PENDAHULUAN
daya alam yang melimpah, baik itu sumber daya alam hayati maupun sumber daya
alam non-hayati. Sumber daya mineral merupakan salah satu jenis sumber daya
non-hayati. Sumber daya mineral yang dimiliki oleh Indonesia sangat beragam
baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Endapan bahan galian pada
umumnya tersebar secara tidak merata di dalam kulit bumi. Sumber daya mineral
tersebut antara lain : minyak bumi, emas, batu bara, perak, timah, dan lain-lain.
manusia.
Sumber daya alam merupakan salah satu modal dasar dalam pembangunan
rakyat dengan memperhatikan kelestarian hidup sekitar. Salah satu kegiatan dalam
1
M. Ahyani, 2011, Pengaruh Kegiatan Penambangan Emas Terhadap Kondisi Kerusakan
Tanah Pada Wilayah Pertambangan Rakyat Di Bombana Provinsi Sulawesi Tenggara, Tesis,
Universitas negeri Semarang. Hal 1
1
Kegiatan pertambangan merupakan suatu kegiatan yang meliputi:
pengetahuan si penambang dan juga karena tidak adanya pengawasan dari dinas
rendah menjadi lebih ekonomis, sehingga semakin luas dan semakin dalam
sangat signifikan terutama berupa pencemaran air permukaan dan air tanah.2
2
Ibid, hal 2.
3
Pasal 3 huruf b, huruf e, dan huruf f UU Minerba.
2
2. Meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, daerah, dan negara, serta
hidup. Hal ini berhubungan dengan karakteristik dari sumber daya alam mineral
dan batubara sebagai sumber daya alam yang tak terbarukan, sehingga konsep
ekonomi, tetapi gagal dalam aspek sosial dan lingkungan.4 Hal itu disebabkan
lingkungan pada posisi yang kurang penting.5Padahal sumber daya alam mineral
dan batubara merupakan sumber daya alam yang tidak diperbarui sehingga
mineral dan batubara maka dampak sosial dan lingkungan akan timbul, karena
3
memenuhi kebutuhan (kontrol dan energi) masa sekarang tanpa mengorbankan
mempunyai peranan penting dalam memenuhi hajat hidup orang banyak, harus
menjadi landasan filosofis pengelolaan sumber daya alam Indonesia. Untuk itu,
Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 secara
jelas menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di
pengelolaan sumber daya alam melalui pemberian ontrol izin, lisensi, dan konsesi.
Kewenangan pengelolaan sumber daya alam mineral dan batubara tertuang dalam
4
kewenangan pengelolaan dalam UU Minerba di revisi dan disahkan pada 6 Mei
2020.
penjualan dan harga mineral logam, mineral bukan logam jenis tertentu dan
batubara. Menurut pemerintah yang diwakili oleh Menteri Energi dan Sumber
daerah, diantaranya perizinan batuan skala kecil dan Izin Pertambangan Rakyat
(IPR).6
diberikan luasan maksimal 100 hektare dan mempunyai cadangan mineral logam
khusus (IUPK), dan izin pertambangan rakyat (IPR). Melalui ketiga jenis izin ini,
pertambangan sesuai dengan izin usaha yang dimohonkan dan disetujui oleh
6
https://money.kompas.com/read/2020/05/13/152543126/ini-poin-poin-penting-dalam-uu-
minerba-yang-baru-disahkan?page=all, dikutip tanggal 9 Desember 2021.
7
Ibid
5
pejabat yang berwenang. Tanpa izin tersebut, setiap Pengusahaan mineral dan
Namun pada kenyataannya, sampai saat ini PETI marak terjadi, misalnya
memiliki dokumen resmi. Kawasan itu rupanya dieksploitasi oleh pendulang liar.
mineral dan batu bara. Aktivitas tambang emas ilegal yang masih marak sampai
saat ini tersebar di beberapa titik pada dua kecamatan yakni Rarowatu Utara dan
6
menyolok terletak di wilayah Wumbubangka, sementara di Rarowatu, tersebar
mulai di Tahi Ite sampai Roko-Roko. “Di beberapa titik penambangan emas
menggunakan alat berat. Bahkan hal tersebut jelas dilakukan tanpa izin.8
Berdasarkan data dari KLHK, PETI terjadi sangat tidak terkontrol. Namun
di balik terjadinya kegiatan PETI tersebut terdapat dampak sosial dan ekonomi
kesejahteraan dari kegiatan PETI. Di sisi lain, sesuai Pasal 158 dan Pasal 160 UU
hukum karena terjadi benturan antara aspek kontrol-yuridis dengan aspek sosio
logis dan filosofis sehingga diperlukan tindakan khusus dalam penanganan PETI
bagi penambang skala kecil. Bahkan Presiden Joko Widodo mewacanakan akan
memutihkan atau melegalkan 1.640 (seribu enam ratus empat puluh) PETI yang
ada di provinsi Bangka Belitung” dengan tujuan agar tidak ada lagi pasir timah
yang diekspor illegal dan setiap penambang untuk menjual hasil pasir timahnya ke
8
https://www.ekuatorial.com/id/2014/11/tambang-emas-ilegal-merajalela-dibombana/#!/
story=post-9423&loc=-4.743733600000013,121.9190348,7, dikutip tanggal 9 Desember 2021.
9
http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2015/06/30/172436/1640-tambang-timah-tak-
berizin-akan-diputihkan/#.VrfvMbl97oA di akses 9 Desember 2021.
7
kegiatan PETI. Dalam putusan tersebut terdakwa Sabang Bin Sulaeman
melakukan pertambangan tanpa izin dengan menambang emas selama 3 hari, pada
hari pertama Sabang mendapatkan 0,2 (nol koma dua) gram emas, pada hari ke
dua sebanyak 0,3 (nol koma tiga) gram emas. Pendapatan emas tersebut bernilai
ekonomis yang cukup tinggi bagi Terdakwa yang berprofesi sebagai petani untuk
dihadapi bagi aparat penegak hukum seperti yang telah dijelaskan pada paragraph
halnya Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pasar Wajo yang memutus Terdakwa
Rupiah) dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar maka diganti dengan
perbuatannya seperti biasa seperti tidak ada efek jera yang dirasakan akibat
perbuatannya tersebut.
8
perkara alternatif pidana, yakni melalui jalur non litigasi, yakni penyelesaian
perkara yang bersifat konsensus atau koperatif untuk tujuan win-win solution atau
pada Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
hakim pada saat peradilan. Dalam proses sistem peradilan pidana, membutuhkan
waktu yang agak lama dan panjang bahkan terkadang berbelit-belit, sehingga
Mediasi penal merupakan salah satu bentuk dari pelaksanaan restorative justice.
sebuah terobosan hukum mempunyai manfaat yang banyak bagi kedua belah
di luar pengadilan sangat relevan dalam hal ini, karena perkara tindak pidana
pertambangan tanpa izin skala kecil ini berbicara tentang hak asasi manusia dan
9
perlakuan diskriminasi10 kepada rakyat kecil yang banyak dilakukan oleh
masyarakat sekitar tambang yang tidak mendapatkan hasil dari tambang tersebut
atau bekerja pada sector pertambangan tersebut dikarenakan faktor usia yang
sudah renta ataupun factor lainnya. Menjadi dilema bagi aparat penegak hukum
seperti halnya kasus yang telah penulis ceritakan sebelumnya. Setelah Sabang
rumah tangga. Usia Sabang Bin Sulaeman juga telah memasuki usia lanjut dan
hukum dalam hal ini penyidik di kepolisian bombana, ada dilemma yang terjadi
antara fakta yuridis dan fakta empiris. Apa yang diharapkan tidak sesuai dengan
apa yang terjadi. Ketika berbicara aturan maka aturan itu harus ditegakkan, disisi
perkara khususnya tindak pidana pencurian ringan. Melalui mediasi penal proses
untuk menerapkan mediasi penal dalam proses peradilan pidana Indonesia sebagai
10
Iksan, Handrawan dkk, Kejahatan Kekerasan Terhadap Anak dalam Perspektif
Kriminologis di Kota Kendari, Volume 4 Issue 1, March 2020. H.1
10
Berdasarkan deskripsi permasalahan sebagaimana yang telah dijabarkan di
atas, maka penulis tertarik melakukan penelitian yang hasilnya akan ditulis dalam
Rumusan Masalah
permasalahan tentang :
1.1.1. Kegiatan pertambangan tanpa izin apa saja yang dapat dimediasi penal ?
1.2.1. Untuk menganalisis tentang kegiatan pertambangan tanpa izin apa saja
kecil.
Adapun manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini, sebagai berikut:
11
tentang tindak pidana pertambangan, kerusakan lingkungan, dan mediasi
penal.
dalam hal pertimbangan ilmiah dalam menangani kasus tindak pidana pada
pidana”.11
11
Mark Umbreit, Family Group Conferencing: Implications for Crime Victims, The Center
for Restorative Justice, University of Minnesota,
http://www.ojp.usdoj/ovc/publications/infores/restorative_justices/9523-family_group/
family3.html., 2001. Lihat: Mark M. Lanier dan Stuart Henry, Essential Criminology, Second
Edition, Wastview, Colorado, USA, 2004, hlm. 332 dan 407-408.
12
Terhadap pandangan tersebut Daly12 mengatakan, bahwa konsep
kerusakan dan kerugian yang diderita oleh pra korban tindak pidana dan
dating.13
adalah pemulihan, sedangkan tujuan kedua adalah ganti rugi. Hal ini
12
Kathleen Daly, Restorative Justice in Diverse and Unequal Societies, Law in Context
1:167-190, 2000. Lihat : Mark M. Lanier dan Stuart Henry, Essential Criminology, Second
Edition, Westview, Colorado, USA, 2004, hlm. 332 dan 367.
