Anda di halaman 1dari 20

PERKEMBANGAN HUKUM PERTAMBANGAN

MINERAL DAN BATUBARA TERKAIT DENGAN LAHIRNYA


UNDANG UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009
TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA
Oleh:
Rafki Rahmat, MY.,SH
(Mahasiswa Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum UNAND, NIM:
1320112001)

A. LATAR BELAKANG
Indonesia adalah negara dengan kekayaan sumber
daya alam yang melimpah. Sumber daya alam Indonesia
berasal dari pertanian, kehutanan, kelautan dan perikanan,
peternakan, perkebunan serta pertambangan dan energi.
Pertambangan menjadi salah satu aspek andalan yang harus
dikelola secara baik oleh Indonesia untuk kesejahteraan
rakyatnya. Pertambangan dilakukan dengan mengeksplorasi
mineral yang terkandung di bumi Indonesia. Selain mineral,
batubara menjadi salah satu komoditas hasil eksplorasi
pertambangan yang cukup memberikan kontribusi besar bagi
pemasukan negara dalam sektor non pajak.
Mineral dan batubara yang terkandung dalam wilayah
hukum pertambangan Indonesia merupakan kekayaan alam
tak terbarukan sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang
mempunyai peranan penting dalam memenuhi hajat hidup
orang banyak, karena itu pengelolaannya harus dikuasai oleh
Negara untuk memberi nilai tambah secara nyata bagi

perekonomian nasional dalam usaha mencapai kemakmuran


dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan1.
Kekayaan alam tak terbarukan yang dimaksud diatas,
meliputi emas, perak, tembaga, minyak dan gas bumi, batu
bara dan lain-lain dengan potensi masing-masingnya yang
sangat berlimpah di bumi Indonesia. Timah misalnya, dengan
produksi 78 ribu ton/ tahun, Indonesia adalah penghasil timah
nomor dua dunia. Nikel dengan produksi 96 ribu ton/ tahun,
Indonesia adalah penghasil nomor lima di dunia. Tembaga
dengan 842 ribu ton/ tahun adalah nomor lima dunia dan
untuk batu bara dan emas Indonesia adalah nomor 7 dunia2.
Keberadaan mineral dan batubara dapat menjadi salah
satu tolok ukur kemandirian dan kemajuan suatu bangsa.
Rata-rata negara dengan kekayaan mineral dan batubara
yang tinggi, cenderung akan menjadi negara yang maju dan
sejahtera. Namun, hal ini harus diiringi dengan pengelolaan
yang baik menyeluruh terhadap kekayaan mineral tersebut.
Pengelolaan

yang

buruk

seperti

rendahnya

teknologi

pengolahan ataupun lemahnya aturan terkait pengelolan


sumber daya mineral ini akan mengakibatkan negara yang
kaya akan mineral dan batubara tersebut hanya sebagai
tamu dinegaranya sendiri, karena hanya akan menjadi
sumber eksplorasi bagi pihak-pihak asing ataupun ilegal.
Dengan karakteristik kegiatan usaha pertambangan mineral
dan batubara yang sangat penting dan terkait hajat hidup
orang banyak tersebut maka diperlukan kepastian berusaha

1 Lihat bagian menimbang Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009


tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
2 Simon F. Sembiring, Jalan Baru Untuk Tambang: Mengalirkan Berkah
bagi Anak Bangsa, (Jakarta: Gramedia, 2009) hlm. 3

dan kepastian hukum di dunia pertambangan mineral dan


batubara.
Kepastian hukum di bidang pertambangan terutama
dalam rangka melindungi hasil pertambangan dari upaya
pengeksplorasian

secara

masif

tanpa

adanya

upaya

peningkatan nilai tambah oleh perusahaan penambangan.


