Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH HUKUM KEHUTANAN DAN PERTAMBANGAN

“TENTANG KEBIJAKAN PEMERINTAH INDONESIA TERHADAP


INDUSTRI TAMBANG DAN BATUBARA”

OLEH

ANSHELVY TRIANA ISMI : 16.11.1001.1011.039

AKAD EDI KURNIAWAN : 16.11.1001.1011.085

ARDI PURWANTO : 16.11.1001.1011.043

EDY SANTOSO : 16.11.1001.1011.006

NUR ANNISA : 16.11.1001.1011.005

UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945


FAKULTAS HUKUM
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa sebab atas segala rahmat, karunia, serta

taufik dan hidayah-Nya, makalah mengenai “Hukum Kehutanan dan Pertambangan” ini dapat

diselesaikan tepat waktu. Meskipun kami menyadari masih banyak terdapat kesalahan

didalamnya.

Kami sangat berharap dengan adanya makalah ini dapat memberikan manfaat dan

edukasi mengenai Hukum Kehutanan dan Pertambangan. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa

dalam pembuatan makalah ini masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan. Oleh karena

itu, kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk kemudian makalah kami ini dapat

kami perbaiki dan menjadi lebih baik lagi.

Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga makalah ini dapat bermanfaat. kami juga

yakin bahwa makalah kami jauh dari kata sempurna dan masih membutuhkan kritik serta saran

dari pembaca, untuk menjadikan makalah ini lebih baik ke depannya.

Samarinda, 05 Desember 2019

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Pembangunan industri pada sektor usaha bidang pertambangan batubara adalah suatu upaya
pemerintah dalam meningkatkan devisa negara dan bila ditinjau dari segi pola kehidupan
masyarakat sangat berhubungan langsung dengan peningkatan kebutuhan barang dan jasa,
pemakaian sumber-sumber energi, dan sumber daya alam. Penggunaan sumber daya alam secara
besarbesaran tanpa mengabaikan lingkungan dapat mengakibatkan berbagai dampak negatif yang
terasa dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Pembangunan berkelanjutan
merupakan suatu upaya dan pendekatan dalam pemanfaatan sumber daya alam yaitu suatu
pembangunan yang berusaha memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengurangi
kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka. Sebagaimana dikemukakan
oleh Hadi (2001) menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan secara implisit juga
mengandung arti untuk memaksimalkan keuntungan pembangunan dengan tetap menjaga kualitas
sumber daya alam.Pengelolaan lingkungan bagi industri di bidang usaha tambang batubara
merupakan hal terpenting dari suatu kegiatan usaha yang harus dilakukan agar industri tetap
berjalan dan berkelanjutan. Pembangunan industri yang berkelanjutan mencakup tiga aspek yaitu
lingkungan (environment), ekonomi (economy) dan sosial/ kesempatan yang sama bagi semua
orang (equity) yang dikenal sebagai 3E. Aspek lingkungan tidak berdiri sendiri namun sangat
terkait dengan dua aspek lainnya. Dalam kegiatan internal industri, peluang untuk memadukan
aspek lingkungan dan ekonomi sangat besar, tergantung cara mengelola lingkungan dengan bijak
dan menguntungkan. Faktor sosial yang sebagian besar menyangkut masyarakat sekitar atau di
luar industri juga sangat terkait dalam pengelolaan lingkungan.
Kaitan aspek lingkungan dengan ekonomi dan sosial dalam kegiatan industri tambang batubara
merupakan hal pokok dalam menjaga dan meningkatkan kualitas kesehatan dan keselamatan
masyarakat sekitar. Untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia dan meningkatkan kualitas
kehidupan, dengan meminimalkan pemakaian sumber daya alam dan bahan-bahan beracun,
memperkecil timbulan limbah dan pencemar selama daur hidup produk sehingga tidak
mengorbankan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhannya (Purwanto, 2005).

Menurut Syafrudin (2005) dampak pencemaran terhadap badan air yang dihasilkan dari limbah
industri, dapat diklasifikasikan sebagai berikut

 Zat organik terlarut


 Zat Padat tersuspensi
 Nitrogen dan phosphor
 Minuman dan bahan-bahan terapung
 Logam berat cyanida dan racun organic
 Warna kekeruhan
 Organic tracer
 Bahan yang tidak mudah mengalami dekomposisi biologis (refactory subtances)

Bahan yang mudah menguap (volatile materialis).


Sistem Manajemen Lingkungan (SML) yang efektif menyediakan kerangka kerja dan proses yang
terorganisir yang mengintegrasikan perencanaan, pelaksanaan, tindakan perbaikan dan tinjauan
pengelolaan. Sistem Manajemen Lingkungan menyediakan detail-detail spesifik dan instruksi-
instruksi yang berhubungan dengan struktur organisasi, personalia, prosedur, pelatihan dan
penelitian yang kesemuanya memainkan peran dalam mengontrol dan meminimalkan dampak
negatif akibat operasional pabrik pada lingkungan (Soetrisnanto, 2005). Dalam pada itu menurut
Hadi (2005) sistem manajemen lingkungan (SML) telah secara luas diimplementasikan di dunia
industri. Meskipun sebagian motivasinya untuk memperoleh sertifikat dan kemudian menjadi
bagian dari promosi, tetapi SML bisa menjadi pendorong penaatan lingkungan (environmental
compliance) di dunia usaha. Pemerintah Daerah dapat memulainya dengan memahami bagaimana
fungsi SML, tantangan yang mereka hadapi dan mengembangkan komitmen untuk meningkatkan
kinerja lingkungan serta mencoba untuk mengimplementasikan SML dalam bagian kecil dari
organisasi mereka.

2. Tujuan dan Manfaat Penulisan


Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
a) Untuk mengetahui Undang-Undang pertambangan mineral dan batubara
b) Untuk mengetahui kebijakan pemerintah terhadap PETI
c) Untuk mengetahui bagaimana rencana kebijakan pemerintah terhadap sector pertambangan
sumber daya alam

3. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, dapat diajukan pertanyaan:

a) Bagaimanakah Undang-Undang pertambangan mineral dan batubara?


b) Bagaimanakah kebijakan pemerintah terhadap PETI?
c) Bagaimanakah rencana kekbijakan pemerintah terhadap sector pertambangan sumber daya
alam?
BAB II
PEMBAHASAN

1. Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara


Pemerintah Indonesia memandang bahwa pengusahaan batubara masih diperlukan untuk
menunjang pembangunan, sehingga pengembangan tambang batubara masih akan terus berlanjut.
Pelaksanaan UU Mineral dan Batubara yang baru ditujukan untuk mendorong realisasi hal itu. Di
bawah ini adalah poin – poin penting dalam UU tersebut:
 Selain menteri, penerbitan ijin pengusahaan batubara dapat dilakukan oleh gubernur,
bupati / walikota. (Menyesuaikan dengan otonomi daerah).
 Kewajiban meningkatkan nilai tambah hasil pertambangan di dalam negeri, dalam hal ini
adalah kewajiban membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian hasil tambang (Belum
ada kewajiban untuk membangun fasilitas prepasi batubara/coal preparation plant).
 Kewajiban bagi pengusaha pertambangan untuk melakukan pembangunan daerah
(community development) dan penanganan lingkungan yang terkait dengan pelaksanaan
pertambangan.
 Pemberian wewenang kepada pemerintah untuk mengatur jumlah produksi, volume
ekspor, serta harga batubara. Pemberlakukan kewajiban suplai untuk kebutuhan domestic
(Domestic Market Obligation / DMO) dan regulasi harga batubara (Indonesia Coal Price
Reference / ICPR).
 Ijin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang memprioritaskan BUMN dan perusahaan
dalam negeri untuk melakukan penambangan di Wilayah Pencadangan Negara (WPN)
diterbitkan oleh pemerintah pusat.
 Wewenang penyelidikan memasukkan unsur kepolisian dan pejabat publik. Aturan hukum
menjadi lebih keras, dari yang bersifat toleran menjadi lebih tegas, serta memungkinkan
hukuman pidana bagi badan hukum.

Pasal 76UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (“UU Minerba”)
menyatakan bahwa IUPK terdiri atas dua tahap:
 IUPK Eksplorasi meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan;
 IUPK Operasi Produksi meliputi kegiatan konstruksi, penambangan, pengolahan dan
pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan.
Selanjutnya diatur bahwa pemegang IUPK dapat melakukan sebagian atau seluruh kegiatan
pertambangan sebagaimana diatur di atas.
Pasal 77 UU Minerba mengatur bahwasetiap pemegang IUPK Eksplorasi dijamin untuk
memperoleh IUPK Operasi Produksi sebagai kelanjutan kegiatan usaha pertambangannya. IUPK
Operasi Produksi ini akan diberikan pada badan usaha berbadan hukum Indonesia yang telah
memiliki data hasil kajian studi kelayakan.

Pasal 49 Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara (“PP 23/2010”) mengatur bahwa IUP diberikan oleh Menteri,
gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya.

2. Kebijakan Pemerintah Terhadap PETI


Bagaimana Negara Mengatur Pertambangan Rakyat

Dibagian ini penulis ingin memaparkan secara singkat tentang pengaturan yang dilakukan negara
terhadap tambang-tambang rakyat. Pembahasan akan dibagi atas periode Kolonial Belanda dengan
Periode Republik Indonesia. Gambaran kedua periode tersebut, secara tidak langsung memberikan
gambaran kepada kita tentang perbandingan kedua masa tersebut. Dalam perbandingan tersebut,
terdapat perbedaan dan kesamaan-kesamaan dan jika menganalisis sampai pada tataran paradigma
pengaturan tambang rakyat pada kedua zaman ini, maka pembahasan tentang hubungan
masyarakat adat dengan Negara dalam pengelolaan SDA yang dipaparkan diatas akan menjadi
relevan.

A) Gambaran Singkat Politik Pertambangan Rakyat Masa Kolonial Belanda


Seperti yang kita ketahui, sejak tahun 1709, VOC telah mengadakan transaksi jual beli
dengan Sultan Palembang, yang kemudian ditindaklanjuti dengan penggalian timah di
pulau Bangka (1816), Pulau Belitung (1851), dan Pulau Singkep (1818). Pertambangan
Batubara di Indonesia pertama kali dilakukan oleh NV Oost Borneo Maatschapij pada
tahun 1849 di Pangaron, Kalimantan Timur. Pada tahun 1818 sebuah perusahaan swasta
Belanda melakukan kegiatannya di Pelereng, yang terletak 10 Km di tenggara Samarinda.
Pada tahun 1868-1873, dilakukan penyelidikan geologi di daerah Sungai Durian, Sumatera
Barat dan ditemukan suatu lapangan Batubara Ombilin yang potensial. Pada tahun 1892,
tambang batubara Ombilin di Sawahlunto mulai beroperasi bersamaan dengan selesainya
pembangunan kereta api pada tahun 1892.
Pada tahun 1899 pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan peraturan pokok
pertambangan diatur dalam Indonesische Mijwet tahun 1899 Staatsblad 241. Indonesische
Mijwet tahun 1899 Staatsblad 241 kemudian ditambah dan diubah pada tahun 1910, 1918
dan 1906. Pada masa itu pertambangan-pertambangan besar seperti pertambangan
Batubara
di Omblin dan pertambangan timah di Bangka dilakukan oleh negara. Tetapi pihak swasta juga
diberikan kesempatan untuk melakukan kegiatan pertambangan seperti pertambangan nikel di
Sulawesi Tenggara .

Dalam beberapa kejadian, ditingkatan tertentu pemerintah Kolonial Belanda mengikutsertakan


masyarakat adat dalam proses pertambangan. Pada satu sisi, pemerintah Kolonial Belanda
merupakan penjajah yang ingin mendapatkan keuntungan dari sumberdaya alam. Tapi disisi lain
pemerintah Kolonial Belanda tidak mau mengambil resiko dengan memasukkan secara paksa para
penambang dalam areal masyarakat adat.Terdapat kasus dimana pemerintah Kolonial Belanda
mewajibkan pengusaha pertambangan untuk mengikatkan diri dalam sebuah perjanjian dengan
masyarakat adat pemilik wilayah adat tersebut setelah sipengusaha mendapat konsesi
pertambangan dari pemerintah colonial Belanda. Salah satu contoh menarik adalah di Sawahlunto-
Sumatera Barat. Wilayah yang diperjanjikan ini kemudian berkembang menjadi wilayah
pertambangan PT. BA-UPO di Sawahlunto, Sumatera Barat.

Pada tanggal 27 Juli 1896 Emile Leunardus van Rouveroy van Nicuwaal, Asisten Residen Tanah
Datar yang sekaligus sebagai pelaksana tugas notaris keresidenan tersebut dan daerah Vord Vander
Capellen kedatangan tamu. Tamu tersebut terdiri dari seorang pengusaha warganegara Belanda
bernama Pieter Jacobus Scuuring bersama-sama dan Djaar Gelar Sutan Pamuncak, wakil dari
pangulu-pangulu suku di Laras Silungkang dengan didampingi.

