakni
pada proses pelaksanaan kegiatan dan pada tahap evaluasi serta koreksi
terhadap pelaksanaan kegiatan. Kedua aspek pengawasan tersebut dilakukan
untuk menjamin agar pelaksanaan suatu tugas berjalan sesuai dengan tujuan
dan hasil yang telah direncanakan.
Menurut Soerjono Soekanto (1999 : 20) pengawasan juga
membutuhkan beberapa unsur, yakni :

karya tulis / karya ilmiah di bid. kepolisian kehutanan dalam bentuk makalah - oktober 2018 10
1. Adanya kewenangan yang jelas dimiliki oleh aparat pengawas.
2. Tindakan pengawasan dapat dilakukan terhadap proses kegiatan yang
sedang berlangsung atau yang telah dilaksanakan.
3. Pengawasan dapat ditindaklanjuti secara administratif maupun juridis.
Berhubungan dengan pengawasan yang dilakukan terhadap cagar alam
bukit tangkiling, pada dasarnya dilakukan secara berjenjang, mengingat cagar
alam bukit tangkiling merupakan kawasan konservasi maka pengawasan
menjadi domain atau kewenangan Balai Konservasi Sumber Daya Alam
(BKSDA) Kalimantan Tengah. (Sumber : Hasil wawancara dengan Bapak Joni
Harta Selaku Kepala Seksi Pengamanan Hutan pada Dinas Kehutanan Provinsi
Kalimantan Tengah, tanggal 02 Oktober 2018).
Dalam hal pengawasan cagar alam bukit tangkiling dilakukan secara
berjenjang dimana pengawasan lapangan dilakukan oleh Resort Tangkiling,
hasil pengawasan dilapangan yang dilakukan oleh Resort Tangkiling dilaporkan
ke Seksi Konservasi Wilayah I (SKW I) Palangka Raya, selanjutnya SKW I
melaporkan ke Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan
Tengah. Jadi Pengawasan lapangan atau inspeksi, yaitu dilakukan dengan
meninjau atau kunjungan ke lapangan untuk mengetahui pelaksanaan dan
rencana kerja yang telah disusun, memantau kinerja / pencapaian target dari
data yang diberikan. Maksud dan tujuan inspeksi pengawasan tersebut, yaitu
melindungi kepentingan masyarakat sekitar cagar alam bukit tangkiling dan
mencegah kerusakan lingkungan semakin besar, di samping itu dilakukan pula
patroli pengamanan dan perlindungan hutan serta mengadakan penyuluhan
dan sosialisasi kepada masyarakat yang berada di sekitar kawasan cagar alam
bukit tangkiling (Sumber : Hasil wawancara dengan Bapak Nurwachid
Wahyudi, A.Md, Pegawai Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi
Kalimantan Tengah, tanggal 03 Oktober 2018).
Dalam pelaksanaan pengawasan terhadap kegiatan penambangan
termasuk dalam kawasan konservasi cagar alam bukit tangkiling juga
dilakukan oleh Dinas Pertambangan dan Energi Kota Palangka Raya,
sebagaimana diungkapkan oleh Martinus Roga, bahwa Dinas Pertambangan

