Anda di halaman 1dari 5

TUGAS PAPER

“Business Law and GRC”


“PULAU REMPANG”

Oleh : Nur Pratomo - 20232111090

Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi


Indonesia Banking School
Jakarta
2023
Sejarah Pulau Rempang
Pulau Rempang dengan luas kurang-lebih 16.583 km² adalah pulau di wilayah
pemerintahan kota Batam, provinsi Kepulauan Riau yang merupakan rangkaian pulau besar
kedua yang dihubungkan oleh enam buah jembatan Barelang. Pulau ini berada kira-kira 3 km
di sebelah tenggara pulau Batam dan terhubung oleh jembatan Barelang ke-5 dengan pulau
Galang di bagian selatan. Pada saat ini pulau Rempang banyak dikembangkan untuk wilayah
pertanian dan perikanan Sembulang, selain juga mempunyai beberapa buah pantai yang
memiliki pemandangan yang menawan.
Kawasan ini sejatinya sudah dihuni masyarakat lokal dan pendatang jauh sebelum terbentuknya
BP Batam. Namun masyarakat yang tinggal di pulau tersebut selama ini tidak memiliki
sertifikat kepemilikan lahan. Ini karena sebagian besar lahan di pulau tersebut awalnya
merupakan kawasan hutan di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Pada tahun 1971


BJ Habibie dengan berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 41 Tahun 1973
membentuk BP Batam. Dan BJ Habibie mencetuskan konsep Barelang (Batam Rempang
Galang).
ketiga pulau besar itu saling terhubung untuk menggeliatkan ekonomi, terlebih Kepulauan Riau
nantinya memisahkan diri dari Provinsi Riau. Ketiga pulau ini letaknya sangat strategis karena
berada di Selat Malaka. Pada awalnya, Barelang digadang-gadang bisa menyaingi Singapura
sebagai pusat perdagangan dan industri, meski dalam perkembangannya kawasan ini justru
malah menjadi pendukung dan pelengkap penggerak ekonomi Singapura.

Agar pengelolaannya bisa lebih profesional, pemerintah pusat memutuskan membentuk Otorita
Batam yang terpisah dengan pemerintah daerah, kini berubah menjadi BP Batam. Badan inilah
yang kemudian mengelola kawasan Batam dan pulau sekitarnya, termasuk Pulau Rempang.

Tahun 2001
Konflik lahan di Pulau Rempang mulai terjadi pada tahun 2001. Pemerintah pusat dan BP
Batam menerbitkan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) kepada perusahaan swasta. HPL itu
kemudian berpindah tengan ke PT Makmur Elok Graha. Praktis masalah status kepemilikan
lahan masyarakat yang sudah terlanjur menempati di kawasan tersebut semakin pelik.
Sementara masyarakat nelayan yang puluhan tahun menempati Pulau Rempang sulit
mendapatkan sertifikat kepemilikan lahan. Pada tahuntahun ini Konflik lahan memang belum
muncul, karena perusahaan menerima HPL belum masuk untuk mengelola bagian Pulau
Rempang.

Tahun 2004
Konflik mulai muncul saat pemerintah pusat, BP Batam, dan perusanaan pemegang HPL PT
Makmur Elok Graha (PT MEG) mulai menggarap proyek bernama Rempang Eco City, proyek
yang di proyeksikan bisa menarik investasi besar ke kawasan ini. Rencana pembangunan
Rempang Eco City sebetulnya sudah berjalan sejak tahun 2004, yang ditandai dengan adanya
nota kesepahaman antara Pemkot Batam dan Otorita Batam dengan PT MEG. Nota
kesepahaman ini terkait rencana pembangunan kota wisata di Rempang dan Galang. PT MEG,
yang merupakan anak perusahaan Grup Artha Graha milik Tommy Winata, mendapatkan
konsesi kerja selama 80 tahun. Pada tahun 2004 ini proyek Rempang Eco City ini tidak jadi
dilanjutkan karena ada penolakan dari warga untuk pengosongan lahan.

