Anda di halaman 1dari 48

SAMPUL

IMPLEMENTASI PASAL 158 UNDANG-UNDANG NOMOR 3

TAHUN 2020 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-

UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG

PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATU BARA TERHADAP

SANKSI PELAKU IZIN USAHA PERTAMBANGAN DI

KABUPATEN SAMPANG.

PROPOSAL SKRIPSI

Ditujukan untuk memenuhi persyaratan

memperoleh gelar Sarjana Hukum

Disusun Oleh:

HENDRA

NIM : 2018110070

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MADURA PAMEKASAN 2023

i
LEMBAR PENGESAHAN
IMPLEMENTASI PASAL 158 UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN
2020 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 4
TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATU
BARA TERHADAP SANKSI PELAKU IZIN USAHA PERTAMBANGAN
DI KABUPATEN SAMPANG.

PROPOSAL SKRIPSI

Ditujukan untuk memenuhi persyaratan


memperoleh gelar Sarjana Hukum

Disusun Oleh :
HENDRA
NIM : 2018110070
Dosen Pembimbing

Dr. Win Yuli Wardani, SH. MHum


NIDN. 0720076402

Mengetahui

Ketua Program Studi Fakultas Hukum


Mahsun Ismail, S.H.,M.H
NIDN. 2109048101

ii
iii
DAFTAR ISI

iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi kekayaan alam

yang sangat melimpah ruah,Berbagai macam kekayaan alam yang

terkandung didalam perut bumi Indonesia yang salah satunya adalah

kekayaan alam bahan galian tambang mineral. Mineral sebagai karunia

Tuhan Yang Maha Kuasa yang terkandung dalam wilayah hukum

pertambangan Indonesia,berdasarkan sifatnya digolongkan sebagai sumber

daya alam yang tidak dapat diperbarui.1

Sebagai negara konstitutional, Indonesia telah menuangkan dan

mengamanatkan pengaturan pengelolaan sumber daya alam didalam Undang-

Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang dimuat dalam pasal 33 ayat 3

bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh

negara dalam hal mengatur, mengurus dan mengawasi pengelolaan dan di

pergunakan untuk sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyat Indonesi.2 Dengan

kekayaan alam yang melimpah ruah terutama dalam potensi tambang galian c

yang menjadi objek pertumbuhan ekonomi di suatu daerah,hal itu perlu adanya

keterlibatan pemerintah untuk menertibkan dan memberikan evaluasi pemahaman

hukum terhadap masyarakat agar pertambangan ilegal tidak marak terjadi dan

masyarakat akan memahami dengan berdasarkan pada konstitusi. Dalam Undang-


1
Adrean Sutedi ”Hukum pertambangan” (Jakarta, sinar grafika,2011) hlm 23
2
Abdul Halim Barkatullah “Buku ajar Hukum pertambangan” (Bandung, Nusa media 2017) hlm 39
2

Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara

(Undang-Undang Minerba) menjadi payung hukum atas penyelenggaraan

kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara. Peraturan ini mengatur bahwa

setiap usaha pertambangan yang dilakukan oleh perseorangan, koperasi, maupun

badan usaha wajib memiliki izin usaha dalam bentuk Izin Usaha Pertambangan

(IUP), Izin Pertambangan Rakyat (IPR), atau Izin Usaha Pertambangan Khusus

(IUPK). Izin usaha yang wajib dimiliki oleh pelaku usaha merupakan instrumen

perizinan dalam penyelenggaraan kegiatan pertambangan yang berkaitan erat

dengan izin lingkungan.3

Instrumen perizinan merupakan salah satu bentuk pengendalian

pencemaran dan perusakan lingkungan hidup dalam upaya perlindungan

lingkungan hidup.1 Untuk memperoleh izin usaha, pelaku usaha wajib

memiliki izin lingkungan terlebih dahulu. Izin lingkungan (Pasal 1 angka

35 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup (Undang-Undang PPLH) adalah prasyarat

kepada usaha yang wajib Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup

(AMDAL) atau Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya

Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL) untuk memperoleh suatu izin

usaha. Jika izin usaha ingin diberikan, maka penilaian AMDAL atau UKL-

UPL dijadikan dasar untuk memperoleh izin lingkungan. Artinya, sistem

perizinan dalam upaya perlindungan lingkungan dibuat terintegrasi dan

berdampak pada keterkaitan dengan izin lainnya. Apabila suatu izin

3
Ibid, hlm 36
3

lingkungan dicabut, maka izin usaha yang bersangkutan juga dicabut

sehingga kegiatan tersebut tidak dapat beroperasi kembali.

Usaha pertambangan galian c memiliki dampak penting terhadap

lingkungan hidup, sehingga usaha ini wajib memiliki AMDAL sebagai instrumen

pencegahan kerusakan lingkungan hidup yang dapat mengupayakan pengendalian

dampak secara dini,AMDAL ini ditujukan sebagai dasar izin lingkungan dalam

memperoleh izin usaha pertambangan. Apabila suatu usaha pertambangan tidak

disertai dengan izin usaha pertambangan,terdapat ketentuan pidana dalam

Undang-Undang Minerba yang mengatur perbuatan tersebut sebagai tindak pidana

berserta ancaman pidananya. Pasal 158 Undang-Undang Minerba berbunyi:

“setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa IUP, IPR, atau IUPK

dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda

paling banyak Rp10.000.000.000 (sepuluh miliar rupiah).”4

Pertambangan galian c tanpa izin marak terjadi di Indonesia dan memiliki

beberapa dampak negatif yang merugikan secara materil maupun imateril. Negara

mengalami kerugian secara materil karena tidak diterimanya hasil usaha

pertambangan tersebut ke pendapatan negara. Selain itu, kegiatan pertambangan

tanpa izin berdampak pada kerusakan lingkungan hidup akibat tidak

diterapkannya good mining practices (teknik pertambangan yang baik) dalam

praktik pertambangan serta tidak melaksanakan upaya reklamasi dan pasca

4
Ahmad redi “Dilema Penegakan Hukum Penambangan Mineral dan Batubara pada
Pertambangan Skala Kecil” Jurnal Rechts Vinding, Volum 5, Nomor 3, Desember 2015,Fakultas
Hukum Universitas Tarumanagara diakses 25 maret 2023 hlm 411
4

tambang. Kerugian imateril ini diderita oleh lingkungan hidup serta masyarakat

disekitar pertambangan yang terkena dampak.

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang

Pertambangan Mineral dan Batubara yang disebut dengan Pertambangan adalah

sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan

pengusahaan mineral atau batu bara yang meliputi penyelidikan umum,

eksploitasi,studi kelayakan,kontruksi, penambangan, pengelolahan dan

pemurnian,pengangkutan dan penjualan serta kegiatan pasca tambang.

Berkaitan dengan pengelolaan usaha pertambangan di Indonesia saat ini

yang memiliki kewenangan mengelola sumberdaya galian tambang adalah

masing-masing daerah yang daerahnya memiliki potensi sumber daya alam,seperti

yang sudah tertuang didalam BAB VI Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 setelah amandemen mengenai Pemerintah Daerah.

