Anda di halaman 1dari 42

A.

Judul Proposal

PROSES PENYIDIKAN PENAMBANGAN PASIR TANPA IZIN

USAHA PERTAMBANGAN (IUP), IZIN PERTAMBANGAN RAKYAT

(IPR), ATAU IZIN USAHA PERTAMBANGAN KHUSUS (IUPK)

B. Latar Belakang Masalah

Indonesia sebagai negara konstitusional telah mengamanatkan dalam

Undang-Undang Dasar 1945 pada Pasal 33 ayat 3 bahwa “Bumi, air dan

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di kuasai oleh negara dan di

pergunakan untuk sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyat1, oleh sebab itu

pengelolaan atas kekayaan alam yang terkandung di dalamnya mampu di

berdayakan sebagaimana seharusnya untuk mewujudkan kemakmuran rakyat

dan memajukan kesejahteraan umum serta terciptanya suatu kebahagiaan

secara keberlanjutan berdasarkan kebijakan nasional yang terpadu dengan

memperhitungkan kebutuhan generasi sekarang dan generasi mendatang.

Dalam memenuhi kebutuhan hidup orang banyak, oleh karena itu

pengelolaannya harus di kuasai oleh negara untuk memberikan nilai tambah

terhadap perekonomian nasional secara nyata di antaranya pengelolaan di

bidang tambang.

Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi kekayaan dari bahan

galian tambang. Bahan tambang itu meliputi emas, perak, tembaga, minyak,

gas bumi, pasir, batu bara dan lain-lain. Hak penguasaan negara berisi tentang

wewenang untuk mengatur, mengurus dan msengawasi pengelolaan atau


1
Undang-Undang Dasar 1945, Bab XIV, Pasal 33.
2

pengusahaan bahan galian, serta berisi peraturan-peraturan maupun kewajiban

untuk mempergunakan sebaik-baiknya untuk kemakmuran rakyat.

Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam

rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batu bara yang

meliputi penyelidikan umum, eksploitasi, studi kelayakan, kontruksi,

penambangan, pengolahan dan pemurinian, pengangkutan dan penjualan serta

kegiatan pasca tambang.2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang

Pertambangan Mineral dan Batubara terdiri dari 175 Pasal XXVI bab IV

dimulai dari di undangkan pada tanggal 12 Januari 2009 di kemukakan pokok

pemikiran dan alasan yang menjadi pertimbangan mengapa undang-undang ini

dibuat. Pertama karena mineral dan batubara yang di jelaskan dalam hukum

pertambangan adalah kekayaan alam yang merupakan karunia dari Tuhan

Yang Maha Esa yang mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia,

kedua usaha pertambangan mineral dan batubara mampu meningkatkan

pertumbuhan ekonomi secara nasional serta terwujudnya pembangunan daerah

secara berkelanjutan. Yang ketiga dianggap bahwa UU No. 11 Tahun 1967

tentang ketentuan-ketentuan pokok pertambangan sudah tidak sesuai sehingga

di butuhkan perubahan terhadap peraturan perundang-undangan yang

mempertimbangkan perkembangan nasional dan internasional mengusahakan

potensi mineral dan batubara secara mandiri, transparan, berdaya saing,

efisien, dan berwawasan lingkungan 3.

2
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Pasal 1 Angka 1.
3
H. Salim, 2004, Hukum Pertambangan di Indonesia, Mataram, PT. Raja Grafindo Persada,
hal. 55.
3

Penambangan pasir tanpa izin usaha akan bertentangan dengan

pembangunan nasional yang disusun oleh pemerintah melalui Pasal 3 Undang-

Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Usaha Pertambangan Mineral dan

Batubara, di mana menurut pasal ini penambangan seharusnya turut

mendukung pembangunan nasional yang berkesinambungan dengan tujuan

pengelolaan mineral dan batubara adalah:

1. Menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian kegiatan usaha

pertambangan secara berdaya guna, berhasil guna, dan berdaya asing.

2. Menjamin manfaat pertambangan mineral dan batubara secara

berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup.

3. Menjamin tersedianya mineral dan batubara sebagai bahan baku dan/atau

sebagai sumber energi untuk kebutuhan dalam negeri.

4. Mendukung dan menumbuhkembangkan kemampuan nasional agar lebih

mampu bersaing di tingkat nasional, regional, dan internasional.

5. Meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, daerah, dan negara serta

menciptakan lapangan kerja untuk kesejahteraan rakyat.

6. Menjamin kepastian hukum dalam penyelenggaraan kegiatan usaha

peetambangan mineral dan batubara.

Kegiatan pertambangan tanpa izin merupakan salah satu kegiatan

yang dapat merusak lingkungan hidup. Sebagai akibat dari penambangan

ilegal juga dapat merugikan masyarakat yaitu adanya pencemaran kualitas

air dan tanah akibat dari aktifitas pertambangan, dan lain sebagainya.

Kegiatan pertambangan meruoakan kegiatan yang memerlukan hard


4

engineering (rekayasa keras) yang sangat berisiko merusak lingkungan.

Sehingga kegiatan penambangan seharusnya dilakukan secara arif dengan

mempertimbangkan kemampuan lingkungan, tidak berlebihan, dan tidak

merusak lingkungan karena setiap lingkungan memiliki keterbatasan.

Penelitian mengenai penambangan tanpa izin dititikberatkan dalam Pasal

158 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral

dan Batubara yang menyebutkan bahwa:

“Setiap orang yang melakukan usaha pertambangan tanpa IUP, IPR, atau

IUPK sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 40 ayat (3), Pasal

48, Pasal 67 ayat (1) atau ayat (5) dipidana dengan pidana denda paling lama

10 (sepuluh) tahun dengan denda paling banyak Rp.10.000.000.000,- (sepuluh

milyar rupiah) dan Pasal 109 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup berbunyi: “Setiap orang

yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), dipidana dengan pidana

penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda

paling sedikit Rp. 3.000.000.000,- (tiga milyar rupiah)”. Meskipun begitu,

pertanggungjawaban terhadap penambangan tanpa izin usaha ini merupakan

tanggung jawab bersama, baik pemerintahan, aparat penegak hukum maupun

masyarkat.

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka penulis tertarik untuk

mengkajinya dan menuangkan dalam suatu skripsi hukum yang berjudul


5

“PROSES PENYIDIKAN PENAMBANGAN PASIR TANPA IZIN

USAHA PERTAMBANGAN (IUP), IZIN PERTAMBANGAN RAKYAT

(IPR), ATAU IZIN USAHA PERTAMBANGAN KHUSUS (IUPK)”

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah

adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana proses penyidikan penambangan pasir tanpa Izin Usaha

Pertambangan (IUP), Izin Pertambangan Rakyat (IPR), atau Izin Usaha

Pertambangan Khusus (IUPK)?

2. Apa saja faktor-faktor pendukung dan penghambat dalam proses

penyidikan penambangan pasir tanpa Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin

Pertambangan Rakyat (IPR), atau Izin Usaha Pertambangan Khusus

(IUPK)?