karya tulis / karya ilmiah di bid. kepolisian kehutanan dalam bentuk makalah - oktober 2018 11
dan Energi melakukan pengawasan secara rutin dan pemantauan illegal mining
yang dilakukan dalam wilayah kota Palangka Raya termasuk wilayah cagar
alam bukit tangkiling. (Sumber : Hasil wawancara dengan Bapak Martinus
Roga, selaku Kepala Bidang Pertambangan Umum pada Dinas Pertambangan
dan Energi Kota Palangka Raya, tanggal 04 Oktober 2018).
Pengawasan yang dilakukan oleh Dinas Pertambangan dan Energi Kota
Palangka Raya adalah berdasarkan amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2009 tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara, sebagaimana diatur dalam
Pasal 143, yang menyatakan :
(1) Bupati/walikota melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap usaha
pertambangan rakyat.
(2) Ke tentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan pengawasan
pertambangan rakyat diatur dengan peraturan daerah kabupaten/kota.
Masih terjadinya penambangan di kawasan cagar alam bukit tangkiling
sebagaimana terungkap dilapangan munjukan masih ada kecendrungan
lemahnya intensitas pengawasan yang dilakukan oleh instansi terkait, hal ini
berdampak belum terwujudnya pelaksanaan penegakan hukum. Tentunya hal
ini disebabkan banyak faktor, seperti masih belum adanya kepastian hukum
tentang status kawasan cagar alam bukit tangkiling, hal ini masih terbukti
terbitnya sertifikat hak milik atas tanah maupun surat keterangan tanah dalam
kawasan tersebut. Oleh karena itu penetapan status hukum yang jelas dan
pasti terhadap suatu kawasan konservasi berupa cagar alam bukit tangkiling
sangat diperlukan, karena hal ini berkaitan dengan kegiatan lainnya, seperti
apabila status hukumnya jelas pihak Badan Pertanahan Nasional tidak dapat
lagi mengeluarkan sertifikat hak milik maupun Camat tidak lagi mengeluarkan
Surat Keterangan Tanah. Di samping itu pula kegiatan pertambangan
golongan C berupa batu dalam penegakan hukumnya lebih mudah, karena apa
yang dilakukan jelas posisi hukumnya.

karya tulis / karya ilmiah di bid. kepolisian kehutanan dalam bentuk makalah - oktober 2018 12
B. Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Illegal Mining Di Kawasan
Cagar Alam Bukit Tangkiling di Tinjau Dari Perspektif Sosiologi Hukum.
Menurut Soerjono Soekanto (1989 : 85) Kehidupan manusia dalam
bermasyarakat, bernegara dan berbangsa tidak terlepas dari adanya suatu
aturan atau hukum sebagai rambu-rambu yang mengatur masyarakat dalam
menjalankan roda kehidupannya agar dapat berjalan dengan tertib. Hukum
bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan
dalam masyarakat, dengan cara membatasi berbagai kepentingan tersebut,
karena dalam suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan terhadap
kepentingan tertentu hanya dapat dilakukan dengan cara membatasi
kepentingan di lain pihak.
Masalah penegakan hukum pada dasarnya merupakan kesenjangan
antara hukum secara normatif (das sollen) dan hukum secara sosiologis (das
sein) atau kesenjangan antara prilaku hukum masyarakat yang seharusnya
dengan prilaku hukum masyarakat yang senyatanya. Pound menyebut sebagai
perbedaan antara law on books dan law in action” (Satjipto Raharjo : 1998 :
71).
Sosiologi hukum menafsirkan kebiasaan-kebiasaan dan perwujudan-
perwujudan materi hukum berdasarkan pengertian intinya. Sosiologi hukum
memulai dari pola-pola perlambangan hukum, mengorganisasi prosedur-
prosedur hukum dan sanksi-sanksinya sampai pada simbol-simbol hukum
yang sesuai seperti kefleksibelan peraturan-peraturan dan kespontanan
hukum. Satjipto Raharjo (2008 : 112) mendefinisikan sosiologi hukum sebagai
ilmu yang mempelajari fenomena hukum. Dari sudut pandang yang demikian
itu Satjipto Raharjo memberikan beberapa karakteristik studi secara sosiologis,
sebagai berikut :
1) Sosiologi hukum bertujuan untuk memberikan penjelasan terhadap
praktek-praktek hukum. Apabila praktek itu dibedakan dalam pembuatan
Undang-Undang, penerapan dan pengadilan, ia juga mempelajari
bagaimana praktek itu terjadi pada masing-masing bidang kegiatan hukum
tersebut. Dalam hal ini sosiologi hukum berusaha untuk menjelaskan

