Anda di halaman 1dari 8

TUGAS MATA KULIAH KRIMINOLOGI

ANALISIS KASUS UNDANG- UNDANG MINERAL DAN BATU BARA BAGI


INDONESIA, KHUSUNYA DI DESA WADAS

Oleh:

Adriel
11000120130517

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2022
Daftar Isi
I. BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................................3
1.1 LATAR BELAKANG..........................................................................................................3
1.2. Rumusan Masalah...............................................................................................................5
A Dampak apa yang ditimbulkan Undang- undang Mineral dan Batu Bara terhadap
pertambangan Indonesia?..............................................................................................................5
B Apa saja resiko yang akan dialami oleh masyarakat Desa Wadas akibat adanya UU Minerba
ini? ..............................................................................................................................................5
1.3. Tujuan Pembahasan............................................................................................................5
II. BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................5
2.1 MINERBA............................................................................................................................5
2.2 DAMPAK BAGI DESA WADAS.......................................................................................6
III. BAB III Penutup......................................................................................................................7
3.1 KESIMPULAN....................................................................................................................7
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................8
I. BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan negara yang kaya akan bahan tambang kaliber dunia. Bahan tambang
atau galian itu, meliputi emas, perak, tembaga, minyak dan gast bumi, batu bara dan lain-lain.
Timah misalnya, dengan produksi 78 ribu ton/tahun, Indonesia adalah penghasil timah nomor
dua dunia. Nikel dengan produksi 96 ribu ton/tahun, Indonesia adalah penghasil nomor lima
di dunia. Tembaga dengan 842 ribu ton/tahun adalah nomor lima dunia dan untuk batu bara
dan emas. Indonesia adalah nomor 7 dunia.
Bahan tambang atau bahan galian itu dikuasai oleh negara dan hak penguasaan negara berisi
wewenang untuk mengatur, mengurus dan mengawasi pengelolaan atau pengusahaan bahan
galian, serta berisi kewajiban untuk mempergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran
rakyat. Kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara yang merupakan kegiatan usaha
pertambangan di luar panas bumi, minyak dan gas bumi serta air tanah mempunyai peranan
penting dalam memberikan nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonomi nasional
dan pembangunan daerah secara berkelanjutan.
Sejak Indische Mijn Wet 1899 dan hingga Indonesia merdeka, peraturan perundang-
undangan di sektor pertambangan ini tidak mengalami perubahan berarti. Peraturan di
penghujung abad 20 itu baru berubah 68 tahun kemudian ketika terbít Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan- Ketentuan Pokok Pertambangan. Setelah
kemerdekaan, terlebih setelah Pemerintah Orde Baru melahirkan Undang-Undang Nomor 11
Tahun 1967, perlahan tapi pasti pertambangan menjadi sektor yang menarik sekaligus sensitif
bagi publik. Menarik karena berkontribusi secara signifikan terhadap penerimaan Negara dan
kian disorot bila harga komoditas dunia melonjak, tapi juga sensitif karena ekses negatif
terhadap lingkungan serta pandangan bahwa pertambangan belum memberi keuntungan
maksimal bagi seluruh stakeholders seperti yang diharapkan, bahkan banyak melakukan
pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Secara internasional, hukum-hukum negara-negara, khususnya negara negara berkembang
yang ekonominya berlandaskan kekayaan alam, yang mengatur bidang pertambangan saat ini
mengalami peningkatan dalam hal cakupan dan segi ketegasan. Sejak 18 tahun yang lalu,
Direktorat Jenderal Pertambangan Umum pada saat itu sudah merasa perlu mengganti
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967. Alasan yang paling utama adalah betapa dinamika
dunia pertambangan mineral dan batu bara di Tanah Air sudah tidak bisa lagi diakomodasi
oleh UU yang lahir di awal Orde Baru tersebut. Begitu pula tantangan kedepannya, semakin
dinamis dan dirasa tidak bisa lagi diregulasi dengan peraturan lama. Dengan
mempertimbangkan perkembangan nasional maupun internasional, Undang Undang Nomor
11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan dipandang sudah tidak
sesuai lagi sehingga dibutuhkan perubahan peraturan perundang-undangan di bidang
pertambangan mineral dan batu bara, yang dapat mengelola dan mengusahakan potensi
mineral dan batubara secara mandiri, andal, transparan, berdaya saing, efisien, dan
