Anda di halaman 1dari 23

Kebijakan Hukum Pengelolaan Pertambangan Berbasis

Kesejahteraan Masyarakat

Disusun Oleh :
Chesa Khofifah Meilani (012020241)
Ihktiar Rusyiddin Faqih (012020179)
Indah Zanela (012020360)
M Akbar Rahmatullah (012020132)

Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda, Palembang


Email : stihpada@gmail.com

Abstract: This research focuses on community welfare-based mining management legal policies with the
aim of improving the welfare of communities around the mine. The research method used is normative legal
research with statutory, case and conceptual approaches. The results of the study show that the legal policy
for managing metal mineral mining in improving the welfare of communities around the mine is based on
four main pillars, namely legal policies for democratic mineral and coal mining governance, mineral and
coal mining governance using good governance performance standards, realizing social justice in the fifth
precept of Pancasila, and supervision and law enforcement are carried out against the perpetrators of
destroying and polluting the environment in the mining sector. The concept of managing metal mineral
(nickel) mining based on the welfare of the community around the mine involves regulations regarding
licensing, land use, regional development, CSR programs, and the participation of local communities in
community development programs implemented by mining companies.
Keyword: Legal Policy; Mine Management; Welfare Based
Abstrak: Tulisan ini berfokus pada kebijakan hukum pengelolaan pertambangan berbasis kesejahteraan
masyarakat dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar tambang. Metode
penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan,
pendekatan kasus, dan pendekatan konseptual. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan hukum
pengelolaan pertambangan mineral logam dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar tambang
didasarkan pada empat pilar utama, yaitu kebijakan hukum tata kelola pertambangan mineral dan batu
bara yang demokratis, tata kelola pertambangan mineral dan batu bara menggunakan standar kinerja tata
kelola pemerintahan yang baik, mewujudkan keadilan sosial dalam sila kelima Pancasila, dan dilakukan
pengawasan dan penegakan hukum terhadap pelaku perusak dan pencemar lingkungan hidup di bidang
pertambangan. Konsep pengelolaan pertambangan mineral logam (nikel) berbasis kesejahteraan
masyarakat sekitar tambang melibatkan regulasi tentang perizinan, pemanfaatan lahan, pengembangan
wilayah, program CSR, dan keikutsertaan masyarakat sekitar dalam program community development
yang dilaksanakan oleh perusahaan tambang.
Kata kunci: Kebijakan Hukum; Pengelolaan Tambang; Berbasis Kesejahteraan

PENDAHULUAN
Sumber daya alam mineral dan batu bara yang terkandung dalam wilayah hukum
Indonesia merupakan kekayaan alam yang tak terbarukan. Mineral dan batu bara
sebagai karunia
Tuhan Yang Maha Esa yang mempunyai peranan penting dalam memenuhi hajat hidup
orang banyak, maka penguasaan dan pengelolaannya dikuasai oleh negara untuk
memberikan nilai tambah secara nyata bagi perekonomian nasional dalam usaha
mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan.1

Jiwa dan roh Undang-undang Nomor 4 tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral Dan
Batubara sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2020 Tentang
Perubahan Atas UU Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara
tersebut, dituangkan secara normatif ke dalam Pasal 3 UU Nomor 4 Tahun 2009, Tujuan
pengelolaan mineral dan batu bara antara lain; disebutkan pada huruf e “meningkatkan
pendapatan masyarakat lokal, daerah, dan negara, serta menciptakan lapangan kerja
untuk sebesar- besar kesejahteraan rakyat”, dan Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 3 Tahun
2020, “mineral dan batu bara sebagai sumber daya alam yang tak terbarukan
merupakan kekayaan nasional dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kesejahteraan
rakyat”.

Ketentuan norma kedua Pasal tersebut, merupakan turunan dari nilai atau norma
tujuan negara RI sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945,
disebutkan “... memajukan kesejahteraan umum”, dan ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD
NRI Tahun 1945, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Menurut Achmad Haris Januari,2 Frasa “memajukan kesejahteraan umum” dan hakikat
makna “dikuasai oleh negara”, tanpa disadari hanya berfungsi sebagai jargon,
sedangkan realitasnya telah banyak ditimpang dengan beragam peraturan perundang-
undangan, baik dalam level undang-undang maupun di dalam peraturan
pelaksanaannya. Akibatnya struktur paradigma negara agraris bergeser ke arah
industrialisasi dengan kebijaksanaan negara di sektor pertambangan yang sangat
kapitalis (pemodal). Hal ini pada akhirnya menciptakan hegemoni penguasaan konsesi-
konsesi pertambangan oleh pengusaha asing multinasional atau transnasional.

Berdasarkan landasan Konstitusional (UUD NRI Tahun 1945) dan landasan Operasional
(UU Nomor 4 Tahun 2009 Jo. UU Nomor 3 Tahun 2020), Pertambangan adalah sebagian
atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka, pengelolaan dan pengusahaan mineral
atau batu bara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan,
konstruksi, penambangan, pengolahan dan/atau pemurnian atau pengembangan
dan/atau pemanfaatan, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pasca tambang.3

1
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara,
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2020 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara, Konsiderans menimbang huruf a.
2
Achmad Haris Januari, “Sistem Pembangunan Berkelanjutan Terhadap Tata Kelola Pertambangan,”
Jurnal Hukum dan Bisnis (Selisik) Vol. 1, No. 2 (2015): 46,
https://journal.univpancasila.ac.id/index.php/selisik/article/view/631.
3
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Pasal 1 angka
1.
Sedangkan penambangan adalah kegiatan untuk memproduksi mineral dan/atau batu
bara dan mineral ikutannya. Pertambangan mineral adalah pertambangan kumpulan
mineral yang berupa bijih atau batuan, di luar panas bumi, minyak dan gas bumi, serta
air tanah.