karya tulis / karya ilmiah di bid. kepolisian kehutanan dalam bentuk makalah - oktober 2018 13
mengapa praktek yang demikian itu terjadi, sebab-sebabnya, faktor-
faktornya yang mempengaruhinya, latar belakangnya. Dengan demikian,
mempelajari hukum secara sosiologis adalah menyelidiki tingkah laku orang
dalam bidang hukum, baik yang sesuai dengan hukum maupun yang
menyimpang dari hukum.
2) Sosiologi hukum senantiasa mengkaji kesahihan empiris. Sifat khas yang
muncul disini adalah mengenai bagaimana kenyataan peraturan itu,
apakah kenyataan seperti yang tertera dalam bunyi peraturan atau tidak.
3) Sosiologi hukum tidak melakukan penilaian terhadap hukum tetapi ia
memberikan penjelasan dari objek yang dipelajarinya.
Campur tangan hukum semakin meluas ke dalam bidang kehidupan
masyarakat, sehingga hukum merupakan suatu kebutuhan yang melekat pada
kebutuhan sosial, di mana hukum akan melayani anggota-anggota
masyarakat, baik berupa pengalokasian kekuasaan, pendistribusian sumber-
sumber daya, serta melindungi kepentingan masyarakat (Bambang Sunggono,
2004 : 3).
Menurut Yesmil Anwar dan Adang (2008 : 131) manfaat dari sosiologi
hukum adalah :
1). Kita dapat mengetahui hukum dalam konteks sosialnya atau hukum dalam
masyarakat.
2). Kita akan dapat melakukan analisis terhadap efektivitas hukum dalam
masyarakat, baik sebagai sarana pengendalian sosial maupun sebagai
sarana untuk mengubah masyarakat agar mencapai keadaan-keadaan
sosial yang tertentu.
3). Melalui sosiologi hukum, efektivitas hukum yang diamati tersebut dapat
dievaluasi, sehingga dapat ditemukan hukum yang hidup dalam
masyarakat.

Hukum berperan sebagai pelindung kepentingan manusia, agar


kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan, di mana
pelaksanaan hukum dapat berjalan secara normal, damai, tetapi dapat juga

karya tulis / karya ilmiah di bid. kepolisian kehutanan dalam bentuk makalah - oktober 2018 14
karena adanya pelanggaran hukum. Dalam hal ini hukum yang dilanggar harus
ditegakan. Melalui penegakan hukum inilah hukum menjadi kenyataan.
Perlindungan mempunyai makna adanya larangan bagi siapa saja untuk
mengambil atau menguasai hak orang lain tanpa alas hak yang sah.
Soerjono Soekanto (1993 : 3), memberikan arti dari penegakan hukum
adalah dilihat dari kegiatan penyerasian hubungan nilai-nilai yang terjabarkan
di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan sikap tindak sebagai rangkaian
penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan
mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.
Dalam proses reformasi, maka penegakan hukum menjadi agenda
utama, namun kenyataannya penegakan hukum sampai saat ini masih lemah.
Lemahnya penegakan hukum menurut pandangan Dimyanti (2004 : 95)
disebabkan pertama, karena hukum dipahami secara sempit yang pada
gilirannya cendrung formalistik, lambat, dan kekurangan kapasitas untuk
beradaptasi dan mengantisipasi perkembangan aspek kehidupan masyarakat
yang kompleks dan agresif. Kedua, proses penerapan hukum yang menganut
paham hukum positif telah mengesampingkan rasa keadilan masyarakat.
Penegakan hukum yang berhubungan dengan tindak pidana illegal
mining, sebagaimana yang terjadi di kawasan cagar alam bukit tangkiling
dimana secara kasat mata kegiatan pertambangan yang dilakukan oleh
masyarakat di dan sekitar kawasan cagar alam bukit tangkiling berupa
kegiatan penambangan batu.
Kegiatan penambangan batu memang memberikan keuntungan
berupa lapangan kerja dan kontribusi kepada beberapa pihak tertentu. Tetapi
dilain hal kenyamanan masyarakat sekitar menjadi terganggu, antar lain oleh
lalu lintas angkutan bermuatan batu yang melebihi ketentuan batas maksimal
muatan sehingga mempercepat proses kerusakan jalan, kebisingan, debu dan
perubahan topografi yang berpengaruh juga dengan kondisi keselamatan
lingkungan. Hal ini menimbulkan sikap pro dan kontra dikalangan masyarakat.
Selain mendatangkan keuntungan namun dibalik kegiatan penambangan
diwilayah cagar alam bukit Tangkiling akan menyebabkan hilangnya ekosistem

