Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

“TUMPANG TINDIH IZIN PERTAMBANGAN DI INDONESIA”

DI SUSUN OLEH :

NAMA KELOMPOK 1 : NIM :

 SEMING RAHMANUDDIN (191130681)

 INDAR (191130625)

 ANDI KASWALIA (191130591)

 AGUNG PRATAMA PUTRA (191130

 AHMAD FAISAL NASIR (191130578)

 DEDI (191130

 AMRIANI (191130589)

 ROSDA CHAZANAH (191130675)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEMBILANBELAS NOVEMBER

KOLAKA

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas nikmat, rahmat, karunia, dan

perlindungan-Nya yang telah diberikan kepada peneliti untuk menyelesaikan Makalah

ini. Makalah berjudul “TUMPANG TINDIH IZIN PERTAMBANGAN DI INDONESIA

’’ dengan tujuan untuk memberikan sumbangsih pemikiran dan pengetahuan kepada para

pembaca terkait dengan isu hukum yang dibahas. Penulis menyadari masih banyak

kekurangan dalam Penulisan Makalah Ini, baik dalam pemaparan materi, substansi,

maupun tata cara penulisannya, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak amatlah

Penulis harapkan demi perbaikan kedepannya. Semoga Makalah ini dapat bermanfaat

bagi pembaca dalam memperkaya khasanah ilmu pengetahuan.

Kolaka, 1 Desember 2022

Penulis,

ii
DAFTAR ISI

SAMPUL ..................................................................................................... i

KATA PENGANTAR ............................................................................... ii

DAFTAR ISI............................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... iv

A. LATAR BELAKANG ......................................................................... iv

Rumusan Masalah ..................................................................................... vii

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................1

A. Peraturan perundang-undangan terkait minerba ........................1

B. pertambangan ..............................................................................5

C. Rekonsiliasi IUP Nasional ..........................................................9

D. Penerapan Asas first come first served .....................................10

E. Permasalahan Tumpang Tindih Pemanfaatan Lahan ................11

F. Penyelesaian Tumpang tindih sesame konsesi ..........................12

G. Proses rekonsiliasi .....................................................................12

H. Penyelesaian Tumpang tindih pertambangan ...........................13

I. penyelenggaraan penata ruang....................................................14

BAB III PENUTUP ......................................................................16

Kesimpulan ....................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................17

iii
BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan sumber daya alam.


Kekayaan sumber daya alam merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa, yang
sudah sepatutnya dijaga dan dilestarikan. Sumber daya alam merupakan salah satu
modal dasar dalam pembangunan ekonomi nasional, oleh karena itu harus
dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat dan memperhatikan
kelestarian lingkungan hidup sekitar.

Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) ditentukan bahwa


bumi, dan air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Berkenaan dengan makna
dari kalimat dikuasai oleh negara, Sutedi (2011:24) berpendapat bahwa negara
berdaulat atas kekayaan sumber daya alam, tetapi tujuan akhir dari pengelolaan
kekayaan alam adalah sebesarbesarnya untuk kemakmuran rakyat. Salah satu
kekayaan alam yang dimiliki oleh Indonesia adalah berupa sumber daya bahan
tambang mineral dan batubara. Pertambangan mineral dan batubara diatur dalam
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Negara mempunyai peran yang penting dalam bidang pertambangan. Secara


ketatanegaraan, bentuk keterlibatan negara dalam pengelolaan sumber daya mineral
ada tiga, yakni pengaturan (regulasi), pengusahaan (mengurus) dan pengawasan
(Sutedi, 2011:25). Aspek pengaturan merupakan hak mutlak

negara yang tidak boleh diserahkan kepada swasta dan merupakan aspek yang paling utama
diperankan negara di antara aspek lainnya. Supramono (2012:43) menyebutkan bahwa, di bidang
pertambangan pemerintah/negara berkedudukan sebagai pihak yang menguasai, karena
iv
pertambangan merupakan kekayaan alam yang menguasai hajat hidup orang banyak. Salim
(2013:5) berpendapat:

Meskipun pemerintah/negara berkedudukan sebagai pihak yang menguasai


sumber daya alam tambang, tetapi pemerintah/negara tidak mampu melakukan
usaha pertambangan itu sendiri. Untuk dapat melaksanakan kegiatan itu,
pemerintah memberikan wewenang kepada pihak lainnya untuk melakukan
usaha pertambangan atas sumber daya alam tambang.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang
menggantikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pertambangan diharapkan dapat memberikan dampak terhadap pembangunan ekonomi di
Indonesia. UndangUndang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
juga diharapkan akan menciptakan iklim industri yang lebih kondusif dan memulihkan
kepercayaan publik terhadap investasi pertambangan Indonesia (Sutedi, 2011:104).

Kegiatan untuk melakukan usaha pertambangan sebagaimana yang diatur


dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara adalah melalui sistem perizinan, yaitu Izin Usaha

Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Selain IUP dan IUPK,
terdapat juga Izin Pertambangan Rakyat (IPR). Ketentuan mengenai Kuasa Pertambangan (KP),
Kontrak Karya (KK), dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang
sebelumnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang KetentuanKetentuan
Pokok Pertambangan tidak dipergunakan lagi. Ketentuan bagi perusahaan pertambangan yang
menggunakan sistem perjanjian/kontrak sebelum diberlakukannya Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, diatur dalam ketentuan peralihan Pasal

169 huruf (a), (b), dan (c) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara, yaitu sebagai berikut:

a. Kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara


yang telah ada sebelum berlakunya undang-undang ini tetap diberlakukan
sampai jangka waktu berakhirnya kontrak/perjanjian

v
b. Ketentuan yang tercantum dalam pasal kontrak karya dan perjanjian karya
pengusahaan pertambangan batubara sebagaimana dimaksud pada huruf a
disesuaikan selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak undang-undang ini
diundangkan kecuali mengenai penerimaan negara.
c. Pengecualian terhadap penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada
huruf b adalah upaya peningkatan penerimaan negara.