Indonesia merupakan negara yang paling kaya akan bahan galian. 4 Hasil survei tahunan
Price Waterhouse Cooper (PWC), ekspor produksi pertambangan menyumbangkan
11% nilai ekspor sejak tahun 2002, sementara sektor ini juga menyumbangkan 2,7%
dari produk domestik bruto (PDB) dan US$ 920 juta dalam pajak dan pungutan bukan
pajak bagi berbagai tingkat pemerintahan.
Sub sektor pertambangan mineral logam (nikel) merupakan salah satu dari sekian
banyak andalan penerimaan negara dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Kesejahteraan rakyat dapat dideskripsikan dengan pemenuhan kebutuhan dasar yaitu
kebutuhan bahan pokok sandang, pangan, papan (primer), kebutuhan tambahan
(sekunder) dan kebutuhan lengkap (tersier),5 sehingga kebahagiaan dapat tercapai.
Kebahagiaan membutuhkan lebih dari sekedar pemenuhan kebutuhan dasar sebab
kebutuhan manusia meski memiliki dasar yang sama namun tetap saja memiliki
keinginan yang berbeda yang disebut hierarki kebutuhan yaitu kenyamanan,
personalitas dan persamaan kasih sayang.

Negara menjamin setiap manusia atas hak-hak sosialnya dalam memenuhi kebutuhan
ekonominya, sehingga dapat dikatakan jika kesejahteraan itu dilihat dari
perkembangan ekonomi mayoritas masyarakat. Dasar-dasar kesejahteraan ini mencoba
untuk memenuhi tuntutan hierarki kebutuhan yang biasa disebut sebagai hak dasar
manusia.

Pengelolaan pertambangan mineral logam (nikel) memberi dampak positif bagi


masyarakat sekitar tambang berupa menciptakan lapangan kerja, meningkatkan
kesejahteraan dan kenyamanan bagi masyarakat sekitar tambang, dan sisi positif bagi
pemerintah daerah misalnya penerimaan daerah melalui dana bagi hasil yang
membawa kenaikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten
hingga milyaran rupiah.6 Namun, tidak dapat dipungkiri sisi negatif akibat aktivitas
tambang ini begitu besar dampak yang ditimbulkan termasuk kerusakan lingkungan.
Seperti: ditinggalkannya bekas galian tambang oleh perusahaan yang mengabaikan
kewajiban reklamasi dan pasca tambang; adanya korban jiwa akibat terjatuh di lubang
tambang yang tidak direklamasi; pembukaan wilayah tambang pada kawasan hutan,
dan terjadinya erosi, longsor dan banjir.

Selain permasalahan-permasalahan tersebut, di bidang pertambangan dalam


pengelolaannya sering kali pula timbul sengketa antara perusahaan dengan masyarakat

4
Bambang Prabowo Soedarso, “Potret Hukum Pertambangan di Indonesia dalam Era UU No. 4 Tahun
2009,” Indonesian Journal of International Law Vol. 6, No. 3 (April 30, 2009): 2,
https://scholarhub.ui.ac.id/ijil/vol6/iss3/6.
5
Rahmat Gunawijaya, “Kebutuhan Manusia dalam Pandangan Ekonomi Kapitalis dan Ekonomi Islam,” Al-
Maslahah Jurnal Ilmu Syariah Vol. 13, No. 1 (April 1, 2017),
http://jurnaliainpontianak.or.id/index.php/ Almaslahah/article/view/921.
6
Sahrina Safiuddin, Rizal Muchtasar, dan Heryanti, “Upaya Administratif sebagai Instrumen Mewujudkan
Penyelenggaraan Pemerintahan yang Baik Bagi Masyarakat,” Halu Oleo Law Review Vol. 6, No. 2
(September 28, 2022), https://holrev.uho.ac.id/index.php/journal/article/view/6.
sekitar (lingkar) tambang. Banyak perusahaan kurang memperhatikan kesejahteraan
masyarakat sekitar dalam bidang kesehatan, pendidikan, maupun perekonomian.

Kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat sekitar


diikutsertakan dalam pengelolaan pertambangan. Upaya pemberdayaan masyarakat
dapat dilihat dari 3 (tiga) sisi, yaitu: Pertama, menciptakan suasana atau iklim yang
memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enanbling); Kedua, memperkuat
potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowering); dan Ketiga, membedayakan
dalam arti pula melindungi. Pengembangan masyarakat merupakan upaya untuk
meningkatkan kualitas masyarakat yang bermukim di sekitar tambang sehingga mereka
mampu mengejar ketertinggalan dalam berbagai bidang kehidupan.

Secara normatif, kewajiban pengembangan masyarakat meliputi pengembangan


kualitas sumber daya manusia, kesehatan dan pertumbuhan ekonomi. Hal ini
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 huruf d UU Nomor 4 Tahun 2009, disebutkan
Pemegang IUP dan IUPK wajib, “melakukan pengembangan dan pemberdayaan
masyarakat setempat”, dan Pasal 10 ayat (4) Peraturan Menteri Energi dan Sumber
Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2012, disebutkan bahwa
“Pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat, optimalisasi pemanfaatan,
dan konservasi sumber daya mineral jenis timah aluvial, pemegang IUP atau IUPK yang
berbentuk BUMN atau BUMD dalam melaksanakan kegiatan penggalian endapan timah
aluvial dapat menyerahkan pekerjaannya kepada Perusahaan Jasa Pertambangan Lokal
dan/atau masyarakat sekitar tambang melalui p Penjelasan tersebut, seharusnya para
pelaku perusahaan tambang lebih memberdayakan masyarakat sekitar tambang untuk
terciptanya kemanfaatan bagi penduduk/masyarakat setempat. Namun dilihat dari
fakta yang ada, banyak dari perusahaan swasta tambang belum melakukan kegiatan
yang maksimal dalam pemberdayaan masyarakat sekitar tambang.

