Anda di halaman 1dari 11

BAB II

PEMBAHASAN

Secara substantif UU No 27 Tahun 2007 mengandung tiga orientasi


kepentingan dalam memaknai pengelolaan wilayah pesisir yakni (i)
industrialisasi/privatisasi yang ditandai hadirnya HP3, dan aturan akreditasi; (ii)
konservasionis dengan munculnya terminologi ekosistem, bio-ekoregion, kawasan
konservasi, hingga rehabilitasi; (ii) “Rakyat” dengan pengakuan masyarakat adat,
istilah masyarakat lokal, masyarakat tradisional, hingga kearifan lokal. Akan
tetapi, bila mencermatinya berbagai terminologi mengandung “kontroversial”.

Kebijakan penyewaan perairan pesisir dan pulau-pulau kecil melalui Hak


Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3) seperti yang tertuang dalam UU No 27
Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sampai
saat ini masih menimbulkan pro-kontra yang substansial antara pemerintah dan
para stakeholders kelautan lainnya. Pemerintah mengharapkan dengan sistem HP-
3 ini pendapatan negara dari sektor kelautan mengalami peningkatan melalui
biaya perijinan sertifikat HP-3 dan biaya pajak lainnya yang saat ini sedang
disusun peraturannya. Namun, kebijakan tersebut ternyata tidak didukung oleh
naskah akademik yang komprehensif. Menurut kelompok kami kebijakan dalam
menjalankan pengelolaan sumber kekayaan laut menentang demokrasi pancasila.
Karena memiliki dampak negatif sebagai berikut:

Pertama, bila masyarakat adat memiliki otoritas penuh menentukan HP3-


nya, lantas siapa yang menjamin tak akan melakukan transferability ke pemilik
modal? Itu baru masyarakat adat. Amat disayangkan masyarakat adat jadi alat
bargaining politik penguasa untuk meloloskan HP3. Belum lagi nelayan
tradisional, maupun petani tambak tradisional jika melakukan hal
serupa.Penelitian Karim dan Lenggono (2008) di Delta Mahakam membuktikan
ekspansi lahan pertambangan minyak dan gas (migas) semakin luas sekalipun
kewenangannya di Departemen Kehutanan pun masih ada saja rakyat yang
menjualnya ke perusahaan migas demi mendapatkan uang. Padahal, tak satu pun
bersertifikat. Sebab, kondisinya sudah berubah jadi lahan bera yaitu lahan yang
tak produktif lagi bagi usaha tambak udang maupun ikan. Terbitnya Peraturan
Perundang-undangan HP3 akan semakin memperparah transferability lahan
pesisir ke perusahaan pertambangan multinasional. Selain itu, pengalihan lahan
pesisir dan pulau-pulau kecil plus sumber dayanya (terumbu karang, lamun dan
mangrove) kepada pemilik modal besar.

Kedua, pemberian HP3 yang dilakukan oleh pemerintah pusat, daerah


(provinsi maupun kabupaten/kota) berarti mengubah rezim pengelolaan laut di
Indonesia. Perubahan dari akses terbuka dan kepemilikan serta pemanfaatan
bersama (common property right) jadi private property right yang eksklusif.
Andre Groz (2005), penulis buku Ecology as Politics mengkritik pemberian hak
eksklusif pada pemilik modal, karena memicu ketidakadilan dalam
mendistribusikan sumber daya alam dan mereproduksi kemiskinan pada
masyarakat pesisir khususnya nelayan tradisional, petani tambak hingga pembudi
daya laut. Bahkan, Harry Shut, penulis buku Decline of Capitalism menyebutnya
sebagai tindakan penjarahan sector publik. Persis dengan HP3 yang sejatinya
”mencabut hak dan akses masyarakat lokal atas sumber daya pesisir dan laut”
dengan cara halus melalui instrument akreditasi. Jika mereka tak mampu
mengakreditasi haknya atas sumber daya laut otomatis terusir dengan sendirinya.