Berdasarkan penjelasan bagian konsideran tersebut dapat dinilai bahwa yang ditekankan oleh
pemerintah adalah bukan untuk menciptakan pembangunan ekonomi tetapi untuk mewujudkan
pertumbuhan ekonomi nasional. Seperti yang diketahui bahwa dalam Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara masih terdapat pasal-pasal yang
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, sehingga yang dibutuhkan tidak saja
melalui pertumbuhan ekonomi tetapi juga mementingkan pembangunan ekonomi yang merata
bagi seluruh masyarakat Indonesia. Pertambangan merupakan salah satu sektor pembangunan
penting bagi Indonesia. Dalam perkembangannya, industri pertambangan sebagai bentuk
kongkret sektor pertambangan menyumbang sekitar 11,2% dari nilai ekspor Indonesia dan
memberikan kontribusi sekitar 2,8% terhadap pendapatan domestik bruto (PDB). Industri
pertambangan mempekerjakan sekitar 37.787 tenaga kerja orang Indonesia.

Namun dari sisi lingkungan hidup, pertambangan dianggap paling merusak dibanding kegiatan-
kegiatan eksploitasi sumberdaya alam lainnya.

Besarnya hasil pertambangan Indonesia tersebut menjadikan kegiatan usaha dan ekspor
bahan tambang sebagai salah satu kontribusi terbesar bagi pendapatan Indonesia dan juga
menjadi penyangga kondisi ekonomi Indonesia, Hal tersebut menyebabkan terjadi banyaknya
kasus tumpang tindih perizinan yang tumpang tindih dengan izin lainnya. Misalnya,

perizinan pertambangan yang terletak di area hutan. Di situ, Izin Usaha Pertambangan(IUP)
diterbitkan pemerintah daerah. Namun, izin pemanfaatan hutan tetap ada di pemerintah pusat,”
kata Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM, R. Sukhyar, Senin (10/2)1. Hal ini terjadi
lantaran adanya pergantian kepala daerah. Banyak kepala daerah yang menerbitkan izin yang

vi
bertentangan dengan IUP sebelumnya2. Selain itu, terjadinya tumpang tindih izin karna adanya
kewenangan yang dimiliki oleh masing-masing instansi dan juga karna komunikasi yang kurang
baik.

Dalam hal ini, tumpang tindih yang dibahas adalah tumpang tindih izin usaha pertambangan di
indonesia. Maka dari itu, perlu kita ketahui pengertian mengenai tambang, dan tumpang tindih.
Tambang adalah kosakata dasar dari pertambangan, suatu proses untuk mendapatkan material
yang terkandung di dalam Bumi3, sedangkan tumpang tindih adalah “overlapping” yaitu keadaan
yang menunjukkan bahwa satu pekerjaan yang sama di lakukan oleh beberapa orang atau
kelompok sehingga menghasilkan pekerjaan kembar atau ganda.

Adapun tujuan makalah ini adalah untuk mendeskripsi dan menganalisis secara mendalam
dasar yang melatar belakangi tumpang tindih izin pertambangan di indonesia serta
menganalisis hambatan-hambatan yang timbul dalam Pelaksanaan izin pertambangan di
indonesia.

B. Rumusan Masalah
Memperhatikan luasnya cakupan masalah makalah adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana Regulasi Dalam Penertiban Tumpang tindih izin pertambangan di


inonesia?

2. Bagaimana Dampak Dalam Tumpang tindih izin pertambangan di indonesia?

C. Tujuan Makalah

Tujuan dari Makalah ini adalah:

1. Untuk mengetahui Bagaimana Regulasi Dalam Penertiban Tumpang tindih izin


pertambangan di inonesia?

2. Untuk mengetahui Bagaimana Dampak Dalam Tumpang tindih izin pertambangan di


indonesia

vii
BAB II

PEMBAHASAN

A. Peraturan Perundang-Undangan Terkait Mineral dan Batubara

Komisi Pemberantasan Korupsi menyatakan masih banyak bupati yang tidak kooperatif
untuk menyerahkan data IUP di wilayahnya kepada Gubernur. Hal tersebut menyebabkan proses
evaluasi IUP berjalan lambat. Para Bupati acap kali menjadikan buruknya dokumentasi dan
tumpang tindihnya kebijakan sebagai alasan untuk menunda penyerahan IUP di wilayahnya.
Padahal, berdasarkan Permen ESDM No. 43 Tahun 2015 tentang Tata Cara Evaluasi dan
Penerbitan IUP Sektor Minerba memerintahkan gubernur untuk mengevaluaasi IUP di
wilayahnya paling lambat 90 hari sejak serah terima personel, pendanaan, sarana dan prasarana,
serta dokumen (P3D).
Penuntasan sekitar 3.000 izin usaha pertambangan mineral dan batubara bermasalah molor
akibat keengganan para Bupati menyerahkan personel, prasarana, pembiayaan, dan dokumen
(P3D) IUP kepada gubernur. Kementerian Dalam Negeri didesak untuk memberikan sanksi
kepada daerah yang menghambat penuntasan IUP bermasalah itu.10 Menurut Ketua Tim
Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam, Bidang Pencegahan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), dampak dari keengganan bupati menyerahkan data perizinan itu
ialah gubernur menjadi tidak bisa menggunakan kewenangannya memberikan peringatan,
menciutkan, atau mencabut IUP bermasalah.