Pentingnya peningkatan nilai tambah dari pemanfaatan
mineral nasional telah menjadi kesadaran Founding Father
kita. Oleh karena itu, melalui Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), Founding father
telah menetapkan garis-garis dasar pengelolaan sumber daya
mineral tersebut. Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 menyatakan,
Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
Pada ayat (3) ditegaskan lagi, Bumi dan air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat3.
Pasal 33 UUD 1945, ini mengamanatkan penguasaan
kekayaan alam oleh negara untuk kemakmuran rakyat.
Meskipun demikian, terdapat berbagai pandangan tentang
bagaimana

mengimplementasikan

cita-cita

tersebut.

Pandangan yang mendukung pemanfaatan sektor minerba


untuk

memperkuat

industri

domestik

mempunyai

argumentasi bahwa industri nasional masih perlu mendapat


dukungan ketersediaan bahan baku dalam jumlah yang
memadai dan harga yang murah. Selain itu, ekspor minerba
dalam bentuk raw material tidak memberikan value added
yang

signifikan

terhadap

perekonomian

nasional

selain

penerimaan devisa dalam jangka pendek.


3 Lihat Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).

Di lain pihak, pandangan dari kalangan eksportir dan


produsen minerba mempunyai argumentasi bahwa industri
dalam negeri belum mampu menyerap seluruh produksi
pertambangan minerba, baik karena kurangnya fasilitas
peleburan dan pemurnian (smelter) atau fasilitas pengolahan
di sisi yang lebih hilir4. Polemik seperti inilah yang turut
mengiringi lahirnya Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Tinjauan yuridis terhadap Undang-Undang Nomor 4 tahun
2009

tentang

Pertambangan

Mineral

dan

Batubara

(Minerba)?.
2. Perkembangan

Hukum

Pertambangan

Mineral

dan

Batubara terkait Undang Undang Nomor 4 tahun 2009


tentang Pertambangan Mineral dan Batubara?.

C. ISI DAN PEMBAHASAN


1. Tinjauan yuridis terhadap Undang-Undang Nomor 4
tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara (Minerba)?.
Pembangunan

nasional

bertujuan

untuk

mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata


material dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang4 Biro Perencanaan Kementerian Perindustrian, Analisis Biaya Manfaat
Pelarangan Ekspor Bahan Mentah Minerba Dan Dampaknya Terhadap
Sektor Industristudi Kasus Nikel & Tembaga, Jakarta: 2012, hal 1

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945


dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
merdeka,

bersatu,

dan

berkedaulatan

rakyat

dalam

suasana perikehidupan bangsa yang aman, tertib, dan


dinamis dalam lingkungan yang merdeka, bersahabat,
dan damai5. Pembangunan Hukum Nasional tidak dapat
dipisahkan dari perjalanan sejarah perkembangan tataran
yang

berlaku

pada

masyarakat

Indonesia.

Hal

ini

disebabkan karena pembentukan suatu tatanan hukum


sangat

dipengaruhi

oleh

perkembangan

masyarakat,

budaya, dan berbagai faktor lainnya 6. Salah satu faktor


yang paling berpengaruh yaitu tatanan hukum adat yang
telah berlaku jauh sebelum Indonesia merdeka.
Begitupun halnya dengan pembangunan hukum
agraria. Reformasi hukum agraria di Indonesia sebagai
negara yang merdeka dimulai dengan dikeluarkannya
Undang Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA). UUPA ini lahir dari
semangat adopsi nilai-nilai hukum adat kedalam tataran
sistem hukum agraria nasional. Hal ini ditegaskan didalam
pasal 5 UUPA, Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air
dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara,
yang

berdasarkan

atas

persatuan

bangsa,

dengan

sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan


yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan
peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan
5 Penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun
2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
6 Al. Wisnubroto, Quo Vadis Tatanan Hukum Indonesia, Universitas
Atmajaya Yogyakarta, Pleburan: 2007, hal 1

mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum


agama.
Konsepsi hukum tanah nasional secara utuh diambil
dari konsepsinya hukum adat, yang oleh Boedi Harsono
dikatakan bahwa Konsepsi Hukum Tanah nasional adalah
komunalistik religius, yang memungkinkan penguasaan
tanah secara individual, dengan hak-hak atas tanah yang
bersifat

pribadi,

Konsepsi

ini

sekaligus

masih

mengandung

relevan

dan

kesamaan.