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, adapun tujuan dari penelitian ini

adalah:

1. Untuk mengetahui proses penyidikan penambangan pasir tanpa Izin Usaha

Pertambangan (IUP), Izin Pertambangan Rakyat (IPR), atau Izin Usaha

Pertambangan Khusus (IUPK)

2. Untuk mengetahui faktor-faktor pendukung dan penghambat dalam proses

penyidikan penambangan pasir tanpa Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin


6

Pertambangan Rakyat (IPR), atau Izin Usaha Pertambangan Khusus

(IUPK)

E. Manfaat Penelitian

Beranjak dari perumusan masalah yang dikemukakan di atas ada beberapa

kegunaan yang di peroleh, yaitu:

1. Manfaat Teoritis, yaitu penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai

bahan/referensi dalam mengembangkan teori/konsep dan ilmu

pengetahuan khususnya di bidang ilmu pertambangan yang berkaitan

dengan Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Pertambangan Rakyat (IPR),

atau Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK)

2. Manfaat Praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

pengetahuan serta masukan kepada masyarakat untuk mengambil

kebijakan dalam melakukan kegiatan penambangan pasir.

F. Tinjauan Pustaka

1. Tinjauan Umum tentang Penyidikan

a. Pengertian Penyidikan

Pasal 1 butir (2) KUHAP disebutkan bahwa: “Penyidikan adalah

serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur

dalam Undang-Undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti

guna membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan

tersangkanya”.
7

Penyidikan dapat dilaksankan oleh penyidik apabila telah terjadi

suatu tindak pidana dan terhadap tindak pidana tersebut dapat

dilakukan penyidikan menurut yang diatur dalam KUHAP. Penyidik

adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai

negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-

Undang untuk melakukan penyidikan (Pasal 1 butir (1) KUHAP).

Untuk dapat menetukan suatu peristiwa yang telah terjadi adalah

termasuk suatu tindakan pidana, menrut kemampuan penyidik untuk

mengidentifikasi suatu peristiwa sebagai tindak pidana berdasarkan

pada pengetahuan hukum pidana.

Pengetahuan dan pengertian penyidikan perlu ditanyakan dengan

pasti dan jelas, karena hal itu langsung menyinggung dan membatasi

hak-hak asasi manusia. Bagian-bagian hukum acara pidana yang

menyangkut penyidikan adalah sebagai berikut:

a. Ketentuan tentang alat-alat penyidik.

b. Ketentuan tentang diketahui terjadinya delik.

c. Pemeriksaan di tempat kejadian.

d. Pemanggilan tersangka atau terdakwa.

e. Penahanan sementara.

f. Penggeledahan.

g. Pemeriksaan atau interograsi.

h. Berita acara (penggeledahan, interograsi, dan pemeriksaan di

tempat).
8

i. Penyitaan.

j. Penyimpangan perkara.

k. Pelimpahan perkara kepada penuntut umum dan pengembaliannya

kepada penyidik untuk disempurnakan.4

Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a

karena kewajiban mempunyai wewenang:

a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya

tindak pidana.

b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian.

c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda

pengenal diri tersangka.

d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan

penyitaan.

e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat.

f. Mengambil sidik jari dan memotret seorang.

g. Memanggil orang untuk di dengar dan di periksa sebagai tersangka

atau saksi.

h. Mendatangkan seorang ahli yang diperlukan dalam hubungannya

dengan pemeriksaan perkara.

i. Mengadakan penghentian penyidikan.

j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung

jawab.
4
Andi Hamzah, 2016, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, hal. 120.
9

Penyidikan memiliki pengertian secara kewajiban dan

kewenangannya diantara lain:

a. Berdasarkan KUHAP

Pada Pasal 6 ayat (1) tercantum penyidik adalah:

1) Pejabat polisi negara Republik Indonesia.

2) Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang

khusus oleh Undang-Undang.

Selanjutnya oleh Pasal 6 ayat (2) KUHAP dicantumkan bahwa

syarat-syarat untuk menjadi “penyidik” diatur dalam Peraturan

Pemerintah (PP). atas kuasa Pasal 6 ayat (2) maka telah diterbitkan

PP Nomor 27 Tahun 1983, yang berdasarkan Pasal 2 dan Pasal 3,

dapat disimpulkan bahwa “penyidik” adalah:

1) Pejabat Polisi Negara RI yang sekurang-kurangnya berpangkat

Pembantu Letnan Dua (Pelda Pol), ditunjuk oleh Kepala

Kepolisian RI.

2) Komandan Sektor, karena jabatannya adalah Penyidik/Pelda

Pol tidak ada, untuk melaksanakan “penyidikan” atas usul

Komandan/Pimpinannya, kepala kepolisian RI mengangkat

“Penyidik Pembantu” dengan syarat-syarat:

a) Pejabat Kepolisian Negara RI tertentu yang sekurang-

kurangnya berpangkat Sersan Dua Polisi.


10

b) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang sekurang-

kurangnya berpangkat Pengatur Muda (Golongan II/a).

3) Pejabat Pegawai Negeri tertentu, yang sekurang-kurangnya

berpangkat Pengatur Muda tingkat I (Golongan/b) atas usul

dari departemen yang bersangkutan, diangkat Menteri

Kehakiman setelah mendengar pertimbangan Jaksa Agung dan

Kepala Kepolisian Negera RI.

b. Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan:

Pasal 1 butir 1 KUHAP memuat:

“Penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau

Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang

khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan”.

“Ketentuan Khusus Acara Pidana” telah dijelaskan pada

penjelasan resmi dalam Pasal 284 ayat (2) KUHAP. Hal ini

diperjelas lagi oleh PP Nomor 27 Tahun 1983 Pasal 17, yang

mengatur sebagai berikut:

“Penyidik menurut Ketentuan Khusus Acara Pidana sebagaimana

tersebut pada Undang-Undang tertentu sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 284 ayat (2) KUHAP dilaksanakan oleh Penyidik,

Jaksa dan Pejabat Penyidik yang berwenang lainnya berdasarkan

peraturan Perundang-udangan”.

R. Soesilo juga mengemukakan pengertian penyidikan ditinjau

dari sudut kata sebagai berikut: “Penyidikan berasal dari kata


11

“sidik” yang berarti “terang”, jadi penyidikan mempunyai arti

membuat terang atau jelas. “Sidik” berarti juga “bekas”, sehingga

penyidik berarti mencari bekas-bekas, dalam hal ini bekas-bekas

kejahatan, yang berarti setelah bekas-bekas yang ditemukan dan

terkumpul, kejahatan menjadi terang. Bertolak dari kedua kata

“terang” dan “bekas” dari arti kata sidik tersebut, maka penyidikan

mempunyai pengertian “membuat terang suatu kejahatan”.

Kadang-kadang dipergunakan pula istilah “pengusutan” yang

dianggap mempunyai maksud sama dengan penyidikan dan dalam

bahsaa Belanda penyidikan dikenal dengan istilah “Opsporing”

dan dalam bahasa Inggris disebut “Investigation”.