Kedua orang berlainan bangsa ini menginginkan perjanjian yang mereka buat didaftarkan di
notaris. Perjanjian tersebut berupa perjanjian antara Masyarakat Adat Kelarasan Silungkang
dengan Pieter Jacobus Scuuring tentang pengusahaan batubara yang terdapat diwilayah
masyarakat adat ini. Pokok perjanjiannya adalah:

 Masyarakat adat Kelarasan Silungkang bersedia untuk menyerahkan pemanfaatan batubara


miliknya kepada Pieter Jacobus Scuuring dan akan menjaga keamanan usaha penggalian
batubara tersebut.
 Pieter Jacobus Scuuring akan memberikan 1/10 (sepersepuluh) dari keuntungan yang
didapat dalam mengusahakan pertambangan batubara tersebut kepada penduduk Kelarasan
Silungkang dan akan memberikan sejumlah uang kepada orang-orang yang terlibat dalam
perjanjian ini, dengan anggaran tidak lebih dari F. 4000 (empat ribu gulden) per tahunnya.
Perjanjian Pertambangan Batubara antara Masyarakat Adat Silungkang Pengusaha Belanda (Djaar
Sutan Pamuncak dengan Pieter Jacobus Scuuring).

 Pada saat yang bersamaan, dibanyak tempat banyak bertumbuhan pertambangan rakyat.
Tetapi belum banyak pengaturan terhadap penambang rakyat tersebut. Perijinan
pertambangan rakyat diberikan oleh penguasa setempat dengan cakupan bahan galian
seperti timah, emas dan intan. Khusus mengenai tambang intan, pemerintah kolonial
Belanda mengeluarkan Ordonantie tanggal 25 Nopember 1923 Staatblats 1923 No. 565
yang mencabut Ordonantie tanggal 7 Juni 1900 Staatblats 1900 No. 174 . Pengaturan ini
memuat ketentuan diantaranya: Pertambangan intan tanpa konsesi di Martapura dan
Pelaihari hanya boleh dilakukan oleh penduduk setempat.
 Bagi penambang yang menambang tanpa menggunakan mesin harus seijin residen dan
harus membayar f. 0, 5 per 6 bulan.
 Bagi penambang yang menambang dengan menggunakan mesin harus memperoleh ijin
menyewa dari Residen dan dikenai ongkos sewa sebanyak f. 0,4 per meter per tahun.
Penambang juga diwajibkan membuat batas wilayahnya dengan biaya sendiri.
 Bagi yang melakukan penambangan tanpa ijin dikenai hukuman kurungan 1 tahun dan
denda paling tinggi f. 100.

B. Gambaran Singkat Politik Pertambangan Rakyat Masa Negara Kesatuan Republik


Indonesia (NKRI)
Gambaran singkat tentang Politik Pertambangan Rakyat Masa Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) akan dimulai dengan pembahasan yang legendaris tentang dasar
justifikasi Negara (NKRI) dalam penguasaan dan pengelolaan sumberdaya alam
(pertambangan). Dasar justifikasi tersebut popular dengan sebutan Hak Menguasai Negara
(HMN).
Pembahasan tentang hak menguasai negara pada bagian ini sangatlah penting. Hak
Mengusai Negara merupakan dasar legitimasi konstitusional yang memberikan negara
kekuatan untuk mengatur, mengelola dan mengusahakan sumberdaya pertambangan.
Perdebatan tentang Hak Menguasai Negara (HMN) mendapat tempat yang lebar dalam
membahas hubungan Negara dan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam
(PSDA) di Indonesia termasuk didalamnya pertambangan. Banyak penulis yang konsernt
terhadap hak-hak masyarakat dalam PSDA, menggugat dan mempertanyakan kembali
dasar filosofis, sosiologis dan yuridis HMN. Gugatan ini timbul karena bias penguasaan
yang dilakukan oleh Negara (pemerintah) terhadap SDA, telah menimbulkan konflik-
konflik land tenure dan land use antara pemerintah dengan masyarakat.
HMN diadopsi dari dua akar konsep yaitu konsep Negara kesejahteraan dan konsep ulayat
yang dikenal dalam hukum adat. Sebagai kritik terhadap konsep Negara hukum klasik yang
dipengaruhi oleh paham liberalisme dan Negara hukum sosialis yang dipengaruhi oleh
paham marxisme . Dalam konsep Negara kesejahteraan (welfare state) Negara tidak
dipandang hanya semata sebagai alat kekuasaan saja, tetapi Negara juga mempunyai fungsi
sebagai alat pelayanan (an agency of service). Ciri-ciri Negara kesejahteraan ini adalah;
a. Mengutamakan hak social ekonomi masyarakat,
b. Peran eksekutif lebih besar dari legislative,
c. Hak milik tidak bersifat mutlak,
d. Negara tidak hanya sebagai penjaga malam (nachtwakerstaat) tapi juga terlibat dalam
usaha-usaha social maupun ekonomi,
e. Kaidah hukum administrasi semakin banyak mengatur social ekonomi dan membebankan
kewajiban tertentu kepada warga Negara,
f. Hukum public condong mendesak hukum privat, sebagai konsekuensi dari peran Negara
yang luas dan
g. Negara bersifat Negara hukum materil yang mengutamakan keadilan social yang materil.
Dengan pemahaman inilah, Negara mempunyai hak untuk ikut campur dalam
pertambangan.

Pasal 33 UUD 1945 memberikan gambaran bagaimana Indonesia mengadopsi kedua paham ini
dan pasal 33 UUD 1945 memberikan landasan yuridis bagi Pasal 2 UU No. 5 tahun 1960 yang
berbicara bertama kali tentang konseptualisasi HMN dalam tingkatan yang lebih teknis dalam
pengelolaan SDA. Pasal 33 UUD 1945 memberikan penekanan pada penguasaan Negara terhadap
Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sementara pasal 2 UU No. 5 Tahun 1960
lebih memperjelas ruang lingkup HMN tersebut yaitu;

a) Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan


bumi, air dan ruang angkasa tersebut,
b) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi,
air dan ruang angkasa dan
c) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-
perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa atau dalam kalaimat lain
dapat disimpulkan, komponen yang terkandung dalam HMN tersebut adalah kekuasaan
untuk mengatur (regelen), mengurus (bestuuren) dan mengawasi (toezicthouden).
Aturan pertambangan pertama yang diundangkan pada masa adalah UU No. 37 Prp Tahun 1960.
Pertambangan rakyat diatur dalam pasal 1 yang menentukan bahwa semua bahan galian yang
diusahakan oleh rakyat secara kecil-kecilan dengan alat-alat sederhana untuk pencaharian sendiri
menurut adat kebiasaan daerah atau diusahakan secara koperasi. Aturan selanjutnya yaitu
Keputusan Wakil Panglima Besar III Koti Operasi Ekonomi No.Kpts.20/WPB-KOTOE Tahun
1965 Tentang Peneriban Usaha-Usaha Dibidang Pertambangan Intan dan Bahan Galian lain Yang
Bersamaan Penguasaannya yang diikuti dengan Kepmen Pertambangan No. 206/M/Pertamb/65
Tentang Pelaksanaan Keputusan Wakil Panglima Besar III Koti Operasi Ekonomi
No. Kpts.20/WPB-KOTOE Tahun 1965 Peneriban Usaha-Usaha Dibidang Pertambangan Intan
Dan Bahan Galian lain Yang Bersamaan Penguasaannya. Ketiga ketentuan tersebut sangat
dipengaruhi oleh politik Berdiri di Kaki Sendiri (berdikari). Secara tersirat diketahui bahwa
keinginan pemerintah untuk menertibkan pertambangan rakyat adalah untuk mendapatkan
sejumlah uang iuran dari penambang-penambang rakyat. Persandingan bahasa penertiban dan
pembinaan tidak memberikan kesejukan terhadap pertambangan rakyat. Tidak terdapat catatan
yang pasti terhadap pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah pada masa itu. Pada tahun 1967
UU No. 11 tahun 1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan diundangkan. HMN
dinyatakan dengan tegas pada pasal 1 UU No. 11 tahun 1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pertambangan. Pasal 1 ini menyatakan bahwa semua bahan galian yang terdapat dalam wilayah
hukum pertambangan Indonesia yang merupakan endapan-endapan alam sebagai karunia Tuhan
Yang Maha Esa, adalah kekayaan Nasional bangsa Indonesia dan oleh karenanya dikuasai dan
dipergunakan oleh Negara untuk sebesar-besar kemakmuran Rakyat. UU No. 11 tahun 1967
mendevinisikan pertambangan rakyat sebagai Pertambangan Rakyat; adalah satu usaha
pertambangan bahan-bahan galian dari semua golongan seperti yang dilakukan oleh rakyat
setempat secara kecil-kecilan atau secara gotong-royong dengan alat-alat sederhana untuk
pencaharian sendiri. Pertambangan Rakyat bertujuan memberikan kesempatan kepada rakyat
setempat dalam mengusahakan bahan galian untuk turut serta membangun Negara di bidang
pertambangan dengan bimbingan Pemerintah. Pertambangan Rakyat hanya dilakukan oleh Rakyat
setempat yang memegang Kuasa Pertambangan (izin) Pertambangan Rakyat.
UU No. 11 Tahun 1967 dilaksanakan melalui PP No. 32 Tahun 1969. Dalam ketentuan ini
ditentuakn bahwa pertambangan rakyat dapat dilakukan setelah mendapat Surat Keputusan Izin
Pertambangan Rakyat yang dikeluarkan oleh menteri. Dimana Surat Keputusan Izin Pertambangan
Rakyat adalah Kuasa Pertambangan yang diberikan oleh Menteri kepada Rakyat setempat untuk
melaksanakan usaha pertambangan secara kecil-kecilan dan dengan luas wilayah yang sangat
terbatas.
Selanjutnya beberapa ketentuan dikeluarkan untuk mengatur pertambangan rakyat ini diantaranya
Kepmen Pertambangan No. 181/Kpts/M/Pertamb/69 tentang Tentang Pengaturan Pertambangan
Rakyat Untuk Bahan galian timah Putih di Riau Daratan, Kepmen Pertambangan No.
188/Kpts/M/Pertamb/1969 tentang Pengaturan Pertambangan Rakyat Untuk Bahan Galian Emas
Di Daerah Propinsi Bengkulu, Kepmen Pertambangan No. 77/Kpts/M/Pertamb/1973 tentang
Pengaturan Pertambangan Rakyat Untuk Bahan Galian Emas Di Daerah Bolaangmongondow
Propinsi Sulawesi Utara, Kepmen Pertambangan No. 763/Kpts/M/Pertamb/1974 tentang
Pengaturan Izin Pertambangan Rakyat Untuk bahan galian Kaolin Di Daerah Karaha kab. Tasik
Malaya Propinsi Jabar, Permen Pertambangan & Energi No. 01 P/201/M/PE/1986 Tentang
Pedoman Pengelolaan Pertambangan Rakyat Bahan Galian Strategis Dan Vital (Golongan A & B)

Dari semua ketentuan tersebut terdapat dapat ditarik catatan penting tentang kebijakan pemerintah
yaitu :

1) Berbagai pengaturan pertambangan rakyat dalam berbagai paraturan perundangan


memberikan pembatasan keleluasaan rakyat menambang.
2) Ketidakpastian usaha pertambangan rakyat karena kalau ada pemegang Kontrak Karya
atau kontrak pertambangan lain, maka penambang rakyat harus menyingkir.
3) Sedangkan untuk diareal yang ada Kontrak Pertambangannya tetap dibuka kemungkinan
pertambangan rakyat, dengan syarat adanya ijin pemegang kontrak pertambangan.
4) Penertiban dan pembinaan yang dilakukan oleh Negara dengan imbalan sejumlah
pungutan dari penambang. Meskipun pembinaan tersebut tidak jelas dan diserahkan
kepada pemda setempat.