harus

tetap)

dipertahankan untuk masa kini maupun untuk masa yang


akan

datang,

oleh

karena

konsepsi

ini

merupakan

penjabarandari sila-sila pancasila dibidang pertanahan


serta

harus

dijabarkan

lebih

lanjut

dalam

politik

Pertanahan Nasional sebagaimana yang digariskan dalam


pasal 33 ayat 3 UUD 1945 7.
Agraria sendiri berasal dari bahasa latin agre
berarti tanah atau sebidang tanah. Pengertian Agraria
meliputi bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan
alam yang terkandung didalamnya (Pasal 1 ayat (2).
Sementara itu pengertian bumi meliputi permukaan bumi
(yang disebut tanah), tubuh bumi di bawahnya serta
berada di bawah air (Pasal 1 ayat (4) jo pasaal 4 ayat (1) 8.
Tanah sendiri menurut Jazim Hamidi, adalah benda
permukaan

bumi

yang

menyimpan

kekayaan

untuk

mencukupi kebutuhan hidup dan kehidupan manusia


perorangan dan dalam kelompok (ekonomi)9. Mineral dan
7 Alvi Syahrin, Beberapa Masalah Hukum, PT.Sofmedia, Cetakan
Pertama, 2009, hal 45
8 Supriadi, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Cetakan Keempat, Palu,
2010, Hal 1.
9 Jazim Hamidi, Dkk. Optik Hukum Peraturan Daerah Bermasalah,
Prestasi Pustaka, Malang: 2011, Hal 253

batubara dapat dikelompokkan kedalam kekayaan yang


tersimpan didalam tanah. Dengan demikian, mineral dan
batubara merupakan obyek kajian dari hukum agraria.
Upaya
tambah

pemerintah

ekonomi

untuk

mineral

meningkatkan

tambang

pada

nilai

awalnya

ditempuh melalui UUPA. Namun, UUPA ini, dikemudian


hari tidak cukup mengakomodir peraturan terkait mineral
dan batubara ini karena UU ini lebih memfokuskan
pembahasan agraria dalam lingkup agraria yang berada
diatas tanah sedangkan agraria dibawah tanah dalam hal
ini barang tambang mineral belum terlalu diatur, sehingga
kemudian pemerintah melahirkan Undang-Undang Nomor
11

Tahun

1967

tentang

Ketentuan-Ketentuan

Pokok

Pertambangan yang dikemudian hari dirubah dengan


Undang-Undang
Pertambangan

Nomor
Mineral

4
dan

Tahun

2009

Batubara.

tentang

Lebih

lanjut,

diuraikan lagi dalam aturan pelaksanaannya, diantaranya


yaitu:

Permen

Peningkatan

ESDM

Nilai

No.

Tambah

Tahun

Mineral

2014

melalui

tentang
Kegiatan

Pengolahan dan Pemurnian Mineral.


Perubahan mendasar yang terjadi pada perubahan
dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 menjadi
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 adalah perubahan
dari sistem kontrak karya dan perjanjian menjadi sistem
perijinan, sehingga Pemerintah tidak lagi berada dalam
posisi yang sejajar dengan pelaku usaha dan menjadi
pihak yang memberi ijin kepada pelaku usaha di industri
pertambangan mineral dan batubara.
Undang-Undang Nomor

tahun 2009

tentang

Pertambangan Mineral dan Batubara lahir sebagai bentuk


usaha pemerintah dalam mengelola kekayaan mineral

dan

batubara

di

bumi

Indonesia.

Didalam

UU

ini

dinyatakan yang dimaksud dengan Pertambangan adalah


sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka
penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau
batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi,
studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan
dan

pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta

kegiatan pasca- tambang.