Penyidikan atau biasa disebut pengusutan dalam bahasa

Belanda disebut dengan “Opsporing” adalah merupakan persiapan

perlengkapan untuk melakukan suatu penuntutan (Verpolging)

dengan kata lain merupakan dasar untuk melaksanakan penuntutan,

oleh karena itu tidak dapat dilakukan penuntutan sebelum

dilakukan penyidikan atau pengusutan itu. Perbuatan menyidik

atau mengusut adalah merupakan usaha dan tindakan untuk

mencari dan menemukan kebenaran tentang apakah betul terjadi

suatu tindak pidana, siapa yang melakukan perbuatan itu. Suatu

penyidikan atau pengusutan diakhiri dengan suatu kesimpulan

bahwa atas perkara tersebuat akan diadakan penuntutan atau tidak5.

5
K. Wantjik Saleh, 1997, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Ghalia Indonesia, hal. 48-49.
12

Penyidikan adalah suatu tindak lanjut dari kegiatan

penyelidikan dengan adanya persyaratan dan pembatasan yang

ketat dan penggunaan upaya paksa setelah pengumpulan bukti

permulaan yang cukup guna membuat terang suatu peristiwa yang

patut diduga merupakan tindak pidana6.

Dari kesimpulan diatas dapat disimpulkan bahwa penyidikan

merupakan suatu proses atau langkah awal yang merupakan suatu

proses penyelesaian suatu tindak pidana yang perlu diselidik dan

diusut secara tuntas di dalam sistem peradilan pidana, dari

pengertian tersebut, maka bagian-bagian dari hukum acara pidana

yang menyangkut tentang penyidikan adalah ketentuan tentang

alat-alat bukti, ketentuan tentang terjadi delik, pemeriksaan di

tempat kejadian, pemanggilan tersangka atau terdakwa, penahanan

sementara, penggeledahan, pemeriksaan dan introgasi, berita acara,

penyitaan, penyempingan perkara, pelimpahan perkara kepada

penuntut umum dan pengembalian kepada penyidikan untuk

disempurnakan.

Adapun kegiatan penyidikan adalah sebagai berikut:

1. Penyidikan berdasarkan informasi atau laporan yang diterima

maupun yang di ketahui langsung oleh penyidik, laporan polisi,

berita acara pemeriksaan tersangka, dan berita acara

pemeriksaan saksi.

6
Ali Wisnubroto, 2002, Praktek Peradilan Pidana (Proses Persidangan Perkara Pidana),
Jakarta, PT Galaxy Puspa Mega, hal. 16.
13

2. Penindakan adalah setiap tindakan hukum yang dilakukan oleh

penyidik/penyidik pembantu terhadap orang maupun barang

yang ada hubungannya dengan tindak pidana yang terjadi.

Penindakan hukum tersebut berupa pemanggilan tersangka dan

saksi, penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan.

3. Pemeriksaan adalah merupakan kegiatan untuk mendapatkan

keterangan, kejelasan dan keidentikan tersangka dan atau saksi

dan atau barang bukti ataupun unsur-unsur tindak pidana yang

terjadi sehingga kedudukan dan peranan seseorang maupun

barang bukti didalam tindak pidana menjadi jelas dan

dituangkan dalam berita acara pemeriksaan yang berwenang

melakukan pemeriksaan adalah penyidik dan penyidik

pembantu.

4. Penyelesaian dan penyerahan berkas perkara, merupakan

kegiatan akhir dari proses penyidikan tindak pidana yang

dilakukan oleh penyidik dan penyidik pembantu7.

Dalam melaksanakan fungsi tersebut harus memperhatikan

asas-asas yang menyangkut hak-hak manusia, antara lain:

1. Asas praduga tak bersalah yaitu setiap orang disangka,

ditangkap, ditahan, dituntut dan atau diadili sidang pengadilan

wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan

7
M. Husein Harun, 1991, Penyidik dan Penuntut Dalam Proses Pidana, Jakarta, PT. Rineka
Cipta, hal. 89.
14

pengadilan yang menyatakan kesalahan berdasarkan keputusan

hakim yang mempunyai kekuasaan hukum tetap.

2. Persamaan dimuka hukum yaitu perlakuan yang sama atas

setiap orang dimuka hukum dengan tidak mengadakan

perbedaan.

3. Hak memberi bantuan atau penasehat hukum yaitu setiap orang

yang tersangkut perkara tindak pidana wajib diberikan

kesempatan memperoleh bantuan hukum yang semata-mata

untuk melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya, sejak

saat dilakukan penangkapan dan penahanan sebelum

dimulainya pemeriksaan kepada tersangka wajib diberitahukan

tentang apa yang disangkakan kepadanya dan haknya untuk

mendapatkan bantuan hukum atau perkara wajib didampingi

penasehat hukum.

4. Peradilan harus dilakukan dengan cepat, sederhana, terbuka,

jujur, dan tidak memihak.

5. Penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan hanya

dilakukan berdasarkan perintah tertulis dari pejabat yang diberi

wewenang oleh Undang-undang dan hanya dalam cara yang

ditentukan oleh Undang-undang.

6. Tersangka yang telah ditangkap berhak untuk mendapatkan

pemeriksaan dengan memberikan keterangan secara bebas dan

selanjutnya untuk segera diajukan ke penuntut umum.


15

7. Seseorang yang ditangkap, ditahan, dituntut, dan diadili

disidang pengadilan tanpa alasan berdasarkan undang-undang

atau kekeliruan mengenai orangnya atau hukumnya dan wajib

diberi ganti kerugian atau rehabilitasi8.

Sedangkan penyelidik adalah serangkaian tindakan penyelidik

untuk mencari dan menemukan peristiwa yang diduga sebagai tindak

pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan

menurut cara yang diatur dalam undang-undang9.

Penyelidikan dilakukan sebelum penyidikan, penyelidikan

berfungsi untuk mengetahui dan menentukan peristiwa apa yang

sesungguhnya telah terjadi dan bertugas membuat berita acara serta

laporannya yang nantinya merupakan dasar permulaan penyidikan.

b. Kewenangan Penyidik Dalam Penyidikan

Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b

KUHAP mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang

menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan

tugasnya berada dibawah koordinasi dan pengawasan penyidik

tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a KUHAP. Dalam melaksanakan

tugasnya, penyidik wajib mejunjung tinggi hukum yang berlaku.

Penyidik sebagaimana dimaksud dalam dalam Pasal 6 ayat (1)

huruf a KUHAP mempunyai wewenang dalam melakukan tugas

masing-masing pada umumnya di seluruh wilayah Indonesia,

8
Marpaung, 1992, Proses Penegakan Perkara Pidana, Jakarta, Sinar Grafika, hal. 43.
9
Anshorie Hasibuan, SH, 19990, Hukum Acara Pidana, Bandung, Angkasa, hal. 76.
16

khususnya di daerah hukum masing-masing dimana ia diangkat sesuai

dengan ketentuan undang-undang.