Akibat dari berbagai kebijakan terhadap pertambangan rakyat tersebut, banyak pertambangan-
pertambangan dilakukan tanpa ijin (PETI). Kepala dinas Pertambangan Kalimantan selatan
menyebutkan Sepanjang tahun 1997-2000, tambang rakyat di Kalimantan Selatan berkembang
334 penambang tanpa ijin yang tersebar di 238 lokasi, mencakup 236 ha dengan memakai alat
berat . Sedangkan di Sumatera Barat, Kodya Sawahlunto sampai dengan tahun 2000 terdapat 2500
orang penambang liar . Sementara itu di Jambi, dikecamatan Palepat Kab. Bungo sampai tahun
2001 terdapat kurang lebih 500 orang penambang tanpa ijin . Di Kalimantan Selatan sampai tahun
2001 terdapat 6000 orang penambang emas tanpa ijin. Khalid Muhammad menulis bahwa
Stigmatisasi PETI (Pertambangan Tanpa Ijin) juga diberikan bagi para penambang emas yang rata-
rata dilakukan dengan skala kecil dan oleh masyarakat setempat ataupun pendatang dari daerah
sekitar lokasi bahan tambang, yang tergiur untuk mengadu nasip pada bahan tambang itu. Akhir-
akhir ini berbagai perhatian tertuju pada para penambang emas skala kecil, karena jumlah mereka
dari tahun ke tahun meningkat. Menurut data yang dikumpulkan oleh Pusat Pengembangan
Teknologi Mineral (PPTM), saat ini terdapat 77.000 operasi penambangan kecil yang
menghasilkan hampir semua mineral untuk kegiatan industri yang bernilai sekitar US $ 58 juta
pertahun. Rendahnya jumlah penambang skala kecil yang mendapat ijin dari pemerintah lebih
disebabkan oleh persoalan birokrasi yang rumit dan bertele-tele dalam memperoleh ijin
penambangan . Selain masalah-masalah tersebut, kebijakan yang mendahulukan pemegang
kontrak pertambangan daripada penambang rakyat, juga menui konflik. Salah satu kasus yang
terjadi yaitu konflik antara masyarakat adat daya Siang dengan PT. Indo Muro Kencana di Kab.
Barito Utara Kalimantan Selatan. Diatas areal adat dan areal penmbangan daya Siang pemerintah
menerbitkan Kontrak Karya atas nama PT. Indo Muro Kencana yang 100% sahamnya dimiliki
oleh Aurora Gold asal Australia. Areal kontrak karya PT. Indo Muro Kencana ini tumpang tindih
dengan wilayah pertambangan rakyat dan areal kawasan adat lainnya. Menghadapi masalah-
masalah PETI ini, pada tahun 2000 pemerintah mengeluarkan Inpres RI No. 3 Tahun 2000 Tentang
Koordinasi Penanggulangan Masalah Pertambangan Tanpa Izin. Namun demikian pelaksanaan
Inpres ini mendapat reaksi yang keras karena praktek dilapangan yang tidak sepatutnya. Reaksi
keras berdatangan salah satunya dari WALHI dan JATAM dalam siaran persnya tanggal 8 Juni
2000 .

Menakar Nasib Tambang Rakyat Dengan RUU Mineral dan Batubara


di sepanjang 2003 sampai dengan 2004 pemberitaan kasus-kasus dan pengaturan pertambangan di
Indonesia menyita perhatian pulik. Kelahiran Perpu No. 1 Tahun 2004 yang kemudian disyahkan
menjadi UU No. 19 Tahun 2004 memberikan warna tersendiri di pentas sejarah pertambangan.
Sementara itu, cakupan UU No. 11 Tahun 1967 mulai berkurang dengan lahirnya UU Migas dan
dilanjutkan dengan pembuatan RUU Mineral dan Batubara yang saat ini dibahas di DPR

Dalam Nota Keuangan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2005
Republik Indonesia pemerintah menyebutkan ;

“……….Dengan demikian, perkembangan penerimaan SDA pertambangan umum tersebut, pada


dasarnya dipengaruhi oleh empat faktor utama, yaitu tarif per jenis pertambangan, harga jual, luas
atau volume, dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Selain itu, faktor nonekonomi
yang diperkirakan berpengaruh terhadap perkembangan penerimaan SDA pertambangan umum
antara lain meliputi masalah keamanan di daerah daerah penambangan, yang rawan terjadi
penambangan tanpa ijin (Peti).
Dalam nota keuangan diatas, PETI mendapat tempat strategis dimata pemerintah sebagai salah
satu faktor yang menjadi penyebab meningkat atau menurunnya pendapatan negara dari sektor
pertambangan. Dengan kenyataan ini, dalam rencana kerja pemerintah tahun 2006, PETI menjadi
salah satu prioritas yang harus ditangani segera. Penetapan prioritas ini didasarkan pada pemikiran
sebagai berikut;

Persoalan yang masih belum dapat dituntaskan dan menjadi tantangan adalah kasus-kasus
pertambangan tanpa ijin (PETI). Luasnya dimensi ekonomi, hukum dan sosial dari kasus PETI ini
membuat penanganannya harus hati-hati.

Salah satu sasaran pembangunan tahun 2006 adalah berkurangnya PETI dengan kegiatan-kegiatan
Evaluasi, pengawasan, dan penertiban kegiatan rakyat yang berpotensi mencemari lingkungan
khususnya penggunaan bahan merkuri dan sianida dalam usaha pertambangan emas rakat
termasuk pertambangan tanpa ijin (PETI) dan bahan kimia tertentu sebagai bahan pembantu pada
industri kecil.

Sangat menarik melihat salah satu sasaran pembangunan pertambangan pada tahun 1996 tersebut.
Dimata pemerintah, PETI yang sebagian besar dilakukan oleh masyarakat menjadi sebuah masalah
yang cukup besar yang menyebabkan menurunnya pendapatan negara. Tentu pencantuman PETI
sebagai salah satu sasaran pembangunan pertambangan akan menimbulkan dampak yang serius
terhadap pertambangan-pertambangan rakyat. Karena sebagian besar pertambangan rakyat dalam
operasinya tidak memiliki ijin resmi dari pemerintah.

Jika kita melanjutkan penjelajahan, ada gelombang pertanyaan menyentak ketika membaca naskah
akademik RUU Minerba. Para penyusun naskah akademik ini mengkategorikan PETI yaitu PETI
versi baru dan PETI versi lama (tradisional). PETI versi baru dicirikan dengan adanya penyandang
dana (cukong) dan kadang-kadang oknum aparat sebagai backing, serta operasi dengan modus
operandi memperalat kalangan masyarakat bahwa menjadi “korban” pembangunan, ini, yang
didalamnya terlibat masyarakat pendatang, serta dibawah perlindungan backing ternyata menjadi
kekuatan yang dahsyat dalam menumbuhkan PETI versi baru. PETI ini menimbulkan masyalah
yaitu 1) merugikan negara, berupa kehilangan pendapatan negara dari sektor perpajakan, merusak
dan mencemari lingkungan, 3) melecehkan hukum. Masalah-masalah ini diikuti dengan masalah
lain yaitu, kecelakaan tambang, iklim usaha yang tidak kondusif, praktek percukongan,
premanisme dan prostitusi .
Terjadi generalisasi pandangan terhadap kedua jenis PETI (versi lama dan baru). Tidak ada
pembahasan lebih jauh terhadap PETI versi lama (tradisonal) yang sebagian besar adalah
penambang-penambang tradisi seperti yang diungkap pada bagian-bagian awal makalah ini.
Persoalan-persoalan yang timbul dan menghadapkan negara dengan penambang rakyat / PETI
versi lama (tradisonal) yang seringkali tergusur ketika wilayah penambangannya ditimpa oleh
kontrak-kontrak penambangan besar, seperti dilupakan. Sehingga dengan paradigma seperti ini,
maka perlakukan terhadap PETI versi baru dengan versi lama akan sama.

