Anda di halaman 1dari 26

KONFLIK SOSIAL DI LINGKAR TAMBANG

Dosen Pengampu ; Dr. A.ILHAM SAMANLANGI,S.T,M.T

DISUSUN OLEH :

1. MUH.KHAERUL AZUAN/4521046096
2. FRETI FIONA WULANDARI/4521046094
3. FAHRIADI KUSUMA PUTRA/4521046095
4. RIDZWAN JAMARI/4521046098
5. ARVIAN GIMEL JABA/4521046099
6. ARIESKY SARMANTO/4521046100
7. LUCKY BRYAN TANDILOLOK/4521046101
8. ALDI PALIMBONG/4521046103
9. A.MUHAMMAD HUMAM TSAQIB MUWAFFAQ/4521046104
10. MUH FUDLAILIL HIJR AL AWWALIIN/4521046105
11. ALFONSUS PRASKALIS/4521046106
12. YEDHIJA RAMBA/4521046107
13. SIPRIANUS RIVALDO PETRUS DARE/4521046108
14. ISTEPEN SAMBIRA/4521046109
15.
16. MAHRVIN GAHLAXZI/4521046112
17. GLORANELLA OCTOVINA YENSENEM/4521046113
18. IAN FAUZHI/4521046114
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan
Tugas Makalah Sosiologi ini tepat pada waktunya.

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan


bantuan dari berbagai sumber sehingga dapat memperlancar pembuatan
makalah ini.

Adapun judul dari makalah ini adalah “KONFLIK SOSIAL DI LINGKAR


TAMBANG” yang berisikan tentang konflik sosial di lungkungan
pertambangan.

Tujuan penulisan Tugas Makalah Sosiologi ini adalah untuk


menyelesaikan tugas yang telah diberikan oleh dosen pengampu mata
kuliah sosiologi.

Kami selaku penulis menyadari bahwa Tugas Makalah Sosiologi ini


jauh dari kesempurnaan untuk itu, diharapkan kritik dan saran yang dapat
membangun untuk lebih baik di masa yang akan datang.

Akhir kata semoga Tugas Makalah Sosiologi ini dapat memberikan


manfaat bagi para pembaca pada umumnya dan terutama bagi kami selaku
penulis.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................... 1

DAFTAR ISI....................................................................................... 2

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG.......................................................... 3
B. RUMUSAN MASALAH...................................................... 8
C. TUJUAN PENULISAN....................................................... 8

BAB II PEMBAHASAN

1. DAMPAK EKSPLOITASI .................................................. 9


PERTAMBANGAN BATUBARA TERHADAP
LINGKUNGAN HIDUP DI KALIMANTAN SELATAN.
2. MEKANISME GERAKAN.................................................. 14
PEREMPUAN DALAM AKSI PENOLAKAN TAMBANG.
3. ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA................... 17

BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN................................................................... 25
B. SARAN.............................................................................. 25
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Isu hukum dalam tulisan ini adalah mengenai kegiatan pertambangan


yang semakin tidak terkendali yang menimbulkan berbagai dampak bagi
masyarakat dan kehidupan sekitar tambang, di antaranya; kerusakan
lingkungan, tingginya tingkat pencemaran (tanah, air dan udara), juga
mengakibatkan gangguan bagi masyarakat luas berupa kerusakan bangunan
rumah dan fasilitas umum terutama akibat aktivitas peledakan dinamit untuk
membuka lokasi tambang. Terganggunya aspek kehidupan masyarakat, jika
dilihat dari sisi Hak Asasi Manusia (HAM), yakni terutama yang berkaitan
dengan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, tentulah sangat bersentuhan
dengan dampak dari pertambangan batubara ini.
Karena hak asasi manusia meliputi aspek-aspek hak untuk hidup dan
berkehidupan yang baik, aman dan sehat yang merupakan hak atas
lingkungan hidup yang baik yang sehat yang diatur didalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang
Pertambangan Mineral dan Batu Bara (selanjutnya ditulis Minerba)
dengan sistem Undang-Undang yang baru didalamnya,diharapkan dapat
membawa perbaikan dalam pengelolaan sektor pertambangan di Tanah
Air. UU Minerba ini juga diharapkan dapat menyempurnakan kekurangan
UU No 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Pertambangan,
serta mampu mengembalikan fungsi dan kewenangan negara terhadap
penguasaan sumber daya alam yang dimiliki. Dengan demikian, amanat
konstitusi yang menyebutkan bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam
yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, benar-benar dapat
diwujudkan.
Jika dibandingkan dengan UU No 11 tahun 1967, UU Minerba
memang telah memuat beberapa perbaikan yang cukup mendasar. Yang
paling penting di antaranya adalah ditiadakannya sistem kontrak karya
bagi pengusahaan pertambangan ke depan yang digantikan dengan
sistem izin usaha pertambangan (IUP). UU Minerba juga telah
mengakomodasi kepentingan daerah, dengan memberikan kewenangan
kepada pemerintah daerah untuk dapat menjalankan fungsi perencanaan,
pemberian IUP, pembatasan luas wilayah dan jangka waktu izin usaha
pertambangan.

