Anda di halaman 1dari 11

Revisi UU No.

4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara:


Diantara Stimulus Iklim Investasi dan Sovereignity Kepemilikan Bangsa
Indonesia

Oleh: Rivaldi Rizqianda Pratama

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia adalah negara dengan potensi Sumber Daya Alam (SDA) yang
sangat beragam. Termasuk di dalamnya mineral dan batubara yang melimpah.
Tercatat hingga saat ini Indonesia masih menduduki peringkat kelima dari
penghasil batubara terbesar di dunia.1 Di Indonesia sendiri menganggap SDA
sebagai Common pool resources (CPR) yang harus dimanfaatkan demi
kepentingan bangsa Indonesia. CPR dicirikan oleh sulitnya untuk melarang atau
membatasi para pelaku dari mengeksploitasi sumber daya alam tersebut, atau
sangat mahalnya, dan menjadi suatu hal yang baik untuk mengalokasikan sumber
daya alam tersebut hanya kepada subjek hak tertentu. 2 Alokasi kepemilikan
sumber daya alam di Indonesia disebut dengan hak penguasaan yang dimiliki oleh
negara. Oleh karenanya diperlukan suatu instrumen yang dapat mengatur
pengelolaan tersebut agar mencapai tujuannya. Dalam segi ini hukum
administrasi negara bersifat mengurus dan memberdayakan negara untuk mampu
melakukan pengurusan yang didelegasikan dari hak kepemilikan Bangsa
Indonesia.3Pengelolaan terhadap sumber daya alam termasuk mineral dan
batubara di dalamnya menjadi salah satu saluran bagi pemerintah untuk dapat
menjamin kemakmuran dan kehidupan yang layak bagi setiap warganya, tanpa
terkecuali.

1Tim Mining Technology, “Coal Giants: Biggest Coal Producing Countries


“ ,https://www.mining-technology.com/features/featurecoal-giants-the-worlds-biggest-coal-
producing-countries-4186363/, diakses 6 Juni 2020
2 Margaret A. McKean,  "Common property: What is it, what is it good for, and what
makes it work." People and forests: Communities, institutions, and governance (Massachusetts:
MIT Press, 2000), Hlm. 27-28
3 Harsanto Nursadi, ed., Hukum Administrasi Negara Sektoral Edisi Revisi, (Depok:
Badan Penerbit FH UI,2019), hlm. 249
Sesuai Amanat pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa “bumi,
air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”.4 Untuk mencapai
amanat dari UUD 1945, harus terdapat suatu regulasi yang bersifat regelend
(mengatur) keberlangsungan pertambangan dalam hal ini mengenai pertambangan
mineral dan batubara. DPR baru saja mengesahkan Revisi Undang-Undang
tentang perubahan UU No. 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara(UU
Minerba). Pengesahan UU ini menjadi sorotan publik karena proses yang dinilai
oleh banyak pihak tergesa-gesa. Terlebih UU ini dibentuk di saat banyak kontrak
kerja perusahaan tambang yang akan segera usai dalam beberapa tahun
kedepan.5Namun disisi lain peran investor dan pihak asing khususnya dalam
pertambagnan di Indonesia masih sangat diperlukan, hal tersebut karena biaya
investasi yang cukup besar serta transfer teknologi yang diperlukan bangsa
Indonesia untuk dapat mengelola sendiri pertambangannya secara efisien di
kemudian hari.

1.2. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Konsep Kepemilikan Mineral dan Batubara di Indonesia


dan perkembangannya?

2. Bagaimana Pengaturan Investasi Mineral dan Batubara di Indonesia


dalam upaya memperbaiki iklim investasi pertambangan di Indonesia?