Dalam Pasal 1 butir ke-1 KUHAP disebutkan penyidik adalah

“Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri

sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk

melakukan penyidikan. KUHAP lebih jauh lagi mengatur tentang

penyidik dalam Pasal 6, yang memberikan batasan pejabat penyidik

dalam proses pidana. Adapun batasan pejabat dalam tahap penyidikan

tersebut adalah penyidik POLRI dan Pejabat Penyidik negeri sipil.

Kewenangan dalam melakukan penyidikan dicantumkan dalam

Pasal 6 KUHAP, namun pada praktiknya, sekarang ini terhadap

beberapa tindak pidana tertentu ada penyidik-penyidik yang tidak

disebutkan di dalam KUHAP, oleh karena itu adapun tugas penyidik

antara lain:

1. Membuat berita acara tentang pelaksanaan tindakan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 75 KUHAP. (Pasal 8 ayat (1) KUHAP)

2. Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum. (Pasal 8 ayat

(2) KUHAP)

3. Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan

tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan

tindak pidana wajib segera melakukan penyidikan yang diperlukan.

(Pasal 106 KUHAP)


17

4. Menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti

kepada penuntut umum. (Pasal 8 ayat (3) KUHAP)

5. Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu

peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik

memberitahukan hal tersebut kepada penuntut umum. (Pasal 109

ayat (1) KUHAP)

6. Wajib menyerahkan berkas perkara penyidikan kepada penutut

umum, jika penyidikan dianggap telah selesai. (Pasal 110 ayat (1)

KUHAP)

7. Dalam hal penuntut umum mengembalikan hasil penyidikan untuk

dilengkapi, penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan

sesuai dengan petunjuk dari penuntut umum. (Pasal 110 ayat (3)

KUHAP)

8. Setelah menerima penyerahan tersangka, penyidik wajib

melakukan pemeriksaan dan tindakan lain dalam rangka

penyidikan. (Pasal 112 ayat (2) KUHAP)

9. Sebelum dimulainyan pemeriksaan, penyidik wajib

memberitahukan kepada orang yang disangka melakukan suatu

tindak pidana, tentang haknya untuk mendapatkan bantuan hukum

atau bahwa ia dalam perkaranya itu wajib didampingi oleh

penasehat hukum. (Pasal 114 KUHAP)

10. Wajib memanggil dan memeriksa saksi yang menguntungkan bagi

tersangka. (Pasal 116 ayat (4) KUHAP)


18

11. Wajib mencatat dalam berita acara sesuai dengan kata yang

dipergunakan oleh tersangka. (Pasal 117 ayat (2) KUHAP)

12. Wajib menandatangani berita acara pemeriksaan tersangka atau

saksi, setelah mereka menyetujui isinya. (Pasal 118 ayat (2)

KUHAP)

13. Tersangka ditahan dalam waktu satu hari setelah perintah

penahanan dijalankan, penyidik harus mulai melakukan

pemeriksaan. (Pasal 122 KUHAP)

14. Dalam rangka melakukan penggeledahan rumah, wajib terlebih

dahulu menujukkan tanda pengenal kepada tersangka atau

keluarganya. (Pasal 125 KUHAP)

15. Membuat berita acara tentang jalannya dan hasil penggeledahan

rumah. (Pasal 126 ayat (1) KUHAP)

16. Penyidik membacakan terlebih dahulu berita acara tentang

penggeledahan rumah kepada yang bersangkutan kemudian diberi

tanggal dan ditandatangi oleh penyidik maupun tersangka atau

keluarga tersangka dan atau kepala desa atau ketua lingkungan

dengan dua orang saksi. (Pasal 126 ayat (2) KUHAP)

17. Wajib menunjukkan tanda pengenal terlebih dahulu dalam hal

melakukan penyitaan. (Pasal 128 KUHAP)

18. Memperlihatkan benda yang akan disita kepada keluarganya dan

dapat diminta keterangan tentang benda yang akan disita itu


19

dengan disaksikan oleh kepala desa atau ketua lingkungan dengan

dua orang saksi. (Pasal 129 ayat (1) KUHAP)

19. Penyidik membuat berita acara penyitaan. (Pasal 129 ayat (2)

KUHAP)

20. Menyampaikan turunan berita acara penyitaan kepada atasannya,

keluarganya dan kepala desa. (Pasal 129 ayat (4) KUHAP)

21. Menandatangani benda sitaan sesaat setelah dibungkus. (Pasal 130

ayat (1) KUHAP)

Sedangkan kewenangan dari penyidik adalah:

1. Sesuai dengan Pasal 7 ayat (1) KUHAP, penyidik berwenang:

a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang

adanya tindak pidana.

b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian.

c. Menyuruh berenti seorang tersangka dan memeriksa tanda

pengenal diri tersangka.

d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan

penyitaan.

e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat.

f. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang.

g. Memanggil orang untuk diperiksa sebagai tersangka atau saksi.

h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya

dengan pemeriksaan perkara.


20

i. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang

bertanngungjawab.

2. Dalam hal yang dianggap perlu dapat meminta pendapat seorang

ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus.

3. Penyidik dapat mengabulkan permintaan tersangka, keluarga, atau

penasehat hukum tersangkat atas penahanan tersangka.

4. Penyidik dapat mengadakan penjagaan atau penutupan tempat atau

rumah yang digeledahi demi keamanan dan ketertiban.

Dalam melaksanakan tugasnya tersebut penyidik wajib

menjunjung tinggi hukum yang berlaku, untuk itu penyidik membuat

berita acara pelaksanaan tindakan (Pasal 75 KUHAP) tentang:10

1. Pemeriksaan tersangka.

2. Penangkapan.

3. Penahanan.

4. Penggeledahan.

5. Pemasukan rumah.

6. Penyitaan benda.

7. Pemeriksaan surat.

8. Pemeriksaan saksi.

9. Pemeriksaan tempat kejadian.

10. Pelaksanaan penetapan dan putusan pengadilan.

11. Pelaksanaan tindakan lain sesuai KUHAP.


10
Darwan Prinst, 2000, Hukum Acara PIdana Suatu Pengantar, Jakarta, Djambatan, hal. 92-
93.
21

2. Tinjauan Umum tentang Penambangan Pasir Tanpa Izin Usaha

Pertambangan (IUP)

a. Pengertian Penambangan

Dalam peraturan pemerintahan yang dimaksud dengan

penambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam

rangka penelitian, pengelolaan, dan pemurnian pengangkutan dan

penjualan, serta kegiatan pasca tambang.11

Menurut Sukandarrumidi usaha pertambangan adalah semia usaha

yang dilakukan oleh seseorang atau badan hukum untuk mengambil

bahan galian dengan tujuan untuk dimanfaatkan lebih lanjut bagi

kepentingan manusia. Sedangkan kegiatan penambangan adalah

serangkaian kegiatan dari mencari dan mempelajari kelayakan sampai

dengan pemanfaatan mineral, baik untuk kepentingan perusahaan,

masyarakat sekitar, maupun pemerintah (daerah dan pusat)12.