Ketiga, dalam HP3 jelas-jelas memprioritaskan “pengusaha” karena


orientasinya keuntungan. Ini amat berbahaya karena aktivitas pengusaha sudah
berkembang di wilayah pesisir. Mulai dari pembangunan resort orang-orang
Singapura di Kepulauan Riau, dan privatisasi pulau kecil di Kepulauan Seribu,
dan pengelolaan kawasan Taman Nasional Pulau Komodo di Nusa Tenggara
Timur (NTT) oleh lembaga internasional dan pengusaha Malaysia. Akan semakin
parah bila keterlibatan asing justru menjadikannya sebagai arena judi dan wisata
semacam di Pulau Christmas milik Australia di Samudera Hindia atau menambah
pertambakan skala besar di Lampung. Berarti, keluarnya PP-HP3 tinggal
melegitimasinya saja.
Keempat, pemberlakuan HP3 akan “menggusur” secara alamiah suku
nomaden yang kehidupannya berasosiasi/bersimbiosis dengan alam (laut).
Misalnya, Suku Bajo yang bermukim di pulau-pulau kecil dan pesisir Sulawesi
hingga Suku Laut di Kepulauan Riau. Kedua suku nomaden ini tak memiliki
lahan, lautlah sebagai sumber kehidupan mereka hingga adanya kekuatan mitos
maupun kearifan lokal yang tak terpisahkan dari laut. Terbukti tanpa HP3 saja,
suku Laut di Kepulauan Riau sudah tergusur akibat eksploitasi pasir laut. Pasti,
akan semakin banyak pengusaha pasir laut mengurus HP3 bila PP-nya berlaku.
Hal ini tentu saja akan memperparah kehidupan mereka.

Kelima, pemberlakuan HP3 akan menyuburkan kegiatan rent seeking di


daerah. Lahan-lahan pesisir hingga pulau kecil yang potensial untuk per-tambakan
udang, pariwisata bahari hingga pertambangan mineral akan dikaveling para
pejabat daerah yang berperilaku pedagang dan kolusi birokrasi di daerah dengan
pengusaha. Terbukti, tanpa HP3 saja lahan pesisir di pantai timur Asahan dan
Labuhan, pesisir Pulau Muna, Kepulauan Raja Ampat, pesisir Teluk Pelabuhan
Ratu, Pantura Jawa hingga pesisir Kalimantan Timur itu mereka sudah
mengaveling dan mensertifikasinya. Bukankah terbitnya HP3 justru memperparah
hal ini? Bahkan, mempercepat terjadinya keterbelakangan komunitas akibat
rusaknya sendi-sendi struktur sosial masyarakat dan kehancuran lingkungan
(natural capital) hingga memicu munculnya revolusi (Larrian, 1989).

Keenam, pemberlakuan HP3 akan memicu konflik tak hanya bersifat


horizontal, tapi vertikal. Bayangkan saja pemberlakuan UU No 22 Tahun 2009
yang kemudian revisinya UU No 32 Tahun 2004 yang mengatur kewenangan
wilayah laut sudah memicu konflik antardaerah (nelayan Kota Baru dan
Rembang) hingga anarnelayan akibat penyerobotan wilayah tangkap. Pemerintah
Provinsi Banten dan DKI Jakarta hingga Jambi dan Sumatera Selatan akibat
perebutan hak kepemilikan sebuah pulau kecil.

Ketujuh, penyewaan perairan pesisir tersebut juga melanggar prinsip-


prinsip negara kepulauan yang menekankan adanya keterpaduan antara matra
darat, laut dan udara dalam melakukan pembangunan nasional. Terlebih dalam
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN), salah satu point misi
pebangunan jangka panjang adalah mewujudkan Indonesia sebagai negara
kepulauan/maritim. Artinya bahwa keterpaduan antara matra darat, laut dan udara
menjadi sangat urgen. Dengan adanya penyewaan perairan pesisir kepada pihak
swasta akan “menghilangkan” keterpaduan matra laut atau perairan dalam
pembangunan nasional. Padahal para pendahulu bangsa ini telah memperjuangkan
secara gigih agar prinsip-prinsip negara kepulauan ini diakui oleh dunia
internasional seperti yang sudah tertuang dalam UNCLOS 1982.
BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