II. PEMBAHASAN

2.1.Konsep Kepemilikan Mineral dan Batubara di Indonesia dan


Perkembangannya Seperti yang telah diamanatkan dalam Pasal 33 ayat (3)
Konstitusi Indonesia, bahwa terdapat dua unsur penting didalamnya. Pertama
“Bumi, air dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara”, yang kedua “bumi, air, dan segala kekayaan alam yang terkandung di

4 Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Ps. 33 ayat (3)


5 Totok Dwi Diantoro, “Pertaruhan Nasib Lingkungan oleh Revisi UU Minerba” Dalam
Webinar Fakultas Hukum UGM Omnibus Law: Kala Lingkungan Dilelang, Harga Mahal untuk
Masa Depan Lingkungan Indonesia, 20 Mei 2020
dalamnya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”6. Dari pasal
tersebut terbangun suatu konstruksi dimana Mining Rights terdapat pada hak
bangsa indonesia yang diimplementasikan melalui Authority Right yang dimiliki
oleh negara dan didelegasikan kepada pemerintah melalui kewenangan
pengelolaan mining rights yang harus bertujuan untuk mencapai kemakmuran
rakyat. Nantinya dari hak pengelolaan tersebut memberikan hak pengusahaan
kepada badan-badan usaha. Terlebih Indonesia merupakan suatu Workfore State
dimana negara wajib menjamin pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusian untuk seluruh masyarakat.

Konsep penguasaan negara dalam hal ini adalah sebagai amanat dari
rakyat Indonesia kepada negara untuk mengaturnya demi kesejahteraan bangsa
Indonesia. Pemerintah melaksanakan pengelolaan terhadap mineral dan batubara
sebagai bagian dari SDA dengan memperhatikan prinsip-prinsip seperti
nasionalisme ekonomi, demokrasi ekonomi, gotong-royong, pemerataan, dan
ekonomi terencana.7 Penguasaan negara ini dapat dilakukan oleh negara dalam hal
ini memberikan kepada Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik
Daerah, ataupun memberikan hak pengelolaan kepada pihak swasta asing maupun
nasional dengan ketentuan-ketentuan khusus. Pada mulanya pengelolaan terhadap
mineral dan batubara di Indonesia dilakukan dengan sistem kontrak karya sesuai
dengan UU No. 11 tahun 1967. UU itu sendiri tidak memberikan definisi secara
jelas mengenai kontrak karya sendiri. Namun, menurut Salim H.S. pada
pokoknya kontrak karya adalah suatu perjanjian yang dibuat antara Pemerintah
Indonesia/ pemerintah daerah (provinsi/kabupaten/kota) dengan kontraktor asing
semata-mata dan/atau merupakan patungan antara badan hukum asing dengan
badan hukum domestik untuk melakukan kegiatan eksplorasi maupun eksploitasi
dalam bidang pertambangan umum, sesuai dengan jangka waktu yang disepakati
oleh kedua belah pihak.8 Tentu dalam penerapanya dikarenakan posisi pemerintah
dalam hal ini layaknya perjanjian maka setara dengan para investor/kontraktor

6 Harsanto Nursadi, ed., Hukum Administrasi Negara Sektoral, hlm. 250


7 Ibid., hlm. 253
8 Salim H. S., Hukum Pertambangan di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2006), hlm. 128
asing membuat bargain power oleh pemerintah tergolong rendah dan hak
menguasai pemerintah seakan tidak terlihat.

Hal tersebut menimbulkan ketidakpastian terhadap hak menguasai negara,


terlebih setelah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai prinsip hak
menguasai negara sebagaimana diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang pada pokoknya menyatakan bahwa
mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan
pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa serta segala hubungan hukum di
dalamnya.9 Berlandas kepada hal tersebut pada akhirnya dibentuk regulasi yang
memfokuskan Perubahan kebijakan di bidang pertambangan dalam UU No.4
Tahun 2009 dengan dihapuskannya model kontrak karya dan digantikan dengan
sistem perizinan. UU No.4 Tahun 2009 mengenal izin di bidang pertambangan
sebagai izin Usaha Pertambangan (IUP).10 Sistem perizinan itu tentu memberikan
posisi yang berbeda kepada pemerintah. Tentu hal ini memberikan pemerintah
kedudukan yang lebih tinggi dengan memberi izin, pemerintah memperkenankan
orang yang mengajukan permohonan untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu
yang sebenarnya dilarang.11