Di dalam Undang-Undang pokok penambangan usaha-usaha

pertambangan dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Usaha pertambangan penyelidikan umum adalah penyelidikan

geologi ataupun geofisika secara umum, baik di daratan, perairan

maupun dari udara dengan maksud untuk memuat peta geologi

umum dalam usaha untuk menetapkan tanda-tanda adanya bahan

galian.

11
Tim Redaksi Pustaka Yustisia, Kumpulan Peraturan Pemerintahan Tahun 2010 tentang
Pertambangan, Yogyakarta, Pustaka Yustisia, hal. 2.
12
Sukandarrumidi, Bahan-Bahan Galian Industri, Yogyakarta, Gajah Mada University Press,
hal. 38.
22

2. Usaha pertambangan eksploirasi adalah segala usaha penyelidikan

geologi pertambangan untuk menetapkan lebih teliti atau lebih

seksama adanya sifat dan letak bahan galian.

3. Usaha pertambangan ekploitasi adalah usaha pertambangan dengan

maksud untuk menghasilkan bahan galian dan pemanfaatannnya.

4. Usaha pertambangan pengolahan dan pemurnian adalah pengerjaan

untuk mempertinggi mutu bahan galian serta untuk

memanfaatkannya serta memperoleh unsur-unsur yang terdapat

dalam bahan galian tersebut.

5. Usaha pertambangan pengangkutan adalah segala usaha

pemindahan bahan galian dari dari daerah ekplorasi, ekploitasi atau

dari tempat pengolahan atau pemurnian ketempat lain.

6. Usaha pertambangan penjualan adalah segala usaha penjualan dari

hasil pengolahan ataupun pemurnian bahan galian13.

b. Penambangan Pasir Tanpa Izin Usaha

Pertambangan tanpa izin dikenal dengan istilah Ilegal Mining.

Secara terminologi istilah Ilegal Mining terdiri dari 2 kata, Ilegal yang

artinya tidak sah, dilarang atau bertentangan dengan hukum. Mining,

yang artinya penggalian bagian dari tanah yang mengandung logam

berharga didalam tanah atau bebatuan14.

Penambangan pasir tanpa izin adalah penambangan yang

dilakukan tanpa memiliki izin untuk melakukan penambangan sesuai

13
Sukandarrumi, Lot.Cit.
14
Salim, 2015, Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara, Jakarta, Rajawali Press, hal. 22.
23

dengan Undang-Undang Mineral dan Batubara, Peraturan

Pemerintahan, Peraturan Daerah. Penambangan pasir dikatakan tanpa

izin karena penambangan yang dilakukan melanggar ketentuan yang

tercantum dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang

Mineral dan Batubara.

Secara garis besar penambangan pasir tanpa izin usaha atau Ilegal

Mining adalah kejahatan dalam usaha pertambangan yang dilakukan

oleh perseorangan, sekelompok orang atau perusahaan berbadan

hukum yang dalam operasinya tidak memiliki izin dari instansi

pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku, yang ancaman sanksi pidana bagi barang siapa yang karena

kesalahannya melanggar peraturan tersebut.

c. Izin Usaha Pertambangan (IUP)

Berdasarkan Pasal 1 ayat (7) UU No. 4 Tahun 2009 tentang

Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), Izin Usaha

Pertambangan (IUP) adalah izin usaha yang diberikan untuk usaha

pertambangan yang berupa wewenang yang diberikan oleh pemerintah

dalam pengolahan pertambangan mineral dan batubara, untuk

memberikan IUP. Pada Pasal 6 Peraturan Pemerintahan Nomor 23

Tahun 2010 tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral

dan batubara (PP 23/2010) mengatur bahwa IUP diberikan oleh

menteri, gebernur, atau Bupati/Walikota sesuai dengan

kewenangannya, IUP diberikan kepada:


24

1. Badan Usaha, yang dapat berupa Badan Usaha Swasta, Badan

Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah.

2. Koperasi.

3. Perseorangan, yang dapat berupa perseorangan yang merupakan

warga Negara Indonesia, perusahaan firma atau perusahaan

komanditer.

Dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan

Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara Izin Usaha

Pertambangan diberikan melalui tahapan yaitu:

a. Pemberian WIUP

1) WIUP radioaktif yang diperoleh dengan cara lelang.

2) WIUP mineral logam yang diperoleh dengan cara lelang.

3) WIUP batubara yang diperoleh dengan cara lelang.

4) WIUP mineral bukan logam yang diperoleh dengan cara

mengajukan permohonan wilayah.

5) WIUP batuan yang diperoleh dengan cara mengajukan

permohonan wilayah.

Pemberian IUP akan dilakukan setelah diperoleh WIUP (Wilayah

Izin Usaha Pertambangan), dalam satu WIUP dimungkinkan untuk

diberikan satu IUP maupun beberapa IUP. Dalam Pasal 36 UU

Minerba, IUP dibagi menjadi dua tahap, yaitu:


25

1. IUP Eksploirasi, yang meliputi kegiatan penyelidikan umum,

eksploirasi, dan studi kelayakan.

2. IUP Operasi produksi, yang meliputi kegiatan konstruksi,

penambangan, pengolahan dan pemurnian serta pengangkutan dan

penjualan.

Dalam Pasal 39 UU Minerba mengatur bahwa IUP eksplorasi

wajib memuat ketentuan sekurang-kurangnya:

1. Nama perusahaan.

2. Lokasi dan luas wilayah.

3. Rencana umum dan tata ruang.

4. Jaminan kesungguhan.

5. Modal investasi

6. Perpanjangan waktu tahap kegiatan.

7. Hak dan kewajiban pemegang IUP.

8. Jangka waktu berlakunya tahap kegiatan.

9. Jenis usaha yang diberikan.

10. Rencana pengembangan dan pemberdayaan masyarakat disekitar

wilayah pertambangan.

11. Perpajakan.

12. Penyelesaian perselisihan.

13. Iuran tetap dan iuran eksploirasi.

14. Amdal.
26

Sedangkan untuk IUP operasi produksi wajib memuat ketentuan

sekurang-kurangnya:15

1. Nama perusahaan.

2. Luas wilayah.

3. Lokasi penambangan.

4. Lokasi pengolahan dan pemurnian.

5. Pengangkutan dan penjualan.

6. Modal investasi.

7. Jangka waktu berlakunya IUP.

8. Jangka waktu tahap kegiatan.

9. Penyelesaian masalah pertanahan.

10. Lingkungan hidup termasuk reklamasi dan pasca tambang.

11. Dana jaminan reklamasi dan pasca tambang.

12. Perpanjangan IUP.

13. Hak dan kewajiban pemegang IUP.

14. Rencana pengembangan dan pemberdayaan masyarakat di sekitar

wilayah pertambangan.

15. Perpajakan.

16. Penerimaan negara bukan pajak yang terdiri atas iuran tetap dan

iuran produksi.

17. Penyelesaian perselisihan.

18. Keselamatan dan kesehatan kerja.

15
Http://www.hukumpertambangan.com, Johan Kurnia, Izin Usaha Pertambangan, diakses
pada tanggal 22 November 2013.
27

19. Konversi mineral dan batubara.

20. Pemanfaatan barang, jasa dan teknologi dalam negeri.

21. Penerapan kaidah perekonomian dan keteknikan penambangan

yang baik.