Menurut UU No. 27 Tahun 2007 disebutkan bahwa orientasi kepentingan


dalam pengelolaan pesisir laut, yakni diterapkannya HP-3, yaitu industrialisasi
atau privatisasi terhadap laut. Kebijakan tersebut memiliki dampak negatif, yaitu
pemberian HP-3 yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah mengubah
rezim pengelolaan laut di Indonesia, sehingga memicu ketidakadilan dalam
pendistribusian sumber daya alam dan memproduksi kemiskinan pada
masyarakat, aktivitas pengusaha yang berkembang di wilayah pesisir yang
mengakibatkan penggusuran secara alamiah suku nomaden yang berasosiasi
dengan laut, biaya pengawasan yang besar yang mengakibatkan munculnya
berbagai aktivitas illegal di perairan Indonesia, dan berbagai macam kondisi
lainnya yang lebih menguntungkan pihak pemilik modal daripada masyarakat
Indonesia. Hal ini bertentangan dengan prinsip demokrasi Pancasila yang
seharusnya lebih mengutamakan kepentingan rakyatnya.

Berdasarkan hal tersebut, perlu diadakannya pengkajian ulang agar


terwujud negara kepulauan yang handal. Pemerintah perlu melakukan revitalisasi
negara kepulauan sehingga terwujudnya keterpaduan antara matra darat, laut, dan
udara. Pemerintah juga perlu memperkuat dewan kelautan Indonesia sebagai
wadah untuk menyatukan semua kepentingan stakeholders kelautan nasional.
Selain itu, pemerintah perlu menjaring investasi kelautan dan perikanan yang
lebih mengedepankan perbaikan iklim investasi dan menjamin keberlangsungan
investasi di bidang kelautan dan perikanan.
DAFTAR PUSTAKA

https://415a.wordpress.com/2010/11/11/uu-no-27-tahun-2007/
LAMPIRAN

Notulensi Diskusi

Hari/Tanggal : Minggu/1 Mei 2016

Waktu : 11.00-13.00

Moderator : Pandu Abdi Mukti

Peserta : Kelompok 3 dan kelompok 4 U02.2

Notulis : Alisa Firdha N.

Agenda : Diskusi pro-kontra dalam menjalankan pengelolaan sumber

kekayaan laut melalui demokrasi pancasila

Pembicara 1 Pro: Pemanfaatam sumber daya hayati laut sangat lah bermanfaat
bagi kehidupan masyarakat indonesia karena sebagian besar wilayah indonesia
adalah laut dan laut ini sebagai mata pencaharian untuk nelayan di Indonesia
maka dari itu pemanfaatan sumber daya hayati sngat diperlukan untuk masyrakat
Indonesia terimakasih

Pembicara 1 Kontra: Menurut uu no 27 thn 2007 disebutkan bahwa orientasi


kepentingan dalam pengelolaan pesisir laut yakni diterapkannya hp-3,yaitu
industrialisasi atau privatisasi terhadap laut. Menurut kami,kebijakan tersebut
memiliki dampak negatif. Yaitu pemberian hp-3 yg dilakukan oleh pemerintah
pusat dan daerah berarti mengubah rezim pengelolaan laut di Indonesia.
Perubahan dari akses terbuka dan kepemilikan serta pemanfaataan bersama
menjadi private property yang eksklusif. Hal ini memicu ketidak adilan dalam
mendistribusikan sumber daya alam dan mereproduksi kemiskinan pada
masyarakat pesisir. Khususnya nelayan tradisional,petani tambak hingga pembudi
daya laut. Hp-3 sejatinya ”mencabut hak dan akses masyarakat lokal atas sumber
daya pesisir dan laut” dengan cara halus melalui instrument akreditasi. Jika
nelayan tradisional,petani tambak dan pembudidaya laut tidak mampu
mengakreditasi haknya atas sumber daya laut,otomatis mereka terusir dengan
sendirinya. Inilah alasan dasar kami kenapa kontra dalam menjalan kan
pengelolaan sumber kekayaan laut karena menentang demokrasi pancasila yang
seharusnya mementingkan hak rakyat secara utuh.

Pembicara 2 Pro: Indonesia sebagai negara kepulauan telah menetapkan alur


perlintasan pelayaran internasional, yaitu yang dikenal dengan Alur Lintas
Kepulauan Indonesia (ALKI), hal ini mengharuskan kita untuk mengembangkan
kemampuan teknik pemantauannya serta kemampuan untuk menjaga kelestarian
lingkungan sekitarnya.

