Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

UNDANG-UNDANG MINERBA

Disusun Oleh:
Andi Nurfadhilah Anggieta Devi
091 2019 0092
B2

FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI


UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
2019
Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang
berjudul “undang-undang minerba” ini tepat pada waktunya.Adapun
tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas pada mata kuliah pengantar TI .

Saya mengucapkan terima kasih kepada bapak Ir.Ahmad


Padhil,ST,MT,IPM,ASEAN Eng.Selaku dosen yang telah memberikan
tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai
dengan bidang studi yang saya tekuni.

Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membagi sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat
menyelesaikan makalah ini.

Makassar,03 oktober 2019


A.LATAR BELAKANG

Masalah Indonesia merupakan negara yang kaya akan galian


tambang.Mineral dan batu bara merupakan sumber daya alam tak terbarukan
yang mempunyai peranan penting dalam memenuhi hajat hidup orang banyak,
serta memberi nilai tambah secara nyata bagi perekonomian nasional dalam
usaha mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Kegiatan usaha
penambangan mineral dan batubara yang mengandung nilai ekonomi dimulai
sejak adanya usaha untuk mengetahui posisi, area, jumlah cadangan, dan letak
geografi dari lahan yang mengandung mineral dan batubara. Sebagai negara yang
berdasarkan hukum, pengelolaan sumber daya alam pertambangan harus diawali
dengan sebuah proses pengaturan. Proses pengaturan tersebut seharusnya berisi
norma hukum yang menunjukkan adanya komitmen dalam melaksanakan
kegiatan pengelolaan usaha pertambangan yang berkelanjutan dengan wawasan
lingkungan. Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyebutkan bahwa:

“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Sehingga dapat dikatakan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan sumber hukum


