Anda di halaman 1dari 138

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan Negara kepulauan yang mempunyai potensi sumber

daya alam yang melimpah, baik itu sumber daya alam hayati maupun sumber daya

alam non-hayati. Sumber daya mineral merupakan salah satu jenis sumber daya

non-hayati. Sumber daya mineral yang dimiliki oleh Indonesia sangat beragam

baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Endapan bahan galian pada

umumnya tersebar secara tidak merata di dalam kulit bumi. Sumber daya mineral

tersebut antara lain : minyak bumi, emas, batu bara, perak, timah, dan lain-lain.

Sumber daya itu diambil dan dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan

manusia.

Sumber daya alam merupakan salah satu modal dasar dalam pembangunan

nasional, oleh karena itu harus dimanfaatkan sebesarbesarnya untuk kepentingan

rakyat dengan memperhatikan kelestarian hidup sekitar. Salah satu kegiatan dalam

memanfaatkan sumber daya alam adalah kegiatan penambangan bahan galian,

tetapi kegiatan – kegiatan penambangan selain menimbulkan dampak positif juga

dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan hidup terutama

perusahaannya,bentang alam, berubahnya estetika lingkungan, habitat flora dan

faunamenjadi rusak, penurunan kualitas tanah, penurunan kualitas air atau

penurunan permukaan air tanah, timbulnya debu dan kebisingan.1

1
M. Ahyani, 2011, Pengaruh Kegiatan Penambangan Emas Terhadap Kondisi Kerusakan
Tanah Pada Wilayah Pertambangan Rakyat Di Bombana Provinsi Sulawesi Tenggara, Tesis,
Universitas negeri Semarang. Hal 1

1
Kegiatan pertambangan merupakan suatu kegiatan yang meliputi:

Eksplorasi, eksploitasi, pengolahan pemurnian, pengangkutan mineral/ bahan

tambang. Industri pertambangan selain mendatangkan devisa dan menyedot

lapangan kerja juga rawan terhadap pengrusakan lingkungan. Banyak kegiatan

penambangan yang mengundang sorotan masyarakat sekitarnya karena

pengrusakan lingkungan, apalagi penambangan emas tanpa izin yang selain

merusak lingkungan juga membahayakan jiwa penambang karena keterbatasan

pengetahuan si penambang dan juga karena tidak adanya pengawasan dari dinas

instansi terkait. Kegiatan pertambangan bahan galian berharga dari

lapisan bumi telah berlangsung cukup lama.

Perkembangan teknologi pengolahan menyebabkan ekstraksi bijih kadar

rendah menjadi lebih ekonomis, sehingga semakin luas dan semakin dalam

mencapai lapisan bumi jauh di bawah permukaan. Hal ini menyebabkan

kegiatan tambang menimbulkan dampak lingkungan yang sangat besar dan

bersifat penting. Pengaruh kegiatan pertambangan mempunyai dampak yang

sangat signifikan terutama berupa pencemaran air permukaan dan air tanah.2

Tujuan pengelolaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara

sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang

Pertambangan Mineral dan Batubara (selanjutnya disingkat UU Minerba), antara

lain sebagai berikut.3

1. Menjamin manfaat pertambangan mineral dan batubara secara

berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup.

2
Ibid, hal 2.
3
Pasal 3 huruf b, huruf e, dan huruf f UU Minerba.

2
2. Meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, daerah, dan negara, serta

menciptakan lapangan kerja untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat.

3. Menjamin kepastian hukum dalam penyelenggaraan kegiatan usaha

pertambangan mineral dan batubara.

Tujuan pengelolaan pertambangan mineral dan batubara di atas

mengandung berbagai unsur kepentingan yang terkait langsung dengan kegiatan

usaha pertambangan, antara lain kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan

hidup. Hal ini berhubungan dengan karakteristik dari sumber daya alam mineral

dan batubara sebagai sumber daya alam yang tak terbarukan, sehingga konsep

pembangunan berkelanjutan berupaya mengelaborasi aspek ekonomi, sosial, dan

lingkungan hidup dalam satu bungkus konsep pengelolaan pertambangan mineral

dan batubara secara kumulatif.

Pembangunan berkelanjutan merupakan bentuk respon terhadap konsep

pembangunan konvensional yang hanya berhasil meningkatkan pertumbuhan

ekonomi, tetapi gagal dalam aspek sosial dan lingkungan.4 Hal itu disebabkan

karena alasan bahwa pembangunan konvensional meletakkan ekonomi semata

sebagai pusat persoalan pertumbuhan dan menempatkan faktor sosial dan

lingkungan pada posisi yang kurang penting.5Padahal sumber daya alam mineral

dan batubara merupakan sumber daya alam yang tidak diperbarui sehingga

apabila hanya pertumbuhan ekonomi semata yang menjadi tujuan pengusahaan

mineral dan batubara maka dampak sosial dan lingkungan akan timbul, karena

secara prinsip pengusahaan mineral dan batubara dilakukan dalam rangka


4
IwanJ. Aziz, 2010, Pembangunan Berkelanjutan: Peran dan kontribusi Emil Salim. Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia. hal 22.
5
Ibid

3
memenuhi kebutuhan (kontrol dan energi) masa sekarang tanpa mengorbankan

pemenuhan kebutuhan generasi masa depan.

Aspek pertumbuhan ekonomi (economic development), keadilan sosial

equity/social justice), dan perlindungan lingkungan hidup (environmental

protection) menjadi kesatuan yang terkonvergensi secara utuh dalam kebijakan

dan pelaksanaan pengelolaan sumber daya alam mineral dan batubara.

Pertimbangan bahwa mineral dan batubara yang terkandung dalam wilayah

hukum pertambangan Indonesia merupakan kekayaan alam tak terbarukan

mempunyai peranan penting dalam memenuhi hajat hidup orang banyak, harus

menjadi landasan filosofis pengelolaan sumber daya alam Indonesia. Untuk itu,

Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 secara

jelas menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di

dalamnya harus dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Negara sebagai pemegang hak menguasai atas sumber daya alam

Indonesia memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk melakukan

pengelolaan sumber daya alam melalui pemberian ontrol izin, lisensi, dan konsesi.

Kewenangan pengelolaan sumber daya alam mineral dan batubara tertuang dalam

UU Minerba dan peraturan pelaksanaannya, utamanya Peraturan Pemerintah

Nomor 23 Tahun 2010 tentang Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan

Batubara (selanjutnya disebut PP No. 23 Tahun 2010) sebagaimana telah diubah

beberapa kali, terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2014

tentang Perubahan Kedua Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010, dan

4
kewenangan pengelolaan dalam UU Minerba di revisi dan disahkan pada 6 Mei

2020.

Terkait penguasaan minerba, pemerintah dan DPR menyepakati bahwa

penguasaan minerba diselenggarakan oleh pemerintah pusat melalui fungsi

kebijakan, pengaturan, pengurusan, pengelolaan dan pengawasan. Selain itu,

pemerintah pusat mempunyai kewenangan untuk menetapkan jumlah produksi,

penjualan dan harga mineral logam, mineral bukan logam jenis tertentu dan

batubara. Menurut pemerintah yang diwakili oleh Menteri Energi dan Sumber

Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif, meski kewenangan pengelolaan

pertambangan diselenggarakan oleh pemerintah pusat. Namun ada pengaturan,

bahwa terdapat jenis perizinan yang akan didelegasikan kepada pemerintah

daerah, diantaranya perizinan batuan skala kecil dan Izin Pertambangan Rakyat

(IPR).6

Di dalam revisi UU Minerba ini, Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR)

diberikan luasan maksimal 100 hektare dan mempunyai cadangan mineral logam

dengan kedalaman maksimal 100 meter. Di UU Minerba sebelumnya, WPR

diberikan luasan maksimal 25 hektare dan kedalaman maksimal 25 meter.7

Dalam kegiatan usaha pertambangan, terdapat 3 (tiga) jenis usaha

pertambangan, yaitu izin usaha pertambangan (IUP) izin usaha pertambangan

khusus (IUPK), dan izin pertambangan rakyat (IPR). Melalui ketiga jenis izin ini,

perorangan, badan usaha, dan koperasi dapat melakukan kegiatan usaha

pertambangan sesuai dengan izin usaha yang dimohonkan dan disetujui oleh
6
https://money.kompas.com/read/2020/05/13/152543126/ini-poin-poin-penting-dalam-uu-
minerba-yang-baru-disahkan?page=all, dikutip tanggal 9 Desember 2021.
7
Ibid

5
pejabat yang berwenang. Tanpa izin tersebut, setiap Pengusahaan mineral dan

batubara tidak dapat dilakukan serta semua tindakan Pengusahaan tersebut

menjadi kegiatan pertambangan tanpa izin (selanjutnya disingkat PETI) yang

merupakan perbuatan/tindakan/peristiwa pidana.

PETI merupakan perbuatan pidana sebagaimana diatur dalam:

1. Pasal 158 UU Minerba yang mengatur bahwa setiap orang yang


melakukan usaha penambangan tanpa IUP, IPR atau IUPK dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling
banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
2. Pasal 160 yang mengatur:
c. Setiap orang yang melakukan eksplorasi tanpa memiliki IUP atau
IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 atau Pasal 74 ayat (1)
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau
denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
d. Setiap orang yang mempunyai IUP Eksplorasi tetapi melakukan
kegiatan operasi produksi dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah).

Namun pada kenyataannya, sampai saat ini PETI marak terjadi, misalnya

Perusahaan tambang emas di Bombana disinyalir begitu banyak yang tidak

memiliki dokumen resmi. Kawasan itu rupanya dieksploitasi oleh pendulang liar.

Tidak main-main, aktivitas penambangan tanpa izin ini sudah mengkhawatirkan.

Selain kegiatan sudah dilakukan terang-terangan, cara mereka menambang sudah

menyerupai perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi

Produksi yang mengoperasikan alat berat untuk mencari emas.

Jenis pertambangan emas di Kabupaten Bombana termasuk penambangan

mineral dan batu bara. Aktivitas tambang emas ilegal yang masih marak sampai

saat ini tersebar di beberapa titik pada dua kecamatan yakni Rarowatu Utara dan

Rarowatu. Khusus di Rarowatu Utara, aktivitas illegal mining yang paling

6
menyolok terletak di wilayah Wumbubangka, sementara di Rarowatu, tersebar

mulai di Tahi Ite sampai Roko-Roko. “Di beberapa titik penambangan emas

bahkan ada aktivitas penambangan ilegal yang mencari emas dengan

menggunakan alat berat. Bahkan hal tersebut jelas dilakukan tanpa izin.8

Berdasarkan data dari KLHK, PETI terjadi sangat tidak terkontrol. Namun

di balik terjadinya kegiatan PETI tersebut terdapat dampak sosial dan ekonomi

yang signifikan bagi penambang PETI, yaitu dengan terjadinya peningkatan

kesejahteraan dari kegiatan PETI. Di sisi lain, sesuai Pasal 158 dan Pasal 160 UU

Minerba kegiatan PETI merupakan perbuatan pidana yang dalam perspektif

positivistik harus dilaksanakan atau ditegakkan.

Penindakan hukum pidana terhadap PETI menjadi tantangan bagi penegak

hukum karena terjadi benturan antara aspek kontrol-yuridis dengan aspek sosio

logis dan filosofis sehingga diperlukan tindakan khusus dalam penanganan PETI

bagi penambang skala kecil. Bahkan Presiden Joko Widodo mewacanakan akan

memutihkan atau melegalkan 1.640 (seribu enam ratus empat puluh) PETI yang

ada di provinsi Bangka Belitung” dengan tujuan agar tidak ada lagi pasir timah

yang diekspor illegal dan setiap penambang untuk menjual hasil pasir timahnya ke

BUMN seperti PT Timah (Persero).9

Putusan pengadilan Negeri Nomor 271/Pid.Sus/2018/PN Psw

membenarkan beberapa pernyataan diatas salah satunya dampak sosial dan

ekonomi bagi penambang PETI dengan terjadinya peningkatan kesejahteraan dari

8
https://www.ekuatorial.com/id/2014/11/tambang-emas-ilegal-merajalela-dibombana/#!/
story=post-9423&loc=-4.743733600000013,121.9190348,7, dikutip tanggal 9 Desember 2021.
9
http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2015/06/30/172436/1640-tambang-timah-tak-
berizin-akan-diputihkan/#.VrfvMbl97oA di akses 9 Desember 2021.

7
kegiatan PETI. Dalam putusan tersebut terdakwa Sabang Bin Sulaeman

melakukan pertambangan tanpa izin dengan menambang emas selama 3 hari, pada

hari pertama Sabang mendapatkan 0,2 (nol koma dua) gram emas, pada hari ke

dua sebanyak 0,3 (nol koma tiga) gram emas. Pendapatan emas tersebut bernilai

ekonomis yang cukup tinggi bagi Terdakwa yang berprofesi sebagai petani untuk

meningkatkan pendapatan ekonomi. Selain itu permasalahan lain yang harus

dihadapi bagi aparat penegak hukum seperti yang telah dijelaskan pada paragraph

sebelumnya bahwa terjadi dilemma dalam penegakan PETI tersebut. Seperti

halnya Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pasar Wajo yang memutus Terdakwa

Sabang dengan Vonis 8 bulan penjara denda Rp.1.000.000.000 (Satu Milyar

Rupiah) dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar maka diganti dengan

pidana kurungan selama 2 (bulan). Majelis Hakim memberi pertimbangan hukum

– Keadaaan Yang Memberatkan (Nihil). Smentara itu, - Keadaan Yang

Meringankan 1) Terdakwa bersikap sopan dipersidangan, berterus terang dan

memperlancar proses persidangan; 2) Terdakwa merasa sangat menyesal; 3)

Terdakwa merupakan tulang punggung keluarga. Nmun setelah terpidana

selesai melaksanakan masa hukumannya terpidana kembali melakukan

perbuatannya seperti biasa seperti tidak ada efek jera yang dirasakan akibat

putusan pengadilan tersebut ataukah kerasnya kehidupan terpaksa mengulang

perbuatannya tersebut.

Dalam kaitannya dengan perkara tindak pidana pertambangan, maka

peraturan perundang-undangan tidak memberikan peluang untuk dilakukannya

mediasi penal. Mediasi penal sendiri dapat dipahami sebagai penyelesaian

8
perkara alternatif pidana, yakni melalui jalur non litigasi, yakni penyelesaian

perkara yang bersifat konsensus atau koperatif untuk tujuan win-win solution atau

mutual acceptable solution. Penyelesaian perkara melalui mekanisme konsensus

atau koperatif tersebut berbeda dengan penyelesaian melalui jalur pengadilan

(litigasi) yang menggunakan pendekatan hukum melalui aparat atau lembaga

penegak hukum yang berwenang, dan hasil akhirnya win-lose solution.

Dalam bekerjanya sistem peradilan pidana Indonesia yang berlandaskan

pada Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

(KUHAP), sistem peradilan pidana itu diawali di kepolisian, kejaksaan, dan

hakim pada saat peradilan. Dalam proses sistem peradilan pidana, membutuhkan

waktu yang agak lama dan panjang bahkan terkadang berbelit-belit, sehingga

dibutuhkan sebuah terobosan hukum yakni dengan mengunakan mediasi penal.

Mediasi penal merupakan salah satu bentuk dari pelaksanaan restorative justice.

Mediasi penal merupakan sebuah langkah terobosan hukum dalam rangka

pembaharuan hukum pidana. Mediasi penal erat hubungan dengan restorative

justice. Penggunaan mediasi penal sebagai alternatif peradilan pidana merupakan

sebuah terobosan hukum mempunyai manfaat yang banyak bagi kedua belah

pihak yang berperkara dan memberikan keuntungan tersendiri kepada pelaku.

Pemikiran tentang perlunya alternatif penyelesaian perkara tindak pidana

di luar pengadilan sangat relevan dalam hal ini, karena perkara tindak pidana

pertambangan tanpa izin skala kecil ini berbicara tentang hak asasi manusia dan

merupakan suatu bentuk kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta

9
perlakuan diskriminasi10 kepada rakyat kecil yang banyak dilakukan oleh

masyarakat sekitar tambang yang tidak mendapatkan hasil dari tambang tersebut

atau bekerja pada sector pertambangan tersebut dikarenakan faktor usia yang

sudah renta ataupun factor lainnya. Menjadi dilema bagi aparat penegak hukum

seperti halnya kasus yang telah penulis ceritakan sebelumnya. Setelah Sabang

Bin Sulaeman menjalani masa hukumannya, Sabang Bin Sulaeman Kembali

mengulang perbuatannya dikarenakan faktor ekonomi dan dia sebagai kepala

rumah tangga. Usia Sabang Bin Sulaeman juga telah memasuki usia lanjut dan

harus ditangkap untuk kedua kalinya. Permasalahan timbul Ketika penegak

hukum dalam hal ini penyidik di kepolisian bombana, ada dilemma yang terjadi

antara fakta yuridis dan fakta empiris. Apa yang diharapkan tidak sesuai dengan

apa yang terjadi. Ketika berbicara aturan maka aturan itu harus ditegakkan, disisi

lain ada rasa kemanusiaan yang juga harus dipertimbangkan.

Mediasi Penal merupakan salah satu jalan alternatif untuk menyelesaikan

perkara khususnya tindak pidana pencurian ringan. Melalui mediasi penal proses

penanganan perkara dilakukan secara transparan sehingga dapat mengurangi

penyimpangan yang seringkali terjadi dalam proses peradilan pidana tradisional.

Mengingat banyaknya keuntungan yang ada pada mediasi penal, sebagaimana

telah dipraktekkan di beberapa negara, maka diperlukan upaya berupa kajian

untuk menerapkan mediasi penal dalam proses peradilan pidana Indonesia sebagai

bagian dari sistem peradilan pidana di Indonesia.

10
Iksan, Handrawan dkk, Kejahatan Kekerasan Terhadap Anak dalam Perspektif
Kriminologis di Kota Kendari, Volume 4 Issue 1, March 2020. H.1

10
Berdasarkan deskripsi permasalahan sebagaimana yang telah dijabarkan di

atas, maka penulis tertarik melakukan penelitian yang hasilnya akan ditulis dalam

bentuk Tesis berjudul: ”Mediasi Penal Sebagai Alternatif Penyelesaian

Perkara Tindak Pidana Pertambangan Tanpa Izin Skala Kecil”

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis tertarik untuk mengangkat

permasalahan tentang :

1.1.1. Kegiatan pertambangan tanpa izin apa saja yang dapat dimediasi penal ?

1.1.2. Bagaimana pelaksanaan mediasi penal sebagai alternatif penyelesaian

perkara pada tindak pidana pertambangan tanpa izin skala kecil ?

1.2. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian penulis yaitu :

1.2.1. Untuk menganalisis tentang kegiatan pertambangan tanpa izin apa saja

yang dapat dimediasi penal.

1.2.2. Untuk menganalisis pelaksanaan mediasi penal sebagai alternatif

penyelesaian perkara pada tindak pidana pertambangan tanpa izin skala

kecil.

1.3. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini, sebagai berikut:

1.3.1. Manfaat Teoritis

Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangsi

pemikiran ilmiah bagi ilmu pengetahuan dalam mengawal perkembangan

hukum pidana di Indonesia. Khususnya dalam aspek pemahaman teoretis

11
tentang tindak pidana pertambangan, kerusakan lingkungan, dan mediasi

penal.

1.3.2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi baru

dalam hal pertimbangan ilmiah dalam menangani kasus tindak pidana pada

masa pandemi. Terlebih dalam konteks pembentukan hukum yang harus

mempertimbangkan aspek kausalitasnya. Sehingga penegakan hukum

dapat dilakukan sedemikian rupa oleh aparat penegak hukum terhadap

pelaku tindak pidana pertambangan tanpa izin skala kecil. Sekaligus

adanya pembaharuan hukum pidana dari para pembuat kebijakan.

1.4. Tinjauan Teori

1.4.1. Teori Restorative Justice

1.4.1.1. Pengertian Restorative Justice

Umbreit dalam tulisannya menjelaskan bahwa : Keadilan

restorative adalah sebuah “tanggapan terhadap tindak pidana yang

berpusatkan pada korban yang mengizinkan korban, pelaku tindak

pidana, keluarga-keluarga mereka, dan para perwakilan dari masyarakat

untuk menangani kerusakan dan kerugian yang diakibatkan oleh tindak

pidana”.11

11
Mark Umbreit, Family Group Conferencing: Implications for Crime Victims, The Center
for Restorative Justice, University of Minnesota,
http://www.ojp.usdoj/ovc/publications/infores/restorative_justices/9523-family_group/
family3.html., 2001. Lihat: Mark M. Lanier dan Stuart Henry, Essential Criminology, Second
Edition, Wastview, Colorado, USA, 2004, hlm. 332 dan 407-408.

12
Terhadap pandangan tersebut Daly12 mengatakan, bahwa konsep

Umbreit tersebut memfokuskan kepada “memperbaiki kerusakan dan

kerugian yang disebabkan oleh tindak pidana” yang harus ditunjang

melalui konsep restitusi, yaitu “mengupayakan untuk memulihkan

kerusakan dan kerugian yang diderita oleh pra korban tindak pidana dan

memfasilitasi terjadinya perdamaian”.

Dengan demikian tepatlah yang dikatakan oleh Tony Marshall

bahwa sebenarnya keadilan restorative adalah suatu konsep penyelesaian

suatu tindak pidana tertentu yang melibatkan semua pihak yang

berkepentingan untuk bersama-sama mencari pemecahan dan sekaligus

mencari penyelesaian dalam menghadapi kejadian setelah timbulnya

tindak pidana tersebut serta bagaimana mengatasi implikasinya di masa

dating.13

Menurut Wright, bahwa tujuan utama dari keadilan restoratif

adalah pemulihan, sedangkan tujuan kedua adalah ganti rugi. Hal ini

berarti bahwa proses penanggulangan tindak pidana melalui pendekatan

restoratif adalah suatu proses penyelesaian tindak pidana, yang bertujuan

untuk memulihkan keadaan yang di dalamnya termasuk ganti rugi

terhadap korban melalui cara-cara tertentu yang disepakati oleh para

pihak yang terlibat di dalamnya.

12
Kathleen Daly, Restorative Justice in Diverse and Unequal Societies, Law in Context
1:167-190, 2000. Lihat : Mark M. Lanier dan Stuart Henry, Essential Criminology, Second
Edition, Westview, Colorado, USA, 2004, hlm. 332 dan 367.
13
Tony Marshall, Restorative Justice: An Overview, London: Home Office Research
Development and Statistic Directorate, 1999, hlm. 5, diakses dari website:
http//www.restorativejustice.org. pada tanggal 08 Desember 2017.

13
Program keadilan restoratif didasarkan pada prinsip dasar bahwa

perilaku kriminal tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga melukai

korban dan masyarakat. Setiap upaya untuk mengatasi konsekuensi dari

perilaku kriminal harus, bila memungkinkan, melibatkan pelaku serta

pihak-pihak yang terluka, selain menyediakan yang dibutuhkan bagi

korban dan pelaku berupa bantuan dan dukungan.14

Dari berbagai pendapat para ahli diatas maka peneliti dapat

mendefinisikan bahwa restorative justice adalah pada prisipnya

merupakan suatu pendekatan yang dipakai untuk menyelesaikan masalah

di luar pengadilan dengan mediasi atau musyawarah dalam mencapai

suatu keadilan yang diharapkan oleh para pihak yaitu antara lain pelaku

tindak pidana serta korban tindak pidana untuk mencari solusi terbaik

yang disepakati oleh para pihak.

Dalam hal ini restorative justice mengandung arti yaitu keadilan

yang direstorasi atau dipulihkan.Masing masing pihak yang terlibat dalam

suatu tindak pidana diberikan kesempatan untuk bermusyawarah,

restorative justice menekankan pada kesejahteraan dan keadilan.Korban

tindak pidana berhak menuntut ganti rugi kepada pelaku tindak pidana

yaitu kerugian yang telah dideritanya, sedangkan pelaku tindak pidana

wajib mengganti kerugian yang disebabkan olehnya kepada korban.

14
Rocky Mabun, Restorative Justice Sebagai Sistem Pemidanaan di Mas Depan,
http://forumduniahukumblogku.wordpress.com, diakses pada 24 Oktober 2021.

14
1.4.1.2. Restorative Justice

Keadilan restorative bekaitan dengan bagaimana membangun

kembali hubungan setelah terjadi suatu tindak pidana, bukannya

membangun tembok pemisah antara para pelaku tindak pidana dengan

masyarakat mereka, yang merupakan hallmark (tanda/karakteristik) dari

sistem-sistem peradilan pidana modern.

Dari pendapat Sarre tersebut, peneliti mengambil kesimpulan

bahwa konsep dasar pendekatan restoratif berupa tindakan untuk

“membangun kembali hubungan yang rusak akibat tindak pidana” telah

lama dikenal dan dipraktikkan di dalam hukum adat yang berlaku di

Indonesia. Dengan perkataan lain dapat dinyatakan bahwa filosifi dasar

tujuan pendekatan restorative, yaitu “memulihkan keadaan pada keadaan

semula sebelum terjadinya konflik” adalah identik dengan filosofi

“mengembalikan keseimbangan yang terganggu” yang terdapat dalam

Hukum Adat Indonesia.

Unsur-unsur yang mendasari pendekatan restoratif sebagaimana

yang diutarakan oleh Burt Gallaway dan Joe Hudsob tersebut, member

pemahaman bahwa korban sebagai pihak yang mengalami dampak

kerugian atau kerusakan yang timbul akibat terjadinya suatu tindak pidana

memiliki hak sepenuhnya untuk ikut serta dalam proses penyelesaian dan

pemulihan tindak pidana tersebut.

Pemahaman tersebut membawa konsekuensi logis terhadap makna

dan pengertian tindak pidana yang bukan lagi harus dipandang sebagai

15
suatu perbuatan melanggar hukum yang harus diberi sanksi oleh Negara

tetapi suatu perbuatan yang harus dipulihkan melalui ganti rugi atau jenis

sanksi lain yang sifatnya menjauhi efek pemenjaraan.

1.4.1.3.Prinsip Restorative Justice

Beberapa prinsip-prinsip yang berlaku secara universal yang melekat

dalam konsep pendekatan restoratif dalam peneyelesaian tindak pidana,

antara lain sebagai berikut :

1) Prinsip Penyelesaian yang Adil (Due Process)

Dalam setiap sistem peradilan pidana di seluruh Negara,

kepada tersangka selalu diberikan hak untuk mengetahui terlebih

dahulu tentang prosedur alprosedural perlindungan tertetu ketika

dihadapkan pada penuntutan atau penghukuman. Proses peradilan

(due process) haruslah dianggap sebagai bentuk perlindungan untuk

member keseimbangan bagi kekuasaan Negara untuk menahan,

menuntut, dan melaksanakan hukuman dari suatu putusan

penghukuman.15

Dalam implementasinya, mekanisme proses pendekatan

restoratif menghendaki adanya keinginan untuk tetap member

perlindungan bagi tersangka yang terkait dengan due process. Akan

tetapi, karena dalam proses restorasi mengharuskan adanya pengakuan

bersalah terlebih dahulu maka hal ini menimbulkan pertanyaan

mengeai sampai sejauh mana persetujuan yang diberitahukan

15
Van Ness dan Strong, 1997, hlm. 15, diakses dari website http://www.restorativejustice.org
dikutip tanggal 24 Oktober 2021

16
(informed consent) dan pelepasan hak suka rela (wiver of rights) dapat

dipergunakan sebagai awal penyelesaian yang adil.16

Menurut peneliti, konsep dasar penyelesaian melalui

pendekatan restoratif yang mengharuskan adanya pengakuan bersalah

bagi pelaku adalah merupakan syarat untuk mendapatkan jalan keluar

dilanjutkannya proses pemulihan dan sekaligus sebagai isyarat bahwa

pelaku harus bertanggung jawab atas perbuatannya, karena sebuah

pengakuan bersalah adalah bentuk lain dari suatu tanggung jawab.

2) Perlindungan yang Setara

Dalam proses penyelesaian tindak pidana melalui pendekatan

restorative, keadilan harus timbul dari suatu proses saling memahami

akan makna dan tujuan keadilan itu, tanpa memandang suku, jenis

kelamin, agama, asal bangsa dan kedudukan sosial lainnya.17

Terdapat keraguan tentang kemampuan sistem pendekatan

restoratif dalam menyelesaikan suatu masalah dan memberikan “rasa

keadilan” diantara para partisipan yang berbeda-beda, karena dapat

saja salah satu pihak mempunyai kelebihan kekuatan ekonomi,

intelektual, politik atau bahkan fisik.24 Sehingga terjadi suatu

ketidaksetaraan diantara para pihak yang berpartisipasi dalam suatu

proses restoratif.

16
Rufinus Hotmalana Hutauruk, Penanggulangan Kejahatan Korporasi Melalui Pendekatan
Restoratif Suatu Terobosan Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2013. hlm. 127.
17
Ibid

17
3) Hak-Hak Korban

Dalam penyelesaian masalah melalui pendekatan restoratif,

hak-hak korban perlu mendapat perhatian karena korban adalah pihak

yang berkepentingan yang seharusnya mempunyai kedudukan

(hukum) dalam proses penyelesaiannya. Pada sistem peradilan pidana

pada umumnya, ditengarai bahwa korban tidak menerima

perlindungan yang setara dari pemegang wewenang sistem peradilan

pidana, sehingga kepentingan yang hakiki dari korban sering

terabaikan dan kalaupun itu ada hanya sekedar pemenuhan sistem

administrasi atau manajemen peradilan pidana.18

Pengakuan dalam pemberian kesempatan untuk member

penjelasan atau ketarangan yang berhubungan dengan kejadian yang

dialami korban dalam proses persidangan belum mencerminkan

adanya kedudukan yang sama di dalam hukum. Agar kedudukan

hukum korban dapat menjadi setara dalam proses penyelesaian maka

kepada korban harus juga diberikan hak-hak untuk memperoleh ganti

rugi yang memadai atas derita yang dialaminya.