Oleh karena itu kedudukan pemerintah sebagai pemberi izin telah cukup
memberi bargain power untuk pemerintah sebagai pelaksana amanat Konstitusi
untuk mengatur dan mengurus pengelolaan mineral dan batubara untuk
kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Namun, dalam revisi UU
Mineral dan Batubara terbaru terdapat beberapa ketentuan yang justru
melanggengkan izin bagi investor dengan berbagai kemudahan yang diberikan
salah satunya yang tercantum dalam pasal 169A UU Minerba No. X Tahun 2020,
bagaimana pemegang Kontrak kerja dapat memperpanjang izin secara otomatis
tanpa melalui prosedur lelang yang ada di UU No.4 Tahun 2009, tentu hal

9 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan MK No. 01-021-022/PUU-1/2003


10 Victor Imanuel Williamson Nalle, “Hak Menguasai Negara Atas Mineral dan
Batubara Pasca Berlakunya Undang-Undang Minerba No. 4 Tahun 2009”, Jurnal Konstitusi Vol.
9 No.3, September (2012), hlm.478
11 N.M. Spelt dan J.B.J.M. ten Berge, Pengantar Hukum Perizinan,, (Surabaya:
Yuridika, 1993), hlm.2
tersebut semakin mengancam kedaulatan Bangsa Indonesia sebagai pemilik dari
sumber energi tersebut, terlebih pemanfaatannya harus diutamakan untuk
kepentingan dan kemakmuran Bangsa Indonesia.

2.2. Pengaturan Investasi Mineral dan Batubara di Indonesia Dalam Upaya


Memperbaiki Iklim Investasi Pertambangan

Seperti yang telah diutarakan sebelumnya bahwa dalam pengembangan


pertambangan khususnya mineral dan batubara mulai menggeliat sejarah
diterbitkannya undang-undang nomor 1 tahun 1967 tentang penanaman modal
asing (UU PMA) dan UU Nomor 11 tahun 1967 tentang pokok-pokok
pertambangan ketentuan ini memberi kewenangan kepada Menteri pertambangan
untuk menuju perusahaan asing sebagai kontraktor untuk melaksanakan
pekerjaan-pekerjaan yang belum dapat dilaksanakan sendiri oleh instansi
pemerintah atau perusahaan negara. tercatat 16 pertambangan asing masuk ke
Bumi Pertiwi dalam kurun waktu 1967 sampai 1968.12 Setelah hampir 4
dasawarsa berlalu kedaulatan terhadap pertambangan yang dicanangkan dalam
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tidak kunjung terlaksana, sistem kontrak karya yang
menarik pemerintah sebagai pihak yang setara dengan Para investor membuat
akan akan negara tidak memiliki kewenangan dan kedaulatan atas tambangnya
sendiri. atas dasar tersebut pemerintah mengubah UU PMA dengan Undang-
Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang penanaman modal Selain itu pemerintah
juga merubah UU Nomor 11 tahun 1967 dengan UU Nomor 4 tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara. kedua regulasi tersebut dan menjadi izin
usaha pertambangan khusus (IUPK) .Menurut Pasal 169 Huruf A Undang-Undang
nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan mineral dan batubara menyatakan
bahwa kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara
yang telah ada sebelum berlakunya undang-undang ini tetap diberlakukan sampai
jangka waktu berakhirnya kontrak atau perjanjian.

Selain itu, terdapat juga instrumen nasionalisasi pertambangan nasional


dalam regulasi minerba di Indonesia. Instrumen tersebut bernama divestasi saham.