karya tulis / karya ilmiah di bid. kepolisian kehutanan dalam bentuk makalah - oktober 2018 15
hutan yang berganti menjadi daerah pertambangan sehingga berangsur –
angsur akamenghilangkan fungsi ekosistem hutan sebagai pertukaran energy
(energy circuits), siklus hidrologi, rantai makanan mahluk hidup,
mempertahankan keanekaragaman hayati, daur nutrient dan pengendali
ketika terjadi pencemaran. Kerusakan ekosistem hutan berdampak pada
ketidakseimbangan sistem alam (Adrian Sutedi, 2011 : 193).
Dari sisi lingkungan, daerah cagar alam bukit tangkiling menjadi rawan
longsor karena adanya penggalian-penggalian lubang untuk pertambangan.
Banyak pohon yang ditebang/dirusak untuk keperluan para penambang
membuat tenda dan membuat lubang tambang, daerah yang mulanya
merupakan ekosistem hutan berubah menjadi lubang tambang yang
ditinggalkan penambang tanpa dilakukan rehabilitasi hal ini sangat merusak
lingkungan.
Penambangan liar (illegal mining), yang dalam hal ini merupakan
tindakan yang dapat berakibat rusaknya kawasan cagar alam bukit tangkiling,
dimana di kawasan cagar alam bukit tangkiling terdapat potensi flora dan
fauna yaitu :
No Nama Jenis Nama Latin Status
A. Flora
1. Meranti Shorea sp Tidak dilindungi
2. Geronggang Cratoxylon arborescens Tidak dilindungi
3. Tengkawang Shorea sp Dilindungi
4. Palawan Tristania abovata Tidak dilindungi
5. Bintangur Calophyllum sp Tidak dilindungi
6. Blangiran Shorea blangiran Tidak dilindungi
B. Fauna
1. Kera ekor panjang Macaca fascicularis Tidak dilindungi
2. Burung tekukur Streptopelia chinensis Tidak dilindungi
3. Burung cucak rowo Pycnonotus zeylanicus Tidak dilindungi
4. Musang Paradoxurus hermaproditus Tidak dilindungi

Sumber : Balai KSDA Kalimantan Tengah.

karya tulis / karya ilmiah di bid. kepolisian kehutanan dalam bentuk makalah - oktober 2018 16
Dalam kenyataannya bahwa banyak masyarakat yang melakukan
kegiatan pertambangan berupa penambangan batu di dalam kawasan cagar
alam bukit tangkiling dilakukan secara perorangan atau kelompok di lokasi
yang dimiliki mereka dan tentu tidak memiliki ijin usaha pertambangan. Dari
kegiatan tersebut perbuatan yang dilakukan masyarakat dalam melakukan
kegiatan penambangan batu merupakan perbuatan tindak pidana
pertambangan atau dikenal dengan illegal mining. Karena melakukan kegiatan
pertambangan tanpa ijin. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh
Martinus Roga kepala Bidang Dinas Pertambangan dan Energi Kota Palangka
Raya, bahwa Dinas pertambangan kota Palangka Raya tidak pernah
mengeluarkan ijin penggalian batu di kawasan cagar alam bukit tangkiling
(Hasil wawancara dengan Bapak Martinus Roga, selaku Kepala Bidang
Pertambangan Umum pada Dinas Pertambangan dan Energi Kota Palangka
Raya, tanggal 26 September 2017).
Mengingat pelanggaran terhadap pelaku tindak pidana pertambangan
yang terjadi di kawasan cagar alam bukit tangkiling berupa tidak memiliki ijin
usaha pertambangan, maka terhadap mereka dapat diterapkan Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara,
yaitu :
Pasal 158, menyebutkan :
Setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa IUP, IPR
atau IUPK sebagaimana dimaksud dalam pasal 37, pasal 40 ayat (3), pasal 41
48, pasal 67 ayat (1), pasal 74 ayat (1) atau ayat (5) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.
10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Pasal 159 menyebutkan :