Beragam persoalan dan munculnya fenomena serta isu-isu kerusakan lingkungan


bahkan korban jiwa di wilayah bekas tambang memunculkan ketidakpercayaan pada
pemerintah untuk memenuhi kesejahteraan masyarakat. Fakta masyarakat di sekitar
tambang mengalami dampak aktivitas yang tidak sedikit termasuk nyawa, kerusakan
lingkungan dan dampak lainnya. Upaya pengelolaan usaha pertambangan yang telah
dipraktikkan ternyata belum mampu memenuhi prinsip-prinsip dasar kesejahteraan.
Program kemitraan, setelah mendapat persetujuan Menteri”.

Pengelolaan sumber daya alam mineral logam (nikel) hendaknya memenuhi nilai-nilai
keadilan bagi masyarakat. Dalam perspektif pengelolaan sumber daya alam mineral
logam (nikel) berkeadilan, perlindungan hukum diberikan kepada warga masyarakat
dan lingkungan hidup. Perlindungan terhadap lingkungan hidup dimaksudkan untuk
memberi keseimbangan dalam pemanfaatannya baik pengguna sumber daya alam
maupun masyarakat yang tidak ikut menikmati manfaat ekonomi atas pemanfaatan
sumber daya alam,7 mineral logam (nikel) tersebut. Oleh karena itu dalam pemanfaatan
kekayaan alam

7
Muhamad Muhdar, “Aspek Hukum Reklamasi Pertambangan Batubara pada Kawasan Hutan di
Kalimantan Timur,” Mimbar Hukum - Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Vol. 27, No. 3 (Februari
10, 2016): 473, https://jurnal.ugm.ac.id/jmh/article/view/15883.
untuk kesejahteraan rakyat, hendaknya berpijak pada nilai-nilai moral, hukum dan
agama. Moralitas dapat mengekang nafsu manusia untuk berbuat yang menyimpang
dari peraturan hukum.8

METODE PENELITIAN
Metode penelitian merupakan faktor penting dalam penelitian. Penelitian (research)
merupakan rangkaian kegiatan ilmiah dalam rangka pemecahan suatu permasalahan.
Penelitian ini merupakan penelitian normatif, yaitu penelitian hukum yang
menitikberatkan pada analisis peraturan perundang-undangan.

KEBIJAKAN HUKUM PENGELOLAAN USAHA PERTAMBANGAN DALAM


MENINGKATKAN KESEJAHTRAAN MASYARAKAT SEKITAN TAMBANG
Regulasi Kebijakan Perizinan Usaha Pertambangan Mineral Logam
Instrumen penting dalam kegiatan pengelolaan pertambangan mineral logam (nikel)
dalam memenuhi keadilan dan kesejahteraan masyarakat maka pemerintah membuat
instrumen guna pengendalian kegiatan tambang meliputi:

a. Instrumen Perizinan. Sebelum menguraikan instrumen perizinan usaha


pertambangan,9 terlebih dahulu diuraikan instrumen perizinan dari aspek hukum
administrasi. Izin adalah suatu instrumen hukum administrasi negara yang
dikeluarkan oleh pejabat tata usaha negara (Pejabat pemerintahan) berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang mendasarinya, guna mencegah dan
mengendalikan dampak perbuatan seorang individu atau badan hukum dengan
menaati persyaratan yang ditetapkan dalam pemberian izin. 10 Izin Usaha
Pertambangan (IUP) Operasi Produksi, sebagai pemberian izin sesuai IUP
Eksplorasi diterbitkan dan kegiatannya meliputi kegiatan, penambangan,
pengolahan dan/atau pemurnian atau pengembangan dan/atau pemanfaatan, serta
pengangkutan dan penjualan.
b. Pemanfaatan wilayah Eksplorasi dan wilayah Operasi Produksi. Dalam kaidah
pertambangan yang baik dengan memperhatikan wilayah eksplorasi dan Operasi
Produksi di wilayah lingkungan sekitar. Teknik usaha pertambangan yang baik
meliputi:
a. upaya pengelolaan lingkungan hidup, konservasi mineral dan batu bara, dan
teknik pertambangan yang sesuai dengan bidang usahanya; b. kewajiban untuk
mengangkat penanggung jawab operasional di lapangan. Tata kelola pertambangan
meliputi: a.

8
Ridwan, Dimyati Khudzaifah, dan Absori, “Relasi Hukum Dan Moral Sebuah Potret Antar Mazhab Dan
Konteks Ke-Indonesiaan,” in Prosiding Konferensi Nasional Ke- 3 Asosiasi Program Pascasarjana
Perguruan Tinggi Muhammadiyah Yogyakarta (APPPTM), 2009, 77.
9
Herman et al., “Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Penambangan Mineral di Kawasan Hutan
Tanpa Izin,” Halu Oleo Legal Research Vol. 4, No. 2 (2022), https://journal.uho.ac.id/index.php/
holresch/article/view/47.
10
Muh. Jufri Dewa, Hukum Administrasi Negara dalam Perspektif Pelayanan Publik (Yogyakarta: KBM
Indonesia, 2022), 30.
pengutamaan produk dalam negeri; b. pengutamaan tenaga kerja lokal; dan c.
pengoptimalan pembelanjaan lokal baik barang maupun jasa pertambangan.11