Pembangunan kelautan dan perikanan dimasa datang diharapkan menjadi sektor


andalan dalam menopang perekonomian negara dalam pemberdayaan masyarakat
yang bergerak di sektor kelautan dan perikanan. Menyadari hal tersebut, maka
peran ilmu pengetahuan dan teknologi kelautan dan perikanan menjadi sangat
penting dan perlu dioptimalkan serta diarahkan agar mampu melaksanakan riset
yang bersifat strategis yang dapat diaplikasikan oleh masyarakat luas terutama
oleh para pelaku industri dan masyarakat pesisir pada umumnya. Hal ini
dilakukan agar pemanfaatan sumberdaya hayati laut dapat optimal.

Pembicara 2 kontra: Penggunaan azas demokrasi ekonomi Pancasila dalam


memanfaatkan sumber hayati laut tidak tepat sasaran karena berpihak pada
stakeholder atau pemilik modal. Nelayan kecil dan penambak udang tidak akan
bisa memanfaatkan azas demokrasi ekonomi pancasila karena mereka tidak
memiliki modal. Keberpihakan ini akan secara perlahan menggusur nelayan dan
penambak udang dan juga masyarakat pesisir dari tempat tinggalnya. Hal ini
disebabkan karena implementasi HP3 yg sangat merugikan nelayan kecil
penambak udang tetapi di lain sisi sangat menguntungkan pemilik modal besar.
Untuk itu, penggunaan demokrasi ekonomi pancasila tidak tepat
diimplementsikan pada negara Indonesia.

Pembicaa 3 pro: pendapat kelompok kami terkait demokrasi ekonomi pancasila


bahwa perairan adalah slah satu pusat perekonomian indonesia yang dimana di
lindungi oleh UU yg ditetap kan oleh pemerintah. Kawasan perairan menjadi
pusat ekonomi dimana di lindungi oleh UU krena indonesia sebagai negara
hukum yg mengayomi dan mengatur seadil2nya pemanfaatan sunber daya hayati
sesuai dengan UU NO 5 thun 1967 tentang pengaturan pemanfaatan sumber daya
hayati.wlaupun mempunyai bnyak kekurangan tetapi UU ini dapat diandalkan.

Pembicara 3 kontra: Dampak negatif lain dari HP3 adalah, dalam realitanya HP-3
milik perorangan rawan dijadikan tempat penyelundupan barang, narkoba, senjata
dan atau manusia. Beberapa waktu lalu, pihak kepolisian telah membongkar jalur
distribusi narkoba melalui laut. Jalur narkoba via laut ini melalui jalur Guandong
(Cina)-Hilir Cisadane di Tangerang. Dalam sebuah diskusi Government Maritime
di Jakarta beberapa waktu yang lalu Menteri Pertahanan RI mengakui aparat
berwajib keteteran memberantas jalur distribusi narkoba lewat laut karena
jaringannya sangat kuat.

Tanggapan dari pembicara 1 pro terhadap argumen pembicara 3 kontra: bahwa


dalam kasus narkoba melalui jalur laut sesungguhnya pemerintah sudah
menanggulanginya dan menanganinya.Dengan menjada ketat di setiap kawasan
perairan indonesia .namun memang pengawasan ini dipantau oleh polair poda
melalui manual sebab karena indonesia blm memiliki alat2 dekteksi narkoba
melalui laut.tetapi menurut saya kita tdak hanya menyalah kan hanya pihak
pemerintah kta sebgai pemuda indo kta hrus menjaga pemuda atau sesama
generasi kita agar tdk menjerumus ke dlm lingkar narkoba. mka dri itu diadakan
nya penyuluhan narkoba untuk semua warga indo tentang bahayanya narkoba dan
kerugiannya narkoba.