Pemegang IUP, IPR, atau IUPK yang dengan sengaja menyampaikan
laporan sebagaimana dimaksud dalam pasal 43 ayat (1), pasal 70 huruf e,
pasal 81 ayat (1), pasal 105 ayat (4), pasal 110, atau pasal 111 ayat (1)
dengan tidak benar atau menyampaikan keterangan palsu dipidana dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.
10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

karya tulis / karya ilmiah di bid. kepolisian kehutanan dalam bentuk makalah - oktober 2018 17
Mengingat kegiatan pertambangan dilakukan oleh masyarakat dilokasi
cagar alam bukit tangkiling berupa kawasan hutan, maka kegiatan masyarakat
yang menambang di lokasi cagar alam bukit tangkiling dapat diterapkan pula
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Pasal 38, menyebutkan :
ayat (3) : “Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan
dilakukan melalui pemberian izin pinjam pakai oleh Menteri dengan
mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta
kelestarian lingkungan”.
ayat (4) : “Pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan
dengan pola pertambangan terbuka”.

Pasal 50 Ayat (3) huruf g menyebutkan :


“Setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi
atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan yang diambil atau
dipungut secara tidak sah”.
Pasal 78 Ayat (6) menyebutkan :
“Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 38 ayat (4) atau pasal 50 ayat (3) huruf g, diancam dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp.5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

Selain itu pula dapat diterapkan Undang Undang Nomor 18 Tahun 2013
Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Perusakan Hutan, sebagaimana
diatur dalam Pasal 17 ayat (1), menyebutkan :
Setiap orang dilarang :
a. membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lain yang lazim atau patut
diduga akan digunakan untuk melakukan kegiatan penambangan dan/atau
mengangkut hasil tambang di dalam kawasan hutan tanpa izin Menteri;
b. melakukan kegiatan penambangan didalam kawasan hutan tanpa izin
Menteri;
c. mengangkut dan/atau menerima titipan hasil tambang yang berasal dari
kegiatan penambangan di dalam kawasan hutan tanpa izin;
d. menjual, menguasai, memiliki, dan / atau menyimpan asil tambang berasal
dari kegiatan penambangan di dalam kawasan hutan tanpa izin; dan/atau
e. membeli, memasarkan dan/atau mengolah hasil tambang dari kegiatan
penambangan di dalam kawasan hutan tanpa izin.

karya tulis / karya ilmiah di bid. kepolisian kehutanan dalam bentuk makalah - oktober 2018 18
Apabila terjadi pelanggaran terhadap Pasal 17 ayat (1) Undang Undang
Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Perusakan
Hutan tersebut maka akan diancam hukuman pidana sebagaimana diatur
dalam Pasal 89 Undang Undang Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan
Dan Pemberantasan Perusakan Hutan, yang menyebutkan :
(1) Orang perseorangan yang dengan sengaja :
a. melakukan kegiatan penambangan di dalam kawasan hutantanpa izin
Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b;
dan/atau
b. membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang lazim atau
patut diduga akan digunakan untuk melakukan kegiatan penambangan
dan/atau mengangkut hasil tambang di dalam kawasan hutan tanpa izin
Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15
(lima belas) tahun serta pidana denda paling sedikit
Rp.1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Walaupun pada dasarnya masyarakat yang melakukan kegiatan