13
Tony Marshall, Restorative Justice: An Overview, London: Home Office Research
Development and Statistic Directorate, 1999, hlm. 5, diakses dari website:
http//www.restorativejustice.org. pada tanggal 08 Desember 2017.
13
Program keadilan restoratif didasarkan pada prinsip dasar bahwa
suatu keadilan yang diharapkan oleh para pihak yaitu antara lain pelaku
tindak pidana serta korban tindak pidana untuk mencari solusi terbaik
tindak pidana berhak menuntut ganti rugi kepada pelaku tindak pidana
14
Rocky Mabun, Restorative Justice Sebagai Sistem Pemidanaan di Mas Depan,
http://forumduniahukumblogku.wordpress.com, diakses pada 24 Oktober 2021.
14
1.4.1.2. Restorative Justice
yang diutarakan oleh Burt Gallaway dan Joe Hudsob tersebut, member
kerugian atau kerusakan yang timbul akibat terjadinya suatu tindak pidana
memiliki hak sepenuhnya untuk ikut serta dalam proses penyelesaian dan
dan pengertian tindak pidana yang bukan lagi harus dipandang sebagai
15
suatu perbuatan melanggar hukum yang harus diberi sanksi oleh Negara
tetapi suatu perbuatan yang harus dipulihkan melalui ganti rugi atau jenis
penghukuman.15
15
Van Ness dan Strong, 1997, hlm. 15, diakses dari website http://www.restorativejustice.org
dikutip tanggal 24 Oktober 2021
16
(informed consent) dan pelepasan hak suka rela (wiver of rights) dapat
akan makna dan tujuan keadilan itu, tanpa memandang suku, jenis
proses restoratif.
16
Rufinus Hotmalana Hutauruk, Penanggulangan Kejahatan Korporasi Melalui Pendekatan
Restoratif Suatu Terobosan Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2013. hlm. 127.
17
Ibid
17
3) Hak-Hak Korban
4) Proporsionalitas
18
peradilan pidana pada umumnya, proporsionalitas dianggap telah
yang sama.19
19
Warner,1994, diakses dari website http://www.restorativejustice.org pada tanggal 24
Oktober 2021.
19
Dalam proses restoratif, advokat atau penasehat hukum
Pidana
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan Undang-
20
Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
ADR.
dan proporsional.
21
3) Penyelesaian kasus pidana yang menggunakan
ADR.
tujuan Polmas.
22
bahwa dalam penyelesaian kasus pidana di Kepolisian dengan
23
hukum pidana dan penangkapan hal itu berarti bisa menjadi dasar
pengertian dari mediasi. Mediasi berasal dari bahasa Latin, mediare yang
ditengah” juga bermakna mediator harus berada pada posisi netral dan
yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai
24
pemecahan masalah dimana pihak luar yang tidak memihak (impartial) dan
mengenai mediasi. Dari beberapa defenisi tersebut, maka di dalam skripsi ini
dua pihak atau lebih. Kedua, pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa
23
Sudiarto dan Zaeni Asyhadle, Mengenal Arbitrase (Cet I; Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2004), h. 16.
24
Mediasi adalah sebuah proses di mana orang ketiga yang tidak memihak membantu mereka
yang terlibat dalam konflik untuk berkomunikasi secara evektif satu sama lain dan untuk mencapai
keputusan mereka sendiri yang disepakati dan yang berjalan baik mengenai beberapa, atau semua,
dari masalah yang tidak layak.
25
Syarrizal Abbas, Mediasi dalam Perspektif Hukum Syari’ah, Hukum Adat, dan Hukum
Nasional, h. 2-3.
25
adalah pihak-pihak yang berasal dari luar pihak sengketa. Ketiga, pihak yang
dalam ketentuan pasal 6 ayat (3), pasal 6 ayat (4) dan pasal 6 ayat (5)
Undang-undang No. 30 Tahun 1999. Menurut pasal 6 ayat (3) bahwa mediasi
adalah suatu proses kegiatan sebagai kelanjutan dari gagalnya negosiasi yang
Mediasi Penal merupakan dimensi baru yang dikaji dari aspek teoretis
dan praktik. Dikaji dari dimensi praktik maka mediasi penal akan berkorelasi
memutus perkara sesuai asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan
26
Elkhart-Indiana. Sedangkan di Inggris, mediasi penal ini dipraktekkan The
Exeter Youth Support Team pada tahun 1979. Pada awalnya, mediasi penal
kejahatan yang dilakukan oleh orang dewasa. Bahkan menurut Barda Nawawi
Arief, metode mediasi penal juga dapat diterapkan untuk semua tipe pelaku
tindak pidana atau semua tipe tindak pidana. Mediasi penal sebagai
menilai penggunaan istilah rekonsiliasi tidak cocok karena terlalu agamis dan
Korban dan Pelaku). Adapun istilah penal mediation dipakai karena mediasi
yang biasanya menjadi fungsi mediasi. Istilah mediasi penal ini di Belanda
praktisi. Oleh sebab itu, langkah-langkah dan teknik mediais dapat diperoleh
27
dari karya-karya praktisi mediasi, khususnya para praktisi di Negara-negara
(Generation Options)
Options).
dimulai dengan pemilihan atau penunjukan mediator oleh para pihak pada
28
lembaga penyedia jasa. Atas dasarr penunjukan, maka mediator secepat
mengakhiri perselisihan.
sentralistik.
29
Syarrizal Abbas, Mediasi dalam Perspektif Hukum Syari’ah, Hukum Adat, dan Hukum
Nasional, h. 91-92.
29
Mediasi dapat ditempuh oleh para pihak yang terdiri atas dua pihak yang
dapat dicapai atau dihasilkan jika semua pihak yang bersengketa dapat
menerima penyelesaian itu. Namun, ada kalanya karena berbagai faktor para
jalan buntu. Situasi ini yang membedakan mediasi dari litigasi. Litigasi pasti
karena ketegangan diantara dua pihak masih berlangsung dan pihak yang
konflik di luar pengadilan memiliki tujuan dan manfaat baik itu dari segi
ketiga yang netral dan imparsial. Mediasi penal dapat mengantarkan para
pihak pada posisi yang sama, tidak ada pihak yang dimenangkan atau pihak
30
dalam mediasi yang gagal pun, dimana para pihak belum mencapai
dapat disepakati oleh kedua boleh pihak. Mediasi Penal dapat memberikan
e) Mediasi dapat mengubah hasil, yang dalam litigasi dan arbitrase sulit
Sumber Daya alam adalah titipan dan anugrah dari Allah Yang Maha
Kuasa, kita sebagai manusia hanya diberikan kesempatan sekali untuk menikmati
31
berikutnya. Hubungan manusia dengan sumber daya alam adalah keterkaitannya
dengan kehidupan manusia yang memiliki kebutuhan akan semua ini untuk
1945, sehingga sesuai dengan Pasal 33 secara jelas hak menguasai dimiliki oleh
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
dikuasai oleh Negara dalam Pasal 33 ayat (3) di atas merupakan dasar bagi konsep
Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 tidak ada ketentuan dalam perundang-undangan baik
karena di sini hak menguasai negara dalam konteks pertambangan, dimana Negara
32
disamakan konsep hak menguasai Negara atas tanah atau hak atas tanah. Adanya
penyamaan konsep hak menguasai Negara atas bahan galian dengan hak atas
tanah merupakan sebuah pemaknaan yang kurang tepat, kalau tidak boleh dibilang
keliru, setidaknya ada 2 (dua) alasan pokok kekeliruan pemaknaan yaitu pertama,
alasan filosofi budaya dan adat yang bhineka tunggal Ika (Negara Republik
atau lahan karena dapat dipahami karena tanah berhubungan langsung dengan
kebutuhan pokok manusia yang menyangkut rumah atau perumahan yang berdiri
di atas tanah, dan hak pokok lainnya, Kedua alasan teknis strategis karena
Indonesia banyak memiliki bahan galian yang pada umumnya berada di dalam
tanah dan bahan galian ini dapat diusahakan secara ekonomis dalam kerangka
membangun Negara dan bangsa secara merata dan adil sehingga diperlukan
rakyat.
masalah yang menjadi objek penelitian ini, maka perlu dikemukakan tentang
Lex Specialis Derogat Legi Generali dalam rangka penegakan hukum pidana.30
lingkungan dan pembangunan sosial dan ekonomi dianggap sebagai bagian dari
30
PAF Lamintang, 1984, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung, Sinar Baru,
Hlm.685
33
konsep pembangunan tahun 70-an, maka teori hukum sebagai sarana
pembangunan berkelanjutan.31
isu lingkungan dengan segera menjadi perdebatan dan sekaligus menjadi dimensi
prinsip di atas untuk pertama kali dianut dalam GBHN Indonesia tahun 1973. dari
merupakan salah satu prinsip penting Deklarasi Stockholm, yaitu prinsip 21 yang
berbunyi sebagai berikut: “state have, in accordance with the charter of the
United Nation and the principles of International law, the sovereign rights to
exploit their own resources pursuant to their own environmental policies, and the
34
cause damage to the environment of other state or of areas beyond the limits of
national jurisdiction”.