Selanjutnya dinyatakan mineral adalah senyawa
anorganik yang terbentuk di alam, yang memiliki sifat fisik
dan kimia tertentu serta susunan kristal teratur atau
gabungannya

yang

membentuk

batuan,

baik

dalam

bentuk lepas atau padu. Batubara adalah endapan


senyawa organik karbonan yang terbentuk secara alamiah
dari sisa tumbuh-tumbuhan.
Tujuan dibentuknya Undang-Undang Nomor 4 tahun
2009

tentang

Pertambangan

Mineral

dan

Batubara,

dinyatakan yaitu: menjamin efektivitas pelaksanaan dan


pengendalian
berdaya

kegiatan

guna,

berhasil

usaha

pertambangan

guna,

dan

berdaya

secara
saing,

menjamin manfaat pertambangan mineral dan batubara


secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup,
menjamin tersedianya mineral dan batubara sebagai
bahan baku dan/atau sebagai sumber energi untuk
kebutuhan

dalam

negeri,

mendukung

dan

menumbuhkembangkan kemampuan nasional agar lebih


mampu

bersaing

internasional,

di

tingkat

meningkatkan

nasional,

regional,

pendapatan

dan

masyarakat

lokal, daerah, dan negara, serta menciptakan lapangan


kerja untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat; dan

menjamin

kepastian

hukum

dalam

penyelenggaraan

kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara10.


Namun, tidak sejalan dengan tujuan tersebut,
Undang-Undang

Nomor

tahun

Pertambangan Mineral dan Batubara


melahirkan

berbagai

2009

tentang

ini justru malah

permasalahan

baru

dan

mempertajam pertentangan masalah lama. Mulai dari


persoalan Wilayah Pertambangan11(WP), lelang Wilayah
Izin Usaha Pertambangan (WIUP), larangan ekspor hasil
tambang

mentah,

hingga

pelarangan

sementara

penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang baru


untuk komoditas logam dan batubara.
Masalah tersebut di atas berawal dari pemberian
Izin Usaha Pertambangan (IUP) seperti IUP Eksplorasi, IUP
Operasi Produksi dan Izin Pertambangan Rakyat (IPR)
yang diberikan oleh pemerintah, baik kepada badan
hukum, koperasi dan perseorangan. Selama ini, para
pihak

yang

mengejar

mengelola

bagaimana

pertambangan
mengoptimalkan

selalu

hanya

pengelolaan

tambang untuk penerimaan negara. Jika upaya tersebut


tetap berlanjut tanpa memperhatikan aspek-aspek lain,
maka akan terjadi ketimpangan dengan sektor-sektor lain
yang berkaitan12.

10 Lihat pasal 3 Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009


11 Wilayah Pertambangan, sebagaimana Peraturan Pemerintah Nomor
22 Tahun 2010, merupakan wilayah yang memiliki potensi mineral
dan/atau batubara dan tidak terikat dengan batasan administrasi
pemerintahan yang merupakan bagian dari rencana tata ruang
nasional. Wilayah Pertambangan terdiri dari wilayah yang dapat
diusahakan dan wilayah yang belum dapat diusahakan. Wilayah yang
dapat diusahakan meliputi : Wilayah Pencadangan Negara (WPN),
Wilayah Usaha Pertambangan (WUP), dan Wilayah Pertambangan
Rakyat (WPR).