Pengaturan yang ada di dalam UU No.4 Tahun 2009 menghapus


beberapa sistem didalam Undang- Undang No. 11 Tahun 1967 seperti
Kuasa Pertambangan, Pengusahaan Pertambangan Batu bara (PKP2PB)
yang terdapat didalam subtansi Undang-Undang ini beserta peraturan
pelaksanaannya. Sehingga munculnya peraturan baru ini memaksa para
pengusaha tambang batu bara di Indonesia menyesuaikan diri terhadap
peraturan yang baru ini.

Ketika kebutuhan terhadap batubara semakin meningkat di awal tahun


1990-an, maka banyak pengusaha dan warga masyarakat yang ikut
terjun dalam bisnis tambang emas hitam ini, bahkan secara illegal.
Disinilah dimulai adanya praktik pertambangan tanpa izin atau dikenal
istilah PETI.

Aktifitas dari suatu kegiatan usaha, seperti pertambangan batubara


pada hakekatnya tidak boleh menjadi penyebab kerugian bagi pihak- pihak
tertentu atau kelompok mayoritas (masyarakat umum). Demikian pula
alam yang menjadi sumber penyedia bahan tambang (sumber daya
alam) tidak boleh terganggu karena akan menghilangkan keseimbangan
ekosistem, ekologi yang berakibat pada kerusakan alam / lingkungan
hidup (damage of environment).

Terganggunya aspek kehidupan masyarakat, jika dilihat dari sisi Hak


Asasi Manusia (HAM), sebagaimana diatur dalam Undnag- Undang Nomor
39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yakni terutama yang
berkaitan dengan hak- hak ekonomi, sosial dan budaya, tentulah sangat
bersentuhan dengan dampak dari pertambangan batubara ini. Karena
hak asasi manusia meliputi aspek-aspek hak untuk hidup dan
berkehidupan yang baik, aman dan sehat yang merupakan hak atas
lingkungan hidup yang baik yang sehat yang diatur didalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

Nilai-nilai kehidupan manusia dapat menjadi terganggu atau


berkurang, apalagi yang terparah adalah membawa bencana kematian
yang secara tidak langsung sudah “terprogram” dan dilakukan melalui
aktifitas kegiatan usaha yang ada, termasuk diantaranya eksploitasi
batubara. Upaya memang telah dilakukan, namun tetap harus terus
dilakukan karena upaya yang telah ada nampaknya masih jauh dan
masih banyak yang harus dibenahi.

Hal-hal yang peneliti deskripsikan di atas menjadi latar belakang


peneliti untuk mengangkat permasalahan Dampak Pertambangan
terhadap Lingkungan Hidup di kalimantan Selatan dan Implikasinya Bagi
Hak-Hak Warga Negara.

Aturan yang mendasar berkaitan dengan lingkungan hidup telah diatur


di dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Penngelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH). Sedangkan instrumen
penting yang berkenaan dengan Analisa Mengenai Dampak Lingkungan
(AMDAL) telah dikeluarkan, mulai dari Peraturan Pemerintah Nomor 51
tahun 1993 tentang Amdal sebagai penjabaran pelaksanaan undang-
undang pendahulu mengenai lingkungan hidup, yakni Undang-Undang
Nomor 4 tahun 1982. Pengaturan Amdal kemudian disempurnakan
melalui Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1999 yang dikeluarkan
dalam upaya mempertegas akan pentingnya instrumen pengelolaan
lingkungan melalui perizinan, di mana Amdal merupakan prasyarat untuk
mendapatkan izin tersebut. Selanjutnya pengaturan mengenai Amdal ini
diintegrasikan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012
tentang Izin Lingkungan.

Dengan diaturnya masalah lingkungan hidup di dalam Undang-


Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang UUPPLH, maka lingkungan hidup
telah menjadi faktor penentu dalam proses pengambilan keputusan
pemanfaatan dan pengolahan Sumber Daya Alam (SDA). Pembangunan
tidak lagi menempatkan SDA sebagai modal, tetapi sebagai satu
kesatuan ekosistem yang di dalamnya berisi manusia, lingkungan alam
dan/ atau lingkkungan buatan yang membentuk kesatuan fungsional,
saling terkait dan saling tergantung dalam keteraturan yang bersifat
spesifik, berbeda dari satu tipe ekosistem ke tipe ekosistem yang lain.
Oleh karena itu, perlindungan dan pengelolaan lingkungan bersifat
spesifik, terpadu, holistik dan berdimensi ruang.
Menurut UUPPLH Nomor 32 tahun 2009 pasal 1 angka 1, lingkungan
hidup adalah “kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan
makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang memperngaruhi
alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia
serta mahkluk hidup lain”.