tertinggi dalam pengelolaan dan pengusahaan terhadap sumber daya alam
(SDA) di Indonesia.
B.PEMBAHASAN
Sepanjang 40 tahun terakhir, sejak UU No 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Pertambangan, kegiatan pengerukan di tanah air sangatlah identik dengan pencemaran,
penghancuran lingkungan dan sumber-sumber kehidupan rakyat, juga pelanggaran hak azasi
manusia, utamanya penduduk lokal sekitar tambang hingga kawasan hilir, pesisir maupun pulau
pulau kecil. Banyak pihak menuntut perubahan kebijakan pengurusan kekayaan tambang.
Celakanya, penggantinya – UU Minerba, masih kadaluwarsa isinya. RUU Minerba akhirnya
disahkan Sidang Paripurna DPR Senayan, 16 Desember 2008, setelah dibahas lebih 4 tahun,
ditengah kontraversi berbagai kalangan, khususnya masyarakat sipil. Aksi walkout tiga fraksi
(PKS, PKB, dan PAN) mewarnai sidang. Panjangnya waktu pembahasan, ternyata tak merubah
subtansi UU ini lebih baik dari pendahulunya. UU ini mengancam keselamatan warga negara
dan lingkungan. Pemerintah dan Partai-partai penguasa Senayan, hanya merubah UU lama
dengan bungkus baru.
Sebagai reaksi tehadap pengundangan tersebut, kelompok masyarakat sipil, khususnya
JATAM, ICEL, HUMA, WALHI, KAU, SPI, dan KIARA menyatakan kecewa terhadap proses dan
substansi UU Minerba. Sebelumnya, mereka telah menyatakan penolakan terhadap rencana
pengesahan, jika DPR senayan memperbaiki subtansi UU tersebut. Secara proses,
pengundangan UU Minerba belum mengakomodir masukan publik. Secara substansi, UU
Minerba tak bergeser dari paradigma lama : jual murah keruk habis. Bahan tambang sebatas
menjadi komoditas dagang, eksploitatif dengan pendekatan top down, yang sepanjang 41 tahun
lebih telah menimbulkan persoalan yang komplek di masyarakat.
Secara filosofis, kekayaan alam termasuk mineral dan batubara dikuasakan kepada negara
oleh rakyat, untuk dikelola bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Ini tertuang dalam aturan
dasar negara (state fundamental norm) yaitu Pasal 33 Ayat (3) UUD RI 1945. Pasal ini
memberikan mandat negara untuk mengusai sumber daya alam dengan tujuan kemakmuran
bagi rakyat, selaku pemberi mandat, dalam teori kontrak sosial berdirinya suatu negara.
Dengan demikian, pasal ini harus ditafsirkan sepaket dengan bagaimana negara harus
mengelola sumber daya alam (SDA) sebagai sumber daya publik secara baik.
Oleh karenanya, setidaknya ada empat syarat agar pengelolaan sumber daya
pertambangan dilakukan secara baik:
1) Pengakuan terhadap hak-hak masyarakat, terutama yang memiliki keterkaitan langsung
dengan sumber daya pertambangan dan lingkungan.
2) Pengakuan dan pengaturan secara jelas dan tegas tentang transparansi, partisipasi, dan
akuntabilitas dalam pengelolaannya. Ini merupakan tiga pilar penting mewujudkan good
governance dan demokratisasi dalam pengelolaan pertambangan.
3) Akses keadilan, apabila hak-hak masyarakat dan prinsip transparansi dan partisipasi
dilanggar.
4) Pengakuan keterbatasan daya dukung dan daya tampung lingkungan.
Apakah UU Minerba telah memenuhi syarat-syarat diatas? Tidak.
 Pertama. UU Minerba jelas bias darat, tak menaruh pertimbangan dinamika
oseanografi dan pentingnya menjaga perairan laut Indonesia; keluar dari konsepsi
Indonesia sebagai negara kelautan. Itulah mengapa perijinan di darat tak dibatasi,
padahal tempat buangan limbahnya berujung ke pesisir dan laut. Dan laut
merupakan ruang hidup dan penghidupan masyarakat. Konsekuensi sebagai negara
kepulauan, membuat lebih 60% penduduknya tinggal di wilayah hilir, pesisir dan
pulau-pulau kecil. Dalam banyak kesempatan, diketahui kegiatan pertambangan
kerap menjadikan wilayah pesisir dan laut, baik melalui sungai, lokasinya beroperasi
layaknya jamban, tenpat buang kotoran. Kasus pencemaran di Teluk Buyat, Sulawesi
Utara, dan banyak perairan lainnya, menunjukkan bahwa atas nama pertambangan,
pemerintah dan industri dengan yakin mencemari wilayah laut yang sekaligus
tempat hidup jutaan nelayan Indonesia hingga hari ini. UU Minerba tidak bisa
menjawab hal tersebut, abai menanggapi masalah pencemaran pesisir dan laut
akibat kegiatan pertambangan.
 Kedua. Tak heran, jika sistem perijinan dengan pertimbangan administratif, yang
dipromosikan UU Minerba tidak relevan, baik secara geografis, ekologis, apalagi
dalam konteks Republik Indonesia sebagai negara maritim. Seyogyanya cakupan
perijinan mengedepankan perhatian terhadap kerentanan satuan-satuan ekosistem,
hingga ketergangguan sosial-ekonomi masyarakat. Pertimbangan ini didasari pada
karakter material pencemar pada kegiatan pertambangan yang bersifat akumulatif
dan dapat terdistribusi secara luas, baik oleh media air dan udara. Ambil contoh, jika
pencemaran dilakukan di perairan sungai hingga laut, yang notabenenya bukanlah -
tidak mungkin, menjadi bagian konsesi yang diberikan pemerintah. Barang tentu
sistem perijinan yang bersifat administratif tersebut kaku, bahkan sejak awal abai
mempertimbangkan pengurusan dampaknya ekologisnya. Belum lagi, masyarakat
yang tinggal di wilayah hilir (pesisir), umumnya tak dimasukkan dalam kategori
masyarakat yang terkena dampak langsung, karena kawasannya dianggap tak masuk