2. Perkembangan Hukum Pertambangan Mineral dan


Batubara terkait Undang Undang Nomor 4 tahun
2009

tentang

Pertambangan

Mineral

dan

Batubara?.
Dilihat

dari

sisi

penerimaan

negara,

kegiatan

ekstraksi dan eksploitasi sumberdaya alam (SDA) telah


memberikan

peran

penting

dalam

pembiayaan

pembangunan di Indonesia selama ini. Sebagai gambaran,


perkembangan
dimana

sektor

ekspor

Indonesia

pertambangan

pada

tahun

menyumbang

2007,
devisa

sebesar $.11.884.904.619 dari total $.114.100.890.751


(10, 42%). Pada tahun 2008, meningkat lagi menjadi
$.14.906.165.178 dari total nilai pemasukan devisa tahun
2008 sebesar $.137.020.424.402 (10,88%)13. Diluar sektor
migas, sektor pertambangan ini hanya dikalahkan oleh
sektor industri dalam hal menyumbang pemasukan devisa
bagi negara disektor ekspor. Dengan demikian, sektor
ekpoitasi ini menjadi lahan yang sangat produktif bagi
sumber pemasukan keuangan negara.
Walaupun kontribusi sektor minerba dalam paparan
di atas terlihat cukup besar, namun sebenarnya sektor ini
memiliki potensi kontribusi yang lebih tinggi lagi jika
terdapat

nilai

tambah

yang

lebih

melalui

proses

pengolahan di dalam negeri. Yang dimaksud dengan


peningkatan nilai tambah adalah pengolahan menjadi
produk yang lebih hilir sepanjang rantai nilai.
Hal ini tentu membuat sektor pertambangan
menjadi primadona bagi pemegang kepentingan, baik itu
12 Gatot Supramono, SH. Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara
di Indonesia. Rineka Cipta, Hal 4
13 http://www.kemenperin.go.id/statistik/peran.php?ekspor=1, diakses
pada tanggal 27 Maret 2014

10

pemerintah sendiri sebagai penguasa dalam konsep hak


menguasai

negara14,

swasta,

maupun

investor

lokal

maupun luar negeri. Dalam hal ini negara sebagai


penguasa atas bumi, air dan udara akan menjalankan
kewenangannya

dalam

menguasai

cabang-cabang

produksi yang penting bagi negara.


Konsep hak menguasai tanah oleh Negara yang
berlaku saat ini sendiri bukanlah muncul secara tiba-tiba,
melainkan hasil dari suatu proses perkembangan terusmenerus. Demikian pun halnya dengan pertambangan 15.
Tambang-tambang yang penting untuk Negara akan
diurus oleh Negara sendiri16.
Lahirnya Undang Undang Nomor 4 tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara adalah
bagian dari usaha pemerintah mengelola eksploitasi dari
pertambangan mineral dan batubara. Namun, kehadiran
Undang-undang ini justru melahirkan polemik baru. Pro
dan kontra bermunculan dalam menyikapi kehadiran
Undang-undang ini. Terutama terkait dengan pasal 102
dan 103.
Pasal 102, menyatakan, Pemegang IUP dan IUPK
wajib meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral
dan/atau batubara dalam pelaksanaan penambangan,
14 Hal ini telah dikemukan oleh Budi Harsono dalam bukunya Hukum
Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria,
Isi Dan Pelaksanaanya, Djambatan, hal 234, yaitu: Berdasar pasal 2
UUPA dan penjelasannya tersebut, menurut konsep UUPA, pengertian
dikuasai oleh Negara bukan berarti dimiliki, melainkan hak yang
memberi wewenang kepada Negara untuk menguasai.
15 Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, Liberty, Yogjakarta, 1978,
hal 17
16 Muhammad Bakri, Hak Menguasai Tanah OLeh Negara (Paradigma
Baru Untuk Reformasi Agraria), Yogyakarta, Cetakan I, 2007, h. 35

11

pengolahan dan pemurnian, serta pemanfaatan mineral


dan batubara. Pasal 103 berbunyi:
1. Pemegang IUP dan IUPK Operasi
melakukan

pengolahan

dan

Produksi

wajib

pemurnian

hasil

penambangan di dalam negeri.


2. Pemegang IUP dan IUPK sebagaimana dimaksud pada
ayat

(1)

dapat

mengolah

dan

memurnikan

hasil

penambangan dari pemegang IUP dan IUPK lainnya.