4) Proporsionalitas

Gagasan fairness di dalam sistem restoratif didasarkan pada

consensus persetujuan yang memberikan pilihan alternatif dalam

menyelesaikan masalah, sedangkan pengertian proporsionalitas adalah

berkaitan dengan lingkup kesamaan sanksi-sanksi penderitaan yang

harus dikenakan pada pelanggar yang melakukan pelanggaran. Dalam


18
Ibid

18
peradilan pidana pada umumnya, proporsionalitas dianggap telah

terpenuhi bila telah memenuhi suatu perasaan keadilan retributive

(keseimbangan timbale balik antara punish dan reward), sedangkan

dalam pendekatan restoratif dapat memberlakukan sanksi-sanksi yang

tidak sebanding terhadap pelanggar yang melakukan pelanggaran

yang sama.19

5) Praduga Tak Bersalah

Dalam peradilan pidana pada umumnya, Negara memiliki

beban pembuktian untuk membuktikan kesalahan tersangka. Sejak dan

sampai beban pembuktian itu dilakukan, tersangka harus dianggap

tidak bersalah. Berbeda halnya dalam proses restoratif, yang

mensyaratkan suatu pengakuan bersalah merupakan syarat

dilanjutkannya lingkaran penyelesaian.

Dalam proses-proses restoratif, hak-hak tersangka mengenai

praduga tak bersalah dapat dikompromikan dengan cara yaitu

tersangka memiliki hak untuk melakukan terminasi proses restorasi

dan menolak proses pengakuan bahwa ia bersalah, dan selanjutnya

memilih opsi proses formal dimana kesalahan harus dibuktikan, atau

tersangka dapat memperoleh hak untuk banding ke pengadilan dan

semua perjanjian yang disepakati dalam proses restoratif dinyatakan

tidak mempunyai kekuatan mengikat.

6) Hak Bantuan Konsultasi atau Penasehat Hukum

19
Warner,1994, diakses dari website http://www.restorativejustice.org pada tanggal 24
Oktober 2021.

19
Dalam proses restoratif, advokat atau penasehat hukum

memiliki peran yang sangat strategis untuk membangun kemampuan

pelanggar dalam melindungi haknya vis a vis bantuan penasehat

hukum. Dalam semua tahapan informal yang restorative, tersangka

dapat diberi informasi melalui bantuan penasehat hukum mengenai

hak dan kewajibannya yang dapat dipergunakan sebagai pertimbangan

dalam membuat membuat keputusan.

Namun demikian, sekali tersangka memilih untuk

berpartisipasi dalam sebuah proses restorative, ia seharusnya bertindak

dan berbicara atas namanya sendiri. Posisi-posisi mereka yang

mengizinkan pengacara mewakili partisipanpartisipan dalam semua

titik tahapan selama proses restoratif, akan menghancurkan banyak

manfaat yang diharapkan dari “perjumpaan” (encounter), seperti

komunikasi langsung dan pengungkapan perasaan, danpembuatan

keputusan kolektif proaktif. Pengacara juga bisa sangat membantu

dalam memberi saran klien-klien mereka tentang hasil yang paling

mungkin yang didapatkan dan seharusnya diharapkan.

1.4.1.4. Dasar Penerapan Restorative justice Dalam Penyelesaian Tindak

Pidana

Memang pada dasarnya, metode mediasi untuk menyelesaikan

kasus tindak pidana di Kepolisian tidak dikenal dalam peraturan

perundang-undangan tentang sistem peradilan pidana, seperti di Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan Undang-

20
Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik

Indonesia. Meski demikian, Kapolri setidaknya mengeluarkan surat

tentang penanganan sengketa di luar pengadilan serta ada peraturan

Kapolres terkait mediasi. Mediasi oleh lembaga Kepolisian antara lain

adalah restorative justice.

Peraturan-peraturan tersebut antara lain yaitu :

a. Surat kapolri No. Pol. B/ 3022/XII/2009/sdeops tentang konsep

Alternatif Dispute Resolution (ADR)

Dalam Surat kapolri No. Pol. B/ 3022/XII/2009/sdeops tentang

konsep Alternatif Dispute Resolution (ADR), terdapat langkah-

langkah penyelesaian masalah dengan menggunakan konsep ADR

yaitu antara lain :

1) Mengupayakan penanganan kasus pidana yang

mempunyai kerugian materi kecil,

penyelesaiannya dapat diarahkan melalui konsep

ADR.

2) Penyelesaian kasus pidana dengan menggunakan

ADR harus disepakati oleh pihak-pihak yang

berperkara namun apabila tidak terdapat

kesepakatan baru diselesaikan sesuai dengan

prosedur hukum yang berlaku secara profesional

dan proporsional.

21
3) Penyelesaian kasus pidana yang menggunakan

ADR harus berprinsip pada musyawarah mufakat

dan harus diketahui oleh masyarakat sekitar

dengan menyertakan RT RW setempat.

4) Penyelesaian kasus pidana dengan menggunakan

ADR harus menghormati norma hukum sosial /

adat serta memenuhi azas keadilan. 5.

Memberdayakan anggota Pemolisian/ Perpolisian

Masyarakat (“Polmas”) dan memerankan Forum

Kemitraan Polisi dan Masyarakat (“FKPM”) yang

ada di wilayah masing-masing untuk mampu

mengidentifikasi kasuskasus pidana yang

mempunyai kerugian materiil kecil dan

memungkinkan untuk diselesaikan melalui konsep

ADR.

5) Untuk kasus yang telah dapat diselesaikan melalui

konsep ADR agar tidak lagi di sentuh oleh

tindakan hukum lain yang kontra produktif dengan

tujuan Polmas.

Setelah peneliti membaca dan memahami langkah-langkah

penyelesaian kasus pidana sesuai dengan Surat kapolri No. Pol.

B/ 3022/XII/2009/sdeops tentang konsep Alternatif Dispute

Resolution (ADR), maka peneliti dapat menarik kesimpulan

22
bahwa dalam penyelesaian kasus pidana di Kepolisian dengan

menggunakan metode restorative justice maka yang diutamakan

disini adalah dengan musyawarah antar pihak yang terlibat

dengan mengedepankan keadilan dan ketika kasus sudah berhasil

diselesaikan maka tidak boleh lagi ada tindakan hukum lainnya

atau dalam kata lain kasus telah selesai.

b. Peraturan Kepala Kepolisian NKRI Nomor 7 Tahun 2008 tentang

Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian

Masyarakat dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.

Di dalam Peraturan Kepala Kepolisian NKRI Nomor 7

Tahun 2008 tentang Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi

Pemolisian Masyarakat dalam Penyelenggaraan Tugas Polri pada

tercantum bahwa Pemecahan Masalah adalah proses pendekatan

permasalahan Kamtibmas dan kejahatanuntuk mencari

pemecahan suatu permasalahan melalui upaya memahami

masalah, analisis masalah, mengusulkan alternatif-alternatif solusi

yang tepat dalam rangka menciptakan rasa aman, tentram dan

ketertiban (tidak hanya berdasarkan pada hukum pidana dan

penangkapan), melakukan evaluasi serta evaluasi ulang terhadap

efektifitas solusi yang dipilih.

Dalam hal ini peneliti dapat menarik kesimpulan bahwa

untuk menyelesaikan masalah pidana boleh dengan menggunakan

alternatif solusi yang tepat dan tidak hanya berdasarkan pada

23
hukum pidana dan penangkapan hal itu berarti bisa menjadi dasar

penerapan restorative justice.

1.4.2. Mediasi Penal

1.4.2.1.Pengertian Mediasi Penal

Sebelum membahas mengenai mediasi penal maka akan dikaji

pengertian dari mediasi. Mediasi berasal dari bahasa Latin, mediare yang

berarti “berada di tengah”. Makna ini menunjuk pada peran yang

ditampilkan pihak ketiga sebagai mediator dalam menjalankan tugasnya

menengahi dan menyelesaikan sengketa antara para pihak. “Berada

ditengah” juga bermakna mediator harus berada pada posisi netral dan

tidak memihak dalam menyelesaikan sengketa.20

Menurut Muzlih MZ sebagaimana dikutip Ridwan Mansyur, mediasi

merupakan suatu proses penyelesaian pihak- pihak yang bertikai untuk

memuaskan pihak-pihak yang bertikai untuk mencapai penyelesaian yang

memuaskan melalui pihak ketiga yang netral (mediator).21

Mediasi adalah cara penyelesaian perkara di luar pengadilan melalui

proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan

dibantu mediator. Sedangkan pengertian dari mediator adalah pihak netral

yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai

kemngkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau

memaksakan sebuah penyelesaian.22 Mediasi merupakan proses negosiasi


20
Syahrizal Abbas, Mediasi dalam Perspektif Hukum Syari’ah, Hukum Adat & Hukum
Nasional (Cet I, Jakarta: Kencana, 2009), h. 1.
21
Ridwan Mansyur, Mediasi Penal Terhadap Perkara KDRT (Kekerasan dalam Rumah.
Tangga (Jakarta: Yayasan Gema Yustisia Indonesia, 2010), h. 137.
22
Rustan, Integrasi Mediasi dalam Proses Pemeriksaan Perkara Perdata di Pengadilan (Cet I;
Makassar: Dua Satu Press, 2014), h. 80.

24
pemecahan masalah dimana pihak luar yang tidak memihak (impartial) dan

netral bekerja dengan pihak yang bersengketa untuk membantu mereka

memperoleh kesepakatan dengan memutuskan.23

Di dalam literatur-literatur yang ada, ditemukan beberapa defenisi

mengenai mediasi. Dari beberapa defenisi tersebut, maka di dalam skripsi ini

dijelaskan tiga defenisi mengenai mediasi, yaitu:

1) Menurut Toni Whatling menguraikan bahwa : “Mediation is a process


in which an impartial third person assist those involved in conflict to
communicate evectively with one another and to reach their own
agreed and onformed decissions concerning some, or all, of the issues
undispute”.24
2) Menurut Tolberg dan Taylor : Mediasi adalah proses dimana para
pihak dengan bantuan seseorang atau beberapa orang secara sistematis
menyelesaikan permasalahan yang disengketakan untuk mencari
alternatif dan mencapai penyelesaian yang dapat mengakomodasi
kebuthan mereka.
3) Menurut Garry Goopaster berpendapat bahwa : Mediasi sebagai proses
negosiasi pemecahan masalah dimana pihak luar yang tidak memihak
(imparsial) bekerja sama dengan pihak-pihak yang bersengketa untuk
membantu mereka memperoleh kesepakatan perjanjian yang
memuaskan.25

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata mediasi diberi arti

sebagai proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu

perselisihan sebagai penasihat. Pengertian yang diberikan oleh Kamus besar

Bahasa Indonesia mengandung tiga unsur penting. Pertama, mediasi

merupakan proses penyelesaian perselisihan atau sengketa yang terjadiantara

dua pihak atau lebih. Kedua, pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa
23
Sudiarto dan Zaeni Asyhadle, Mengenal Arbitrase (Cet I; Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2004), h. 16.
24
Mediasi adalah sebuah proses di mana orang ketiga yang tidak memihak membantu mereka
yang terlibat dalam konflik untuk berkomunikasi secara evektif satu sama lain dan untuk mencapai
keputusan mereka sendiri yang disepakati dan yang berjalan baik mengenai beberapa, atau semua,
dari masalah yang tidak layak.
25
Syarrizal Abbas, Mediasi dalam Perspektif Hukum Syari’ah, Hukum Adat, dan Hukum
Nasional, h. 2-3.

25
adalah pihak-pihak yang berasal dari luar pihak sengketa. Ketiga, pihak yang

terlibat dari dalam penyelsaian sengketa tersebut bertindak sebagai penasihat

yang tidak memilik kewenangan apa-apa dalam pengambilan keputusan. 26

Dalam perundang-undangan indonesia, mengenai mediasi dapat kita temukan

dalam ketentuan pasal 6 ayat (3), pasal 6 ayat (4) dan pasal 6 ayat (5)

Undang-undang No. 30 Tahun 1999. Menurut pasal 6 ayat (3) bahwa mediasi

adalah suatu proses kegiatan sebagai kelanjutan dari gagalnya negosiasi yang

dilakukan para pihak menurut ketentuan pasal 6 ayat (2).27

Mediasi Penal merupakan dimensi baru yang dikaji dari aspek teoretis

dan praktik. Dikaji dari dimensi praktik maka mediasi penal akan berkorelasi

dengan pencapaian dunia peradilan. Seiring berjalannya waktu dimana

semakin hari terjadi peningkatan jumlah volume perkara dengan segala

bentuk maupun variasinya yang masuk ke pengadilan, sehingga

konsekuensinya menjadi beban bagi pengadilan dalam memeriksa dan

memutus perkara sesuai asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan

tanpa harus mengorbankan pencapaian tujuan peradilan yaitu kepastian

hukum, kemanfaatan dan keadilan.28

Adapun konsep mediasi penal di kalangan Internasional dikenal

pertama kali di Kitchener-Ontario, Kanada pada tahun 1974. Program ini

selanjutnya menyebar ke Amerika Serikat, Inggris, dan Negara-negara lain di

Eropa. Di Amerika Serikat, mediasi penal pertama kali berlangsung di


26
Nur Aisyah Bachri, Tinjauan Yuridis terhadap Tindak Pidana Penganiyaan yang Dilakukan
oleh Anak (Makassar: Universitas Hasanuddin, 2014) h. 27. Repository.unhas.ac.id diakses
tanggal 8 Desember 2016.
27
Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Hukum Arbitrase (Cet III; Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2003), h. 35
28
Barda Nawawi Arief, Mediasi Penal dalam Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, h.2

26
Elkhart-Indiana. Sedangkan di Inggris, mediasi penal ini dipraktekkan The

Exeter Youth Support Team pada tahun 1979. Pada awalnya, mediasi penal

dipakai untuk menyelesaikan kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak (youth

offenders). Namun metode ini kemudian juga dipakai untuk menangani

kejahatan yang dilakukan oleh orang dewasa. Bahkan menurut Barda Nawawi

Arief, metode mediasi penal juga dapat diterapkan untuk semua tipe pelaku

tindak pidana atau semua tipe tindak pidana. Mediasi penal sebagai

instrument dari restorative justice dikenal berbagai istilah yang berbeda.

Terminologi yang paling awal yang dikenal adalah Victim-Offender

Reconciliation Program. Istilah ini jarang dipakai karena banyak pakar

menilai penggunaan istilah rekonsiliasi tidak cocok karena terlalu agamis dan

tidak menggambarkan proses perdamaian. Istilah yang lebih banyak

digunakan selanjutnya adalah Victim-Offender Mediation (Mediasi antara

Korban dan Pelaku). Adapun istilah penal mediation dipakai karena mediasi

digunakan untuk mendamaikanperkara pidana, bukan karena perkara perdata

yang biasanya menjadi fungsi mediasi. Istilah mediasi penal ini di Belanda

dikenal dengan strafbemiddeling sedangkan di Perancis istilah ini dikenal

dengan de mediation penale.

1.4.2.2. Langkah-langkah Mediasi di Luar Pengadilan

Pada dasarnya proses mediasi di luar pengadilan tidak di atur dalam

peraturan perundang-undangan, tetapi lebih didasarkan pada pengalaman

praktisi. Oleh sebab itu, langkah-langkah dan teknik mediais dapat diperoleh

27
dari karya-karya praktisi mediasi, khususnya para praktisi di Negara-negara

yang berbahasa Inggris, terutama Amerika Serikat dan Australia. Moore

mengidentifikasi proses mediasi kedalam dua belas tahapan, yaitu:

a. Memulai hubungan dengan para pihak yang bersengketa (Intial

Contact with the Disputing Parties)

b. Memilih strategi untuk membimbing proses mediasi (Selecting

Strategy to Guide Mediation)

c. Mengumpulkan dan menganalisis informasi latar belakang

sengketa (Collection and Analizing Background Information)

d. Menyusun rencana mediasi (Designing a Plan for Mediation)

e. Membangun kepercayaan dan kerja sama diantara para pihak

(Building Trust and Cooperations)

f. Memulai siding mediasi (Beginning Mediation Session)

g. Merumuskan masalah-masalah dan menyusun agenda (Deffining

Issue and Setting Agenda)

h. Mengungkapkan kepentingan-kepentingan tersembunyi dari para

pihak (Uncovering Hidden Interest of the Disputung Parties)

i. Mengungkapkan pilihan-pilihan penyelesaian sengketa

(Generation Options)

j. Menganalisis pilihan-pilihan penyelesaian sengketa (Generation

Options).

Proses pelaksanaan mediasi dalam ketentuan Pasal 20 PP Tahun 2000

dimulai dengan pemilihan atau penunjukan mediator oleh para pihak pada

28
lembaga penyedia jasa. Atas dasarr penunjukan, maka mediator secepat

mungkin melakukan proses mediasi melalui negosiasi, fasilitasi, dan

mendorong para pihak untuk mencapai kesapakatan damai yang dapat

mengakhiri perselisihan.

Barda Nawawi mengaraikan secara teoritis prinsip-prinsip kerja

mediasi penal, yaitu:

1) Tujuan diadakannya mediasi antara korban dan pelaku adalah

untuk menyelesaikan konflik yang terjadi di antara keduanya.

Jika ini dibiarkan berlarutlarut dan berlanjut dapat

menimbulakan pembalasan sendiri.

2) Mediasi penal berorientasi kepada proses. Artinya, yang perlu

diperhatikan adalah adanya kemauan para pihak untuk

menyelesaiakn konflik yang mereka hadapi.

1.4.3. Mediasi biasanya dilaksanakan secara informal, tidak seperti

dalam proses peradilan. Pidana yang bersifat formal, kaku, dan

sentralistik.

1.4.4. Mediasi penal menghendaki adanya partisispasi aktif dan

otonom dari korbandan pelaku kejahatan. Tanpa hal itu, akan

sulit untuk menyelesaiakn konflik yang mereka hadapi.29

Pendekatan konsensus atau mufakat dalam proses mediasi

mengandung pegertian, bahwa segala sesuatu yang dihasilkan dalam proses

mediasi harus merupakan hasil kesepakatan atau persetujuan para pihak.

29
Syarrizal Abbas, Mediasi dalam Perspektif Hukum Syari’ah, Hukum Adat, dan Hukum
Nasional, h. 91-92.

29
Mediasi dapat ditempuh oleh para pihak yang terdiri atas dua pihak yang

bersengketa maupun oleh lebih dari dua pihak (multiparties). Penyelesaian

dapat dicapai atau dihasilkan jika semua pihak yang bersengketa dapat

menerima penyelesaian itu. Namun, ada kalanya karena berbagai faktor para

pihak tidak mampu mencapai penyelesaian sehingga mediasi berakhir dengan

jalan buntu. Situasi ini yang membedakan mediasi dari litigasi. Litigasi pasti

berakhir dengan sebuah penyelesaian hukum, berupa putusan hakim,

meskipun penyelesaian hukum belum tentu mengakhiri sebuah sengketa

karena ketegangan diantara dua pihak masih berlangsung dan pihak yang

kalah selalu tidak puas.

Mediasi penal sebagai upaya perdamaian dalam menyelesaikan

konflik di luar pengadilan memiliki tujuan dan manfaat baik itu dari segi

prosesnya maupun untuk para pihak yang memilih menyelesaikan konflik

melalui mediasi penal. Adapun tujuan dilakukan mediasi penal adalah

menyelesaikan konflik antara antara pihak dengan melibatkan para pihak

ketiga yang netral dan imparsial. Mediasi penal dapat mengantarkan para

pihak pada perwujudan kesepakatan damai yang permanen dan lestari,

mengingat penyelesaian konflik melalui mediasi menempatkan kedua belah

pihak pada posisi yang sama, tidak ada pihak yang dimenangkan atau pihak

yang dikalahkan (win-win).

Penyelesaian konflik melalui jalur mediasi penal sangat dirasakan

manfaatnya, karena para pihak telah mencapai kesepakatan mengakhiri

pertengkaran mereka secara adil dan saling dan menguntungkan. Bahkan

30
dalam mediasi yang gagal pun, dimana para pihak belum mencapai

kesepakatan , sebenarnya juga telah dirasakan manfaatnya. Kesediaan para

pihak bertemu dalam suatu proses mediasi, paling tidak mampu

mengklarifikasikan akar perkara dan mempersempit perselisihan diantara

mereka. Hal ini menunjukkan adanya keinginan para pihak untuk

menyelesaiakan konflik, namun mereka belum menemukan format tepat yang

dapat disepakati oleh kedua boleh pihak. Mediasi Penal dapat memberikan

sejumlah keuntungan antara lain:

a) Mediasi penal diharapkan dapat menyelesaikan sengketa secara cepat dan

relatif murah dibandingkan dengan membawa perselisihan ke pengadilan.

b) Mediasi akan menfokuskan perhatian para pihak pada kepentingan

mereka secara nyata pada kebutuhan emosi atau psikologis mereka,

sehingga mediasi bukan hanya tertuju pada hak-hak hukumnya.

c) Mediasi memberikan kesempatan para pihak untuk berpartisipasi secara

langsung dan secara informal dalam menyelesaikan perselisihan mereka.

d) Mediasi memberikan kemapuan para pihak untuk melakukan kontrol

terhadap proses dan hasilnya.

e) Mediasi dapat mengubah hasil, yang dalam litigasi dan arbitrase sulit

diprediksi, dengan suatu kepastian melalui suatu konsensus.

1.4.3. Teori Hukum Pertambangan (IPR)

Sumber Daya alam adalah titipan dan anugrah dari Allah Yang Maha

Kuasa, kita sebagai manusia hanya diberikan kesempatan sekali untuk menikmati

keindahan dunia sebagai titipan-Nya dan akan berlanjut kepada generasi

31
berikutnya. Hubungan manusia dengan sumber daya alam adalah keterkaitannya

dengan kehidupan manusia yang memiliki kebutuhan akan semua ini untuk

meningkatkan kesejahteraan yang diwujudkan dengan menggunakan sumber daya

alam sebagaimana semestinya, karena pada dasarnya mewujudkan kesejahteraan

masyarakat merupakan tujuan negara yang terdapat pada Undang-Undang Dasar

1945, sehingga sesuai dengan Pasal 33 secara jelas hak menguasai dimiliki oleh

Negara dengan Pemerintah sebagai pelaksana yang mengatur, mengarahkan serta

menegakkan ketentuan yang ada. .

Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 33 ayat (3), menyebutkan:

“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh

Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Kata-kata

dikuasai oleh Negara dalam Pasal 33 ayat (3) di atas merupakan dasar bagi konsep

Hak Penguasaan Negara.

Untuk mengetahui dan memahami makna, maksud serta substansi suatu

konsep hukum dan ketentuan perundang-undangan secara proporsional

dibutuhkan pengkajian khusus terhadap pemikiran yang mendasari lahirnya

konsep hukum dan perundang-undangan tersebut. Karena itu, untuk dapat

memahami konsep penguasaan negara atas pertambangan terlebih dahulu dimulai

dengan mengkaji Pasal 33 UUD 1945 sebagai dasar konstitusionilnya. Dalam

konteks hak menguasai Negara bidang pertambangan sebagaimana dimaksud

Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 tidak ada ketentuan dalam perundang-undangan baik

karena di sini hak menguasai negara dalam konteks pertambangan, dimana Negara

dalam kedudukannya mempunyai tugas untuk pengaturan tidak lain karena

32
disamakan konsep hak menguasai Negara atas tanah atau hak atas tanah. Adanya

penyamaan konsep hak menguasai Negara atas bahan galian dengan hak atas

tanah merupakan sebuah pemaknaan yang kurang tepat, kalau tidak boleh dibilang

keliru, setidaknya ada 2 (dua) alasan pokok kekeliruan pemaknaan yaitu pertama,

alasan filosofi budaya dan adat yang bhineka tunggal Ika (Negara Republik

Indonesia) dengan makna Negara melakukan pengaturan atas peruntukan tanah

atau lahan karena dapat dipahami karena tanah berhubungan langsung dengan

kebutuhan pokok manusia yang menyangkut rumah atau perumahan yang berdiri

di atas tanah, dan hak pokok lainnya, Kedua alasan teknis strategis karena

Indonesia banyak memiliki bahan galian yang pada umumnya berada di dalam

tanah dan bahan galian ini dapat diusahakan secara ekonomis dalam kerangka

membangun Negara dan bangsa secara merata dan adil sehingga diperlukan

pengelolaan sumber-sumber secara baik dalam arti Negara berkedudukan sebagai

pengendali sekaligus pengatur kemudian oleh Negara didistribusikan kepada

rakyat.

Untuk lebih mendapatkan gambaran dan dapat menganalisa tentang

masalah yang menjadi objek penelitian ini, maka perlu dikemukakan tentang

beberapa teori yang dikemukakan oleh beberapa sarjana tentang

pembagian/pengklasifikasian hukum pidana khusus dan pemahaman tentang asas

Lex Specialis Derogat Legi Generali dalam rangka penegakan hukum pidana.30

Apabila pengembangan hukum yang mengintegrasikan pertimbangan

lingkungan dan pembangunan sosial dan ekonomi dianggap sebagai bagian dari

30
PAF Lamintang, 1984, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung, Sinar Baru,
Hlm.685

33
konsep pembangunan tahun 70-an, maka teori hukum sebagai sarana

pembaharuan masyarakat merupakan bagian dari pembahasan hukum

pembangunan berkelanjutan.31

Teori hukum sebagai sarana pembangunan dan pembaharuan masyarakat

dapat dianggap sebagai gagasan awal perkembangan pembangunan

berkelanjutan.32 Ketika konsep pembangunan di evaluasi sebagai sarana

pembaharuan di negara berkembang, masalah lingkungan menjadi isu

pembangunan. Artinya, selain pembangunan ekonomi dan pembangunan sosial,

isu lingkungan dengan segera menjadi perdebatan dan sekaligus menjadi dimensi

baru dari konsep pembangunan. Pembangunan inilah yang disebut sebagai

pembangunan yang berwawasan lingkungan (ecodevelopment) dan prinsip-

prinsipnya menjadi deklarasi Stockolhm 1972.

Konsep pembangunan yang berwawasan lingkungan berdasarkan prinsip-

prinsip di atas untuk pertama kali dianut dalam GBHN Indonesia tahun 1973. dari

prinsip-prinsip yang dianut, tanggung jawab Negara (State Responsibility)

merupakan salah satu prinsip penting Deklarasi Stockholm, yaitu prinsip 21 yang

berbunyi sebagai berikut: “state have, in accordance with the charter of the

United Nation and the principles of International law, the sovereign rights to

exploit their own resources pursuant to their own environmental policies, and the

responsibility to ensure that activities withintheir juridiction or control do not


31
Daud Silalahi, Perkembangan Hukum Lingkungan Indonesia: Tantangan dan Peluang,
(2000) dan Danis Goulet, The Cruel Choice; A New Concept in The Theory of development
(1971)
32
Mochtar Kusumaatmadja yang membahas peranan hukum sebagai alat atau sarana
pembaharuan/pembangunan masyarakat, bandingkan dengan teori hukum R. Pound yang
membahas law as tool of socialengineering. Juga dengan tulisan Daud Silalahi, yang berjudul,
Perkembangan hukum Lingkungan Indonesia:Tantangan dan Peluangnya, UNPAD, 2000

34
cause damage to the environment of other state or of areas beyond the limits of

national jurisdiction”.

Dari prinsip diatas, terdapat dua hal mendasar dari perkembangan hukum

baru yang perlu dicermati, yaitu pertama perkembangan hukum bertalian dengan

hak berdaulat (sovereign right) terhadap sumber daya alam yang menimbulkan

masalah hukum yang bersifat lintas batas negara (hukum internasional), kedua,

keterkaitan eksploitasi sumber daya (sebagai bagian dari kegiatan pembangunan)

dengan kebijakan pengelolaan lingkungan sebagai tanggung jawab negara (state

responsibility). Jadi jika ada tindak pidana pada pertambangan berarti merupakan

tanggung jawab Negara sebagaimana yang dikatakan teori ini.

Pada dasarnya, dalam sejarah perkembangan hukum di Indonesia maka

salah satu teori hukum yang banyak mengundang atensi dari para pakar dan

masyarakat adalah mengenai Teori Hukum Pembangunan dari Prof. Dr. Mochtar

Kusumaatmaja, S.H., LL.M. Ada beberapa argumentasi krusial mengapa Teori

Hukum Pembangunan tersebut banyak mengundang banyak atensi, yang apabila

dijabarkan aspek tersebut secara global adalah sebagai berikut: Pertama, Teori

Hukum Pembangunan sampai saat ini adalah teori hukum yang eksis di Indonesia

karena diciptakan oleh orang Indonesia dengan melihat dimensi dan kultur

masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, dengan tolok ukur dimensi teorihukum

pembangunan tersebut lahir, tumbuh dan berkembang sesuai dengan

kondisiIndonesia maka hakikatnya jikalau diterapkan dalam aplikasinya

akansesuai dengan kondisidan situasi masyarakat Indonesia yang pluralistik.