Tahun 2023
Pulau Rempang mulai gempar Kembali pada tahun 2023,Proyek Rempang Eco City ini masuk
dalam daftar Proyek Strategis Nasional (PSN) pemerintah pusat berdasarkan Permenko Bidang
Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2023 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri
Koordinator Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perubahan Daftar Proyek
Strategis Nasional. PSN merupakan proyek-proyek yang dianggap penting untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. PSN juga mendapatkan prioritas dalam hal perizinan, pendanaan, dan
pengawasan.
Perusahaan Xinyi yang berasal dari China, Perusahaan ini bersedia melakukan investasi di
pulau rempang untuk mewujudkan proyek Rempang Eco City, dengan nilai investasi sebesar
Rp172 triliun.
Proyek ini akan mengubah permukaan Pulau Rempang menjadi kawasan pengembangan
terintegrasi untuk industri, jasa/komersial, agro-pariwisata, residensial, dan energi baru dan
terbarukan (EBT). Proyek ini juga mengusung konsep ramah lingkungan, dengan
mengedepankan penghematan energi, pengelolaan sampah, dan pelestarian ekosistem.

Peristiwa 7 September 2023


Pada tanggal 7 September 2023, terjadi bentrok antara warga Rempang dengan Aparat.
Peristiwa bentrok warga Pulau Rempang dengan aparat kepolisian di Batam, Kepulauan Riau
terkait Pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) Eco-City Rempang, menjadi hal yang
disesalkan banyak pihak. Apalagi peristiwa tersebut berujung adanya penangkapan dan korban
luka termasuk anak-anak. Berdasarkan data korban yang disampaikan oleh Solidaritas
Nasional untuk Rempang dalam Final Temuan Awal Investigasi atas Peristiwa Kekerasan dan
Dugaan Pelanggaran HAM 7 September 2023, Pulau Rempang, terdapat setidaknya 10 murid
SMPN 22 dan seorang guru perempuan yang dibawa ke RS Embung Fatimah, serta sebagian
besar korban murid lainnya dibawa oleh TNI ke RS Marinir (klinik kesehatan di dalam Yoniv
10 Marinir). Menurut pemaparan Humas RS Embung Fatimah, 10 murid dan guru tersebut
datang sekitar pukul 14.00 WIB. 10 murid tersebut mengalami shock berat, tegang, dan
beberapa sesak nafas berat. Seorang guru perempuan juga mengalami hal yang serupa, namun
karena memiliki penyakit asma, efek gas air mata mengakibatkan guru tersebut pun tidak dapat
bernafas hingga pingsan.

Kesimpulan
Pangan, Sandang, dan Papan merupakan kebutuhan pokok dari manusia. Kebutuhan pokok ini
ketika di usik bahkan oleh pemerintah , maka manusia tersebut pasti melawan. Kejadian yang
sama seperti yang terjadi di Pulau Rempang, Masyarakat yang telah mendiami Pulau Rempang
secara turun temurun bahkan sebelum Indonesia Merdeka, tiba-tiba harus dipaksa pergi tanpa
adanya kepastian terkait penghasilan untuk kehidupan merekan selanjutnya. Menurut Pasal 24
ayat (2) Peraturan Pemerintah (PP) No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menegaskan
seseorang yang menguasai fisik tanah selama kurun waktu 20 (dua puluh) tahun secara terus-
menerus dapat mendaftarkan diri sebagai pemegang hak atas tanah tersebut. Pasal tersebut
berbunyi:
Dalam hal tidak atau tidak lagi tersedia secara lengkap alat-alat pembuktian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), pembukuan hak dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan
fisik bidang tanah yang bersangkutan selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara berturut-
turut oleh pemohon pendaftaran dan pendahulu-pendahulunya, dengan syarat:
(1) Penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh yang
bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah, serta diperkuat oleh kesaksian orang yang dapat
dipercaya;
(2) Penguasaan tersebut baik sebelum maupun selama pengumuman sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 26 tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang
bersangkutan ataupun pihak lainnya.

Pemerintah seharusnya berdasar pada Peraturan Pemerintah (PP) No.24 Tahun 1997 dapat
menuntun Masyarakat Pulau Rempang untuk mendapatkan Hak atas tanah yang telah
dikelolanya.

Anda mungkin juga menyukai