dalam kawasan tambang. Bisa dipastikan, warga pesisir akan sangat terancam dan
diabaikan keselamatannya oleh negara. Dan saat terjadi pencemaran, lebih sulit lagi
jika terjadi di perairan laut, yang dimensi pencemarannya bisa meliputi satu
kabupaten, antar kabupaten, antar propinsi, satu Negara, bahkan antar negara
“marine pollution is no boundaries”.
 Ketiga. Pasal-pasal UU Minerba lebih banyak mengurus para pemodal. UU ini hanya
mengatur keberlanjutan ekploitasi bahan tambang dan keuntungan jangka pendek
dari pajak dan royalty. Ini terbaca dari BAB IVUU Minerba tentang kewenangan,
dimana pemerintah disemua level dapat mengeluarkan izin pertambangan, izin bisa
diberikan kepada badan usaha, koperasi dan perseorangan (pasal 38), yang luas
konsesinya 1 ha hingga 100 ribu ha.
 Keempat. UU Minerba tidak memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap
hak-hak masyarakat adat. Dalam BAB XIII tentang Hak dan Kewajiban, yang diatur
hanya Hak dan Kewajiban yang diatur hanya sebatas hak dan kewajiban bagi
pemegang izin pertambangan (Pasal 90-112). UU tersebut tetap tak mau mengakui
bahwa rakyat memiliki hak untuk membuat keputusan apakah investasi tambang
bisa ditanamkan di tanah mereka atau diwilayah-wilayah yang jika ditambang akan
mengancam sumber-sumber kehidupan mereka, yag belakangan dikenal dengan
istilah Free and Prior Inform Consent4. Terkait tanahnya, rakyat hanya diberi dua
pilihan dalam UU Minerba ini, menerima ganti rugi yang ditentukan sepihak oleh
pemerintah/ perusahaan atau jalur pengadilan. Ini jelas pelanggaran atas kovenan
internasional hak Ekonomi dan sosial budaya.
 Kelima. UU Minerba secara asas mengakui prinsip transparansi, partisipasi dan
akuntabilitas. Namun itu kamuflase, sebab bagian ini tidak tercermin tegas dan jelas
dalam pasal-pasal. UU Minerba mengatur peran serta atau partisipasi namun masih
sangat umum dan terbatas. Pengakuan secara umum artinya penormaan tentang
asas tersebut hanya sebatas pengakuan prinsip tanpa diberikan aturan atau mandat
pengaturan tentang bagaimana mekanisme yang harus dibuat pemerintah agar bisa
diterapkan, maupun penanggungjawab usaha dalam menerapkan prinsip-prinsip
tersebut secara nyata. Misalnya dalam hal partisipasi, norma yang diatur masih
sebatas pemberian kewenangan kepada Pemerintah Provinsi untuk meningkatkan
peran serta masyarakat (Pasal 7). Permasalahannya, partisipasi masyarakat
harusnya wajib dikelola pemerintah dalam semua level, baik Kab/Kota, Provinsi dan
Pusat. Demikian pula Pasal 10, yang menyatakan bahwa dalam penetapan wilayah
pertambangan harus dilaksanakan:
1) Secara transparan, partisipatif dan bertanggung jawab
2) Secara terpadu dengan memperhatikan pendapat dari instansi pemerintah terkait,
masyarakat dan dengan mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi dan sosial budaya,
serta berwawasan lingkungan
3) Memperhatikan aspirasi daerah. Permasalahannya, mekanisme partisipasi untuk
menjalankan ketentuan ini belum diatur dalam UU Minerba, dan tidak dimandatkan
untuk diatur. Seperti biasa, ketentuan ini bisa ditafsirkan sepihak penguasa, menjadi
terserah mereka tanpa parameter atau indikator yang jelas dan disepakati pihak-pihak
berkepentingan termasuk masyarakat. Selain itu, kepentingan partisipasi seharusnya tak
hanya saat menetapkan wilayah, tapi juga tahapan pemberian izin usaha.
 Keenam. Akses keadilan harus kita jadikan titik tekan dalam UU Minerba ini, sebagai
prasyarat penting kepastian hukum, tidak hanya kepastian untuk mengeruk, tapi
juga kepastian hak-hak masyarakat tak dilanggar. Banyak pasal UU Minerba tak
menjamin akses keadian (access to justice) bagi masyarakat, diantaranya:
1) Tidak menyediakan mekanisme pengaduan dan penyelesaian sengketa yang
komprehensif sebagai saluran masyarakat mendapatkan keadilan.
2) Lemahnya pengaturan yang membuat pemerintah bertindak tegas terhadap pelanggar
UU Minerba.
3) Lemahnya pengaturan tentang hak prosedural dan beban pembuktian untuk
memperoleh keadilan bagi masyarakat.
4) UU Minerba berpotensi mengkriminalkan masyarakat yang memperjuangkan
hak-haknya. Padahal, mekanisme pengaduan dan penyelesaian sengketa merupakan
saluran penting bagi masyarakat yang hak-haknya dilanggar. UU Minerba tidak
mengatur tentang hal tersebut. Penyelesaian sengketa hanya diatur penyelesaiannya
melalui pengadilan dan arbitrase. Selain itu, UU Minerba tidak memberikan mandat
tegas, supaya pemerintah menjatuhkan sanksi administrasi bagi pelanggaran ketentuan
UU Minerba. Pasal 151 hanya menyatakan, pemerintah (Menteri, Gubernur, atau
Bupati/Walikota) berhak memberikan sanksi administratif kepada pemegang IUP, IPR,
dan IUPK atas pelanggaran ketentuan UU Minerba. Berhak disini, bisa direduksi
macam-macam oleh pemerintah di berbegai level, seperti praktek-praktek saat ini. Dan
kembali melanggar hak-hak masyarakat, dan pasif (diam) terhadap pelanggaran yang
terjadi.
5) Apalagi, ada lubang serius dalam penegakan sanksi administrasi pada UU No. 23 Tahun
1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang diulang pada UU Minerba. Pada UU
23/1997, pemerintah diberi mandat menjatuhkan sanksi administrasi bagi pencemar