35
Kedua, secara dimensional maka Teori Hukum Pembangunan memakai

kerangka acuan pada pandangan hidup (way of live) masyarakat serta bangsa

Indonesia berdasarkan asas Pancasila yang bersifat kekeluargaan maka terhadap

norma, asas, lembaga dan kaidah yang terdapat dalam Teori Hukum

Pembangunan Tersebut relatif sudah merupakan dimensi yang meliputi structure

(struktur), culture (kultur) dan substance (substansi) sebagaimana dikatakan oleh

Lawrence W. Friedman.33

Ketiga, pada dasarnya Teori Hukum Pembangunan memberikan dasar

fungsi hukum sebagai “sarana pembaharuan masyarakat” (law as a tool social

engeneering) dan hukum sebagai suatu sistem sangat diperlukan bagi bangsa

Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang.

Mochtar Kusumaatmadja secara cemerlang mengubah pengertian hukum

sebagai alat (tool) menjadi hukum sebagai sarana (instrument) untuk

membangunan masyarakat. Pokok-pokok pikiran yang melandasi konsep tersebut

adalah bahwa ketertiban dan keteraturan dalam usaha pembangunan dan

pembaharuan memang diinginkan, bahkan mutlak perlu, dan bahwa hukum dalam

arti norma diharapkan dapat mengarahkan kegiatan manusia kearah yang

dikehendaki oleh pembangunan dan pembaharuan itu. Oleh karena itu, maka

diperlukan sarana berupa peraturan hukum yang berbentuk tidak tertulis itu harus

sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.

33
Lawrence W. Friedman, 1984, American Law: An invaluable guide to the many faces ofthe
law, and how it affects our daily our daily lives, W.W. Norton & Company, New York, hlm. 1-8.
danpada Legal Culture and Social Development, Stanford Law Review,New York, hlm. 1002-
1010

36
Lebih jauh, Mochtar berpendapat bahwa pengertian hukum sebagai sarana

lebih luas dari hukum sebagai alat karena:

1. Di Indonesia peranan perundang-undangan dalam proses pembaharuan

hukum lebih menonjol, misalnya jika dibandingkan dengan Amerika

Serikat yang menempatkan yurisprudensi (khususnya putusan the

Supreme Court) pada tempat lebih penting.

2. Konsep hukkum sebagai “alat” akan mengakibatkan hasil yang tidak

jauh berbeda dengan penerapan “legisme” sebagaimana pernah

diadakan pada zaman Hindia Belanda, dan di Indonesia ada sikap yang

menunjukkan kepekaan masyarakat untuk menolak penerapan konsep

seperti itu.

3. Apabila “hukum” di sini termasuk juga hukum internasional, maka

konsep hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat sudah

diterapkan jauh sebelum konsep ini diterima secara resmi sebagai

landasan kebijakan hukum nasional.

Lebih detail maka Mochtar Kusumaatmadja mengatakan, bahwa:

Hukum merupakan suatu alat untuk memelihara ketertiban dalam


masyarakat. Mengingat fungsinya sifat hukum, pada dasarnya adalah
konservatif artinya, hukum bersifat memelihara dan mempertahankan
yang telah tercapai. Fungsi demikian diperlukan dalam setiap masyarakat,
termasuk masyarakat yang sedang membangun, karena di sini pun ada
hasil-hasil yang harus dipelihara, dilindungi dan diamankan. Akan tetapi,
masyarakat yang sedang membangun, yang dalam difinisi kita berarti
masyarakat yang sedang berubah cepat, hukum tidak cukup memiliki
memiliki fungsi demikian saja. Ia juga harus dapat membantu proses
perubahan masyarakat itu. Pandangan yang kolot tentang hukum yang
menitikberatkan fungsi pemeliharaan ketertiban dalam arti statis, dan
menekankan sifat konservatif dari hukum, menganggap bahwa hukum

37
tidak dapat memainkan suatu peranan yang berarti dalam proses
pembaharuan.”

1.4.4. Tindak Pidana

Hakikat dan kepastian hukum dalam menentukan adanya inisiatif suatu

pemerintah adalah memastikan dalam tindakan tersebut adanya suatu prinsip

legalitas hukum.34 Secara dogmatis dapat dikatakan bahwa di dalam hukum

pidana terdapat tiga permasalahan pokok, yaitu (1) perbuatan yang dilarang, (2)

orang yang melakukan perbuatan yang dilarang itu; dan (3) pidana yang

diancamkan terhadap pelanggaran larangan itu. 35 Sejalan dengan itu, menurut


36
Sauer ada tiga pengertian dasar dalam hukum pidana, yaitu (1) sifat melawan

hukum; (2) kesalahan dan (3) pidana.

Ciri khas hukum pidana, yang membedakan dengan hukum yang lain ialah

adanya sanksi yang berupa pidana. Pidana itu sendiri dari pelbagai pandangan

para pakar merupakan suatu nespatapa, derita, ketidakenakan, ketidaknyamanan,

pengekangan hak-hak seseorang, yang dijatuhkan oleh hakim kepada seseorang

yang telah terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana.

Hukum pidana sengaja memberikan penderitaan dalam mempertahankan yang

diakui dalam hukum.37

34
Oheo K. Haris, Good Governance (Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik) Dalam
Pemberian Izin Oleh Pemerintah Daerah Di Bidang Pertambangan, Volume 30 No 1, Januari
2015, https://e-journal.unair.ac.id/YDK/article/viewFile/4879/3586, dikutip tanggal 17 Desember
2021
35
Dwidja Priyatno, 2006, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, Refika
Aditama, Bandung,. h. 45
36
Ibid, h. 45
37
Didik Endro Purwoleksono, 2010, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bahan Kuliah
Mahasiswa Magister Hukum Program Pascasarjana Universitas Airlangga) Surabaya, tnp. h. 13

38
Dari kata strafbaar feit, para pakar hukum pidana menerjemahkan istilah

tersebut dengan berbagai istilah serta perumusan yang berbeda-beda sesuai

dengan cara pandang masing-masing atau sesuai dengan aliran hukum pidana

yang dianut. Perbuatan pidana harus terdiri dari unsur-unsur lahiriah (fakta) oleh

perbuatan adanya kelakuan serta akibat yang ditimbulkan karenanya. Dua hal

tersebut yaitu kelakuan dan akibat.38

Lebih lanjut ditegaskan, bahwa fungsi hukum pidana itu sendiri adalah

melindungi kepentingan hukum, baik kepentingan hukum orang, warga

masyarakat maupun negara dari rongrongan atau pelanggaran atau perkosaan oleh

siapapun. Disisi lain, fungsi hukum pidana melalui pengaturan sanksi pidana

dalam undang-undang ada dua fungsi yaitu (1) ultimum remedium yang diletakkan

atau diposisikan sebagai sanksi terakhir dan (2) primum remedium yang

diletakkan atau diposisikan sebagai sanksi yang utama.39

Penjatuhan pidana dan pemidanaan dapat dikatakan cermin peradilan

pidana. Apabila proses peradilan pidana yang berakhir dengan penjatuhan pidana

itu berjalan sesuai dengan asas peradilan, niscaya peradilan dinilai baik, tetapi

apabila sebaliknya tentu saja dinilai sebaliknya pula bahkan dapat di cap sebagai

kemerosotan kewibawaan hukum. Walaupun undang-undang mengatur persamaan

semua orang dihadapan hukum (equality before the law), sebagaimana diatur

38
Muhammad Sidrat, Sabrina Hidayat, Herman, Syarat Diversi pada Anak yang Berkonflik
dengan Hukum dalam Konsep Pemidanaan, Volume 1 Issue 2, August 2019, http:/
/ojs.uho.ac.id/index.php/holresch/ dikutip tanggal 17 Desember 2021.
39
Didik Endro Purwoleksono, 2010. Pengaturan Sanksi Pidana Dalam Ketentuan Undang-
Undang (Pidato Pengukuhan Guru Besar : 12 Juli 2008) dalam Kebijakan Hukum Pidana,
(Bahan Kuliah Mahasiswa Magister Hukum Program Pascasarjana Universitas Airlangga) tnp,
Surabaya., h. 22.

39
dalam peraturan perundang-undangan, namun berdasarkan undang-undang itu

pula terdapat pengecualian, yaitu tiada undang-undang tanpa pengecualian.

Pemidanaan mempunyai beberapa tujuan yang dapat diklasifikasikan

berdasarkan teori-teori tentang pemidanaan. Teori tentang tujuan pemidanaan

yang berkisar pada perbedaan hakekat ide dasar tentang pemidanaan yang dapat

dilihat dari beberapa pandangan.

Herbert L. Packer,40 menyatakan bahwa ada dua pandangan konseptual

yang masing-masing mempunyai implikasi moral yang berbeda satu sama lain,

yakni pandangan retributif dan pandangan utilitarian. Pandangan retributif

mengandaikan pemidanaan sebagai ganjaran negatif terhadap perilaku

menyimpang yang dilakukan oleh warga masyarakat sehingga pandangan ini

melihat pemidanaan hanya sebagai pembalasan terhadap kesalahan yang

dilakukan atas dasar tanggung jawab moralnya masing-masing.

Pandangan utilitarian melihat pemidanaan dari segi manfaat dan

kegunaannya di mana yang dilihat adalah situasi atau keadaan yang ingin

dihasilkan dengan dijatuhkannya pidana itu. Di satu pihak, pemidanaan

dimaksudkan untuk memperbaiki sikap atau tingkah laku terpidana dan dipihak

lain pemidanaan itu juga dimaksudkan untuk mencegah orang lain dari

kemungkinan melakukan perbuatan yang serupa. Pandangan ini dikatakan

berorientasi ke depan dan sekaligus mempunyai sifat pencegahan.41

Muladi, membagi teori-teori tentang tujuan pemidanaan menjadi tiga kelompok

yakni : 1) teori absolut; 2) teori teleologis; dan 3) teori retributif teleologis.


40
Herbert L. Packer dalam Zainal Abidin, et al, 2005, Pemidanaan, Pidana dan Tindakan
Dalam Rancangan KUHP 2005, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Elsam . h. 10.
41
Ibid, h, 11

40
Sedangkan Bambang Poernomo dan van Bemmelen juga menyatakan ada tiga

teori pemidanaan sebagaimana yang dinyatakan oleh Muladi, yakni teori

pembalasan, teori tujuan dan teori gabungan.42

Demikian juga Widodo43 mengemukakan tiga macam teori tujuan

pemidanaan yaitu teori absolut, teori relatif dan teori gabungan. Teori tersebut

mengkaji tentang alasan penjatuhan pidana.

Teori absolut memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas

kesalahan yang dilakukan sehingga berorientasi pada perbuatan dan terletak pada

terjadinya kejahatan itu sendiri. Teori ini mengedepankan bahwa sanksi dalam

hukum pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan sesuatu

kejahatan yang merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu

pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan sehingga sanksi bertujuan

untuk memuaskan tuntutan keadilan.

Teori teleologis (tujuan) memandang bahwa pemidanaan bukan sebagai

pembalasan atas kesalahan pelaku tetapi sarana mencapai tujuan yang bermanfaat

untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan masyarakat. Sanksi

ditekankan pada tujuannya, yakni untuk mencegah agar orang tidak melakukan

kejahatan, maka bukan bertujuan untuk pemuasan absolut atas keadilan.

Berdasarkan teori tersebut muncul tujuan pemidanaan sebagai sarana

pencegahan, baik pencegahan khusus yang ditujukan kepada pelaku, maupun

pencegahan umum yang ditujukan kepada masyarakat. Teori relatif berasas pada
42
Bambang Poernomo, 1986, Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan,
Liberty Yogyakarta. h. 27
43
Widodo, 2009, Sistem Pemidanaan Dalam Cyber Crime Alternatif Ancaman Pidana Kerja
Sosial Dan Pidana Pengawasan Bagi Pelaku Cyber Crime, Laksbang Mediatama, Yogyakarta. h.
70

41
tiga tujuan utama pemidanaan yaitu preventif, detterence, dan reformatif. Tujuan

preventif untuk melindung masyarakat dengan menempatkan pelaku kejahatan

terpisah dari masyarakat. Tujuan menakuti (untuk menimbulkan rasa takut

melakukan kejahatan yang bisa dibedakan untuk individual, publik dan jangka

panjang). 44

Teori retributif teleologis memandang bahwa tujuan pemidanaan bersifat

plural, karena menggabungkan antara prinsi-prinsip teleologis (tujuan) dan

retributif sebagai satu kesatuan. Teori ini juga sering dikenal sebagai teori

integratif atau juga teori paduan. Teori ini bercorak ganda, di mana pemidanaan

mengandung karakter retributif sejauh pemidanaan dilihat sebagai suatu kritik

moral dalam menjawab tindakan yang salah. Sedangkan karakter teleologisnya

terletak pada ide bahwa tujuan kritik moral tersebut ialah suatu reformasi atau

perubahan perilaku terpidana dikemudian hari. Pandangan teori ini menganjurkan

adanya kemungkinan untuk mengadakan artikulasi terhadap teori pemidanaan

yang mengintegrasikan beberapa fungsi sekaligus retribution yang bersifat

utilitarian di mana pencegahan dan sekaligus rehabilitasi yang semuanya dilihat

sebagai sarana yang harus dicapai oleh suatu rencana pemidanaan. Karena

tujuannya bersifat integratif, maka perangkat tujuan pemidanaan adalah : a)

pencegahan umum dan khusus; b) perlindungan masyarakat; c) memelihara

solidaritas masyarakat; dan d) pengimbalan/ pengimbangan.45

Perkembangan teori pemidanaan selalu mengalami pasang surut dalam

perkembangannya. Teori pemidanaan yang bertujuan rehabilitasi telah dikritik

44
Elsam 2005, op cit h.11.
45
ibid

42
karena didasarkan pada keyakinan bahwa tujuan rehabilitasi tidak dapat berjalan.

Pada tahun 1970 an telah terdengar tekanan-tekanan bahwa treatment terhadap

rehabilitasi tidak berhasil serta indeterminate sentence tidak diberikan dengan

tepat tanpa gais-garis pedoman. 46

Lebih lanjut dikemukan bahwa terhadap tekanan atas tujuan rehabilitasi

lahir “Model Keadilan” sebagai justifikasi modern untuk pemidanaan yang

dikemukakan oleh Se Situs Reid. Model keadilan yang dikenal juga dengan

pendekatan keadilan atau model ganjaran setimpal (just disert model) yang

didasarkan pada dua teori tentang tujuan pemidanaan, yaitu pencegahan

(prevention) dan retribusi (retribution). Dasar retribusi dalam just disert model

menganggap bahwa pelanggar akan diniliai dengan sanksi yang patut diterima

oleh mereka mengingat kejahatan-kejahatan yang telah dilakukannya, sanksi yang

tepat akan mencegah para kriminal untuk melakukan tindakan-tindakan kejahatan

lagi dan mencegah orang-orang lain melakukan kejahatan. 47

Memperhatikan beberapa teori klasik tentang tujuan pemidanaan

sebagaimana yang dikemukakan oleh para pakar, dapat disimpulkan bahwa

penjatuhan pidana lebih banyak ditujukan untuk “kepentingan” pelaku. Dengan

kata lain, tujuan pemidanaan hanya dimaksudkan untuk mengubah perilaku dari

pelaku kejahatan, agar pelaku tidak mengulangi lagi perbuatannya, sedangkan

kepentingan korban sama sekali diabaikan.

46
Sholehuddin, 2003, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
h. .61
47
Ibid, h. 62

43
Mencermati keberadaan dua teori tersebut, muncul Teori gabungan yang

mendasarkan atas pembalasan dan asas pertahanan tata tertib hukum masyarakat.

Teori gabungan ini dibagi menjadi tiga golongan : 48

a. Teori gabungan yang menitikberatkan pada pembalasan, tetapi


pembalasan tersebut tidak boleh melampaui batas dan cukup untuk
mempertahankan tata tertib;
b. Teori gabungan yang menitikberatkan pada pertahanan tata tertib
masyarakat. Menurut teori ini penjatuhan pidana bertujuan untuk
mempertahankan tata tertib masyarakat, namun penderitaan atas
pidana yang dijatuhkan tidak boleh lebih berat daripada perbuatan
yang dilakukan terpidana;
c. Teori gabungan yang menganggap, bahwa pidana memenuhi
keharusan pembalasan dan keharusan melindungi masyarakat,
memberikan titik berat yang sama antara pembalasan dan
perlindungan masyarakat.

49
Menurut Made Sadhi Astuti, tujuan pidana adalah bertalian erat dengan

jenis kejahatan yang bersangkutan. Tujuan pidana adalah mencerminkan jiwa,

pandangan hidup, serta struktur sosial budaya bangsa yang bersangkutan.

Selain ketiga teori yang dikemukakan sebelumnya, yaitu teori absolut atau

teori pembalasan, teori relatif atau teori tujuan, dan teori gabungan, juga terdapat
50
teori yang keempat yaitu Teori Pembinaan, yang menekankan bahwa tujuan

pidana adalah untuk merubah tingkah laku atau kepribadian nara pidana agar

meninggalkan kebiasaan jelek yang bertentangan dengan norma-norma hukum

serta norma-norma lainnya dan agar lebih cenderung untuk mematuhi norma-

norma yang berlaku. Dengan kata lain tujuan pidana untuk memperbaiki nara

pidana.

48
Kusno Adi, 2009, Kebijakan Kriminal Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika
Oleh Anak, UMM Press, Malang,. hlm. 75
49
Ibid, hlm. 75
50
Ibid

44
Dalam teori pembinaan perhatian utama lebih diarahkan pada nara pidana,

bukan pada tindak pidana yang terjadi, konsekuensinya ialah jenis dan bentuk

pidana tidak didasarkan pada berat ringannya tindak pidana yang dilakukan,

melainkan harus didasarkan pada keperluan yang dibutuhkan untuk memperbaiki

nara pidana.

Sehubungan dengan pemidanaan terhadap anak delinkuen, Made Sadhi

Astuti51 mengemukakan bahwa pemidanaan sebaiknya bertujuan “kebijaksanaan”.

Kebijaksanaan di sini harus dilihat baik dalam pengertian fisik maupun mental

(pskhis) dan spiritual, karena baik pertumbuhan secara fisik maupun mental anak

yang bersangkutan tidak boleh mengalami hambatan dan gangguan. Teori pidana

“Kebijaksanaan” ditinjau dari aspek non-institusional, adalah sesuai dengan

kondisi sosial masyarakat Indonesia di dalam hubungan dengan masyarakat yang

secara keseluruhan mengutamakan keseimbangan, sifat kekeluargaan, dan gotong

royong. Dalam masyarakat adat Indonesia segala perbuatan yang mengganggu

keseimbangan merupakan pelanggaran hukum dan petugas hukum wajib

mengambil tindakan untuk memulihkan kembali kesimbangan tersebut, yaitu si

pelanggar membayar ganti rugi kepada orang yang terkena atau pada korban,

membayar uang adat atau korban pada persekutuan desa, bahkan kerabat si

penjahat menanggung pidana yang dijatuhkan atas kejahatan yang dilakukan oleh

salah seorang warganya.

Perkembangan teori tentang pemidanaan selalu mengalami pasang surut

dalam perkembangannya. Teori pemidanaan yang bertujuan rehabilitasi telah

dikritik karena didasarkan pada keyakinan bahwa tujuan rehabilitasi tidak dapat
51
Ibid, h. 76

45
berjalan. Pada tahun 1970-an telah terdengar tekanan-tekanan bahwa treatment

terhadap rehabilitasi tidak berhasil serta indeterminate sentence tidak diberikan

dengan tepat tanpa garis-garis pedoman.

Terhadap tekanan atas tujuan rehabilitasi lahir “Model Keadilan” sebagai

justifikasi modern untuk pemidanaan yang dikemukakan oleh Sue Titus Reid.

Model keadilan yang dikenal juga dengan pendekatan keadilan atau model

ganjaran setimpal (just desert model) yang didasarkan pada dua teori tentang

tujuan pemidanaan, yaitu pencegahan (prevention) dan retribusi (retribution).

Dasar retribusi dalam just desert model menganggap bahwa pelanggar akan dinilai

dengan sanksi yang patut diterima oleh mereka mengingat kejahatan-kejahatan

yang telah dilakukannya, sanksi yang tepat akan mencegah para kriminal

melakukan tindakan-tindakan kejahatan lagi dan mencegah orang-orang lain

melakukan kejahatan. Dengan skema just desert ini, pelaku dengan kejahatan

yang sama akan menerima penghukuman yang sama, dan pelaku kejahatan yang

lebih serius akan mendapatkan hukuman yang lebih keras daripada pelaku

kejahatan yang lebih ringan.

Terdapat dua hal yang menjadi kritik dari teori just desert ini, yaitu:

Pertama, karena desert theories menempatkan secara utama menekankan pada

keterkaitan antara hukuman yang layak dengan tingkat kejahatan, dengan

kepentingan memperlakukan kasus seperti itu, teori ini mengabaikan perbedaan-

perbedaan yang relevan lainnya antara para pelaku, seperti latar belakang pribadi

pelaku dan dampak penghukuman kepada pelaku dan keluarganya dan dengan

demikian seringkali memperlakukan kasus yang tidak sama dengan cara yang

46
sama. Kedua, secara keseluruhan, tapi eksklusif, menekankan pada pedoman-

pedoman pembeda dari kejahatan dan catatan kejahatan yang mempengaruhi

psikologi dari penghukuman dan pihak yang menghukum.

Di samping just desert model juga terdapat model lain yaitu restorative

justice model yang seringkali dihadapkan pada retributive justice model. Secara

lebih rinci Muladi menyatakan bahwa restorative justice model mempunyai

beberapa karakteristik yaitu :

a. Kejahatan dirumuskan sebagai pelanggaran seorang terhadap orang


lain dan diakui sebagai konflik;
b. Titik perhatian pada pemecahan masalah pertanggungjawaban dan
kewajiban pada masa depan;
c. Sifat normatif dibangun atas dasar dialog dan negosiasi;
d. Restitusi sebagai sarana perbaikan para pihak, rekonsiliasi dan
restorasi sebagai tujuan utama;
e. Keadilan dirumuskan sebagai hubungan-hubungan hak, dinilai atas
dasar hasil;
f. Sasaran perhatian pada perbaikan kerugian sosial;
g. Masyarakat merupakan fasilitator di dalam proses restoratif;
h. Peran korban dan pelaku tindak pidana diakui, baik dalam masalah
maupun penyelesaian hak-hak dan kebutuhan korban. Pelaku tindak
pidana didorong untuk bertanggung jawab;
i. Pertanggungjawaban si pelaku dirumuskan sebagai dampak
pemahaman terhadap perbuatan dan untuk membantu memutuskan
yang terbaik;
j. Tindak pidana dipahami dalam konteks menyeluruh, moral, sosial dan
ekonomis; dan
k. Stigma dapat dihapus melalui tindakan restoratif.

Restorative justice model diajukan oleh kaum abolisionis yang melakukan

penolakan terhadap sarana koersif yang berupa sarana penal dan diganti dengan

sarana reparatif. Paham abolisionis menganggap sistem peradilan pidana

mengandung masalah atau cacat struktural sehingga secara relatistis harus dirubah

47
dasar-dasar sruktur dari sistem tersebut. Dalam konteks sistem sanksi pidana,

nilai-nilai yang melandasi paham abolisionis masih masuk akal untuk mencari

alternatif sanksi yang lebih layak dan efektif daripada lembaga seperti penjara.

Restorative justice menempatkan nilai yang lebih tinggi dalam keterlibatan

yang langsung dari para pihak. Korban mampu untuk mengembalikan unsur

kontrol, sementara pelaku didorong untuk memikul tanggung jawab sebagai

sebuah langkah dalam memperbaiki kesalahan yang disebabkan oleh tindak

kejahatan dan dalam membangun sistem nilai sosialnya. Keterlibatan komunitas

secara aktif memperkuat komunitas itu sendiri dan mengikat komunitas akan

nilai-nilai untuk menghormati dan rasa saling mengasihi antar sesama. Peranan

pemerintah secara substansial berkurang dalam memonopoli proses peradilan

sekarang ini. Restorative justice membutuhkan usaha-usaha yang kooperatif dari

komunitas dan pemerintah untuk menciptakan sebuah kondisi dimana korban dan

pelaku dapat merekonsiliasikan konflik mereka dan memperbaiki luka-luka

mereka.

Restorative justice mengembalikan konflik kepada pihak-pihak yang

paling terkenal pengaruh–korban, pelaku dan “kepentingan komunitas” mereka

dan memberikan keutamaan pada kepentingan-kepentingan mereka. Restorative

justice juga menekankan pada hak asasi manusia dan kebutuhan untuk mengenali

dampak dari ketidakadilan sosial dan dalam cara-cara yang sederhana untuk

mengembalikan mereka daripada secara sederhana memberikan pelaku keadilan

formal atau hukum dan korban tidak mendapatkan keadilan apapun. Kemudian

48
restorative justice juga mengupayakan untuk merestore keamanan korban,

penghormatan pribadi, martabat, dan yang lebih penting adalah sense of control.

1.5. Metode Penelitian

1.5.1. Tipe Penelitian

Istilah yang digunakan dalam penelitian hukum pada umumnya

meru juk pada penggunaan istilah penelitian hukum normatif, bahkan tidak

jarang mengidentikkan penelitian hukum dengan penelitian hukum

normatif semata. Selain istilah penelitian hukum normatif, ada juga yang

menggunakan istilah lain, yaitu penelitian hukum doktrinal dan penelitian

hukum dogmatik. Bahkan ada juga yang menyebutkan dengan istilah

penelitian hukum teoretis. Perbedaan istilah tersebut tidak menimbulkan

perbedaan secara substantif maupun perbedaan metodologis, hanya diikuti

dengan penjelasan yang bersifat normatif saja, tanpa ada penjelasan yang

lebih detail.52

Sebagian besar pustaka menyebut bahwa penelitian normatif pada

asasnya merupakan penelitian hukum doktrinal atau penelitian hukum

teoritis. Disebut demikian, karena pada penelitian normatif ini fokus pada

kajian tertulis yakni menggunakan data sekunder seperti meng gunakan

peraturan perundang-undangan, keputusan pengadilan, teori hukum, asas-

asas hukum, prinsip-prinsip hukum, dan dapat berupa hasil karya ilmiah

para sarjana (doktrin). Berbagai aspek dikaji pada penelitian jenis normatif

ini. Aspek-aspek tersebut seperti aspek teori, sejarah, filosofi,

52
Irwansyah, Penelitian Hukum Pilihan Metode dan Praktik Penulisan Artikel, Mirra Buana
Media, Yogyakarta, 2020. Hal. 94

49
perbandingan, struktur dan komposisi, lingkup dan materi, konsistensi,

penjelasan umum dan penjelasan pasal demi pasal, formalitas dan

kekuatan mengikat suatu perundanagan dan bahasa hukum yang

digunakan. Metode penelitian hukum normatif ini juga biasa dinamakan

penelitian hukum doktriner, sebab penelitian ini hanya ditujukan pada

peraturan peraturan tertulis, sehingga penelitian tersebut berkaitan erat

dengan studi kepustakaan (library research).53

Penulis menggunakan bentuk penelitian normatif yang mana

peneliti menghubungkan segala hal mengenai teori-teori dasar yang

berhubungan dengan penelitian. Jenis penelitian normatif adalah

penelitian yang mengarah pada hukum positif dan norma tertulis. Penulis

meneliti dan mengkaji aspek-aspek yuridis. Menurut ilmu yang

dipergunakan penelitian yuridis normatif adalah penelitian hukum

kepustakaan.54

1.5.2. Pendekatan Penulisan

Pendekatan Perundang-undangan

Pendekatan perundang-undangan (statute approach); digunakan untuk

menelaah peraturan perundang-undangan dan regulasi yang bersangkut

paut dengan isu hukum yang dibahas.


53
Ibid, Hal. 98.
54
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat,
cet. 9,( Jakarta: Rajawali Press, 2006), halaman 23.

50
a. Undang-undang (UU) Nomor 3 Tahun 2020. Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara.
b. Undang-Undang Republik Indonesia. Nomor 32 Tahun 2009.
Tentang. Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
c. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
d. Surat Edaran Kapolri Tentang Penerapan Restorative Justice Dalam
Penyelesaian Perkara Pidana.
e. Peraturan Daerah (PERDA) tentang Pengelolaan Pertambangan
Mineral Dan Batubara Nomor 05 Tahun 2013.

Pendekatan Kasus

Pendekatan kasus (case approach) yaitu pendekatan kasus dilakukan

dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan

isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah

mempunyai kekuatan hukum yang tetap.55

Pendekatan Konsep

Pendekatan konseptual (conceptual approach); merupakann pendekatan

yang berpijak pada doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum

sehingga akan ditemukan ide-ide yang melahirkan pengertian hukum,

konsep hukum, dan asas hukum yang relevan dengan permasalahan yang

diteliti .

1.5.3. Sumber Bahan Hukum

Adapun bahan hukum yang digunakan selama penulisan ini adalah:

1. Bahan hukum primer, merupakan bahan-bahan hukum yang bersifat

mengikat.

55
Peter Mahmud Marzuki, Op., Cit., hal. 93

51
2. Bahan hukum sekunder, merupakan bahan-bahan yang memberikan

penjelasan terhadap bahan hukum primer.

3. Bahan hukum tersier, merupakan bahan hukum yang dapat memberikan

petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder

1.5.4. Pengumpulan dan Analisis Bahan Hukum

Berhubungan dengan jenis penelitian yuridis normatif yang

mempergunakan data sekunder, maka teknik pengumpulan data yang

digunakan mengacu kepada Library Research (Penelitian Kepustakaan).

