Anda di halaman 1dari 8

UJIAN AKHIR SEMESTER

ANALISIS KASUS REMPANG ECO CITY

Diajukan untuk Memenuhi Tugas UAS Mata Kuliah Ilmu Hukum

Dosen pengampu:

Yusuf Mardhani, M.H.

Disusun Oleh :

Nama : Muhamad Dandi Hamada


NIM : 1860101232115

JURUSAN SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM


PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SAYYID ALI RAHMATULLAH
TULUNGAGUNG
2023
KASUS

Proyek Rempang Eco City merupakan proyek yang terdaftar dalam Program
strategis Nasional tahun 2023 yang mana aturan untuk proses pembangunannya
tertuang dan dijelaskan dalam Peraturan Menteri Koordinator Bidang
perekonomian Nomor 7 tahun 2023. Yang mana proyek tersebut merupakan proyek
Kawasan industri, perdagangan, hingga wisata terintegrasi yang bertujuan untuk
mendorong daya saing dengan dua negara tetangga yakni Malaysia dan Singapura
yang digarap oleh PT. Makmur Elok Graha (MEG) dengan menargetkan investasi
sebesar Rp. 381 Triliun.

Pulau Rempang memiliki posisi penting dengan tujuan negara sebagai


tempat rencana pembangunan proyek strategis nasional yang ditetapkan pada
Pasal 33 ayat 4 UUD 1945. Namun, dalam praktiknya, berbagai jenis
pembangunan yang dilakukan secara massif oleh pemerintah sering
menyebabkan berbagai masalah dalam perlindungan hukum ketika pemerintah
dihadapkan pada kebijakan pengadaan tanah melalui mekanisme penggusuran
pemukiman, apalagi ditempat dengan pemukiman yang ramai.

Orang-orang yang tidak memiliki akses ke perlindungan hukum, seperti


tidak memiliki dokumen yang menunjukkan kepemilikan tanah, akan dihukum oleh
peraturan kebijakan penggusuran. Hal yang terjadi kepada beberapa kepala
keluarga (KK) yang menolak untuk direlokasi dari berbagai kampung yang masuk
dalam peta proyek strategis nasional ini. Terlepas dari fakta bahwa tanah yang telah
menjadi tempat tinggal masyarakat telah menjadi lingkungan hidup mereka secara
aktif dan terus menerus selama bertahun-tahun. Selain itu, warga telah dikenakan
pajak bumi dan bangunan (PBB) dan diberi identitas kependudukan sebagai
anggota masyarakat setempat. Namun, bukti yang ada tidak memadai untuk
memposisikan mereka dalam tawar menawar untuk mendapatkan kompensasi dan
tempat tinggal yang layak.

Masyarakat lokal dan pendatang telah tinggal di Pulau Rempang selama


beberapa dekade. Namun, penduduk pulau sebelumnya tidak memiliki sertifikat
kepemilikan tanah. yang disebabkan oleh fakta bahwa sebagian besar wilayah pulau
tersebut adalah wilayah hutan yang dikelola oleh Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan (LKHK). Masalah Pulau Rempang menjadi makin pelik sejak
2001, ketika pemerintah pusat dan BP Batam memberikan Hak Pengelolaan
Lahan (HPL) kepada perusahaan swasta, yang kemudian berpindah ke PT. Makmur
Elok Graha. Ini membuat masyarakat di daerah Pulau Rempang semakin tidak
percaya dengan status kepemilikan lahan.

Situasi menjadi semakin pelik pada tahun 2022 ketika investor mulai
masuk untuk proyek besar yang disebut Rempang Eco City. Pulau Rempang
direncanakan akan menjadi kawasan industri, perdagangan, dan wisata yang
terintegrasi dengan tujuan meningkatkan daya saing dengan Singapura dan
Malaysia. Salah satu proyek yang termasuk dalam Program Strategis Nasional
2023 adalah PT Makmur Elok Graha. Pengembangan pembangunan Pulau
Rempang atau yang juga disebut dengan Rempang Eco City sudah dipastikan
akan masuk ke dalam proyek strategis nasional. Peraturan ini mengatur
pembangunan dengan nilai investasi yang diperkirakan mencapai Rp. 381
Triliun hingga tahun 2080, yang akan berdampak padapertumbuhan ekonomi
Kepulauan Batam dan wilayah sekitarnya.

Pemerintah memiliki peran penting dalam menentukan kewenangan seperti


apa yang dapat menjadi jalan tengah antara berbagai pihak terlibat. Karena di
samping hukum konstitusional, Indonesia sebagai negara multikultural memiliki
hukum adat dan hukum agama sebagai bagian dari masyarakat. Pengakuan akan
adanya hukum adat, masyarakat adat, dan tanah adat menjadi krusial untuk
menemui titik terang dari konflik Rempang.

