Anda di halaman 1dari 8

Kajian isu daerah kalsel

Latar belakang

Saat ini kalsel tangah menghadapi krisis iklim yang di sebabkan massivenya tambang di kalsel dan
tambang adalah salah satu faktor utama bagi kerusakan lingkungan yang terjadi di daerah kalsel. Aktor
utama dalam kerusakan lingkungan tersebut ialah oligarki dalang utama yang saat ini bertanggung
jawab atas kerusakan lingkungan ini. Berdasarkan data yang dimiliki Walhi Kalsel dari total 3,7 juta
hektar luas wilayah Kalimantan Selatan, 33 % telah diberikan izin pertambangan khususnya
pertambangan batubara Sementara 17 % lahan telah dikuasai perizinan perkebunan kelapa sawit.

Banjir merupakan peristiwa yang setiap tahun menjadi topik pemberitaan. Pada musim hujan, banyak
kota di Indonesia mengalami bencana banjir. Pulau Kalimantan merupakan sebuah pulau yang rawan
banjir, karena jika melihat dari kondisi geografisnya Pulau Kalimantan merupakan daerah rawa dan
mempunyai banyak sungai.

Kalimantan merupakan salah satu pulau besar di Indonesia. Luasnya meliputi 748.1681 km2 sehingga
memiliki daerah tangkapan hujan lebat hal ini berdampak pada besarnya sungai yang ada di dalamnya
disertai banyak anak sungai yang panjang dan panjang.

Selain besarnya luas pulau, letak Kalimantan yang berada di garis khatulistiwa menyebabkan curah hujan
yang cukup tinggi sehingga menjadikan Kalimantan sebagai salah satu hutan hujan dunia dengan
intensitas curah hujan yang cukup tinggi. Intensitas curah hujan yang tinggi di Kalimantan berdampak
pada banyaknya air limah yang terjadi di sungai-sungai di Kalimantan.

Menurut Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) hujan lebat dengan curah hujan sangat
deras terjadi dan menyebar di Kalimantan Selatan pada tanggal 8 sampai 14 Januari 2021. Berbagai
kondisi terjadi yang menyebakan banjir meluas memaksa warga mengungsi ke lokasi yang leih aman.
Menurut penilaian Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengamati peruahan tutupan lahan
dari hutan kering menjadi perkebunan termasuk kegiatan penanganan yang terjadi antara tahun 1990
dan 2019.

Di Kalsel masalah kerusakan lingkungan terutama pertambangan dan perkebunan masih marak dan
media lokal belum cukup meliputnya. Sebagai bagian dari orang itu menjadi hal yang tahu karena alam
Kalimantan Selatan telah hancur karena dominasi kontraktor pertambangan dan perkebunan
berpengaruh di Kalimantan Selatan. Banyak dampak yang terjadi akibat pertambangan yaitu :

 Banjir yang menjadi event tahunan


 Rusaknya jalan utama yang menghambat akses masyarakat
 Darurat Global Warming
 Tanah longsor
 Gundulnya hutan serta rusaknya lingkungan masyarakat adat
Dan dengan ini kami dari Aliansi Aksi Kamisan Kalsel membuat kajian berdasarkan data untuk sebagai
pegangan dalam gerakan kami demi perjuangan kami di dalam gerakan kolektif kami.

Isu Kontroversi Daerah Kalsel

1. Pegunungan Meratus

Pegunungan Meratus merupakan sebuah kawasan yang membelah Provinsi Kalimantan Selatan menjadi
dua. Ia membentang dengan melewati hampir semua kabupaten di Kalimantan Selatan, hingga ke
perbatasan dengan provinsi Kalimantan Timur. Titik tertingginya berada di Gunung Halau-halau dengan
1.901 Mdpl. Kemasyuran Meratus selevel dengan Pegunungan Schwaner, Muller dan Iban. Merekalah
titik-titik tertinggi di Kalimantan.