berwawasan lingkungan, guna menjamin pembangunan nasional secara berkelanjutan.
Selain itu, perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Pertambangan juga dipicu oleh adanya Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dimana paradigma pengelolaan pertambangan
telah berubah dari yang semula cenderung ke arah sentralistik berubah menjadi desentralistik.
Untuk itulah, maka perlu dilakukan perubahan-perubahan yang mendasar terhadap Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan tersebut.
Untuk menghadapi tantangan lingkungan strtegis dan menjawab sejumlah permasalahan
tersebut, maka pemerintah mengusulkan untuk membentuk undang undang yang baru tentang
pengelolaan dan pengusahaan pertambangan mineral dan batubara. Berdasarkan
kewenangannya dalam pengajuan pembentukan undang-undang, maka pada tahun 2005
Pemerintah mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara. DPR dan Pemerintah akhirnya pada tanggal 16 Desember 2008 menyepakati
Rancangan Undang-Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batubara ini yang sudah
dibahas selama 3,5 tahun sejak 4 Juli 2005, dan sebulan setelahnya Rancangan Undang-
Undang ini sah dan berlaku dengan nomor yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Undang-Undang ini mengandung pokok-pokok pikiran sebagai berikut:
1. Mineral dan batubara sebagai sumber daya yang tak terbarukan dikuasai oleh negara
dan pengembangan serta pendayagunaannya dilaksanakan oleh Pemerintah dan
pemerintah daerah (pemda) bersama dengan pelaku usaha.
2. Pemerintah selanjutnya memberikan kesempatan kepada badan usaha yang berbadan
hukum Indonesia, koperasi, perseorangan, maupun masyarakat setempat untuk
melakukan pengusahaan mineral dan batubara berdasarkan izin, yang sejalan dengan
otonomi daerah, diberikan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah (pemda)
sesuai dengan kewenangannya masing-masing.
3. Usaha pertambangan harus memberi manfaat ekonomi dan sosial yang sebesar-
besarnya bagi kesejahteraan rakyat Indonesia.
4. Dalam rangka penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah, pengelolaan
pertambangan mineral dan batubara dilaksanakan berdasarkan prinsip eksternalitas,
akuntabilitas, dan efisiensi yang melibatkan Pemerintah dan pemerintah daerah.
5. Usaha pertambangan harus dapat mempercepat pengembangan wilayah dan
mendorong kegiatan ekonomi masyarakat/pengusaha kecil dan menengah serta
mendorong tumbuhnya industri penunjang pertambangan. 6. Dalam rangka
terciptanya pembangunan berkelanjutan, kegiatan usaha pertambangan harus
dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip lingkungan hidup, transparansi, dan
partisipasi masyarakat."
Dengan demikian, dalam Undang-Undang Minerba Tahun 2009 telah membawa perubahan
yang besar terhadap prinsip-prinsip pertambangan di Indonesia, terutama mengenai bentuk-
bentuk pengusahaan pertambangan yang berlaku serta mengenai penyelesaian sengketa di
bidang pertambangan yang timbul antara Pemerintah sebagai pemberi Izin dan pengusaha
yang menerima Izin Usaha Pertambangan. Perubahan prinsip-prinsip dalam pengusahaan
pertambangan yang tertuang dalam UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara tersebut mempunyai dampak yang luas, terutama berpengaruh pada keputusan
pihak asing untuk menanam modal dalam bidang pertambangan mineral dan batubara,
terhadap teknis operasi pertambangan itu sendiri, serta terhadap politik ekonomi Indonesia
pada umumnya dalam rangka dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pasal 33 ayat (4) 10 UUD 1945 mengisyaratkan agar pembangunan ekonomi dibangun atas
dasar kemandirian, termasuk di dalamnya kemandirian yang berkaitan dengan sumber
pembiayaan pembangunan. Setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara yang telah berjalan kurang lebih tiga tahun. ternyata
bukanlah tanpa masalah. Yang paling sering kita lihat adalah masalah tumpang tindih
perizinan pertambangan dengan bentuk-bentuk izin lainnya yang diterbitkan oleh pemerintah,
permasalahan pengalihan dan penyesuaian bentuk bentuk perizinan yang telah ada sebelum
berlakunya Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara yang baru menjadi Izin
Usaha Pertambangan (IUP), serta permasalahan-permasalahan lainnya.
I.2. Rumusan Masalah
A Dampak apa yang ditimbulkan Undang- undang Mineral dan Batu Bara
terhadap pertambangan Indonesia?
B Apa saja resiko yang akan dialami oleh masyarakat Desa Wadas akibat
adanya UU Minerba ini?
I.3. Tujuan Pembahasan
Berdasarkan latar belakang dan pokok permasalahan di atas, tujuan penulisan makalah ini
adalah untuk mengetahui apakah dalam pengimplemenatsian Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, sudah mencerminkan tujuan
Bangsa kita seperti Alenia Ke-4 baik dalam melaksanakan kewenangannya dalam
memberikan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi dan Operasi Produksi, serta untuk
mengetahui akibat hukum yang ditimbulkan apabila ternyata terdapat Izin Usaha
Pertambangan tersebut tidak memenuhi ketentuan dalam pasal 39 Undang Undang Minerba.

