Anda di halaman 1dari 5

Jakarta, 31 Agustus 2023–Setelah 78 tahun Indonesia merdeka dari penjajahan

bangsa asing, kehidupan masyarakat Indonesia di tingkat tapak tidak benar-benar


berdaulat di atas bumi Nusantara ini. Tak sedikit warga negara Indonesia yang
masih harus berjuang mempertahankan ruang hidupnya dari ancaman investasi
skala besar yang dipaksakan oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah.

Pada tahun 2019, Pulau Komodo, di NTT, pernah diminta untuk dikosongkan dari
Masyarakat yang hidup dan tinggal di pulau tersebut karena akan dijadikan kawasan
wisata premium.[1] Di tempat lain, ratusan masyarakat di Pulau Pari, Jakarta, harus
terus menerus mempertahankan pulaunya dari ancaman perampasan tanah yang
dilakukan oleh PT Bumi Pari Asri yang mendapatkan sertifikat HGB dari Badan
Pertanahan Nasional (BPN) DKI Jakarta.[2] Di Provinsi Maluku Utara, Masyarakat di
Pulau Obi menyusun surat terbuka menolak Ranperda relokasi untuk kepentingan
Proyek Strategis Nasional (PSN), terutama pertambangan nikel.[3]

Nasib serupa kini sedang dihadapi oleh lebih dari 7 ribu warga di Pulau Rempang,
Provinsi Kepulauan Riau yang akan kehilangan hak atas tanahnya akibat dari
Program Pengembangan Kawasan Rempang sebagai Kawasan Perdagangan
Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) Batam. Melalui SK Hak Pengelolaan (HPL)
Kawasan Rempang yang dikeluarkan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang
kepada Badan Pengusahaan (BP) Batam, Kepulauan Riau, untuk dijadikan kawasan
investasi terpadu yang akan digarap oleh PT Makmur Elok Graha (MEG). Proyek
tersebut bernama Rempang Eco City yang menargetkan akan menarik investasi
hingga Rp 381 triliun akan dibangun di atas lahan seluas 17 ribu hektar.

Dengan dikeluarkannya Surat Keputusan (SK) HPL yang diberikan kepada BP


Batam, pemerintah secara tegas mengindikasikan niatnya untuk menghidupkan
kembali konsep domein verklaring (negaraisasi tanah). Prinsip ini mengartikan
bahwa tanah dianggap sebagai kepemilikan negara, yang pada gilirannya
memungkinkan pemerintah atau entitas yang berada di bawah otoritasnya, seperti
BP Batam, untuk dengan mudah mengakuisisi tanah yang sebelumnya dimiliki oleh
masyarakat. Padahal, prinsip ini telah ditiadakan oleh Undang-Undang Pokok
Agraria (UUPA). Oleh karena itu, klaim BP Batam terhadap Hak Pengelolaan Lahan
(HPL) sesungguhnya tidak memiliki status yang setara dengan hak atas tanah
seperti Hak Milik (HM), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), dan
Hak Pakai (HP) yang diakui oleh UUPA.

Sebagai akibat dari keputusan ini, selama dua bulan terakhir, masyarakat di Pulau
Rempang telah menyelenggarakan demonstrasi besar-besaran sebagai bentuk
penolakan terhadap rencana penggusuran, serta untuk mempertahankan hak
mereka untuk hidup dan memiliki tanah di pulau tersebut. Sementara itu, pada waktu
yang sama, Pemerintah Indonesia Tengah telah mengadakan GTRA Summit 2023
di Pulau Karimun, yang terletak sekitar 73 km dari Pulau Rempang. Keadaan ini
memunculkan paradoks yang mencolok; di satu sisi, GTRA Summit 2023 bertujuan
untuk memperkuat kepastian hak kepemilikan tanah bagi masyarakat pesisir dan
pulau-pulau kecil, namun di sisi lain, masyarakat Pulau Rempang justru menghadapi
risiko kehilangan hak atas tanah mereka akibat proyek investasi pemerintah.