3. Ketentuan lebih lanjut mengenai peningkatan nilai
tambah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 serta
pengolahan dan pemurnian sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah.
Undang-undang ini secara implisit mengharuskan
penambang

untuk

memiliki

fasilitas

peleburan

dan

pengolahan mulai dari tanggal 12 Januari 2014. Hal ini


kemudian hari dipertegas dengan dikeluarkannya Permen
ESDM Nomor 1 Tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai
Tambah

Mineral

melalui

Kegiatan

Pengolahan

dan

Pemurnian Mineral di Dalam negeri. Dimana didalam pasal


1 ayat (1), dinyatakan secara tegas, Pemegang IUP
Operasi

Produksi

tembaga,

dan

tembaga,

IUP

Operasi

IUPK

Operasi

Produksi

Produksi

khusus

untuk

pengolahan dan/ atau pemurnian tembaga serta IUP


Operasi

Produksi

khusus

untuk

pengangkutan

dan

penjualan yang menjual komoditas tambang tembaga,


termasuk produk samping atau sisa hasil pemurnian
konsentrat tembaga berupa lumpur anoda dan tembaga
telurid ke luar negeri wajib memenuhi batasan minimum
pemurnian

komoditas

sebagaimana
merupakan

tercantum

bagian

tidak

tambang
dalam

mineral
Lampiran

terpisahkan

dari

logam
I

yang

Peraturan

Menteri ini.

12

Dilihat dari konteks penafsiran hukum, pasal 102


dan 103 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 ini,
memang

mengamanatkan

pelarangan

ekspor

bahan

tambang mentah keluar negeri sejak tanggal 12 Januari


2014. Hal ini lah yang mendapat tantangan dari pelaku
industri pertambangan mineral dan batubara di Indonesia.
Mereka menyatakan tidak siap dan belum memiliki
teknologi pengolahan dan pemurnian hasil tambang
sehingga ditakutkan tidak dapat beroperasi dikarenakan
terikat aturan tersebut. Salah satu persoalan krusial dari
penerapan UU Minerba ini adalah tentang nasib 800.000
tenaga kerja yang akan menganggur akibat aturan ini.
Baik tenaga kerja yang terlibat langsung maupun yang
tidak langsung dalam bisnis pertambangan minerba ini17.
Kenyataan ini tentu tidak sejalan dengan cita-cita
lahirnya Undang-Undang ini, yaitu guna meningkatkan
nilai

ekonomi

dari

hasil

tambang

Indonesia

agar

meningkatkan pendapatan negara dari sektor tambang.


Pelarangan

ekspor

bahan

mentah

guna

melindungi

eksploitasi berlebihan tanpa nilai pada sektor mineral dan


batubara ini padahal salah satu point penting penyebab
dilahirkannya

Undang-undang

ini.

Namun,

adanya

kepentingan pemodal asing dan industri luar negeri dalam


sektor tambang ini menyebabkan sektor tambang riskan
dipolitisir.
Jika

dilihat

permasalahan

ini

secara

holistik,

sebenarnya larangan ekspor mineral mentah tidak dapat


dikatakan kebijakan yang tergesa-gesa. Sejak ditetapkan
pada tanggal 12 Januari 2009, UU Minerba tersebut telah
menetapkan larangan ekspor terhadap bahan tambang
17http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt52b54cb0d0478/kadin-penerapan-uu-minerba-ancam-pertumbuhan-ekonomi, diakses pada
tanggal 22 Maret 2014

13

mentah, namun karena aturan pelaksanaannya belum


lahir sehingga larangan ini baru berlaku efektif melalui
Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23
Tahun

2010

Tentang

Pelaksanaan

Kegiatan

Usaha

Pertambangan Mineral dan Batubara yang diundangkan


pada tanggal 11 Januari 2014. Dengan demikian, mulai 12
Januari 2014 pelaku industri pertambangan di Indonesia
sudah tidak dapat lagi mengekspor bahan tambang
mentah keluar negeri. Jika mengekspor bahan tambang
maka harus sudah diolah terlebih dahulu di dalam negeri
agar

memberikan

nilai

tambah.