12 Henry Donald Lbn. Toruan, “ Pergeseran Paradigma Hukum Investasi


Pertambangan”, Jurnal RechtsVinding Vol.4 No.2, Agustus (2015), hlm. 256
Dalam pengembangan dan eksplorasi pertambangan memang diperlukan biaya
yang cukup besar sehingga peran investor asing masih diperlukan terutama dalam
pengembangan teknologi. Oleh karena itu, instrumen divestasi saham menjadi
salah satu solusi yang relevan dengan keadaan Indonesia saat ini. Divestasi saham
sendiri merupakan instrumen bagi pengoptimalan kepemilikan aset-aset sumber
daya alam yang strategis oleh peserta nasional secara bertahap, yang dimaksud
peserta nasional adalah pemerintah pusat, pemerintah provinsi, atau kabupaten/
kota, BUMN, BUMD, serta badan usaha swasta nasional . 13 Divestasi saham
dilakukan dengan minimal kepemilikan oleh peserta dari Indonesia minimal
20%.Desentrasi saham tersebut dilakukan secara langsung kepada peserta
Indonesia pertama kepada Pemerintah Pusat Jika pemerintah pusat tidak berkenan
untuk membeli saham tersebut maka akan dilimpahkan kepada pemerintah daerah
jika Pemerintah Daerah pun tidak berkenan maka akan diberikan kepada BUMN
dan BUMD jika cara terakhir ini tidak berjalan maka akan dilakukan oleh
pelelangan kepada badan usaha swasta nasional. Tujuan utama dari divestasi
saham ini adalah satu yaitu untuk mengembalikan kedaulatan nasional terhadap
sumber daya alam Indonesia. Tertuang pada Pasal 112 Undang-Undang nomor 4
tahun 2009 jo. pasal 97 Peraturan Pemerintah No 23 tahun 2010. Regulasi ini
sering kali diprotes oleh pihak investor asing karena dianggap dalam jangka
waktu 5 tahun perusahaan pertambangan yang mana ada perusahaan padat modal
dan pengembalian modal membutuhkan waktu yang cukup jangka panjang tidak
dapat mendapat keuntungan dan menganggap peraturan ini diskriminatif.14

13 Andri G. Wibisana dan Laode M. Syarif, eds., Hukum Lingkungan Teori, Legislasi,
dan Studi Kasus, (Jakarta: Kemitraan Partnership, 2014), hlm. 658
14Feliks Suranta Tarigan, “Kondisi dan Tantangan Dalam Penanaman Modal Asing di
Bidang Pertambangan Batubara di Indonesia”, (Skripsi Sarjana Universitas Indonesia, Depok,
2010), hlm. 68
15

Walaupun terdapat perdebatan mengenai divestasi saham, investor asign


tetap tertarik kepada pengelolaan SDA di Indonesia karena memiliki potensi yang
besar. Data diatas membuktikan bahwa Indonesia adalah negara dengan potensi
pertambangan yang luar biasa, walaupun di lain sisi iklim investasi Indonesia
tidak sebanding dengan potensinya. Menurut data Price Waterhouse Cooper,
Pertambangan Indonesia sendiri telah menyumbang sekitar 4% – 5% dari
keseluruhan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.16 Hal tersebut menunjukan
sektor pertambangan masih menjadi salah satu kontributor utama dalam
perekonomian nasional. Karena memerlukan pembiayaan eksplorasi dan ekstraksi
yang besar serta tingkat teknologi yang tinggi maka peran investor asing juga
masih sangat vital dalam industri pertambangan nasional. Pemerintah sebenarnya
memiliki beberapa alternatif dalam pedoman pembiayaan untuk pengelolaan
mineral dan batubara salah satunya melalui perusahaan negara yang diberi oleh
pemerintah, apabila pemerintah tidak punya cukup dana untuk membiayai maka
dapat diadakan pinjaman pinjaman dalam dan luar negeri yang tidak mengikat,
jika kedua tersebut tidak dapat terlaksana barulah bisa diselenggarakan