Situasi yang dihadapi oleh masyarakat Pulau Rempang ini berlawanan dengan
pernyataan dari Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi
Kepulauan Riau, Nurhadi Putra. Seperti yang dicatat dalam situs resmi GTRA
Summit 2023, Nurhadi Putra menyebutkan bahwa sebanyak 70 persen masyarakat
Kepulauan Riau tinggal di desa-desa yang berada di sepanjang pesisir. Dengan
demikian, melalui forum GTRA Summit 2023 yang diadakan di Kabupaten Karimun,
Kepulauan Riau, diharapkan bahwa masyarakat pesisir dapat memperoleh jaminan
hukum terhadap aset dan tempat tinggal yang telah mereka miliki selama puluhan
tahun.
Namun, pertanyaan yang muncul adalah bagaimana kepastian hukum bagi
masyarakat Pulau Rempang dapat dijamin dalam konteks ini?

Investasi Skala Besar akan Perparah Ancaman Bencana

Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI, Parid Ridwanuddin,
menyebut, dengan luas kurang-lebih 165 km persegi, Pulau Rempang masuk ke
dalam kategori pulau kecil berdasarkan definisi UU No. 27 Tahun 2007 jo UU No. 1
Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Berdasarkan hal itu, pengelolaan Pulau Rempang sebagai pulau kecil harus
diprioritaskan untuk wilayah masyarakat bukan untuk investasi besar, apalagi
mengusir mereka.

Parid menilai, masyarakat di pulau kecil akan semakin menderita karena investasi
skala besar. Keterbatasan ruang dan daya dukung sumber daya alam, jika
dialokasikan untuk kepentingan investasi skala besar, akan berdampak buruk bagi
kehidupan masyarakat yang tinggal di pulau kecil. “Sebagaimana diketahui,
masyarakat yang tinggal di pulau kecil, memiliki akses serta mobilitas terbatas,
terutama terkait dengan pangan dan air bersih. Jika sumber pangan dan air bersih
hilang, maka bencana kemanusiaan akan meledak,” katanya.
Ia menambahkan, beban ekologis pulau kecil investasi skala besar akan
memperparah ancaman bencana. Pelajaran yang terjadi di Pulau Serasan Natuna
penting dijadikan pelajaran. Pulau Serasan tidak memiliki beban ekologis yang
sangat berat, tetapi ketika bencana longsor terjadi, sebanyak 46 orang meninggal,
dan sebanyak 2.240 orang harus mengungsi. “Dengan demikian, pembangunan
proyek skala besar di pulau Rempang akan menciptakan bom waktu pengungsi
ekologis karena memperparah ancaman bencana ekologis yang saat ini
intensitasnya semakin sering terjadi,” tegasnya.

Lebih jauh, Parid menyebut bahwa masyarakat di Pulau Rempang adalah pemilik
sah yang berdaulat atas ruang hidup serta tidak boleh digusur oleh pemerintah untuk
kepentingan investasi skala besar. “Mereka telah terbukti berkontribusi secara turun
temurun selama ratusan tahun sebelum Indonesia merdeka. Haram hukumnya
pemerintah menggusur dan memindahkan mereka sebagai pemilik pulau itu,”
ungkapnya.

Kegagalan Reforma Agraria di Pesisir dan


Pulau Kecil

Erwin Suryana, Deputi Advokasi dan Riset KIARA menyebut, karakteristik pulau
kecil, yaitu:
1) secara ekologis terpisah dari pulau induknya (mainland island);
2) memiliki batas fisik yang jelas dan terpencil dari habitat pulau induk, sehingga
bersifat insular;
3) mempunyai sejumlah besar jenis endemik dan keanekaragaman yang tipikal dan
bernilai tinggi;
4) tidak mampu mempengaruhi hidroklimat;
5) sangat rentan terhadap perubahan yang disebabkan alam dan/atau manusia;
6) memiliki keterbatasan daya dukung pulau;
7) memiliki daerah tangkapan air (catchment area) relatif kecil sehingga sebagian
besar aliran air permukaan dan sedimen masuk ke laut;
8) dari segi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat pulau-pulau kecil bersifat khas
dibandingkan dengan pulau induknya; dan
9) ketergantungan ekonomi lokal pada perkembangan ekonomi luar pulau, baik
pulau induk maupun kontinen.