Pembicara 1 kontra: Pemberlakuan privatisasi terhadap laut tidak hanya


itu,melainkan juga menggusur secara alamiah suku nomanden yang kehidupannya
bersimbiosis dengan alam laut. Misalnya suku Bajo yang bermukim di pulau-
pulau kecil. Suku nomanden ini tak memiliki lahan,lautlah yg menjadi sumber
kehidupan mereka. Terbukti tanpa hp-3 saja,suku laut dikepulauan Riau sudah
tergusur akibat eksploitasi pasir laut. Pasti akan semakin banyak pengusaha pasir
laut yg menggusur wilayah pesisir jika dilaksanakannya hp-3 ini. Hal ini
memperparah kehidupan mereka dan tentu saja tidak sesuai dengan prinsip
demokrasi pancasila.
Pembicara 2 kontra menanggapi tanggapan pembicara 1 pro: Pernyataan saudari
alfi tentang uu no 5 tahun 1967 tentang pengaturan pemanfaatan sumber daya
hayati . Apakah saudara sudah 100% yakin bahwa semua UU yg dipakai berpihak
seutuhnya kepada rakyat? Saya meragukan hal tersebut karena HP3 sendiri yg
memiliki dasar UU malah merugikan rakyat. Kemana makna demokrasi pancasila
yg pro rakyat? Jika pada kenyataan nya rakyat justru merugi dengan kebijakan
tersebut? Lagipula, saya tidak melihat ada nya manfaat yg kelompok pro
sampaikan dengan diberlakukannya azas demokrasi ekonomi pancasila. Jadi
kelompok kami tetap tidak setuju dengan pemanfaatan hayati lau berdasarkan
kepada demokrasi ekonomi pancasila.

Pembicara 1 Pro menanggapi tanggapan Pembicara 2 Kontra: Terimakasih saudari


Sharah atas pendapatnya. Saya berpendapat bahwa setiap UU yang dibuat
pemerintah pasti mempunyai kelemahan karena apa UU dibuat oleh manusia
maka sifatnya bukan mutlak jika saja UU dibuat oleh Allah SWT maka otomatis
itu sudah pasti mutlak sifatnya. Setiap kebijakan juga tidak ada yang sempurna
pasti ada kelemahannya. Mengapa kami setuju dengan adanya demokrasi ekonomi
pancasial karena negara kita adalah negara yg demokratis kita berdasarkan
pancasila kta hidup berbangsa berpedoman terhdap pancasila. Maka dari itu
kebijakan dan UU tidak ada yang sempurna kami hanya berpedoman kepada yang
semestinya yaitu pancasila.

Pembicara 2 Kontra menanggapi tanggapan Pembicara 1 Pro: Terimakasih saudari


alfi. Dari pernyataan saudari, justru saya menangkap bahwa saudari paham betul
bahwa kita harus berpedoman pada pancasila. Bukan kata "PANCASILA" ,tapi
makna yg ada di dalamnya. Disini kami juga menegaskan berpedoman thpd
pancasila .Kemudian, saudari alfi mengatakan dengan sadar bahwa uu yg
digunakan memiliki kelemahan, jika boleh saya perjelas bahwa kelemahan nya
adalah tidak pro thdp rakyat dlm implementasi pemanfaatan sumber daya laut,
melainkan pro thdp pemodal. Jika saudara sendiri sadar betul terhadap cacat UU
yg dipakai, mengapa anda masih mendukung UU tsb utk digunakan? Bukankah
lebih baik jika kita memperbaiki dahulu UU tsb agar benar2 pro thdp rakyat?
Terimakasih
Kesimpulan diskusi: Berdasarkan hal tersebut sangat penting untuk kita merenung
kembali agar pembangunan kelautan dan perikanan dapat mendukung
terwujudnya negara kepulauan yang tangguh. Artinya bahwa dalam melakukan
pembangunan negara kepulauan perlu adanya keterpaduan antara matra darat, laut
dan udara. Oleh sebab itu berbagai paradigma pembangunan yang
mengesampingkan akan tegaknya negara kepulauan yang kuat perlu dikaji ulang.
Pemerintah hendaknya tetap konsisten untuk mewujudkan negara Indonesia
sebagai negara kepulauan yang kuat. Berdasarkan hal tersebut guna
mengembalikan semangat pemerintah untuk melestarikan sumberdaya ikan,
kesejahteraan nelayan dan menegakkan kembali prinsip-prinsip negara kepulauan
dalam pembangunan nasional maka saat ini pemerintah perlu melakukan upaya
merevitalisasi negara kepulauan. Tanpa adanya upaya tersebut dikhawatirkan
pembangunan kelautan dan perikanan akan menjadi penghambat untuk
mewujudkan negara kepulauan yang kuat. Selain itu juga dikhawatirkan
pembangunan kelautan nasional akan semakin berpihak kepada para pemodal
besar dan memarginalkan nelayan kecil dan kelestarian sumber daya ikan.

Anda mungkin juga menyukai