Sedangkan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di


definisikan sebagai “upaya pengelolaan lingkungan hidup dan mencegah
terjadinya pencemaran dan atau kerusaka lingkungan hidup yang meliputi
perencanaan, pemanfaatan, pengendalian dan pemeliharaan, pengawasan
dan penegakan hukum”.
B. RUMUSAN MASALAH

Berdasrkan latar belakang masalah maka dapat dirumuskan suatu pokok


masalah yang kemudian disusun dalam bentuk pernyataan sebagai berikut.

1. Dampak eksploitasi pertambangan batu bara terhadap lingkungan hidup


di Kalimantan Selatan
2. Mekanisme Gerakan Perempuan Dalam Aksi Penolakan Tambang
3. Alternatif Penyelesaian Sengketa

C. TUJUAN PENULISAN

Adapun Tujuan dalam pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah sosiologi pertambangan.

2. Untuk mengetahui apa saja bentuk perilaku sosial dan kontrol sosial.

3. Untuk mengetahui bentuk-bentuk perilaku sosial dan kontrol sosial.


BAB II
PEMBAHASAN

1. DAMPAK EKSPLOITASI PERTAMBANGAN BATUBATA TERHADAP


LINGKUNGAN HIDUP DI KALIMANTAN SELATAN

Negara dalam penguasaan atas SDA memiliki fungsi untuk membuat


kebijakan, pengurusan, pengaturan, pengelolaan, dan pengawasan.
Fungsi-fungsi tersebut termanifestasi dalam penjelasan Mahkamah
Konstitusi sebagai berikut :

a. Fungsi pengurusan (bestuursdaad) oleh negara dilakukan oleh


pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan
mencabut fasilitas perizinan (vergunning), lisensi (licentie), dan
konsesi (concessie).

b. Fungsi pengaturan oleh negara (regelandaad) dilakukan melalui


kewenangan legislasi oleh DPR bersama dengan pemerintah, dan
regulasi oleh pemerintah (eksekutif).

c. Fungsi pengelolaan (beheersdaad) dilakukan melalui mekanisme


pemilikan saham (share holding) atau melalui keterlibatan langsung
dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara atau Badan Hukum
Milik Negara sebagai instrumen kelembagaan melalui mana negara
c.q. Pemerintah mendayagunakan penguasaannya atas sumber-
sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar- besarnya
kemakmuran rakyat.
Fungsi pengawasan oleh negara (toezichthoudensdaad) dilakukan oleh
negara c.q. pemerintah dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar
pelaksanaan penguasaan oleh negara atas cabang produksi yang
penting atau yang menguasai hajat hidup orang banyak dimaksud benar-
benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Sebelum keluarnya Undang- Undang nomor 23 Tahun 2014


(Lembaran Negara RI Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran
Negara RI Nomor 5587) tentang Pemerintahan Daerah, IzinUsaha
Pertambangan mayoritas dikeluarkan oleh pemerintah kabupaten kota.
Kondidi tersebut seolah menempatkan kepala daerah layaknyan “raja
kecil”di daerah pimpinannya. maka biasanya akan “disiasati” dengan
mengeluarkan 2 (dua) buah IUP masing-masing pemerintah daerah
kabupaten/ kota.Dari total 10.776 IUP yang keluar, sebanyak 8.000 izin
perusahaan tambang dikeluarkan pemerintah kabupaten/ kota, sisanya
dikeluarkan oleh pemerintah propinsi. Celakanya dari jumlah itu sebanyak
4.807 bermasalah. (Tribun News: 2014). Dari rekapitulasi yang dilakukan
oleh Distamben Provinsi Kalimantan Selatan, bahwa dari 656 buah izin
pertambangan batubara yang dikeluarkan oleh kabupaten/ kota di
Kalimantan Selatan, maka 236 buah IUP batubara belum Clear and Clean
(CNC), yang salah satu indikatornya belum melaksanakan perintah
UUPPLH tentang prosedur perizinan.

