Agar pengelolaannya bisa lebih profesional, pemerintah pusat memutuskan membentuk Otorita
Batam yang terpisah dengan pemerintah daerah, kini berubah menjadi BP Batam. Badan inilah
yang kemudian mengelola kawasan Batam dan pulau sekitarnya, termasuk Pulau Rempang.
Tahun 2001
Konflik lahan di Pulau Rempang mulai terjadi pada tahun 2001. Pemerintah pusat dan BP
Batam menerbitkan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) kepada perusahaan swasta. HPL itu
kemudian berpindah tengan ke PT Makmur Elok Graha. Praktis masalah status kepemilikan
lahan masyarakat yang sudah terlanjur menempati di kawasan tersebut semakin pelik.
Sementara masyarakat nelayan yang puluhan tahun menempati Pulau Rempang sulit
mendapatkan sertifikat kepemilikan lahan. Pada tahuntahun ini Konflik lahan memang belum
muncul, karena perusahaan menerima HPL belum masuk untuk mengelola bagian Pulau
Rempang.
Tahun 2004
Konflik mulai muncul saat pemerintah pusat, BP Batam, dan perusanaan pemegang HPL PT
Makmur Elok Graha (PT MEG) mulai menggarap proyek bernama Rempang Eco City, proyek
yang di proyeksikan bisa menarik investasi besar ke kawasan ini. Rencana pembangunan
Rempang Eco City sebetulnya sudah berjalan sejak tahun 2004, yang ditandai dengan adanya
nota kesepahaman antara Pemkot Batam dan Otorita Batam dengan PT MEG. Nota
kesepahaman ini terkait rencana pembangunan kota wisata di Rempang dan Galang. PT MEG,
yang merupakan anak perusahaan Grup Artha Graha milik Tommy Winata, mendapatkan
konsesi kerja selama 80 tahun. Pada tahun 2004 ini proyek Rempang Eco City ini tidak jadi
dilanjutkan karena ada penolakan dari warga untuk pengosongan lahan.
Tahun 2023
Pulau Rempang mulai gempar Kembali pada tahun 2023,Proyek Rempang Eco City ini masuk
dalam daftar Proyek Strategis Nasional (PSN) pemerintah pusat berdasarkan Permenko Bidang
Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2023 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri
Koordinator Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perubahan Daftar Proyek
Strategis Nasional. PSN merupakan proyek-proyek yang dianggap penting untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. PSN juga mendapatkan prioritas dalam hal perizinan, pendanaan, dan
pengawasan.
Perusahaan Xinyi yang berasal dari China, Perusahaan ini bersedia melakukan investasi di
pulau rempang untuk mewujudkan proyek Rempang Eco City, dengan nilai investasi sebesar
Rp172 triliun.
Proyek ini akan mengubah permukaan Pulau Rempang menjadi kawasan pengembangan
terintegrasi untuk industri, jasa/komersial, agro-pariwisata, residensial, dan energi baru dan
terbarukan (EBT). Proyek ini juga mengusung konsep ramah lingkungan, dengan
mengedepankan penghematan energi, pengelolaan sampah, dan pelestarian ekosistem.
Kesimpulan
Pangan, Sandang, dan Papan merupakan kebutuhan pokok dari manusia. Kebutuhan pokok ini
ketika di usik bahkan oleh pemerintah , maka manusia tersebut pasti melawan. Kejadian yang
sama seperti yang terjadi di Pulau Rempang, Masyarakat yang telah mendiami Pulau Rempang
secara turun temurun bahkan sebelum Indonesia Merdeka, tiba-tiba harus dipaksa pergi tanpa
adanya kepastian terkait penghasilan untuk kehidupan merekan selanjutnya. Menurut Pasal 24
ayat (2) Peraturan Pemerintah (PP) No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menegaskan
seseorang yang menguasai fisik tanah selama kurun waktu 20 (dua puluh) tahun secara terus-
menerus dapat mendaftarkan diri sebagai pemegang hak atas tanah tersebut. Pasal tersebut
berbunyi:
Dalam hal tidak atau tidak lagi tersedia secara lengkap alat-alat pembuktian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), pembukuan hak dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan
fisik bidang tanah yang bersangkutan selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara berturut-
turut oleh pemohon pendaftaran dan pendahulu-pendahulunya, dengan syarat:
(1) Penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh yang
bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah, serta diperkuat oleh kesaksian orang yang dapat
dipercaya;
(2) Penguasaan tersebut baik sebelum maupun selama pengumuman sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 26 tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang
bersangkutan ataupun pihak lainnya.
Pemerintah seharusnya berdasar pada Peraturan Pemerintah (PP) No.24 Tahun 1997 dapat
menuntun Masyarakat Pulau Rempang untuk mendapatkan Hak atas tanah yang telah
dikelolanya.