Dari prinsip diatas, terdapat dua hal mendasar dari perkembangan hukum
baru yang perlu dicermati, yaitu pertama perkembangan hukum bertalian dengan
hak berdaulat (sovereign right) terhadap sumber daya alam yang menimbulkan
masalah hukum yang bersifat lintas batas negara (hukum internasional), kedua,
responsibility). Jadi jika ada tindak pidana pada pertambangan berarti merupakan
salah satu teori hukum yang banyak mengundang atensi dari para pakar dan
masyarakat adalah mengenai Teori Hukum Pembangunan dari Prof. Dr. Mochtar
dijabarkan aspek tersebut secara global adalah sebagai berikut: Pertama, Teori
Hukum Pembangunan sampai saat ini adalah teori hukum yang eksis di Indonesia
karena diciptakan oleh orang Indonesia dengan melihat dimensi dan kultur
masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, dengan tolok ukur dimensi teorihukum
35
Kedua, secara dimensional maka Teori Hukum Pembangunan memakai
kerangka acuan pada pandangan hidup (way of live) masyarakat serta bangsa
norma, asas, lembaga dan kaidah yang terdapat dalam Teori Hukum
Lawrence W. Friedman.33
engeneering) dan hukum sebagai suatu sistem sangat diperlukan bagi bangsa
pembaharuan memang diinginkan, bahkan mutlak perlu, dan bahwa hukum dalam
dikehendaki oleh pembangunan dan pembaharuan itu. Oleh karena itu, maka
diperlukan sarana berupa peraturan hukum yang berbentuk tidak tertulis itu harus
33
Lawrence W. Friedman, 1984, American Law: An invaluable guide to the many faces ofthe
law, and how it affects our daily our daily lives, W.W. Norton & Company, New York, hlm. 1-8.
danpada Legal Culture and Social Development, Stanford Law Review,New York, hlm. 1002-
1010
36
Lebih jauh, Mochtar berpendapat bahwa pengertian hukum sebagai sarana
diadakan pada zaman Hindia Belanda, dan di Indonesia ada sikap yang
seperti itu.
37
tidak dapat memainkan suatu peranan yang berarti dalam proses
pembaharuan.”
pidana terdapat tiga permasalahan pokok, yaitu (1) perbuatan yang dilarang, (2)
orang yang melakukan perbuatan yang dilarang itu; dan (3) pidana yang
Ciri khas hukum pidana, yang membedakan dengan hukum yang lain ialah
adanya sanksi yang berupa pidana. Pidana itu sendiri dari pelbagai pandangan
yang telah terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana.
34
Oheo K. Haris, Good Governance (Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik) Dalam
Pemberian Izin Oleh Pemerintah Daerah Di Bidang Pertambangan, Volume 30 No 1, Januari
2015, https://e-journal.unair.ac.id/YDK/article/viewFile/4879/3586, dikutip tanggal 17 Desember
2021
35
Dwidja Priyatno, 2006, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, Refika
Aditama, Bandung,. h. 45
36
Ibid, h. 45
37
Didik Endro Purwoleksono, 2010, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bahan Kuliah
Mahasiswa Magister Hukum Program Pascasarjana Universitas Airlangga) Surabaya, tnp. h. 13
38
Dari kata strafbaar feit, para pakar hukum pidana menerjemahkan istilah
dengan cara pandang masing-masing atau sesuai dengan aliran hukum pidana
yang dianut. Perbuatan pidana harus terdiri dari unsur-unsur lahiriah (fakta) oleh
perbuatan adanya kelakuan serta akibat yang ditimbulkan karenanya. Dua hal
Lebih lanjut ditegaskan, bahwa fungsi hukum pidana itu sendiri adalah
masyarakat maupun negara dari rongrongan atau pelanggaran atau perkosaan oleh
siapapun. Disisi lain, fungsi hukum pidana melalui pengaturan sanksi pidana
dalam undang-undang ada dua fungsi yaitu (1) ultimum remedium yang diletakkan
atau diposisikan sebagai sanksi terakhir dan (2) primum remedium yang
pidana. Apabila proses peradilan pidana yang berakhir dengan penjatuhan pidana
itu berjalan sesuai dengan asas peradilan, niscaya peradilan dinilai baik, tetapi
apabila sebaliknya tentu saja dinilai sebaliknya pula bahkan dapat di cap sebagai
semua orang dihadapan hukum (equality before the law), sebagaimana diatur
38
Muhammad Sidrat, Sabrina Hidayat, Herman, Syarat Diversi pada Anak yang Berkonflik
dengan Hukum dalam Konsep Pemidanaan, Volume 1 Issue 2, August 2019, http:/
/ojs.uho.ac.id/index.php/holresch/ dikutip tanggal 17 Desember 2021.
39
Didik Endro Purwoleksono, 2010. Pengaturan Sanksi Pidana Dalam Ketentuan Undang-
Undang (Pidato Pengukuhan Guru Besar : 12 Juli 2008) dalam Kebijakan Hukum Pidana,
(Bahan Kuliah Mahasiswa Magister Hukum Program Pascasarjana Universitas Airlangga) tnp,
Surabaya., h. 22.
39
dalam peraturan perundang-undangan, namun berdasarkan undang-undang itu
yang berkisar pada perbedaan hakekat ide dasar tentang pemidanaan yang dapat
yang masing-masing mempunyai implikasi moral yang berbeda satu sama lain,
kegunaannya di mana yang dilihat adalah situasi atau keadaan yang ingin
dimaksudkan untuk memperbaiki sikap atau tingkah laku terpidana dan dipihak
lain pemidanaan itu juga dimaksudkan untuk mencegah orang lain dari
40
Sedangkan Bambang Poernomo dan van Bemmelen juga menyatakan ada tiga
pemidanaan yaitu teori absolut, teori relatif dan teori gabungan. Teori tersebut
kesalahan yang dilakukan sehingga berorientasi pada perbuatan dan terletak pada
terjadinya kejahatan itu sendiri. Teori ini mengedepankan bahwa sanksi dalam
kejahatan yang merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu
pembalasan atas kesalahan pelaku tetapi sarana mencapai tujuan yang bermanfaat
ditekankan pada tujuannya, yakni untuk mencegah agar orang tidak melakukan
pencegahan umum yang ditujukan kepada masyarakat. Teori relatif berasas pada
42
Bambang Poernomo, 1986, Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan,
Liberty Yogyakarta. h. 27
43
Widodo, 2009, Sistem Pemidanaan Dalam Cyber Crime Alternatif Ancaman Pidana Kerja
Sosial Dan Pidana Pengawasan Bagi Pelaku Cyber Crime, Laksbang Mediatama, Yogyakarta. h.
70
41
tiga tujuan utama pemidanaan yaitu preventif, detterence, dan reformatif. Tujuan
melakukan kejahatan yang bisa dibedakan untuk individual, publik dan jangka
panjang). 44
retributif sebagai satu kesatuan. Teori ini juga sering dikenal sebagai teori
integratif atau juga teori paduan. Teori ini bercorak ganda, di mana pemidanaan
terletak pada ide bahwa tujuan kritik moral tersebut ialah suatu reformasi atau
sebagai sarana yang harus dicapai oleh suatu rencana pemidanaan. Karena
44
Elsam 2005, op cit h.11.
45
ibid
42
karena didasarkan pada keyakinan bahwa tujuan rehabilitasi tidak dapat berjalan.
dikemukakan oleh Se Situs Reid. Model keadilan yang dikenal juga dengan
pendekatan keadilan atau model ganjaran setimpal (just disert model) yang
(prevention) dan retribusi (retribution). Dasar retribusi dalam just disert model
menganggap bahwa pelanggar akan diniliai dengan sanksi yang patut diterima
kata lain, tujuan pemidanaan hanya dimaksudkan untuk mengubah perilaku dari
46
Sholehuddin, 2003, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
h. .61
47
Ibid, h. 62
43
Mencermati keberadaan dua teori tersebut, muncul Teori gabungan yang
mendasarkan atas pembalasan dan asas pertahanan tata tertib hukum masyarakat.
49
Menurut Made Sadhi Astuti, tujuan pidana adalah bertalian erat dengan
Selain ketiga teori yang dikemukakan sebelumnya, yaitu teori absolut atau
teori pembalasan, teori relatif atau teori tujuan, dan teori gabungan, juga terdapat
50
teori yang keempat yaitu Teori Pembinaan, yang menekankan bahwa tujuan
pidana adalah untuk merubah tingkah laku atau kepribadian nara pidana agar
serta norma-norma lainnya dan agar lebih cenderung untuk mematuhi norma-
norma yang berlaku. Dengan kata lain tujuan pidana untuk memperbaiki nara
pidana.
48
Kusno Adi, 2009, Kebijakan Kriminal Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika
Oleh Anak, UMM Press, Malang,. hlm. 75
49
Ibid, hlm. 75
50
Ibid
44
Dalam teori pembinaan perhatian utama lebih diarahkan pada nara pidana,
bukan pada tindak pidana yang terjadi, konsekuensinya ialah jenis dan bentuk
pidana tidak didasarkan pada berat ringannya tindak pidana yang dilakukan,
nara pidana.
Kebijaksanaan di sini harus dilihat baik dalam pengertian fisik maupun mental
(pskhis) dan spiritual, karena baik pertumbuhan secara fisik maupun mental anak
yang bersangkutan tidak boleh mengalami hambatan dan gangguan. Teori pidana
pelanggar membayar ganti rugi kepada orang yang terkena atau pada korban,
membayar uang adat atau korban pada persekutuan desa, bahkan kerabat si
penjahat menanggung pidana yang dijatuhkan atas kejahatan yang dilakukan oleh
dikritik karena didasarkan pada keyakinan bahwa tujuan rehabilitasi tidak dapat
51
Ibid, h. 76
45
berjalan. Pada tahun 1970-an telah terdengar tekanan-tekanan bahwa treatment
justifikasi modern untuk pemidanaan yang dikemukakan oleh Sue Titus Reid.