Kewajiban

untuk

melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri


dimaksudkan,

antara

lain,

untuk

meningkatkan

dan

mengoptimalkan nilai tambang dari produk, tersedianya


bahan baku industri, penyerapan tenaga kerja, dan
peningkatan penerimaan negara. Belum lagi dengan
pengolahan itu akan menghidupkan industri tambang di
dalam negeri.
Jepang yang relatif tidak mempunyai sumber daya
alam, semisal tambang ini, tetapi dengan kehebatan ilmu
dan teknologinya justru menjadi penguasa tambang.
Indonesia mengekspor bahan mentah dengan harga
relatif murah kemudian mereka mengekspor ke Indonesia
setelah bahan tambanng mentah diolah di industri negeri
matahari terbit dalam bentuk berbagai produk atau
barang seperti alat-alat elektronik, otomotif, mesin, dan
berbagai barang kebutuhan lainnya dengan harga yang
tinggi18.

18 http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2014/01/12/larangan-eksporbahan-mentah-624022.html

14

Intinya,

larangan

ekspor

bahan

mentah

ini

sebenarnya justru memberikan manfaat yang besar bagi


bangsa Indonesia, baik dari segi pendapatan ke negara
karena harga jual bahan ekspor lebih tinggi yang otomatis
royalti

yang

diterima

pemerintah

juga

akan

lebih

meningkat.
Namun, pihak yang kontra tentu tidak dengan
mudah mnerima keinginan pemerintah tersebut dan
melalui

Asosiasi

(APEMINDO),
Pelayaran

Pengusaha

PT
Eka

Kendawangan

Harapan

Utama

Ivanajasa

Mandiri,

dkk

Mineral

serta

Indonesia

Andalan

dan

Koperasi

mengajukan

PT

TKBM

permohonan

pengujian terhadap pasal 102 dan 103 Undang Undang


Nomor 4 tahun 2009 kepada Mahkamah konstitusi dengan
registrasi

Perkara

Nomor

10/PUU-XII/2014

tentang

Pengujian Undang Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang


Pertambangan

Mineral

dan

Batubara,

dengan

dasar

gugatan sebagai berikut:


1. Pemohon berpendapat bahwa Pasal 102 dan Pasal 103
Undang-Undang

Nomor

Pertambangan Mineral

dan

Tahun

2009

tentang

Batubara tidak memuat

larangan ekspor biji (raw material atau core), namun


hanya

memuat

kewajiban

untuk

melakukan

pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di


dalam negeri

serta meningkatkan nilai tambah

sumber daya mineral dan/atau batubara;


2. Kebijakan larangan ekspor biji (raw material atau core)
dari

pemerintah

berubah-ubah

menyebabkan ketidakpastian

sehingga

hukum, dan hal ini

bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945


3. Pasal 102 dan Pasal 103 Undang-Undang a quo
bertentangan dengan Pasal 22A dan Pasal 27 ayat (2)

15

UUD 1945 apabila dimaknai adanya larangan ekspor


biji (raw material atau core)
4. Pasal 102 dan Pasal 103 Undang-Undang a quo
bertentangan

dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945

apabila dimaknai adanya larangan ekspor biji (raw


material atau core);
5. Pemohon berpendapat bahwa Undang-Undang Nomor
4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara berisi pengaturan mengenai pengendalian
ekspor dan bukan larangan ekspor, sehingga perlu
diberikan pemaknaan yang tepat guna menghindari
pemaknaan yang sewenangwenang dari pemerintah.