Berdasarkan pada Pasal 18 ayat (5) menyatakan bahwa : “Pemerintah daerah

menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh

Undang-Undang ditentukan.5

Melihat dari aspek geografis yang ada di Madura khususnya di kabupaten

Sampang sebagai instrumen mendorong kemajuan ekonomi di daerah tersebut

tentu hal ini akan menjadi hal paling fundamental untuk di kelola pemerintah

sehingga pertambangan yang ada di kabupaten Sampang bisa di pelihara oleh

pemerintah sebesar-besarnya untuk kemakmuran masyarakat dalam sektor

5
Simon Felix Sembiring “ Jalan Baru Untuk Tambang : Mengalirkan Berkah Untuk Anak Bangsa”
(Jakarta, PT Gramedia 2009) hlm 47
5

perekonomian,namun di sisi lain dalam unsur kajian data bahwa dalam aspek

sumber daya alam terutama dalam sektor galian c masih banyak di kabupaten

Sampang yang tidak mengantongi izin beroperasi, padahal dalam penerapan

perizinan pertambangan sudah diatur dalam Undang-Undang no 4 tahun 2009

dalam BAB VII Pasal 36 ayat 1 dan 2 yang berbunyi IUP terdiri atas dua tahap:

1. IUP Eksplorasi meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan

studi kelayakan.

2. IUP Operasi Produksi meliputi kegiatan konstruksi,penambangan,

pengolahan dan pemurnian,serta pengangkutan dan penjualan,Ayat 2

Pemegang IUP Eksplorasi dan pemegang IUP Operasi Produksi dapat

melakukan sebagian atau seluruh kegiatan sebagaimana dimaksud pada

ayat 1.6

Sumber daya alam merupakan amanah dari Pasal 28 Undang-Undang NRI

1945 yang menyatakan bahwa “lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan

hak asasi setiap warga negara Indonesia”.

Pengelolaan bahan galian dan tambang perlu dilaksanakan seoptimal

mungkin, efisien, transparan, berkelanjutan dan berkeadilan,usaha bahan galian

tambang di Indonesia memiliki aturan khusus yang diatur dalam Undang-Undang

Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (selanjutnya

disingkat Undang-Undang Minerba) yang telah mengatur segala hal yang

bersangkutan dengan pertambangan mineral dan batubara.


6
Putra Harleando, Sapto Hermawan “Pelaksanaan Izin Pertambangan Rakyat di Sungai Progo”
Jurnal Discretie: vol.1, No.2, July, 2020, Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta,diakses pada 21 Maret 2023 hlm 81
6

Undang-Undang Minerba menegaskan dalam Pasal 1 angka 1 bahwa

pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka

penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi

penyelidikan umum, eksplorasi,studi kelayakan,konstruksi, penambangan,

pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pasca

tambang.

Pelaksanaan aturan-aturan yang ada disesuaikan,dengan adanya

otonomi daerah terjadi pelimpahan kewenangan dalam pengelolaan

sumber daya tambang dan juga termasuk pengelolaan hasil tambang dari

pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Otonomi daerah menurut

Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintah Daerah (untuk selanjutnya disebut Undang-Undang

Pemerintah Daerah) adalah hak,wewenang, dan kewajiban daerah otonom

untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan

kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik

Indonesia.7

Kewenangan urusan pemerintah daerah dalam bidang energi dan

sumberdaya mineral diatur Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Pemerintahan

Daerah menyebutkan bahwa “Penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang

kehutanan, kelautan serta energi dan sumber daya mineral dibagi antara

pemerintah pusat dan daerah provinsi”.8

7
Ibid, hlm 83
8
7

Provinsi Jawa Timur sebagai daerah otonom dalam melaksanakan wewenang

yang diserahkan oleh pemerintah pusat sehubungan dengan pengelolaa sumber

daya mineral dan juga pengelolaan hasil pertambangan batuan mineral non logam

(bahan galian batu gamping), instansi yang berwenang menangani hal tersebut

yaitu Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Jawa Timur.9

Pertambangan galian c di Kabupaten Sampang memiliki potensi

pelanggaran terutama pada perizinan sebagai syarat untuk melakukan usaha

pertambangan yang dibiarkan tetap beroperasi dan tidak ada penindakan dari

pihak yang berwajib sehingga meresahkan terjadinya bencana,sehingga penulis

memahami dan menganalisis apa saja bentuk pelanggaran hukum izin usaha

pertambangan galian c di Kabupaten Sampang,memahami dan menganalisis

penerapan hukum secara administrasi yang dilakukan terhadap pelanggaran

kegiatan izin usaha pertambangan galian c Kabupaten Sampang,memahami dan

menganalisis apa saja faktor penghambat pemilik izin usaha belum memiliki izin

usaha pertambangan galian c di kabupaten Sampang,oleh karena itu penulis

mengambil judul "Implementasi pasal 158 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2020

Atas perubahan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 pertambangan mineral

dan batubara terhadap sanksi pelaku izin usaha pertambangan di kabupaten

Sampang.

B. Rumusan Masalah

9
Tri Hayati “Era Baru Hukum Pertambangan Di Bawah Rezim UU No.4 Tahun 2009” (Jakarta,
Yayasan Pustaka Obor 2015) hlm 92
8

1. Bagaimana Implikasi undang-undang nomor 3 tahun 2020 tentang

perubahan atas undang-undang nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan

mineral dan batubara terhadap penerapan izin usaha pertambangan.?

2. Bagaimana Efektivitas dari implementasi pasal 158 undang-undang nomor 3

tahun 2020 tentang perubahan atas undang-undang nomor 4 tahun 2009

terhadap pelanggaran izin usaha pertambangan di kabupaten Sampang.?

C. Tujuan Penelitian Dan Manfaat

1. Tujuan penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk memberikan pemahaman tentang pentingnya implementasi pasal 158

undang-undang nomor 3 tahun 2020 atas perubahan undang-undang nomor

4 tahun 2009 tentang Pertambangan mineral dan batubara terhadap sanksi

Administrasi pelaku usaha pertambangan ilegal khususnya di kabupaten

Sampang.

2. Untuk mengetahui efektivitas penerapan hukum dari pasal 158 undang-

undang nomor 3 tahun 2020 tentang perubahan atas undang-undang nomor

4 tahun 2009 terhadap pelaku usaha pertambangan ilegal di kabupaten

Sampang.

3. Untuk memberikan pemahaman tentang dampak pertambangan yang tidak

melalui proses hukum terhadap lingkungan alam di kabupaten Sampang.