Teknik Library Research adalah teknik yang mempelajari serta

mengumpulkan data yang diperoleh dari buku-buku yang menulis tentang

pengaturan tindak pidana perkosaan di Indonesia. Teknik penelitian

pengumpulan data tertulis juga berupa seperti sumber-sumber bacaan

lainnya misalnya melalui penelusuran ke perpustakaan, antara lain berupa

peraturanperaturan hukum yang berlaku, atau buku-buku yang

berhubungan dengan penelitian ini. Selain itu penelitian ini juga merujuk

dari segala bahan-bahan atau artikel yang diperoleh melalui situs-situs

internet.

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini

merupakan analisis yang bersifat kualitatif, yakni data yang ada adalah

data yang digambarkan dalam kalimat, tidak ada unsur angka tetapi tidak

mengurangi validitas data tersebut yang menekankan pada aspek

pemahaman dengan mendalami dan menganalisis ketentuan perundang-

52
undangan tentang penyelenggaraan ke karantinaan kesehatan berdasarkan

Undang-Undang.

1.6. Sistematika Penulisan

Secara sistematis, penelitian tesis ini akan dibagi ke dalam 4 bab, pada tiap

bab berisi hal-hal yang akan dijelaskan sebagai berikut :

Bab I merupakan bab pendahuluan yang menjelaskan tentang latar

belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,

rangkaian beberapa kajian teoritis, metode penelitian, yang terdiri dari : tipe

penelitian, sumber bahan hukum, pengolahan dan analisa bahan hukum, serta

sistematika penulisan.

Pada Bab II merupakan pembahasan rumusan masalah pertama

tentang.kegiatan pertambangan tanpa izin yang dapat dimediasi penal.

Demikian juga pada bab iii menganalisis rumusan masalah kedua tentang

pelaksanaan mediasi penal sebagai alternatif penyelesian perkara pada tindak

pidana pertambangan tanpa izin skala kecil.

Sedangkan Bab IV merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dari

pembahasan isu hukum dan saran sebagai rekomendasi dalam penyelesaian

permasalahan pada isu hukum.

BAB II

KEGIATAN PERTAMBANGAN TANPA IZIN YANG DAPAT

DIMEDIASI PENAL

53
2.1. Landasan Pemikiran Diperlukannya Mediasi Penal Dalam Penyelesaian

Perkara Pidana

2.1.1. Ide Keadilan Restoratif (Restorative justice) dalam

Penyelesaian Perkara Pidana di Luar Pengadilan

Pemikiran tentang model keadilan, pendekatan keadilan atau

model ganjaran setimpal (just desert model56) yang didasarkan pada

dua teori tentang tujuan pemidanaan, yaitu pencegahan (prevention)

dan retribusi (retribution) telah diyakini melahirkan konsep

Restorative justice yang berkembang saat ini. Van Ness menyatakan

bahwa landasan Restorative justice Theory dapat diringkaskan dalam

beberapa karekteristik sebagai berikut 57:

a. Crime is conflict between individuals resulting in injuries to


victims, communities and the offenders themselves, only secondari
is it lawbreaking. (Kejahatan menurut sifat dasar/primernya
merupakan konflik antara individu-individu yang mengakibatkan
cedera pada korban, masyarakat dan pelaku sendiri, sedangkan
pengertian kejahatan sebagai sesuatu yang pelanggaran hukum
hanya bersifat sekunder saja).
b. The overarcing aim of the criminal justice process should be to
reconcile parties while repairing the injuries caused by crimes.
(Tujuan menyeleruh dari proses peradilan pidana harus
mendamaikan para pihak yang berkonflik/bersengketa, disamping
pula memperbaiki luka yang disebabkan oleh kejahatan.)

56
Sue Titus Reid, Criminal Justice, Criminal Justice, Procedure and Issue, (New York: West
Publishing Company, 1987), hlm. 352, dalam Soehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana: Ide
Dasar Double Track System dan Implementasinya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hlm.
62.
57
Daniel W. Van Ness, restorative justice and Intenational Human Right, dalam Restorative
Justice : Internatonal Perspective, edited by Burt Galway and Joe Hudson, (Amsterdam, The
Netherland : Kugler Publications, 1996), hlm. 23, lihat juga Zainal Abidin, Pemidanaan, Pidana
dan Tindakan dalam Rancangan KUHP 2005, Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri ke – 3,
(Jakarta : ELSAM – Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, 2005), hlm. 12-13.

54
c. The criminal justice process should facilitate active participation
by victim, offenders and their communities. A should not be
dominated by government to the exclusion of thers. (Proses
peradilan pidana harus memfasilitasi partisipasi aktif dari korban,
pelaku dan komunitas (masyarakat). Hal ini tidak boleh didominasi
oleh pemerintah dengan mengesampingkan orang lain atau hal-hal
lainnya).

Restoratif Justice Model ini diajukan oleh kaum abolisionis

yang melakukan penolakan terhadap sarana koersif yang berupa sarana

penal atau sarana litigasi dan diganti dengan sarana non penal/non

litigasi melalui sarana reparative.58 Paham abolisionis menganggap

sistem peradilan pidana mengandung masalah atau cacat struktural

sehingga secara relatif harus dirubah dasar-dasar struktur dari sistem

tersebut. Dalam konteks sistem sanksi pidana, nilai-nilai yang

melandasi paham abolisionis tersebut masih masuk akal untuk mencari

alternatif sanksi yang lebih layak dan efektif daripada lembaga seperti

penjara.59

Sebagaimana karakteristik dari model Restorative justice

menurut Muladi yang telah disebutkan pada bab sebelumnya,

Restorative justice menempatkan nilai yang lebih tinggi dalam

keterlibatan langsung dari para pihak yang bermasalah atau berkonflik.

Korban harus mampu untuk mengembalikan unsur kontrol, sementara

pelaku didorong untuk dapat memikul tanggung jawab sebagai sebuah

langkah dalam memperbaiki kesalahan yang disebabkan oleh tindak

58
Muladi, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Semarang : Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, 1966), hlm. 125.
59
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Perspekctif Eksistensionallisme dan
Abolisionisme, (Bandung : Bina Cipta, 1996), Hlm. 101.

55
kejahatan dan dalam membangun sistem nilai sosialnya. Keterlibatan

komunitas atau masyarakat secara aktif memperkuat

komunitas/masyarakat itu sendiri dan mengikat komunitas/masyarakat

akan nilai-nilai untuk menghormati dan rasa saling mengasihi antar

sesama. Peranan pemerintah secara substansial berkurang dalam

memonopoli proses peradilan sekarang ini. Restorative justice

membutuhkan usaha-usaha yang kooperatif dari masyarakat dan

pemerintah untuk menciptakan sebuah kondisi dimana korban dan

pelaku dapat merekonsiliasikan konflik dan memperbaiki luka-luka

masing-masing pihak yang bersengketa.60

Restorative justice mengembalikan konflik kepada pihak-pihak

yang paling berpengaruh, yakni meliputi korban, pelaku dan

"kepentingan komunitas" masyarakat (society) serta memberikan

keutamaan kepada kepentingan-kepentingan para pihak. Restorative

justice juga menekankan pada hak asasi manusia dan kebutuhan untuk

mengenali dampak dari ketidakadilan sosial dan dalam cara-cara yang

sederhana untuk mengembalikan para pihak yang berperkara daripada

secara sederhana memberikan pelaku kepada proses keadilan formal

atau hukum dan korban tidak mendapatkan keadilan apapun. Dalam

Restorative justice juga nampak adanya upaya untuk me-restore

(memulihkan) keamanan korban, memberikan penghormatan pribadi,

martabat, dan yang lebih penting adalah terjadinya sense of control.61


60
Daniel W . Van Ness, Op Cit, Hlm. 24.
61
Allison Morris dan Waren Young, Reforming Criminal Justice: The Potential of
Restorative Justice, dalam "Restorative Justice Philosophy to Practice", edited by Heather Strong

56
Restorative justice adalah respon yang sistematis atas

permasalahan, tindak pidana, konflik dan lainnya terkait dengan

keamanan dan ketertiban yang menekankan pada pemulihan atas

kerugian yang dialami korban dan/atau masyarakat sebagai akibat dari

terjadinya permasalahan, tindak pidana, maupun konflik tersebut.

Melihat dari hal tersebut maka jelas Restorative justice menekankan

pada upaya pemulihan dan bukan semata-mata untuk memberi

hukuman sebagaimana penanganan melalui pengadilan. Dalam

pelaksanaannya Restorative justice akan merespon permasalahan,

tindak pidana, konflik dan lainnya terkait dengan masalah keamanan

dan ketertiban dengan melakukan identifikasi dan mengambil langkah

untuk memperbaiki kerugian yang diciptakan, melibatkan seluruh

pihak yang terkait (stake holder) dan adanya upaya untuk melakukan

transformasi hubungan yang ada selama ini antara masyarakat dengan

pemerintah dalam merespon permasalahan, tindak pidana, konflik dan

lainnya terkait dengan masalah keamanan dan ketertiban.

Dengan demikian, ide Restorative justice sangat diperlukan

dalam pembaharuan hukum pidana Indonesia khususnya dalam

memberikan solusi terbaik dalam penyelesaian perkara pidana yang

melibatkan korban, pelaku dan masyarakat dalam rangka pemulihan

bagi pihak yang dirugikan dan terwujudnya kembali rasa kebersamaan

sehingga dapat terwujud rasa keadilan yang dapat diterima oleh semua

and John Braith Waite, (The Australian National University: Asghate Publishing Ltd, 2000), hlm.
14

57
pihak. Apabila dikaitkan dengan sistem peradilan pidana yang ada, ide

Restorative justice sangat cocok digunakan dalam penyelesaian

perkara pidana di luar pengadilan. Artinya penyelesaian perkara pidana

yang selama ini hanya bisa diselesaikan melalui sarana penal atau

sarana litigasi yaitu melalui proses yang dimulai dari tahap penyidikan,

penuntutan, pemeriksaan di pengadilan dan pelaksanaan hukuman di

lembaga pemasyarakatan, juga dapat diselesaikan melalui sarana non

penal atau non litigasi. Penyelesaian perkara pidana melalui sarana non

penal dapat dikatakan sebagai penyelesaian perkara pidana di luar

pengadilan, artinya bahwa penyelesaian perkara pidana tersebut

dilakukan tanpa melalui tahapan pemeriksaan di pengadilan. Akan

tetapi penyelesaian perkara tersebut masih dimungkinkan dalam

tahapan penyidikan maupun penuntutan. Bahkan penyelesaian perkara

tersebut dapat terjadi sebelum dilakukan pemeriksaan di pengadilan

atau pada tahap pelaksanaan hukuman.

Penggunaan ide Restorative justice yang diintegrasikan

maupun diselaraskan ke dalam sistem peradilan pidana dalam rangka

mewujudkan peradilan yang sederhana, cepat, singkat dan biaya

murah/ringan serta dapat mengu rangi penumpukan perkara ini

tentunya dibutuhkan political will dari pemerintah maupun lembaga

legislatif melalui kebijakan kriminal atau kebijakan penanggulangan

kejahatan (criminal policy) dengan mengadopsi nilai-nilai yang ada

dan berkembang di masyarakat Indonesia. Perlunya penyelesaian

58
perkara pidana yang dilakukan dengan menggunakan model

Restorative justice ini karena lebih menyembuhkan (healing), lebih

resolutif dan tanpa ada pihak yang kehilangan muka (elegant solution).

Di samping itu pemenuhan keadilan substantif bagi warga masyarakat

akan terwujud dan pencapaian tujuan hukum tidak hanya kepastian

hukum saja, melainkan juga memperhatikan keadilan dan kemanfaatan

hukum.

2.1.1.1. Restorative justice dalam Resolusi Konflik dan Penyelesaian

Perkara Pidana di Luar Pengadilan di Indonesia.

Keadilan yang diharapkan dapat diterima semua pihak atau

keadilan substantif merupakan hal yang diharapkan dalam suatu usaha

penyelesaian masalah. Melihat hal itu pengkajian penggunaan cara

alternatif untuk menuju keadilan substantif dari setiap upaya

penyelesaian konflik terus berkembang. Indonesia sebagai negara

hukum memang secara ideal wajib menggunakan cara-cara hukum

dalam menangani tindak pidana yang terjadi. Tetapi pada kasus-kasus

konflik yang terjadi khususnya konflik atau perkara yang melibatkan

antar individu-individu, meskipun terdapat unsur tindak pidananya,

namun bila diselesaikan dengan hukum formal akan menimbulkan

kerawanan baru. Hal ini senada dengan apa yang disampaikan

Manning, bahwa62

62
Manning P. Police Work, The Social Organization of Policing, (Cambridge: MIT, 1977),
hlm. 78.

59
“The law simply does not cover every situation that a police officer
encounters in field. In cases where the law may be clear, it might be more
prudent for the officer to ignore strict letter-of-the law interpretations”.63

Dalam praktek dimasyarakat Indonesia sesuai dengan budaya

timur yang melekat di dalamnya penyelesaian masalah-masalah,

konflik-konflik yang terjadi sudah sejak dulu menjadi pranata dalam

kehidupan kesehariannya. Kecenderungan masyarakat yang tidak mau

ribut dan keinginan untuk selalu hidup rukun dan menyelesaikan setiap

masalah dalam musyawarah untuk mufakat itu sudah ada sejak dulu

dalam tatanan kehidupan bangsa indonesia. Ide Restorative justice

dalam resolusi konflik sebenarnya sudah ada dalam tatanan kehidupan

bangsa Indonesia. Potensi untuk terjadinya konflik pada masyarakat

Indonesia sangat tinggi, hal ini dikarenakan Indonesia terdiri dari

berbagai suku bangsa dan berbagai kendala serta permasalahan yang

dapat memicu timbulnya konflik masih sangat terbuka peluangnya.

Dalam timbulnya suatu konflik terlebih dulu dimulai dengan adanya

masyarakat yang mudah untuk berkonflik. Masyarakat ini baik yang

mempunyai pengetahuan tinggi sampai kelompok massa yang

berpengetahuan rendah, bahkan kelompok radikal. Semua dapat

terlibat sebagai aktor sebagai pemicu maupun pelaku konflik-konfik

yang ada. Dapat diibaratkan seperti sebuah sekam kering yang apabila

tersulut sepercik api akan mudah sekali terbakar. Setelah terbakar


63
Terjemahan bebasnya, hukum kandangkala tidak dapat mengakomodasi setiap bentuk
situasi yang ada dilapangan tempat polisi berada. Dengan adanya beberapa kendala yang terjadi
dalam proses peradilan secara formal memunculkan upaya-upaya untuk menyelesaikan
permasalahan di luar pengadilan.

60
apabila ada hembusan angin panas akan membuat konflik yang tadinya

kecil akan cepat menjadi besar. Tentunya dalam konflik konflik yang

ada khususnya konflik atau perkara yang me libatkan antar individu-

individu, meskipun terdapat unsur tindak pidananya, namun bila

diselesaikan dengan hukum formal akan menimbulkan kerawanan

baru. Ide Restorative justice ini dapat digunakan dalam menyelesaikan

konflik maupun perkara-perkara pidana yang ada dengan mempelajari

bangunan konflik (conflict building) atau perkara pidana yang ada

dimasyarakat, menganalisa dan mengamati mekanisme penyelesaian

guna dapatnya diselesaikan dengan damai dengan dimotori oleh para

tokoh-tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, para akademisi

maupun Lembaga swadaya masyarakat (LSM), sehingga akan tercipta

bangunan kedaiaman (peace building) yang permanen.

2.1.1.2. Restorative justice sebagai Tujuan dalam Resolusi Konflik dan

Penyelesaian Perkara Pidana di Luar Pengadilan.

Konsep Restorative justice yang menekankan pada suatu

respon sistematis atas terjadinya suatu kejadian atau konflik di

masyarakat dan menekankan pada pemulihan atas kerugian yang

dialami korban dan/atau masyarakat sebagai akibat dari adanya

kejadian atau perbuatan kriminal atau tindak pidana. Berkaitan dengan

hal itu maka dalam kaitannya dengan upaya resolusi konflik,

Restorative justice harus segera berjalan manakala terdapat atau terjadi

61
suatu kejadian kecil yang berpotensi pada konflik yang lebih besar

bahkan Restorative justice dapat segera berjalan manakala terdapat

kejahatan berupa tindak pidana yang dilakukan pelaku terhadap korban

baik tindak pidana ringan, delik aduan, termasuk tindak pidana yang

melibatkan anak. Untuk mengetahui adanya suatu kejadian ini

tentunya pemberdayaan peran masyarakat menjadi sangat penting.

Restorative justice diimplementasikan sebagai merespon suatu

masalah, kejadian tindak pidana, konflik dengan melakukan

identifikasi dan pengambilan langkah-langkah untuk perbaikan atas

kerugian yang ditimbulkan, akan melibatkan seluruh pihak yang

terkait, dan berupaya melakukan transpormasi hubungan yang ada

selama ini antara masyarakat dengan pemerintah dalam merespon

setiap kemungkinan konflik yang akan menjadi lebih besar.

2.1.1.3. Korelasi Mediasi Penal (Penal mediation) dan Keadilan Restoratif

(Restorative justice) dalam Resolusi Konflik dan Penyelesaian Perkara

Pidana di Luar Pengadilan.

Restorative justice adalah sebuah konsep pemikiran yang

merespon pengembangan sistem peradilan pidana dengan

menitikberatkan pada kebutuhan pelibatan masya rakat dan korban

yang dirasa tersisihkan dengan meka nisme yang bekerja pada sistem

peradilan pidana yang ada pada saat ini. Dipihak lain, Restorative

justice juga merupakan suatu kerangka berfikir yang baru yang dapat

digunakan dalam merespon suatu tindak pidana bagi penegak dan

62
pekerja hukum. Penanganan perkara pidana dengan pendekatan

Restorative justice menawarkan pandangan dan pendekatan berbeda

dalam memahami dan menangani suatu tindak pidana. Dalam

pandangan Restorative justice makna tindak pidana pada dasarnya

sama seperti pandangan hukum pidana pada umumnya yaitu serangan

terhadap individu dan masyarakat serta hubungan kemasyarakatan.

Akan tetapi dalam pendekatan restorative justice, korban utama atas

terjadinya suatu tindak pidana bukanlah negara, sebagaimana dalam

sistem peradilan pidana yang sekarang ada. Oleh karenanya kejahatan

menciptakan kewajiban untuk membenahi rusaknya hubungan akibat

terjadinya suatu tindak pidana. Sementara keadilan dimaknai sebagai

proses pencarian pemecahan masalah yang terjadi atas suatu perkara

pidana dimana keterlibatan korban, masyarakat dan pelaku menjadi

penting dalam usaha perbaikan, rekonsiliasi dan penjaminan

keberlangsungan usaha perbaikan tersebut.

Sedangkan mediasi penal (penal mediation) merupa kan

mediasi dalam perkara pidana atau penyelesaian perkara pidana

melalui musyawarah dengan bantuan mediator yang netral, dihadiri

oleh korban dan baik secara sendiri-sendiri maupun beserta keluarga

dan perwakilan masyarakat (tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh

adat, dll), yang dilakukan secara sukarela, dengan tujuan pemulihan

bagi korban, pelaku dan lingkungan masyarakat. Mediasi dalam

perkara pidana dapat dilakukan dalam bentuk langsung atau tidak

63
langsung, yaitu dengan mempertemukan para pihak (korban dan

pelaku) secara bersama-sama atau mediasi yang dilakukan oleh

mediator secara terpisah (kedua belah pihak tidak dipertemukan secara

langsung). Ini dapat dilakukan oleh mediator profesional atau relawan

terlatih. Mediasi dapat dilakukan di bawah pengawasan lembaga

peradilan pidana atau organisasi berbasis masyarakat yang independen

dan selanjutnya hasil mediasi penal dilaporkan kepada otoritas

peradilan pidana.

Hubungan antara mediasi penal (penal mediation) dengan

keadilan restoratif (restorative justice) adalah bahwa ajaran keadilan

restoratif (restorative justice) merupakan ajaran yang mendasari

mediasi penal. Artinya keadilan restoratif (restorative justice) sebagai

paradigma yang mewadahi mekanisme mediasi penal (penal

mediation). Pendekatan keadilan restoratif (restorative justice)

merupakan suatu paradigma yang dapat dipakai sebagai bingkai dari

strategi penanganan perkara pidana yang bertujuan menjawab

ketidakpuasan atas bekerjanya sistem peradilan pidana yang ada saat

ini. Dengan demikian ide keadilan restoratif (restorative justice) dapat

diterapkan dengan melaksanakan mekanisme mediasi penal (penal

mediation).

2.1.2. Landasan Filosofis Diperlukannya Mediasi Penal (Penal mediation)

dalam Penyelesaian Perkara Pidana.

64
Pelaksanaannya hukum dapat berjalan secara efektif maupun tidak

tergantung pada bagaimana masyarakat tersebut dapat menerima hukum

dan mengimplementasikannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa

dan bernegara. Sejauh ini pemerintah membentuk berbagai macam aturan

untuk menjamin adanya kepastian hukum, hal ini dilakukan mengingat

bahwa pemerintah memiliki kewajiban untuk memberikan perlindungan

dan pengayoman kepada warga negaranya. Masalahnya adalah bahwa

pencapaian tujuan hukum dalam sistem peradilan pidana selama ini hanya

kepastian hukum saja tanpa memperhatikan keadilan dan kemanfaatan

hukum. Bahkan salah satu yang menjadi tujuan hukum yang sesuai dengan

nilai-nilai yang ada di Indonesia seperti tujuan hukum pengayoman tidak

pernah tercapai secara maksimal.

Apabila dikaitkan dengan tujuan hukum pada umum nya atau

tujuan hukum secara universal, menurut Gustav Radbruch dapat

menggunakan asas prioritas sebagai tiga nilai dasar hukum atau sebagai

tujuan hukum, masing masing adalah keadilan, kemanfaatan dan kepastian

hukum sebagai landasan dalam mencapai tujuan hukum yang diharapkan. 64

Asas prioritas yang dikemukakan Gustav adbruch pertama-tama harus

memprioritaskan keadilan yang merujuk pada kemanfaatan dan terakhir

adalah kepastian hukum. Idealnya diusahakan agar setiap putusan hukum,

baik yang dilakukan oleh hakim, jaksa, pengacara maupun aparat hukum

lainnya, lebih baik ketiga nilai dasar hukum dapat diwujudkan secara
64
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial
Prudence) : Termasuk Interprentasi Undang-Undang (Legisprudence) Vol I Pemahaman Awal,
(Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2009), Hlm. 213.

65
bersama-sama, tetapi manakala tidak mungkin, maka haruslah

diprioritaskan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Dengan

penerapan asas prioritas ini, sistem hukum Indonesia dapat tetap tegak

terhindar dari konflik intern yang menghancurkannya. Untuk mencapai

tujuan hukum yang menciptakan kedamaian, ketentraman dan ketertiban

dalam masyarakat, terutama masyarakat yang kompleks dan majemuk

seperti di Indonesia, maka apa yang dikemukakan baik Rusli Effendy

maupun Achmad Ali yang menganggap sangat realistis jika menganut asas

prioritas yang kasuistis yang ketika tujuan hukum diprioritaskan sesuai

kasus yang dihadapi masyarakat, sehingga pada kasus tertentu dapat

diprioritaskan salah satu dari ketiga asas tersebut sepanjang tidak

mengganggu ketenteraman dan kedamaian merupakan tujuan akhir hukum

itu sendiri. Dengan demikian, apabila dikaitkan dengan mediasi penal

maka ketiga nilai dalam tujuan hukum tersebut (keadilan, kemanfaatan dan

kepastian hukum) dapat digunakan sebagai landasan filosofis dalam

penerapan mediasi penal, sehingga dengan penyelesaian perkara pidana

melalui mekanisme mediasi penal dapat mewujudkan ketiga nilai dalam

tujuan hukum tersebut terutama tercapainya keadilan para pihak yang

berperkara.

Disamping itu, nilai-nilai yang terdapat dalam Pancasila dapat

dijadikan dasar yang melandasi diperlukannya meka nisme mediasi penal

dalam penyelesaian perkara pidana untuk diterapkan di Indonesia. Dalam

66
konsep negara hukum yang disandingkan dengan ide dasar kesimbangan 65

dan model pengayoman bahwa pembangunan sistem hukum pidana

nasional adalah merupakan bagian pembangunan sistem hukum nasional

dan pembangunan nasional itu sendiri. Pembangunan sistem hukum

pidana nasional me merlukan ide dasar yang bertitik-tolak dari ide

keseimba ngan dan konsep pengayoman. Indonesia sebagai negara

Pancasila, maka setiap pembangunan sistem hukum selalu mengarah pada

ide dasar Pancasila sebagai landasan sistem hukum nasional dan

keseimbangan tujuan pembangunan nasional. Ide dasar Pancasila

hendaknya dipahami sebagai nilai-nilai yang tercermin dari sila-sila dari

pancasila seperti mengenai ide-ide paradigma ketuhanan (moral religius),

paradigma kemanusiaan (humanistik), para digma kebangsaan

(persatuan/nasionalistik), paradigma kerakyatan/demokrasi, dan paradigma

keadilan sosial. Ide ide paradigma tersebut dapat dikelompokkan dalam 3

(tiga) nilai keseimbangan berupa nilai ketuhanan (moral-religius), nilai

kemanusiaan (humanistik), dan nilai kemasyarakatan (nasionalistik,

demokratik, dan keadilan sosial).

Model pengayoman dan model keseimbangan merupakan model

realistik yang diilhami oleh gagasan kepribadian bangsa Indonesia yang

bersumber pada alam dan budaya Indonesia serta dijiwai oleh nilai-nilai

luhur Pancasila. Model keseimbangan ini menurut Barda Nawawi Arief 66

65
Barda Nawawi Arief, Pokok-pokok Pikiran (Ide Dasar) Asas asas Hukum Pidana
Nasional, Bahan Kuliah, Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang,
2006.
66
Ibid, hlm. 5.

67
merupakan ide keseimbangan monodualistik yang memperhatikan

berbagai kepentingan yang harus dilindu ngi oleh hukum pidana, yaitu

keseimbangan antara kepentingan umum atau masyarakat dan kepentingan

individu; antara perlindungan atau kepentingan pelaku (ide individualisasi

pidana) dan korban; antara faktor "objektif (perbuatan/lahiriah) dan

"subjektif" (orang/batiniah/ "daad sikap batin); ide keseimbangan

kepentingan dader strafrecht"; antara kriteria "formal" dan materiel antara

"kepastian hukum", "kelenturan/elastisitas fleksibilitas", dan "keadilan";

antara nilai-nilai nasional dan nilai-nilai global/internasional/universal.

Terkait model keseimbangan kepentingan tersebut harus memperhatikan

berbagai kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum pidana yaitu

kepentingan negara, kepentingan umum, kepentingan pelaku dan

kepentingan korban kejahatan. Sedangkan model pengayoman dapat

dikatakan sebagai tujuan hukum pidana untuk mengayomi kepentingan

kepentingan yang dilindungi oleh hukum pidana tersebut Pengayoman di

sini meliputi usaha mewujudkan ketertiban, keteraturan, kedamaian sejati,

keadilan, kesejahteraan dan keadilan sosial warga masyarakat selama tidak

melanggar hak dan merugikan orang lain. Penegakan hukum yang baik

adalah apabila sistem peradilan pidana bekerja secara obyektif dan tidak

bersifat memihak serta memperhatikan dan mempertimbangkan secara

seksama terhadap nilai-nilai yang hidup dan berkembang di masyarakat

serta kepentingan-kepentingan hukum yang ada baik kepentingan negara,

kepentingan masyarakat, kepentingan pelaku maupun kepentingan korban

68
maupun kepentingan-kepentingan lainnya. Konsep pengayoman ini

sebagaimana diperkenalkan oleh Sahardjo yang cocok dengan kondisi

masyarakat Indonesia yang kompleks dan majemuk. Menurut Sahardjo,

tujuan hukum dalam konsep pengayoman adalah mengayomi kepentingan

manusia secara aktif (mendapatkan kondisi kemasyarakatan yang

manusiawi dalam proses yang berlangsung secara wajar) dan mengayomi

kepentingan manusia secara pasif (mengupayakan pencegahan tindakan

sewenang-wenang dan penyalahgunaan hak). Selanjutnya model

pengayoman ini dituangkan dalam konsep tujuan pemidanaan Indonesia

sebagaimana diatur dalam Pasal 54 ayat (1) konsep KUHP tahun 2008,

yaitu pemidanaan bertujuan:

a. mencegah dilakukannya tindak pidana dengan mene gakkan norma


hukum demi pengayoman masyarakat;
b. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan
sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;
c. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,
memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam
masyarakat;
d. membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

Implementasi dari ide keseimbangan dan konsep pengayoman di

atas yang berkaitan dengan mediasi penal (penal mediation) sebagai dasar

filosofis adalah implementasi pada ide keseimbangan yang berorientasi

pidana pada perlindungan dan pengayoman masyarakat, korban dan pelaku

(kemanusiaan) di samping ide keadilan restoratif (restorative justice)

sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Sedangkan nilai-nilai filosofis

yang melandasi diperlukannya mediasi penal yang tercermin dalam sila-

69
sila pancasila adalah hampir tercermin dalam semua sila, namun yang

terpenting dan terutama terletak dalam paradigma kerakyatan/demokrasi

dan paradigma keadilan sosial yang termasuk dalam nilai kemasyarakatan

(nasionalistik, demokratik, keadilan sosial) serta paradigma atau nilai

kemanusiaan (humanistik).

Apabila dikaitkan dengan sistem peradilan pidana terpadu di

Indonesia, konsep pengayoman juga digunakan dalam pelaksanaan tugas

dan fungsi kepolisian sebagai garda terdepan penegakan hukum pidana

dalam sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system).