D. PENUTUP
1. Kesimpulan
Lahirnya Undang Undang Nomor 4 tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara membawa
harapan dan semangat baru bagi dunia pertambangan
mineral dan batubara Indonesia. Namun, dilain pihak,
masih

terdapat

berbagai

permasalahan

pelik

yang

terkandung didalam UU Minerba tersebut, salah satunya


adalah permasalahan yang terkandung dalam pasal 102
dan 103 mengenai larangan ekspor bahan tambang
mentah ke luar negeri.
Hal ini tentu akan membawa pengaruh dan efek
yang sangat besar bagi dunia pertambangan mengingat
aturan ini dapat merobah pola pertambangan mineral dan
batubara

di

Indoensia.

Dengan

pengolahan

terlebih

dahulu sebelum diekspor keluar negeri, tentu melahirkan


dampak positif terhadap perekonomian dan posisi tawar

16

industri

tambang dalam negeri. Namun, dilain pihak

pelaku industri pertambangan mineral dan batubara


dalam negeri yang tidak setuju dengan pasal tersebut
mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi guna
menuntut keadilan bagi mereka yang merasa terancam
dengan pemberlakuan pasal pelarangan ekspor bahan
tambang mentah ke luar negeri.

2. Saran
Perlu sikap arif dan wibawa pemerintah dalam
dalam mengimplementasikan pasal 102 dan 103 UU
Minerba ini, agar industri pertambangan mineral dan
batubara dalam negeri dapat terlindungi dan terus
bertahan dalam pelaksanaan proses industri.

E. DAFTAR PUSTAKA
a. Media Online
1. http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt52b54cb0d
0478/kadin-penerapan-uu-minerba-ancampertumbuhan-ekonomi, diakses pada tanggal 22 Maret
2014
b. Peraturan Perundang-undangan
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
2. Undang Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA);
3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun

1967

tentang

Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan;

17

4. Undang-Undang

Nomor

tahun

2009

tentang

Pertambangan Mineral dan Batubara;


5. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor
23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara
6. Permen ESDM No. 1 Tahun 2014 tentang Peningkatan
Nilai Tambah Mineral melalui Kegiatan Pengolahan dan
Pemurnian Mineral.
c. Buku
1. Alvi Syahrin, Beberapa Masalah Hukum, PT.Sofmedia,
Cetakan Pertama, 2009, hal 45
2. Al. Wisnubroto, Quo Vadis Tatanan Hukum Indonesia,
Universitas Atmajaya Yogyakarta, Pleburan: 2007
3. Biro Perencanaan Kementerian Perindustrian, Analisis
Biaya Manfaat Pelarangan Ekspor Bahan Mentah
Minerba

Dan

Dampaknya

Terhadap

Sektor

Industristudi Kasus Nikel & Tembaga, Jakarta: 2012


4. Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah
Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi Dan
Pelaksanaanya, Djambatan, 2000
5. Gatot Supramono, SH. Hukum Pertambangan Mineral
dan Batubara di Indonesia. Rineka Cipta
6. Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, Liberty,
Yogjakarta, 1978
7. Jazim Hamidi, Dkk. Optik Hukum Peraturan Daerah
Bermasalah, Prestasi Pustaka, Malang: 2011
8. Muhammad Bakri, Hak Menguasai Tanah OLeh Negara
(Paradigma

Baru

Untuk

Reformasi

Agraria),

Yogyakarta, Cetakan I, 2007


9. Simon F. Sembiring, Jalan Baru Untuk Tambang:
Mengalirkan

Berkah

bagi

Anak

Bangsa,

Jakarta:

Gramedia, 2009
10. Supriadi, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Cetakan
Keempat, Palu, 2010

18

POLITIK HUKUM
PERKEMBANGAN HUKUM PERTAMBANGAN
MINERAL DAN BATUBARA TERKAIT DENGAN LAHIRNYA
UNDANG UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009
TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

19

DOSEN PEMBIMBING:
Dr. SUHARIZAL, SH, MH

OLEH:
RAFKI RAHMAT MY, SH (NPM. 1320112001)

PROGRAM PASCA SARJANA


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2014

20

Anda mungkin juga menyukai