2. Manfaat penelitian
9

Penelitian ini mencakup kegunaan teoritis dan praktis, sebagai berikut :

a. Kegunaan teoritis

Dari hasil penelitian ini maka secara teoritis diharapkan akan menjadi

pemahaman pertambangan melalui sudut pandang hukum,sehingga ini di

jadikan tolak ukur dalam pencegahan pertambangan ilegal dan di jadikan acuan

kerangka pemikiran untuk menghindari terjadinya tindakan diluar amanat

undang-undang.

b. Kegunaan praktis

Dari sektor praktis penelitian ini dapat memberikan informasi tentang

dampak dari pertambangan ilegal terhadap lingkungan alam dan juga pengaruh

akibatnya terhadap kerugian negara sehinggal hal ini akan bisa memberikan

manfaat terhadap pelaku tambang ilegal guna memenuhi unsur hukum.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR PEMIKIRAN

A. Hukum pertambangan

1. Pengertian Hukum Pertambangan

Sebelum kita membahas tentang hukum pertambangan maka terlebih

dahulu perlu kita ketahui apa hukum itu sendiri. Sering kali muncul pertanyaan

dari beberapa abad sampai hari ini masih belum menemukan jawaban yang bisa

memuaskan tentang apa definisi hukum.? Sejak Plato sampai Hart, dari

Aristoteles hingga Dworkin, bahkan orang-orang Skandinavia dan semua ahli

hukum lain mencoba (bekerja keras) menjawab persoalan ini, namun tetap tidak

memperoleh jawaban memuaskan. Sulit untuk dihitung, berapa banyak literatur

yang mencoba memecahkan persoalan ini.10

Hukum adalah suatu bangunan normatif. Dalam pendekatan

doktrinal,hukum dikonsepkan sebagaian instrument of the state or polis

concerned with justice, with rules of conduct to regulate human behavior.

Menurut pandangan ini hukum merupakan instrumen untuk menegakkan

keadilan yang wujudnya berupa pedoman perilaku dengan fungsi utamanya

mengatur perilaku manusia.

Salah satu fungsi hukum adalah untuk mewujudkan keadilan

sosial,mengenai arti penting hukum dalam mewujudkan keadilan sosial, hukum

mengatur mengenai apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh

10
Peter Mahmud ”Teori Hukum” (Jakarta,Kencana 2020) hlm 18
11

dilakukan. Dengan adanya aturan tersebut, masyarakat menjadi terlindungi juga

merasa aman dan nyaman.

Sudikno Mertokusumo mengartikan hukum sebagai keseluruhan peraturan

atau kaedah dalam kehidupan bersama,keseluruhan tentang tingkah laku yang

berlaku dalam suatu kehidupan bersama,yang dapat dipaksakan pelaksanaannya

dengan suatu sanksi.11

Istilah Hukum Pertambangan berasal dari kata Bahasa Inggris "Mining

Law," dalam Bahasa Belanda yaitu "Mijnrecht," serta dalam Bahasa Jerman

"Bergrecht." Joseph F. Castrilli mengemukakan pendapat mengenai pengertian

dari Hukum Pertambangan yaitu:

"Mining Law also may provide a basis for implementing some environmentally

protective measures in relation to mining operations at the exploration,

development, reclamation, and rehabilitation stages."

Artinya:

Hukum Pertambangan juga dapat memberikan dasar untuk menerapkan

beberapa tindakan perlindungan dalam lingkungan terkait dengan operasi

penambangan pada tahap eksplorasi, pengembangan, reklamasi, dan

rehabilitasi.12

Salim HS. berpendapat terkait pengertian Hukum Pertambangan yaitu:

"Keseluruhan kaidah-kaidah hukum yang mengatur mengenai kewenangan

negara dalam pengelolaan bahan galian (tambang) dan mengatur mengenai

11
Fence M. Wantu “Pengantar Ilmu Hukum” (Gorontolo,Reviva Cendekia 2015) hlm 3
12
Franky Butar Butar “Pengantar Hukum Pertambangan Mineral dan Batu Bara”
(Surabaya,Airlangga University Press 2022)hlm 18
12

hubungan hukum antara negara dengan orang dan atau badan hukum pada

pengelolaan serta pemanfaatan bahan galian (tambang)."

Blacklaw Dictionary merumuskan pengertian terkait Hukum

Pertambangan yaitu:

"Hukum Pertambangan adalah sebuah ketentuan yang secara khusus mengatur

tentang hak menambang (bagian dari tanah yang mengandung logam berharga di

dalam tanah atau bebatuan) menurut aturan-aturan yang telah ditetapkan."

Melalui berbagai pandangan pengertian tersebut, dapat diambil pengertian

bahwa Hukum Pertambangan merupakan suatu bentuk hukum mengenai seluruh

aktivitas pertambangan yang diatur dan ditetapkan dalam berbagai macam

peraturan perundang-undangan terkait pertambangan untuk lebih lanjut

mengatur mengenai hak, kewenangan, serta menjaga agar aktivitas

pertambangan tidak berdampak buruk bagi lingkungan.13

B. Asas-asas Hukum Pertambangan

Mengingat pentingnya kedudukan hukum dalam tatanan hidup

bermasyarakat, dalam pembentukan peraturan hukum tidaklah terlepas dari asas

hukum sebagai sebuah landasan utama atau titik tolak dalam pembentukan dan

interpretasi undang-undang.

Pengertian asas menurut Kamus Besar Bahas Indonesia adalah sebagai

berikut:

1. Dasar (sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat)

13
Ibid, hlm 19
13

2. Dasar cita-cita (perkumpulan atau organisasi)

3. Hukum dasar.

Dalam Hukum Pertambangan dikenal 8 (delapan) asas-asas hukum

sebagaimana dimuat dalam Pasal 2 Undang-Undang nomor 3 tahun 2020 yang

menjelaskan bahwa usaha Pertambangan dikelola dengan berasaskan:

1. Manfaat, keadilan, dan keseimbangan.

2. Keberpihakan kepada kepentingan bangsa.

3. Partisipatif, transparansi, dan akuntabilitas.

4. Berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.14

Walaupun dalam asas tersebut tidak di jelaskan secara detail tetapi disini

dapat dipahami bahwa dari asas pertama tersebut bersifat multidimensi yang

memilki makna yang luas, meliputi ekonomi, sosial, budaya, lingkungan dan

lain-lain. Asas kedua menunjukkan sikap nasionalitas yang tinggi,artinya

pemanfaatan dan hasil pengelolaan pertambangan juga dapat mendorong suatu

negara. Asas ketiga adalah parsitipatif, transparan dan akuntabel, disini dapat di

pahami dalam upaya menjalankan suatu pengelolaan harus diutamakan sikap

transparan terhadap masyarakat. Dalam penjelasan, asas keempat dijabarkan

bahwa yang dimaksud dengan asas berkelanjutan dan berwawasan lingkungan

adalah asas yang secara terencana mengintegrasikan dimensi ekonomi,

lingkungan, dan sosial budaya dalam keseluruhan usaha pertambangan mineral

dan batubara untuk mewujudkan kesejahteraan masa kini dan masa mendatang.

14
Ibid, hlm 21
14

C. Sejarah Pengaturan Hukum Pertambangan

Periode Orde Lama dimulai pada tahun 1950 sampai dengan tahun 1966.