Berdasarkan data KPK, dari 10.172 IUP Pertambangan, ada 3.966 IUP bermasalah pada
Februari 2016, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Dalam Negeri, dan
KPK bersepakat untuk menuntas IUP bermasalah itu maksimal tanggal 12 Mei 2016. Adapun
IUP itu bermasalah, antara lain karena penerbitan IUP ganda di kawasan sama, IUP dengan
alamat tidak valid, IUP di kawasan hutan lindung atau hutan konservasi, atau pemegang IUP tak
punya nomor pokok wajib pajak (NPWP).
Setelah penulis menganalisis Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 43
Tahun 201512 untuk memahami mengapa terjadi permasalahan IUP sebagaimana yang telah

1
diuraikan sebelumnya maka penulis menemukan suatu pasal yang menjadi penyebab
permasalahan tersebut yaitu terdapat Pasal yang bertentangan dengan UU yang lebih tinggi salah
satunya dengan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Pasal
tersebut yaitu Pasal 119 UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. 13
Penulis tidak menemukan ketentuan yang memberikan kewenangan kepada Dirjen atas nama
Menteri untuk mencabut Izin Usaha Pertambangan yang memiliki wilayah yang tumpang tindih.
Pasal 119 UU Mineral dan Batubara Tahun 2009 hanya mengamanatkan agar Menteri,
Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya dapat mencabut IUP atau IUPK
apabila pemegang IUP atau IUPK tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam IUP atau
IUPK serta peraturan perundangundangan, pemegang IUP atau IUPK melakukan tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam UU ini; atau pemegang IUP atau IUPK dinyatakan pailit.

Berdasarkan Pasal 119 UU Minerba 2009 tersebut pemerintah mengatur secara limitatif
tentang kewenangan pencabutan izin, yang di dalamnya tidak ada memberi kewenangan dalam
hal terjadi tumpang tindih kewilayahan. Bahwa terjadinya tumpang tindih kewilayahan,
bukanlah lahir dari kewajiban orang dan/atau badan hukum (warga negara) selaku pemegang
IUP, namun semuanya terjadi karena pelaksanaan kewenangan negara cq pemerintah. Jadi, tidak
ada hubungannya, antara pemenuhan kewajiban hingga dinyatakan pailit pemegang IUP
menurut Pasal 119 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara dengan evaluasi tumpang tindih kewilayahan sehingga IUP harus dicabut. Dengan
demikian hal ini mempertegas bahwa persoalan tumpang tindih kewilayahan haruslah menjadi
domain pengadilan atau arbitrase .

Demikian pula pengaturan tentang Izin Usaha Pertambangan Penyesuaian yang wajib
disertifikasi dengan diberikan Status dan Sertifikat CnC oleh Dirjen atas nama Menteri ESDM
juga tidak diamanatkan dalam UU Mineral dan Batubara Tahun 2009 dan peraturan
pelaksananya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010. Pada Pasal 112 angka 4
huruf a PP Nomor 23 Tahun 2010 diatur tentang status pemilik kuasa pertambangan sebelum
berlakunya UU Mineral dan Batubara Tahun 2010.15 Ketentuan Pasal tersebut memerintahkan
agar Kuasa pertambangan, surat izin pertambangan daerah, dan surat izin pertambangan
rakyat, yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan sebelum
ditetapkannya PP Nomor 23 Tahun 2010 tetap diberlakukan hingga jangka waktu berakhir
2
serta wajib disesuaikan menjadi IUP atau IPR sesuai dengan ketentuan PP No. 23 Tahun 2010
dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sejak berlakunya PP No. 23 Tahun 2010 dan
khusus BUMN dan BUMD, untuk IUP Operasi Produksi merupakan IUP Operasi pertama.
Makna dari kata “disesuaikan” dalam ketentuan tersebut adalah mengubah bentuk kuasa
pertambangan, surat izin pertambangan daerah, dan surat izin pertambangan rakyat menjadi
bentuk Izin Usaha Pertambangan atau Izin Pertambangan Rakyat sehingga memberikan
kepastian dan perlindungan hukum dan menghindari kerugian terhadap pemilik kuasa
pertambangan yang diberikan waktu untuk diubah menjadi Izin Usaha Pertambangan atau Izin
Pertambangan Rakyat. Berdasarkan uraian tersebut jelaslah bahwa UU Minerba tersebut tidak
pernah mengamanatkan untuk menyusun Peraturan Menteri untuk memberikan kewenangan
kepada Pemerintah Pusat melalui Menteri ESDM dan Dirjen untuk menerbitkan sertifikasi
CnC IUP Penyesuaian. Pada Pasal 139, 140, 141, 142, dan 143 Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral diatur bahwa sertifikasi CnC IUP Penyesuaian
tersebut dimaksudkan untuk melaksanakan pembinaan, pengawasan, dan evaluasi terhadap
penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan yang dilakukan oleh pemerintah provinsi
dan pemerintah kabupaten/ kota.

Namun setelah penulis menganalisis secara mendalam UU No. 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara dan UU No. 23 Tahun 201416 maka terdapat suatu
ketentuan yang mengatur bahwa kewenangan penyelenggaraan urusan di bidang Mineral dan
Batubara hanya dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi sebagaimana yang
diperintahkan oleh Pasal 6 dan 7 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara. Bahkan kewenangan Menteri ESDM untuk
melaksanakan pengawasan terhadap penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan yang
dilakukan oleh Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota ditegaskan pada
ketentuan Pasal 140 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral
Junto Pasal 13 dan 14 UU No. 55 Tahun 2010. Untuk menindaklanjuti ketentuan pasal-pasal
tersebut maka Menteri ESDM telah memberlakukan Permen ESDM No. 2 Tahun 2013 dan
Permen No. 43 Tahun 2015 untuk mengatur pengawasan pemerintan pusat terhadap
penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan yang dilakukan oleh Pemerintah

Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota.