15 Victor Imanuel Williamson Nalle, “Hak Menguasai Negara Atas Mineral dan
Batubara Pasca Berlakunya Undang-Undang Minerba” Jurnal Konstitusi Volume 9, Nomor 3,
(September 2012), hlm.476
16 Price Waterhouse Cooper, Mining in Indonesia: Investment and Taxation Guide 4 th
Edition April 2012, www.pwc.com/id, diakses pada 6 Juni 2020.
penanaman modal asing atas dasar production sharing kerjasama tersebut harus
terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat. 17

Namun, nampaknya pemerintah dan DPR mengambil jalan singkat dengan


mengesahkan revisi UU Minerba ini sebagai regulator untuk membentuk suatu
payung hukum yang lebih ramah terhadap investor demi meningkatkan iklim
investasi yang baik dalam bidang pertambangan. Salah satunya melalui
penghapusan Pasal 83 ayat huruf (b) dan (d) UU Minerba Lama dimana hal
tersebut menghapuskan luas WIUPK untuk produksi pertambangan mineral logam
paling banyak 25 ribu hektare dan untuk produksi pertambangan batu bara paling
banyak 15 ribu hektare. Tentu hal tersebut menjadi gairah bagi para investor
dalam sektor pertambangan. Selain itu Pasal 169A juga memberikan kemudahan
bagi para pemegang kontrak karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan
Pertambangan Batu Bara (PKP2B) untuk melakukan perpanjangan tanpa melalui
lelang kembali. Pemegang KK dan PKP2B diberi jaminan perpanjangan otomatis
2x10 tahun tanpa harus mengurangi perluasan wilayahnya. Selanjutnya, pada
Pasal 169B ayat (5) Operasi Produksi Kontrak/Perjanjian dapat mengajukan
permohonan wilayah di luar WIUPK untuk tahap kegiatan operasi produksi
18
kepada menteri untuk menunjang kegiatan usaha pertambangan. Selain itu pada
pasal 169B ayat (2) dijelaskan mengenai Operasi Produksi Kontrak/Perjanjian
dapat mengajukan permohonan wilayah di luar WIUPK untuk tahap kegiatan
operasi produksi kepada menteri untuk menunjang kegiatan usaha
pertambangan.19 Ketentuan dalam regulasi tersebut Tentu akan memudahkan investor
dalam berinvestasi dan menjadi stimulus yang baik untuk memperbaiki investasi yang
lebih baik dalam dunia pertambangan Indonesia.

III. PENUTUP

Menelisik lebih jauh bagaimana minerba ini seharusnya dimanfaatkan


untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat tentu regulasi ini dapat menjadi

17Feliks Suranta Tarigan, “Kondisi dan Tantangan Dalam Penanaman Modal Asing di
Bidang Pertambangan Batubara di Indonesia”, hlm. 79
18APPBI-ICMA, “Deretan Pasal Kontroversi UU Minerba”, http://www.apbi-
icma.org/news/2922/deretan-pasal-kontroversi-uu-minerba, diakses 3 Juni 2020
19 Ibid.,
kemunduran sisi kebermanfaatan publik dari minerba itu sendiri. Seperti Amanat
konstitusi, minerba harus dimiliki dan dimanfaatkan untuk Bangsa Indonesia .20
Salah satu bentuk nasionalisasi tersebut adalah kewajiban divestasi saham yang
sudah Oleh karena itu, sudah sepatutnya regulasi minerba dimanfaatkan bagi
kemakmuran bangsa Indonesia. Relaksasi untuk memperbaiki iklim dan gairah
investasi khususnya oleh pihak asing memang suatu instrumen yang tidak bisa
dipungkiri karena biaya ekstraksi dan eksplorasi yang cukup besar dan penelitian
serta transfer teknologi memang saat ini masih diperlukan negara ini. Namun,
jangan sampai relaksasi yang diberikan ini menjadi stimulus hanya untuk
pengusaha dan investor sehingga meninggalkan esensi dasar dari pemanfaatan
SDA yang sudah menjadi hak bangsa Indonesia dan dimanfaatkan untuk
kesejahteraan rakyat Indonesia, selain itu sesuai dengan Indonesia juga harus
berpikir menuju pertambangan yang melihat sisi ekonomi berkelanjutan yang
memperhatikan dampak ekologis demi keberlangsungan pertambangan itu sendiri
dan dapat mendapat keuntungan yang lebih besar secara long-term sesuai dengan
asas dalam UU Minerba itu sendiri yaitu berkelanjutan dan berwawasan
lingkungan.21