Setelah kemerdekaan, Negara Indonesia mengalami masa transisi untuk

pemulihan kondisi dari masa penjajahan selama 350 tahun, yang mana pada saat

ini kondisi politik dan Pemerintahan Indonesia juga belum konsisten. Masih

banyak permasalahan yang terjadi di berbagai daerah dan juga belum

terbentuknya secara utuh struktur Pemerintahan dan struktur ketatanegaraan. Hal

ini memengaruhi pelaksanaan pertambangan pada saat itu. Pengelolaan

pertambangan, terutama pengelolaan pertambangan, minyak, dan gas yang

masih dikuasai oleh modal asing kemudian menjadi isu yang memiliki tensi dan

urgensi sangat penting saat itu. Pada tahun 1980, Pemerintah mengeluarkan

kebijakan yang mengatur pertambangan, yaitu Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang- Undang menjadi Undang-Undang Nomor 37 Prp. Tahun 1960 tentang

Pertambangan. Kebijakan ini menjadi kebijakan hukum nasional pertama di

bidang pertambangan. Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 37 Prp.

Tahun 1960 tentang Pertambangan, maka Indische Mijn Wet 1899 dinyatakan

tidak berlaku lagi.15

Undang-Undang Nomor 37 Prp. Tahun 1960 tentang Pertambangan

memberikan kewenangan kepada Pemerintah untuk melakukan penarikan modal

asing guna mengembangkan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi dalam

pertambangan di Indonesia. Konsep yang dianut dalam Undang- Undang

15
Abrar Saleng “Hukum Pertambangan” (Yogyakarta, UII Presss,2004) hlm 64
15

tersebut merupakan konsep penanaman modal asing yang merujuk pada

Undang-Undang Nomor 78 Tahun 1958 tentang Penanaman Modal Asing.

Pola kerja sama yang dilakukan dalam penarikan modal asing ini adalah

"Production Sharing Contract." Pola kerja sama ini telah diatur dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 20 Tahun 1963, tetapi pola kerja sama bagi hasil ini hanya

dalam bentuk pemberian modal oleh pihak asing yang kemudian akan

dikembalikan oleh Pemerintah dari hasil produksi pertambangan. Melihat pola

ini, sistem bagi hasil yang diterapkan pada masa ini seperti sistem pinjaman luar

negeri. Sedangkan untuk keikutsertaan investor asing dalam produksi

pertambangan pada masa ini masih tertutup.16

Setelah mengalami Berbagai macam retorika yang cukup panjang

perjalanannya dalam upaya menciptakan sistematika kehidupan yang

berlandaskan hukum yang baik terhadap sumberdaya alam pertambangan, maka

dalam tahapan Masa Reformasi I merupakan kurun perkembangan

pertambangan di Indonesia dari awal masa reformasi hingga ditetapkannya

Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan dan Mineral Batu

Bara. Perubahan pada pertambangan mineral batubara juga dipengaruhi oleh

perubahan pada undang- undang terkait Pemerintah Daerah. Pada masa ini,

penyelenggaraan Pemerintahan secara desentralisasi lebih diutamakan

dibandingkan dengan dekonsentrasi. Ini membawa dampak pada

penyelenggaraan urusan pertambangan, terutama dalam hal kewenangannya.

16
Franky Butar Butar “Pengantar Hukum Pertambangan Mineral dan Batu Bara”
(Surabaya,Airlangga University Press 2022)hlm 8
16

Kewenangan perizinan pertambangan yang sebelumnya berada di Pemerintah

Pusat kemudian dialihkan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang

memiliki otonomi seluas-luasnya yang merupakan konsekuensi hukum dari

diutamakannya penyelenggaraan desentralisasi pada urusan Pemerintahan dan

Pemerintahan daerah.

Pada awal masa reformasi ini, undang-undang terkait pertambangan

mineral dan batu bara masih menggunakan Undang-Undang Pertambangan

1967. Undang-undang ini materi muatannya masih bersifat sentralistik sehingga

sudah tidak sesuai dengan perkembangan situasi dan peraturan perundang-

undangan pasca reformasi. Di samping itu, pembangunan pertambangan harus

menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan strategis, baik bersifat nasional

maupun internasional.

Tantangan utama yang dihadapi oleh pertambangan mineral dan batu bara

pada era ini adalah pengaruh globalisasi yang mendorong demokratisasi,

otonomi daerah, hak asasi manusia, lingkungan hidup, perkembangan teknologi

dan informasi, hak atas kekayaan intelektual, serta tuntutan peningkatan peran

swasta dan masyarakat. Untuk menjawab permasalahan tersebut, dibentuklah

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 sebagai landasan hukum bagi langkah-

langkah pembaruan dan penataan kembali kegiatan pengelolaan dan

pengusahaan pertambangan mineral dan batu bara. Undang-Undang Nomor 4

Tahun 2009 memuat pokok-pokok pikiran sebagai berikut.


17

a. Mineral dan batu bara sebagai sumber daya yang tak terbarukan dikuasai

oleh negara dan pengembangan serta pendayagunaannya dilaksanakan

oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah bersama dengan pelaku usaha.

b. Pemerintah selanjutnya memberikan kesempatan kepada badan usaha

yang berbadan hukum Indonesia, koperasi, perseorangan, maupun

masyarakat setempat untuk melakukan pengusahaan mineral dari batu

bara berdasarkan izin yang sejalan dengan otonomi daerah sebagaimana

diberikan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan

kewenangannya masing-masing.

c. Dalam rangka penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi

daerah,pengelolaan pertambangan mineral dan batu bara dilaksanakan

berdasarkan prinsip eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi

yangmelibatkan Pemerintah dan Pemerintah Daerah.

d. Usaha pertambangan harus memberi manfaat ekonomi dan sosial yang

sebesar-besar bagi kesejahteraan rakyat Indonesia.

e. Usaha pertambangan harus dapat mempercepat pengembangan wilayah

dan mendorong kegiatan ekonomi masyarakat/pengusaha kecil dan

menengah serta mendorong tumbuhnya industri penunjang

pertambangan.

f. Dalam rangka terciptanya pembangunan berkelanjutan, kegiatan usaha

pertambangan harus dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip

lingkungan hidup, transparansi, dan partisipasi masyarakat.


18

Pembentukan Undang-Undang no 4 tahun 2009 yang berjalan selama

sebelas tahun, undang-undang terkait mineral batu bara mengalami perubahan.

Terdapat perubahan sebanyak 124 ketentuan dari - Undang Undang 4/2009.

Perubahan ini dilakukan karena UNDANG-UNDANG 4/2009 dan peraturan

pelaksanaannya dinilai belum dapat menjawab permasalahan serta-kondisi

aktual dalam pelaksanaan pengusahaan pertambangan mineral dan batu bara,

termasuk permasalahan lintas sektoral antara sektor pertambangan dan sektor

non-pertambangan. Perubahan sebagai penyempurnaan peraturan perundang-

undangan terkait pertambangan mineral dan batu bara bertujuan memberikan

kepastian hukum dalam kegiatan pengelolaan dan pengusahaan pertambangan

mineral dan batu bara bagi pelaku usaha di bidang mineral dan batu bara.17

Sebagai penyempurnaan, terdapat materi muatan baru yang ditambahkan

dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-

Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara

Pengaturan terkait konsep Wilayah Hukum Pertambangan

a. Kewenangan pengelolaan mineral dan batu bara.

b. Rencana pengelolaan mineral dan batu bara

c. Penguatan peran Badan Usaha Milik Negara.

d. Pengaturan kembali perizinan dalam pengusahaan mineral dan batu

bara, konsep perizinan baru terkait pengusahaan batuan untuk jenis

tertentu atau untuk keperluan tertentu, serta perizinan untuk

pertambangan rakyat

17
Ibid, hlm 15
19

e. Penguatan kebijakan terkait pengelolaan lingkungan hidup pada

kegiatan usaha pertambangan, termasuk pelaksanaan reklamasi dan

pascatambang.