Tambang batubara merupakan salah satu sumber daya alam yang


memberikan kontribusi sangat berarti bagi pembangunan perekonomian di
Indonesia. Permasalahan lain yang muncul dalam pengelolaannya adalah
karena sebagian besar tambang batubara tersebut berada dalam kawasan
hutan lindung dan kawasan hutan produksi. Larangan yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang kehutanan (Lembaran
Negara RI Tahun 1999 Nomor Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara
RI Nomor 3888) sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan
atas UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-
Undang, tidak berpengaruh secara signifikan terhadap penggunaan
kawasan hutan sebagai kawasan tambang. Beberapa kebijakan
Pemerintah justru memperbolehkan penggunaan hutan lindung dan hutan
produksi sebagai lokasi pertambangan. Selanjutnya melalui Keputusan
Presiden Republik Indonesia Nomor 41 tahun 2004 tentang Perizinan
Atau Perjanjian di Bidang Pertambangan yang Berada di Kawasan
Hutan, ditetapkan 13 (tiga belas) izin atau perjanjian di bidang
pertambangan yang terbit sebelum keluarnya UU Nomor 41 tahun 1999
untuk melanjutkan kegiatannya sampai berakhirnya izin atau perjanjian
tersebut. Berikutnya pada tahun 2010, pemerintah kembali mengeluarkan
kebijakan baru melalui Peraturan Pemerintah RI Nomor 10 tahun 2010
tentang Tata Cara Perubahan Peruntukkan dan Fungsi Kawasan Hutan
(Lembaran Negara RI Tahun 2010 Nomor 15, Tambahan Lembaran
Negara RI Nomor 5097), yang kemudian dirubah dengan Peraturan
Pemerintah RI Nomor 60 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas PP
Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukkan dan
Fungsi Kawsan Hutan (Lembaran Negara RI Tahun 2012 Nomor 139,
Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 5324), Perubahan fungsi
kawasan untuk kegiatan di luar kehutanan salah satunya adalah kegiatan
pertambangan.
Pertambangan batu bara di kecataman kincap

Dari data kementrian Kehutanan yang dirilis sejak tahun 2008


bahwa perizinan pertambangan menggelembung semakin tidak terkontrol
sejak era otonomi daerah. Sekitar 6-7 Izin Usaha Pertambangan
dikeluarkan setiap harinya, luas kawasan hutan yang digunakan untuk IUP
eksplorasi sekitar 402.655,98 hektar, sedangkan kawasan untuk IUP
Operasi produksi sekitar 191.433,04 ha.

Secara umum dampak pertambangan terhadap lingkungan adalah


penurunan produktivitas lahan, kepadatan tanah bertambah, terjadinya
erosi dan sedimentasi, terjadinya gerakan tanah atau longsoran,
terganggunya flora dan fauna, terganggunya kesehatan masyarakat serta
berdampak terhadap perubahan iklim mikro. Sedangkan dampak pasca
tambang yang terjadi adalah, perubahan morfologi dan topografi lahan,
perubahan bentang alam (bentuk bentang alam pada lahan bekas
tambang biasanya tidak teratur, menimbulkan lubang-lubang terjal,
gundukan tanah bekas timbunan alat berat), lahan menjadi tidak
produktif dan rawan potensi longsor.Kasi Pembinaan Usaha
Pertambangan Provinsi Kalimantan Selatan, Gunawan Sardjito,
menyebutkan bahwa dampak besar yang terjadi dari usaha/ kegiatan
pertambangan adalah perubahan bentang alam.

Dampak Pertambangan Batubara Terhadap Perubahan Bentang Alam

Pertambangan memiliki peran penting dalam pembangunan dengan


menghasilkan bahan-bahan baku untuk industri, penyerapan tenaga kerja,
sebagai sumber devisa negara, dan meningkatkan pendapatan asli
daerah. Pada sisi lain, pertambangan juga menghasilkan berbagai dampak
buruk terhadap lingkungan. Pertambangan adalah kegiatan yang syarat
dengan resiko pencemaran dan/ atau kerusakan lingkungan. Tidak ada
kegiatan pertambangan yang tidak berpotensi mencemari dan/ atau
merusak lingkungan, seperti yang dinyatakan oleh George W. (Rock)
Pring.

Pertambangan adalah inheren (tak terpisahkan) dengan degradasi


lingkungan, tidak ada aktivitas pertambangan yang ramah lingkungan.
Aktivitas sumber daya mineral mempengaruhi semua media lingkungan,
yaitu tanah, udara, air, dan flora dan faunanya, juag lingkungan
manusia, keamanan dan kesehatan individu, gaya hidup masyarakat
lokal, kelangsungan budaya, tertib sosial, dan kehidupan ekonomi. Ketika
sementara menganggap bahwa mayoritas dampak pertambangan
dikatakan bersifat lokal, pertambangan dapat menyebabkan persoalan
lingkungan secara nasional, bersifat lintas batas, dan bahkan global”.
2. MEKANISME GERAKAN PEREMPUAN DALAM AKSI PENOLAKAN
TAMBANG