Kebijakan Pemerintah Dalam Pengelolaan Penutupan Lubang Tambang

Sumber daya alam mineral logam merupakan kekayaan alam yang dikuasai oleh negara.
Sebagai wujud tanggung jawab, pemerintah seharusnya melakukan perlindungan
hukum preventif terhadap pengelolaan (menimbun) lubang-luban tambang (eks
penambangan) dalam konsesi pertambangan yang menjadi kewenangan pemerintah
sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan, baik
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah provinsi. Dampak kebijakan perizinan
dan pengelolaan wilayah izin usaha pertambangan yang belum tepat menimbulkan
kondisi buruk seperti lubang-lubang bekas tambang yang berisi air beracun menjadi
lahan terbuka tanpa reklamasi.12

Kebijakan pemerintah pun dinilai tidak serius terhadap pengelolaan lubang tambang
yang dapat menimbulkan korban, seperti jatuhnya hewan ternak masyarakat ke dalam
lubang eks penambangan; karena penambangan dilakukan secara terbuka dan tidak ada
upaya melakukan penimbunan dan/atau reklamasi pada eks tambang. Akibat
pengabaian kewajiban reklamasi dan program CSR (Corporate Social Responsibility);
yaitu suatu konsep atau tindakan yang dilakukan di dunia usaha atau industri sebagai
rasa tanggung jawab terhadap kepentingan sosial dan lingkungan sekitarnya) yang
kurang tepat maka lubang tambang ini justru dimanfaatkan warga sekitar tanpa
mengindahkan bahaya terhadap nyawa mereka.

Program CSR (Corporate Social Responsibility) merupakan salah bentuk pemberdayaan


masyarakat lingkar tambang, hal ini dapat dilihat dari 3 (tiga) sisi, yaitu: Pertama,
menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang
(enabling); Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat
(empowering); dan Ketiga, memberdayakan dalam arti pula melindungi.13

Regulasi Kebijakan Reklamasi dan Pasca Tambang Mineral Logam

Keberlanjutan pengelolaan pertambangan mineral logam adalah reklamasi dan pasca


tambang. Reklamasi merupakan kegiatan yang dilakukan sepanjang tahapan usaha
pertambangan untuk menata, memulihkan, dan memperbaiki kualitas lingkungan dan
ekosistem agar dapat berfungsi kembali sesuai peruntukannya; sedangkan kegiatan
Pasca tambang adalah kegiatan terencana, sistematis, dan berlanjut setelah sebagian
atau seluruh kegiatan usaha pertambangan untuk memulihkan fungsi lingkungan alam
dan fungsi sosial menurut kondisi lokal di seluruh wilayah penambangan.

Kebijakan pengelolaan pertambangan mineral logam pada hakikatnya harus


dilaksanakan dengan memperhatikan kaidah pertambangan yang baik (good mining)
agar tidak
11
Ahmad Redi, dkk, dalam Aullia Vivi Yulianingrum, “Kebijakan Pengelolaan Pertambangan Batu Bara
Berbasis Kesejahteraan Profetik” (Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2021), 7.
12
Ibid.
13
Gunawan Sumodiningrat, Pemberdayaan Masyarakat & Jaring Pengaman Sosial (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1999), 10.
menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan, terutama gangguan keseimbangan
permukaan tanah yang cukup besar seperti penurunan produktivitas lahan, tanah
bertambah padat, erosi, sedimentasi, gerakan tanah, longsor, terganggu flora dan fauna,
dan kesehatan masyarakat serta perubahan iklim.14 Untuk itu kegiatan reklamasi dan
pasca tambang yang tepat, terintegrasi harus dilakukan sedini mungkin tanpa
menunggu proses pertambangan secara keseluruhan selesai dilakukan.

Untuk mewujudkan hakikat kebijakan pengelolaan pertambangan mineral logam


diperlukan penegakan hukum reklamasi dan pasca tambang oleh pemerintah Indonesia
berdasarkan UU Nomor 4 tahun 2009 Jo. UU Nomor 3 tahun 2020. Undang-undang ini
menyatakan dengan tegas sanksi terhadap pelaku usaha pertambangan mineral logam
untuk memberikan jaminan reklamasi dan menyerahkan dokumen rencana reklamasi
(RR) kepada pemerintah sebagai syarat mendapatkan Izin Usaha Pertambangan (IUP).
Peraturan pelaksanaan dari Undang-undang Mineral dan Batubara dituangkan dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 Tentang Reklamasi dan Pasca Tambang,
pada kegiatan usaha pertambangan Mineral dan Batubara.

Peraturan Pemerintah tentang reklamasi pada hakikatnya untuk menciptakan


pembangunan berkelanjutan dalam kegiatan usaha pertambangan mineral dengan
memperhatikan prinsip lingkungan hidup, transparansi dan partisipasi masyarakat.
Karena kegiatan pertambangan jika tidak dilaksanakan secara tepat dapat
menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan, terutama gangguan keseimbangan
permukaan tanah yang cukup besar. Dampak lingkungan akibat kegiatan pertambangan
antara lain; penurunan produksi lahan, tanah tambah padat, terjadi erosi dan
sedimentasi, terjadinya gerakan tanah atau longsoran, terganggunya flora dan fauna,
terganggunya kesehatan masyarakat, serta perubahan iklim mikro.15

Reklamasi pasca tambang dilakukan untuk mewujudkan restorasi, yaitu pengembalian


ekosistem yang pernah ada sebelum kegiatan penambangan dimulai; dan rehabilitasi
meliputi penciptaan lingkungan hidup yang baru. Selama proses ini, diperlukan suatu
kegiatan pemantauan dan pengelolaan jangka panjang untuk menilai efektivitas
reklamasi tersebut, mengidentifikasi tindakan-tindakan perbaikan yang diperlukan, dan
memantau proses yang sedang berlangsung seperti: pengaturan air atau buangan gas.
Situs pertambangan secara konvensional dikembalikan fungsi penggunaan lahannya
saat penambangan belum dilakukan, namun lahan tersebut juga dapat dikembangkan
menjadi kawasan rekreasi, sarana teknologi atau ilmu pengetahuan, atau untuk
pertanian seperti budidaya ikan. Demikian pula revegetasi kegiatan penanaman
kembali pohon-pohon yang pernah ada, dimana pohon-pohon tersebut ditebang atau
musnah karena adanya kegiatan pertambangan.