lingkungan. Sebab sanksi pencabutan izin, harus dikeluarkan instansi pemberi izin
(sektoral), padahal kewenangan instansi lingkungan sebatas pemberian rekomendasi
yang tidak mengikat, apabila instansi pemberi izin (sektoral), misalnya Departemen
ESDM menolak, maka rekomendasi itu pun tumpul. Lubang ini diulang pasal 151 UU
Minerba.
 Ketujuh. Hak prosedural merupakan bagian dari pemenuhan akses keadilan
masyarakat. Secara prosedural UU Minerba tak memberi saluran memadai untuk
mendapatkan keadilan. Misalnya, prosedur gugatan perwakilan (class action)
apabila terdapat kerugian yang timbul akibat usaha pertambangan. Gugatan
perwakilan akan mempermudah dan menekan biaya yang harus dikeluarkan
masyarakat ketika mendapatkan dampak yang sifatnya luas/masif dari usaha
pertambangan. Memang UU 23/1997 telah mengatur tentang gugatan perwakilan,
namun hal tersebut masih sebatas untuk kerugian lingkungan, sedangkan dampak
dari usaha pertambangan bisa jadi tidak hanya kerugian lingkungan saja.
 Kedelapan. Pasal 145 mengatur tentang perlindungan masyarakat, judul pasal
memang bagus, tapi lagi-lagi tipuan. Pasal 145 tentang Perlindungan Masyarakat
ternyata tak seindah judul pasalnya. Pasal ini beresiko melahirkan pelanggaran HAM
baru. Awalnya, tentang masyarakat terkena dampak. UU Minerba hanya mengenal
masyarakat terkena dampak negatif langsung kegiatan usaha pertambangan.
Merujuk kasus-kasus pertambangan selama ini, masyarakat terkena dampak sering dibatasi
masyarakat sekitar dan masuk konsesi pertambangan. Padahal, dampak pertambangan tak
mengenal batas konsesi, bahkan batas administrasi kabupaten, provinsi, dan negara.
Contohnya, tambang batu bara Kideco Jaya Agung, Kabupaten Paser, Kalimantan Timur. Ada
perkampungan Dayak Paser: Suateng, Damit, Bekoso, Lempesu, Suweto, hingga daerah muara
yang tak dihiraukan perusahaan tambang asal Korea Selatan ini. Padahal, Sungai Kendilo,
pendukung utama penghidupan mereka, rusak oleh pengerukan batu bara di hulu. Lima
kampung itu terpaksa pindah ke lokasi baru, berjarak 2-10 km dari kampung lama. Mereka
bangun sekolah dan fasilitas publik lain tanpa bantuan perusahaan karena mereka tak masuk
wilayah pertambangan. Pemerintah Kabupaten Paser harus merogoh dana penanganan banjir
kabupaten untuk membantu mereka.
Hal serupa dialami warga kampung sepanjang Sungai Ok Briam, Mal, Muyu, Kao, dan Sungai
Digoel di Kabupaten Boven Digoel, Papua. Mereka melaporkan limbah tailing tambang Ok
Tedi/BHP Billiton di negara tetangga kita, Papua Nugini, terasa dampaknya di kampung mereka.
Banyak ikan mati dan kebun-kebun sepanjang aliran sungai tak lagi subur. Ini menyuratkan daya
rusak tambang yang bersifat mengalir dan meluas.
Selanjutnya, dalam UU Minerba hanya ada dua hak masyarakat yang terkena dampak, yaitu
mendapat ganti rugi jika terjadi kesalahan dalam pengusahaan kegiatan pertambangan dan
mengajukan gugatan ke pengadilan, itupun jika perusahaan menyalahi ketentuan.
Dua pilihan itu sama pahit. Pilihan pertama menegaskan tidak diakuinya hak veto atau hak
untuk menentukan nasib sendiri, khususnya jika mereka menolak pertambangan, termasuk hak
memilih model pengembangan ekonomi yang lebih berkelanjutan dibandingkan dengan
mengeruk batuan. Sementara itu, ganti rugi akan diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Namun, mengingat dalam setahun ke depan Departemen ESDM harus menyusun 20 PP terkait,
bisa dipastikan penyusunannya akan jauh dari transparansi dan partisipasi publik. Pilihan kedua
tak kalah getir. Kawasan cadangan mineral dan batu bara tersisa kebanyakan ada di kawasan
terisolasi informasi dan keberdayaan hukum. Belum lagi urusan beban pembuktian yang tidak
muda. Warga dihadapkan pada perusahaan tambang yang memiliki modal menyewa ahli
hukum dan konsultan, juga membayar iklan di media. Sementara itu, proses pengadilan yang
lama, biaya mahal, dan sistem yang korup membuat warga berisiko menjadi korban kedua kali.
Sungguh, mereka sulit memenangi perkara di pengadilan, dalam sistem hukum yang kini tak
berpihak kepada mereka.
Terakhir, melalui Pasal 162 UU Minerba, warga berisiko dipidana paling lama setahun dan
denda paling banyak Rp 100 juta jika menghambat kegiatan pertambangan. Pengaturan ini tak
berbeda dengan UU lama yang diganti. Jika warga tak mau lahannya ditambang, lalu melakukan
protes, dianggap menghambat perusahaan, akan dikriminalkan. Hal sama bisa terjadi kepada
mereka yang berupaya menghentikan kegiatan perusahaan yang mencemari lingkungan sekitar.
Sementara, penegakan hukum tak berjalan, seperti yang banyak terjadi selama ini.
Memang UU Lingkungan Hidup mengatur tentang beban pembuktian yang lebih maju,
dengan memasukkan aspek tanggung gugat mutlak (strict liability) bagi pelaku pencemaran
atau perusakan, yang menimbulkan dampak besar dan penting serta menggunakan bahan
berbahaya dan beracun (B3) atau menghasilkan limbah B3, dimana unsur kesalahan pelaku
tidak perlu dibuktikan. Sayangnya, dalam prakteknya nyaris tak digunakan.
 Kesembilan. Pengakuan keterbatasan daya dukung dan daya tampung lingkungan
sangat penting untuk mencegah terjadinya perusakan atau pencemaran lingkungan.
Pasal 18 UU Minerba memang mengatur bahwa penetapan Wilayah Izin Usaha