Dalam tingkatan tertinggi, terdapat upaya untuk mendorong wacana tentang HMN dan pengakuan
negara atas hak ulayat masyarakat adat kearah yang lebih menguntungkan pihak pertambangan.
UU No. 5 Tahun 1960 (UUPA) dianggap oleh para pembuat naskah akdemik ini menjadi sebuah
hambatan bagi perkembangan pertambangan khususnya pengaturan Hak Mengusai Negara yang
tidak berarti dimiliki (penjelasan umum angka I), pengakuan hak ulayat (Pasal 3 UUPA) dan
kedudukan sederajat hak atas tanah (Pasal 40) .

Jika dianalisa lebih mendalam, dari pokok-poko pemikiran yang tertuang dalam naskah akademik
RUU Minerba, terdapat upaya terselubung untuk semakin memperkuat kekuasaan negara atas
sumberdaya pertambangan. Terdapat keinginan untuk mendorong hak-hak pertambangan
memiliki posisi yang lebih tinggi dari hak-hak atas tanah, salah satunya hak ulayat. Akan tetapi
logika HMN yang ditawarkan oleh naskah akademi RUU minerba menjadi inkonsisten dengan
tawaran yang dimunculkan pada pasal pengusahaan sumberdaya mineral dan batubara.
Pembahasan ini akan relefan untuk menjawab pertanyaan mengapa negara bisa melakukan
kontrak-kontrak pertambangan yang menjadi ranahnya hukum private. Tetapi wacana ini justru
dijawab dengan mekanisme perinjinan .

Kampanye intensif tentang perusakan lingkungan yang dilakukan oleh tambang rakyat, meskipun
mengandung beberapa kebenaran, sebaliknya kesan yang kuat muncul menunjukkan kurangnya
perhatian dan orientasi pembinaan terhadap mereka. Jika keseriusan pembinaan terhadap
pertambangan rakyat ada dan orientasi pengembangan pertambangan membuka kesempatan yang
luas dan setara terhadap penambangan rakyat, maka kita dapat belajar dari pengalaman negara-
negara lain seperti Bolivia dalam memperlakukan tambang emas rakyat. Untuk memperbaiki
kualitas lingkungan pada pertambangan emas rakyat skala kecil, pemerintah Bolivia mengadakan
perjanjian dengan pemerintah Swiss untuk menjalankan Program Manajemen Lingkungan Hidup
Terpadu Pada Usaha Pertambangan Skala Kecil (MEDMIN). Program ini dilaksanakan oleh
Dirjen Lingkungan Hidup, Politik dan Norma Kementerian Perencanaan dan Pembangunan
Berkesinambungan Bolivia. Medmin mengambangkan beberapa metode dalam pengolahan emas
dalam pengurangan emisi mercury dan telah berhasil menurunkan emisi mercury tersebut
sebanyak 5 ton per tahun .

C. Catatan-Catatan Penting dan Tawaran Solusi Alternatif


Setelah menjelajah jauh kedalam satu bilik sejarah pertambangan rakyat, terdapat beberapa
catatan penting yang semestinya dapat menjadi pelita yang akan menerangi jalan bagi
pencarian-pencarian upaya terbaik untuk mendudukkan sumberdaya pertambangan
khususnya mineral dan batubara.
 Pertambangan rakyat merupakan kenyataan yang tidak dapat diabaikan. Para
penambang-penambang ini telah lebih dulu hadir jika dibandingkan dengan
kontrak-kontrak pertambangan dan mereka memiliki klalm sejarah yang lebih tua
dari negara.
 Sesungguhnya jika kita mau bercermin secara jujur, pengaturan sumberdaya
tambang yang berada ditengah-tengah rakyat, apakah itu memakai idiom
pembinaan, penertiban atau infentarisasi dari masa-kemasa merupakan bentuk lain
dari perebutan sumberdaya itu sendiri.
 Sejak lama terjadi pengambilalihan secara sistematis pemilikan-pemilikan
masyarakat adat terhadap sumberdaya pertambangan.
 Catatan-catatan yang dapat diambil dari berbagai kebijakan yang pernah ada
sampai pada kebijkan yang akan ada, pengaturan tambang rakyat selalu dimulai
dengan pendekatan pajak.
 Amat menarik membandingkan kenyataan di jaman penjajahan, terjadi kontrak
setara antara masyarakat adat dengan pengusaha Belanda yang akan mengusahakan
sumberdaya tambangnya yang merupakan satu bagian kecil dari sebuah pengakuan
terhadap pemilikan masyarakat dengan tidak adanya pengalaman serupa dialam
kemerdekaan dimana kontrak-kontrak seperti itu tidak pernah lagi melibatkan
masyarakat.
 Jika sedikit dibuka cakrawala terhadap kebijakan yang ditawarkan oleh RUU
Minerba, jelas terlihat ternyata diskursus sektoralisme tidak pernah maju.
 Pendekatan-pendekatan pemberian ganti rugi lahan, ganti rugi tanam tumbuh tidak
memberikan solusi bagi konflik-konflik pertambangan.

Berangkat dari paparan-paparan diatas dan beberapa catatan penting yang muncul, dapat
ditawarkan beberapa alternatif solusi. Solusi ini akan dibagi atas dua yaitu solusi transisional dan
solusi utama. Solusi transisional adalah solusi untuk menciptakan kondisi yang kondusif untuk
lahirnya solusi utama bagaimana mengatur pertambangan di Indonesia.
D. Solusi Transisional
 Perlu ada sebuah kebijakan yang memerintahkan evaluasi pemanfaatan sumberdaya alam
terutama pertambangan yang merupakan kekayaan bangsa. Evaluasi ini menyangkut
kebijakan-kebijakan yang pernah dibuat dan praktek yang terjadi dilapangan. Dengan itu
tentunya pembahasan RUU Minerba di DPR harus dihentikan terlebih dahulu.
 Perlu mendata konflik dan mencari solusi konflik-konflik pertambangan yang berlangsung
sejak lama dan tidak terselesaikan, apakah itu konflik yang berakar dari klaim hak
kepemilikan ataupun konflik yang timbul dari dampak-dampak pertambangan.
 Sesegera mungkin mendata dan mempersiapkan program pembinaan PETI yang disusun
secara partisipatif termasuk masalah pengendalian lingkungan hidup, dimana solusi dan
pendekatan terhadap penambang tradisional (versi lama) harus berbeda dengan PETI versi
baru .
 Menangguhkan untuk sementara waktu pemberian kontrak-kontrak pertambangan baru
dan mengefektifkan kontrak-kontrak pertambangan yang sudah ada dengan memperketat
dan mempertinggi standar lingkungan hidup.