pertambangan berupa penambangan batu diatas tanah mereka sendiri baik
dengan bukti sertifikat hak milik maupun surat keterangan tanah (SKT),
sebagaimana lokasi penambangan batu milik Selegar, Siregar, Acil yang
berlokasi di bukit tangkiling dengan luas kepemilikan lokasinya berdasarkan
sertifikat (Hasil wawancara dengan Bapak Selegar, Siregar dan Aci masyarakat
yang tinggal di Bukit Tangkiling tanggal 28 September 2017).
Menurut Nandang Sudrajat (2010 : 25), Hak menguasai negara atas
bahan galian adalah hak dan kewenangan negara dalam mengendalikan,
mengatur dan mengambil manfaat dan hasil atas pengelolaan dan penguasaan
bahan galian yang pelaksanaannya harus lebih mengutamakan kebutuhan dan
kepentingan nasional, dalam rangka menjaga stabilitas pertahanan, keamanan
dan ketahanan ekonomi negara yang didistribusikan secara adil dan
proporsional untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Penegakan hukum terhadap pengusaha pertambangan khususnya bagi
usaha pertambangan batu belah yang termasuk bahan galian golongan C
merupakan fokus utama dalam proses memberikan kepastian hukum, namun

karya tulis / karya ilmiah di bid. kepolisian kehutanan dalam bentuk makalah - oktober 2018 19
dalam kenyataannya sampai saat ini penegakan hukum masih sangat lemah.
Hal ini terbukti setiap kali melakukan razia tidak pernah ada pelaku usaha yang
diproses lebih lanjut sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Untuk mengatasi persoalan masih lemahnya penegakan hukum
terhadap pelaku penambang liar (illegal mining) di kawasan cagar alam bukit
tangkiling di tinjau dari perspektif sosiologis, harus diketahui dulu akar
permasalahan penyebab terjadinya illegal mining, diketahui bahwa cagar alam
bukit tangkiling telah ditunjuk sebagai kawasan konservasi berdasarkan SK.
Menteri Kehutanan RI. Nomor 046/Kpts/Um/1/1977 tanggal 25 Januari 1977
dengan luas kawasan cagar alam bukit tangkiling seluas 2.061 Ha, namun disisi
lain maraknya warga dalam kawasan tersebut memiliki Sertifikat Hak Milik Atas
tanah Dari Badan Pertanahan Nasional Palangka Raya maupun Surat
KeteranganTanah (SKT) dari ke Camatan setempat, hal inilah yang
menimbulkan ketidak pastian hukum yang akan ditegakan, karena warga yang
melakukan penambangan batu belah di tanah mereka sendiri. Oleh karena itu
upaya pencegahannya dapat dilakukan dengan cara peninjauan kembali status
kawasan konservasi cagar alam bukit tangkiling dan atau peninjauan legalitas
sertifikat hak milik atas tanah maupun Surat keterangan tanah yang dimiliki
warga di kawasan konservasi cagar alam bukit tangkiling (Hasil wawancara
dengan Bapak Joni Harta, selaku Kepala Seksi Pengamanan Hutan pada Dinas
Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah, tanggal 02 Oktober 2018).
Hal ini terbukti masih maraknya pelaku usaha pertambangan batu
belah tanpa ijin melakukan kegiatan, sepertinya pemerintah daerah melalui
instansi terkait terutama aparat desa melakukan pembiaran terhadap pelaku
usaha yang tidak memiliki ijin tersebut, dengan ketentuan mereka membayar
pajak atau retribusi kepada aparat desa. hal inilah yang menyebabkan
penegakan hukum belum maksimal terhadapa para penambang bahan galian
golongan C. Dengan demikian masyarakat tidak menghormati hukum demikian
pula kewibawaan aparat penegak hukum semakin merosot. Hal ini disebabkan
antara lain aparat penegak hukum yang seharusnya menegakan hukum, akan
tetapi masih banyak aparat penegak hukum yang yang tidak peduli dengan