Efektivitas pengawasan pasca tambang mineral logam dinilai menjadi hal krusial tatkala
pengabaian reklamasi dan pasca tambang terus meningkat hal ini disebabkan karena
faktor:
14
OCollaghan, T., Patience is Virtue: Problems of Regulatory Governance in the Indonesian Mining Sector,
Resources Policy, h. 218-225
15
Ibid.,
Pertama, pemerintah dan otoritas daerah memiliki persepsi bahwa peranan otoritas
sebagai subordinasi kebijakan dibuat oleh pusat dan hanya bersifat prosedural semata;
Kedua; minimnya pertimbangan yang dibangun untuk keberpihakan pada lingkungan
serta pada masyarakat. Imbasnya adalah persoalan lingkungan, seperti pencemaran dan
kerusakan lingkungan akan melahirkan terbatasnya akses dalam pemenuhan
kebutuhan kesehatan masyarakat.

KONSEP PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL LOGAM BERBASIS


KESEJAHTERAAN MASYARAKAT SEKITAR TAMBANG
Kebijakan Pengelolaan Pertambangan Mineral Logam (Nikel) Untuk
Kesejahteraan Masyarakat
Konsep pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup diperkirakan sudah ada
dan setua umur peradaban manusia. Kisah bahtera Nabi Nuh As (Noah’s Ark) oleh
sebagian kalangan dianggap sebagai awal mula konsep perlindungan alam untuk
kesejahteraan manusia. Pengelolaan pertambangan mineral logam di Indonesia
merupakan bagian penting dari agenda pemerintah untuk mengembangkan ekonomi
nasional. Kebijakan yang diterapkan salah satunya dengan menerbitkan regulasi
tentang pengelolaan sumber daya alam khususnya mineral logam. Agenda pemerintah
dipahami sebagai hal-hal yang mendapat perhatian serius dari penguasa selama jangka
waktu tertentu.16

Fokus utama kebijakan pengelolaan pertambangan mineral logam adalah pengumpulan


devisa sebesar-besarnya melalui investasi dan ekspor mineral logam mentah yang
kemudian disadari oleh Pemerintah Pusat sebagai penyebab banjir besar dan kerusakan
lingkungan lainnya yang begitu cepat. Konsep penguasaan yang pengusahaan negara
atas kekayaan alam berdasarkan tafsiran Mahkamah Konstitusi tentang makna
“dikuasai oleh negara” berarti negara sebagai regulator, fasilitator, dan operator yang
secara dinamis menuju negara hanya sebagai regulator dan fasilitator. Makna dikuasai
oleh negara adalah rakyat secara kolektif memberi mandat kepada negara untuk
mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan
(regelendaad), pengelolaan (behhersdaad) dan pengawasan (toezichthoudendaad) untuk
tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.17

Pemerintah harus menjadi pengawas dan pengatur dengan berpedoman pada


keselamatan rakyat. Semakin besar perusahaan dan semakin banyaknya jumlah orang
yang menggantungkan dasar hidupnya karena semakin besar mestinya penyertaan
pemerintah. Makna lainnya adalah tanah air haruslah di bawah kekuasaan negara dan
perusahaan tambang yang besar dijalankan sebagai usaha negara.

16
Solichin Abdul Wahab, Analisis Kebijakan: Dari Formulasi ke Penyusunan Model-Model Implementasi
Kebijakan Publik (Jakarta: Bumi Aksara, 2021), 42–43.
17
Muhammad Faz, “Politik Hukum Pengaturan Pasal 33 UUD 1945 (Studi Hermeneutika Hukum Terhadap
Klausula ‘Dikuasai oleh Negara’ dalam Pasal 33 UUD 1945 Sebelum dan Setelah Amandemen)”
(Universitas Islam Indonesia, 2017), 22.
Untuk memenuhi tujuan kesejahteraan masyarakat sebagaimana tercantum dalam Pasal
33 UUD NRI Tahun 1945, maka pemerintah dapat membuat rumusan kebijakan
pengelolaan pertambangan mineral logam didasarkan pada peraturan hukum yang
memadukan antara hukum positif dan nilai etik propetik, yaitu kebijakan pengelolaan
pertambangan mineral logam yang didasarkan pada prinsip transenden berupa
keimanan kepada Allah yang menempatkan alam sebagai prioritas tertinggi, tidak hanya
mengejar keuntungan dan kebahagiaan duniawi melainkan memberi perlindungan
terhadap agama, jiwa, akal, harta, keturunan dan kehormatan sebagai upaya mencapai
kesejahteraan esensial sebagai amanah konstitusi.

Adapun alasan mengapa Undang-undang Sumber Daya Alam sering acapkali mengalami
konflik (tumpang tindih) dan belum menempatkan nilai demokrasi materiil, karena: a.
pemenuhan perpaduan terhadap prinsip pengelolaan sumber daya alam-lingkungan
hidup sangat minim dan acapkali kontradiktif; b. terdapat perbedaan muatan
pengaturan (konflik/tumpang tindih); c. Mahkamah Konstitusi mengatur batasan dan
cakupan materi muatan, memberikan pemaknaan baru terhadap norma, menerangkan
keberlakuan asas dan norma; dan d. Koherensi lex generalis dan lex specialis tidak
terlalu terlihat. Mengingat lex specialis jarang merujuk lex generalis-nya. Kelemahan
kebijakan pengelolaan pertambangan mineral logam tidak pada an sich substansi,
hubungan antara pusat dan daerah, sarana dan prasarana bahkan substansinya, tetapi
terkait pemanfaatan sumber daya alam untuk kesejahteraan harus berpijak pada nilai-
nilai moral, hukum tertulis atau hukum yang hidup dalam masyarakat.