ANALISIS KEBIJAKAN EKONOMI

Proyek Rempang Eco City sejatinya bertujuan positif untuk meningkatkan


pertumbuhan ekonomi Kepulauan Riau melalui sektor industri, perdagangan, dan
pariwisata. Total nilai investasi yang fantastis, yaitu Rp381 triliun (setara USD26
miliar) memang berpotensi menciptakan multiplier effect yang besar bagi
perekonomian regional.
Namun demikian, kebijakan ini dinilai terlalu top-down dan kurang
melibatkan konsultasi dengan pemangku kepentingan terkait. Penetapan sepihak
sebagai Proyek Strategis Nasional melalui revisi Perpres menimbulkan keraguan
atas transparansi dan akuntabilitas proyek.

Selain itu, studi kelayakan dan analisis mengenai dampak lingkungan


(Amdal) yang digunakan diduga tidak komprehensif dan meremehkan risiko
kerusakan ekosistem Pulau Rempang. Padahal pulau tersebut memiliki hutan bakau
dan terumbu karang yang kaya.

Proyek sebesar ini berisiko menimbulkan urbanisasi besar-besaran dalam


waktu singkat, yang justru akan mengganggu stabilitas sosial dan penghidupan
masyarakat lokal. Belum lagi resiko inflasi serta beban infrastruktur dan utilitas
seperti listrik dan air bersih.

Berbagai celah ini menimbulkan kerentanan terhadap praktik korupsi,


penyelewengan anggaran, hingga kegagalan proyek. Tanpa mitigasi yang memadai,
pembangunan Rempang Eco City berpotensi malah kontraproduktif bagi
kesejahteraan masyarakat Kepulauan Riau.

Pemerintah harus meninjau ulang kebijakan proyek Rempang Eco City


dengan lebih memperhatikan prinsip tata kelola yang baik, kehati-hatian, serta
analisis risiko yang lebih komprehensif. Partisipasi seluruh pemangku kepentingan
mutlak diperlukan agar proyek strategis ini bisa memberi manfaat jangka panjang
bagi kesejahteraan rakyat, bukan sekadar obsesi pertumbuhan ekonomi semata.

Kebijakan ekonomi yang dibutuhkan terkait kasus Rempang Eco City


adalah:

1. Melakukan kajian ulang dan penilaian tingkat kelayakan proyek secara lebih
komprehensif dengan memperhatikan aspek finansial, sosial, dan
lingkungan hidup. Libatkan lembaga independen dan perguruan tinggi
sebagai penilai.

2. Memperketat regulasi terkait Analisis Mengenai Dampak Lingkungan


(Amdal) dan mitigasi kerusakan ekosistem. Kemukakan rencana rehabilitasi
area terdampak pasca proyek secara rinci.
3. Membuat masterplan pengembangan wilayah Kepulauan Riau terintegrasi
agar pertumbuhan seimbang antar sektor, daerah, dan pulau. Hindari
urbanisasi berlebihan di Pulau Rempang saja.

4. Meningkatkan keterlibatan dan pelibatan masyarakat lokal/adat dalam


setiap tahapan proyek. Lindungi hak ulayat serta matapencaharian mereka.

5. Memastikan transparansi dan akuntabilitas keuangan proyek melalui sistem


pengawasan dan audit yang ketat. Cegah potensi korupsi dan
penyelewengan anggaran.

6. Melakukan kajian terhadap potensi dampak inflasi dan merumuskan


antisipasi yang diperlukan termasuk subsidi pemerintah.

Dengan kebijakan-kebijakan tersebut, diharapkan pengembangan Rempang


Eco City bisa memberi manfaat maksimal bagi rakyat sambil meminimalisir
berbagai risiko yang mungkin timbul.

ANALISIS KEBIJAKAN TERSEBUT BERDASARKAN HUKUM ADAT,


HUKUM BUDAYA, DAN HUKUM PEMERINTAHAN DAERAH

 HUKUM ADAT

Pulau Rempang di Kepulauan Riau sejatinya telah dihuni oleh


masyarakat adat Melayu setempat secara turun temurun. Mereka hidup dari
hasil laut dan hutan bakau di sekitar pulau itu berdasarkan hak ulayat adat yang
sudah berlaku ratusan tahun.

Keterangan lain dalam manuskrip Belanda berjudul “De Orang


Benoea’s of Wilden op Malaka in 1642” diterangkan masyarakat Pulau
Rempang serupan dengan penduduk di wilayah kesultanan Djohor atau
Malaysia. Dalam Memorandum Gubernur pertama Malaka, Johan van Twist,
setelah menyerahkan pemerintahan kepada Jeremias van Vlicth pada tahun
1642, Newbold menemukan sejumlah tentang warga asli Pulau Rempang.
Penduduk Pulau Rempang disebutkan sebagai suku asli di sana. Sungai dan
pegunungan di daerah Nanningh dan Moar adalah tempat mereka tinggal
dengan memanfaatkan kegiatan berkebun dan beternak hewan.

Dapat disimpulkan bahwasannya penduduk Pulau Rempang sudah


tinggal di Pulau Rempang perkiraan jauh dibawah tahun 1840an. Bisa
dikatakan penduduk Rempang merupakan penduduk asli pulau tersebut.