Gerakan yang dikalukan perempuan ini, merupakan gerakan yang


bersifat sesaat atau jangka pendek. Artisesaat dalam hal ini adalah kalau ada
aksiya ikut aksi. Tapi kalau tidak mereka tetap
menjalin silaturahmi sesame aktivis. Tetapi sifat gerakan aksI penolakan ini
juga keberlanjutan. Keberlanjutan ini dapat diartikulasikan sebagai gerakan
ini terus menerus dilakukan dan bentuk gerakannya tidak memiliki
persamaan. Cara mereka sebelum melakukan aksi dengan cara rapat
bersama dengan menentukan jam, hari dan tempat untuk melakukan aksi.
Masuk proses perijinan
sebelum melakukan aksi kepada pihak kepolisian dipersulit. Mangkanya
biasanya dari tanggal surat di buat untuk dapat
mendapatkan surat ijin aksi merka memerlukan waktu 2 minggu bahkan bisa
lebih.
Surat harus tetap di monitoring dan di damping terus-menerus. Bila
tidak ada pendampingan maka surat tersebut tidak akan sampai dan berhasil
itu saja harus ada tekanan dari orang yang mengajukan surat terebut, supaya
cepat di proses terkait dengan perijinannya supaya dapat lebih cepat mereka
menyampaikan aspirasinya terkait dengan tolak tambang. Gerakan tolak
tambang ini ditandai iring-iringan mobil yang membawa sonson dan juga
spanduk dan juga bendera tolak tambang emas Tumpangpitu. Juga bisanya
di tambah dengan atribut yang mereka pakai, seperti pakaian baju tolak
tambang dan juga seringkali terlihat banyak yang memakai pakaian kerja,
seperti nelayan yang identitasnya adalah memakai kopyah dan juga sarung.
Ada juga petani yang memakai topi capil taninya. Pada saat demo
berlangsung, perempuanlah yang berada paling depan. Mereka adalah
seorang ibu-ibu pasti membuat pihak satuan pengamanan demo menjadi
tidak enak. Karena seorang ibu adalah orang yang melahirkan dan yang
mengandung, karena sebagian besar yang mengamankan demo adalah
polisi lakilaki. Pernyataan terebut seperti halnya di sampaikan langsung oleh
Ibu Siti sebagai berikut:
“Emang perempuan-perempuan kalua ada aksi kita itu memblokade
perempuan yang diajukan. Soalnya perempuan tidak akan adu fisik sama
polisi tidak akan itu pasti. Tapi kalua laki-laki pastinya adu fisik dengan
aparat-aparat. Kasihan juga nanti yang disalahkan ya seluruh masyarakat.
Soalnya pihak tambang menyewa aparat gitu kalau apparat pasti bilangnya
bertugas. Seharusnya kepolisian melindungi rakyat tetapi badannya aja yang
dilindungi tapi hatinya tidak”. (Ibu Sit, 19 Maret 2018).
Penjelasan Ibu Sit ini bukan sematamata mengajukan perempuan
yang lebih lemah untuk berada di garis depan, tetapi ada tujuan yang lebih
besar. Yaitu tujuan untuk menyelamatkan kepetingan masyarakat bersama
dan mengubah Mindset warga yang menolak tambang tidak anarkis.
Menginggat banyak kejadian demo yang berakhir anarkis. Karena tak sedikit
dari Aktivis Tolak Tambang Tumpangpitu ini berurusan dengan pihak
berwajib (kepolisian), dan berkahir masuk jeruji penjara. Makanya alasan itu
yang membuat kaum perempuan menyelamatkan teman perjuangannya.
Pada sisi lain juga menunjukan eksistensi perempuan bahwa juga bisa setara
dengan laki-laki.
3. ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA
Alternatif Dispute Resolution (ADR) sering diartikan sebagai alternative
to litigation dan alternative to adjudication. Pilihan terhadap salah satu dari
dua pengertian tersebut menimbulkan implikasi yang berbeda. sebagai
alternative to litigation maka ADR adalah salah satu mekanisme
penyelesaian sengketa non litigasi dengan mempertimbangkan segala
bentuk efisiensinya dan untuk tujuan masa yang akan datang sekaligus
menguntungkan bagi pihak yang bersengketa. Sedangkan apabila ADR
dimaknai sebagai alternative to adjudication dapat meliputi mekanisme
penyelesaian sengketa yang bersifat konsensus seperti halnya negoisasi,
mediasi dan konsiliasi.