E. Solusi Utama
Setelah solusi-solusi transisional tersebut dapat dilaksanakan untuk jangka waktu tertentu,
pada tahap selanjutnya barulah dapat dibangun solusi masalah utama yang akan menyentuh
masalah sesungguhnya dalam pengelolaan SDA termasuk tambang. Alternatif solusi
tersebut diantaranya
 Mengubah paradigma pengelolaan sumberdaya alam (pertambangan) yang semata
berparadigma ekonomi dan menurunkannya dalam rencana pengelolaan sumberda
alam yang komprehensif.
 Pengakuan normatif terhadap pemilikan masyarakat adat atas sumberdaya alam
yang tersebar dalam berbagai peraturan perundangan, khususnya yang mengatur
tentang hak ulayat segera diturunkan pada ketentuan yang lebih operasional.
 Membuat peraturan payung pengelolaan sumberdaya alam yang berisi prinsip-
prinsip pengelolaan yang berkeadilan dan berkelanjutan.
 Dalam pembuatan peraturan pertambangan perlu diadopsi prinsip Free, Prior,
Informed Consent (FPIC) . Prinsip-prinsip FPIC ini menjadi relevan untuk
mengurangi konflik-konflik yang akan terjadi. FPIC terkait empat unsur mendasar
yakni Free, Prior, Informed dan Consent yang berlaku secara kumulatif. Secara
definitif keempat hal dasar ini dapat diartikan sebagai berikut;
 Free berkaitan dengan keadaan bebas tanpa paksaan. Artinya kesepakatan hanya
mungkin dilakukan di atas berbagai pilihan bebas masyakarat,
 Prior artinya sebelum proyek atau kegiatan tertentu diijinkan pemerintah terlebih
dahulu harus mendapat ijin masyarakat,
 Informed artinya informasi yang terbuka dan seluas-luasnya mengenai proyek yang
akan dijalankan baik sebab maupun akibatnya dan
 Consent artinya persetujuan diberikan oleh masyarakat sendiri .

3. Rencana Kebijakan Pemerintah Terhadap Sektor Pertambangan SDA


 Kondisi Energi di Indonesia
Tabel 1 di bawah ini menampilkan data aktual konsumsi energi primer Indonesia tahun
2008 dan prediksi konsumsi energi primer tahun 2025, sedangkan tabel 2 menunjukkan
komposisi pembangkitan listrik dari tahun 2005 sampai 2007. Pada komposisi energi
primer terlihat peningkatan rasio untuk batubara setiap tahunnya, dimana persentase
batubara yang hanya sebesar 18.3% pada tahun 2008, direncanakan meningkat hingga 33%
pada tahun 2025. Rencana ini adalah berdasarkan Peraturan Presiden No 5 tahun 2006
tentang Kebijakan Energi Nasional yang menetapkan peranan batubara sebesar 33% pada
bauran energi nasional di tahun 2025. Peraturan ini menunjukkan dengan jelas mengenai
kebijakan untuk mendorong pengusahaan batubara, sebagai upaya untuk mendukung
konversi energi minyak ke batubara. Dalam pembangkitan listrik pun rasio pemakaian
batubara juga terus meningkat setiap tahunnya, dimana realisasi pada tahun 2007 mencatat
angka sebesar 63%. Adapun rasio gas alam pada pembangkitan listrik menurun karena
adanya kebijakan peningkatan ekspor gas.

 Cadangan dan Kualitas Batubara


Cadangan batubara Indonesia dihitung berdasarkan eksplorasi yang terus dilakukan,
sehingga angkanya pun terus membesar seiring dengan ditemukannya lapisan – lapisan
baru batubara. Tabel 3 menampilkan sumber daya batubara Indonesia, sedangkan tabel 4
menunjukkan sumber daya batubara berdasarkan kualitasnya. Meskipun total sumber daya
batubara Indonesia mencapai 104,7 miliar ton, tapi cadangan yang bisa ditambang hanya
sekitar 1/5nya saja, yaitu sebesar 21,1 miliar ton. Jumlah ini dipastikan akan bertambah
seiring dengan eksplorasi yang terus berlangsung. Dilihat dari wilayah, maka hampir
seluruh cadangan batubara Indonesia terdapat di Sumatera (50,06%) dan Kalimantan
(49,56%), sedangkan sebagian kecil terdapat di Jawa, Sulawesi, dan Papua. Batubaranya
pun hampir semuanya berjenis batubara uap, dengan karakteristik kadar abu dan sulfur
yang rendah. Dari cadangan yang ada, diketahui bahwa jumlah untuk tipe bituminus dan
sub-bituminus sebesar kurang lebih 40%, sedangkan sebagian besar sisanya adalah lignit
(dalam tabel 4 merujuk ke sebagian batubara berkualitas sedang dan rendah). Antrasit juga
diproduksi meskipun dalam jumlah yang sangat sedikit. Di Kalimantan bagian tengah juga
diketahui terdapat batubara kokas sehingga pembangunan tambang di sana berlangsung
dengan pesat dalam beberapa tahun belakangan ini.