DAFTAR PUSTAKA

APPBI-ICMA, “Deretan Pasal Kontroversi UU Minerba”, http://www.apbi-icma.org/news/2922/deretan-


pasal-kontroversi-uu-minerba, diakses 3 Juni 2020.

20 Sari Marlina, Aspek-Aspek Hukum Lingkungan, (Ponorogo: Uwais Inspirasi


Indonesia,2016), hlm. 17
21 Jeanne Darc Noviyanti Manik, “Pengelolaan Pertambangan Yang Berdampak
Lingkungan Di Indonesia”, Jurnal Promine Vol.1, hlm. 4
Diantoro, Totok Dwi. “Pertaruhan Nasib Lingkungan oleh Revisi UU Minerba” Dalam Webinar Fakultas
Hukum UGM Omnibus Law: Kala Lingkungan Dilelang: Harga Mahal untuk Masa Depan
Lingkungan Indonesia, 20 Mei 2020.

H. S., Salim. Hukum Pertambangan di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006.

Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945.

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan MK No. 01-021-022/PUU-1/2003.

Manik, Jeanne Darc Noviyanti. “Pengelolaan Pertambangan Yang Berdampak Lingkungan Di Indonesia”,
Jurnal Promine Vol.1.

Marlina, Sari. Aspek-Aspek Hukum Lingkungan, Ponorogo: Uwais Inspirasi Indonesia, 2016.

McKean, Margaret A. "Common property: What is it, what is it good for, and what makes it work." People
and forests: Communities, institutions, and governance. Massachusetts: MIT Press, 2000.

Nalle, Victor Imanuel Williamson. “Hak Menguasai Negara Atas Mineral dan Batubara Pasca Berlakunya
Undang-Undang Minerba No. 4 Tahun 2009”, Jurnal Konstitusi Vol. 9 No.3, September (2012).

Nursadi, Harsanto. ed. Hukum Administrasi Negara Sektoral Edisi Revisi. Depok: Badan Penerbit FH
UI,2019.

Price Waterhouse Cooper (PWC) . Mining in Indonesia: Investment and Taxation Guide 4 th Edition April
2012, www.pwc.com/id, diakses pada 6 Juni 2020.

Spelt, N.M. dan J.B.J.M. ten Berge, Pengantar Hukum Perizinan, Surabaya: Yuridika, 1993.

Tarigan, Feliks Suranta. “Kondisi dan Tantangan Dalam Penanaman Modal Asing di Bidang Pertambangan
Batubara di Indonesia.” Skripsi Sarjana Universitas Indonesia, Depok, 2010 .

Tim Mining Technology. “Coal Giants: Biggest Coal Producing Countries“ https://www.mining-
technology.com/features/featurecoal-giants-the-worlds-biggest-coal-producing-countries-
4186363/, diakses 6 Juni 2020.

Toruan, Henry Donald Lbn. “ Pergeseran Paradigma Hukum Investasi Pertambangan”, Jurnal
RechtsVinding Vol.4 No.2, Agustus (2015).
Wibisana, Andri G. dan Laode M. Syarif. eds. Hukum Lingkungan Teori, Legislasi, dan Studi Kasus,
Jakarta: Kemitraan Partnership, 2014.

Anda mungkin juga menyukai