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 mengatur kembali kebijakan peningkatan

nilai tambah mineral dan batu bara,ivestasi saham, pembinaan dan pengawasan,

penggunaan lahan, data dan informasi, pemberdayaan masyarakat, dan

kelanjutan operasi bagi pemegang KK atau PKP2B, Undang-Undang Nomor 3

Tahun 2020 memiliki sifat yang sentralistik, di mana kewenangan terhadap

pengelolaan usaha pertambangan terkait izin, pembinaan, dan pengawasan

menjadi kewenangan Pemerintah Pusat.

D. Wilayah dan dan Jenia izin usaha pertambangan

1. Wilayah usaha pertambangan

Bentuk akomodasi lain yang memberikan harapan kepada masyarakat

setempat untuk mengambil manfaat dari potensi bahan galian yang ada adalah

adanya ketentuan yang jelas tentang pertambangan rakyat, di mana masyarakat

setempat diperbolehkan untuk mengelola dan mengusahakan bahan galian yang

ada. Kesempatan masyarakat setempat dapat melakukan pengusahaan bahan

galian, tidak hanya terbatas sampai di situ, tetapi juga didukung oleh aturan yang

jelas, bahwa mereka berhak memperoleh bimbingan teknis, ma- najemen, dan

permodalan. Adapun ruang lingkup atau batasan-batasan pertambangan rakyat

adalah sebagai berikut:


20

a. Izin pertambangan rakyat dikeluarkan oleh bupati/wali kota.

Kewenangan tersebut, dalam pelaksanaannya dapat didelegasikan kepada

camat

b. Mengusahakan endapan mineral sekunder yang terdapat di sungai

dan/atau di antara tepi dan tepi sungai; c. Mengusahakan endapan

mineral primer sampai dengan kedalaman maksimal 25 meter.

c. Endapan teras, dataran banjir, dan endapan sungai purba

d. Luas wilayah maksimal 25 hektare.18

Hal lain yang menarik dari undang-undang ini adalah, berkaitan dengan

penetapan nilai strategis bahan galian bukan pada jenis komoditas atau bahan

galiannya, tetapi lebih berdasarkan pada kebutuhan dan kepentingan stra- tegis

nasional. Yang dimaksud menyangkut kepentingan nasional dapat dilihat dalam

penjelasan Pasal 27 ayat (1), yaitu dimaksudkan untuk mendorong pertumbuhan

ekonomi nasional, ketahanan energi, dan industri strategis nasional untuk

meningkatkan daya saing nasional dalam menghadapi tantangan global.

Komoditas atau jenis ba- han galian adalah bahan galian tertentu, di antaranya

tem- baga, timah, emas, besi, nikel, bauksit, dan batu bara. Meskipun dalam

penjelasan undang-undang mencantumkan komoditas atau jenis bahan galian

tertentu yang bersifat strategis terhadap pertahanan dan kepentingan nasional,

menurut hemat penulis tidaklah demikian, karena bisa saja penetapan wilayah

pertambangan negara di satu wilayah dan/atau daerah dilakukan terhadap bahan

galian di luar yang disebutkan dalam penjelasan Pasal 27 di atas, tetapi justru

18
Nandang Sudrajat “Teori dan Praktik Pertambangan Indonesia” (Yogyakarta, Medpress Digital
2013) hlm 83
21

dapat saja untuk jenis bahan galian yang di daerah lain banyak keterdapatannya,

dengan pertimbangan tertentu, bahwa bahan galian tersebut secara kriteria

menjadi strategis nilainya untuk wilayah bersangkutan, sesuai karakteristik,

situasi, kondisi, dan kebutuhan pengem- bangan wilayah tertentu. Kondisi ini

bisa terjadi untuk daerah-daerah perbatasan dengan negara tetangga, sehingga

memerlukan campur tangan langsung pemerintah, dengan pertimbangan taktis

strategis. Cerminan adanya campur tangan pemerintah secara langsung atas

penetapan bahan galian tertentu masuk ke dalam yang diproyeksikan untuk

kepentingan nasional dilakukan dengan cara meng- kavling satu wilayah

menjadi wilayah pertambangan negara. Selanjutnya Pasal 28, mengatur tentang

ketentuan WPN dapat dilakukan perubahan menjadi WUPK, dengan

pertimbangan sebagai berikut:

a. Pemenuhan bahan baku industri dan energi dalam negeri

b. Sumber devisa negara

c. Kondisi wilayah didasarkan pada keterbatasan sarana dan prasarana

d. Berpotensi untuk dikembangkan sebagai pusat pertum- buhan ekonomi

e. Daya dukung lingkungan

f. Penggunaan teknologi tinggi dan modal investasi yang besar.

2. Jenis dan Izin Usaha Pertambangan

Jenis izin usaha pertambangan menurut Undang-Undang No. 4 Tahun

2009,lebih sederhana dari pada jenis izin menurut Undang-Undang No. 11 Tahun
22

1967, yaitu hanya terdiri dari tiga macam izin, sebagaimana diatur dalam Pasal 35

bahwa usaha pertambangan dilaksanakan dalam 3 bentuk :

a. Izin Usaha Pertambangan, disingkat IUP

b. Izin usaha Pertambangan Rakyat, disingkat IPR

c. Izin Usaha Pertambangan Khusus, disingkat IUPK.

Dalam hal ini,maka disini akan lebih di jelaskan secara detail tentang apa

yang dimaksud dengan izin usaha pertambangan (IUP),Izin usaha pertambangan

rakyat (IUPK) dan izin usaha pertambangan khusus (IPK).

1. Izin Usaha Pertambangan (IUP)

Izin Usaha Pertambangan (IUP) adalah legalitas pengelolaan dan

pengusahaan bahan galian yang diperuntukkan bagi badan usaha baik swasta

nasional, maupun badan usaha asing, koperasi, dan perseorangan. Selanjutnya

menurut Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang No. 4 Tahun 2009, IUP terdiri dari

atas dua tahap, yaitu: IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi. IUP Ekplorasi

secara teknis meliputi kegitan-kegiatan sebagai berikut:19

a. Penyelidikan umum b. Eksplorasi c. Studi kelayakan.