Pertambangan (WIUP) harus mendasarkan pada kaidah konservasi dan daya dukung
lingkungan, namun tidak mencakup daya tampung lingkungan. Disamping itu, pasal
ini dipastikan tumpul nantinya. Sebab UU ini tak memandatkan kaji ulang perijinan
yang sudah ada, termasuk renegosiasi kontrak karya. Bagaimana mungkin daya
dukung dan daya tampung lingkungan akan diberlakukan pada kontrak kontrak dan
ijin lama, yang luasannya sudah tak masuk akal. Meski tak lagi memberlakukan
kontrak karya, luas daratan yang memiliki cadangan mineral dan batu bara paling
ekonomis sebagian besar telah dimiliki pemegang izin dan kontrak lama, tanpa
tanpa upaya kaji ulang perizinan lama, pengakuan veto rakyat, penghitungan daya
dukung lingkungan, serta pembatasan produksi dan ekspor. UU Minerba jelas
melanggengkan rezim keruk cepat jual murah bahan tambang sejak Orde Baru.
Selain itu sebagai bagian pengakuan keterbatasan daya dukung dan daya tampung
lingkungan, penting pengaturan tegas tentang reklamasi pasca tambang. Dalam hal
reklamasi dan pasca tambang, UU Minerba telah mewajibkan bagi pemegang IUP
dan IUPK untuk memberikan dana jaminan. Namun demikian jangka waktu
pertanggungjawaban dalam reklamasi dan pasca tambang tidak diatur dalam UU
Minerba. Padahal dampak dari kegiatan pertambangan dapat muncul setelah sekian
tahun dari kegitatan dilakukan. Jangka waktu pertanggungjawaban ini penting untuk
memastikan agar pemegang izin benar-benar menjalankan kewajibannya melakukan
reklamasi dan kegiatan pasca tambang sesuai dengan kriteria atau ketentuan yang
akan ditetapkan. Selain itu, mekanisme transparansi dari pengelolaan dana jaminan
dan pasca tambang harus diatur (tidak diatur dalam UU Minerba) untuk memastikan
bahwa dana tersebut diperuntukkan kegiatan reklamasi dan pascatambang secara
bertanggungjawab.
 Kesepuluh. “Pemegang IUP dan IUPK dapat memanfaatkan prasarana dan sarana
umum untuk keperluan pertambangan setelah memenuhi ketentuan peraturan
perundang- undangan.” Ini bunyi pasal 91. UU Minerba akan mempercepat
perusakan prasarana dan sarana umum, dengan memperbolehkannya dimanfaatkan
menjadi sarana pertambangan. Ini terbukti di propinsi Kalimantan Selatan. Ruas
jalan mulai Kabupaten Tapin, Banjar sampai dengan Banjarmasin boleh dipakai truk
batubara. Apa hasilnya? Tahun 2004, panjang jalan yang dipakai mereka 1056,38
kilometer, dan sementara sepanjang 124,37 kilometer dalam kondisi rusak berat.
Namun data terbaru menyebutkan, berdasar temuan DPRD Kalsel, ruas jalan
provinsi yang rusak mencapai 293 kilometer atau 27,7% dari panjang jalan negara.
Karena itu, kerusakan jalan umum di Kalsel kini menjadi problem serius. Pemerintah
sendiri mengaku tiap tahun mengeluarkan dana perbaikan jalan mencapai Rp 127
miliar. Dana itu bukan dari para penambang tentunya. Tak hanya itu, penderita
penyakit ISPA dan kecelakaan di sepanjang jalan yang dilalui truk batubara juga
meningkat.
Mestinya, upaya reformasi kebijakan sektor pertambangan mensyaratkan 3 hal, yaitu:
1) Dapat memfasilitasi pemulihan dan pengembalian hak masyarakat yang telah dirampas.
2) hak-nya oleh industri pertambangan, baik secara langsung melalui perampasan tanah.
3) masyarakat lokal; maupun secara tidak langsung dengan mencemari perairan laut
tempat bergantungnya kehidupan masyarakat nelayan tradisional.
4) Dapat memfasilitasi pulihnya ekonomi masyarakat lokal dan ekosistem sekitar
pertambangan. Dimana paradoks selama ini menunjukkan bahwa, daerah potensial
dengan kegiatan pertambangan, justeru identik dengan kemiskinan dan intensitas
konflik yang tinggi.
5) Dapat memfasilitasi proses penegakan hukum atas berbagai pelanggaran yang terjadi
selama ini disekitar lingkungan pertambangan, maupun secara luas dalam hal ekonomi
nasional.
UU Minerba mengakui asas-asas pengelolaan pertambangan yang baik, namun lemah
dalam penjabaran ibarat pepesan kosong. Beberapa kelemahan fundamen dari UU Minerba
adalah:
1) Pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat terutama yang memiliki keterkaitan
langsung dengan sumber daya pertambangan dan lingkungan
2) Pengakuan dan pengaturan secara jelas dan tegas tentang transparansi, partisipasi, dan
akuntabilitas dalam pengelolaan sumber daya alam yang merupakan tiga pilar penting
dalam mewujudkan good governance dan demokratiasasi dalam pengelolaan
pertambangan.
3) Akses keadilan apabila hak-hak masyarakat dan prinsip transparansi dan partisipasi
dilanggar.
4) Pengakuan keterbatasan daya dukung dan daya tampung lingkungan. Berbagai
kelemahan tersebut, muaranya lagi-lagi rakyat yang harus menanggung ongkos
kerusakan lingkungan, pemiskinan dan pelanggaran HAM baik di sekitar pertambangan,
hingga kawasan pesisir. Sementara, bahan-bahan mineral kita bisa dipatikan akan makin
menipis jumlahnya, karena terus-terusan dikeruk untuk memasok kebutuhan asing.
Banyak hal bisa dilakukan untuk menolak UU pertambangan lama dan UU Minerba yang
kadaluarsa. Salah satunya, terus menuntut penataan ulang pengurusan kekayaan, lewat
penghentian ijin baru, kaji ulang perijinan lama, pembatasan produksi hanya utuk kebutuhan
mendesak rakyat dan membawa UU Minerba ke Mahkamah Konstitusi.