Model keadilan yang dikenal juga dengan pendekatan keadilan atau model
ganjaran setimpal (just desert model) yang didasarkan pada dua teori tentang
Dasar retribusi dalam just desert model menganggap bahwa pelanggar akan dinilai
yang telah dilakukannya, sanksi yang tepat akan mencegah para kriminal
melakukan kejahatan. Dengan skema just desert ini, pelaku dengan kejahatan
yang sama akan menerima penghukuman yang sama, dan pelaku kejahatan yang
lebih serius akan mendapatkan hukuman yang lebih keras daripada pelaku
Terdapat dua hal yang menjadi kritik dari teori just desert ini, yaitu:
perbedaan yang relevan lainnya antara para pelaku, seperti latar belakang pribadi
pelaku dan dampak penghukuman kepada pelaku dan keluarganya dan dengan
demikian seringkali memperlakukan kasus yang tidak sama dengan cara yang
46
sama. Kedua, secara keseluruhan, tapi eksklusif, menekankan pada pedoman-
Di samping just desert model juga terdapat model lain yaitu restorative
justice model yang seringkali dihadapkan pada retributive justice model. Secara
penolakan terhadap sarana koersif yang berupa sarana penal dan diganti dengan
mengandung masalah atau cacat struktural sehingga secara relatistis harus dirubah
47
dasar-dasar sruktur dari sistem tersebut. Dalam konteks sistem sanksi pidana,
nilai-nilai yang melandasi paham abolisionis masih masuk akal untuk mencari
alternatif sanksi yang lebih layak dan efektif daripada lembaga seperti penjara.
yang langsung dari para pihak. Korban mampu untuk mengembalikan unsur
secara aktif memperkuat komunitas itu sendiri dan mengikat komunitas akan
nilai-nilai untuk menghormati dan rasa saling mengasihi antar sesama. Peranan
komunitas dan pemerintah untuk menciptakan sebuah kondisi dimana korban dan
mereka.
justice juga menekankan pada hak asasi manusia dan kebutuhan untuk mengenali
dampak dari ketidakadilan sosial dan dalam cara-cara yang sederhana untuk
formal atau hukum dan korban tidak mendapatkan keadilan apapun. Kemudian
48
restorative justice juga mengupayakan untuk merestore keamanan korban,
penghormatan pribadi, martabat, dan yang lebih penting adalah sense of control.
meru juk pada penggunaan istilah penelitian hukum normatif, bahkan tidak
normatif semata. Selain istilah penelitian hukum normatif, ada juga yang
dengan penjelasan yang bersifat normatif saja, tanpa ada penjelasan yang
lebih detail.52
teoritis. Disebut demikian, karena pada penelitian normatif ini fokus pada
asas hukum, prinsip-prinsip hukum, dan dapat berupa hasil karya ilmiah
para sarjana (doktrin). Berbagai aspek dikaji pada penelitian jenis normatif
52
Irwansyah, Penelitian Hukum Pilihan Metode dan Praktik Penulisan Artikel, Mirra Buana
Media, Yogyakarta, 2020. Hal. 94
49
perbandingan, struktur dan komposisi, lingkup dan materi, konsistensi,
penelitian yang mengarah pada hukum positif dan norma tertulis. Penulis
kepustakaan.54
Pendekatan Perundang-undangan
50
a. Undang-undang (UU) Nomor 3 Tahun 2020. Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara.
b. Undang-Undang Republik Indonesia. Nomor 32 Tahun 2009.
Tentang. Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
c. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
d. Surat Edaran Kapolri Tentang Penerapan Restorative Justice Dalam
Penyelesaian Perkara Pidana.
e. Peraturan Daerah (PERDA) tentang Pengelolaan Pertambangan
Mineral Dan Batubara Nomor 05 Tahun 2013.
Pendekatan Kasus
isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah
Pendekatan Konsep
konsep hukum, dan asas hukum yang relevan dengan permasalahan yang
diteliti .
mengikat.
55
Peter Mahmud Marzuki, Op., Cit., hal. 93
51
2. Bahan hukum sekunder, merupakan bahan-bahan yang memberikan
berhubungan dengan penelitian ini. Selain itu penelitian ini juga merujuk
internet.
merupakan analisis yang bersifat kualitatif, yakni data yang ada adalah
data yang digambarkan dalam kalimat, tidak ada unsur angka tetapi tidak
52
undangan tentang penyelenggaraan ke karantinaan kesehatan berdasarkan
Undang-Undang.
Secara sistematis, penelitian tesis ini akan dibagi ke dalam 4 bab, pada tiap
rangkaian beberapa kajian teoritis, metode penelitian, yang terdiri dari : tipe
penelitian, sumber bahan hukum, pengolahan dan analisa bahan hukum, serta
sistematika penulisan.
Demikian juga pada bab iii menganalisis rumusan masalah kedua tentang
BAB II
DIMEDIASI PENAL
53
2.1. Landasan Pemikiran Diperlukannya Mediasi Penal Dalam Penyelesaian
Perkara Pidana
56
Sue Titus Reid, Criminal Justice, Criminal Justice, Procedure and Issue, (New York: West
Publishing Company, 1987), hlm. 352, dalam Soehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana: Ide
Dasar Double Track System dan Implementasinya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hlm.
62.
57
Daniel W. Van Ness, restorative justice and Intenational Human Right, dalam Restorative
Justice : Internatonal Perspective, edited by Burt Galway and Joe Hudson, (Amsterdam, The
Netherland : Kugler Publications, 1996), hlm. 23, lihat juga Zainal Abidin, Pemidanaan, Pidana
dan Tindakan dalam Rancangan KUHP 2005, Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri ke – 3,
(Jakarta : ELSAM – Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, 2005), hlm. 12-13.
54
c. The criminal justice process should facilitate active participation
by victim, offenders and their communities. A should not be
dominated by government to the exclusion of thers. (Proses
peradilan pidana harus memfasilitasi partisipasi aktif dari korban,
pelaku dan komunitas (masyarakat). Hal ini tidak boleh didominasi
oleh pemerintah dengan mengesampingkan orang lain atau hal-hal
lainnya).
penal atau sarana litigasi dan diganti dengan sarana non penal/non
alternatif sanksi yang lebih layak dan efektif daripada lembaga seperti
penjara.59
58
Muladi, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Semarang : Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, 1966), hlm. 125.
59
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Perspekctif Eksistensionallisme dan
Abolisionisme, (Bandung : Bina Cipta, 1996), Hlm. 101.
55
kejahatan dan dalam membangun sistem nilai sosialnya. Keterlibatan
justice juga menekankan pada hak asasi manusia dan kebutuhan untuk
56
Restorative justice adalah respon yang sistematis atas
pihak yang terkait (stake holder) dan adanya upaya untuk melakukan
sehingga dapat terwujud rasa keadilan yang dapat diterima oleh semua
and John Braith Waite, (The Australian National University: Asghate Publishing Ltd, 2000), hlm.
14
57
pihak. Apabila dikaitkan dengan sistem peradilan pidana yang ada, ide
yang selama ini hanya bisa diselesaikan melalui sarana penal atau
sarana litigasi yaitu melalui proses yang dimulai dari tahap penyidikan,
penal atau non litigasi. Penyelesaian perkara pidana melalui sarana non
58
perkara pidana yang dilakukan dengan menggunakan model
resolutif dan tanpa ada pihak yang kehilangan muka (elegant solution).
hukum.
Manning, bahwa62
62
Manning P. Police Work, The Social Organization of Policing, (Cambridge: MIT, 1977),
hlm. 78.
59
“The law simply does not cover every situation that a police officer
encounters in field. In cases where the law may be clear, it might be more
prudent for the officer to ignore strict letter-of-the law interpretations”.63
ribut dan keinginan untuk selalu hidup rukun dan menyelesaikan setiap
masalah dalam musyawarah untuk mufakat itu sudah ada sejak dulu
yang ada. Dapat diibaratkan seperti sebuah sekam kering yang apabila
60
apabila ada hembusan angin panas akan membuat konflik yang tadinya
kecil akan cepat menjadi besar. Tentunya dalam konflik konflik yang
61
suatu kejadian kecil yang berpotensi pada konflik yang lebih besar
baik tindak pidana ringan, delik aduan, termasuk tindak pidana yang
yang dirasa tersisihkan dengan meka nisme yang bekerja pada sistem
peradilan pidana yang ada pada saat ini. Dipihak lain, Restorative
justice juga merupakan suatu kerangka berfikir yang baru yang dapat
62
pekerja hukum. Penanganan perkara pidana dengan pendekatan
63
langsung, yaitu dengan mempertemukan para pihak (korban dan
peradilan pidana.
mediation).
64
Pelaksanaannya hukum dapat berjalan secara efektif maupun tidak
pencapaian tujuan hukum dalam sistem peradilan pidana selama ini hanya
hukum. Bahkan salah satu yang menjadi tujuan hukum yang sesuai dengan
menggunakan asas prioritas sebagai tiga nilai dasar hukum atau sebagai
baik yang dilakukan oleh hakim, jaksa, pengacara maupun aparat hukum
lainnya, lebih baik ketiga nilai dasar hukum dapat diwujudkan secara
64
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial
Prudence) : Termasuk Interprentasi Undang-Undang (Legisprudence) Vol I Pemahaman Awal,
(Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2009), Hlm. 213.
65
bersama-sama, tetapi manakala tidak mungkin, maka haruslah
penerapan asas prioritas ini, sistem hukum Indonesia dapat tetap tegak
maupun Achmad Ali yang menganggap sangat realistis jika menganut asas
maka ketiga nilai dalam tujuan hukum tersebut (keadilan, kemanfaatan dan
berperkara.
66
konsep negara hukum yang disandingkan dengan ide dasar kesimbangan 65
bersumber pada alam dan budaya Indonesia serta dijiwai oleh nilai-nilai
65
Barda Nawawi Arief, Pokok-pokok Pikiran (Ide Dasar) Asas asas Hukum Pidana
Nasional, Bahan Kuliah, Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang,
2006.