Konflik ini berasal dari terminologi kata bahasa inggris conflict, yang
berarti persengketaan, perselisihan, percekcokan dan pertentangan. Konflik
atau persengketaan tentang sesuatu terjadi antara dua pihak atau lebih.
Konflik atau perselisihan nyaris tidak terpisah dari kehidupan manusia dan
masyarakat sehingga sulit dibayangkan bila masyarakat tanpa konflik. Konflik
atau sengketa merupakan kosakata yang acapkali muncul dalam fenomena
kehidupan bermasyarakat, berbangsa bahkan bernegara. Konflik atau
sengketa tidak lagi bersifat ideologis tetapi sudah bergeser ke arah konflik
multikultural yang berbasis pada perbedaan, pergeseran bahkan perubahan
pemahaman berbudaya masyarakat. Pergeseran
pemahaman konflik atau sengketa pada gilirannya berdampak pada
munculnya berbagai konsep alternatif penyelesaian sengketa.
Konflik dimaknai sebagai suatu struktur ketegangan mental di tengah
masyarakat, oleh Karl Marx dipahaminya sebagai class struggle. Konflik
terjadi selama ini lebih didominasi oleh pertarungan pada sektor-sektor
strategis (sumber daya), tentu karena harapan untuk lebih survival. Konflik
pertambangan di Kabupaten Lumajang berkaitan dengan isu sengketa
kepemilikan lahan antara masyarakat dengan penambang maupun
perusahaan tambang, interaksi pelaku tambang dengan masyarakat sekitar
lokasi tambang, legalitas aktivitas pertambangan, degradasi lingkungan
akibat adanya aktivitas lingkungan, dan regulasi pertambangan. Pemetaan
tipologi konflik dilakukan dengan mengelompokkannya ke dalam ruang-ruang
konflik. Kriteria-kriteria ruang konflik tersebut menurut Fuad dan Maskanah
terbagi kedalam lima ruang konflik, yaitu:
Pertama, Konflik Data. Terjadi ketika seseorang mengalami
kekuranganinformasi yang dibutuhkan untuk mengambil keputusan yang
bijaksana, mendapat informasi yang salah, tidak sepakat mengenai data
yang relevan, menerjemahkan informasi dengan cara yang berbeda atau
memakai tata cara pengkajian yang berbeda. Dari penafsiran diatas dapat
dipahami bagaimana informasi yang beredar dalam aktivitas pertambangan
bisa memunculkan konflik terbuka maupun tidak. Keberadaan regulasi
tentang pertambangan juga menyumbang potensi konflik, baik itu dalam
bentuk ketidak tegasan dalam pengawalan regulasi maupun regulasi yang
ambigu. Kewenangan dalam pengawalan regulasi tentang pertambangan
antara Kabupaten dengan Provinsi juga menyulitkan dalam proses
penindakan dan pencegahan secara cepat
.Kedua konflik kepentingan disebabkan oleh persaingan kepentingan
yang dirasakan atau yang secara nyata memang tidak bersesuaian. Konflik
kepentingan terjadi karena masalah yang mendasar atau substantif (misalnya
uang dan sumberdaya), masalah tata cara (sikap dalam menangani masalah)
atau masalah psikologis (persepsi atau rasa percaya, keadilan, rasa hormat).
Konflik kepentingan merupakan tipologi konflik paling dominan. Pemilik
modal, pemerintah, penambang tradisional dan masyarakat memiliki
kepentingan yang sangat besar dalam aktivitas pertambangan. Masyarakat
sekitar lokasi tambang melihat aktivitas dalam dua sisi: 1). Masyarakat
dirugikan dengan rusaknya fasilitas umum, hilangnya lahan, dan rusaknya
lingkungan sosial masyarakat. 2). Masyarakat merasa diuntungkan dengan
aktivitas tersebut karena mempunyai mata pencaharian, dilibatkan dalam
aktivitas pertambangan, dan mendapatkan kompensasi ekonomi. Pemerintah
daerah melihatnya dalam tiga sisi: 1). Tambang bisa menjadi sumber
pendapatan daerah. 2). Pemerintah melihat aktivitas tambang sebagai
sebuah ancaman karena dampaknya terhadap stabilitas sosial, dimana
pemerintah pada akhirnya harus menanggung keseluruhan proses pemulihan
jika terjadi kerusakan maupun konflik horizontal. 3). Pemerintah melihat
aktivitas pertambangan dalam kerangka regulasi yang harus dikawal dan
ditegakkan.