Fungsi kepolisian sebagaimana diatur dalamPasal 2 Undang-Undang

Nomor 2 tahun 2002 tentang Polri adalah salah satu fungsi pemerintahan

negara di pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, pene gakan

hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Sedangkan tugas pokok Polri diatur dalam Pasal 13 UU No. 2 tahun 2002.

Community policing dapat dijadikan dasar pada usaha bersama antara

polisi dan masyarakat dalam menyelesaikan masalah yang ada dalam

masyarakat. Sehingga community policing merupakan suatu konsep

pemolisian yang dilakukan tidak untuk melawan kejahatan, tetapi untuk

mencari dan melenyapkan sumber kejahatan. Sukses dari community

policing bukan hanya dalam menekan angka kejahatan, tetapi ukurannya

adalah manakala kejahatan tidak terjadi.67

67
Satjipto Raharjo, Community Policing di Indonesia, Makalah Seminar Polisi antara
Harapan dan Kenyataan, Hotel Borobudur, Jakarta, 2001.

70
Dalam melaksanakan tugas penegakan hukum, khususnya dalam

penyelesaian perkara pidana, tentunya polisi akan mempergunakan sarana

penal atau litigasi dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system)

yang selama ini telah dilakukan. Dalam rangka penegakan hukum pidana,

polri sebagai garda terdepan akan menegakkan hukum sesuai dengan

peraturan perundang undangan yang telah diatur sebelumnya sebagaimana

dalam hukum acara pidana (KUHAP) yang ada. Di sini tentunya polri

dalam proses penegakan hukum pidana tidak boleh menyimpang dari

ketentuan yang ada terhadap setiap perkara pidana yang ditanganinya.

Meskipun dalam kenyataannya terdapat penyelesaian perkara pidana oleh

polri melalui proses mediasi dalam perkara pidana maupun proses

perdamaian lainnya yang dilakukan tanpa dilanjutkan melalui proses

pengadilan sebagaimana dalam sistem peradilan pidana yang ada. Namun

penyelesaian perkara pidana melalui mediasi penal (penal mediation)

belum ada landasan hukumnya dalam system peradilan pidana Indonesia.

Tugas penegakan hukum dan pengayoman dapat dijalankan secara

bersamaan oleh kepolisian dengan pemberian payung hukum dalam

rangka penyelesaian perkara pidana khususnya dalam tahap penyidikan

melalui mekanisme mediasi penal (penal mediation). Tentunya dalam

penyelesaian perkara pidana melalui mekanisme mediasi penal akan

melibatkan berbagai pihak baik pelaku tindak pidana (offender), korban

(victim) maupun masyarakat atau kelompok masyarakat (society

71
Selanjutnya pemerintah melalui pihak kepolisian maupun or community).

pihak independen lainnya berfungsi sebagai mediator.

Mediasi penal (penal mediation) merupakan mediasi dalam perkara

pidana atau penyelesaian perkara pidana melalui musyawarah dengan

bantuan mediator yang netral, dihadiri oleh korban dan pelaku baik secara

sendiri-sendiri maupun beserta keluarga dan perwakilan masyarakat

(tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat, dll), yang dilakukan secara

sukarela, dengan tujuan pemulihan bagi korban, pelaku dan lingkungan

masyarakat. Apabila dikaitkan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam

Pancasila, maka dapat disimpulkan bahwa nilai musyawarah dalam

mediasi penal (penal mediation) dijiwai dan didasari oleh nilai

kerakyatan/demokrasi dalam Sila ke-4 Pancasila yang berbunyi

"kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

permusyawaratan /perwakilan". Tujuan pemulihan bagi korban, pelaku

dan masyarakat melalui konsep Restorative justice merupakan nilai-nilai

yang berorientasi pada perlindungan masyarakat, korban dan pelaku (nilai-

nilai kemanusiaan/humanistik) yang didasari oleh Sila ke-2 Pancasila

berbunyi "kemanusiaan yang adil dan beradab". Sedangkan tujuan hukum

yang ingin dicapai melalui mediasi penal (penal mediation) adalah

keadilan (justice) yang salah satunya keadialan social yang dijiwai/didasari

oleh sila ke – 5 Pancasila yang berbunyi “keadilan social bagi seluruh

rkayat indonesiaí”.

72
68
Mengenai keadilan, Rifyal Ka’bah menyebut ada 3 (tiga) bentuk

keadilan yang harus diwujudkan: Justice, Moral Justice dan Social Justice.

Legal Justice (Keadilan Hukum) adalah keadilan berdasarkan undang

undang yang dapat dilihat dari peraturan perundang. undangan yang

berlaku dan dari putusan hakim pengadilan yang mencerminkan keadilan

hukum Negara dalam bentuk formal, Moral Justice (Keadilan Moral) tidak

lain dari keadilan berdasarkan moralitas. Moralitas adalah standar baik dan

buruk. Moralitas berasal dari berbagai sumber, yang terpenting adalah

agama. Social Justice (Keadilan Sosial) sebagai salah satu dasar Negara

(sila kelima Pancasila) digambarkan dalam 3 (tiga) bentuk keadilan sosial

yang meliputi keadilan ekonomi, kesejahteraan rakyat dan keadilan yang

diinsafi (disadari) oleh mayoritas rakyat yang dapat berkembang. Idealnya,

sebuah putusan harus mencerminkan tiga bentuk keadilan tersebut.

Keadilan hukum negara yang merepresentasikan keadilan moral dan

keadilan sosial yang ada dalam masyarakat Indonesia. Tetapi

permasalahannya tidak berhenti sampai disitu, menyelaraskan tiga bentuk

keadilan (justice) itu dalam sebuah putusan memang bukan hal yang tidak

mungkin, tapi dalam prakteknya sangat sulit sekali diwujudkan.

Di sisi lain, penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan melalui

mediasi penal (penal mediation) merupakan perkembangan baru dalam

ranah hukum pidana yang membawa implikasi mulai diterapkannya

68
Muntasir Syukri (Hakim Madya Pratama Pengadilan Agama Klungkung), Hakim: Antara
Legal Justice, Moral Justice dan Social Justice, Artikel bebas, Semarapura, 23 Mei 2010, lihat
http://www. badilag.net/data/ARTIKEL/Hakim anatara legal justice.pdf, diakses pada tanggal 23
Februari 2022.

73
dimensi bersifat privat ke dalam ranah hukum publik. Pada dimensi

mediasi penal (Penal mediation) ini yang dicapai bukan keadilan formal

(formal justice) atau keadilan prosedural/ birokratis melalui sub sistem

peradilan pidana yang diatur dalam peraturan bersifat legal formal. Namun

yang ingin dicapai dalam konsep mediasi penal (Penal mediation) ini

adalah keadilan substansial (substantial justice). Mengingat yang terjadi

dalam sistem peradilan pidana yang ada selama ini adalah keadilan

birokratis/prosedural masih mendominasi dibanding pemenuhan keadilan

substantif bagi warga masyarakat.

Hukum pidana merupakan salah satu bidang dari sistem hukum

nasional yang di dalam kerangka kerjanya merupakan bagian dari sistem

peradilan pidana. Hukum pidana dan sistem peradilan pidana, merupakan

salah satu instrumen pengaturan dan perlindungan berbagai kepentingan

secara seimbang di antara kepentingan negara, kepentingan masyarakat

dan kolektivitas di dalamnya maupun kepentingan individu atau

perorangan termasuk kepentingan pelaku tindak pidana dan korban

kejahatan.69 Hukum pidana cenderung merupakan penyempurna bagi

peraturan hukum lainnya, dimana hukum pidana sebagai sebuah pisau

yang membatasi kewenangan dan juga hak dari seseorang, seringkali kita

mendengar bahwa hukum pidana merupakan alternatif terakhir (Ultimum

Remidium) yang digunakan dalam menyelesaikan suatu konflik yang

timbul dari adanya pergeseran hak antar masyarakat. Di satu sisi hukum

69
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, 1995), hlm. Ix.

74
pidana akan melindungi hak seseorang tapi disisi lain juga membatasi

bahkan merampas hak seseorang lainnya dengan menggunakan keadilan

formal seperti yang telah diuraikan di atas.

Landasan pemikiran dalam aspek filosofis selain yang telah

disebutkan diatas bahwa diperlukannya penyelesaian perkara pidana

melalui mediasi penal (penal mediation) akan lebih menyembuhkan

(healing), lebih resolutif dan tanpa ada pihak yang kehilangan muka

(elegant solution). Selain itu, melalui mediasi penal ini akan mempunyai

implikasi positif dimana secara filosofis dicapainya peradilan dilakukan

secara cepat, sederhana, dan biaya ringan karena pihak yang terlibat

relative lebih sedikit dibandingkan melalui proses peradilan dengan

komponen Sistem Peradilan Pidana.

2.1.3. Landasan Yuridis Diperlukannya Mediasi Penal (Penal mediation)

dalam Penyelesaian Perkara Pidana.

Dalam hukum positif Indonesia, pada dasarnya (asasnya) perkara

pidana tidak dapat diselesaikan di luar pengadilan, walaupun dalam hal-hal

tertentu dimungkinkan adanya penyelesaian kasus di luar pengadilan.

Akan tetapi, praktik penegakan hukum di Indonesia sering juga perkara

pidana diselesaikan di luar pengadilan melalui diskresi aparat penegak

hukum khususnya oleh kepolisian melalui mekanisme perdamaian,

lembaga adat dan lain sebagainya. Dalam penggunaan diskresi oleh

kepolisian inilah terdapat masalah yang sangat signifikan.

75
Memang secara yuridis dalam sistem penegakan hukum pidana di

Indonesia, sebenarnya para penegak hukum telah diberikan wewenang

tertentu oleh undang undang untuk mengesampingkan perkara pidana atau

menyelesaikan perkara pidana tanpa meneruskannya ke pengadilan.

Seperti halnya kepolisian, sebagaimana diatur dalam Pasal 18 Undang-

Undang No. 2 tahun 2002 tentang Polri, telah memberikan hak kepada

polisi (penyidik) untuk melakukan diskresi (discretion), yakni hak untuk

tidak memproses hukum terhadap tindak pidana sepanjang demi

kepentingan umum maupun moral, karena diskresi pada hakikatnya berada

diantara hukum dan moral. Dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No 2

tahun 2002 tentang Polri menyebutkan bahwa "untuk kepentingan umum

pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas

dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri".

Selanjutnya dalam ayat (2) disebutkan bahwa "pelaksanaan ketentuan

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam

keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang

undangan, serta Kode Etik Profesi Polri". Dalam penjelasan Pasal 18

undang-undang ini memberikan pengertian mengenai "bertindak menurut

penilaian sendiri" sebagai suatu tindakan yang dapat dilakukan oleh

anggota Polri yang dalam bertindak harus mempertimbangkan manfaat

dan resiko serta biaya dan keuntungan (cost and benefit) dari tindakannya

yang benar-benar untuk kepentingan umum.

76
Apabila dikaitkan dengan Pasal 18 Undang-Undang No. 2 tahun

2002 di atas, dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a angka 4 dan Pasal 7 ayat (1)

huruf j Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

(KUHAP) menyatakan bahwa polisi selaku penyelidik maupun penyidik

mempunyai wewenang. untuk mengadakan tindakan lain menurut hukum

yang bertanggung jawab. Yang. dimaksud "tindakan lain" dalam

penjelasan kedua pasal ini merupakan tindakan dari kepolisian

(penyelidik/penyidik) untuk kepentingan penyelidikan/penyidikan dengan

syarat (a) tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum, (b) selaras

dengan kewajiban hukum yang mengharuskan di lakukannya tindakan

jabatan, (c) tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam

lingkungan jabatan nya, (d) atas pertimbangan yang layak berdasarkan

keada an yang memaksa, dan (e) menghormati hak asasi manusia.

Di samping itu, dalam rangka menjalankan tugas Kepolisian

Negara Republik Indonesia berwenang untuk mengadakan penghentian

penyidikan70. Penyidik karena kewajibannya mempunyai wewenang

mengadakan penghentian penyidikan71. Dalam Pasal 109 ayat (2) Undang

Undang No. 8 tahun 1981 (KUHAP) menyatakan bahwa polisi dalam hal

ini penyidik dapat menghentikan penyidikan atas perkara tindak pidana

karena (1) tidak terdapat cukup bukti, (2) peristiwa tersebut ternyata bukan

merupakan tindak pidana, atau (3) penyidikan dihentikan derni hukum.

70
Pasal 16 ayat (1) huruf h UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia)
71
Pasal 7 ayat (1) huruf i UU No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

77
Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena ketiga alasan

dimaksud, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum,

angka atau keluarganya. Tentunya di sini juga perlu dipikirkan mengenai

konsep tentang bagaimana dengan penghentian penyidikan atas dasar

diskresi. Oleh karena itu, yang menjadi kesimpulan dari penulis adalah

belum adanya kejelasan terkait batasan diskresi dalam kewenangan

kepolisian (Pasal 18 UU No. 2 tahun 2002), sehingga apabila polisi atau

penyidik polri dengan menggunakan kewenanganan diskresinya dalam

menyelesaikan perkara pidana melalui mekanisme mediasi penal, maka

yang terjadi adalah polisi atau penyidik ter sebut telah melanggar hukum

atau setidak-tidaknya telah melanggar hukum internalnya (baik peraturan

disiplin maupun kode etik profesi Polri). Hal ini dikarenakan kewenangan

diskresi yang belum jelas batasannya tadi, ditambah penggunaan

mekanisme mediasi penal yang belum ada payung hukumnya. Mengingat,

polri dalam setiap langkahnya selalu berdasarkan peraturan perundang

undangan yang ada dan berlaku saat ini, maka polri dalam melaksanakan

tugas penegakan hukum selalu berdasarkan asas legalistas sebagai

konsekuensi dari negara hukum yang dianut negara Indonesia.

Apabila mediasi penal (penal mediation) dikaitkan dengan ide

keadilan restoratif (restorative justice) dan diskresi (discretion), maka

dapat dikatakan bahwa ajaran atau nilai-nilai yang mendasari mediasi

penal (penal mediation) adalah restorative justice, sedangkan roh mediasi

penal (penal mediation) untuk mewujudkan ke adilan restoratif

78
(restorative justice) ada pada tiap-tiap institusi penegak hukum. Dengan

demikian diskresi yang dimiliki institusi kepolisian merupakan roh atau

sesuatu yang bisa menghidupkan atau setidak-tidaknya menjadi sumber

inspirasi di mana mediasi penal dapat diterapkan pada tahap penyidikan

oleh kepolisian sehingga akan menciptakan kedamaian bagi para pihak

yang berperkara serta terwujudnya rasa keadilan yang dapat memulihkan

para pihak dan masyarakat secara umum.

Landasan yuridis mediasi penal lainnya eksistensinya dapat

dikatakan antara "ada" dan "tiada". Di satu sisi mediasi penal dalam

ketentuan undang-undang tidak dikenal dalam sistem peradilan pidana

(criminal justice system) akan tetapi dalam tataran di bawah undang-

undang dikenal secara terbatas selain melalui diskresi penegak hukum dan

sifatnya parsial, ternyata praktik mediasi penal telah dilakukan oleh

masyarakat Indonesia dan penyelesaian tersebut dilakukan di luar

pengadilan seperti melalui mekanisme lembaga adat. Adapun landasan

yuridis mediasi penal dalam ketentuan atau tataran di bawah undang-

undang yang dikenal secara terbatas antara lain sebagai berikut 72:

72
Dr. Lilik Mulyadi, S.H.,M.H. (Ketua Pengadilan Negeri Kepanjen, Kabupaten Malang,
Jawa Timur), Penyelesaian Perkara Di Luar Pengadilan Melalui Dimensi Mediasi Penal (Penal
Mediation) dalam Sistem Peradilan Pidana (Pengkajian Asas, Norma, Teori dan Praktik), Makalah
disampaikan pada Diskusi Terbatas tentang Penyelesaian Perkara Di Luar Pengadilan Melalui
Dimensi Mediasi Penal (Penal Mediation) dalam Sistem Peradilan Pidana: Pengkajian Asas,
Norma, Teori dan Praktik, dalam rangka Penelitian untuk wilayah Pengadilan Tinggi
Palangkaraya, Mataram, Jambi dan Semarang, diselenggarakan oleh Badan Penelitian dan
Pengembangan dan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI (Badan
Litbang Diklat Kumdil MARI) pada bulan April-Mei Tahun 2011, Mataram, 11 Mei 2011, lihat
http:// litbangdiklatkumdil.net/materi-nara-sumber/file/221-penyelesaian perkara-di-luar-
pengadilan-melalui-dimensi-mediasi-penal-penal mediation-dalam-sistem-peradilan-pidana-
indonesia-pengkajian-asas norma-teori-dan-praktik-.html?start=20, diakses tanggal tanggal 26
November 2011

79
a. Surat Kapolri Nomor: B/ 3022/ XII/ 2009/ SDEOPS tanggal 14
Desember 2009 tentang Penanganan Kasus Melalui Alternatif Dispute
Resolution (ADR) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia Nomor 7 tahun 2008 tentang Pedoman Dasar Strategi dan
Implementasi Pemolisian Masyarakat dalam Penyelenggaraan Tugas
Polri. Menurut Surat Kapolri No. Pol.: B/ 3022/ XII/ 2009/ SDEOPS
ditentukan beberapa langkah-langkah penanganan kasus melalui ADR
yaitu:
 Mengupayakan penanganan kasus pidana yang mempunyai
kerugian materi kecil, penyelesaiannya dapat diarahkan melalui
konsep ADR.
 Penyelesaian kasus pidana dengan menggunakan ADR harus
disepakati oleh pihak-pihak yang berperkara namun apabila tidak
terdapat kesepakatan baru diselesaikan sesuai dengan prosedur
hukum yang berlaku secara profesional dan proporsional.
 Penyelesaian kasus pidana yang menggunakan ADR harus
berprinsip pada musyawarah mufakat dan harus diketahui oleh
masyarakat sekitar dengan. menyertakan RT/RW setempat.
 Penyelesaian kasus pidana dengan menggunakan ADR harus
menghormati norma sosial/adat serta memenuhi asas keadilan.
 Memberdayakan anggota Polmas dan memerankan FKPM (Forum
Komunikasi Polisi dan Masyarakat) yang ada di wilayah masing-
masing untuk mampu mengindentifikasi kasus-kasus pidana yang
mem punyai kerugian materiil kecil dan memungkinkan untuk
diselesaikan melalui konsep ADR.
 Untuk kasus yang telah dapat diselesaikan melalui konsep ADR
agar tidak lagi disentuh oleh tindakan hukum lain yang kontra
produktif dengan tujuan Polmas.

Pada dasarnya, peraturan tersebut mengatur tentang penanganan kasus


pidana melalui ADR dengan sifat kerugian materi kecil, disepakati
para pihak, dilakukan melalui prinsip musyawarah mufakat, dilakukan
harus menghormati norma sosial/adat serta memenuhi asas keadilan
dan apabila dicapai melalui ADR pelakunya tidak lagi disentuh oleh
tindakan hukum lain.

b. Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 tahun 2002 tentang Pemberian


Jaminan Kepastian Hukum kepada Debitur yang Telah Menyelesaikan
Kewajibannya atau Tindakan Hukum kepada Debitur yang Tidak
Menyelesaikan Ke wajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban
Pemegang Saham.

80
Inpres ini ditujukan kepada beberapa Menteri/Kepala Lembaga
Pemerintahan, antara lain Menteri Kehakiman dan HAM, Jaksa Agung
RI, Kepala Kepolisian RI dan Ketua Badan Penyehatan Perbankan
Nasional. Pada diktum pertama angka 4 Inpres Nomor 8 tahun 2002
disebutkan bahwa, "dalam hal pemberian kepastian hukum
sebagaimana dimaksud dalam angka 1 menyangkut pembebasan
debitur dari aspek pidana yang terkait langsung dengan program
Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham, yang masih dalam tahap
penyelidikan, penyidikan dan/atau penuntutan oleh instansi penegak
hukum, maka sekaligus juga dilakukan dengan proses penghentian
penanganan aspek pidananya, yang pelaksanaannya tetap dilakukan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku”.

c. Praktik mediasi penal walaupun normatif tidak diatur oleh undang-


undang (hukum positif) akan tetapi praktiknya terjadi pada masyarakat
Indonesia seperti telah dilakukan melalui Sidang Adat terhadap Prof.
Dr. Tamrin Amal Tamagola yang dilakukan oleh Majelis Adat Dayak
Nasional (MADN) yang diberi nama Persidangan Dayak Maniring
Tuntang Manetes Hinting Bunu antara masyarakat Dayak dengan
Tamrin di Betang Ngaderang, Palangkaraya, Kalimantan Tengah pada
hari Sabtu, tanggal 22 Januari 2011.

d. Dikaji dari perspektif yurisprudensi Mahkamah Agung RI, mediasi


penal melalui eksistensi peradilan adat tetap mengakuinya. Misalnya,
sebagai salah satu contohnya pada Putusan Mahkamah Agung RI
Nomor 1644 K/Pid/1988 tanggal 15 Mei 1991 dimana dalam ratio
decidendi putusan disebutkan bahwa apabila seseorang melanggar
hukum adat kemudian Kepala dan Para Pemuka Adat memberikan
reaksi adat (sanksi adat) maka yang bersangkutan tidak dapat diajukan
lagi (untuk kedua kalinya) sebagai terdakwa dalam persidangan Badan
Peradilan Negara (Pengadilan Negeri) dengan dakwaan yang sama
melanggar hukumi ada dan dijatuhkan pidana penjara menurut
ketentuan KUH Pidana (Pasal 5 ayat (3) sub b UU drt Nomor 1 Tahun
1951) sehingga dalam keadaan demikian pelimpahan berkas perkara
serta tuntutan Kejaksaan di Pengadilan. Negeri harus dinyatakan tidak
dapat diterima (niet ontvankelijk Verklaard).

Konklusi dasar dari yurisprudensi tersebut mengakui eksistensi


peradilan adat dimana adanya mediasi penal antara pelaku dengan
korban, kemudian penjatuhan "sanksi adat" tersebut dilakukan sebagai
suatu pemulihan keseimbangan antara pelaku dengan masyarakat

81
adatnya sehingga adanya keseimbangan antara alam kosmis dan non
kosmis menjadi seperti sedia kala.

e. Praktik peradilan tingkat pertama terhadap mediasi penal dalam bentuk


lain sebagaimana terlihat dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta
Utara-Timur Nomor: 46/Pid/78/UT/WAN tanggal 17 Juni 1978
dimana dalam perkara Ny. Ellya Dado, lazim disingkat sebagai "Kasus
Ny. Elda", adanya penyelesaian secara "perdamaian" maka perbuatan
di antara para pihak tidak merupakan suatu kejahatan atau pelanggaran
yang dapat dihukum lagi, dan oleh karenanya melepaskan tertuduh dari
segala tuntutan hukum. Dalam dimensi lain, ternyata pada saat kini
ratio decidendi putusan tersebut juga dipergunakan oleh Mahkamah
Agung RI dalam mengadili perkara pada tingkat Peninjauan Kembali
Nomor: 107 PK/Pid/2006 tanggal 21 November 2007.

f. Pada masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam sebagaimana Undang-


Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh diterapkan
dan dikenal untuk penyelesaian perkara dilakukan terlebih dahulu
melalui "Peradilan Gampong" atau "Peradilan Damai". Namun
pengaturannya secara tegas dalam Qanun. Aceh Nomor 9 Tahun 2008
tanggal 30 Desember 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan
Adat Istiadat khususnya Pasal 13 menentukan, "penyelesaian
sengketa/perselisihan adat dan adat istiadat diselesaikan secara
bertahap", kemudian disebutkan pula, bahwa "aparat penegak hukum
memberikan kesempatan agar sengketa/perselisihan diselesaikan
terlebih dahulu secara adat atau nama lain".

g. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 666 K/Pid/1984. tanggal 23


Februari 1985 merupakan perkara yang berasal dari Putusan
Pengadilan Negeri Luwuk Nomor 27/Pid/1983 jo Putusan Pengadilan
Tinggi Palu Nomor 6/Pid/1984 tanggal 9 April 1984. Pada Putusan
Pengadilan Negeri Luwuk Nomor 27/Pid/1983 mengadil perkara
hubungan kelamin di luar perkawinan yang memutuskan bahwa
terdakwa telah melanggar hukum yang hidup di wilayah Kabupaten
Banggai, Sulawesi Tengah berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat 3 sub b
UU Dart Nomor 1 tahun 195173:

 Adapun ratio decidendi Putusan Pengadilan Negeri Luwuk Nomor


27/Pid/1983 menyatakan bahwa perbuatan hubungan kelamin di
luar perkawinan oleh seorang laki-laki (penduduk Banggai) dengan
seorang perempuan dewasa yang mengakibatkan hamilnya si

73
Ibid

82
perempuan dapat dianggap melanggar hukum yang hidup dan
melanggar kaidah-kaidah kepatutan serta suatu perbuatan yang
melanggar moral karena perbuatan tersebut tidak dikualifikasikan
sebagai delik oleh KUH Pidana (tidak ada bandingannya). Oleh
karena itu, hakim memutuskan bahwa terdakwa telah "melakukan
kejahatan melakukan suatu perbuatan yang menurut hukum yang
hidup harus dianggap perbuatan pidana, tetapi tiada bandingannya
dalam Kitab Hukum Pidana Sipil". Kemudian Putusan Pengadilan
Negeri Luwuk Nomor 27/Pid/1983 dikuat kan oleh Putusan
Pengadilan Tinggi Palu Nomor 6/ Pid/1984 tanggal 9 April 1984
dengan dilakukan perbaikan dan penambahan berupa pertimbangan
dimana "untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat" yang
mengganggap perbuatan tersebut adalah tindak pidana, maka
hakim memutuskan terdakwa telah melakukan kejahatan
"bersetubuh dengan seorang wanita diluar nikah”. Akan tetapi
oleh Mahkamah Agung melalui Putusan Mahkamah Agung RI
Nomor 666 K/Pid/1984 tanggal 23 Februari 1985 maka putusan
Pengadilan Tinggi tersebut diperbaiki sekedra kualifikasi dimana
perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa merupakan suatu
perbuatan yang dikategorisasikan sebagai perbuatan zinah menurut
adat.74

Terhadap Putusan konteks diatas maka H.R. Otje Salman

Soemadiningrat75 menyebutkan sampai sekarang pun masih banyak hakim

yang mendasarkan putusannya pada hukum pidana adat atau menganggap

hukum pidana adat masih berlaku. Pertama bahwa hukum adat tidak

mengenal pemisahan secara tegas antara hukum pidana (publik) dengan

hukum perdata (privat). Dan diantara keduanya saling berkaitan satu sama

lain.

Dari beberapa hal sebagaimana diungkapkan di atas telah jelas

bahwa sebenarnya eksistensi mediasi penal (penal mediation) itu sudah

ada ditataran praktiknya (em piris) maupun regulasi di bawah undang-

74
Ibid
75
Otje Salman Soemandiningrat, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, (Bandung :
PT. Alumni, 2002), Hlm. 157-159.

83
undang (normatif) serta nilai-nilai mediasi penal ini sudah ada di

masyarakat Indonesia salah satunya terdapat di masyarakat hukum adat

Indonesia. Sedangkan eksistensi mediasi penal (penal mediation) itu

belum ada ditataran undang-undang maupun tataran peraturan perundang-

undangan diatasnya (normatif). Bahkan ditataran kebijakan politik

(kebijakan hukum pidana) Indonesia konsep mediasi penal ini masih

belum nampak keberadaannya. Sebagaimana dalam RUU KUHP sebagai

ius constituendum aspek penyelesaian perkara di luar pengadilan telah

diatur dalam ketentuan Pasal 145 RUU KUHP dimana gugurnya

kewenangan penuntutan karena telah dilakukan penyelesaian diluar proses,

namun disini mekanisme mediasi penal masih belum jelas pengaturannya

dan konsep penyelesaian perkara diluar proses masih berada dalam tahap

penuntutan, bukan dalam tahap penyidikan.

Pengaturan penyelesaian perkara di luar pengadilan melalui

mediasi penal sebagaimana konteks di atas diatur secara parsial, terbatas

dan gradasi pengaturannya diatur pada level di bawah undang-undang.

Akan tetapi, dalam batas pengaturan ditingkat undang-undang, untuk

perkara pidana pada asasnya tidak dapat diselesaikan di luar pengadilan,

walaupun dalam hal-hal tertentu, dimungkinkan ada penyelesaian perkara

pidana di luar pengadilan akan tetapi tidak termasuk ruang lingkup

mediasi penal, Ketentuan-ketentuan tersebut dapat disebutkan sebagai

berikut76:

76
Lilik Mulyadi, Op dit

84
a. Dalam hal tindak pidana dilakukan berupa "pelanggaran yang

hanya diancam dengan pidana denda". Ketentuan Pasal 82 KUHP

menentukan kewenangan/hak menuntut tindak pidana pelanggaran

itu hapus, apabila terdakwa telah membayar denda maksimum

untuk pelanggaran tersebut dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan

kalau penuntutan telah dilakukan. Pada asasnya, norma ketentuan

Pasal 82 KUHP ini dikenal dengan istilah "afkoop" atau

"pembayaran denda damai" yang merupakan salah satu alasan

penghapus penuntutan.

b. Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh anak dibawah usia 8

(delapan) tahun. Menurut ketentuan Pasal 5 Undang-Undnag

Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak maka ditentukan

batas usia anak nakal yang dapat diajukan ke pengadilan sekurang-

kurangnya 8 (delapan) tahun dan belum mencapai 18 (delapan

belas) tahun. Khusus, terhadap anak di bawah usia 8 (delapan)

tahun, penyidik dapat menyerahkan Kembali anak tersebut kepada

orang tua, wali, atau orang tua asuhnya apabila dipandang masih

dapat dibina atau diserahkan kepada Departemen Sosial apabila

dipandang tidak dapat lagi dibina oleh orang tua/wali/orang tua

asuh.

c. Dalam hal terjadi kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)

sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat 7, Pasal 76 ayat 1, Pasal 89

ayat 4 dan Pasal 96 Undang-Undnag Nomor 39 tahun 1999 tentang

85
Hak Asasi Manusia yang memberi kewenangan kepada Komnas

HAM untuk melakukan mediasi dalam kasus pelanggaran HAM.