Dampak berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 menimbulkan kerugian


yang besar bagi rakyat Indonesia, hal ini disebabkan adanya sistem kontrak karya bagi hasil
terhadap ekploitasi pertambangan Indonesia. Berlakunya sistem kontrak karya tersebut
telah mengikis arti kedaulatan Indonesia. Kedaulatan ekonomi yang dicetuskan Hatta pada
saat perumusan Pasal 33 UUD 1945 menyatakan bahwa semua sumber daya alam
Indonesia harus dikelola oleh rakyat Indonesia sendiri. Meskipun dalam pengelolaannya
tidak melarang keikutsertaan investor asing untuk membantu, namun dengan penggunaan
sistem kontrak karya dalam pengelolaan Sumber Daya Alam Indonesia tersebut seharusnya
tidak memposisikan Indonesia sebagai pemilik sumber daya alam memiliki kedudukan yang
sama dengan investor asing. Lahirnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Mineral dan Batubara, sedikit memberikan angin segar untuk memulihkan kedaulatan
ekonomi yang digagas oleh Hatta, karena dalam undang-undang ini mengubah cara-cara
berbisnis. Sebelum berlakunya undang-undang ini, Indonesia masih menggunakan sistem
kontrak kerja, tetapi setelah undang-undang ini berlaku sistem kontrak kerja di hilangkan
dan beralih menjadi Ijin Usaha Pertambangan (IUP). Dalam IUP ini mewajibkan pengusaha
atau perusahaan yang ingin menanamkan modalnya di Indonesia harus mengikuti dan
tunduk pada peraturan-peraturan yang telah ditentukan oleh negara.
C.KESIMPULAN
Sebagai kegiatan usaha, industri pertambangan mineral dan batubara merupakan industri yang