Kelemahan Kebijakan Pengelolaan Pertambangan Mineral Logam


Salah satu upaya dalam rangka memenuhi kesejahteraan masyarakat (welfare state)
adalah melalui pembangunan di bidang lingkungan hidup dengan pengelolaan
pertambangan yang di dalamnya terdapat aneka ragam sumber daya alam. Hal terburuk
dalam pengelolaan pertambangan yakni terjadinya pemanfaatan secara berlebihan
sehingga mengakibatkan pencemaran dan perusakan lingkungan, sehingga dalam
pengelolaan dan pemanfaatan lingkungan harus tetap dibatasi oleh hak setiap orang
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Dalam kaitannya dengan otoritas,
konsekuensi dari negara yang mengedepankan hukum dan kesejahteraan maka negara
diberikan tanggung jawab dalam upaya mencapai kesejahteraan masyarakat termasuk
perlindungan dan pengelolaan lingkungan.

Strategi untuk menyelamatkan pelestarian lingkungan, kepentingan masyarakat


setempat dan pembiaran mineral untuk generasi yang akan datang menjadi nihil.
Pemerintah justru terus menerus memberikan izin kepada perusahaan pertambangan
asing atau swasta maupun nasional. Kontribusi industri pertambangan untuk negara
sangat rendah, tetapi industri pertambangan ini masih sangat menjadi primadona bagi
negara. Meskipun pertambangan merupakan suatu usaha yang sifat kegiatannya selalu
menimbulkan perubahan pada alam lingkungan sekitar. Akibat dari itu lahirlah regulasi
tentang pertambangan mineral dan batu bara, dengan tegas menyatakan pengelolaan
pertambangan mineral dan batu bara akan menjadi wewenang pemerintah pusat. Hal
ini disebabkan oleh
beberapa faktor: Pertama, pihak negara asing yang membutuhkan impor batu bara
dalam bentuk produk mentah. Imbasnya adalah sisa wilayah produktivitas kawasan non
tambang menjadi kurang produktif dan kurang ekonomis serta belum optimalnya
pemanfaatan lahan bercadangan karbon rendah, utamanya untuk kehutanan dan
perkebunan, serta belum maksimalnya produktivitas pertanian tanaman pangan dan
hortikultura, peternakan dan perikanan; Kedua, minimnya industri hilir pemanfaatan
lahan untuk distribusi hasil pertanian dalam arti luas dan belum tersedianya sentra
industri perikanan sebagai daerah pesisir pantai; Ketiga, ketimpangan pembangunan
antar wilayah masih menjadi masalah dalam kegiatan ekonomi. Kesenjangan
pembangunan antar kabupaten dalam wilayah provinsi Sulawesi Tenggara, relatif masih
tinggi. Pembangunan yang dilakukan di suatu wilayah tidak selamanya dapat dinikmati
secara merata oleh seluruh lapisan masyarakat karena peningkatan pembangunan
daerah tidak selalu disertai dengan peningkatan pendapatan penduduk secara merata.
Keempat, perbedaan pendapatan untuk pembiayaan pendidikan, dan berbagai modal
lainnya. Salah satu alat ukur yang dapat digunakan untuk melihat kesenjangan
pendapatan penduduk adalah rasio Gini.

Kesejahteraan masyarakat di sekitar tambangan dalam kaitannya dengan pengelolaan


pertambangan mineral logam belum menunjukkan adanya dampak positif yang
signifikan peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat atau sekitar tambang.
Apalagi dengan diberlakukannya UU Nomor 3 Tahun 2020 Tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara, terjadi degradasi kewenangan pemerintahan daerah terhadap
asas desentralisasi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 18 UUD NRI Tahun
1945 dibidang pengelolaan pertambangan. Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 3
Tahun 2020, ayat (1) Mineral dan Batubara sebagai sumber daya alam yang tak
terbarukan merupakan kekayaan nasional dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar
kesejahteraan rakyat; ayat (2) Penguasaan mineral dan batu bara oleh negara
diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat sesuai dengan ketentuan undang-undang.
Dengan diberlakukannya UU Nomor 3 Tahun 2020, maka terjadi degradasi kewenangan
pemerintah daerah di bidang pengelolaan pertambangan, dari desentralisasi
Pemerintah Kabupaten/Kota dan Pemerintah Provinsi menjadi sentralisasi Pemerintah
pusat, dengan sendirinya kesejahteraan masyarakat setempat atau masyarakat sekitar
tambangan kurang perhatian pemerintah karena penentu dan pengambil kebijakan
pertambangan ada pada pemerintah pusat dan kurang mengetahui serta memahami
kondisi masyarakat sekitar tambang. Hal tersebut, merupakan salah satu ciri negara
sentralistis.

Konsep Kesejahteraan dalam Kebijakan Pengelolaan Pertambangan Mineral


Logam
Konsep kesejahteraan esensial merupakan hal yang penting pada bagian cita hukum
bangsa. Karena Negara Indonesia dalam tujuan bernegara selalu menggunakan
“perlindungan, kesejahteraan, mencerdas- kan, dan ikut aktif dalam perdamaian”.
Tujuan negara tersebut sebenarnya sudah gamblang pada dasar negara yaitu Pancasila
yang berbasis Ketuhanan, Kemanusian, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan. Namun
dalam pengelolaan kenegaraan, Negara Indonesia tidak bisa lepas pada keterkaitan
dengan era globalisasi yang memiliki
pandangan serupa dan tidak. Negara Indonesia dalam hubungan dengan negara lain
tidak terlepas pada sektor apa pun termasuk sumber daya alam dan ekonomi.