Aspek ini sifatnya hanya bersifat parsial, oleh karena tidak ada

ketentuan secara tegas menyatakan bahwa semua kasus

pelanggaran HAM dapat dilakukan mediasi oleh Komnas HAM,

karena ketentuan pasal 89 ayat (4) menentukan bahwa Komnas

HAM dapat juga hanya memberi saran kepada para pihak untuk

menyelesaikan sengketa melalui pengadilan, atau hanya memberi

rekomendasi kepada pemerintah atau DPR untuk ditindaklanjuti

penyelesaiannya. Selain itu pula, ketentuan Undang Undnag

Nomor 39 tahun 1999 tidak mengatur secara tegas yang

menyatakan bahwa akibat adanya mediasi oleh Komnas HAM itu

dapat menghapuskan penuntutan atau pemidanaan, tetapi

berdasarkan Pasal 96 ayat (3) hanya ditentukan bahwa, "keputusan

mediasi mengikat secara hukum dan berlaku sebagai alat bukti

yang sah".

Di samping itu, terdapat landasan yuridis diper lukannya mediasi

penal dalam ketentuan-ketentuan International maupun regional antara lain

sebagai berikut:

a. Kongres PBB ke-9 tahun 1995 khususnya yang berkorelasi dengan

manajemen peradilan pidana (dokumen A/CONF 169/6)

disebutkan perlunya semua negara mempertimbangkan "privatizing

some law enforcement and justice functions" dan "alternative

86
dispute resolution / ADR” berupa mediasi, konsiliasi, restitusi dan

kompensasi dalam system peradilan pidana.

b. Konferensi Internasional Pembaharuan Hukum Pidana

(International Penal Reform Conference) tahun 1999 dikemukakan

bahwa salah satu unsur kunci dari agenda baru pembaharuan

hukum pidana (the key elements of a new agenda for penal reform)

adalah perlunya memperkaya sistem peradilan formal dengan

sistem atau mekanisme informal dengan standar-standar hak asasi

manusia (the need to enrich the formal judicial system with

informal, locally based, dispute resolution mechanisms which meet

human rights standards) yang mengindentifikasikan 9 (Sembilan)

strategi pengembangan dalam melakukan pembaharuan hukum

pidana melalui pengembangan restorative justice, alter native

dispute resolution, informal justice, alternatives to custody,

alternative ways of dealing with juveniles, dealing with violent

crime, reducing the prison population, the proper management of

prisons dan the role of civil in penal reform.

c. Konggres PBB ke-10 tahun 2000 (dokumen A/CONF.

187/4/Rev.3), antara lain dikemukakan bahwa untuk memberikan

perlindungan kepada korban kejahatan, hendaknya diintrodusir

mekanisme mediasi peradilan restoratif (restorative justice).

d. the Recommendation of the Council of Eure 1999 No. R (99) 19

tentang "Mediation in Penal Mattres".

87
e. the EU Framework Decision 2001 tentang "the Stannding of Victim

in Criminal Proceedings".

f. The UN Principles 2002 (Resolusi Ecosoc 2002/12) tentang "Basic

Principles on the Use Restorative justice Programmes in Criminal

Matters".

2.1.4. Landasan Sosiologi Diperlukannya Mediasi Penal (Penal mediation)

dalam Penyelesaian Perkara Pidana

Dikaji dari perpektif sosiologis maka landasan sosiologis nilai-nilai

mediasi penal (penal mediation) dapat diakomodasi dari nilai-nilai yang

hidup dalam masyarakat Indonesia. Pengkajian aspek ini berorientasi pada

masyarakat Indonesia dimana akar budaya masyarakatnya berorientasi

pada nilai budaya kekeluargaan, mengedepankan asas musyawarah

mufakat untuk menyelesaikan suatu sengketa khususnya sengketa perkara

pidana dalam suatu sistem sosial masyarakat yang ada. Artinya sengketa

perkara pidana yang terjadi antara individu-individu di masyarakat dapat

diselesaikan melalui dimensi kearifan lokal hukum adat masyarakat

setempat maupun lembaga musyawarah mufakat.

Pada dasarnya konsep mediasi penal (penal mediation) dalam

implementasinya sudah ada atau dilaksanakan oleh masyarakat indonesia

khususnya masyarakat adat dan juga telah dilaksanakan oleh aparat

penegak hukum khususnya kepolisian. Walaupun pada umumnya

penyelesaian sengketa di luar pengadilan hanya ada dalam sengketa

perdata, namun dalam praktek sering juga perkara pidana diselesaikan di

88
luar pengadilan melalui mekanisme mediasi penal dengan menggunakan

berbagai diskresi aparat penegak hukum atau melalui mekanisme

musyawarah/ perdamaian atau lembaga permaafan yang ada di dalam

masyarakat (musyawarah keluarga, musyawarah desa, musyawarah adat,

dsb). Praktek penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan melalui

mekanisme mediasi penal selama ini tidak ada landasan hukum formalnya,

sehingga sering terjadi suatu kasus yang secara informal telah ada

penyelesaian damai (walaupun melalui mekanisme hukum adat), namun

tetap saja diproses ke pengadilan sesuai hukum yang berlaku.

Dimensi kearifan lokal hukum adat yang berlandaskan alam

pikiran kosmis, magis dan religius in berkorelasi dengan aspek sosiologis

dari cara pandang dan budaya masyarakat Indonesia. Dalam praktek sosial

pada masyarakat Indonesia, lembaga mediasi penal sudah lama dikenal

dan telah menjadi tradisi antara lain pada Masyarakat Papua, Aceh, Bali,

Sumatera Barat dan hukum adat Lampung. Pada masyarakat Papua

misalnya dikenal "budaya bakar batu", sebagai simbol budaya lokal, yang

digunakan untuk menyelesaikan sengketa atau perkara, termasuk perkara

pidana, melalui upaya damai demi terpeliharanya harmoni sosial. Dengan

demikian proses pidana terhadap pelaku tindak pidana oleh aparatur

negara dipandang tidak diperlukan lagi, karena justru dinilai akan merusak

kembali harmoni sosial yang sudah tercapai. Selain itu, pada masyarakat

Nanggroe Aceh Darussalam sebagaimana Undang-Undang Nomor 11

Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh diterapkan dan dikenal untuk

89
penyelesaian perkara dilakukan terlebih dahulu melalui Peradilan

Gampong atau Peradilan Damai.77 Selain itu, dalam Qanun Aceh Nomor

9 Tahun 2008 tanggal 30 Desember 2008 tentang Pembinaan Kehidupan

Adat dan Adat Istiadat khususnya Pasal 13 menentukan, "penyelesaian

sengketa/ perselisihan adat dan adat istiadat diselesaikan secara

bertahap", kemudian disebutkan pula, bahwa "aparat penegak hukum

memberikan kesempatan agar sengketa/ perselisihan diselesaikan terlebih

dahulu secara adat atau nama lain". Begitu pula di Bali, melalui desa adat

pakraman diterapkan adanya awig-awig yang merupakan dimensi lain

identik dengan penyelesaian perkara di luar pengadilan melalui mediasi

penal. Misalnya, dalam Pasal (Pawos) 66 awig-awig desa pakraman tanah

Aron Kabupaten Karangasem disebutkan bahwa, "Sane wenang mawosin

mekadi mutusang wicara ring desa inggih punika prajuru desa sinaggeh

kerta desa; ha. Kelihan banjar, pradene sang mewicara sane patunggalan

banjar; na. Bendesa, sang mewicara sami-sami ring petunggalan desa

adat" (yang berwenang menyelesaikan perkara di desa adalah prajuru desa

sebagai hakim peradilan desa adalah kelihan banjar, kalau yang berperkara

berasal dari satu banjar dan bendesa kalau yang berperkara semuanya

77
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 maka di Aceh penjabarannya dibuat
ketentuan perundangan-undangan dalam bentuk Qanun yang berhubungan dengan hukum adat
seperti Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat,
Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat. Kemudian selain dibuat Qanun Aceh
(Qanun tingkat Propinsi) terdapat juga Qanun-Qanun tingkat Kabupaten/Kota antara lain di dalam
Qanun Kabupaten Aceh Tengah Nomor 10 Tahun 2002 tentang Hukum Adat Gayo. Di Aceh,
pengadilan adat yang dikenal dengan istilah Pengadilan Gampong atau Pengadilan Damai juga
diimplementasikan. dalam Keputusan Bersama seperti di Kabupaten Aceh Tengah, yaitu adanya
Keputusan Bersama antara Bupati, Ketua DPRK dan Ketua MAA Kabupaten Aceh Tengah No.
373 Tahun 2008, No 320/DPRK/2008, No.Pol.: B/810/2008 Res Aceh Tengah dan No.
110/MAA/V/2008.

90
berasal dari satu desa).78 Dengan demikian, pada dasarnya konsep mediasi

penal (penal mediation) dalam implementasinya sudah ada atau

dilaksanakan oleh masyarakat indonesia khususnya masyarakat adat dan

juga telah dilaksanakan oleh aparat penegak hukum khususnya kepolisian.

Walaupun pada umumnya penyelesaian sengketa di luar pengadilan hanya

ada dalam sengketa perdata, namun dalam praktek sering juga perkara

pidana diselesaikan di luar pengadilan melalui mekanisme mediasi penal

dengan menggunakan berbagai diskresi aparat penegak hukum atau

melalui mekanisme musyawarah/perdamaian atau lembaga permaafan

yang ada di dalam masyarakat (musyawarah keluarga, musyawarah desa,

musyawarah adat, dsb). Praktek penyelesaian perkara pidana di luar

pengadilan melalui mekanisme mediasi penal selama ini tidak ada

landasan hukum formalnya, sehingga sering terjadi suatu kasus yang

secara informal telah penyelesaian damai (walaupun melalui mekanisme

hukum ada adat), namun tetap saja diproses ke pengadilan sesuai hukum

yang berlaku.

Mediasi penal (penal mediation) merupakan alat bantu untuk

menengahi, mendamaikan serta mencari jalan keluar bagi sengketa pidana

yang terjadi di dalam masyarakat. Salah satu hal yang dapat terjadi di

dalam proses mediasi penal adalah bertemunya antara korban dengan

pelaku (victim and offender). Jika dikaitkan dengan nilai-nilai yang hidup

di masyarakat Indonesia, perlunya proses mendengarkan, meminta dan

memberikan maaf, menjelaskan sesuatu dengan rasa prihatin terhadap


78
Lilik Mulyadi, Op cit

91
korban, lalu memberikan ganti rugi kepada korban, hal-hal tersebut

merupakan nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Penerapan mediasi dalam

bidang hukum pidana dapat membuka kebuntuan psikologis yang selama

ini dialami oleh korban, dimana dalam proses formalnya hanya dijadikan

sebagai saksi untuk membantu mengungkapkan kejahatan yang

dialaminya, tanpa diperhatikan kepentingan korban yang sebenarnya,

karena telah dirugikan akibat tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku.

Landasan sosiologis lainnya mengenai perlunya penggunaan

mekanisme mediasi penal (penal mediation) dalam penyelesaian perkara

pidana adalah sebagai berikut:

a. perlunya pengimplementasian asas "peradilan sederhana, cepat dan

biaya ringan" tanpa harus mengorbankan pencapaian tujuan

peradilan yaitu kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan.

Dalam kenyataannya, sistem peradilan pidana Indonesia sekarang

ini dinilai sangat berbelit-belit. Masyarakat akan membutuhkan

waktu yang cukup lama ketika menghadapi perkara pidana dalam

proses peradilan pidana yang ada. Tentunya seiring berjalannya

waktu dimana semakin hari terjadi peningkatan jumlah volume

perkara dengan segala bentuk maupun variasinya yang masuk ke

pengadilan, sehingga konsekuensi terhadap bertumpuknya jumlah

perkara menjadi beban bagi pengadilan dalam memeriksa dan

memutus perkara sesuai asas "peradilan sederhana, cepat dan biaya

ringan" tanpa harus mengorbankan pencapaian tujuan peradilan

92
yaitu kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Apakah semua

macam atau jenis tindak pidana harus diajukan dan diselesaikan di

muka pengadilan, ataukah ada perkara-perkara tertentu, yang

memungkinkan untuk diselesaikan melalui pola mediasi penal.

Pada polarisasi dan mekanisme mediasi penal ini, sepanjang hal

tersebut sungguh-sungguh dikehendaki bersama oleh para pihak

(tersangka dan korban), bahkan hal tersebut dirasakan sangat

mendesak bagi para pihak dan masyarakat, serta untuk mencapai

kepentingan yang lebih luas, yaitu terpeliharanya harmonisasi

sosial di masyarakat, maka mekanisme mediasi penal ini sangat

dibutuhkan keberadaannya.

b. perlunya meniadakan atau paling tidak mengkaji kembali terhadap

mekanisme penyelesaian perkara pidana dalam sistem peradilan

pidana yang mana masih dilakukannya mekanisme/proses yang

sama bagi semua jenis masalah dalam penyelesaian perkara pidana

(one for all mechanism).

Terdapatnya satu proses yang sama bagi semua jenis tindak pidana

(one for all mechanism), maka keadilan yang didistribusikan

melalui lembaga peradilan diberikan melalui keputusan birokrasi

bagi kepentingan umum, karenanya cenderung berupa keadilan

yang rasional. Maka tidak heran jika keadilan yang diperoleh

masyarakat modern tidak lain adalah keadilan birokratis,

sedangkan tujuan hukum yang dicapai hanyalah kepastian hukum

93
saja. Hal ini sangat bertentangan dengan keinginan masyarakat

yang mendambakan keadilan substansial (substantial justice) dalam

setiap penyelesaian perkara pidana.

Dengan demikian perlu dikaji kembali terhadap meka nisme

penyelesaian perkara pidana dalam sistem dilan pidana yang mana

masih dilakukannya mekanisme/ proses yang sama bagi semua

jenis masalah dalam penyelesaian perkara pidana (one for all

mechanism) dengan menggunakan sistem tunggal seperti saat ini

dengan digantikan dengan konsep sistem peradilan ganda di mana

penyelesaian perkara pidana dapat diselesaikan melalui jalur penal

atau litigasi maupun jalur non penal atau non litigasi dan keduanya

masih dalam lingkup sistem peradilan pidana terpadu.

c. perlunya kasus-kasus ringan atau setidak tidaknya perkara kecil

yang dilakukan oleh masyarakat yang berdampak sosial cukup

tinggi dan merugikan perekonomian masyarakat secara umum

dengan me nerapkan konsep mediasi penal dalam penyelesaian

perkara pidana demi mewujudkan keadilan hukum maupun

keadilan sosial.

Perlunya mengakomodasi nilai-nilai mediasi penal dalam

menyelesaikan perkara atau kasus yang sifatnya ringan atau setidak-

tidaknya perkara kecil yang dilakukan oleh masyarakat yang berdampak

sosial cukup tinggi dan merugikan perekonomian masyarakat secara

umum dengan menerapkan konsep mediasi penal dalam penyelesaian

94
perkara pidana demi mewujudkan keadilan hukum maupun keadilan

sosial, tanpa mengesampingkan kepastian dan kemanfaatan hukum.

2.2. Tindak Pidana Yang Dapat Diselesaikan Melalui Mediasi Penal Dalam

Perkara Pidana

2.2.1. Jenis-Jenis Tindak Pidana

Pembagian tindak pidana (delik) atas jenis-jenis tindak pidana (delik)

pada dasarnya menyangkut cara perumusan tindak pidana (delik) tersebut

dalam hukum pidana. Namun sebelum membahas jenis-jenis tindak pidana

(delik) perlu dikemukakan unsur-unsur suatu tindak pidana (delik) secara

umum yaitu (1) perbuatan yang dapat dipidana, (2) perbuatan itu

bertentangan dengan hukum yang berlaku, (3) adanya kesalahan, dan (4)

dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.

Pembagian tindak pidana dalam ilmu pengetahuan hukum pidana

antara lain79:

a. Delik formal (formeel delict) dan delik materiil (materieel delict).

b. Delicta commissionis, delicta omissionis dan delicta commissionis

per omissionem commissa.

c. Opzettelijke delicten dan culpooze delicten.

d. Zelfstandige delicten dan voortgezette delicten.

e. Enkelvoudige delicten dan samengestelde delicten.

f. Aflopende delicten dan voortdurende delicten.

g. Klacht delicten dan gewone delicten.

79
P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 1997), hlm. 212-225

95
h. Gemene delicten dan politieke delicten.

i. Delicten communia dan delicta propria.

j. Eenvoudige delicten, gequalificeerde delicten dan gepriviligieerde

delicten.

Adami Chazawi dalam bukunya juga membagi tindak pidana atas

dasar-dasar tertentu, yaitu sebagai berikut80:

a. Menurut sistem KUHP, dibedakan antara kejahatan (misdrijven)


dimuat dalam buku II dan pelanggaran (overtredingen) dimuat dalam
buku III.
b. Menurut cara merumuskannya, dibedakan antara tindak pidana
formil (formeel delicten) dan tindak pidana materiil (materieel
delicten).
c. Berdasarkan bentuk kesalahannya, dibedakan antara tindak pidana
sengaja (doleus delicten) dan tindak pidana tidak dengan sengaja
(culpose delicten).
d. Berdasarkan macam perbuatannya, dapat dibedakan antara tindak
pidana aktif/positif dapat juga disebut tindak pidana komisi (delicta
commissionis) dan tindak pidana pasif/negatif, disebut juga tindak
pidana omisi (delicta omissionis).
e. Berdasarkan saat dan jangka waktu terjadinya, maka dapat dibedakan
antara tindak pidana terjadi seketika dan tindak pidana terjadi dalam
waktu lama atau berlangsung lama/berlangsung terus.
f. Berdasarkan sumbernya, dapat dibedakan antara tindak pidana
umum dan tindak pidana khusus.
g. Dilihat dari sudut subyek hukumnya, dapat dibedakan antara tindak
pidana communia (delicta communia, yang dapat dilakukan oleh
siapa saja), dan tindak pidana propria (dapat dilakukan hanya oleh
orang yang memiliki kualitas pribadi tertentu).
h. Berdasarkan perlu tidaknya pengaduan dalam hal penuntutan, maka
dibedakan antara tindak pidana biasa (gewone delicten) dan tindak
pidana aduan (klacht delicten).
i. Berdasarkan berat-ringannya pidana yang diancamkan, maka dapat
dibedakan antara tindak pidana bentuk pokok (eenvoudige delicten),

80
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1 (Stelsel Pidana, Tindak Pidana,
Teori-teori Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana), (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2002), hlm. 121-122.

96
tindak pidana yang diperberat (gequalificeerde delicten), dan tindak
pidana yang diperingan (gepriviligieerde delicten).
j. Berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi, maka tindak
pidana tidak terbatas macamnya bergantung dari kepentingan hukum
yang dilindungi, seperti tindak pidana terhadap nyawa dan tubuh,
terhadap harta benda, tindak pidana pemalsuan, tindak pidana
terhadap nama baik, terhadap kesusilaan dan lain sebagainya.
k. Dari sudut berapa kali perbuatan untuk menjadi suatu larangan,
dibedakan antara tindak pidana tunggal (enkelvoudige delicten) dan
tindak pidana berangkai (samengestelde delicten).

Di samping itu, Prof. Masruchin Ruba'i, S.H.,M.S., dalam bukunya

juga membagi tindak pidana menjadi beberapa jenis, yaitu sebagai berikut
81
:

a. Kejahatan dan Pelanggaran.


b. Tindak Pidana Formil dan Tindak Pidana Materiil.
c. Tindak Pidana Commisionis, Tindak Pidana Omissionis, dan Tindak
Pidana Commissionis per Omissionem Commissa.
d. Tindak Pidana Dolus dan Tindak Pidana Culpa.
e. Tindak Pidana Aduan dan Tindak Pidana Bukan Aduan,
f. Tindak Pidana Sederhana, Tindak Pidana Diperberat, Tindak Pidana
Ringan.

Selanjutnya, para pembuat Kitab Undang-undang Hukum Pidana

(KUHP) Indonesia telah membagi KUHP menjadi 3 (tiga) bagian/buku yaitu

Buku Kesatu terkait Aturan Umum, Buku Kedua terkait Kejahatan dan Buku

Ketiga terkait Pelanggaran. Jadi, secara umum pembuat undang-undang

telah membagi tindak pidana menjadi kejahatan dan pelanggaran. Di

samping jenis-jenis tindak pidana yang dirumuskan dalan KUHP, juga

terdapat jenis jenis tindak pidana yang diatur di luar KUHP yang sering

dikenal dengan istilah hukum pidana khusus atau tindak pidana khusus atau

81
Masruchin Ruba'i, Asas-asas Hukum Pidana, (Malang: UM Press bekerjasama dengan FH
Unibraw, 2001), hlm. 26-29

97
tindak pidana tertentu. Hukum pidana khusus atau tindak pidana khusus bisa

dimaknai sebagai perundang-undangan di bidang tertentu yang memiliki

sanksi pidana, atau tindak pidana yang diatur dalam perundang-undangan

khusus, di luar KUHP baik perundang-undangan pidana maupun bukan

pidana tetapi memiliki sanksi pidana (ketentuan yang menyimpang dari

KUHP). Apa yang tercantum dalam KUHP pasti tidak dapat mengikuti

perkembangan zaman, selalu timbul perbuatan yang tidak disebut oleh

KUHP sebagai suatu perbuatan yang merugikan masyarakat dan melawan

hukum, maka penguasa/pemerintah dapat mengeluarkan suatu peraturan

yang menyatakan bahwa suatu perbuatan tersebut sebagai tindak pidana.

Berhubunga tindak pidana tersebut tidak berada dalam KUHP maka disebut

sebagai tindak pidana khusus. Dasar hukum Undang-Undang terkait Tindak

Pidana Khusus dilihat dari hukum pidana adalah Pasal 103 KUHP.

Berbeda dengan pembagian tindak pidana dalam KUHP, pembagian

dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP)

Indonesia baik versi darft 26 mei 2005 maupun draft februari 2008 hanya

terdiri dari “kejahatan” saja yang dirumuskan dalam Buku Kedua (Draft

RKUHP hanya terdiri dari Buku Kesatu dan Buku Kedua). Di samping

pembagian jenis-jenis tindak pidana sebagaimana yang telah diuraikan di

atas, tentunya masih banyak pembagian-pembagian tindak pidana atas dasar

dasar tertentu. Seperti halnya di Institusi Kepolisian Negara Republik

Indonesia yang Penulis ketahui telah dikenal pembagian perkara pidana atas

dasar tingkat kesulitan dalam penanganan perkara pidana di tingkat

98
penyidikan yang meliputi (1) Kasus Biasa/Mudah, (2) Kasus Sedang, (3)

Kasus Sulit, (4) Kasus Sangat Sulit.82

2.2.2. Mediasi Penal dalam Perkara Pidana di Berbagai Negara

Mengenai pengaturan mediasi penal (penal mediation) perkara

pidana di beberapa negara, dapat dikemukakan bahan komparasi sebagai

berikut:83

a. AUSTRIA:

a) Pada bulan Februari 1999 parlemen Austria menerima

amandemen terhadap KUHAP "refrainment from prosecution,

non-judicial mediation and diversion" (Straf-prozeßnovelle

1999) yang diberlakukan pada Januari 2000.

b) Pada mulanya diversi/pengalihan hanya untuk anak melalui

ATA-J (Außergerichtlicher Tatausgleich für Jugendliche),

namun kemudian bisa juga untuk orang dewasa melalui ATA-E

(Außer gerichtlicher Tatausgleich für Erwachsene) yang

merupakan bentuk "victim-offender mediation" (VOM).

c) Menurut Pasal 90g KUHAP Austria84, Penuntut Umum dapat

mengalihkan perkara pidana dari pengadilan apabila terdakwa

mau mengakui perbuatannya, siap melakukan ganti rugi

khususnya kompensasi atas kerusakan yang timbul atau

kontribusi lainnya untuk memperbaiki akibat dari perbuatannya,


82
Pasal 31 ayat (1) dan (2) Peraturan Kapolri Nomor 12 tahun 2009 tentang Pengawasan dan
Pengendalian Penanganan Perkara Pidana di Lingkungan Polri.
83
Barda Nawawi Arief, Mediasi Penal: Penyelesaian Perkara Pidana di Luar Pengadilan,
ibid
84
Pasal 90 g (1) KUHAP Austria

99
dan apabila terdakwa setuju melakukan setiap kewajiban yang

diperlukan yang menunjukkan kemauannya untuk tidak

mengulangi perbuatannya di masa yang akan datang.

d) Tindak pidana yang dapat dikenakan tindakan diversi, termasuk

mediasi, apabila diancam dengan pidana tidak lebih dari 5 tahun

penjara atau 10 tahun dalam kasus anak. Bahkan dapat juga

digunakan untuk kasus kekerasan yang sangat berat (Extremely

severe violence). Namun diversi tidak boleh, apabila ada korban

mati seperti dalam kasus manslaughter85.

b. BELGIA :

a) Pada tahun 1994 diberlakukan UU tentang mediasi penal (the Act

on Penal mediation) yang juga di sertai dengan pedomannya (the

Guideline on Penal mediation). Tujuan utama diadakannya "penal

mediation" ini adalah untuk memperbaiki kerugian materiel dan

moral yang ditimbulkan karena adanya tindak pidana. Namun,

mediasi juga dapat dilakukan agar si pelaku melakukan suatu terapi

atau melakukan kerja sosial (community service).

b) Dengan adanya ketentuan ini, penuntut umum diberi kebebasan

yang lebih luas untuk memprioritaskan kepentingan korban.

Apabila pelaku tindak pidana berjanji untuk memberi kompensasi

85
Dr. Juhani Iivari (Doctor of Social Sciences, Research Director in National Research and
Development Centre for Welfare and Health), Victim-Offender Mediation - An Alternative, an
Addition or Nothing But A Rubbish Bin in Relation to Legal Proceedings?, (Attachment 3), hlm.
11, mengutip David Miers (2001), An International Review of Restorative Justice, Crime
Reduction Research Series Paper 10. Home Office. Policing and Reducing Crime Unit Research,
Development and Statistics Directorate. Clive House, Petty France, London, him. 7, lihat
www.resto rativejustice.org/10fulltext/livaril, diakses tangga 26 Februari 2022.

100
atau telah memberi kompensasi kepada korban, maka kasusnya

dapat tidak diteruskan ke penuntutan. Pada mulanya kewenangan

penuntut umum untuk tidak meneruskan penuntutan karena adanya

pembayaran kompensasi hanya untuk delik yang diancam

maksimum 5 tahun penjara, tetapi dengan adanya ketentuan baru

ini, dapat digunakan juga untuk delik yang diancam pidana

maksimum 2 tahun penjara.

c) Ketentuan hukum acaranya dimasukkan dalam Pasal 216 ter Code

of Criminal Procedure (10.02.1994)86.

c. JERMAN :

a) Di Jerman, dibedakan dua istilah: restitution dan Täter-

Opfer-Ausgleich (TOA) atau offender-victim arrangement

(OVA)

b) Aturan restitusi dimasukkan dalam the Juvenile Penal Code

of 1923. Restitusi digunakan sebagai sanksi independen (an

independent sanction) atau digunakan dalam kombinasi

dengan sanksi lain (combination with further orders), atau

sebagai sarana diversi (as a means of diversion). Untuk orang

dewasa, perintah restitusi diakui sejak 1953 sebagai syarat

"probation" dan sejak 1975, diakui sebagai sarana diversi

bagi jaksa dan hakim [§ 153(a) StPO]87.