66
Ibid, hlm. 5.
67
merupakan ide keseimbangan monodualistik yang memperhatikan
berbagai kepentingan yang harus dilindu ngi oleh hukum pidana, yaitu
melanggar hak dan merugikan orang lain. Penegakan hukum yang baik
adalah apabila sistem peradilan pidana bekerja secara obyektif dan tidak
68
maupun kepentingan-kepentingan lainnya. Konsep pengayoman ini
sebagaimana diatur dalam Pasal 54 ayat (1) konsep KUHP tahun 2008,
atas yang berkaitan dengan mediasi penal (penal mediation) sebagai dasar
69
sila pancasila adalah hampir tercermin dalam semua sila, namun yang
kemanusiaan (humanistik).
Nomor 2 tahun 2002 tentang Polri adalah salah satu fungsi pemerintahan
Sedangkan tugas pokok Polri diatur dalam Pasal 13 UU No. 2 tahun 2002.
67
Satjipto Raharjo, Community Policing di Indonesia, Makalah Seminar Polisi antara
Harapan dan Kenyataan, Hotel Borobudur, Jakarta, 2001.
70
Dalam melaksanakan tugas penegakan hukum, khususnya dalam
penal atau litigasi dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system)
yang selama ini telah dilakukan. Dalam rangka penegakan hukum pidana,
dalam hukum acara pidana (KUHAP) yang ada. Di sini tentunya polri
71
Selanjutnya pemerintah melalui pihak kepolisian maupun or community).
bantuan mediator yang netral, dihadiri oleh korban dan pelaku baik secara
(tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat, dll), yang dilakukan secara
rkayat indonesiaí”.
72
68
Mengenai keadilan, Rifyal Ka’bah menyebut ada 3 (tiga) bentuk
keadilan yang harus diwujudkan: Justice, Moral Justice dan Social Justice.
hukum Negara dalam bentuk formal, Moral Justice (Keadilan Moral) tidak
lain dari keadilan berdasarkan moralitas. Moralitas adalah standar baik dan
agama. Social Justice (Keadilan Sosial) sebagai salah satu dasar Negara
keadilan (justice) itu dalam sebuah putusan memang bukan hal yang tidak
68
Muntasir Syukri (Hakim Madya Pratama Pengadilan Agama Klungkung), Hakim: Antara
Legal Justice, Moral Justice dan Social Justice, Artikel bebas, Semarapura, 23 Mei 2010, lihat
http://www. badilag.net/data/ARTIKEL/Hakim anatara legal justice.pdf, diakses pada tanggal 23
Februari 2022.
73
dimensi bersifat privat ke dalam ranah hukum publik. Pada dimensi
mediasi penal (Penal mediation) ini yang dicapai bukan keadilan formal
peradilan pidana yang diatur dalam peraturan bersifat legal formal. Namun
yang ingin dicapai dalam konsep mediasi penal (Penal mediation) ini
dalam sistem peradilan pidana yang ada selama ini adalah keadilan
yang membatasi kewenangan dan juga hak dari seseorang, seringkali kita
timbul dari adanya pergeseran hak antar masyarakat. Di satu sisi hukum
69
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, 1995), hlm. Ix.
74
pidana akan melindungi hak seseorang tapi disisi lain juga membatasi
(healing), lebih resolutif dan tanpa ada pihak yang kehilangan muka
(elegant solution). Selain itu, melalui mediasi penal ini akan mempunyai
secara cepat, sederhana, dan biaya ringan karena pihak yang terlibat
75
Memang secara yuridis dalam sistem penegakan hukum pidana di
Undang No. 2 tahun 2002 tentang Polri, telah memberikan hak kepada
dan resiko serta biaya dan keuntungan (cost and benefit) dari tindakannya
76
Apabila dikaitkan dengan Pasal 18 Undang-Undang No. 2 tahun
2002 di atas, dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a angka 4 dan Pasal 7 ayat (1)
syarat (a) tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum, (b) selaras
jabatan, (c) tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam
Undang No. 8 tahun 1981 (KUHAP) menyatakan bahwa polisi dalam hal
karena (1) tidak terdapat cukup bukti, (2) peristiwa tersebut ternyata bukan
70
Pasal 16 ayat (1) huruf h UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia)
71
Pasal 7 ayat (1) huruf i UU No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
77
Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena ketiga alasan
diskresi. Oleh karena itu, yang menjadi kesimpulan dari penulis adalah
yang terjadi adalah polisi atau penyidik ter sebut telah melanggar hukum
disiplin maupun kode etik profesi Polri). Hal ini dikarenakan kewenangan
undangan yang ada dan berlaku saat ini, maka polri dalam melaksanakan
78
(restorative justice) ada pada tiap-tiap institusi penegak hukum. Dengan
dikatakan antara "ada" dan "tiada". Di satu sisi mediasi penal dalam
undang dikenal secara terbatas selain melalui diskresi penegak hukum dan
undang yang dikenal secara terbatas antara lain sebagai berikut 72:
72
Dr. Lilik Mulyadi, S.H.,M.H. (Ketua Pengadilan Negeri Kepanjen, Kabupaten Malang,
Jawa Timur), Penyelesaian Perkara Di Luar Pengadilan Melalui Dimensi Mediasi Penal (Penal
Mediation) dalam Sistem Peradilan Pidana (Pengkajian Asas, Norma, Teori dan Praktik), Makalah
disampaikan pada Diskusi Terbatas tentang Penyelesaian Perkara Di Luar Pengadilan Melalui
Dimensi Mediasi Penal (Penal Mediation) dalam Sistem Peradilan Pidana: Pengkajian Asas,
Norma, Teori dan Praktik, dalam rangka Penelitian untuk wilayah Pengadilan Tinggi
Palangkaraya, Mataram, Jambi dan Semarang, diselenggarakan oleh Badan Penelitian dan
Pengembangan dan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI (Badan
Litbang Diklat Kumdil MARI) pada bulan April-Mei Tahun 2011, Mataram, 11 Mei 2011, lihat
http:// litbangdiklatkumdil.net/materi-nara-sumber/file/221-penyelesaian perkara-di-luar-
pengadilan-melalui-dimensi-mediasi-penal-penal mediation-dalam-sistem-peradilan-pidana-
indonesia-pengkajian-asas norma-teori-dan-praktik-.html?start=20, diakses tanggal tanggal 26
November 2011
79
a. Surat Kapolri Nomor: B/ 3022/ XII/ 2009/ SDEOPS tanggal 14
Desember 2009 tentang Penanganan Kasus Melalui Alternatif Dispute
Resolution (ADR) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia Nomor 7 tahun 2008 tentang Pedoman Dasar Strategi dan
Implementasi Pemolisian Masyarakat dalam Penyelenggaraan Tugas
Polri. Menurut Surat Kapolri No. Pol.: B/ 3022/ XII/ 2009/ SDEOPS
ditentukan beberapa langkah-langkah penanganan kasus melalui ADR
yaitu:
Mengupayakan penanganan kasus pidana yang mempunyai
kerugian materi kecil, penyelesaiannya dapat diarahkan melalui
konsep ADR.
Penyelesaian kasus pidana dengan menggunakan ADR harus
disepakati oleh pihak-pihak yang berperkara namun apabila tidak
terdapat kesepakatan baru diselesaikan sesuai dengan prosedur
hukum yang berlaku secara profesional dan proporsional.
Penyelesaian kasus pidana yang menggunakan ADR harus
berprinsip pada musyawarah mufakat dan harus diketahui oleh
masyarakat sekitar dengan. menyertakan RT/RW setempat.
Penyelesaian kasus pidana dengan menggunakan ADR harus
menghormati norma sosial/adat serta memenuhi asas keadilan.
Memberdayakan anggota Polmas dan memerankan FKPM (Forum
Komunikasi Polisi dan Masyarakat) yang ada di wilayah masing-
masing untuk mampu mengindentifikasi kasus-kasus pidana yang
mem punyai kerugian materiil kecil dan memungkinkan untuk
diselesaikan melalui konsep ADR.
Untuk kasus yang telah dapat diselesaikan melalui konsep ADR
agar tidak lagi disentuh oleh tindakan hukum lain yang kontra
produktif dengan tujuan Polmas.
80
Inpres ini ditujukan kepada beberapa Menteri/Kepala Lembaga
Pemerintahan, antara lain Menteri Kehakiman dan HAM, Jaksa Agung
RI, Kepala Kepolisian RI dan Ketua Badan Penyehatan Perbankan
Nasional. Pada diktum pertama angka 4 Inpres Nomor 8 tahun 2002
disebutkan bahwa, "dalam hal pemberian kepastian hukum
sebagaimana dimaksud dalam angka 1 menyangkut pembebasan
debitur dari aspek pidana yang terkait langsung dengan program
Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham, yang masih dalam tahap
penyelidikan, penyidikan dan/atau penuntutan oleh instansi penegak
hukum, maka sekaligus juga dilakukan dengan proses penghentian
penanganan aspek pidananya, yang pelaksanaannya tetap dilakukan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku”.
81
adatnya sehingga adanya keseimbangan antara alam kosmis dan non
kosmis menjadi seperti sedia kala.