Untuk itu, pengelolaan sumber daya alam berbasis pada konsep kesejahteraan
merupakan hal yang penting pada bagian cita hukum bangsa. Mengingat mineral logam
sebagai kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi merupakan sumber daya alam
yang tidak terbarukan, pengelolaannya dilakukan seoptimal mungkin, efisien,
transparan, berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan, serta berkeadilan agar
memperoleh manfaat sebesar-besar bagi kesejahteraan masyarakat secara
berkelanjutan. Menurut Bagir Manan, memaknai Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945,
“Hak menguasai negara” yang didasarkan atas konstitusi tersebut “dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Kedua kaidah tersebut tidak dapat dipisahkan
satu sama lainnya, keduanya merupakan satu-kesatuan yang sistematik. Jadi hak
mengusai negara bersifat instrumental; sedangkan dipergunakan sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat merupakan suatu tujuan (objectives). Untuk itu, Negara mempunyai
kewajiban sebagai berikut:18 Pertama, segala bentuk pemanfaatan (bumi dan air) serta
hasil yang didapat (kekayaan alam), harus secara nyata meningkatkan kemakmuran dan
kesejahteraan masyarakat; Kedua, melindungi dan menjamin segala hak- hak rakyat
yang terdapat di dalam atau di atas bumi, air, dan berbagai kekayaan alam tertentu yang
dapat dihasilkan secara langsung atau dinikmati langsung oleh rakyat; Ketiga, mencegah
segala tindakan dari pihak mana pun yang akan menyebabkan rakyat tidak mempunyai
kesempatan atau akan kehilangan haknya dalam menikmati kekayaan alam.

Telah diketahui bersama bahwa kepentingan kontraktor pertambangan umum adalah


profit oriented, namun juga dibebani tanggung jawab community development, tanggung
jawab sosial perusahaan pertambangan umum, termasuk pertambangan mineral logam,
berdasarkan ketentuan kontrak karya; sedangkan pemerintah di lain pihak
berkepentingan dengan adanya kepastian revenue/pemasukan dari bagian pemerintah
(government take) atas hasil dari produk pertambangan baik dari pajak maupun royalty,
deadrent (iuran tetap)/iuran produksi, maupun pajak dari perusahaan jasa
pertambangan, guna memenuhi pemasukan untuk anggaran pendapatan belanja negara
di pusat maupun pemasukan asli pemerintah daerah sebagai tanggung jawab publik dan
melaksanakan amanah untuk menyejahterakan masyarakat, sesuai dengan Pasal 33
ayat (3) UUD NRI Tahun 1945.

Pengelolaan pertambangan mineral dan batu bara dilakukan bersama antara


pemerintah pusat, pemerintah daerah dan pengusaha atau pelaku usaha; di samping itu
badan usaha, koperasi dan perusahaan perseorangan atau masyarakat lokal juga diberi
kesempatan untuk melakukan usaha pertambangan sesuai dengan izin yang telah diatur
dalam peraturan perundangan-undangan. Artinya, bahwa pengelolaan pertambangan
mineral logam idealnya mewujudkan keadilan sosial yang mengupayakan adanya akses
kesejahteraan pada suatu struktur kemasyarakatan yang menjadi dasar terlaksananya
keadilan ekologi. Seperti, jika ada tatanan kemasyarakatan yang berkeadilan sosial
maka jenis keadilan ekologi yang
18
Bagir Manan, Beberapa Catatan atas Rancangan Undang-Undang tentang Minyak dan Gas Bumi
(Bandung: Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, 1999), 2.
melestarikan sumber daya alam yang kritis (critical natural capital) demi kesejahteraan
manusia lewat upaya perbaikan, penggantian, atau perlindungan akan terwujud.

Kaitan antara keadilan sosial dengan keadilan ekologi yang menarik adalah pendapat
Andrew Dobson19 menghubungkan dengan pandangan etika biosentrisme yang
dikemukakan oleh Sonny Keraf, bahwa manusia hanya bisa hidup dan berkembang
sebagai manusia utuh tidak hanya dalam komunitas sosial saja, tetapi juga dalam
komunitas ekologi, yaitu makhluk yang hidupnya tergantung dari dan terkait erat
dengan semua kehidupan lain di alam semesta. Dengan kata lain manusia sebagai
makhluk sosial tidak akan lepas dalam perannya juga sebagai makhluk ekologi.
Kehidupan manusia tidak saja ditentukan oleh komunitas sosialnya, tetapi juga
komunitas ekologi, yaitu makhluk yang kehidupannya tergantung dari dan terkait erat
dengan semua kehidupan lain di alam semesta.

Keadilan sosial dan keadilan ekologi dalam kaitannya dengan pengelolaan


pertambangan mineral logam pada intinya adalah terciptanya keseimbangan sosial dan
lingkungan hidup dalam terciptanya kemakmuran rakyat. Kemakmuran rakyat dapat
diartikan sebagai kebahagiaan rakyat, sebagaimana dikemukakan oleh Satjipto
Rahardjo, bahwa hukum itu dibuat untuk menyejahterakan rakyat, bukan malahan
menyengsarakan rakyat. Namun, dalam kenyataan keberadaan usaha atau kegiatan
pertambangan masyarakat setempat di sekitar lokasi penambangan, bukannya
mendapatkan kebahagiaan dan kesejahteraan, malah mendapatkan dampak dari
kegiatan penambangan, seperti: debu pada musim kemarau, banjir dan longsor pada
musim hujan dan menyebabkan kehilangan lahan pertanian, ternak dan lainnya.