86
Tony Peters (in collaboration with Ivo Aertsen, Katrien Lauwaert and Luc Robert), From
Community Sanctions to Restorative Justice The Belgian Example, lihat
http://www.unafei.or.jp/english/pdf/RS_No61/ No61_17VE_Peters.pdf., diakses tanggal 26
Februari 2022
87
Detlev Frehsee, op cit

101
c) Pada tahun 1990, OVA (offender-victim arrangement)

dimasukkan ke dalam hukum pidana anak secara umum (§ 10

I Nr. 7 JGG), dan dinyatakan sebagai "a means of diversion"


88
(§ 45 II S. 2 JGG) . Pada 12 Januari 1994, ditambahkan

Pasal 46a ke dalam StGB (KUHP) 89. Pasal ini menetapkan,

bahwa apabila pelaku memberi ganti rugi/kompensasi kepada

korban secara penuh atau sebagian besar, atau telah dengan

sungguh-sungguh berusaha keras untuk memberi ganti rugi,

maka pidananya dapat dikurangi atau bahkan dapat

dibebaskan dari pemidanaan. Pembebasan pidana hanya

dapat diberikan apabila deliknya diancam dengan maksimum

pidana 1 tahun penjara atau 360 unit denda harian.

d) Penyelesaian kasus pidana antara pelaku dan korban melalui

kompensasi ini dikenal dengan istilah Täter Opfer-Ausgleich

(TOA). Apabila TOA telah dilakukan, maka penuntutan

dihentikan (s. 153b StPO/Straf prozessordnung/ KUHAP).

d. PERANCIS :

a) Pada tahun 1993, berdasarkan UU 4 Januari 1993 90 yang

mengamandemen Pasal 41 KUHAP (CCP - Code of Criminal

Procedure), penuntut umum dapat melakukan mediasi antara

88
Ibid
89
Dieter Rössner, Mediation as a Basic Element of Crime Control: Theoretical and
Empirical Comments, lihat http://wings.buffalo.edu/law/ bclc/bclrarticles/3(1)/roessner.pdf-
diakses tanggal 26 Februari 2022:
90
Kemudian dikembangkan berdasar UU 18 Desember 1998 dan UU 9 Juni 1999 (sumber
internet: international research project - report 2.pdf), lihat Barda Nawawi Arief, Mediasi Penal:
Penyelesaian Perkara Pidana di Luar Pengadilan, Op cit, hlm 26

102
pelaku dengan korban, sebelum mengambil keputusan dituntut

tidaknya seseorang. Inti Pasal 41 CCP itu ialah: penuntut umum

dapat melakukan mediasi penal (dengan persetujuan korban dan

pelaku) apabila hal itu dipandang merupakan suatu tindakan

yang dapat memperbaiki kerugian yang diderita korban,

mengakhiri kesusahan, dan membantu memperbaiki

(merehabilitasi) si pelaku91. Apabila mediasi tidak berhasil

dilakukan, penuntutan baru dilakukan, namun apabila berhasil

penuntutan dihentikan (s. 41 dan s. 41-2 CCP- Code of Criminal

Procedure).

b) Untuk tindak pidana tertentu, Pasal 41-2 CCP membolehkan

penuntut umum meminta pelaku untuk memberi kompensasi

kepada korban (melakukan mediasi penal), daripada

mengenakan pidana denda, mencabut SIM, atau memerintahkan

sanksi alternatif berupa pidana kerja sosial selama 60 jam.

Terlaksananya mediasi penal ini, menghapuskan penuntutan.

c) Tindak pidana tertentu yang dimaksud Psl. 41-2 CCP itu ialah:

articles 222-11, 222-13 (1° to 11°), 222-16, 222-17, 222-18

(first paragraph), 227-3 to 227-7, 227-9 to 227-11, 311-3, 313-

5, 314-5, 314. 6, 321-1, 322-1, 322-2, 322-12 to 322-14, 433-5

to 433-7 and 521-1 of the Criminal Code, under the articles 28

91
Barda Nawawi Arief, Mediasi Penal: Penyelesaian Perkara Pidana di Luar Pengadilan, Op
cit, hlm 27, mengutip Deborah Macfarlane, Victim-Offender Mediation in France,
http://www.mediationconference. com.au/2006_Papers/Deborah Macfarlane VICTIM
OFFENDER MEDIATION IN FRANCE1.doc.

103
and 32 (2°) of the Ordinance of 18 April 1939 fixing the regime

of war materials, arms and munitions, under Article L. 1 of the

Traffic Code and under Article L. 628 of the Public Health

Code.

e. POLANDIA 92:

a) Proses mediasi perkara pidana diatur dalam Pasal 23a CCP (Code

of Criminal Procedure) dan Peraturan Menteri Kehakiman 13 Juni

2003 tentang "Mediation proceedings in criminal matters" (Journal

of Laws No 108, item 1020). Pengadilan dan jaksa, atas

inisiatifnya atau atas persetujuan korban dan pelaku, dapat

menyerahkan suatu kasus ke lembaga terpercaya atau seseorang

untuk melakukan mediasi antara korban dan terdakwa. Proses

mediasi paling lama satu bulan. Biaya proses mediasi ditanggung

oleh perbendaharaan negara (State Treasury).

Article 320.
 1. If it is relevant in connection with a respective motion to
the court, the state prosecutor may, on his own initiative, or
with the consent of parties, refer the case to a trustworthy
institution or person in order to conduct a mediation
procedure between the suspect and the injured
b) Mediator melakukan kontak dengan para pihak, merancang

pertemuan para pihak, membantu merumuskan materi kesepakatan,

dan mengawasi terpenuhinya kewajiban yang timbul dari

92
Barda Nawawi Arief, Mediasi Penal: Penyelesaian Perkara Pidana di Luar Pengadilan, Op
cit, hlm 28, mengutip Alternative dispute resolutions - Poland, http://ec.europa.eu/ civiljustice/adr/
adr_pol_en.htm; Lihat juga Beata Czarnecka-Dzialuk and Dobrochna Wójcik, Victim-Offender
Mediation With Juveniles In Poland, http://72.14.235.104/search?
q=cache:hug1KlizKXsJ:www.irsig.cnr.it/reports/testi_reports/pdf_reports/
report_polandfinal_01sept03. pdf+penal+mediation+poland&hl=id&ct=clnk&cd=5&gl=id

104
kesepakatan itu. Mediator kemudian melaporkan semuanya itu

kepada pengadilan/jaksa. Hasil positif dari mediasi itu menjadi

alasan untuk tidak melanjutkan proses pidana.

c) Mediasi dapat diterapkan untuk semua kejahatan yang maksimum

ancaman pidananya kurang dari 5 tahun penjara. Bahwa kejahatan

kekerasan (Violent crimes) juga dapat dimediasi93.

Dari berbagai ketentuan di berbagai negara di atas dapat

diidentifikasikan, bahwa mediasi sebagai salah satu bentuk ADR

(Alternative Dispute Resolution) dimungkinkan dalam perkara pidana,

namun tetap diberi payung/kerangka hukum (mediation within the

framework of criminal law), yang bisa diintegrasikan dalam hukum pidana

materiel (KUHP) atau hukum pidana formal (KUHAP), atau dalam UU

khusus.

Tony Peters mengemukakan gambaran pengaturan atau "legal frame-

work" di beberapa negara Eropa sebagai berikut 94:

a. Ditempatkan sebagai bagian dari UU Peradilan Anak (the Juvenile


Justice Act), yaitu di Austria, Jerman, Finlandia, dan Polandia;
b. Ditempatkan dalam KUHAP (the Code of Criminal Procedure),
yaitu di Austria, Belgia, Finlandia, Perancis, dan Polandia;
c. Ditempatkan dalam KUHP (the Criminal Code), yaitu di Finlandia,
Jerman, dan Polandia;

93
Juhani Iivari, Victim-Offender Mediation - An Alternative, an Addition or Nothing But A
Rubbish Bin in Relation to Legal Proceedings ?, Op cit, hlm. 11-12, mengutip David Miers (2001),
An International Review of Restorative Justice, Op cit, hlm. 50, lihat www.restorativejustice.
org/10fulltext/livari1, diakses tangga 26 Februari 2022
94
Tony Peters, From Community Sanctions to Restorative Justice The Belgian Example, Op
cit, lihat http://www.unafei.or.jp/english/pdf/ RS_No61/No61_17VE_Peters.pdf; lihat juga Barda
Nawawi Arief, Mediasi Penal: Penyelesaian Perkara Pidana di Luar Pengadilan, Op cit, hlm 31,
mengutip Ivo Aertsen, Restorative Justice in A European Perspective,
http://www.extern.org/restorative/99_Conf_Aertsen.htm

105
d. Diatur tersendiri secara otonom dalam UU Mediasi (the Mediation
Act), seperti di Norwegia, yang diberlakukan untuk anak-anak
maupun orang dewasa.

Di beberapa negara, dimungkinkan pula mediasi dalam kasus-kasus

perbankan (dikenal dengan istilah "banking mediation") yang terkait dengan

masalah ATM (Automatic Teller Machine) dan Kartu Kredit (Credit cards).

Misalnya di:

a. Malaysia:

Ruang lingkup kewenangan Banking Mediation Bureau (BMB) di

Malaysia, antara lain dapat menangani seng keta bernilai RM 25,000,

akibat penarikan ATM yang tidak sah (Unauthorised Automatic

Teller Machine with drawals) atau akibat penggunaan kartu kredit

yang tidak sah (Unauthorised use of credit cards).

b. Latvia:

Sehubungan dengan pertanggungjawaban penerbit kartu kredit,

Dewan Gebernur Bank Latvia (Bank of Latvia Board of Governors)

dalam resolusinya No. 89/9 tanggal 13 September 2001 tentang

"Recommendations for Transactions Effected by Means of Electronic

Payment Instruments".

Dari bahan komparasi di atas dapat diidentifikasikan, bahwa di

beberapa negara lain, mediasi penal dimungkinkan dalam kasus :

a. Tindak pidana anak;

106
b. Tindak pidana orang dewasa (ada yang dibatasi untuk delik yang

diancam pidana penjara maksimum tertentu);

c. Tindak pidana dengan kekerasan (violent crime);

d. Kekerasan dalam ruamh tangga (domestic violence);

e. Kasus perbankang yang beraspek hukum pidana.

2.3. Kegiatan Pertambangan Yang Dapat Diselesaikan Melalui Mediasi

Penal

2.3.1. Bentuk – Bentuk IUP, IUPK, dan IUPR

Secara substansi, legalitas pengusahaan baha galian menurut

Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 hanya dalam bentuk, yaitu izin usaha.

Undang-Undang ini, memberikan pandangan bahwa pengelolaan dan

pengusahaan bahan galian dilakukan secara sistematis sejak penetapan

wilayah pertambangan yang merupakan bagian dari tata ruang nasional.

1. Izin Usaha Pertambangan (IUP)

Izin Usaha pertambangan adalah legalitas pengelolaan dan usaha

pengusahaan bahan galian baik swasta nasional, maupun badan usaha

asing, koperasi, dan perseorangan. Selanjutnya menurut Pasal 36 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, IUP terdiri dari atas dua tahap

yaitu:

a. Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi, yaitu izin usaha untuk

melakukan penyeledikan umum. IUP eksplorasi secara teknis

107
meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut : 1) Penyeledikan

Umum; 2) Ekplorasi; dan 3) Studi Kelayakan.

Jangka waktu IUP Eksplorasi untuk pertambangan batu bara paling

lama 7 tahun dan pemegang IUP Eksplorasi batu bara diberi

wilayah IUP antara 5.000 Hektar sampai dengan 50.000 hektar.

b. Izin usaha pertambangan operasi produksi, yaitu izin usaha yang

diberikan untuk melakukan ahapan kegiatan produksi. IUP operasi

produksi secara teknis meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut :

1) Konstruksi atau pekerjaan persiapan;

2) Penambangan;

3) Pengolahan dan permurnian;

4) Pengangkutan dan penjualan.

Jangka waktu IUP operasi produksi untuk pertambangan batu bara

yaitu selama 20 tahun, dan dapat diperpanjang sebanyak dua kali

masing-masing sepuluh tahun dan luas wilayah yang diberikan

terhadap pemegang IUP operasi produksi adalah maksimal 15.000

Hektar. Jadi pembagian izin usaha pertambangan ini menjadi dua

menunjukkan bahwa dalam kegiatan pertambangan diperlukan

perolehan dua kali tahap izin, untuk dapat memperoleh melakukan

kegiatan eksplorasi dan kegiatan operasi produksi.

2. Izin Usaha Pertambangan Khusus

Izin Usaha Pertambangan Khusus adalah izin untuk melakukan usaha

pertambangan khusus, wilayah izin usaha pertambangan khusus adalah

108
wilayah pencandangan negara yang dapat diusahakan. IUPK ini diberikan

hanya untuk satu jenis mineral atau bara saja.

Pemegang IUPK yang menentukan mineral lain didalam WIUP yang

dikelola diberikan prioritas untuk mengusahakannya. Apabila pemegang

IUP ini bermaksud mengajukan permohonan IUP baru. Apabila pemegang

IUP tidak berminta untuk mengusahakan mineral lain yang ditemukannya

tersebut wajib menjaga mineral lain tersebut karena mineral lain tersebut

dapat diberikan kepada pihak lain hanya oleh Menteri. Pemberian izin usaha

pertambangan khusus (IPUK) ini didasari pertimbangan95.

a) Pemenuhan bahan baku industry dan energi dalam negeri;

b) Sumber devisa negara;

c) Kondisi wilayah didasarkan kepada keterbatasan sarana dan

prasarana;

d) Berpotensi untuk dikembangkan sebagai pusat pertumbuhan

ekonomi;

e) Daya dukung lingkungan;

f) Penggunaan teknologi tinggi dan modal investasi yang besar.

IUPK diprioritaskan kepada badan usaha yang berbadan hukum

Indonesia BUMN, BUMD atau badan usaha swasta yang berbadan hukum

Indonesia. IUPK terdiri atas dua tahap yaitu :

a) Izin usaha pertambangan Eksplorasi, yaitu, izin untuk melakukan

tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi dan studi

95
Dalam Pasal 28 UU No. 4 Tahun 2009

109
kelayakan. Luas area yang diberikan untuk satu WIUP Eksplorasi

khusus yaitu paling banyak 50.000 hektar dan jangka waktu paling

lama tahun.

b) Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi Khusus, yaitu izin

usaha yang diberikan untuk melakukan tahapan kegiatan

konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta

pengangkutan dan penjualan. Luas areal untuk satu WIUPK

operasi produksi adalah paling banyak 15.000 hektar dan jangka

waktu WIUPK operasi produksi adalah paling lama dua puluh

tahun dengan masa perpanjang dua kali masing-masing sepuluh

tahun.

Setiap pemegang IUPK eksplorasi mendapat jaminan untuk

memperoleh IUPK operasi produksi sebagai kelanjutan kegiatan usaha

pertambangannya, dan IUPK operasi produksi dapat diberikan kepada badan

usaha yang berbadan hukum Indonesia BUMN, BUMD, dan badan usaha

swasta yang telah mempunyai data hasil kajian studi kelayakan (sinkronisasi

data milik pemerintah dan pemerintah daerah)96.

Apabila dalam kegiatan eksplorasi dan kegiatan industry kelayakan

tersebut pemegang IUPK mendapatkan mineral atau batu bara yang tergali

wajib melaporkan kepada Menteri, dan apabila pemegang IUPK tersebut

ingin menjual mineral atau bara bara yang tergali tersebut wajib mengajukan

izin sementara untuk melakukan pengangkutan dan penjualan. Izin


96
Dalam Pasal 77 UU No. 4 tahun 2009

110
sementera tersebut diberikan oleh Menteri. Mineral atau batu bara yang

tergali dikenakan biaya produksi.

3. Izin Pertambangan Rakyat

Kegiatan pertambangan rakyat dilakukan diwilayah yang telah

ditentukan peruntukkannya sebagai WPR (Wilayah Pertambangan Rakyat)

dan / atau pada wilayah yang telah ada kegiatan penambangan rakyat

sekurang-kurangnya 15 tahun97. Ruang Lingkup Pertambangan Rakyat

adalah sebagai berikut :

a. Komiditas yang dapat diusahakan diatur dalam Pasal 66, yaitu,

bahwa kegiatan pertambangan rakyat dikelompokkan dalam :

1) Pertambangan mineral logam;

2) Pertambangan mineral bukan logam;

3) Pertambangan Batuan; dan/atau

4) Pertambangan batu bara.

b. Pertambangan rakyat diperuntuhkan dan/atau diusahakan oleh :

1) Perseorangan, dengan luas areal maksimal 1 hektar;

2) Kelompok, dengan luas areal maksimal 5 hektar;

3) Koperasi, dengan luas areal maksimal 10 hektar;

4) Jangka waktu pengusahaan pertambangan rakyat maksimum

selama 5 tahun dan dapat diperpanjang.

97
Dalam Pasal 20 UU No. tahun 2009

111
Bahwa berdasarkan bentuk-bentuk Kegiatan Pertambangan penulis

berpendapat kegiatan pertambangan yang diselesaikan melalui mediasi

penal adalah Izin Pertambangan Rakyat baik yang diusahakan oleh

Perseorangan, Kelompok dan Koperasi, karena Wilayah Pertambangan

Rakyat yang relative berskala kecil yaitu 1 hektar sampai dengan 10

hektar.

BAB III

MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESIAN PERKARA

PADA TINDAK PIDANA PERTAMBANGAN TANPA IZIN SKALA

KECIL

3.1. Perbandingan Undang-Undang dan Undang-Undang Lingkungan

Terkait Mediasi Penal

3.1.1. Undang-Undang Lingkungan Hidup Terkait Mediasi Penal

112
Perkara yang timbul akibat terjadinya tindak pidana lingkungan

hidup (TPLH) pada dasarnya adalah terjadinya benturan kepentingan

antara pihak yang melakukan perbuatan perusakan dan/atau pencemaran

lingkungan hidup (pelaku) dan pihak yang dirugikan akibat perbuatan

pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup (korban). Sesuai

perundangundangan yang berlaku, cara penyelesaian perkara TPLH adalah

melalui proses di pengadilan.

Kendala penyelesaian perkara TPLH melalui proses pengadilan

pada umumnya adalah menyangkut kesulitan pembuktian, karena

pembuktian dalam TPLH sangat rumit dan membutuhkan biaya besar.

Sehingga banyak perkara TPLH yang tidak dapat diselesaikan di

pengadilan.

Dengan melakukan rekonstruksi terhadap cara penyelesaian

perkara TPLH, maka terbentuk suatu cara penyelesaian perkara TPLH

yang baru, yaitu melalui cara di luar pengadilan yakni melalui mediasi

penal. Penyelesaian perkara TPLH melalui mediasi penal dapat dilakukan

melalui empat tahapan, yaitu: Menciptakan Forum, Pengumpulan dan

Pembagian informasi, Penyelesaian Masalah, dan Pengambilan Keputusan.

Dalam prosesnya, mediasi penal adalah proses informal dan

fleksibel, yang dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak memihak (mediator

penal). Mediator Penal sebagai berupaya untuk membawa pelaku dan

korban bersama-sama dan membantu mereka secara aktif untuk mencapai

kesepakatan dimana kerusakan/kerugian yang disebabkan oleh perbuatan

113
pelaku dapat diperbaiki dan memberikan kontribusi untuk memulihkan

perdamaian sosial.

Penyelesaian perkara TPLH melalui mediasi penal bernilai

positif.15 Karena dapat menyelesaikan perkara TPLH secara cepat dan

relatif murah dibandingkan dengan penyelesaian melalui pengadilan serta

mampu menghilangkan konflik atau permusuhan yang seringkali

mengiringi setiap putusan yang djatuhkan oleh hakim di pengadilan.

Cara penyelesaian perkara TPLH yang akan datang dapat ditempuh

melalui proses di Pengadilan atau melalui proses Mediasi Penal. Jadi,

dengan diberlakukannya mediasi penal, terjadi rekonstruksi mendasar

terhadap cara penyelesaian perkara TPLH di masa yang akan datang.

Melalui proses mediasi penal, korban TPLH berperan sebagai

subyek yang berperan aktif dan otonom. Proses mediasi penal yang

mengutamakan perundingan antara pelaku dan korban TPLH untuk

menyelesaikan sendiri konflik yang terjadi di antara mereka bernilai

positif. Nilai positif bagi korban yang terutama adalah karena dalam proses

mediasi penal, korban memiliki kesempatan yang luas untuk memaparkan

kerugian dan penderitaan yang dialaminya akibat TPLH yang dilakukan

oleh pelaku. Korban juga memiliki kesempatan untuk memahami kondisi

pelaku TPLH, selanjutnya korban dapat mengungkapkan harapan maupun

keinginannya.

Mediasi penal yang mengutamakan proses yang berorientasi pada

dialog dengan penekanan pada kebutuhan si korban dan keadaan pelaku

114
untuk dimintai pertanggungjawaban, dapat menghasilkan perjanjian ganti

kerugian yang dapat memenuhi harapan korban. Di samping itu, yang

sangat penting juga adalah, proses dialog dapat memenuhi kebutuhan

emosional dan informasional dari si korban dan perkembangan dari empati

si pelaku terhadap korban. Hal tersebut dapat membantu mencegah TPLH

di masa mendatang. Dalam keadaan tertentu, perjanjian ganti rugi

(restitution agreement) tidak menjadi hal terpenting bagi korban TPLH,

ketika dibandingkan dengan kesempatan untuk menunjukkan perasaaan

mereka langsung kepada pelaku TPLH mengenai segala perasaan dan

penderitaan akibat tindakan yang telah dilakukan pelaku. Hal tersebut

menunjukkan bahwa, proses penyelesaian perkara TPLH melalui mediasi

penal dapat menyentuh aspek-aspek manusiawi dari pelaku dan korban

TPLH.98

Pelaku TPLH memiliki kesempatan untuk mengetahui dan

memahami korban yang timbul akibat perbuatannya dan memiliki

kesempatan pula untuk memaparkan segala hal yang melatarbelakangi

perbuatan yang dilakukannya. Kesempatan untuk mengetahui dan

memahami kondisi korban dan pelaku tersebut dapat menjadi

pertimbangan untuk menentukan jenis hukuman atau restitusi yang

fleksibel, lebih adil dan bermanfaat bagi korban TPLH yang dituangkan

dalam Perjanjian Kesepakatan atau Hasil Akhir.

98
Mediasi penal lebih berorientasi pada kualitas proses daripada hasil, yakni menyadarkan
pelaku TPLH akan kesalahannya, kebutuhan-kebutuhan konflik terpecahkan, dan terpenuhinya
ketenangan korban.

115
Pertemuan antara pelaku dan korban TPLH, dapat memberikan

kesempatan kepada pelaku untuk melihat secara langsung akibat dari

perbuatannya. Proses mediasi penal, baik pada saat terjadinya dialog

dengan korban maupun ketika menyusun kesepakatan, juga memberi

kesempatan kepada pelaku untuk melakukan tindakan sebagai tanda

tanggung jawabnya dan dalam rangka membebaskan diri dari rasa

bersalah.

Pembebasan rasa bersalah dari pelaku, merupakan salah satu

prinsip dasar dalam keadilan restoratif (restorative justice),99 yang bukan

hanya bertujuan menyembuhkan, memulihkan dan memperbaiki “luka-

luka‟ yang diderita oleh korban tindak pidana, tetapi juga menyembuhkan,

memulihkan dan memperbaiki „rasa bersalah‟ dari pelaku tindak pidana.

Jadi, penyelesaian perkara TPLH melalui mediasi penal yang bertujuan

untuk “penyembuhan dan pemulihan” tersebut sangat relevan. Karena bagi

lingkungan hidup yang menjadi korban dalam TPLH, yang terpenting

bukanlah seberapa besar denda yang harus dibayar pelaku atau seberapa

lama pelaku harus menjalani pidana penjara, tetapi yang terpenting dan

bermanfaat adalah bagaimana „luka-luka‟ lingkungan hidup dapat

disembuhkan dan dipulihkan.100

99
Restorative justice atau keadilan restoratif dapat didefinisikan sebagai “respons sistematis
terhadap tindak pidana, yang menekankan pada penyembuhan penderitaan korban, pelaku dan
komunitas yang disebabkan oleh pelaku tindak pidana”. Keadilan restoratif adalah sebuah
pendekatan yang mendasarkan keseimbangan dalam menanggapi kesalahan dan konflik, dengan
fokus pada pelaku, korban, dan masyarakat. Keadilan restoratif (RJ) berfokus pada transformasi
kesalahan dengan memperbaiki dan memulihkan kerugian. Bandingkan:
http://www.restorativejustice.org dan http://www.restorativejustice.com
100
Selain sejalan dengan perkembangan pemikiran tentang pemidanaan dalam tataran global,
dalam tataran lokal pun penyelesaian perkara tidak semata-mata bertujuan untuk menghukum
pelaku dan menuntut ganti kerugian bagi korban saja. Tradisi penyelesaian sengketa masyarakat

116
Selain itu pula, kemampuan pelaku TPLH juga menjadi

pertimbangan dalam pemilihan dan penentuan bentuk maupun cara

penghukuman terhadap pelaku TPLH, bilamana penyelesaian perkara

TPLH dilakukan melalui proses mediasi penal. Penentuan hukuman

dengan pertimbangan kondisi korban dan kemampuan pelaku tersebut

didasari pemikiran bahwa, apakah hukuman yang dijatuhkan bermanfaat

bagi korban, apakah hukuman yang dijatuhkan mampu dipenuhi pelaku

dan apakah hukuman yang dijatuhkan dapat memenuhi rasa keadilan dan

kedamaian bagi korban, pelaku dan masyarakat.

3.1.2. Undang-Undang Pertambangan Terkait Mediasi Penal

Secara khusus Undang-Undang Pertambangan tidak mengatur

terkait adanya mediasi penal. Dalam hukum pidana positif, mediasi penal

sebagai aternatif penyelesaian perkara tindak pidana di luar pengadilan

belum diatur. Ketentuan tentang mediasi penal sebagai bentuk

penyelesaian perkara di luar pengadilan bukan hanya belum diatur, tetapi

bahkan dalam beberapa peraturan perundangundangan dinyatakan bahwa

penyelesaian perkara di luar pengadilan hanya berlaku untuk penyelesaian

perkara perdata.101

hukum adat didasarkan pada filosofi kebersamaan (komunal), pengorbanan, nilai supranatural, dan
keadilan komunal. Jadi, dalam masyarakat hukum adat kepentingan bersama merupakan filosofi
hidup yang meresap pada setiap anggota masyarakat. Kepentingan bersama dijunjung tinggi
melebihi kepentingan individu. Bandingkan: Bushar Muhammad, dalam Syahrizal Abbas, Op. cit,
hal. 244
101
Alternatif penyelesaian perkara di luar pengadilan di Indonesia, hanya dimungkinkan
dalam perkara perdata. Untuk perkara pidana pada prinsipnya tidak dapat diselesaikan di luar
pengadilan. Ketentuan yang menyatakan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan tidak
berlaku terhadap perkara tindak pidana dapat dilihat dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1
tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, di dalam Pasal 4 disebutkan bahwa perkara
yang dapat diupayakan mediasi adalah semua sengketa perdata.

117
Konstruksi mediasi penal dalam penyelesaian perkara tindak

pidana pertambangan skala kecil yang ideal di dalam sistem hukum pidana

di Indonesia sudah saatnya disusun. Kebutuhan untuk menyusun dan

menata mediasi penal dalam sistem hukum pidana di Indonesia bukan saja

untuk memperbaiki mekanisme perlindungan dan pengelolaan lingkungan

hidup dengan menggunakan sarana hukum pidana, tetapi yang terutama

adalah sebagai upaya memperbaiki sistem hukum pidana dalam

mengantisipasi perkembangan masyarakat yang semakin pesat.

Dalam rangka memberikan dasar hukum terhadap mediasi penal

sebagai salah satu media penyelesaian perkara pertambangan skala kecil,

maka perlu dilakukan pembaharuan dan penataan dalam sistem hukum

pidana, khususnya yang berkaitan dengan pertambangan skala kecil.

Pembaharuan sistem hukum pidana untuk memberi tempat kepada mediasi

penal sebagai media penyelesaian perkara pertambangan skala kecil

dimaksud adalah dengan melakukan perubahan pada setiap komponen

(subsistem) dari sistem hukum pidana, yakni substansi, lembaga/institusi

dan kultur dalam hukum pidana.

Pembaharuan substasi hukum pidana dalam rangka memberikan

tempat kepada mediasi penal sebagai alternatif penyelesaian pertambangan

skala kecil di luar pengadilan, dapat dimulai dengan memberikan dasar

hukum dari mediasi penal. Untuk memberikan dasar hukum dimaksud,

maka diperlukan perubahan atau revisi terhadap peraturan perundang-

undangan yang berkaitan dengan pengaturan tentang proses penyelesaian

118
perkara tindak pidana. Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya,

sampai saat ini belum terdapat pengaturan tentang proses penyelesaian

perkara tindak pidana melalui mediasi penal. Sehingga pembaharuan di

sini lebih bermakna sebagai penambahan suatu lembaga baru, yakni

mediasi penal ke dalam sistem hukum pidana di Indonesia.

Dalam melakukan pembaharuan terhadap peraturan perundang-

undangan sebagai antisipasi terhadap perkembangan masyarakat yang

begitu pesat, maka diperlukan pendekatan komparatif dan komprehensif

terhadap perkembangan pemikiran tentang sistem hukum pidana, baik

yang berkembang pada tataran global maupun pada tataran lokal. Dalam

tataran global, perkembagan mediasi penal sebagai alternatif penyelesaian

perkara tindak pidana sudah cukup maju, hal tersebut terlihat dari beberapa

negara yang sudah mengatur dan menerapkan mediasi penal dalam sistem

hukumnya. Dari berbagai ketentuan tentang mediasi penal di berbagai

negara sebagaimana yang telah dikemukakan pada bagian terdahulu,

terlihat bahwa mediasi sebagai salah satu bentuk ADR dimungkinkan

dalam perkara pidana; namun tetap diberi payung/kerangka hukum

(mediation within the framework of criminal law), yang bisa

diintegrasikan dalam hukum pidana materiel (KUHP) atau hukum pidana

formal (KUHAP), atau dalam UU khusus Selain mengacu pada

perkembangan pemikiran dan pengaturan di berbagai negara yang

memberi tempat kepada mediasi penal sebagai alternatif penyelesaian

perkara tindak pidana di luar pengadilan, pembaharuan hukum pidana di

119
Indonesia tidak bisa dilepaskan pula dengan keberadaan hukum yang

hidup dan berkembang di dalam masyarakat adat sebagai sistem/tatanan

hukum yang diakui eksistensinya secara konstitusional. Pengakuan

terhadap eksistensi hukum adat.