3
Menurut Permen No. 43 Tahun 2015 maka dokumen perizinan di bidang pertambangan
mineral dan batubara dievaluasi oleh Menteri dan Gubernur sesuai dengan kewenangannya
dengan mengevaluasi penerbitan IUP yang mencakup bidang administrasi, teknis,
kewilayahan, finansial dan lingkungan.

Ruang lingkup hasil evaluasi yang dilaksanakan oleh Gubernur terhadap penerbitan IUP
mencakup: rekomendasi IUP yang memenuhi kriteria adminsitratif dan kewilayahan kepada
Menteri melalui Dirjen untuk dimasukkan dalam daftar Pengumuman Status Clean and clear,
IUP atau Kuasa Pertambangan yang dicabut karena tidak memenuhi kriteria administratif dan
kewilayahan, rekomendasi IUP yang memenuhi kriteria teknis dan lingkungan untuk
pemberian sertifikat Clean and clear; IUP yang dikenakan sanksi administratif, IUP Operasi
Produksi yang dicabut, dan hasil evaluasi terhadap penerbitan Kuasa Pertambangan.

Kemudian Dirjen mengumumkan status IUP Clear dan Clean berdasarkan rekomendasi yang
diberikan oleh Gubernur sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 22 Permen ESDM Nomor
43 Tahun 2015.

Meskipun begitu, apabila diketahui masih ada tumpang tindih kewilayahan yang ditemukan dari
evaluasi yang direkomendasikan Gubernur ketika dilaksanakan pendaftaran dalam pusat data
nasional oleh Pemerintah Pusat, sehingga sangat dibutuhkan verifikasi ulang oleh Pemerintah
Pusat.

Dirjen Minerba akan menyatakan bahwa IUP Clean and clear sesuai dengan ketentuan Permen
ESDM Nomor 43 Tahun 2015 dengan diawali melaksanakan pemeriksaan kembali wilayah yang
tercantum dalam IUP yang direkomendasikan Gubernur yang telah pula didukung oleh KPK
dengan mengadakan rapat antara Ditjen Minerba dengan KPK.

Selanjutnya Pasal 12 Permen 43 tahun 2015 memberikan kepastian hukum terhadap tumpang
tindih kewilayahan dalam IUP yang mengamanatkan dalam hal berdasarkan hasil evaluasi yang
dilakukan oleh Direktur Jenderal atau Gubernur terdapat tumpang tindih WIUP dengan WIUP
lain yang sama komoditas maka Direktur Jenderal atau Gubernur melakukan penciutan WIUP,
apabila sebagian WIUP tumpang tindih; atau penerapan sistem permohonan pertama
pencadangan wilayah yang telah memenuhi persyaratan, mendapat prioritas pertama untuk
diberikan IUP (first come first served), apabila seluruh WIUP tumpang tindih. Dengan
4
memperhatikan asas kemanfaatan, keterbukaan, keadilan, dan kepentingan nasional dan/atau
daerah, Direktur Jenderal atau Gubernur dapat melakukan penyelesaian lain terhadap IUP yang
WIUP-nya tumpang tindih sama komoditas.

Ketentuan Pasal 12 Permen 43 Tahun 2015 yang mengatur penyelesaian tumpang tindih WIUP
dengan WIUP yang memiliki komoditas yang sama telah sinkron dengan Pasal 40 UU Minerba
Juncto Pasal 9 PP 23 Tahun 2010 yang memerintahkan agar dalam 1 (satu) Wilayah Izin Usaha
Pertambangan hanya dapat diberikan 1 (satu) IUP.

Berdasarkan uraian tersebut jelaslah bahwa Direktur Jenderal atas nama Menteri hanya
melaksanakan pengumuman status IUP Clean and clear dan bukan melaksanakan pencabutan
terhadap IUP yang tidak termasuk Clean and clear yang diperoleh dari evaluasi yang
dilaksanakan oleh Menteri atau Gubernur sesuai dengan kewenangannya. Penulis sependapat
dengan pendapat Philipus M Hadjon dan Tatiek Sri Djamiati dalam buku Argumentasi Hukum,
sebagaimana yang dikutip oleh M Lutfi Chakim dalam tulisannya Contrarius yang dimuat dalam
Majalah Konstitusi (hlm.78) yang menyatakan bahwa asas contrarius actus dalam hukum
administrasi negara adalah asas yang menyatakan Badan atau Pejabat TUN yang menerbitkan
Keputusan TUN dengan sendirinya juga berwenang untuk membatalkannya.17 Oleh karena itu
Menteri atau Gubernur yang mengeluarkan izin sesuai kewenangannya maka Menteri atau
Gubernur itu juga yang dapat mencabut izin tersebut selaras dengan prinsip actus. Berdasarkan
argumentasi-argumentasi tersebut maka dapat disimpulkan bahwa Dirjen atas nama Menteri
tidak melaksanakan pencabutan IUP yang memiliki tumpang tindih kewilayahan sehingga
Permen No. 43 Tahun 2015 telah selaras dengan Pasal 119 UU Minerba Tahun 2009.

B. Pertambangan

Pertambangan adalah suatu kegiatan pengambilan endapan bahan galian berharga dan
bernilai ekonomis dalam kulit bumi, baik secara mekanis maupun manual, pada permukiman
bumi, di bawah permukaan bumi dan bawah permukaan air. Usaha pertambangan adalah
kegiatan dalam rangka pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi tahapan kegiatan
penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dana
tau pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta pascatambang.