Namun rencana ambisius pemerintah untuk mengubah Pulau Rempang


menjadi kawasan industri dan hunian modern bernilai ratusan triliun rupiah ini
mengancam keberlangsungan penghidupan masyarakat adat tersebut.
Pengembangan skala besar berpotensi merusak hutan bakau dan terumbu
karang tempat masyarakat adat menggantungkan hidupnya.

Lebih parah lagi, tidak adanya konsultasi, negosiasi, apalagi persetujuan


dari masyarakat adat setempat atas rencana proyek yang bisa merenggut hak
ulayat ini jelas melanggar UU maupun Putusan MK Pasal 18 B UUD 1945 yang
melindungi hak-hak masyarakat adat. Mereka dipaksa "diperadabkan" dan
berintegrasi dengan gaya hidup modern tanpa pernah ditanya apakah itu sesuai
dengan kehendak mereka.

Jika proyek ini tetap dipaksakan tanpa persetujuan FPIC (Free, Prior,
Informed Consent) masyarakat adat Pulau Rempang, maka pemerintah telah
melakukan pelanggaran HAM yang sistematis dan masif. Selain kehancuran
ekologis pulau tersebut, dapat terjadi alienasi budaya, hilangnya kearifan lokal,
dan konflik sosial jangka panjang akibat pemaksaan kehendak negara ini.
Oleh karena itu, proyek Rempang Eco City harus ditinjau ulang dengan
mengedepankan partisipasi dan perlindungan penuh terhadap hak masyarakat
adat. Hanya dengan demikian pembangunan di Pulau Rempang bisa
berkelanjutan dan tidak meninggalkan luka sosial yang dalam pada warga asli
pulau tersebut.

 HUKUM BUDAYA

Proyek besar-besaran ini berpotensi menggerus warisan budaya


takbenda Melayu Kepulauan Riau berupa kearifan lokal, adat istiadat, legenda,
dan pengetahuan tradisional terkait hutan bakau dan bahari. Hilangnya
pengetahuan turun temurun ini tak tergantikan.

Urbanisasi dan arus migrasi massif ke Pulau Rempang dapat memutus


mata rantai regenerasi dan transfer pengetahuan antargenerasi. Anak-cucu
nelayan dan pemburu bakau dipaksa harus bekerja di pabrik dan meninggalkan
gaya hidup leluhurnya.

Proyek semestinya berkontribusi terhadap pelestarian warisan budaya


takbenda dengan mencatat, meneliti, dan mensosialisasikan kearifan lokal
Melayu Kepulauan Riau agar tak tergerus globalisasi. Namun sayang tidak ada
kewajiban serupa yang diatur bagi pengembang Rempang Eco City.

Terjadi benturan budaya antara gaya hidup konsumeris-kapitalistik yang


didatangkan proyek besar ini dengan pola hidup sederhana-gotong royong
masyarakat Melayu asli Pulau Rempang. Rawan konflik nilai dan disintegrasi
sosial.

Pemerintah gagal melindungi keragaman budaya daerah dan


membiarkan komodifikasi adat-istiadat demi kepentingan eksploitasi ekonomi
semata. Padahal UU dan putusan MK sudah mengamanatkannya.

Dengan demikian, jelas pengembangan Rempang Eco City belum


memadai dalam mengintegrasikan perspektif pelestarian warisan budaya
takbenda dan mitigasi benturan nilai sosial-budaya. Sangat berpotensi merusak
keberagaman budaya Nusantara dan sejarah kepulauan Riau itu sendiri.

 HUKUM PEMERINTAHAN DAERAH

Pada intinya, proyek raksasa yang mau membangun pulau buatan di


Rempang ini masuk kategori Proyek Strategis Nasional yang ditentukan
langsung oleh pemerintah pusat.

Masalahnya adalah pemerintah pusat sepertinya terlalu terburu-buru dan


lupa melibatkan Pemda setempat serta menyesuaikan dengan aturan main yang
berlaku di Kepulauan Riau.

Misalnya, seharusnya ada analisis matang dan diskusi substantif tentang


pengaruh proyek sebesar ini ke Anggaran Pendapatan-Belanja Daerah (APBD)
Kepri. Apakah akan tambah pundi-pundi kas daerahnya atau justru jadi beban
karena harus menyediakan listrik, air bersih, jalan dan fasilitas masyarakat
nantinya.

Selain itu, Pemda juga harus dilibatkan saat mendesain tata ruang dan
tata guna lahan biar selaras dengan rencana pembangunan daerahnya. Kalau
tidak, bisa jadi Pulau Rempang aja majunya pesat tapi daerah lain di Kepri jadi
terlantar dan menimbulkan ketimpangan.

Oleh sebab itu, Pak Jokowi sebaiknya mengerem dulu proyek ini dan
diskusikan bersama Pemda Kepri dan DPRD setempat untuk bahas persiapan
proyek lewat Perda yang mengatur syarat investasi, lindungi lingkungan hidup,
dan hak warga lokal.

Anda mungkin juga menyukai