Ketiga, konflik hubungan antar manusia, terjadi karena adanya emosi-


emosi negatif yang kuat, salah persepsi, salah komunikasi atau tingkah laku
negatif yang berulang (repetitif). Masalah-masalah ini sering menimbulkan
konflik yang Alternatif Penyelesaian Sengketa Pertambangan (Studi di
Kabupaten Lumajang Provinsi Jawa Timur) Alternative Dispute Resolution on
Mining (Case Study in Lumajang District, East Java Province) 158 Jurnal
Konstitusi, Volume 14, Nomor 1, Maret 2017 tidak realistis atau yang
sebenarnya tidak perlu terjadi. Tipologi ini terjadi di Lumajang. Kecemburuan
dan persaingan antara pelaku tambang yang terjadi kerap menimbulkan
gesekan yang berakibat pada timbulnya konflik Horizontal. Berdasarkan
fakta-fakta yang terjadi dilapangan terkait konflik horizontal antar pelaku
tambang. Konflik terjadi antara masyarakat dengan para penambang akibat
tidak adanya sosialisasi dan penglibatan dalam proses pertambangan kerap
menimbulkan konflik. Tidak adanya konpensasi kepada masyarakat dari
pihak penambang dan penglibatan masyarakat setempat sering menjadi
sumber utama dalam tipologi konflik yang terjadi.
Kelima, konflik struktural, terjadi ketika adanya ketimpangan untuk
melakukan akses dan kontrol terhadap sumberdaya, pihak yang berkuasa
dan memiliki wewenang formal untuk menetapkan kebijakan umum, biasanya
memiliki peluang untuk meraih akses dan melakukan kontrol sepihak
terhadap pihak lain. Pasca tidak berlakunya Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan digantikan dengan Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah pemerintah
kabupaten/kota kebingungan mengambil langkah. Sebaliknya, para
pengusaha pertambangan juga kesulitan mengajukan izin dengan alasan
belum ada Peraturan Pemerintah atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah tersebut. Dalam Undang-Undang 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah telah mencabut kewenangan
Pemerintah Kabupaten/Kota dalam mengeluarkan izin usaha pertambangan.
Dalam pandangan Dahrendorf masyarakat mempunyai sisi ganda
konflik dan konsensus yang menjadi persyaratan satu sama lain. Tidak akan
ada konflik kecuali ada konsensus. Konflik tidak akan lahir tanpa adanya
konsensus sebelumnya. Konsep konsensus menurut teori konflik merupakan
ketidakbebasan yang dipaksakan, bukan hasrat untuk stabil sebagaimana
menurut teori fungsionalisme. Hal ini posisi sekelompok orang dalam struktur
sosial menentukan otoritas terhadap kelompok lainnya (otoritas berada di
dalam posisi). Kepentingan dikategorikan Dahrendorf menjadi kepentingan
tersembunyi dan kepentingan nyata.12 Konflik dapat menciptakan konsensus
dan integrasi. Oleh sebab itu, proses konflik sosial merupakkan kunci adanya
struktur sosial. Dahrendrof berpendapat bahwa di dalam setiap asosiasi yang
ditandai oleh pertentangan terdapat ketegangan diantara mereka yang ikut
dalam struktur kekuasaan dan yang tunduk pada struktur itu. Kekuasaan
memisahkan dengan tegas antara penguasa dan yang dikuasai, sehingga di
dalam masyarakat terdapat dua pihak yang saling bertentangan karena
adanya perbedaan kepentingan.13 Konflik yang terjadi di kawasan
pertambangan Lumajang melibatkan banyak aktor intelektual dan juga
pemegang modal. Apabila ditelaah, maka dapat dikatakan bahwa konflik
pertambangan di kabupaten Lumajang terjadi pada dua tataran yaitu tataran
makro dan tataran mikro.
Pada tataran makro, konflik terjadi pada lingkup horizontal yang lebih
luas, mencakup konflik antar pemerintah sebagai pemangku kekuasaan baik
itu pemerintah Kabupaten, Provinsi, dan Pemerintah Pusat. Pada tataran
mikro, konflik terjadi antara masyarakat setempat dengan perusahaan dan
pemerintah setempat, atau dengan oknum spekulan dan aparat. Konflik pada
tataran mikro ini, umumnya terjadi pada tataran lokal yang melibatkan
perusahaan legal dan non illegal dengan masyarakat lokal. Terdapat 3 (tiga)
jenis konflik yang terjadi di kabupaten Lumajang. Pertama, Regulasi di tingkat
daerah terkait aspek Teknik tambang yang digunakan oleh para penambang,
aspek sosial budaya, aspek perizinan, aspek tata ruang kewilayahan, dan
kepastian hukum. Kedua, Terkait tatacara atau teknik, bagaimana sistem
eksplorasinya, pengelolaan, reklamasi, dan Pendistribusian hasil tambang
(transportasi dan jalan). Ketiga, Resistensi dari masyarakat. Tidak adanya
pelibatan masyarakat disekitar aktivitas lokasi tambang, Tidak adanya
konpensasi, Merusak lingkungan, dan Aktivitas ilegal. Penambang berasal
dari daerah luar, masyarakat tidak dilibatkan dalam kegiatan pertambangan,
penguasaan lahan galian secara ilegal oleh pelaku tambang, tidak adanya
konpensasi yang diberikan oleh penambang terhadap dampak yang
diakibatkan aktivitas pertambangan, dan tambang yang dilakukan di
sepanjang bantaran Daerah Aliran Sungai menyebabkan tanah disekitar
sungai mengalami abrasi dan beberapa rumah longsor. Lahan pertanian
warga masyarakat disekitar lokasi tambang hilang atau rusak akibat aktivitas