padat modal (high capital), padat resiko (high risk), dan padat teknologi (high technology). Selain itu,

usaha pertambangan juga tergantung pada faktor alam yang akan mempengaruhi lokasi dimana

cadangan bahan galian. Dengan karakteristik kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara

tersebut maka diperlukan kepastian berusaha dan kepastian hukum di dunia pertambangan mineral dan

batubara.

Celakanya, UU Minerba, masih kadaluwarsa isinya. RUU Minerba akhirnya disahkan Sidang

Paripurna DPR Senayan, 16 Desember 2008, setelah dibahas lebih 4 tahun, ditengah kontraversi

berbagai kalangan, khususnya masyarakat sipil. Namun, panjangnya waktu pembahasan, ternyata tak

merubah subtansi UU ini lebih baik dari pendahulunya. UU Minerba ini mengancam keselamatan warga

negara dan lingkungan. Pemerintah dan Partai-partai penguasa Senayan, hanya merubah UU lama

dengan bungkus baru.

D. SARAN

Banyak hal bisa dilakukan untuk menolak UU pertambangan lama dan UU Minerba yang kadaluarsa.

Salah satunya, terus menuntut penataan ulang pengurusan kekayaan, lewat penghentian ijin baru, kaji

ulang perijinan lama, pembatasan produksi hanya utuk kebutuhan mendesak rakyat dan membawa UU

Minerba ke Mahkamah Konstitusi.


C.

Anda mungkin juga menyukai