 Sistem Operasi Produksi dan Jumlah Produksi Batubara


Sistem operasi produksi batubara Indonesia secara garis besar terbagi menjadi 4 kelompok,
yaitu ① BUMN (PT Bukit Asam/PTBA), ② PKP2B atau Perjanjian Karya Pengusahaan
Pertambangan Batubara (Coal Contract of Work/CCoW) yang terbagi menjadi 3 generasi,
③ KP (Kuasa Penambangan), dan ④ KUD. PKP2B adalah kelompok yang lahir dari hasil
kebijakan pemerintah Indonesia dalam mendorong pengusahaan batubara melalui upaya
mengundang investasi asing secara agresif. Tambang – tambang PKP2B memberikan
kontribusi yang besar dalam menggenjot jumlah produksi batubara Indonesia yang
meningkat secara drastis sekarang ini. PTBA memiliki tambang terbuka skala besar di
Tanjung Enim, Sumatera Selatan, serta tambang bawah tanah di Ombilin, Sumatera Barat.
Adapun tambang – tambang berstatus KP umumnya adalah tambang investasi dalam
negeri, sedangkan tambang – tambang KUD biasanya berskala kecil.
Dengan diundangkannya UU No 4 tahun 2009, maka hanya kontrak PKP2B yang masih
terus berlanjut, sedangkan sistem yang lainnya tidak berlaku lagi. UU Minerba yang baru
menetapkan adanya Wilayah Pertambangan (WP), yang didalamnya terbagi menjadi 3
jenis wilayah pengusahaan mineral & batubara, yaitu Wilayah Usaha Pertambangan
(WUP), Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR), serta Wilayah Usaha Pertambangan
Khusus (WUPK). UU ini juga menetapkan aturan baru berupa Ijin Usaha Pertambangan
(IUP), yang dapat diberikan kepada BUMN, BUMD, perusahaan swasta, KUD, maupun
perorangan untuk melaksanakan usaha pertambangan. Sebagai upaya mewujudkan
transparansi perijinan, maka sistem tender diberlakukan pada proses pemberian IUP ini.
Ijin pengusahaan terbagi berdasarkan wilayah pertambangannya, yaitu Ijin Usaha
Pertambangan (IUP), Ijin Pertambangan Rakyat (IPR), serta Ijin Usaha Pertambangan
Khusus (IUPK). IUP sendiri terbagi menjadi IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi.
Sebagai peraturan pelaksana dari UU ini, maka pemerintah secara bertahap mengeluarkan
peraturan – peraturan tentang ① Usaha pertambangan mineral dan batubara, ② Wilayah
pertambangan (PP No 22 tahun 2010), ③ Pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan
mineral & batubara (PP No 23 tahun 2010), serta ④ Reklamasi lahan pasca tambang.
Statistik jumlah produksi batubara Indonesia ditampilkan pada tabel 5 di bawah. Pada
tahun 2009, jumlah produksi mencapai 256 juta ton, yang sebagian besar dihasilkan oleh
10 perusahaan tambang PKP2B generasi 1. Berdasarkan realisasi produksi tahun 2008,
tambang – tambang dengan jumlah produksi melebihi 10 juta ton adalah Adaro (38 juta
ton), KPC (36 juta ton), Kideco Jaya Agung (22 juta ton), Berau Coal (13 juta ton), Arutmin
(16 juta ton), serta Indominco Mandiri (11 juta ton). Keseluruhan jumlah produksi dari
keenam tambang tersebut mendekati 60% dari total produksi batubara nasional.

 Prediksi Jumlah Produksi, Kebutuhan Domestik, dan Ekspor


Prediksi dalam jangka panjang untuk jumlah produksi batubara, jumlah kebutuhan
domestik serta ekspor ditampilkan pada tabel 9. Mulai berproduksinya tambang – tambang
PKP2B yang tersisa serta KP akan meningkatkan produksi batubara setiap tahunnya
sehingga jumlah produksi pada tahun 2025 diperkirakan akan mencapai 405 juta ton.
Volume kebutuhan domestik pun akan meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi
dalam negeri, sehingga pada tahun 2025 diprediksi sebesar 220 juta ton. Hal ini berarti
peningkatan tajam sekitar 4 kali lipat dibandingkan dengan realisasi tahun 2008 yang
sebesar 49 juta ton. Meningkatnya kebutuhan domestik mengakibatkan pertumbuhan untuk
ekspor diperkirakan hanya akan sampai tahun 2015, kemudian menurun hingga angka 185
juta ton pada tahun 2025.

 Kondisi Infrastruktur dan Pelabuhan Batubara


Di Indonesia, infrastruktur yang terkait dengan pengusahaan batubara belumlah memadai.
Transportasi batubara umumnya memanfaatkan sungai besar, seperti Sungai Musi di
Sumatera Selatan, Sungai Barito di Kalimantan Tengah dan Selatan, serta Sungai
Mahakam di Kalimantan Timur. Kereta batubara sampai saat ini hanya digunakan di
tambang PTBA Tanjung Enim, Sumatera Selatan. Selain itu, terminal batubara dan
pelabuhan batubara dapat dikatakan belum memadai pula. Batubara kebanyakan diangkut
dengan menggunakan tongkang melewati sungai kemudian dipindahkan ke kapal batubara
besar di laut lepas (trans-shipment) sehingga efisiensi pengangkutan menjadi kurang baik.
Untuk itu, perlu upaya baru untuk mengatasi hal ini, misalnya penggunaan fasilitas
penimbunan dan pengangkutan batubara terapung skala besar (mega float) atau pusher
barge. Tabel 10 menampilkan pelabuhan – pelabuhan batubara di Indonesia, sedangkan
foto 2 menampilkan situasi lokasi trans-shipment di lepas pantai Banjarmasin, Kalimantan
Selatan (Taboneo). Kemudian foto 3 menunjukkan suasana trans-shipment dari tongkang
ke kapal besar. Di Taboneo, banyak kapal batubara besar yang menunggu dalam jangka
waktu lama.

 Dampak Positif Pengusahaan Batubara dan Kebijakan Yang Perlu Diambil


Di Indonesia, batubara memberikan kontribusi yang besar terhadap pemasukan negara.
Berikut ini adalah dampak positif dari pengusahaan batubara:
 Royalti dan pajak lainnya dari batubara merupakan sumber pendapatan yang penting bagi
negara maupun daerah.
 Ekspor batubara menjadi sumber devisa yang penting.
 Mendorong terciptanya lapangan kerja di daerah serta kemajuan bagi daerah.
Meskipun demikian, diperlukan kebijakan baru untuk menjamin pengusahaan batubara ini ke
depannya, misalnya penguatan pengawasan tambang terkait berpindahnya mekanisme
pengawasan ke daerah, penanganan masalah lingkungan, serta tindakan tegas terhadap
penambangan tanpa ijin (PETI) yang selalu saja menjadi masalah laten.
BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan
UU Minerba yang baru mengatur kebijakan DMO, yang berarti memprioritaskan pemenuhan
kebutuhan dalam negeri dibandingkan ekspor. Sudah tentu hal ini menjadi perhatian bagi negara
– negara pengimpor batubara Indonesia, termasuk Jepang di dalamnya. Tetapi pemerintah
Indonesia menyatakan bahwa volume ekspor tidak akan mengalami kendala dalam beberapa waktu
ke depan, karena pertumbuhan konsumsi dalam negeri diperkirakan masih lebih rendah bila
dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan produksi batubara nasional. Selain itu, pemerintah juga
mencanangkan pengurangan emisi CO2 sebesar 26% sampai dengan tahun 2030 melalui tindakan
seperti pemakaian bio-fuel dan konversi ke energi panas bumi, meskipun kebijakan konkretnya
masih belum jelas. Dengan demikian, maka topik yang harus diperhatikan bersama adalah jumlah
kebutuhan energi dalam negeri Indonesia dan sumber energi yang memasoknya.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.walhi.or.id/id/ruang-media/walhi-di-media/berita-tambang-a-energi/2097-uu-
pertambangan-mineral-dan-batubara-uji-materiil-uu-minerba-molor-walhi-ancam-somasi-
mk.html
http://sanyata.blogspot.com/

Anda mungkin juga menyukai