II. BAB II PEMBAHASAN


2.1 MINERBA
Undang-undang Minerba adalah alat untuk mengatur pertambangan mineral dan batubara dari
hulu ke hilir dan berbagai perizinannya. Dengan tujuan supaya negara memperoleh
keuntungan yang besar dari hasil pertambangan dan dapat digunakan untuk mensejahterakan
rakyat.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 jo Nomor 3 Tahun 2020 menganut paham ultimum
remedium. Sehingga tidak mengherankan apabila sanksi yang dikenakan cenderung berupa
sanksi administratif dibanding menjatuhi sanksi pidana.
Penguasaan mineral dan batubara dijelaskan dalam pasal 4 Undang Undang Minerba yang
menyatakan bahwa mineral dan batubara sebagai sumber daya alam yang tidak terbarukan
merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya
kesejahteraan rakyat. Selanjutnya, penguasaan oleh negara tersebut diselenggarakan oleh
Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
Sistem penguasaan terhadap mineral dan batubara tetap mengacu pada pasal 33 Undang-
Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa hak milik sumber daya alam berada di tangan
rakyat secara kolektif dan penguasaannya diberikan kepada negara yang diselenggarakan oleh
Pemerintah. Perubahan mendasar adalah penguasaan negara dapat dilakukan oleh pemerintah
daerah yang dibenarkan oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah sebagai rencana pemerintah untuk mengembangkan otonomi daerah di Indonesia.
2.2 DAMPAK BAGI DESA WADAS
1. Masyarakat Tidak Lagi Bisa Protes ke Pemerintah Daerah
Sebelum UU No. 4 Tahun 2009 dihapus dan digantikan dengan UU Minerba, sebuah
perusahaan atau perorangan apabila ingin melakukan aktifitas pertambangan di suatu daerah
harus ijin dulu ke Pemda Kabupaten atau Kota setempat. Dimana nantinya Pemda di tiap
lokasi pertambangan memiliki tugas dalam melakukan pembinaan, penyelesaian konflik
bahkan pengawasan usaha pertambangan.
Sayangnya, dengan disahkan UU Minerba No. 3 Tahun 2020, mulai sekarang kalau ada
masyarakat yang dirugikan akibat ulah perusahaan tambang, baik itu berupa perusakan
lingkungan hidup ataupun terjadi konflik sengketa lahan, Pemda tidak lagi bisa melakukan
tindakan apapun. Karena seluruh kewenangan pertambangan diatur oleh pemerintah pusat,
bukan lagi Pemda Kabupaten atau Kota setempat.
Jadi saat ini masyarakat yang ingin melakukan protes terkait aktifitas tambang di daerahnya,
maka harus melapor ke pemerintah pusat atau minimal provinsi. Padahal sejauh ini lokasi
tambang kebanyakan ada di daerah terpencil bahkan luar Jawa. Aturan ini sangat jauh dari
logika tata kelola pemerintahan yang baik, pasalnya masyarakat yang tinggal di wilayah
pertambangan tidak bisa berbuat banyak ketika lingkungannya rusak akibat ulah perusahaan
tambang.
2. Resiko Dipolisikan Apabila Menolak Perusahaan Tambang
Masyarakat daerah yang dirugikan akibat aktifitas perusahaan tambang yang merusak ruang