2. Izin usaha Pertambangan Rakyat (IPR)

Pertambangan rakyat adalah salah satu persoalan krusiial bidang

pertambangan selama ini. Meskipun diusahakan secara tradisional, tetapi

terkadang meliputi wilayah yang cukup luas, karena diusahakan oleh masyarakat

19
Ibid, hlm 87
23

setempat, dengan pelaku usaha yang banyak. Sesuai kondisinya, tambang rakyat

yang selama ini berjalan berada dalam kondisi minim peralatan, fasilitas,

pengetahuan, dan permodalan.Di samping berbagai keterbatasan tadi,kendala

aturan turut memperparah situasi dan kondisi,sehingga tambang rakyat cenderung

dilakukan tanpa izin (PETI), rentan terhadap kecelakaan dan keselamatan kerja,

dan terkadang menimbulkan kerusakan lingkungan yang tidak terkendali.

salah satu potensi ekonomi lokal, yang dapat menggerakkan perekonomian

di daerah tersebut. Dengan secara nyata adanya legalisasi dan pembinaan

pertambangan rakyat, maka selain dampak positif sebagaimana diuraikan di atas,

juga sesungguhnya dapat mendatangkan beberapa keuntungan dan dampak positif

lainnya, yaitu:20

a. Menanggulangi persoalan sosial dan ekonomi masyarakat di daerah

bersangkutan.

a. Terbuka dan terciptanya lapangan kerja baru.

b. Membangkitkan jiwa-jiwa wirausaha di daerah

c. Mencegah terjadinya urbanisasi.

d. Dapat menekan dan mengendalikan kerusakan lingkungan, karena

dilakukan pada wilayah yang sebelumnya telah ditetapkan peruntukannya

sebagai WPR.

e. Adanya transfer kemampuan dan teknologi tepat guna

f. Dapat dijadikan salah satu sumber PADS.

20
Ibid, hlm 99
24

3. Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK)

Izin usaha pertambangan usaha khusus,diberikan dikeluarkan untuk

melakukan pengusahaan pertambangan pada Wilayah Izin Usaha Pertambangan

Khusus (WIUPK), yang merupakan bagian dari wilayah pertambangan negara

(WPN). Ruang lingkup IUPK, secara umum sama dengan ketentuan yang berlaku

pada IUP, perbedaannya hanya terletak pada prioritas peruntukan. Selanjutnya

secara detail ruang lingkup IUPK, adalah:

a. IUPK diprioritaskan bagi BUMN/BUMD atau badan usaha swasta yang

berbadan hukum Indonesia.

b. Diterbitkan untuk satu jenis mineral logam atau batu bara.

c. Apabila dalam pelaksanaannya menemukan mineral lain dan berminat

untuk diusahakan, maka diwajibkan mengajukan izin baru, dan mendapat

prioritas untuk itu.

d. Apabila tidak berminat atas mineral yang ditemukan, maka wajib untuk

memelihara dan menjaganya, dan dapat diberikan kepada pihak lain.

E. Kewenangan pemerintah daerah dalam pengelolaan tambang.

Hukum Administrasi Negara merupakan legal matrix baik bagi pemerintah

pusat maupun bagi pemerintah daerah dalam menjalankan tugas, tindakan dan

kegiatannya. Pada dasarnya legal matrix memberikan dasar pembenaran (legalitas)

terhadap tindakan atau kegiatan yang dilakukan oleh pejabat administrasi Negara.
25

Sebagaimana ditetapkan dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945, Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum.21

Dapat dilihat bahwa dalam menunjukkan turunan dari makna Pasal 33

Undang-Undang 1945 sampai pada pelaksanaan pengusahaan pertambangan, setelah

berlakunya Undang-Undang No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Hak

Kepemilikan (mineral right) berada di tangan bangsa Indonesia, sehingga

pengelolaan dan penggunaannya di mana pun harus dapat memberi manfaat kepada

seluruh rakyat sebagai pemiliknya. Karena rakyat tidak mungkin secara keseluruhan

menyelenggarakannya sendiri, maka diberikanlah kepada negara sebagai pemegang

hak penguasaan negara (authority right) terhdap Sumber Daya Alam. Dan

selanjutnya, penyelenggaraan penguasaan tersebut (mining right) dilakukan oleh

Pemerintah, baik Pusat, maupun daerah Provinsi, Kabupaten atau Kota, sesuai

dengan kewenangannya masing- masing.22

Pasal 9 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, ditetapkan bahwa wilayah

Pertambangan (WP) merupakan bagian dari tata ruang nasional yang ditetapkan oleh

Pemerintah (Pusat) setelah berkoordinasi dengan Pemerintah daerah dan

berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat,Wilayah Usaha Pertambangan yang

ditetapkan oleh Pemerintah setelah berkoordinasi dengan Pemda dan disampaikan

secara tertulis kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

Sedangkan dalam hal Kewenangan pemerintah kabupaten/kota dalam pengelolaan

pertambangan mineral dan batubara adalah :


21
Tri Hayati “Era Baru Hukum Pertambangan Di bawah Reazim UU No. 4 Tahun 2009” (Jakarta,
Yayasan Pustaka Obor 2015) hlm 81
22
Ibid, hlm 93
26

1. pembuatan peraturan perundang-undangan daerah.

2. pemberian IUP dan IPR, pembinaari, penyelesaian konflik masyarakat, dan

pengawasan usaha pertambangan di wilayah kabupaten/ kota dan/ atau wilayah

laut sampai dengan 4 (empat) mil.

3. pemberian IUP dan IPR, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat dan

pengawasan usaha pertambangan operasi produksi yang kegiatannya berada di

wilayah kabupaten/kota dan atau wilayah laut sampai dengan 4 (empat) mil.

4. penginventarisasian, penyelidikan dan penelitian, serta eksplorasi dalam rangka

memperoleh data dan informasi mineral dan batubara.

5. pengelolaan informasi geologi, inrorrmasi potensi mineral dan batubara, serta

informasi pertarnbangan pada wilayah kabupaten kota.

6. penyusunan neraca sumber daya mineral dan batubara pada wilayah

kabupaten/kota.

7. pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat dalam usaha

pertambangan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan.

8. pengembangan dan peningkatan nilai tambah dan manfaat kegiatan usaha

pertambangan secara optimal.

9. penyampaian informasi hasil inventarisasi, penyelidikan umum, dan penelitian,

serta eksplorasi dan eksploitasi kepada Menteri dan gubernur.

10. penyampaian informasi hasil produksi, penjualan dalam negeri, serta ekspor

kepada Menteri dan gubernur.

11. pembinaan dan pengawasan terhadap reklamasi lahan pascatambang.


27

12. peningkatan kemampuan aparatur pemerintah kabupaten/kota dalam

penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan.23

F. Penelitian Terdahulu

Nama Judul penelitian Metode Hasil penelitian

peneliti penelitian

Nur fadilah Penerapan Hukum Hukum Bentuk pelanggaran hukum

Sanksi sanksi administrasi


(2018) Normatif
Administrasi yang dilakukan kepada

Terhadap Pelaku pemilik usaha pertambangan

Pelanggaran Izin batu gamping di desa Karang

Usaha anyar juga memenuhi

Pertambangan sebagai pelanggaran yang

Batuan Mineral mendapatkan sanksi pidana

Non Logam berdasarkan UU Minerba

(Bahan Galian yang dapat dilakukan

Batu Gamping) penegakan hukum terhadap

(Studi Kasus Desa pelanggaran melakukan

Karang Anyar kegiatan usaha tambang tanpa

Kabupaten IUP, IPR, maupun IUPK.