22. Pengembangan tenaga kerja Indonesia.

23. Pengolahan data mineral atau batubara

24. Penguasaan, pengembangan dan penerapan teknologi

pengembangan mineral dan batubara.

3. Tinjauan Umum tentang Izin Pertambangan Rakyat (IPR)

Pengertian Izin Pertambangan Rakyat terdapat dalam Pasal 2 ayat (3)

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2001 tentang

perubahan kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 1969

tentang pelaksanaan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang

ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan Pasal 2 ayat (3) berbunyi:

“Surat keputusan Izin Pertambangan Rakyat adalah kuasa pertambangan

yang diberikan oleh Bupati/Walikota kepada rakyat setempat untuk

melaksanakan usaha pertambangan secara kecil-kecilan dan dengan luas

wilayah yang sangat terbatas yang meliputi tahapan kegiatan penyelidikan

umum, ekspitasi, ekspplorasi, pengolahan dan pemurnian serta

pengangkutan dan penjualan”16.

Pengertian izin pertambangan rakyat dirumuskan dalam Pasal 1 angka

10 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral

16
Undang-Undang, Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertanbangan, Nomor 11 Tahun
1967.
28

dan Batubara. Izin pertambangan rakyat merupakan izin untuk

melaksanakan usaha pertambangan dalam wilayah pertambangan rakyat

dengan luas wilayah dan investasi terbatas. Unsur-unsurnya meliputi:

a. Adanya izin.

b. Adanya usaha pertambangan.

c. Wilayahnya pada pertambangan rakyat.

d. Luas wilayah terbatas.

e. Investasi terbatas.

Izin merupakan pernyataan yang mengabulkan atau persetujuan yang

membolehkan penduduk setempat untuk melakukan kegiatan

pertambangan. Usaha pertambangan merupakan kegiatan dalam rangka

pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi tahapan penyelidikan

umum, eksploitasi studi kelayakan kontruksi, penambangan, pengolahan

dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan serta pascatambang17.

Kegiatan pertambangan rakyat harus mendapatkan penanganan serius

secara sistematis dan dikoordinir dalam suatu program kegiatan yang

dilaksanakan dengan tujuan memberikan pelatihan maupun bimbingan

kepada para pekerja tambang rakyat melalui model pertambangan dalam

skala kecil. Pertambangan rakyat juga membutuhkan konsep pengelolaan

dan penataan kawasan pertambangan yang diharapkan dapat

mengantisipasi perkembangan industri. Pertambangan rakyat tersebut

diharapkan bahwa potensi bahan galian dapat dilakukan secara efektif

17
Salim, 2012, Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara, Jakarta, Sinar Grafika, hal. 75.
29

apabila dikelola dengan cara pertambangan rakyat dan pertambangan

rakyat nantinya diharapkan dapat meningkatkan pendapatan daerah dengan

tetap memperhatikan kelestarian lingkungan alam.

Pelakasanaan kegiatan pertambangan dilakukan pada wilayah yang

terbatas, yaitu pada suatu Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) yang

ditetapkan oleh pejabat untuk dibolehkannya melakukan kegiatan

pertambangan. Penetapan suatu wilayah untuk dijadikan sebagai wilayah

pertambangan rakyat ditetapkan oleh Bupati/Walikota dengan cara

menyusun rencana penetapan suatu wilayah yang awalnya merupakan

Wilayah Pertambangan (WP) menjadi Wilayah Pertambangan Rakyat

(WPR).

Perencanaan penetapan wilayah pertambangan rakyat tersebut ditinjau

berdasarkan peta potensi maupun cadangan mineral dan batubara.

Bupati/Walikota melakukan koordinasi terlebih dahulu dengan pemerintah

provinsi dan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

(DPRD) kabupaten/kota setempat sebelum menetapkan WP menjadi WPR,

kemudian hasil dari penetapan tersebut disampaikan kepada menteri dan

gubernur.

Wilayah pertambangan rakyat ditetapkan oleh Bupati/Walikota

dengan sebelumnya telah melakukan konsultasi dengan DPRD

Kabupaten/Kota sesuai dengan perencanaan wilayah atau rencana tata

ruang wilayah. Perencanaan tata ruang wilayah ini memiliki tujuan untuk
30

menciptakan kehidupan yang efisien, nyaman, dan lestari. Penetepan

wilayah haruslah efektif dan selaras dalam berbagai kepentingan.

Dalam menetapkan suatu wilayah pertambangan rakyat,

bupati/walikota harus melakukan pengukuran tentang rencana wilayah

pertambangan rakyat kepada masyarakat sekitar secara terbuka. Wilayah

tambang rakyat yang sudah dikerjakan namun belum ditetapkan sebagai

wilayah pertambangan rakyat diprioritaskan untuk kemudian ditetapkan

sebagai wilayah pertambangan rakyat. Adapun kriteria yang menjadi

wilayah pertambangan rakyat adalah:

1. Memiliki cadangan mineral sekunder yang berada di sungai dan/atau

di pinggiran sungai.

2. Mempunyai cadangan primer logam dan batubara dengan letak

sedalam maksimal 25 (dua puluh lima) meter.

3. Adanya endapan teras, daratan banjir, dan endapan sungai purba.

4. Luas wilayah pertambangan rakyat tidak boleh lebih dari 25 (dua

puluh lima) meter.

5. Menyatakan jenis bahan tambang yang akan ditambang.

6. Termasuk wilayah yang pernah dilakukan kegiatan pertambangan

rakyat yang sudah dikerjakan minimal 15 (lima belas) tahun.

a. Tidak diindikasikan adanya tumpang tindih dengan Wilayah

Usaha Pertambangan dan Wilayah Pencadangan Negara.

7. Termasuk wilayah yang diperuntukkan sebagai wilayah pertambangan

sesuai dengan rencana tata ruang.


31

Semenjak berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang

Pertambangan Mineral dan Batubara, pemerintah menetapkan cara baru

dalam menata perizinan pertambangan dengan menetapkan suatu wilayah

pertambangan. Penetapan wilayah pertambangan ditetapkan melalui

Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral dengan

mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral dari tahun ketahun

cukup fluktuatif, dimana banyak keputusan yang saling memperbarui

keputusan sebelumnya dan bahkan ada keputasan yang mengganti

keputusan yang sebelumnya mengenai suatu wilayah pertambangan. Hal

tersebut disebabkan karena pemetaan potensi mineral dan batubara di

Indonesia terus mengalami perubahan dikarenakan adanya pihak-pihak

tertentu yang merusak lingkungan hidup dan menyebabkan tidak

produktifnya suatu wilayah pertambangan sehingga tidak memungkinkan

untuk dilakukannya kegiatan pertambangan di wilayah tersebut.

Dalam pelaksanaan kegiatan pertambangan rakyat banyak ditemukan

kejanggalan dimana dalam pelaksanaannya banyak disalahgunakan oleh

pihak-pihak tertentu yang mencoba mencari keuntungan tersendiri.