“Mengacu pada karakteristik pulau kecil maka proses intervensi pembangunan perlu
dilakukan penuh kehatian-hatian demi keberlanjutan sosial ekologis dengan
memperhitungkan secara matang serta memperhatikan keberlanjutan kekayaan
alam, pulau kecil dengan kerentanan yang dimilikinya tak tepat untuk kegiatan
pembangunan yang eksploitatif dan tak terbarukan,” imbuhnya.

Terkait dengan Reforma Agraria (RA), prinsipnya adalah melakukan penataan ulang
susunan kepemilikan, penguasaan dan penggunaan sumber-sumber agraria,
khususnya tanah. Tujuannya untuk mengubah struktur masyarakat sebangun
dengan perubahan struktur agraria yang menjadi lebih adil dan merata. Secara
etimologi reforma agraria berasal dari kata Spanyol yang memiliki arti suatu upaya
perubahan atau perombakan sosial yang dilakukan secara sadar, guna
mentransformasikan struktur agraria ke arah sistem agraria yang lebih sehat dan
merata bagi pengembangan pertanian dan kesejahteraan masyarakat desa (Wiradi,
2000:35).

RA merupakan agenda bangsa yang telah sejak lama diamanatkan dalam pasal 33
UUD 1945, UUPA 1960, dan Tap MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan
Agraria & Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Sejak dikeluarkannya Perpres No. 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria,
Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi berupaya
melaksanakan RA di Indonesia. Salah satu poin dalam Perpres No. 86/2018 adalah
dibentuknya Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) sebagai wadah koordinasi lintas
sektor untuk mendukung percepatan pelaksanaan Program Strategis Nasional
Reforma Agraria. RA yang diusung oleh pemerintah saat ini dengan salah satu
agendanya adalah RA Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (P3K). KIARA sejak awal
melihat bahwa yang dilakukan sesungguhnya bukanlah RA. Mengapa demikian?

Erwin menjelaskan, Pertama, RA sejatinya merupakan program pembangunan yang


dirancang untuk meningkatkan produktivitas berbasis penggunaan tanah melalui
distribusi dan redistribusi tanah, namun kenyataannya RA P3K lebih banyak
menyasar upaya sertifikasi tanah terutama pada pemukiman yang justru
memudahkan proses peralihan tanah untuk kepentingan lain, terutama kepentingan
investasi.

Kedua, RA P3K masih gagal melihat pesisir dan pulau-pulau kecil di mana wilayah
daratan dan lautan merupakan satu kesatuan ekologis yang tak terpisahkan dalam
pengelolaannya oleh masyarakat yang ada di pesisir. Dalam hal ini, RA P3K tidak
dilengkapi dengan upaya-upaya yang terstruktur dan sistematis untuk melindungi
area penangkapan nelayan tradisional dan nelayan kecil, dan di sisi lain pemerintah
justru mengeluarkan kebijakan Penangkapan Ikan Terukur yang berpotensi
menciptakan persaingan dalam penangkapan ikan.

Ketiga, RA P3K tidak memperhitungkan keberlanjutan wilayah pesisir dan pulau-


pulau kecil. KIARA menemukan adanya pelaksanaan RA P3K di Pulau Wawonii
Sulawesi Tenggara yang kemudian justru memuluskan kegiatan eksploitasi di pulau
tersebut di mana pasca dilakukan pelepasan kawasan hutan dan sertifikasi atas
tanah kebun warga justru memudahkan perusahaan tambang dalam membebaskan
tanah untuk kepentingan usaha pertambangan membangun sarana pendukung
tambang.