Sampang) Penerapan Sanksi

Administrasi yang diterapkan

23
Ibid, hlm 103
28

berdasarkan kewenangan

Satpol PP yang berdasarkan

Peraturan Daerah Kabupaten

Sampang Nomor 7 Tahun

2015 tentang Ketertiban

Umum dan Ketentraman

Masyarakat telah diterapkan,

namun UU Minerba yang

bersifat khusus harusnya

ditindak lanjuti untuk

diterapkan

kepada pelaku usaha

pertambangan yang

melakukan

kegiatan usaha pertambangan.

Kendala yang mendorong

pemilik usaha

pertambangan tidak memiliki

izin usaha pertambangan

dikarenakan pengetahuan

yang terbatas, dan

pengawasan,

penegakan serta sosialisasi


29

yang kurang memadai

sehingga pemilik usaha

tambang menganggap izin

usaha

pertmbangan tidak dibutuhkan

dalam melakukan kegiatan

usaha tambang.

Budi Tinjauan Yuridis Hukum Mekanisme hukum acara


dalam penyidikan tindak
setiawan Terhadap Proses Normatif pidana pertambangan
tanpa izin usaha yang
daulay Penyidikan dilakukan oleh kelompok
masyarakat yaitu
Tindak Pidana dilaksanakan oleh penyidik
(2020) kepolisian bersama-sama
Pertambangan dengan penyidik
PPNS yang bertugas di bidang
Tanpa pertambangan. Selanjutnya
proses
Izin Usaha Yang penyidikan pertama-tama
penyidik melakukan
Dilakukan Oleh pemeriksaan atas kebenaran
81
Kelompok
1aporan atau keterangan
Masyarakat
berkenaan dengan tindak

pidana dalam kegiatan

usaha pertambangan,

kemudian melakukan

pemeriksaan terhadap

kelompok masyarakat yang


30

diduga melakukan tindak

pidana dalam

kegiatan usaha pertambangan,

memanggil dan/atau

mendatangkan secara

paksa kelompok masyarakat

untuk didengar dan diperiksa

sebagai saksi

atau tersangka dalam perkara

tindak pidana kegiatan usaha

pertambangan

tanpa izin usaha, menggeledah

tempat dan/atau sarana yang

diduga

digunakan untuk melakukan

tindak pidana dlam kegiatan

usaha

pertambangan, melakukan

pemeriksaan sarana dan

prasarana kegiatan

usaha pertambangan dan

menghentikan penggunaan

peralatan yang diduga


31

digunakan untuk melakukan

tindak pidana, menyegel

dan/atau menyita

alat kegiatan usaha

pertambangan yang digunakan

untuk melakukan tindak

pidana sebagai alat bukti, dan

akhirnya bila diperlukan

penyidik

mendatangkan dan/atau

meminta bantuan tenaga ahli

yang diperlukan

dalam hubungannya dengan

pemeriksaan perkara tindak

pidana dalam

kegiatan usaha pertambangan.

Selain daripada itu juga dalam

proses

penyidikan, penyidik PPNS di

bidang pertambangan dapat

melakukan

dapat menangkap pelaku

(kelompok masyarakat) tindak


32

pidana dalam

kegiatan usaha pertambangan

tanpa izin usaha tersebut,

memberitahukan

dimulai penyidikan dan

menyerahkan hasil

penyidikannya kepada pejabat

Kepolisian, dan menghentikan

proses penyidikan apabila

tidak memiliki

cukup bukti atau hal tersebut

bukan merupakan tindak

pidana.

Ahmad Redi Dilema Penegakan Hukum Dilema penegakan hukum atas

Hukum Normatif PETI menjadi


(2016)
Penambangan persoalan krusial bagi

Mineral penyelenggaraan kegiatan

Dan Batubara usaha pertambangan

Tanpa Izin Pada mengingat atas kegiatan

Pertambangan PETI dikategorikan sebagai

Skala Kecil perbuatan pidana

sebagaimana diatur dalam

Pasal 158 dan Pasal


33

160 UU Minerba. Akan tetapi,

kegiatan PETI

berkaitan dengan kehidupan

rakyat melarat

yang melakukan usaha

pertambangan untuk

memenuhi kebutuhan

hidupnya.

Adapun yang menjadi faktor

penyebab

PETI, antara lain (a) faktor

masalah regulasi; (b)

faktor kapasitas birokrasi

perizinan; (c) faktor

pembinaan dan pengawasan

yang normatif;

(d) faktor kendala penegakan

hukum; dan (e)

faktor sosial ekonomi.

Selanjutnya dampak dari

PETI yaitu: (a) dampak

kerusakan lingkungan

hidup; (b) dampak


34

penerimaan negara; (c)

dampak konflk sosial; (d)

dampak kesehatan,

keselamatan, dan keamanan

kerja (K3).

Selanjutnya solusi kebijakan

penegakan hukum

PETI, yaitu: (a) PETI dan

kebijakan The Greatest

Happiness of the Greatest

Number Principle; dan

(b) kebijakan pemidanaan

sebagai Ulmimum

Remedium.

G. Perbedaan Penelitian
35

Nama Judul Persamaan Perbedaan

Nur Penerapan Hukum Yaitu membahas Dari skripsi yang di

Fadilah Sanksi tentang tulis membahas

(2018) Administrasi pelanggaran izin tentang sanksi

Terhadap Pelaku usaha administrasi pelaku

Pelanggaran Izin pertambangan pelanggaran izin usaha

Usaha yang di lakukan pertambangan

Pertambangan tanpa melalui sedangkan peneliti

Batuan Mineral mikanisme fokus membahas

Non Logam hukum serta penerapan pasal 158

(Bahan Galian Batu sanksi-sanksi dan peran pemerintah

Gamping) terhadap maupun penegak

(Studi Kasus Desa pengusaha hukum terhadap

Karang Anyar tambang ilegal pelaku pertambangan

illegal di Kabupten

Sampang

Budi Tinjauan Yuridis Yaitu sama-sama Lebih pada

setiawan Terhadap Proses membahas pembahasan terkait

daulay Penyidikan masalah proses penyidikan oleh

(2020) Tindak Pidana pertambangan aparat penegak hukum

Pertambangan illegal yang di terhadap tindak pidana

Tanpa lakukan oleh pertambangan

Izin Usaha Yang kelompok sedangkan peneliti


36

Dilakukan Oleh masyarakat. fokus pada penerapan

Kelompok pasal 158 dan peran

Masyarakat pemerintah serta aparat

penegak hukum dalam

upaya penerapan pasal

158 undang-undang

minerba

Ahmad Dilema Penegakan Yaitu membahas Yaitu lebih pada

Redi Hukum tentang membahas tentang

(2016) Penambangan pelanggaran izin penindakan hukum

Mineral usaha pidana terhadap

Dan Batubara pertambangan pertambangan tanpa

Tanpa Izin Pada melalui izin (PETI)

Pertambangan penerapan yang menjadi dilema

Skala Kecil Undang-Undang bagi penegak hukum

Nomor 3 Tahun karena

2020 tentang terjadi benturan antara

pertambangan aspek normatif-yuridis

mineral dan dengan aspek

batubara sosiologis dan

filosofis, sedangkan

peneliti fokus pada

penerapan pasal 158


37

Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 2020

Tentang pertambangan

mineral dan batubara.


BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis Penelitian yang digunakan peneliti merupakan jenis penelitian

normatif yuridis. Menurut Jhony Ibrahim, penelitian hukum normatif adalah suatu

prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika

keilmuan hukum dari sisi normatifnya.24 Logika keilmuan hukum dalam penelitian

hukum normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan caracara kerja ilmu

hukum normatif. Pendapat ini diperkuat oleh Peter Mahmud yang menjelaskan

bahwa penelitian hukum merupakan suatu proses untuk menemukan aturan

hukum, doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.

B. Jenis Pendekatan

Jenis pendekatan yang relevan dengan ini ialah :

1. Pendekatan Undang-undang (Statute Approach), Pendekatan Undangundang ini

dilakukan dengan cara mendekati permasalahan yang diteliti dengan

menggunakan sifat hukum yang normatif. Pendekatan perundang-undangan akan

membuka kesempatan bagi peneliti untuk mempelajari adakah konsistensi dan

kesesuaian antara satu undangundang dengan undang-undang lain.25

2. Pendekatan Konseptual (Conseptual Approach) dilakukan karena belum atau tidak

ada pengaturan yang relevan atas masalah yang dihadapi. Pendekaran konseptual
24
Jhony Ibrahim “Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif” (Malang, Bayu Media 2006) hlm
47
25
Ibid,hlm 97
39

ini bersumber dari pandanganpandangan atau doktin-doktrin yang berkembang

di dalam ilmu hukum.43 Dengan kata lain, penulis memerlukan pandangan atau

doktrin yang relevan tentang akibat hukum dari lemahnya implementasi pasal

158 Undang-Undang No 3 tahun 2020 terhadap sanksi izin usaha pertambangan

di kabupaten Sampang.

3. Pendekatan Historis (Historical Approach)Pendekatan ini dilakukan untuk

memahami sejarah atau filosofi aturan hukum yang berkembang dalam

Implementasi pasal 158 Undang-Undang No. 3 Tahun 2020. Hingga memahami

dan menelaah latar belakang dan perkembangan pengaturan mengenai isu

hukum yang dihadapi. Sehingga penulis bisa meihat filosofi perkembangan dari

implementasi pasal 158 Undang-Undang No. 3 Tahun 2020.

C. Jenis Bahan Hukum

Bahan Hukum yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah bahan

hukum yang terdiri dari :

1. Bahan Hukum Primer

Bahan Hukum Primer adalah bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya

mempunyai otoritas dalam hal bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-

undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan peraturan

perundang-undangan dan putusanputusan hakim.26 Dengan demikian penulis

dalam menggunakan bahan hukum primer akan mengacu pada perundang-

undangan nasional Indonesia yang berlaku, antara lain :

26
Ibid, hlm 181
40

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

b. Undang Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral

dan Batubara.

c. Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi

Pemerintahan.

d. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah

sebagaimana telah diperbaharui menjadi UndangUndang Nomor 9 Tahun

2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 23 Taun

2014

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder merupakan penjelasan dari bahan hukum primer.

Bahan hukum sekunder terdiri dari dari buku-buku hukum tata negara, artikel

ilmiah, kasus-kasus hukum yang relevan dengan penelitian ini, serta peraturan

perundang-undangan pendukung

3. .Bahan Hukum Tersier berupa ensiklopedia, kamus, glosarium dan indeks.

D. Sumber Bahan Hukum


41

1. Sumber data yang bersifat utama dan penting yang kemungkinan untuk

mendapatkan sejumlah informasi yang diperlukan dan berkaitan dengan

penelitian. Yaitu data yang diperoleh dari undang-undang.

2. Sumber bahan hukum berupa undang-undang, karya ilmiah hukum, surat kabar

serta hasil penelitian.

E. Metode Pengumpulan Bahan Hukum

Metode pengumpulan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah

studi referensi (referensial study), dengan mengkaji dan mempelajari dengan cara

menyelusuri sumber-sumber keperpustakaan yang berkaitan dengan Perundang-

undangan, buku atau literatur serta buku-buku ilmiah, makalah, jurnal dan surat

kabar serta dokumen-dokumen tertulis lainnya yang terkait dengan permasalahan

dalam penelitian ini.

F. Analisis Bahan Hukum

Analisa bahan hukum adalah proses penyederhanaan bahan hukum kedalam

bentuk yang lebih mudah dibaca dan dipahami sehingga dalam penulisan ini

memberikan gambaran atas masalah yang diangkat atau dibahas sesuai dengan

rumusan masalah sebelumnya.

Proses analisa bahan hukum merupakan suatu proses untuk menemukan jawaban

atas pertanyaan dari pokok permasalahan. Agar diperoleh hasil analisa yang baik,

maka digunakan metode berpikir preskriptif yaitu suatu metode analisa yang

memberikan argumentasi pada hasil penelitian.


42
DAFTAR PUSTAKA

JURNAL ILMIAH

Ahmad redi “Dilema Penegakan Hukum Penambangan Mineral dan

Batubara pada Pertambangan Skala Kecil” Jurnal Rechts Vinding, Volum 5,

Nomor 3, Desember 2015,Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara

Putra Harleando, Sapto Hermawan “Pelaksanaan Izin Pertambangan

Rakyat di Sungai Progo” Jurnal Discretie: vol.1, No.2, July 2020, Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta

BUKU

Adrean Sutedi, 2011 ”Hukum pertambangan”, Jakarta: sinar grafika

Abdul Halim Barkatullah, 2017 “Buku ajar Hukum pertambangan”,

Bandung: Nusa media

Simon Felix Sembiring, 2009 “ Jalan Baru Untuk Tambang : Mengalirkan

Berkah Untuk Anak Bangsa”, Jakarta: PT Gramedia

Tri Hayati, 2015 “Era Baru Hukum Pertambangan Di Bawah Rezim

UNDANG-UNDANG No.4 Tahun 2009” Jakarta: Yayasan Pustaka Obor

Peter Mahmud, 2020 ”Teori Hukum”, Jakarta: Kencana

Fence M. Wantu, 2015 “Pengantar Ilmu Hukum”, Gorontolo: Reviva

Cendekia

Franky Butar Butar, 2022 “Pengantar Hukum Pertambangan Mineral

dan Batu Bara”, Surabaya: Airlangga University Press


44

Abrar Saleng, 2004 “Hukum Pertambangan”, Yogyakarta: UII Presss

Nandang Sudrajat, 2013 “Teori dan Praktik Pertambangan Indonesia”,

Yogyakart: Medpress Digital

Jhony Ibrahim, 2006 “Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif”,

Malang: Bayu Media

Anda mungkin juga menyukai