pertambangan, rusaknya ekosistem dan infrstruktur, serta tambang dilakukan
dengan cara mekanik dan cenderung eskploratif sehingga kawasan jadi
rusak.
Dari uraian tersebut secara garis besar berbagai konflik
pertambangan yang terjadi di Kabupaten Lumajang dapat
diklasifikasikan ke dalam beberapa bentuk konflik sebagai berikut: a)
Berdasarkan sifatnya; Konflik tersebut dapat dibedakan menjadi konflik
destruktif dan konflik konstruktif.
1. Konflik Destruktif Merupakan konflik yang muncul karena
adanya perasaan tidak senang, rasa benci dan dendam dari
seseorang ataupun kelompok terhadap pihak lain. Kejadian di
Kabupaten Lumajang merupakan contoh kongkrit dalam kasus konflik
Destruktif yang terjadi dalam kegiatan pertambangan. Selain itu
persaingan yang terjadi antar para penambang baik itu penambang
lokal dengan pengusaha. Konflik destruktif ini juga berlaku dimana
para pelaku tambang melaporkan para pelaku tambang yang lain.
2. Konflik Konstruktif Merupakan konflik yang bersifat
fungsional, konflik ini muncul karena adanya perbedaan pendapat dari
kelompok-kelompok dalam menghadapi suatu permasalahan. Konflik
ini akan menghasilkan suatu konsensus dari berbagai pendapat
tersebut dan menghasilkan suatu perbaikan. Dalam konflik yang
bersifat konstruktif, masyarakat memprotes keberadaan aktivitas
tambang terutama yang ilegal baik itu dari segi aspek eksplorasinya
maupun aspek interaksi dengan masyarakat lokal. Dalam beberapa
kasus yang terjadi di daerah tersebut, aktivitas pertambangan
dianggap sebagai sebuah ancaman terhadap stabilitas sosial
kemasyarakatan dibandingkan nilai ekonomis yang akan mereka
dapat.
b) Berdasarkan Posisi Pelaku yang Berkonflik;
1. Konflik Vertikal Merupakan konflik antar komponen masyarakat di
dalam satu struktur yang memiliki hierarki. Dalam kasus
pertambangan, konflik terjadi dalam perumusan, pembuatan, dan
pengambilan kebijakan. Keberadaan regulasi sebagai produk
kebijakan pemerintah baik Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi
maupun Pemerintah Kabupaten harus memberikan kepastian dan
jaminan hukum, baik itu dari segi kewenangan daerah, hak
masyarakat, dan proses legalitas mutlak diperlukan. Dalam kasus
Lumajang, terjadi tarik ulur kewenangan antara Pemerintah Provinsi
dengan Pemerintah Kabupaten terkait kewenangan pengelolaan
tambang. Kondisi ini memicu terjadinya konflik vertikal antara
Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten dengan Pelaku tambang
serta masyarakat.
2. Konflik Horizontal Merupakan konflik yang terjadi antara individu
atau kelompok yang memiliki kedudukan yang relatif sama. Hampir
semua daerah mengalami konflik tersebut, di Lumajang misalnya,
masyarakat dengan masyarakat (Pro dan kontra) sehingga
mengakibatkan jatuhnya korban jiwa. 3. Konflik Diagonal Merupakan
konflik yang terjadi karena adanya ketidakadilan alokasi sumber daya
ke seluruh organisasi sehingga menimbulkan pertentangan yang
ekstrim. Keengganan sebagian perusahaan tambang melibatkan
masyarakat lokal juga mengakibatkan terjadinya konflik. Selain itu
aktivitas tambang yang dilakukan oleh orang dari luar daerah juga
menyebabkan terjadinya konflik diagonal tersebut. Bentuk
penyelesaian konflik yang lazim dipakai, yakni konsiliasi, mediasi,
arbitrasi, koersi (paksaan), dan détente. Berdasarkan observasi dan
wawancara penulis maka, pendekatan yang digunakan dalam
pengendalian konflik oleh Kabupaten Lumajang ada lima yaitu:
Konsiliasi, mediasi, arbitrasi, perwasitan dan detente.
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Kegiatan pertambangan batubara sebagai salah satu
pemanfaatan sumber daya alam pada dasarnya merupakan
bagian dari pelaksanaan pembangunan perekonomian yang
pada hakekatnya mengacu pada tujuan pembangunan nasional,
yakni peningkatan kesejahteraan masyarakat. Akan tetapi
pertambangan merupakan kegitan yang sangat rentan terhadap
resiko pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup, sehingga
pemerintah sebagai konsekuensi dari Hak Menguasai Negara
atas Sumber Daya Alam wajib menyelenggaraan fungsi
mengatur, mengurus dan mengawasi terhadap pengelolaan
sumber daya alam. Ditinjau dari aspek HAM, pelaksanaan hak-
hak yang ada dalam lingkup hak asasi lingkungan berupa :
hak pembangunan dan hak penggunaan kekayaan dan sumber
alam (batubara) tidak boleh sama sekali mengurangi hak setiap
warga negara atas lingkungan hidup yang baik dan sehat
seperti yang diamantkan dalam Pasal 28H ayat (1) UUD NRI 1945
dan UUPPLH.
B. SARAN
Perlunya mempertegas kebijakan perizinan, baik izin
lingkungan maupun izin usaha pertambangan yang terpadu
yang mengacu pada konsep pembangunan yang
berkelanjutan dan berwawasan lingkkungan, sebagai upaya
preventif terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan
hidup.
DAFTAR PUSTAKA

Afrizal. 2006. Sosiologi Konflik Agraria: Protes- Protes Agraria Dalam


Masyarakat Indonesia Kontemporer. Padang: Andalas University Pers.
http://jim.stkip-pgri-sumbar.ac.id/jurnal/download/5756

Anda mungkin juga menyukai