karya tulis / karya ilmiah di bid. kepolisian kehutanan dalam bentuk makalah - oktober 2018 20
apa yang terjadi disamping itu pula status hukum cagar alam bukit tangkiling
masih belum jelas.
Berdasarkan data lapangan yang penulis temukan baik melalui
wawancara dengan beberapa instansi terkait, maupun dengan masyarakat
disekitar Bukit Tangkiling serta observasi lapangan yang penulis lakukan, maka
dalam hal penegakan hukumnya dapat dikaji dari landasan teori legal system
(teori sistem hukum) sebagaimana yang dikemukakan oleh Lawrence M
Friedman (1975), yang terdiri dari :
1. Substansi (peraturan)
2. Struktur (aparat penegak hukum)
3. Kultur (budaya masyarakat)
Di lihat dari substansi atau aturan yang diterapkan bahwa cagar alam
bukit tangkiling belum memberikan kepastian hukum karena masih berupa
penunjukan yaitu berdasarkan SK. Menteri Kehutanan RI. Nomor
046/Kpts/Um/1/1977 tanggal 25 Januari 1977 dengan luas kawasan cagar
alam bukit tangkiling seluas 2.061 Ha. Oleh karena itu perlu adanya
peningkatan status hukumnya supaya mempunyai kepastian hukum yaitu
berupa penetapan kawasan cagar alam bukit tangkiling.
Sedangkan dilihat dari aspek struktur atau aparat penegak hukumnya
ternyata aparat penegak hukum dalam menegakan hukum masih terkendala
karena kepemilikan lahan tambang berupa sertifikat tanah maupun surat
keterangan tanah (SKT) di kawasan cagar alam bukit tangkiling yang dimiliki
oleh masyarakat maupun pejabat sehingga dalam penegakan hukumnya sulit
diterapkan. Di samping itu pula apabila dilihat dari aspek kultur atau budaya
masyarakat yang telah lama melakukan kegiatan pertambangan dengan
tujuan untuk menghidupi keluarganya tentunya sangat ssulit untuk merubah
kebiasaan yang telah dilakukan masyarakat untuk beralih ke pekerjaan lain.

karya tulis / karya ilmiah di bid. kepolisian kehutanan dalam bentuk makalah - oktober 2018 21
BAB III. PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Penegakan hukum terhadap penambang pertambangan khususnya bagi
usaha pertambangan batu di kawasan Cagar Alam Bukit Tangkiling sulit
untuk dilaksanakan hal ini sebabkan dari aspek peraturannya masih lemah
karena hanya berdasarkan SK. Menteri Kehutanan RI. Nomor
046/Kpts/Um/1/1977 tanggal 25 Januari 1977 yang sifatnya hanya
penunjukan, selain itu pula lokasi pertambangannya banyak dimiliki oleh
masyarakat atau pejabat setempat dan budaya masyarakat yang biasanya
melakukan kegiatan pertambangan sulit dirubah untuk melakukan
pekerjaan lain.
2. Pengawasan oleh pemerintah dalam melindungi kawasan Cagar Alam Bukit
Tangkiling melibatkan beberapa instansi, seperti yang berhubungan
dengan kawasan hutan konservasi cagar alam, maka yang berenang
mengawasinya adalah Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA)
Kalimantan tengah dan sebagai ujung tombaknya atau aparat dibawahnya
adalah Resort Tangkiling. Sedangkan dari kegiatan pertambangannya
pengawasan dilakukan oleh pemerintah daerah melalui Dinas
Pertambangan dan Energi Kota Palangka Raya selaku pemberi atau yang
menerbitkan ijin pertambangan.