Padahal tujuan dari pertambangan rakyat itu sendiri adalah untuk

memudahkan masyarakat sekitar dalam mencari nafkah melalui kegiatan

pertambangan rakyat, dengan modus mengatasnamakan pertambangan

rakyat bermunculan para pihak yang mempunyai uang serta kuasa untuk

menjadi penadah dalam hasil pertambangan rakyat tersebut.


32

4. Tinjauan Umum tentang Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK)

Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) adalah izin yang diberikan

oleh menteri dengan memperhatikan kepentingan daerah untuk satu jenis

mineral logam atau batubara dalam WIUPK18. Wilayah izin usaha

pertambangan khusus (WIUPK) merupakan wilayah yang memiliki

potensi, data, ketersediaan dan informasi geologi berupa mineral dan/atau

yang dapat diusahakan guna kepentingan startegis nasional.

IUPK dapat diberikan kepada badan usaha yang berbadan hukum baik

BUMN, BUMD maupun badan usaha swasta. Badan usaha milik negara

dan daerah mendapat prioritas dalam mendapatkan IUPK sedangkan badan

usaha swasta untuk mendapatkan IUPK dilaksanakan dengan cara lelang

WIUPK (wilayah izin usaha pertambangan khusus) dengan

mempertimbangkan luas WIUPK yang akan dilelang, kemampuan

administratif/manajemen, kemampuan teknis dan pengelolaan lingkungan

dan kemampuan finansial19. Sama hal nya dengan Izin Usaha

Pertambangan (IUP), Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) terdiri atas

2 (dua) tahap, yaitu:

1. IUPK Eksplorasi yang terdiri dari kegiatan penyelidikan, eksplorasi,

dan studi kelayakan.

18
Pasal 74 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 Jo Undang-Undang Nomor
4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
19
Pasal 75 ayat (2), (3), (4) dan (5) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 Jo Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
33

2. IUPK Operasi Produksi terdiri dari kegiatan kontruksi, penambangan,

pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan20.

Pasal 64 PP pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan minerba

mengatur bahwa untuk memperoleh IUPK Eksplorasi dan IUPK Operasi

Produksi harus memenuhi syarat:

1. Persyaratan administrasi.

Untuk IUPK Eksplorasi dan IUPK Operasi Produksi mineral

logam dan batubara yang diajukan BUMN atau BUMD yang diberikan

berdasarkan prioritas:

a. Surat permohonan.

b. Profil badan usaha.

c. Akta pendirian badan usaha bergerak di bidang usaha

pertambangan yang telah disahkan oleh pejabat yang berwenang.

d. Nomor pokok wajib pajak.

e. Susunan direksi dan daftar pemegang saham.

f. Surat keterangan domisili

Sedangkan untuk IUPK Eksplorasi dan IUPK Operasi Produksi

mineral logam dan batubara bagi pemegang lelang WIUPK:

a. Surat permohonan.

b. Susunan direksi dan daftar pemegang saham.

c. Surat keterangan domisili.

20
Pasal 76 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 Jo Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
34

2. Persyaratan teknis, meliputi:

a. Pengalaman BUMN, BUMD, atau badan usaha swasta bidang

pertambangan mineral atau batubara paling sedikit paling sedikit 3

(tiga) tahun.

b. Mempunyai paling sedikit 1 (satu) orang tenaga ahli dalam

pertambangan dan/atau geologi yang berpengalaman paling sedikit

3 (tiga) tahun.

c. Rencana kerja dan anggaran biaya untuk kegiatan 1 (satu) tahun.

3. Persyaratan lingkungan, meliputi:

a. Untuk IUPK Eksplorasi meliputi pernyataan untuk mematuhi

ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan

dan pengelolaan lingkungan hidup.

b. Untuk IUP Operasi Produksi, meliputi:

1) Pernyataan kesanggupan untuk mematuhi ketentuan peraturan

perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan

lingkungan hidup.

2) Persetujuan dokumen lingkungan hidup sesuai ketentuan

peraturan perundang-undangan.

4. Persyaratan finansial, meliputi:

a. Untuk IUPK Eksplorasi, meliputi:

1) Bukti penempatan jaminan kesungguhan pelaksanaan kegiatan

eksplorasi.
35

2) Bukti pembayaran harga nilai kompensasi data informasi atau

sesuai dengan surat penawaran.

b. Untuk IUPK Operasi Produksi, meliputi:

1) Laporan keuangan tahun terakhir yang telah diaudit oleh

akuntan publik.

2) Bukti pembayaran iuran tetap 3 (tiga) tahun.

Berdasarkan UU Minerba, pemegang IUP eksplorasi sudah

dijaminkan untuk melanjutkan kegiatan produksi dengan mendapatkan

IUPK produksi, yang diberikan kepada badan usaha yang berbadan hukum

Indonesia yang sudah memiliki data hasil kajian studi kelayakan. Dalam

rangka konversi Mineral dan batubara, pemilik IPUK Operasi Produksi

dapat mengajukan permohonan untuk mengajukan perluasan wilayah izin

usaha pertambangan khusus yang diajukan kepada Menteri.21

Pasal 83 UU Minerba mengatur tentang persyaratan luas wilayah dan

jangka waktu IUPK sesuai dengan kelompok usaha pertambangan yang

berlaku bagi pemegang IUPK meliputi:

1. Luas 1 (satu) WIUPK untuk tahap kegiatan eksplorasi pertambangan

mineral logam diberikan dengan luas paling banyak 100.000 (seratus

ribu) hektare.

2. Luas 1 (satu) WIUPK untuk tahap kegiatan operasi produksi

pertambangan mineral logam diberikan dengan luas paling banyak

25.000 (dua puluh lima ribu) hektare.

21
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 Jo Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara Pasal 83 B.
36

3. Luas 1 (satu) WIUPK untuk tahap kegiatan eksplorasi pertambangan

batubara diberikan dengan luas paling banyak 50.000 (lima puluh ribu)

hektare.

4. Luas 1 (satu) WIUPK untuk tahap kegiatan operasi produksi

pertambangan batubara diberikan dengan luas paling banyak 15.000

(lima belas ribu) hektare.

5. Jangka waktu IUPK Eksplorasi pertambangan mineral logam dapat

diberikan paling lama 8 (delapan) tahun.

6. Jangka waktu IUPK Eksplorasi pertambangan batubara dapat

diberikan paling lama 7 (tujuh) tahun.

7. Jangka waktu IUPK Operasi Produksi mineral logam atau batubara

dapat diberikan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dapat

diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 10 (sepuluh) tahun.

G. Metode Penelitian

Dalam melakukan suatu penelitian hukum tidak dapat terlepas dengan

penggunaan metode penelitian. Karena setiap penelitian apa saja pastilah

menggunakan metode untuk menganalisa permasalahan yang diangkat.

Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang

didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan

untuk mempelajari sesuatu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan

menganalisanya kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas masalah-

masalah yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan.