hidupnya bukan hanya tidak bisa lagi melapor ke Pemda. Lebih parah lagi, terlihat dari bunyi
Pasal 162 UU Minerba No. 3 Tahun 2020, bahwa masyarakat yang mencoba mengganggu
aktifitas pertambangan dalam bentuk apapun bisa dilaporkan balik oleh perusahaan dan
dijatuhi pidana, bahkan denda hingga sebesar 100 juta rupiah.
Aturan yang sangat tidak masuk akal ini justru melenggang kangkung dan diapresiasi oleh
Presiden, di tengah maraknya ketidakadilan dan kriminalisasi yang banyak dilakukan oleh
perusahaan terhadap masyarakat daerah tambang. Melalui UU Minerba yang baru ini
masyarakat daerah selain bakal dihabisi kekayaan alamnya oleh segelintir konglomerat
tambang, mereka yang mencoba menolak daerahnya untuk diesploitasi bakal kena pidana.
3. Perusahaan Tambang Masih Bisa Beroperasi Meskipun Terbukti Merusak
Lingkungan
Reklamasi yaitu aktifitas untuk memulihkan ekosistem supaya bisa berfungsi kembali seperti
sedia kala. Sedangkan Kegiatan Pascatambang yakni aktifitas perbaikan lahan bekas tambang
untuk memulihkan kembali fungsi lingkungan, dan fungsi sosial menurut kondisi lokal di
seluruh wilayah penambangan.
Kalau mengikuti aturan UU No. 4 Tahun 2009, perusahaan tambang wajib melakukan semua
kegiatan Reklamasi dan Kegiatan Pascatambang sekaligus menyetor dana jaminan Reklamasi
dan Pascatambang. Meskipun ada aturan seperti ini, nyatanya di lapangan masih saja banyak
terjadi pelanggaran berupa lubang-lubang bekas tambang batubara dibiarkan terbuka dan
menjadi danau raksasa yang menelan korban jiwa.
Bukannya mempertegas aturan Reklamasi dan Kegiatan Pascatambang, alih-alih
mempidanakan perusahaan yang tidak memperbaiki lahan bekas tambang, ajaibnya
pemerintah justru membuat aturan baru yang membebaskan kewajiban pengusaha tambang
perusak lingkungan dengan jalan merubah isi Undang-Undang. Seperti tertulis dalam UU
Minerba Pasal 96 huruf b, kewajiban perusahaan dalam perbaikan lahan bekas tambang
sekarang ini cukup mengerjakan salah satu kewajiban perbaikan saja. Perusahaan tambang
bisa bebas memilih antara Kegiatan Reklamasi atau Kegiatan Pascatambang.
Tidak hanya itu, perusahaan yang terbukti abai dan tidak melaksanakan reklamasi ataupun
kegiatan pascatambang, ternyata tetap bisa memperpanjang ijin kontraknya. Bahkan sesuai
dengan UU Minerba Pasal 169A, dengan dalih meningkatkan penerimaan negara, pemerintah
malah memberi jaminan perpanjangan kontrak berupa KK dan PKP2B sebanyak 2 kali 10
tahun.
4. Perusahaan Tambang Bisa Mengeruk Keuntungan Sebanyak Mungkin, Bahkan
Mendapat Jaminan Royalti 0%
Di dalam Pasal 128A Naskah UU Cipta Kerja No. 11 Tahun 2020 pengganti UU Minerba,
dijelaskan bahwa pelaku usaha yang bisa meningkatkan nilai tambah batu bara akan
mendapat perlakuan istimewa berupa pengenaan royalti sebesar 0%. Padahal selama ini
royalti yang ditentukan oleh pemerintah pada pengusaha tambang merupakan bagian
pendapatan negara dan masuk sebagai pendapatan daerah melalui mekanisme Dana Bagi
Hasil.