73
Ibid
82
perempuan dapat dianggap melanggar hukum yang hidup dan
melanggar kaidah-kaidah kepatutan serta suatu perbuatan yang
melanggar moral karena perbuatan tersebut tidak dikualifikasikan
sebagai delik oleh KUH Pidana (tidak ada bandingannya). Oleh
karena itu, hakim memutuskan bahwa terdakwa telah "melakukan
kejahatan melakukan suatu perbuatan yang menurut hukum yang
hidup harus dianggap perbuatan pidana, tetapi tiada bandingannya
dalam Kitab Hukum Pidana Sipil". Kemudian Putusan Pengadilan
Negeri Luwuk Nomor 27/Pid/1983 dikuat kan oleh Putusan
Pengadilan Tinggi Palu Nomor 6/ Pid/1984 tanggal 9 April 1984
dengan dilakukan perbaikan dan penambahan berupa pertimbangan
dimana "untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat" yang
mengganggap perbuatan tersebut adalah tindak pidana, maka
hakim memutuskan terdakwa telah melakukan kejahatan
"bersetubuh dengan seorang wanita diluar nikah”. Akan tetapi
oleh Mahkamah Agung melalui Putusan Mahkamah Agung RI
Nomor 666 K/Pid/1984 tanggal 23 Februari 1985 maka putusan
Pengadilan Tinggi tersebut diperbaiki sekedra kualifikasi dimana
perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa merupakan suatu
perbuatan yang dikategorisasikan sebagai perbuatan zinah menurut
adat.74
hukum pidana adat masih berlaku. Pertama bahwa hukum adat tidak
hukum perdata (privat). Dan diantara keduanya saling berkaitan satu sama
lain.
74
Ibid
75
Otje Salman Soemandiningrat, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, (Bandung :
PT. Alumni, 2002), Hlm. 157-159.
83
undang (normatif) serta nilai-nilai mediasi penal ini sudah ada di
dan konsep penyelesaian perkara diluar proses masih berada dalam tahap
berikut76:
76
Lilik Mulyadi, Op dit
84
a. Dalam hal tindak pidana dilakukan berupa "pelanggaran yang
penghapus penuntutan.
orang tua, wali, atau orang tua asuhnya apabila dipandang masih
asuh.
85
Hak Asasi Manusia yang memberi kewenangan kepada Komnas
Aspek ini sifatnya hanya bersifat parsial, oleh karena tidak ada
HAM dapat juga hanya memberi saran kepada para pihak untuk
yang sah".
sebagai berikut:
86
dispute resolution / ADR” berupa mediasi, konsiliasi, restitusi dan
hukum pidana (the key elements of a new agenda for penal reform)
87
e. the EU Framework Decision 2001 tentang "the Stannding of Victim
in Criminal Proceedings".
Matters".
pidana dalam suatu sistem sosial masyarakat yang ada. Artinya sengketa
88
luar pengadilan melalui mekanisme mediasi penal dengan menggunakan
mekanisme mediasi penal selama ini tidak ada landasan hukum formalnya,
sehingga sering terjadi suatu kasus yang secara informal telah ada
dari cara pandang dan budaya masyarakat Indonesia. Dalam praktek sosial
dan telah menjadi tradisi antara lain pada Masyarakat Papua, Aceh, Bali,
misalnya dikenal "budaya bakar batu", sebagai simbol budaya lokal, yang
negara dipandang tidak diperlukan lagi, karena justru dinilai akan merusak
kembali harmoni sosial yang sudah tercapai. Selain itu, pada masyarakat
89
penyelesaian perkara dilakukan terlebih dahulu melalui Peradilan
Gampong atau Peradilan Damai.77 Selain itu, dalam Qanun Aceh Nomor
dahulu secara adat atau nama lain". Begitu pula di Bali, melalui desa adat
mekadi mutusang wicara ring desa inggih punika prajuru desa sinaggeh
kerta desa; ha. Kelihan banjar, pradene sang mewicara sane patunggalan
sebagai hakim peradilan desa adalah kelihan banjar, kalau yang berperkara
berasal dari satu banjar dan bendesa kalau yang berperkara semuanya
77
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 maka di Aceh penjabarannya dibuat
ketentuan perundangan-undangan dalam bentuk Qanun yang berhubungan dengan hukum adat
seperti Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat,
Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat. Kemudian selain dibuat Qanun Aceh
(Qanun tingkat Propinsi) terdapat juga Qanun-Qanun tingkat Kabupaten/Kota antara lain di dalam
Qanun Kabupaten Aceh Tengah Nomor 10 Tahun 2002 tentang Hukum Adat Gayo. Di Aceh,
pengadilan adat yang dikenal dengan istilah Pengadilan Gampong atau Pengadilan Damai juga
diimplementasikan. dalam Keputusan Bersama seperti di Kabupaten Aceh Tengah, yaitu adanya
Keputusan Bersama antara Bupati, Ketua DPRK dan Ketua MAA Kabupaten Aceh Tengah No.
373 Tahun 2008, No 320/DPRK/2008, No.Pol.: B/810/2008 Res Aceh Tengah dan No.
110/MAA/V/2008.
90
berasal dari satu desa).78 Dengan demikian, pada dasarnya konsep mediasi
ada dalam sengketa perdata, namun dalam praktek sering juga perkara
hukum ada adat), namun tetap saja diproses ke pengadilan sesuai hukum
yang berlaku.
yang terjadi di dalam masyarakat. Salah satu hal yang dapat terjadi di
pelaku (victim and offender). Jika dikaitkan dengan nilai-nilai yang hidup
91
korban, lalu memberikan ganti rugi kepada korban, hal-hal tersebut
ini dialami oleh korban, dimana dalam proses formalnya hanya dijadikan
karena telah dirugikan akibat tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku.
92
yaitu kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Apakah semua
dibutuhkan keberadaannya.
Terdapatnya satu proses yang sama bagi semua jenis tindak pidana
93
saja. Hal ini sangat bertentangan dengan keinginan masyarakat
atau litigasi maupun jalur non penal atau non litigasi dan keduanya
keadilan sosial.
94
perkara pidana demi mewujudkan keadilan hukum maupun keadilan
2.2. Tindak Pidana Yang Dapat Diselesaikan Melalui Mediasi Penal Dalam
Perkara Pidana
umum yaitu (1) perbuatan yang dapat dipidana, (2) perbuatan itu
bertentangan dengan hukum yang berlaku, (3) adanya kesalahan, dan (4)
antara lain79:
79
P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 1997), hlm. 212-225
95
h. Gemene delicten dan politieke delicten.
delicten.
80
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1 (Stelsel Pidana, Tindak Pidana,
Teori-teori Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana), (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2002), hlm. 121-122.
96
tindak pidana yang diperberat (gequalificeerde delicten), dan tindak
pidana yang diperingan (gepriviligieerde delicten).
j. Berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi, maka tindak
pidana tidak terbatas macamnya bergantung dari kepentingan hukum
yang dilindungi, seperti tindak pidana terhadap nyawa dan tubuh,
terhadap harta benda, tindak pidana pemalsuan, tindak pidana
terhadap nama baik, terhadap kesusilaan dan lain sebagainya.
k. Dari sudut berapa kali perbuatan untuk menjadi suatu larangan,
dibedakan antara tindak pidana tunggal (enkelvoudige delicten) dan
tindak pidana berangkai (samengestelde delicten).
juga membagi tindak pidana menjadi beberapa jenis, yaitu sebagai berikut
81
:
Buku Kesatu terkait Aturan Umum, Buku Kedua terkait Kejahatan dan Buku
terdapat jenis jenis tindak pidana yang diatur di luar KUHP yang sering
dikenal dengan istilah hukum pidana khusus atau tindak pidana khusus atau
81
Masruchin Ruba'i, Asas-asas Hukum Pidana, (Malang: UM Press bekerjasama dengan FH
Unibraw, 2001), hlm. 26-29
97
tindak pidana tertentu. Hukum pidana khusus atau tindak pidana khusus bisa
KUHP). Apa yang tercantum dalam KUHP pasti tidak dapat mengikuti
Berhubunga tindak pidana tersebut tidak berada dalam KUHP maka disebut
Pidana Khusus dilihat dari hukum pidana adalah Pasal 103 KUHP.
Indonesia baik versi darft 26 mei 2005 maupun draft februari 2008 hanya
terdiri dari “kejahatan” saja yang dirumuskan dalam Buku Kedua (Draft
RKUHP hanya terdiri dari Buku Kesatu dan Buku Kedua). Di samping
Indonesia yang Penulis ketahui telah dikenal pembagian perkara pidana atas
98
penyidikan yang meliputi (1) Kasus Biasa/Mudah, (2) Kasus Sedang, (3)
berikut:83
a. AUSTRIA:
99
dan apabila terdakwa setuju melakukan setiap kewajiban yang
b. BELGIA :
85
Dr. Juhani Iivari (Doctor of Social Sciences, Research Director in National Research and
Development Centre for Welfare and Health), Victim-Offender Mediation - An Alternative, an
Addition or Nothing But A Rubbish Bin in Relation to Legal Proceedings?, (Attachment 3), hlm.
11, mengutip David Miers (2001), An International Review of Restorative Justice, Crime
Reduction Research Series Paper 10. Home Office. Policing and Reducing Crime Unit Research,
Development and Statistics Directorate. Clive House, Petty France, London, him. 7, lihat
www.resto rativejustice.org/10fulltext/livaril, diakses tangga 26 Februari 2022.
100
atau telah memberi kompensasi kepada korban, maka kasusnya
c. JERMAN :
(OVA)
101
c) Pada tahun 1990, OVA (offender-victim arrangement)
d. PERANCIS :
88
Ibid
89
Dieter Rössner, Mediation as a Basic Element of Crime Control: Theoretical and
Empirical Comments, lihat http://wings.buffalo.edu/law/ bclc/bclrarticles/3(1)/roessner.pdf-
diakses tanggal 26 Februari 2022:
90
Kemudian dikembangkan berdasar UU 18 Desember 1998 dan UU 9 Juni 1999 (sumber
internet: international research project - report 2.pdf), lihat Barda Nawawi Arief, Mediasi Penal:
Penyelesaian Perkara Pidana di Luar Pengadilan, Op cit, hlm 26
102
pelaku dengan korban, sebelum mengambil keputusan dituntut
Procedure).
c) Tindak pidana tertentu yang dimaksud Psl. 41-2 CCP itu ialah:
91
Barda Nawawi Arief, Mediasi Penal: Penyelesaian Perkara Pidana di Luar Pengadilan, Op
cit, hlm 27, mengutip Deborah Macfarlane, Victim-Offender Mediation in France,
http://www.mediationconference. com.au/2006_Papers/Deborah Macfarlane VICTIM
OFFENDER MEDIATION IN FRANCE1.doc.