Keempat, RA P3K dan Agenda RA yang dilakukan pemerintah saat ini masih jauh
dari harapan untuk menciptakan struktur penguasaan tanah dan sumber-sumber
agraria yang adil dengan mengurangi ketimpangan penguasaan tanah. Beberapa
studi telah menunjukkan dengan luasan tanah yang menjadi target untuk redistribusi
dalam program RA pemerintah saat ini tidak dapat mengurangi indeks gini
ketimpangan penguasaan tanah pertanian yang ada. Salah satu hal yang dapat kita
lihat adalah kenyataan seperti yang dapat kita lihat di Pulau Rempang hari ini, di
mana alokasi lahan untuk kepentingan investasi yang sedemikian besar tanpa
memperhatikan hak-hak warga serta keberlanjutan dan keselamatan ekologis pulau
itu sendiri.
“Catatan-catatan tersebut juga sesungguhnya memperlihatkan kegagalan GTRA
dalam melaksanakan RA sebagai suatu agenda pembangunan bangsa. Karena itu
pelaksanaan RA serta perangkat pelaksananya perlu dilihat ulang secara
menyeluruh,” tegasnya.

Tak Boleh Ada Pengerahan Alat Negara untuk Rampas Tanah Masyarakat

Annisa Azzahra, Staff Advokasi PBHI, menyebut, saat ini yang terjadi di Pulau
Rempang merupakan keberulangan atas kasus-kasus perampasan tanah milik
masyarakat demi kepentingan investasi untuk negara. Hal semacam ini terus terjadi
karena adanya pembiaran atas pelanggaran hak warga yang menempati tanah
tersebut dari pemerintah. Padahal Pulau Rempang bukan sebuah lahan kosong dan
memiliki 16 kampung tua atau permukiman warga asli. Warga asli Rempang terdiri
atas berbagai suku bahkan Masyarakat Adat seperti suku Melayu, suku Orang Laut,
dan suku Orang Darat yang telah bermukim sejak 1834 di Pulau Rempang.
Sehingga seharusnya pemerintah menaruh perhatian lebih terhadap masyarakat
yang hidup di dalamnya.

Menurut Nisa, terdapat dinamika yang serupa dalam setiap kasus perampasan
tanah untuk kepentingan investasi, Pelaku Usaha akan menerima dukungan
pemerintah daerah untuk memperlancar masalah perizinan, lalu akan diikuti dengan
pengerahan alat negara TNI dan Polri untuk mengintimidasi dan mengkriminalisasi
warga. “Di Rempang sendiri telah terjadi berbagai upaya intimidasi yang melibatkan
TNI dan Polri untuk mengusir masyarakat, dan upaya kriminalisasi dengan tuduhan
pemalsuan, pemerasan, pengancaman, hingga pelanggaran tata ruang. Hal yang
seperti ini juga terjadi di kasus-kasus lain seperti di kasus perampasan lahan di
Pulau Wawonii, Kab. Buol, kriminalisasi Budi Pego, serta yang menimpa Masyarakat
Petani Desa Alasbuluh Wongsorejo,” katanya.

Dinamika pengerahan alat negara berupa aparat keamanan dalam kasus-kasus


perampasan tanah milik masyarakat menunjukkan dukungan penuh negara
terhadap investasi, serta tidak adanya keberpihakan pada masyarakat yang telah
menempati tanah tersebut lintas generasi. “Sebab itu kami mengecam dan
mendesak Pemerintah Daerah Riau supaya tidak mengerahkan satuan Brimob yang
memiliki pendekatan paramiliter untuk mengatasi gangguan keamanan dalam
negeri, serta TNI yang merupakan alat pertahanan negara dari ancaman militer.
Karena yang dihadapi merupakan Masyarakat Pulau Rempang, sudah seharusnya
menghindari pendekatan militeristik yang sarat dengan cara-cara represif dan
eksesif ketika berhadapan dengan masyarakat sipil.

Khususnya Polri sudah seharusnya mengedepankan pendekatan humanis tanpa


kekerasan sesuai amanat sebagai alat pelindung, pelayan, dan pengayom
masyarakat sipil yang tidak memihak kepentingan investasi.” tegasnya.

Anda mungkin juga menyukai