5
Hal ini terlihat jelas dalam Pasal 38 (4) : “Pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan
penambangan dengan pola pertambangan terbuka”. Pada dasarnya, dengan atau tanpa
pemberlakuan UU No.41/1999, pertambangan akan selalu bersinggungan dengan kawasan
kehutanan. Pertambangan selalu dianggap ‘biang keladi’ kerusakan lingkungan, termasuk
kerusakatann hutan. Padahal, kerusakan hutan tidak semata-mata disebabkan pertambangan,
namun lebih banyak disebabkan pola penebangan dan pengelolaan hutan yang kurang baik.
Dalam kasus tersebut kita dapat melihat seberapa besar dampak terjadinya tumpang tinggih izin
usaha pertambangan dengan kehutanan. Berikut ialah beberapa pengaruh yang timbul akibat
terjadinya tumpang tindih IUP dengan kehutanan tersebut :

1. Tumpang tindihnya izin tersebut dapat menyebabkan kesulitan meminta pertanggung


jawaban yang jelas
2. Menyebabkan kerusakan kawasan hutan
3. Menyebabkan kerugian negara akibat hilangnya kawasan hutan yang asri

Tujuan pemberian izin yaitu untuk mengendalikan aktivitas pemerintah dalam hal-hal tetentu
karena dalam ketentuannya berisi pedoman-pedoman yang harus dilaksanakan baik oleh yang
berkepentingan maupun oleh pejabat yang berwenang. Di samping itu tujuan perizinan juga
dapat ditinjau dari 2 (dua) aspek, yaitu:
a. Dari sisi pemerintah, pemberian izin bertujuan:

1. Untuk melaksanakan peraturan, apakah ketentuan-ketentuan yang termuat dalam


peraturan tersebut sesuai dengan kenyataan dan praktiknya atau tidak dan sekaligus
untuk mengatur ketertiban.
2. Sebagai sumber pendapatan daerah, dengan adanya permintaan izin, maka secara
langsung pendapatan pemerintah akan bertambah karena setiap izin yang dikeluarkan
pemohon harus membayar retribusi terlebih dahulu. Semakin banyak pula pendapatan
di bidang retribusi tujuan akhirnya, yaitu untuk membiayai pembangunan.
b. Dari Sisi Masyarakat, pemberian izin bertujuan:

1. Untuk adanya kepastian hukum.

2. Untuk adanya kepastian hak.

6
3. Untuk memudahkan mendapatkan fasilitas. Apabila bangunan yang didirikan telah
mempunyai izin akan lebih mudah mendapat fasilitas.
Beberapa unsur perizinan yang diperoleh dari pengertian perizinan yaitu sebagai berikut:

a. Instrumen Yuridis

Dalam negara hukum modern tugas pemerintah yaitu menjaga ketertiban dan keamanan
serta mengupayakan kesejahteraan umum. Dalam rangka melaksanakan tugas ini kepada
pemerintah diberikan wewenang dalam bidang pengaturan, yang dari fungsi pengaturan
ini muncul beberapa instrumen yuridis untuk menghadapi peristiwa individual dan
konkret, yaitu dalam bentuk ketetapan. Salah satu wujud dari ketetapan ini adalah izin.
Izin termasuk sebagai ketetapan yang menimbulkan hak baru yang sebelumnya tidak
dimiliki oleh seseorang yang namanya tercantum dalam ketetapan itu.

b. Peraturan Perundang-Undangan

Setiap tindakan hukum pemerintah, baik dalam menjalankan fungsi pengaturan maupun
fungsi pelayanan, harus didasarkan pada wewenang yang diberikan oleh peraturan
perundang-undangan.

c. Organ pemerintah

Terdapat aneka ragam administrasi negara (termasuk instansinya) pemberi izin, yang
didasarkan pada jabatan yang dijabatnya baik di tingkat pusat maupun daerah.

d. Peristiwa konkret

Izin merupakan instrumen yuridis yang berbentuk keputusan, yang digunakan oleh
pemerintah dalam menghadapi persitiwa konkret dan individual.

e. Prosedur dan persyaratan

Pada umumnya permohonan izin harus menempuh prosedur dan persyaratan tertentu,
yang ditentukan oleh pemerintah, selaku pemberi izin yang berbeda-beda tergantung
jenis, tujuan, dan instansi pemberi izin.

Berdasarkan Pasal 14 ayat 1 UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah maka
penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang kehutanan, kelautan serta energi dan sumber daya
7
mineral dibagi antara pemerintah pusat dan daerah provinsi. Akibat ketentuan ini pemerintah
provinsi harus mengawasi perizinan dan pelaksanaan urusan energi dan sumber daya mineral
yang terdapat di Kabupaten/Kota, sedangkan lokasi dan daerah terkena dampak berada di
Kabupaten/Kota. Selain itu tidak ada pemilahan kewenangan baik secara komoditas maupun
kriteria lainnya yang memberikan peluang melakukan pengaturan kepada pihak kabupaten/kota
dalam bidang energi dan sumber daya mineral kecuali pemanfaatan panas bumi secara langsung.

Pengawasan menurut Black’s Law Dictionary yaitu kekuasaan langsung atau tidak langsung
untuk mengatur manajemen dan kebijakan seseorang atau suatu entitas, apakah melalui
kepemilikan saham terbanyak, melalui saluran telepon, atau sebaliknya, kekuasaan kewenangan
mengatur, mengarahkan, atau mengawasi (Pada dasarnya dilaksanakan untuk mengawasi agen),
atau melaksanakan kekuasaan atau pengaruh (hakim mengawasi persidangan), mengatur atau
memerintah dengan hukum. Berdasarkan definisi tersebut maka dapat disimpulkan bahwa
pengawasan merupakan salah satu fungsi manajemen, yang ditujukan untuk memastikan suatu
pelaksanaan kegiatan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan untuk pencapaian tujuan oleh
suatu entitas sesuai tugas dan fungsinya secara efektif, efisien, dan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.