103
and 32 (2°) of the Ordinance of 18 April 1939 fixing the regime
Code.
e. POLANDIA 92:
a) Proses mediasi perkara pidana diatur dalam Pasal 23a CCP (Code
Article 320.
1. If it is relevant in connection with a respective motion to
the court, the state prosecutor may, on his own initiative, or
with the consent of parties, refer the case to a trustworthy
institution or person in order to conduct a mediation
procedure between the suspect and the injured
b) Mediator melakukan kontak dengan para pihak, merancang
92
Barda Nawawi Arief, Mediasi Penal: Penyelesaian Perkara Pidana di Luar Pengadilan, Op
cit, hlm 28, mengutip Alternative dispute resolutions - Poland, http://ec.europa.eu/ civiljustice/adr/
adr_pol_en.htm; Lihat juga Beata Czarnecka-Dzialuk and Dobrochna Wójcik, Victim-Offender
Mediation With Juveniles In Poland, http://72.14.235.104/search?
q=cache:hug1KlizKXsJ:www.irsig.cnr.it/reports/testi_reports/pdf_reports/
report_polandfinal_01sept03. pdf+penal+mediation+poland&hl=id&ct=clnk&cd=5&gl=id
104
kesepakatan itu. Mediator kemudian melaporkan semuanya itu
khusus.
93
Juhani Iivari, Victim-Offender Mediation - An Alternative, an Addition or Nothing But A
Rubbish Bin in Relation to Legal Proceedings ?, Op cit, hlm. 11-12, mengutip David Miers (2001),
An International Review of Restorative Justice, Op cit, hlm. 50, lihat www.restorativejustice.
org/10fulltext/livari1, diakses tangga 26 Februari 2022
94
Tony Peters, From Community Sanctions to Restorative Justice The Belgian Example, Op
cit, lihat http://www.unafei.or.jp/english/pdf/ RS_No61/No61_17VE_Peters.pdf; lihat juga Barda
Nawawi Arief, Mediasi Penal: Penyelesaian Perkara Pidana di Luar Pengadilan, Op cit, hlm 31,
mengutip Ivo Aertsen, Restorative Justice in A European Perspective,
http://www.extern.org/restorative/99_Conf_Aertsen.htm
105
d. Diatur tersendiri secara otonom dalam UU Mediasi (the Mediation
Act), seperti di Norwegia, yang diberlakukan untuk anak-anak
maupun orang dewasa.
masalah ATM (Automatic Teller Machine) dan Kartu Kredit (Credit cards).
Misalnya di:
a. Malaysia:
b. Latvia:
Payment Instruments".
106
b. Tindak pidana orang dewasa (ada yang dibatasi untuk delik yang
Penal
Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 hanya dalam bentuk, yaitu izin usaha.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, IUP terdiri dari atas dua tahap
yaitu:
107
meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut : 1) Penyeledikan
2) Penambangan;
108
wilayah pencandangan negara yang dapat diusahakan. IUPK ini diberikan
tersebut wajib menjaga mineral lain tersebut karena mineral lain tersebut
dapat diberikan kepada pihak lain hanya oleh Menteri. Pemberian izin usaha
prasarana;
ekonomi;
Indonesia BUMN, BUMD atau badan usaha swasta yang berbadan hukum
95
Dalam Pasal 28 UU No. 4 Tahun 2009
109
kelayakan. Luas area yang diberikan untuk satu WIUP Eksplorasi
khusus yaitu paling banyak 50.000 hektar dan jangka waktu paling
lama tahun.
tahun.
usaha yang berbadan hukum Indonesia BUMN, BUMD, dan badan usaha
swasta yang telah mempunyai data hasil kajian studi kelayakan (sinkronisasi
tersebut pemegang IUPK mendapatkan mineral atau batu bara yang tergali
ingin menjual mineral atau bara bara yang tergali tersebut wajib mengajukan
110
sementera tersebut diberikan oleh Menteri. Mineral atau batu bara yang
dan / atau pada wilayah yang telah ada kegiatan penambangan rakyat
97
Dalam Pasal 20 UU No. tahun 2009
111
Bahwa berdasarkan bentuk-bentuk Kegiatan Pertambangan penulis
hektar.
BAB III
KECIL
112
Perkara yang timbul akibat terjadinya tindak pidana lingkungan
pengadilan.
yang baru, yaitu melalui cara di luar pengadilan yakni melalui mediasi
fleksibel, yang dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak memihak (mediator
113
pelaku dapat diperbaiki dan memberikan kontribusi untuk memulihkan
perdamaian sosial.
subyek yang berperan aktif dan otonom. Proses mediasi penal yang
positif. Nilai positif bagi korban yang terutama adalah karena dalam proses
keinginannya.
114
untuk dimintai pertanggungjawaban, dapat menghasilkan perjanjian ganti
TPLH.98
fleksibel, lebih adil dan bermanfaat bagi korban TPLH yang dituangkan
98
Mediasi penal lebih berorientasi pada kualitas proses daripada hasil, yakni menyadarkan
pelaku TPLH akan kesalahannya, kebutuhan-kebutuhan konflik terpecahkan, dan terpenuhinya
ketenangan korban.
115
Pertemuan antara pelaku dan korban TPLH, dapat memberikan
bersalah.
luka‟ yang diderita oleh korban tindak pidana, tetapi juga menyembuhkan,
bukanlah seberapa besar denda yang harus dibayar pelaku atau seberapa
lama pelaku harus menjalani pidana penjara, tetapi yang terpenting dan
99
Restorative justice atau keadilan restoratif dapat didefinisikan sebagai “respons sistematis
terhadap tindak pidana, yang menekankan pada penyembuhan penderitaan korban, pelaku dan
komunitas yang disebabkan oleh pelaku tindak pidana”. Keadilan restoratif adalah sebuah
pendekatan yang mendasarkan keseimbangan dalam menanggapi kesalahan dan konflik, dengan
fokus pada pelaku, korban, dan masyarakat. Keadilan restoratif (RJ) berfokus pada transformasi
kesalahan dengan memperbaiki dan memulihkan kerugian. Bandingkan:
http://www.restorativejustice.org dan http://www.restorativejustice.com
100
Selain sejalan dengan perkembangan pemikiran tentang pemidanaan dalam tataran global,
dalam tataran lokal pun penyelesaian perkara tidak semata-mata bertujuan untuk menghukum
pelaku dan menuntut ganti kerugian bagi korban saja. Tradisi penyelesaian sengketa masyarakat
116
Selain itu pula, kemampuan pelaku TPLH juga menjadi
dan apakah hukuman yang dijatuhkan dapat memenuhi rasa keadilan dan
terkait adanya mediasi penal. Dalam hukum pidana positif, mediasi penal
perkara perdata.101
hukum adat didasarkan pada filosofi kebersamaan (komunal), pengorbanan, nilai supranatural, dan
keadilan komunal. Jadi, dalam masyarakat hukum adat kepentingan bersama merupakan filosofi
hidup yang meresap pada setiap anggota masyarakat. Kepentingan bersama dijunjung tinggi
melebihi kepentingan individu. Bandingkan: Bushar Muhammad, dalam Syahrizal Abbas, Op. cit,
hal. 244
101
Alternatif penyelesaian perkara di luar pengadilan di Indonesia, hanya dimungkinkan
dalam perkara perdata. Untuk perkara pidana pada prinsipnya tidak dapat diselesaikan di luar
pengadilan. Ketentuan yang menyatakan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan tidak
berlaku terhadap perkara tindak pidana dapat dilihat dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1
tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, di dalam Pasal 4 disebutkan bahwa perkara
yang dapat diupayakan mediasi adalah semua sengketa perdata.
117
Konstruksi mediasi penal dalam penyelesaian perkara tindak
pidana pertambangan skala kecil yang ideal di dalam sistem hukum pidana
menata mediasi penal dalam sistem hukum pidana di Indonesia bukan saja
118
perkara tindak pidana. Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya,
yang berkembang pada tataran global maupun pada tataran lokal. Dalam
perkara tindak pidana sudah cukup maju, hal tersebut terlihat dari beberapa
negara yang sudah mengatur dan menerapkan mediasi penal dalam sistem
119
Indonesia tidak bisa dilepaskan pula dengan keberadaan hukum yang
120
denda maksimum untuk pelanggaran tersebut dan mengeluarkan biaya-
pelanggaran lalu lintas. Meskipun denda damai yang dibayar oleh pelaku
keduanya antara lain adalah karena Pasal 82 KUHP tidak mengatur tentang
peranan korban dalam menentukan jenis maupun besarnya ganti rugi yang
harus dilaksanakan oleh pelaku dan denda yang dibayar pelaku masuk ke
sebagai pintu masuk yang dapat memberi tempat kepada mediasi penal
dapat dilihat dalam konsep RKUHP yang mengatur tentang hal-hal yang
luar proses”.103
121
mempertegas kedudukan mediasi penal sebagai alternatif penyelesaian
di atas, KUHP yang akan datang secara tegas memberikan tempat kepada
pengadilan.
semua tahap dalam proses peradilan pidana, 104 maka untuk dapat
104
Recommendation N R (99) 19 adopted by the Committee of Ministers of the Councils of
Europe ,15 September 1999
122
perkara tindak pidana melalui mediasi penal mengalami
kegagalan.
mengalami kegagalan
123
Dalam “Explanatory Memorandum” dari Rekomendari Dewa Eropa
dalam tugas normalnya, yaitu dapat dilakukan oleh JPU (Jaksa Penuntut
antara warganya.
pedesaan/pedalaman.