B. Saran
1. Perlu secepatnya dilakukan penataan batas oleh Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan Up. Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kalimantan
Tengah, agar adanya kepastian hukum tentang status kawasan cagar alam
bukit tangkiling untuk mengurangi dampak kerusakan lingkungan di dalam
kawasan cagar alam bukit tangkiling yang dilakukan oleh masyarakat dalam
hal penambangan batu.
2. Perlu dilakukan pengawasan secara berkelanjutan yang dilakukan oleh
instansi pemerintah terhadap kegiatan penambangan batu yang dilakukan

karya tulis / karya ilmiah di bid. kepolisian kehutanan dalam bentuk makalah - oktober 2018 22
oleh masyarakat di kawasan cagar alam bukit tangkiling baik berupa
penyuluhan maupun sosialisasi tentang keberadaan cagar alam bukit
tangkiling, dimana kegiatan yang mereka lakukan ini tidak memiliki ijin
sehingga diharapkan bisa mengurangi kegiatan masyarakat melakukan
penambangan batu di cagar alam bukit tangkiling.

karya tulis / karya ilmiah di bid. kepolisian kehutanan dalam bentuk makalah - oktober 2018 23
DAFTAR PUSTAKA

Literatur

Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum , Sinar Grafika, Jakarta 2005.

Soerjono Soekanto, Mengenal Sosiologi Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung 1989.

Yesmil Anwar dan Adang, Pengantar Sosiologi Hukum, PT. Gramedia Widiasarana
Indonesia, 2008.

Adrian Sutedi, Hukum Pertambangan, Sinar Grafika, Jakarta, 2011.

Nandang Sudrajat, Teori dan Praktik Pertambangan di Indonesia Menurut Hukum,


Pustaka Yustisia Yogyakarta, 2010.

Bambang Sunggono. Hukum dan Kebijaksanaan Publik, Jakarta. : Sinar Grafika,


2004.

Khudzaifah Dimyati, Teorisasi Hukum Studi Tentang Perkembangan Pemikiran


Hukum Di Indonesia 1945 -1990, Universitas Muhammadiyah, Surakarta, 2004

Nandang Sudrajat, Teori dan Praktik Pertambangan Indonesia Menurut Hukum,


Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2010.

Puspa Melati Hasibuan. Dampak Penambangan Bahan Galian Golongan C


Terhadap Lingkungan, Jurnal Equality, Vol.11 N0.1 Pebruari 2006.

Satjipto Raharjo. Hukum dan perubahan Sosial, Penerbit.Angkasa, Bandung,


1998.

Sri Nur Hari susanto, Penguasaan Daerah Atas Bahan Galian Pertambangan Dalam
Perspektif Otonomi Daerah, Disampaikan pada Seminar Nasional Aspek Hukum
Penguasaan Daerah Atas Bahan Galian, di Fakultas Hukum Undip pada 2
Desember 2009.

Soejono Soekanto, Aspek-Aspek Pengawasan di Indonesia, Sinar Grafika. Jakarta


1999.

Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, Gadjah Mada University


Press, Yogyakarta, 1997.

karya tulis / karya ilmiah di bid. kepolisian kehutanan dalam bentuk makalah - oktober 2018 24
Peraturan Perundang - Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

Undang Undang Nomor. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistem.

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Dan Batu


Bara.

Internet

http://comodomapala.blogspot.com/2008/07/diantara-kerasnya-batu-batu
kawasan

http://contohpengertian.com/cagar-alam/#.U0FbSO9gJ-8

http://www.burukab.go.id/

Balai KSDA Kalimantan Tengah/Email admin:bksdakalteng@yahoo.com

karya tulis / karya ilmiah di bid. kepolisian kehutanan dalam bentuk makalah - oktober 2018 25

Anda mungkin juga menyukai