37

1. Tipe Metodologi

Adapun tipe metodologi yang digunakan yaitu jenis penelitian yuridis

empiris. Penlitian yuridis empiris yaitu penelitan hukum yang dilakukan

untuk mencari penyelesaian terhadap suatu permasalahan fakta-fakta yang

ada di tengah masyarakat, badan hukum atau badan pemerintah

dibandingkan dengan aturan yang seharusnya terlaksana. Metode berfikir

yang digunakan adalah metode induktif22.

Suatu penelitian yang dilakukan terhadap keadaan sebenarnya atau

keadaan nyata yang terjadi di masyarakat dengan maksud untuk

mengetahui dan menemukan fakta-fakta dan data yang dibutuhkan. Setelah

data yang dibutuhkan terkumpul kemudian menuju kepada identifikasi

masalah yang pada akhirnya menuju penyelesaian23.

2. Metode Pendekatan

Penelitian Yuridis Empiris tentu harus menggunakan pendekatan

perundang-undangan (statute approach). Pendekatan perundang-undangan

(statute approach) yang dilakukan dengan menelaah semua undang-

undang dan regulasi yang berhubungan dengan isu hukum yang sedang

diteliti.

Analisa hukum yang dihasilkan oleh suatu penelitian hukum Yuridis

Empiris yang menggunakan Pendekatan Sosiologis atau disebut pula

dengan penelitian lapangan yaitu mengkaji ketentuan hukum yang berlaku

22
Suharsimi Arikunto, 2002, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta, Rineka
Cipta, hal. 126.
23
Bambang waluyo, 2020, Penelitian Hukum Praktek, Jakarta, Sinar Grafika, hal. 15.
38

serta apa yang terjadi di dalam kenyataan masyarakat. Atau dengan kata

lain yaitu suatu penelitian yang dilakukan terhadap keadaan sebenarnya

atau keadaan nyata yang terjadi di masyarakat dengan maksud untuk

mengetahui fakta-fakta dan data yang dibutuhkan24.

3. Alat Pengumpulan Data

Pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah:

1) Wawancara

Wawancara yaitu suatu proses memperoleh keterangan untuk

tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara

si penanya atau pewawancara dengan si penjawab atau responden

dengan menggunakan alat yang dinamakan interview guide (panduan

wawancara). Walaupun wawancara adalah proses percakapan yang

berbentuk tanya jawab dengan tatap muka, wawancara adalah suatu

proses pengumpulan data untuk suatu penelitian.

Esternberg mengemukakan beberapa macam wawancara yaitu:

a) Wawancara Terstruktur

Wawancara terstruktur digunakan sebagai teknik pengumpulan

data, tatkala peneliti atau pengumpul data telah mengetahui dengan

pasti tentang informasi yang akan diperoleh. Oleh karena itu dalam

melakukan wawancara, pengumpul data telah menyiapkan

instrumen berupa pertanyaan-pertanyaan tertulis yang alternative

jawabannya telah disiapkan. Dengan wawancara terstruktur ini

24
Bambang Waluyo, 2020, Penelitian Hukum Praktek, Jakarta, Sinar Grafika, hal. 2-3.
39

setiap responden diberi pertanyaan yang sama, dengan pengumpul

data mencatatnya.

b) Wawancara Semi Terstruktur

Jenis wawancara ini sudah termasuk dalam kategori indepth

interview, karena dalam pelaksanaannya lebih bebas tatkala

dibandingkan dengan wawancara terstruktur. Tujuan dari

wawancara ini adalah untuk menemukan permasalahan secara lebih

terbuka, dengan cara pihak yang diajak wawancara diminta

pendapat ide-ide nya.

c) Wawancara Tidak Terstruktur

Wawancara tidak terstruktur adalah wawancara yang bebas

dengan cara peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara yang

telah tersusun secara sistematis dan lengkap untuk mengumpulkan

datanya. Pedoman wawancara yang digunakan hanya berupa garis-

garis besar yang akan ditanyakan25.

4. Analisa Data

Data yang telah terkumpul akan dianalisis secara kualitatif dan diolah

secara sistematis yaitu dikelompokkan sesuai dengan tujuan penelitian,

supaya data yang terkumpul mudah untuk dicari kapan diperlukan oleh

peneliti, dan data dianalisis dengan metode analisis deskriptif yaitu peneliti

berusaha mengamati gejala hukum tanpa menggunakan alat ukur yang

menghasilkan angka, atau berupa informasi yang hanya dapat dinilai

dengan menggunakan Peraturan Perundang-undangan, sehingga

25
Dendi Nurwega, 2015, Pembinaan Karakter Antikorupsi Siswa Pada Lingkungan Boarding
School, Perpustakaan.upi.edu, hal. 52.
40

didapatkan suatu kesimpulan yang menjawab rumusan masalah, dan hasil

penelitian akan dituangkan dalam bentuk skripsi.

H. Jadwal Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada kurun waktu kurang lebih dari 3 bulan.

Penelitian ini akan dilakukan di POLRES PASAMAN.

DAFTAR PUSTAKA

A. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar 1945.

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 Jo Undang-Undang Nomor 4

Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.


41

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan

Pokok Pertambangan.

B. Buku

Ali Wisnubroto, 2002, Praktek Peradilan Pidana (Proses Persidangan

Perkara Pidana), Jakarta, PT Galaxy Puspa Mega,

Andi Hamzah, 2016, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta, Sinar

Grafika,

Anshorie Hasibuan, SH, 19990, Hukum Acara Pidana, Bandung, Angkasa,

Bambang waluyo, 2020, Penelitian Hukum Praktek, Jakarta, Sinar

Grafika,

Darwan Prinst, 2000, Hukum Acara PIdana Suatu Pengantar, Jakarta,

Djambatan,

Dendi Nurwega, 2015, Pembinaan Karakter Antikorupsi Siswa Pada

Lingkungan Boarding School, Perpustakaan.upi.edu,

K. Wantjik Saleh, 1997, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Ghalia

Indonesia,

M. Husein Harun, 1991, Penyidik dan Penuntut Dalam Proses Pidana,

Jakarta, PT. Rineka Cipta,

Marpaung, 1992, Proses Penegakan Perkara Pidana, Jakarta, Sinar

Grafika,

Salim, 2004, Hukum Pertambangan di Indonesia, Mataram, PT. Raja

Grafindo Persada,
42

Salim, 2012, Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara, Jakarta, Sinar

Grafika,

Salim, 2015, Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara, Jakarta,

Rajawali Press,

Suharsimi Arikunto, 2002, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan

Praktek, Jakarta, Rineka Cipta,

Sukandarrumidi, Bahan-Bahan Galian Industri, Yogyakarta, Gajah Mada

University Press,

Tim Redaksi Pustaka Yustisia, Kumpulan Peraturan Pemerintahan Tahun

2010 tentang Pertambangan, Yogyakarta, Pustaka Yustisia,

C. Sumber Lainnya

Http://www.hukumpertambangan.com, Johan Kurnia, Izin Usaha

Pertambangan, diakses pada tanggal 22 November 2013.

Anda mungkin juga menyukai