Untuk itu, pengelolaan pertambangan mineral logam seharusnya mengedepankan


kearifan lokal masyarakat setempat (masyarakat sekitar lokasi pertambangan), dimana
terdapat hubungan timbal balik antara manusia dengan alam dalam pengelolaan
lingkungan (participerend cosmisch). Melihat karakteristik hukum di bidang sumber
daya alam, khususnya pertambangan, hukum yang hidup (the living law) menjadi bagian
dari sistem hukum nasional Indonesia yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Nilai
atau kearifan lokal diintegrasikan ke dalam desain unifikasi hukum/kebijakan
pengelolaan pertambangan nasional.

KESIMPULAN
Kebijakan hukum pengelolaan usaha pertambangan mineral logam harus didasarkan
pada 4 pilar utama, yaitu kebijakan tata kelola yang demokratis, menggunakan standar
kinerja tata kelola pemerintahan yang baik, mewujudkan keadilan sosial, dan konsisten
dalam pengawasan dan penegakan hukum. Pengelolaan pertambangan mineral logam
harus dilakukan dengan memperhatikan kaidah pertambangan yang baik dan
melakukan reklamasi dan pasca tambang yang tepat dan terintegrasi. Konsep
pengelolaan pertambangan mineral logam harus berbasis pada kesejahteraan
masyarakat sekitar
19
Andrew Dobson, “Justice and the Environment,” Justice and the Environment (Desember 3, 1998): 241.
tambang dan harus dilakukan melalui pendekatan konsepsional yang menghadirkan
kesejahteraan lahir dan batin. Pemerintah harus membuat kebijakan pengelolaan
pertambangan mineral logam berdasarkan peraturan hukum yang memadukan antara
hukum positif dan nilai kearifan lokal. Meskipun setiap aktivitas pertambangan,
perusahaan telah menjalankan program CSR, salah satu hal yang dapat meningkatkan
kesejahteraan keluarga adalah kesempatan mendapatkan pendidikan yang layak bagi
anak-anak melalui pemberian dana pendidikan berupa beasiswa dan keikutsertaan
dalam program community development yang dilaksanakan oleh perusahaan tambang.

DAFTAR PUSTAKA
Dewa, Muh. Jufri. Hukum Administrasi Negara dalam Perspektif Pelayanan Publik.
Yogyakarta: KBM Indonesia, 2022.

Dobson, Andrew. “Justice and the Environment.” Justice and the Environment (Desember
3, 1998).
Faz, Muhammad. “Politik Hukum Pengaturan Pasal 33 UUD 1945 (Studi Hermeneutika
Hukum Terhadap Klausula ‘Dikuasai oleh Negara’ dalam Pasal 33 UUD 1945
Sebelum dan Setelah Amandemen).” Universitas Islam Indonesia, 2017.
Gunawijaya, Rahmat. “Kebutuhan Manusia dalam Pandangan Ekonomi Kapitalis dan
Ekonomi Islam.” Al-Maslahah Jurnal Ilmu Syariah Vol. 13, No. 1 (April 1, 2017).
http://jurnaliainpontianak.or.id/index.php/Almaslahah/article/view/921.
Herman, Oheo Kaimuddin Haris, Sabrina Hidayat, Handrawan Handrawan, Heryanti
Heryanti, dan M. Fadli Masulili. “Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana
Penambangan Mineral di Kawasan Hutan Tanpa Izin.” Halu Oleo Legal Research
Vol. 4, No. 2 (2022). https://journal.uho.ac.id/index.php/holresch/article/
view/47.
Januari, Achmad Haris. “Sistem Pembangunan Berkelanjutan Terhadap Tata Kelola
Pertambangan.” Jurnal Hukum dan Bisnis (Selisik) Vol. 1, No. 2 (2015).
https://journal.univpancasila.ac.id/index.php/selisik/article/view/631.
Manan, Bagir. Beberapa Catatan atas Rancangan Undang-Undang tentang Minyak dan
Gas Bumi. Bandung: Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, 1999.
Muhdar, Muhamad. “Aspek Hukum Reklamasi Pertambangan Batubara pada Kawasan
Hutan di Kalimantan Timur.” Mimbar Hukum - Fakultas Hukum Universitas
Gadjah Mada Vol. 27, No. 3 (Februari 10, 2016), hal. 472.
https://jurnal.ugm.ac.id/ jmh/article/view/15883.
Ridwan, Dimyati Khudzaifah, dan Absori. “Relasi Hukum Dan Moral Sebuah Potret Antar
Mazhab Dan Konteks Ke-Indonesiaan.” In Prosiding Konferensi Nasional Ke- 3
Asosiasi Program Pascasarjana Perguruan Tinggi Muhammadiyah Yogyakarta
(APPPTM), 2009.
Safiuddin, Sahrina, Rizal Muchtasar, dan Heryanti. “Upaya Administratif sebagai
Instrumen Mewujudkan Penyelenggaraan Pemerintahan yang Baik Bagi
Masyarakat.” Halu Oleo Law Review Vol. 6, No. 2 (September 28, 2022).
https://holrev.uho.ac.id/index.php/journal/article/view/6.
Soedarso, Bambang Prabowo. “Potret Hukum Pertambangan di Indonesia dalam Era UU
No. 4 Tahun 2009.” Indonesian Journal of International Law Vol. 6, No. 3 (April 30,
2009). https://scholarhub.ui.ac.id/ijil/vol6/iss3/6.
Sumodiningrat, Gunawan. Pemberdayaan Masyarakat & Jaring Pengaman Sosial. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1999.
Wahab, Solichin Abdul. Analisis Kebijakan: Dari Formulasi ke Penyusunan Model-Model
Implementasi Kebijakan Publik. Jakarta: Bumi Aksara, 2021.
Yulianingrum, Aullia Vivi. “Kebijakan Pengelolaan Pertambangan Batu Bara Berbasis
Kesejahteraan Profetik.” Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2021.

Anda mungkin juga menyukai