Ateng Syafrudin berpendapat terdapat 3 (tiga) tujuan pengawasan, terkait dengan


penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan daerah, yaitu untuk menjaga kewibawaan pemerintah
daerah dan kepentingannya, menghindari atau mencegah penyalahgunaan wewenang, dan
mencegah kelalaian dalam administrasi yang dapat merugikan negara atau daerah. Paling tidak
tujuan pengawasan itu adalah untuk menjamin ketetapan pelaksanaan sesuai dengan rencana,
kebijakan dan perintah, menertibkan koordinasi kegiatan-kegiatan untuk mencegah pemborosan
dan penyelewengan, menjamin terwujudnya kepuasan masyarakat atas barang atau jasa yang
dihasilkan dan membina kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan organisasi.

Menurut sifat atau bentuk dan tujuannya pengawasan dapat dibagi menjadi 2 (dua) yaitu
pengawasan preventif dan pengawasan represif. Tujuan dari pengawasan preventif bagi
pemerintah daerah yaitu untuk mencegah penyimpangan yang terjadi di lapangan pemerintahan
daerah. Pengawasan preventif tersebut menurut Bagir Manan terkait dengan wewenang
mengesahkan (goedkeuring). Sedangkan menurut Revrisond Baswir tujuan pengawasan
preventif yaitu untuk mencegah terjadinya tindakan-tindakan yang menyimpang yang telah
8
ditentukan, memberi pedoman terselenggaranya pelaksanaan kegiatan secara efisien dan efektif,
menentukan sasaran dan tujuan yang akan dicapai dan menentukan kewenangan dan tanggung
jawab sebagai instansi sehubungan dengan tugas yang harus dilaksanakan.

Selanjutnya Pengawasan Represif yaitu pengawasan yang dilakukan setelah tindakan


dilakukan untuk menilai tindakan tersebut sesuai atau tidak sesuai dengan rencana organisasi.
Kemudian Bagir Manan berpendapat bahwa pengawasan yang dilakukan pemerintah terkait
dengan pembentukan produk hukum daerah dan tindakan tertentu organ pemerintah daerah yaitu
wewenang pembatalan atau daerah. Paling tidak tujuan pengawasan itu adalah untuk menjamin
ketetapan pelaksanaan sesuai dengan rencana, kebijakan dan perintah, menertibkan koordinasi
kegiatan-kegiatan untuk mencegah pemborosan dan penyelewengan, menjamin terwujudnya
kepuasan masyarakat atas barang atau jasa yang dihasilkan dan membina kepercayaan
masyarakat terhadap kepemimpinan organisasi.
Menurut sifat atau bentuk dan tujuannya pengawasan dapat dibagi menjadi 2 (dua) yaitu
pengawasan preventif dan pengawasan represif. Tujuan dari pengawasan preventif bagi
pemerintah daerah yaitu untuk mencegah penyimpangan yang terjadi di lapangan pemerintahan
daerah. Pengawasan preventif tersebut menurut Bagir Manan terkait dengan wewenang
mengesahkan (goedkeuring). Sedangkan menurut Revrisond Baswir tujuan pengawasan
preventif yaitu untuk mencegah terjadinya tindakan-tindakan yang menyimpang yang telah
ditentukan, memberi pedoman terselenggaranya pelaksanaan kegiatan secara efisien dan efektif,
menentukan sasaran dan tujuan yang akan dicapai dan menentukan kewenangan dan tanggung
jawab sebagai instansi sehubungan dengan tugas yang harus dilaksanakan.

C. REKONSILIASI IUP NASIONAL

 Dasar hukum:

 Ps. 140 ayat (1) UU No. 4 Th. 2009  Menteri melakukan pengawasan terhadap
penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan yang dilaksanakan oleh
pemerintah daerah

 Ps. 112 angka 4 huruf a PP No. 23 Tahun 2010  KP/SIPD/SIPR harus


disesuaikan menjadi IUP/IPR

9
 Rekonsiliasi nasional data IUP diselenggarakan pada tanggal 3 s.d. 6 Mei 2011 di Hotel
Bidakara Jakarta dengan mengundang seluruh gubernur/ bupati/walikota se Indonesia

 Tujuan rekonsiliasi data IUP nasional a.n:

 Bahan koordinasi untuk penentuan tata ruang sehingga dapat mengetahui


tumpang tindih IUP

 Optimalisasi penerimaan negara bukan pajak (iuran tetap, royalti, penjualan hasil
tambang) dari izin usaha pertambangan

 Mengetahui produksi nasional mineral dan batubara

 Dasar penentuan pemenuhan kebutuhan domestik (DMO)

Selanjutnya Pengawasan Represif yaitu pengawasan yang dilakukan setelah tindakan dilakukan
untuk menilai tindakan tersebut sesuai atau tidak sesuai dengan rencana organisasi. Kemudian
Bagir Manan berpendapat bahwa pengawasan yang dilakukan pemerintah terkait dengan
pembentukan produk hukum daerah dan tindakan tertentu organ pemerintah daerah yaitu
wewenang pembatalan

(Verneitiging) atau penangguhan (schorsing). Gubernur sudah mendapat kewenangan


menuntaskan IUP bermasalah, termasuk mencabutnya, dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemda. Ketentuan ini juga diperkuat lewat Peraturan Menteri ESDM Nomor 43 Tahun 2015
tentang Tata Cara Evaluasi Penerbitan Izin Usaha Pertambangan Mineral dan batubara. Namun,
hingga Agustus 2016, masih ada 3.772 IUP bermasalah. Sebelumnya, kewenangan menerbitkan
dan mencabut IUP ada pada bupati. Menurut Dian Patria, baru ada sekitar 1.000 IUP bermasalah
yang dilaporkan bupatibupati kepada gubernur untuk ditindaklanjuti. Namun, ada pula bupati
yang sudah melapor, tetapi gubernur belum menindak pemegang IUP itu.
D. Penerapan asas “first come first served”

 sas first come first served dikenal dalam Kepmen ESDM No.1603 Tahun 2003 tentang
Pedoman Pencadangan Wilayah