Selain mengacu pada perkembangan pemikiran dan pengaturan di

berbagai negara yang memberi tempat kepada mediasi penal sebagai

alternatif penyelesaian perkara tindak pidana di luar pengadilan,

pembaharuan hukum pidana di Indonesia tidak bisa dilepaskan pula

dengan keberadaan hukum yang hidup dan berkembang di dalam

masyarakat adat sebagai sistem/tatanan hukum yang diakui eksistensinya

secara konstitusional. Pengakuan terhadap eksistensi hukum adat.102

Dalam konteks penyelesaian perkara, sistem/tatanan hukum adat di

berbagai komunitas masyarakat adat di Indonesia sebagaimana telah

dikemukakan pada bagian sebelumnya telah memperlihatkan bahwa,

proses penyelesaian melalui cara-cara yang sesuai dengan filosofi hidup

masyarakat yang bersangkutan, masih hidup dan berkembang. Jadi,

pembaharuan hukum pidana dengan memasukkan nilai-nilai yang terdapat

di dalam hukum adat, bukan hanya sebagai bentuk pengakuan dan

penghormatan terhadap hukum adat itu sendiri, tetapi juga karena

kesadaran bahwa nilai-nilai tersebut sesuai/relevan dengan perkembangan

dan kebutuhan masyarakat.

Pasal 82 KUHP mengatur tentang gugurnya hak/ kewenangan

untuk menuntut suatu pelanggaran, bilamana terdakwa telah membayar


102
Laurensius Gawing, dalam Donny Donnardono(Ed), Op.cit, hal 149

120
denda maksimum untuk pelanggaran tersebut dan mengeluarkan biaya-

biaya yang telah dikeluarkan bilamana penuntutan telah dilakukan.

Ketentuan yang termuat dalam Pasal 82 KUHP tersebut dikenal dengan

sebutan “pembayaran denda damai” yang sering ditemui dalam

pelanggaran lalu lintas. Meskipun denda damai yang dibayar oleh pelaku

tindak pidana merupakan dasar gugurnya kewenangan penuntutan, namun

ketentuan tersebut tidak bisa disamakan dengan proses penyelesaian

perkara tindak pidana melalui mediasi penal. Perbedaan di antara

keduanya antara lain adalah karena Pasal 82 KUHP tidak mengatur tentang

peranan korban dalam menentukan jenis maupun besarnya ganti rugi yang

harus dilaksanakan oleh pelaku dan denda yang dibayar pelaku masuk ke

kas negara, bukan diserahkan kepada korban tindak pidana.

Dalam konteks pembaharuan KUHP, Pasal-pasal yang berkenaan

dengan dengan gugurnya kewenangan penuntutan tersebut dapat dijadikan

sebagai pintu masuk yang dapat memberi tempat kepada mediasi penal

proses penyelesaian perkara tindak pidana di luar pengadilan. Hal tersebut

dapat dilihat dalam konsep RKUHP yang mengatur tentang hal-hal yang

menjadi dasar gugurnya kewenangan penuntutan. Menurut Pasal 145 (d)

RKUHP, Kewenangan Penuntutan gugur, jika di lakukan “penyelesaian di

luar proses”.103

Artinya perkara tindak pidana yang telah diselesaikan oleh pelaku

dan korban di luar proses (pengadilan), dapat menjadi dasar gugurnya

kewenangan jaksa untuk menuntut tindak pidana tersebut. Untuk


103
Pasal 145 (RKUHP 1-8-2006)

121
mempertegas kedudukan mediasi penal sebagai alternatif penyelesaian

perkara tindak pidana di luar pengadilan, maka seyogyanya ketentuan yang

mengatur tentang dasar gugurnya kewenangan penuntutan yaitu

Penyelesaian di luar proses (Pasal 145 d) tersebut di atas, direvisi menjadi

“Penyelesaian dilakukan melalui mediasi penal”. Dengan rumusan tersebut

di atas, KUHP yang akan datang secara tegas memberikan tempat kepada

mediasi penal sebagai alternatif penyelesaian perkara tindak pidana di luar

pengadilan.

Mengacu pada ketentuan bahwa mediasi penal harus tersedia pada

semua tahap dalam proses peradilan pidana, 104 maka untuk dapat

menyelenggarakan mediasi penal pada setiap tahapan proses peradilan

pidana, perlu ditambahkan wewenang penyidik, Penuntut umum, Hakim

dan aparat pelaksana putusan pengadilan. Penambahan tugas dan

wewenang tersebut diperlukan bilamana pelaku dan korban tindak pidana

menghendaki perkara yang mereka hadapi diselesaikan melalui proses

mediasi penal. Jadi, diperlukan pengaturan berkenaan dengan wewenang

aparat penegak hukum di dalam sistem peradilan pidana. Wewenang yang

seyogyanya ditambahkan pengaturannya adalah:

1. Polisi Penyelidik dan Penyidik dapat menghentikan seluruh

proses penyelidikan dan penyidikan perkara pidana yang

sedang berlangsung; dan menjalankan kembali proses

penyelidikan dan penyidikan bilamana proses penyelesaian

104
Recommendation N R (99) 19 adopted by the Committee of Ministers of the Councils of
Europe ,15 September 1999

122
perkara tindak pidana melalui mediasi penal mengalami

kegagalan.

2. Jaksa Penuntut Umum dapat menghentikan seluruh proses

penuntutan perkara tindak pidana yang sedang berlangsung;

dan melaksanakan kembali proses penuntutan bilaman proses

penyelesaian perkara tindak pidana melalui mediasi penal

mengalami kegagalan

3. Hakim dapat menghentikan seluruh proses pemeriksaan perkara

tindak pidana yang sedang berlangsung di pengadilan; dan

melaksanakan kembali proses pemeriksaan perkara tindak

pidana di pengadilan bilamana proses penyelesaian perkara

tindak pidana melalui mediasi penal mengalami kegagalan

4. Aparat Pelaksana keputusan hakim dapat menghentikan

pelaksanaan pidana terhadap terpidana; dan melaksanakan

kembali keputusan hakim bilamana proses penyelesaian perkara

tindak pidana melalui mediasi penal mengalami kegagalan.

3.2. KONSEP MEDIASI PENAL DALAM PELAKSANAAN TINDAK

PIDANA PERTAMBANGAN TANPA IZIN SKAL KECIL

3.2.1. Model-Model Medasi Penal

123
Dalam “Explanatory Memorandum” dari Rekomendari Dewa Eropa

No. R (99) 19 tentang “Mediation In Penal Matters”, dikemukakan beberapa

model mediasi Penal, yaitu 105

a. Model “Informal Mediation”

Dilaksanakan oleh personil peradilan pidana (criminal justice personnel)

dalam tugas normalnya, yaitu dapat dilakukan oleh JPU (Jaksa Penuntut

Umum) dengan mengundang para pihak untuk melakukan penyelesaian

informal dengan tujuan, tidak melanjutkan penuntutatn apabila tercapai

kesepakatan; dapat dilakukan oleh pekerja sosial atau pejabat pegawas

(probation officer) pejabat polisi, atau oleh Hakim

b. Model “Traditional village or tribal moots”

- Seluruh masyarakat bertemu untuk memecahkan konflik kejahatan di

antara warganya.

- Ada dibeberapa negara yang kurang maju dan diwilayah

pedesaan/pedalaman.

- Model ini lebih memilih keuntungan bagi masyarakat luas.

- Model ini mendahului hukum barat dan telah memberi inspirasi bagi

kebanyakan program-program mediasi modern. Program mediasi

modern sering mencoba memperkenalkan berbagai keuntungan dari

pertemuan suku (tribal moots) dalam bentuk yang disesuaikan

105
Barda Nawawi Aierf, Ibid, Hlm 16, mengutip Annemieke, Ibid, Barda Nawawi Arief
menerangkan sebagaimana yang tercantum dalam dokumen E/2002/INF/2/Add.2, International
Research-Project-Report (sbr : internet).

124
dengan struktur masyarakat modern dan hak-hak individu yang

diakui menurut hukum.

c. Model “victim-offender mediation”

- Mediasi antara korban dan pelaku merupakan model yang paling

seringa ada dalam pikiran orang.

- Model ini melibatkan berbagai pihak yang bertemu dengan dihadiri

oleh mediator yang ditunjuk. Banyak variasi dari model ini.

Mediatornya dapat berasal dari pejabat formal, mediator independen,

atau kombinasi.

- Mediasi ini dapat diadakan pada setiap tahapan pro ses, baik pada

tahap kebijaksanaan polisi, tahap penuntutan, tahap pemidanaan atau

setelah pemidanaan.

- Model ini ada yang diterapkan untuk semua tipe pelaku tindak

pidana; ada yang khusus untuk anak; da yang untuk tipe tindak

pidana tertentu (misal pengutilan, perampokan dan tindak

kekerasan). Ada yang terutama ditujukan pada pelaku anak, pelaku

pemula, namun ada juga untuk delik-delik berat dan bahkan untuk

recidivist.

d. Model “Reparation negotiation programmes”

- Model ini semata-mata untuk menaksirkan/menilai kompensasi atau

perbaikan yang harus dibayar oleh pelaku tindak pidana kepada

korban, biasanya pada saat pemeriksaan di pengadilan.

125
- Program ini tidak berhubungan dengan rekonsiliasi antara para

pihak, tetapi hanya berkaitan dengan perencanaan perbaikan

materiel.

- Dalam model ini, pelaku tindak pidana dapat di kenakan program

kerja agar dapat menyimpan uang untuk membayar ganti

rugi/kompensasi.

e. Model “Community panels or courts”

Membelokkan kasus pidana dari penuntutan atau peradilan pada

prosedur masyarakat yang lebih fleksibel dan informal dan sering

melibatkan unsur mediasi atau negosiasi.

f. Model “Family and community group confrences”

- Dikembangkan di Australia dan New Zealand, melibatkan partisipasi

masyarakat dalam sistem peradilan pidana. Tidak hanya melibatkan

korban dan pelaku tindak pidana, tetapi juga keluarga pelaku dan

warga masyarakat lainnya, pejabat tertentu (seperti polisi dan hakim

anak) dan para pendukung korban.

- Pelaku dan keluarganya diharapkan menghasilkan kesepakatan yang

komprehensif dan memuaskan korban serta dapat membantu untuk

menjaga si pelaku keluar dari kesusahan/persoalan berikutnya.

3.2.2. Pelaksanaan Konsep Mediasi Penal dalam Tindak Pidana

Pertambangan Tanpa Izin Skala Kecil

126
Bahwa mengacuh dari bentuk-bentuk Kegiatan Pertambangan yang

diselesaikan melalui Mediasi Penal adalah Izin Pertambangan Rakyat yang

merupakan kegiatan pertambangan skala kecil karena diusahakan oleh

Perorangan, Kelompok, dan Koperasi.

Untuk itu, kebijakan Pemidanaan Pertambangan Tanpa Izin Skala

Kecil (PETI) pun harus mengedepankan aspek non penal, melalui

pembinaan dan pengawasan. Pembinaan dilakukan dengan control,

konsultasi, dan fasilitas pemberian izin usaha yang baik Izin Pertambangan

Rakyat, (IPR) termasuk pembinaan keahlian dan keterampilan teknik

pertambangan (Pendidikan dan pelatihan), teknik perlindungan dan

pengolahan lingkungan, aspek manajemen pengusahaan, aspek pemasaran,

bantuan teknologi pertambangan, sehingga penambangan PETI Khusus IPR

dapat terus melakukan usahanya namun atas pelanggaran hukumnya dikenal

pendekatan non penal melalui mediasi penal yang pada akhirnya PETI

Khusus IPR berhenti berganti menjadi pertambangan yang sah.

Bawah konsep Mediasi Penal yang penulis rekomendasi dalam

penelitian ini adalah ada 2 (dua) Model Mediasi Penal yaitu :

1) Model “Informal Mediation”

2) Model “Reparation Negotiation Programmes”

Bahwa model mediasi penal Informal Mediation dan Reparation

Negotiation Progammes sangat dapat diterapkan di Tindak Pidana

Pertambangan Tanpa Izin Skala Kecil, karena dalam hal Tindak Pidana

127
Pertambangan yang dirugikan adalah negara dalam hal ini diwakili oleh

Dinas ESDM atau Kementerian ESDM, Kemudian Pelaku dalam hal ini

adalah masyarakat, baik berbentuk kelompok maupun koperasi. Oleh

karenanya model Mediasi Penal diatas sangat cocok, karena dilakukan oleh

Aparat Penegak Hukum, pada tahap penyidikan Mediator (Pejabat Pegawas)

adalah Polisi, untuk tahap Penuntutan dilakukan oleh JPU (Jaksa Penuntut

Umum), dan untuk tahap Pemeriksaan dipersidangan dilakukan oleh Hakim.

Bahwa dalam hal telah terjadi mediasi penal Pelaku dalam hal ini

Pelaku Tindak Pidana Pertambangan Tanpa Izin Skala Kecil dengan

membayar konpensasi/perbaikan material atau melakukan pekerjaan sosial

untuk mewujudkan tujuan hukum.

3.3. ANALISIS KASUS TINDAK PIDANA PERTAMBANGAN SKALA

KECIL DI BOMBANA

Salah satu sumber permasalahan yaitu adanya perusakan lingkungan yang

dilakukan oleh masyarakat yang melakukan pertambangan. Sebagai kegiatan yang

berhubungan dengan bentang alam, tentu kegiatan pertambangan akan terkait

dengan lingkungan hidup.

Ketentuan Tindak Pidana di Bidang Pertambangan dalam UU No.4 Tahun

2009 adalah bagian dari teori-teori pemidanaan. Menurut Barda Nawawi Arief

dan Muladi, secara tradisional teori-teori pemidanaan pada umumnya dapat dibagi

dalam dua kelompok, yaitu :

128
a. Teori absolute (retributive/vergeldings theorieen), yakni pidana di

jatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan suatu kejahatan

atau tindak pidana (quia peccatum est)

b. Teori realtif (utilitarian/doeltheorieen), yakni memidana bukanlah

untuk memuaskan tuntutan absolut dari keadilan, sehinnga pembalasan

itu sendiri, tidak mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai sarana untuk

melindungi kepentingan masyarakat.106

Hukum pidana seharusnya ditujukan untuk menegakkan tertib hukum,

melindungi masyarakat hukum. Manusia satu persatu di dalam masyarakat saling

bergantung; kepentingan mereka dan relasi antar mereka ditentukan dan

dilindungi oleh norma-norma. Penjagaan tertib sosial ini untuk bagian terbesar

sangat tergantung pada paksaan. Jika norma-norma tidak ditaati, akan muncul

sanksi, kadangkala yang berbentuk informal, misalnya perlakuan acuh tak acuh

dan kehilangan status penghargaan sosial. Namun bila menyangkut soal yang

lebih penting, sanksi (hukum), melalui tertib hukum negara yang melengkapi

penataan sosial, dihaluskan, diperkuat dan dikenakan kepada para pelanggar

norma tersebut.107

Dalam berbagai kongres PBB yang diselenggarakan 5 tahun sekali

mengenai "The Prevention of Crime and The Treatment of Offenders.” sering

dinyatakan bahwa sistem hukum pidana yang selama ini ada di beberapa negara

(terutama yang berasal/diimpor dari hukum asing semasa zaman kolonial), pada

106
Barda Nawawi dan Muladi, teori-teori dan kebijakan Hukum Pidana, Alumni Bandung,
2005, hlm, 10-16.
107
Oheo K. Harris, Tindak Pidana di Bidang Pertambangan, Penerbit Media Sahabat
Cendekia, Surabya, 2019. Hlm, 226.

129
umumnya bersifat ”absolute and unjust" (telah usang dan tidak adil) serta

”outmoded and unreal" (sudah ketinggalan zaman dan tidak sesuai dengan

kenyataan). Alasannya karena sistem hukum pidana di beberapa negara yang

berasal/diimpor dari hukum asing semasa kolonial, tidak berakar pada nilai-nilai

budaya dan bahkan ada "diskrepansi" dengan aspirasi masyarakat, serta tidak

responsive terhadap kebutuhan sosial masa kini.108

Pandangan Leden Marpaung dalam Gatot Supramono109 menguraikan lebih

khusus, utamanya menyangkut teori absolut dan relatif. Dalam teori absolut

disebutkan bahwa penjatuhan sanki sebagai pembalasan terhadap pelaku dengan

alasan akibat dari perbuatannnya telah menyengsarakan orang lain atau

masyarakat. Pemidanaan dalam teori relatif dilandasi oleh beberapa tujuan sebagai

berikut:

a. Menjerakan

Dengan penjatuhan sebuah hukuman, diharapkan si pelaku atau

terpidana menjadi jera dan tidak mengulangi lagi perbuatannya

(spesiale preventive) serta masyarakat umum mengetahui bahwa jika

melakukan perbuatan sebagaimana yang dilakukan terpidana, mereka

akan mengalami hukuman yang serupa (generale preventive).

b. Memperbaiki Pribadi Terpidana

Berdasarkan perlakuan dan pendidikan yang diberikan selama

menjalani hukuman, terpidana akan merasa menyesal sehingga tidak

108
Barda Nawawi Arif, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003,
hlm, 45.
109
Gatot Supramono, Hukum Pertambangan Mineral dan Batu Bara Di Indonesia, Rieneka
Cipta, Jakarta, 2012, hlm, 245.

130
akan mengulangi perbuatannya dan kembali kepada masyarakat dapat

sebagai orang yang baik dan berguna.

c. Membinasakan Atau Membuat Terpidana Tidak Berdaya

Membinasakan berarti menjatuhkan hukuman dengan mati, sedangkan

membuat terpidana tidak berdaya dilakukan dengan menjatuhkan

hukuman dengan pidana seumur hidup.

Secara eksplisit, tujuan pemidanaan di bidang pertambangan dapat

menggunakan kedua teori diatas, kecuali teori relative khususnya mengenai

membinasakan atau membuat terpidana tidak berdaya, karena dalam undang-

undang pertambangan tidak mengenal hukuman pidana mati atau seumur hidup.110

Analisa Vos dalam Yesmil Anwar dan Adang membagi teori pencegahan

aigemene preventive atau prevensi umum general preventive Dalam

pandangannya, prevensi umum adalah perwujudan pidana yang mengandung sifat

menjerakan atau mengandung sifat menakutkan dalam pelaksanaannya di depan

umum yang mengharapkan suggestive terhadap anggota masyarakat lainnya agar

tidak melakukan kejahatan lagi. Sedang prevensi khusus bijondere preventive atau

special preventive mempunyai tujuan agar pidana itu mencegah si penjahat dalam

mengulangi lagi kejahatannya, dengan memperbaikinya kembali. Dalam

pencegahan ini, yang diperbaiki adalah penjahatnya itu sendiri.

Kemudian dalam pandangan Muladi dalam Gatot Supramono111 yang

menjelaskan Teori Teleologis (tujuan) memandang bahwa pemidanaan bukan

sebagai pembalasan atas kesalahan pelaku tetapi sarana mencapai tujuan yang

110
Ibid
111
Ibid

131
bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan masyarakat.

Sanksi ditekankan pada tujuannya, yakni untuk mencegah agar orang tidak

melakukan kejahatan, maka bukan bertujuan untuk pemuasan absolut atas

keadilan. Dari teori ini muncul tujuan pemidanaan yang sebagai sarana

pencegahan, baik pencegahan khusus yang ditujukan kepada pelaku maupun

pencegahan umum yang ditujukan ke masyarakat.

Teori relatif berasas pada 3 (tiga) tujuan utama pemidanaan yaitu

preventif, detterence, dan reformatif. Tujuan preventif (prevention) untuk

melindungi masyarakat dengan menempatkan pelaku kejahatan terpisah dari

masyarakat. Tujuan menakuti (detterence) untuk menimbulkan rasa takut

melakukan kejahatan yang bisa dibedakan untuk individual, publik dan jangka

panjang. Terdapat para pelanggar UU Pertambangan pemidanaannya

dimungkinkan dengan hukuman berat, penjatuhannya lebih cenderung

menggunakan teori pembalasan, agar selain pelakunya menjadi kapok dan

berakibat warga masyarakat yang urung melakukan niatnya setelah mengetahui

adanya hukuman tersebut.

Karakter ketentuan pidana di bidang pertambangan, menurut Gatot

Supramono mengandung dua macam yakni bersifat kumulatif dan alternatif.

Sanksi tindak pidana kumulatif yaitu terdakwa dihukum dengan dua hukuman

pokok sekaligus berupa pidana badan dan pidana denda. Sendangkan sanksi

alternatif hakim wajib memilih salah satu hukuman, yaitu pidana badan atau

pidana kurungan. Dari macam-macam tindak pidana di bidang pertambangan

ternyata tidak membedakan mana yang delik kejahatan dengan pelanggaran, dan

132
hukuman yang dijatuhkan terhadap pelakunya terdapat hukuman yang bersifat

kumulatif dan alternatif.

Lebih lanjut dijelaskan, pada hukuman yang bersifat kumulatif dalam UU

Pertambangan terdapat pada tindak pidana di bidang pertambangan yang

merupakan delik kejahatan yaitu pasal 158, pasal 159, pasal 160 ayat (2), pasal

161, pasal 165. Hukuman yang bersifat alternatif terdapat pada tindak pidana di

bidang pertambangan yang merupakan delik pelanggaran yang diatur pasal 160

ayat (1) dan Pasal 162 UU No. 4 Tahun 2009.

Menurut penulis pendapat ahli diatas bahwa tujuan hukum baik itu diatur

dalam hukum administrasi maupun hukum pidana adalah sama-sama melindungi

kepentingan hukum seseorang, masyarakat dan organisasi/badan hukum. Secara

entitas, tujuan hukum ini pula sesungguhnya telah menempatkan posisi dan

berperan dalam rangka pemenuhan dan perlindungan Hak Asasi Manusia. Hal ini

sesuai dengan pembaharuan hukum pidana apa yang dikenal dengan criminal

policy menuju penal policy oleh karena itu dalam rangka pembaharuan hukum di

Indonesia, khusus pada sanksi dalam hukum administrasi dan hukum pidana

haruslah diimbangi dengan norma hukum dan keadilan. Meskipun dalam tindak

pidana itu mengedepankan sanksi pidana punishment akan tetapi juga

memperhatikan sanksi tindakan treatment yang sebenar-benarnya.

Berdasarkan putusan majelis hakim diatas, majelis hakim memutus bahwa

terdakwa Sabang Bin Sulaeman terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah

melakukan tindak pidana kegiatan pertambangan tanpa izin sebagaimana dakwaan

133
kedua penuntut umum Pasal 158 Undang-Undang nomor 4 Tahun 2009 tentang

Pertambangan Mineral dan Batubara.

Dari putusan tersebut terdakwa menjalani pidana penjara selama 8

(delapan) bulan dengan tambahan pidana kurungan 2 (dua) bulan karena terdakwa

tidak sanggup membayar denda yang diberikan oleh majelis hakim. Dalam

putusannya majelis hakim hanya memberikan pidana penjara selama 8 (delapan)

bulan karena terdakwa adalah kepala rumah tangga yang bertanggungjawab

mencari nafkah selain itu terdakwa juga sudah memasuki usia 67 (enam puluh

tujuh) tahun jika dilihat dari segi sisi kemanusiaan.

Terdakwa melanggar Pasal 158 UU Pertambangan karena terdesak

kebutuhan ekonomi keluarga. Namun disisi lain, perbuatan yang dilakukan oleh

terdakwa telah membuat kerusakan lingkungan. Dari sinilah penulis berpendapat

bahwa terjadi kontra antara fakta yuridis 112 dan fakta empiris113 atau kontra antara

tekstual dan kontekstual hukum. Hal ini lah yang menjadi persoalan karena apa

yang diharapkan tidak sesuai dengan kenyataan. Ada harapan yang tertuang dalam

tekstual namun berbeda dengan kontekstualnya.

Dilema penegakan hukum atas PETI menjadi persoalan krusial bagi

penyelenggaraan kegiatan usaha pertambangan mengingat atas kegiatan PETI

dikategorikan sebagai perbuatan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 158 dan

Pasal 160 UU Minerba. Akan tetapi, kegiatan PETI berkaitan dengan kehidupan

112
Aturan yang telah dibuat oleh pemerintah untuk menegakkan hukum pertambangan bagi
siapapun yang melanggar atau melakukan tindak pidana.
113
Kenyataan yang terjadi dilapangan sangat tidak sesuai dengan apa yang diharapkan
pemerintah. Tingginya angka kebutuhan ekonomi masyarakat berpenghasilan rendah yang berada
dilingkungan pertambangan mendorong untuk melakukan tindak pidana pertambangan karena
terdorong desakan ekonomi.

134
rakyat melarat yang melakukan usaha pertambangan untuk memenuhi kebutuhan

hidupnya.

Dalam teori absolut dan relative disebutkan relatif dilandasi oleh beberapa

tujuan seperti adanya penjatuhan sebuah hukuman, diharapkan si pelaku atau

terpidana menjadi jera dan tidak mengulangi lagi perbuatannya (spesiale

preventive) serta masyarakat umum mengetahui bahwa jika melakukan perbuatan

sebagaimana yang dilakukan terpidana, mereka akan mengalami hukuman yang

serupa (generale preventive). Selain itu tujuan lainnya adalah memperbaiki

pribadi terpidana. Berdasarkan perlakuan dan pendidikan yang diberikan selama

menjalani hukuman, terpidana akan merasa menyesal sehingga tidak akan

mengulangi perbuatannya dan kembali kepada masyarakat dapat sebagai orang

yang baik dan berguna. Namun, dari teori absolut dan relative yang diberikan

ternyata tidak memberikan efek jera bagi terdakwa. Karena terdakwa didapati

mengulang perbuatannya untuk kedua kalinya setelah menjalani masa hukuman.

Hal ini terbukti Penjatuhan hukuman yang diberikan oleh Majelis Hakim tidak

memberikan efek jera.

Menurut pendapat penulis, perlunya restorative justice untuk penanganan

perkara kasus pertambangan skala kecil seperti pada kasus diatas sangat penting.

Hal tersebut berkaitan dengan sisi kemanusiaan. Adanya restorative justice

sebagai solusi penyelesaian perkara bagi kasus tersebut dinilai mengurangi beban

negara dari segi keuangan negara dan menumpuknya tahanan di LAPAS. Dari

segi sisi kemanusiaan seseorang yang melakukan penambangan skala kecil bukan

bertujuan untuk melakukan kejahatan. Tetapi, lebih kepada bagaimana seseorang

135
tersebut untuk bertahan hidu. Mengingat lokasi atau daerah tersebut susah untuk

mendapat pekerjaan. Seharusnya ada bentuk tanggungjawab pemerintah dari

kasus pertambangan skala kecil tersebut. Walaupun didalam Undang-undang

pertambangan tidak mengenal restorative justice, kiranya saja penggunaan konsep

restorative justice kedepannya dapat menjadi solusi agar tidak adanya lagi

penumpukan perkara. Namun disisi lain, bukan berarti adanya restorative ini

menjadikan pembiaran bagi para pelaku untuk melakukan penambangan liar

walaupun bersifat skala kecil.

Pada pokoknya, perumusan mengenai tujuan mediasi penal dalam

kebijakan hukum pidana harus dijiwai oleh semangat dalam mewujudkan

restoratif justice yang berorientasi pada kepentingan dan keadilan para pihak serta

memperbaiki akibat negatif serta kekgoncangan sosial yang ditimbulkan oleh

adanya perbuatan pelaku.

BAB IV

PENUTUP

4.1. Kesimpulan

4.1.1. Berdasarkan hasil pengkajian perbandingan yang dilakukan terhadap

penerapan mediasi penal, maka kegiatan pertambangan yang diselesaikan

melalui mediasi penal adalah Izin Pertambangan Rakyat baik yang

diusahakan oleh Perseorangan, Kelompok dan Koperasi, karena Wilayah

Pertambangan Rakyat yang relative berskala kecil yaitu 1 hektar sampai

dengan 10 hektar.

136
4.1.2. Bahwa model mediasi penal Informal Mediation dan Reparation

Negotiation Progammes sangat dapat diterapkan di Tindak Pidana

Pertambangan Tanpa Izin Skala Kecil, karena dalam hal Tindak Pidana

Pertambangan yang dirugikan adalah negara dalam hal ini diwakili oleh

Dinas ESDM atau Kementerian ESDM, Kemudian Pelaku dalam hal ini

adalah masyarakat, baik berbentuk kelompok maupun koperasi. Oleh

karenanya model Mediasi Penal diatas sangat cocok, karena dilakukan

oleh Aparat Penegak Hukum, pada tahap penyidikan Mediator (Pejabat

Pegawas) adalah Polisi, untuk tahap Penuntutan dilakukan oleh JPU (Jaksa

Penuntut Umum), dan untuk tahap Pemeriksaan dipersidangan dilakukan

oleh Hakim.

4.2. Saran

4.2.1. Harapan Penulis dalam rangka memperbaharui substansi hukum pidana

untuk memberi tempat kepada mediasi penal sebagai alternatif

penyelesaian perkara tindak pidana di luar pengadilan, maka harus

dilakukan perubahan/revisi terhadap beberapa peraturan perundang-

undangan. Di Indonesia, ketentuan mediasi penal dapat ditempatkan di

dalam KUHP dan KUHAP.

4.2.2. Terhadap kegiatan pertambangan yang telah terjadi yang diduga sebagai

perbuatan pidana maka aparat penegak hukum dan aparat terkait harus

mengedepankan kebijakan nonpenal denga melakukan pembinaan dan

pengawasan penambangan skala kecil yang dilakukan oleh pemerintah

agar PETI menjadi pertambangan yang sah.

137
138

Anda mungkin juga menyukai