III. BAB III Penutup


3.1 KESIMPULAN
Jelas sekali melalui UU Minerba No. 3 Tahun 2020 serta beberapa perubahan Pasal dalam
UU Cipta Kerja, Pemerintah Pusat bersama dengan segelintir konglomerat pengusaha
tambang sangat bernafsu untuk menghabisi sumber daya alam yang masih tersisa di
Indonesia. Bukannya menjaga lingkungan hidup dari bencana kerusakan ekologis,
Pemerintah justru semakin bersemangat untuk melakukan eksploitasi sebesar-besarnya tanpa
lagi mempedulikan nasib masa depan masyarakat daerah tambang. Tetapi disisi lain, Secara
idealis UU Minerba dibutuhkan untuk kepentingan bangsa dan negara Indonesia. Jumlah area
pertambangan di Indonesia cukup luas. Jadi, keberadaan UU Minerba disinyalir mampu
mendorong hilirisasi produk pertambangan yang dijadikan batu pijak reindustrialisasi.
Seiring berjalannya waktu kondisi pertambangan di Indonesia dan perusahaan pengelolanya
juga berubah. Sehingga, pemerintah pun menyadari UU Minerba terbaru sangat dibutuhkan
karena berbagai alasan; Mendorong peningkatan nilai tambah produk pertambangan guna
menguatkan daya saing dengan negara lain. Tujuannya agar Indonesia mampu terbebas
menjadi penghasil bahan mentah saja. Negara banyak merugi karena unreporting transaction
dari pertambangan raksasa yang nilainya triliunan rupiah. Lemahnya perlindungan terhadap
lingkungan dan menciptakan sumber daya ramah lingkungan.Harus ada sanksi tegas terhadap
pelanggar yang menimbulkan efek jera. Serta undang-undang harus melindungi hak-hak
masyarakat kecil yang tinggal disekitar daerah tambang.

DAFTAR PUSTAKA
Indonesia. Undang-Undang Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, UU No.4 Tahun 2009. LN
No.4 Tahun 2009.

Undang-Undang Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. UU Nomor 11 Tahun 1967. LN


No.22 Tahun 1967.

Undang-Undang Tentang Penanaman Modal Asing. UU Nomor 1 Tahun 1967. LN No. 1 Tahun 1967.

“Mendorong Mekanisme Penyelesaian Konflik Agraria yang Ideal”, 24 Agustus 2021, https://www.
komnasham.go.id/index. php/news/2021/8/24/1868/ mendorong-mekanismepenyelesaian-
konflik-agrariayang-ideal.html, diakses 11 Maret 2022.

“Penolakan yang Berujung Konflik di Wadas, Jawa Tengah”, Media Indonesia, 14 Februari 2022, hal.
4. “Warga Diminta Jernih Melihat Waduk Bener”, Media Indonesia, 11 Maret 2022, hal. 3.

Anda mungkin juga menyukai