10
 Berdasarkan asas first come first served, Pemohon yang terlebih dahulu mengajukan
pencadangan wilayah pertambangan dan telah memenuhi persyaratan akan mendapatkan
WIUP
 Asas tersebut dapat dijadikan dasar untuk melakukan penertiban KP/IUP yang tumpang
tindih dengan konsesi pertambangan lainnya
 Sejak berlakunya UU No. 4 Tahun 2009 jo PP No. 23 Tahun 2010, asas tersebut hanya
berlaku untuk komoditas mineral bukan logam dan batuan, sedangkan untuk komoditas
mineral logam dan batubara menggunakan sistem lelang.

Wewenang pembatalan pemerintah pusat berupa pencabutan izin diatur dalam Pasal 64 UU
No. 30 Tahun 2014 dengan kriteria apabila keputusan tersebut terdapat cacat wewenang,
prosedur dan atau substansi. Apabila keputusan dicabut harus diterbitkan keputusan baru
dengan mencatumkan dasar hukum pencabutan dan memperhatikan asas umum pemerintahan
yang baik. Pencabutan keputusan tersebut hanya dapat dilakukan oleh pejabat pemerintahan
yang menetapkan keputusan, atasan pejabat yang menetapkan keputusan atau atas perintah
pengadilan. Keputusan pencabutan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah dan atasan pejabat
dilakukan paling lama 5 (lima) hari sedangkan keputusan pencabutan yang dilakukan atas
perintah pengadilan dilakukan paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja.

E. Permasalahan Tumpang Tindih Pemanfaatan Lahan Untuk Kegiatan Pertambangan :

1. Tumpang tindih penggunaan lahan antara sesama konsesi pertambangan


(IUP/KK/PKP2B)

a. Komoditas tambang yang sama

b. Komoditas tambang yang berbeda

c. Tumpang Tindih karena batas administrasi yang tidak jelas

2. Tumpang tindih penggunaan lahan pertambangan dan sektor lainnya:

a. Tumpang tindih pemanfaatan lahan pertambangan dan kehutanan

b. Tumpang tindih pemanfaatan lahan pertambangan dan perkebunan/pertanian

11
c. Tumpang Tindih pemanfaatan lahan pertambangan dan perikanan/kelautan

F. Penyelesaian Tumpang Tindih Sesama Konsesi Pertambangan

1. Konsesi Pertambangan terdiri dari KP/IUP, KK, PKP2B

2. Pengaturan tumpang tindih pemanfaatan lahan pertambangan dalam PP Nomor 23 Tahun


2010

3. Penerapan Asas First Come First Served

4. Rekonsiliasi Data IUP Nasional

5. Koordinasi Penetapan Batas Administrasi Provinsi/Kabupaten/Kota.

Tumpang tindih penggunaan lahan pertambangan antar komoditas tambang yang berbeda
telah diakomodir dalam Ps 44 PP Nomor 23 Tahun 2010

2. Pasal 44 PP No 23/2010:

1. Jika pada lokasi WIUP ditemukan komoditas tambang lain (non DMP),
pemegang IUP memperoleh keutamaan untuk mengusahakannya

2. Untuk mengusahakannya harus membentuk badan usaha baru

3. Jika pemegang IUP tidak berminat mengusahakan, maka pengusahaannya dapat


diberikan kepada pihak lain

4. Pihak lain yang akan mengusahakan harus berkoordinasi dengan pemegang IUP
pertama.

G. PROSES REKONSILIASI

A. Inventarisasi data IUP

Data IUP yang diperoleh :

1. Data IUP sebelum rekonsiliasi


12
2. Data IUP setelah rekonsiliasi

B. Verifikasi data IUP

1. Pengecekan silang data yang diperoleh saat rekonsiliasi dengan data yang ada pada
DJMB sebelum rekonsiliasi

2. Verifikasi ada/tidaknya tumpang tindih wilayah, dokumen pendukung (SK yang


diterbitkan sebelumnya)

3. Registrasi IUP yang tidak ada permasalahan tumpang tindih wilayah dan dokumen
pendukungnya lengkap

C. Klasifikasi data IUP

1. Clear and Clean adalah IUP yang tidak ada permasalahan tumpang tindih wilayah dan
dokumen pendukung yang telah diterbitkan sebelumnya lengkap (ada SK Kuasa
Pertambangan, SK Pencadangan Wilayah)

2. Non Clear dan Non Clean adalah IUP yang tidak memenuhi satu atau semua
persyaratan Clear and Clean

H. PENYELESAIAN TUMPANG TINDIH PERTAMBANGAN DENGAN SEKTOR


LAIN

1. Diperkenalkannya konsep WP/WUP sebagai bagian dari RTRWN dalam UU No. 4


Tahun 2009

2. Penyelesaian tumpang tindih berdasarkan:

 UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

 PP No 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang

 Perpres No. 28 Tahun 2011 tentang Penggunaan Kawasan Hutan untuk


Penambangan Bawah Tanah

3. Penyelesaian secara business to business dengan difasilitasi oleh


pemerintah/pemda/pihak terkait

13
4. Fasilitasi penyelesaian tumpang tindih lahan oleh Menko Perekonomian (Draft Inpres
Sikronisasi Pelaksanaan Tugas Bidang Pertambangan sektor Terkait Lainnya)