- Model ini mendahului hukum barat dan telah memberi inspirasi bagi
105
Barda Nawawi Aierf, Ibid, Hlm 16, mengutip Annemieke, Ibid, Barda Nawawi Arief
menerangkan sebagaimana yang tercantum dalam dokumen E/2002/INF/2/Add.2, International
Research-Project-Report (sbr : internet).
124
dengan struktur masyarakat modern dan hak-hak individu yang
atau kombinasi.
- Mediasi ini dapat diadakan pada setiap tahapan pro ses, baik pada
setelah pemidanaan.
- Model ini ada yang diterapkan untuk semua tipe pelaku tindak
pidana; ada yang khusus untuk anak; da yang untuk tipe tindak
pemula, namun ada juga untuk delik-delik berat dan bahkan untuk
recidivist.
125
- Program ini tidak berhubungan dengan rekonsiliasi antara para
materiel.
rugi/kompensasi.
korban dan pelaku tindak pidana, tetapi juga keluarga pelaku dan
126
Bahwa mengacuh dari bentuk-bentuk Kegiatan Pertambangan yang
konsultasi, dan fasilitas pemberian izin usaha yang baik Izin Pertambangan
pendekatan non penal melalui mediasi penal yang pada akhirnya PETI
Pertambangan Tanpa Izin Skala Kecil, karena dalam hal Tindak Pidana
127
Pertambangan yang dirugikan adalah negara dalam hal ini diwakili oleh
Dinas ESDM atau Kementerian ESDM, Kemudian Pelaku dalam hal ini
karenanya model Mediasi Penal diatas sangat cocok, karena dilakukan oleh
adalah Polisi, untuk tahap Penuntutan dilakukan oleh JPU (Jaksa Penuntut
Bahwa dalam hal telah terjadi mediasi penal Pelaku dalam hal ini
KECIL DI BOMBANA
2009 adalah bagian dari teori-teori pemidanaan. Menurut Barda Nawawi Arief
dan Muladi, secara tradisional teori-teori pemidanaan pada umumnya dapat dibagi
128
a. Teori absolute (retributive/vergeldings theorieen), yakni pidana di
itu sendiri, tidak mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai sarana untuk
dilindungi oleh norma-norma. Penjagaan tertib sosial ini untuk bagian terbesar
sangat tergantung pada paksaan. Jika norma-norma tidak ditaati, akan muncul
sanksi, kadangkala yang berbentuk informal, misalnya perlakuan acuh tak acuh
dan kehilangan status penghargaan sosial. Namun bila menyangkut soal yang
lebih penting, sanksi (hukum), melalui tertib hukum negara yang melengkapi
norma tersebut.107
dinyatakan bahwa sistem hukum pidana yang selama ini ada di beberapa negara
(terutama yang berasal/diimpor dari hukum asing semasa zaman kolonial), pada
106
Barda Nawawi dan Muladi, teori-teori dan kebijakan Hukum Pidana, Alumni Bandung,
2005, hlm, 10-16.
107
Oheo K. Harris, Tindak Pidana di Bidang Pertambangan, Penerbit Media Sahabat
Cendekia, Surabya, 2019. Hlm, 226.
129
umumnya bersifat ”absolute and unjust" (telah usang dan tidak adil) serta
”outmoded and unreal" (sudah ketinggalan zaman dan tidak sesuai dengan
berasal/diimpor dari hukum asing semasa kolonial, tidak berakar pada nilai-nilai
budaya dan bahkan ada "diskrepansi" dengan aspirasi masyarakat, serta tidak
khusus, utamanya menyangkut teori absolut dan relatif. Dalam teori absolut
masyarakat. Pemidanaan dalam teori relatif dilandasi oleh beberapa tujuan sebagai
berikut:
a. Menjerakan
108
Barda Nawawi Arif, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003,
hlm, 45.
109
Gatot Supramono, Hukum Pertambangan Mineral dan Batu Bara Di Indonesia, Rieneka
Cipta, Jakarta, 2012, hlm, 245.
130
akan mengulangi perbuatannya dan kembali kepada masyarakat dapat
undang pertambangan tidak mengenal hukuman pidana mati atau seumur hidup.110
Analisa Vos dalam Yesmil Anwar dan Adang membagi teori pencegahan
tidak melakukan kejahatan lagi. Sedang prevensi khusus bijondere preventive atau
special preventive mempunyai tujuan agar pidana itu mencegah si penjahat dalam
sebagai pembalasan atas kesalahan pelaku tetapi sarana mencapai tujuan yang
110
Ibid
111
Ibid
131
bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan masyarakat.
Sanksi ditekankan pada tujuannya, yakni untuk mencegah agar orang tidak
keadilan. Dari teori ini muncul tujuan pemidanaan yang sebagai sarana
melakukan kejahatan yang bisa dibedakan untuk individual, publik dan jangka
Sanksi tindak pidana kumulatif yaitu terdakwa dihukum dengan dua hukuman
pokok sekaligus berupa pidana badan dan pidana denda. Sendangkan sanksi
alternatif hakim wajib memilih salah satu hukuman, yaitu pidana badan atau
ternyata tidak membedakan mana yang delik kejahatan dengan pelanggaran, dan
132
hukuman yang dijatuhkan terhadap pelakunya terdapat hukuman yang bersifat
merupakan delik kejahatan yaitu pasal 158, pasal 159, pasal 160 ayat (2), pasal
161, pasal 165. Hukuman yang bersifat alternatif terdapat pada tindak pidana di
bidang pertambangan yang merupakan delik pelanggaran yang diatur pasal 160
Menurut penulis pendapat ahli diatas bahwa tujuan hukum baik itu diatur
entitas, tujuan hukum ini pula sesungguhnya telah menempatkan posisi dan
berperan dalam rangka pemenuhan dan perlindungan Hak Asasi Manusia. Hal ini
sesuai dengan pembaharuan hukum pidana apa yang dikenal dengan criminal
policy menuju penal policy oleh karena itu dalam rangka pembaharuan hukum di
Indonesia, khusus pada sanksi dalam hukum administrasi dan hukum pidana
haruslah diimbangi dengan norma hukum dan keadilan. Meskipun dalam tindak
terdakwa Sabang Bin Sulaeman terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
133
kedua penuntut umum Pasal 158 Undang-Undang nomor 4 Tahun 2009 tentang
(delapan) bulan dengan tambahan pidana kurungan 2 (dua) bulan karena terdakwa
tidak sanggup membayar denda yang diberikan oleh majelis hakim. Dalam
mencari nafkah selain itu terdakwa juga sudah memasuki usia 67 (enam puluh
kebutuhan ekonomi keluarga. Namun disisi lain, perbuatan yang dilakukan oleh
bahwa terjadi kontra antara fakta yuridis 112 dan fakta empiris113 atau kontra antara
tekstual dan kontekstual hukum. Hal ini lah yang menjadi persoalan karena apa
yang diharapkan tidak sesuai dengan kenyataan. Ada harapan yang tertuang dalam
dikategorikan sebagai perbuatan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 158 dan
Pasal 160 UU Minerba. Akan tetapi, kegiatan PETI berkaitan dengan kehidupan
112
Aturan yang telah dibuat oleh pemerintah untuk menegakkan hukum pertambangan bagi
siapapun yang melanggar atau melakukan tindak pidana.
113
Kenyataan yang terjadi dilapangan sangat tidak sesuai dengan apa yang diharapkan
pemerintah. Tingginya angka kebutuhan ekonomi masyarakat berpenghasilan rendah yang berada
dilingkungan pertambangan mendorong untuk melakukan tindak pidana pertambangan karena
terdorong desakan ekonomi.
134
rakyat melarat yang melakukan usaha pertambangan untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya.
Dalam teori absolut dan relative disebutkan relatif dilandasi oleh beberapa
yang baik dan berguna. Namun, dari teori absolut dan relative yang diberikan
ternyata tidak memberikan efek jera bagi terdakwa. Karena terdakwa didapati
Hal ini terbukti Penjatuhan hukuman yang diberikan oleh Majelis Hakim tidak
perkara kasus pertambangan skala kecil seperti pada kasus diatas sangat penting.
sebagai solusi penyelesaian perkara bagi kasus tersebut dinilai mengurangi beban
negara dari segi keuangan negara dan menumpuknya tahanan di LAPAS. Dari
segi sisi kemanusiaan seseorang yang melakukan penambangan skala kecil bukan
135
tersebut untuk bertahan hidu. Mengingat lokasi atau daerah tersebut susah untuk
restorative justice kedepannya dapat menjadi solusi agar tidak adanya lagi
penumpukan perkara. Namun disisi lain, bukan berarti adanya restorative ini
restoratif justice yang berorientasi pada kepentingan dan keadilan para pihak serta
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
dengan 10 hektar.
136
4.1.2. Bahwa model mediasi penal Informal Mediation dan Reparation
Pertambangan Tanpa Izin Skala Kecil, karena dalam hal Tindak Pidana
Pertambangan yang dirugikan adalah negara dalam hal ini diwakili oleh
Dinas ESDM atau Kementerian ESDM, Kemudian Pelaku dalam hal ini
Pegawas) adalah Polisi, untuk tahap Penuntutan dilakukan oleh JPU (Jaksa
oleh Hakim.
4.2. Saran
4.2.2. Terhadap kegiatan pertambangan yang telah terjadi yang diduga sebagai
perbuatan pidana maka aparat penegak hukum dan aparat terkait harus
137
138