Pasal 9 s.d 13 UU Minerba dan PP 22 Tahun 2010

5. Penetapan Wilayah Pertambangan (WP) oleh Pemerintah setelah berkoordinasi dengan


Pemda dan berkonsultasi dengan DPR RI

6. Penyelidikan dan Penelitian Pertambangan dilakukan oleh Menteri, Gubernur,


Bupati/Walikota (sesuai kewenangan) dalam rangka penyiapan WP

7. WP terdiri atas:

 Wilayah Usaha Pertambangan (WUP),

 Wilayah Pencadangan Negara (WPN) dan

 Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR)

8. WUP, WPR, dan WPN berada dalam Kawasan Peruntukan Pertambangan yang sesuai
dengan RTRW

9. Pelimpahan kewenangan (dekonsentrasi) untuk penetapan WUP Mineral non logam dan
batuan kepada Gubernur

PP NO. 15 TAHUN 2010 tentang

I. PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG

 Lahirnya PP No. 15 Tahun 2010 menjadi solusi pemanfaatan lahan pertambangan di


kawasan hutan

 Pasal 31 ayat (1) ”Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan serta penggunaan
kawasan hutan berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
kehutanan.”

Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan serta penggunaan kawasan hutan mengacu
pada UU 41/1999, PP 24/2010 dll.

14
 Hak atas WIUP, WPR, WIUPK tidak meliputi hak atas tanah permukaan bumi  hak
atas IUP/IUPK/IPR bukan merupakan pemilikan hak atas tanah.

PENGGUNAAN HAK ATAS TANAH

 Kegiatan usaha pertambangan tidak dapat dilaksanakan pada tempat yang dilarang untuk
melakukan kegiatan usaha pertambangan

 Pemegang IUP/IUPK Eksplorasi hanya dapat melaksanakan kegiatannya setelah


mendapat persetujuan dari pemegang hak atas tanah (Persetujuan dimaksudkan untuk
menyelesaikan lahan-lahan yang terganggu oleh kegiatan eksplorasi a.n pengeboran,
parit uji)

 Pemegang IUP/IUPK sebelum melakukan kegiatan operasi produksi wajib


menyelesaikan hak atas tanah dengan pemegang hak sesuai ketentuan peraturan
perudang-udnangan

 Pemegang IUP/IUPK OP wajib memberikan kompensasi berdasarkan kesepakatan


bersama dengan pemegang hak atas tanah  kompensasi dapat berupa sewa menyewa,
jual beli, atau pinjam pakai.

15
BAB III

PENUTUP

kesimpulan

Pertambangan sebagai salah satu sector pembangunan paling penting di Indonesia tentunya
tidak luput dari permasalahan yang bias berpengaruh pada aspek-aspek lainnya. Sebagai salah
satu masalah yang timbul dari sector pertambangan adalah adanya tumpang tindih suatu izin.
Tumpang tindih adalah “overlapping” yaitu keadaan yang menunjukkan bahwa satu pekerjaan
yang sama di lakukan oleh beberapa orang atau kelompok sehingga menghasilkan pekerjaan
kembar atau ganda. Hal ini sering terjadi di Indonesia, khususnya tumpang tindih dalam hal
perizinan. Seperti yang sudah dijelaskan diatas bahwasannya tumpang tindih izin ada sekitar
8000 izin pertambangan minerba di Indonesia. Dari jumlah itu, 6000 izin tumpang tindih (sekitar
75 persen).

Maraknya tumpang tindih perizinan yang terjadi ini meriusaukan banyak pihak dan menjadi
masalah serius yang akan dihadapi. Dampak yang terjadi akibat dari tumpang tindih perizinan
dengan izin-izin yang lain adalah : 1) Tumpang tindihnya izin tersebut dapat menyebabkan
kesulitan meminta pertanggung jawaban yang jelas, 2) Merugikan perusahaan karena
ketidakjelasan izin, 3) Maraknya kasus tumpang tindih izin yang terjadi menyebabkan turunnya
investasi, 4) Rusaknya lingkungan disekitar tempat tinggal masyarakat adat.

16
DAFTAR PUSTAKA

KAR, Tumpang Tindih Izin Pertambangan Masih Terjadi,

https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt52f8a7883a835/tumpang-tindih-izin-
pertambanganmasih-terjadi/ (diakses pada 13 oktober 2019 pukul 18.55)

Putri, Risti Trisanti http://lib.ui.ac.id/naskahringkas/2017-02/S57722-Rizqi%20Tsaniati%20Putri (di


unduh pada 13 oktober 2019 pukul 21.25)

Tarnes, M Vareno https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4dda2f268ace5/izin-


tambangtumpang-tindih-pemda-disalahkan-/ (diakses pada 19 oktober 2019 pukul
10.06)

Muhammad zainul Arifin, Penerapan Prinsip Detournement De Pouvoir Terhadap Tindakan


Pejabat Bumn Yang Mengakibatkan Kerugian Negara Menurut Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, Jurnal Nurani,
http://jurnal.radenfatah.ac.id/index.php/Nurani/article/view/2741/2070 ,
https://scholar.google.co.id/citations?user=SFDX82UAAAAJ&hl=id

Muhammad Zainul Arifin, Kajian Tentang Penyitaan Asset Koruptor Sebagai Langkah

Pemberian Efek Jera, Researchgate.net,

https://www.researchgate.net/publication/333701113_KAJIAN_TENTANG_PENYI
TAAN_ASSET_KORUPTOR_SEBAGAI_LANGKAH_PEMBERIAN_EFEK_JER A_Oleh ,
https://scholar.google.co.id/citations?user=SFDX82UAAAAJ&hl=id

17

Anda mungkin juga menyukai