Di bawah pegunungan Meratus terbentang dataran rendah yang sangat luas dengan berbagai macam
karakteristik, seperti gambut dan dataran rawa air tawar. Sungai-sungai besar Kalimantan memainkan
peran yang besar dalam membentuk dataran semacam ini karena rawa air tawar dikenal sebagai
“dataran banjir” dari sungai-sungai tersebut.

Sebagaimana menjadi pemberitaan di awal tahun (2021) ini, Banjir besar terjadi di Kalimantan Selatan.
Di lansir dari Harian Kompas, 14 Februari 2021, bencana tersebut menyebabkan 11 dari 13
kabupaten/kota terendam. 102.340 rumah penduduk, 176.290 keluarga atau 633.723 jiwa terdampak
banjir awal tahun di Kalimantan Selatan. 35 orang meninggal dunia dan 135.656 jiwa harus mengungsi.

Beberapa wilayah di Kalimantan Selatan yang rentan bencana harusnya mendapatkan perhatian serius
terhadap kelestarian lingkungannya. Namun sayang, pada 4 Desember 2017, Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral (ESDM) menerbitkan sebuah surat keputusan (SK) yang mana memberikan
konsesi operasi produksi tambang batu bara di Kawasan Pegunungan Meratus. SK dengan Nomor
441.K/30/DJB/2017 diberikan kepada PT Mantimin Coal Mining (MCM) dengan konsesi seluas 5.900 Ha
meliputi Kabupaten Tabalong, Balangan, dan Hulu Sungai Tengah.

Sejumlah warga Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) menolak konsesi perusahaan tambang di wilayah
adat mereka tersebut dan bersama organisasi lingkungan hidup, Walhi, pada tahun 2018 mengajukan
sebuah gugatan. Tepatnya pada 28 Februari 2018 Kuasa Hukum yang tergabung dalam Tim Advokasi
Pengabdi Lingkungan Hidup mendaftarkan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN) Jakarta
dengan tergugat I (Menteri ESDM) dan tergugat II intervensi PT MCM.

Pada 22 Oktober 2018, Pengadilan TUN Jakarta mengeluarkan sebuah putusan NO (Niet Ontvankelijke
Verklaard) yang berarti gugatan tidak dapat diterima karena alasan mengandung cacat formil. Upaya
hukum selanjutnya dilakukan pada tahap banding di Pengadilan Tinggi TUN Jakarta pada 14 November
2018.

Namun bernasib sama, Pengadilan Tinggi TUN menguatkan putusan Pengadilan TUN Jakarta pada 14
Maret 2019, bahwa kasus tersebut NO.
Upaya hukum lebih tinggi dilakukan demi mendapatkan keadilan, maka diajukanlah kasasi ke meja hijau
di Mahkamah Agung (MA). Dalam sebuah putusan pada 15 Oktober 2019, MA berpendapat lain dengan
Pengadilan TUN dan Pengadilan Tinggi TUN Jakarta.

MA menyatakan membatalkan Keputusan Tata Usaha Negara berupa SK Menteri Energi dan Sumber
Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 441.K/30/DJB/2017, tertanggal 4 Desember 2017 tentang
Penyesuaian Tahap Kegiatan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) PT
Mantimin Coal Mining Menjadi Tahap Kegiatan Operasi Produksi. Serta mewajibkan Tergugat I (dalam
hal ini Menteri ESDM) untuk mencabut Keputusan Tata Usaha Negara berupa SK untuk PT MCM
tersebut.

Dalam pandangan MA, Menteri ESDM telah menerbitkan Keputusan Penyesuaian Tahap Kegiatan PKP2B
PT MCM Menjadi Tahap Kegiatan Operasi Produksi (objek sengketa), dan keputusan a quo memenuhi
kriteria Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 9 UU Nomor 51
Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara juncto Pasal 1 angka 7 UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, sehingga
Peradilan Tata Usaha Negara berwenang untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikannya. Sangat
janggal secara hukum jika perkara tersebut diputus Niet Ontvankelijke Verklaard.

Kemudian masalah lainnya, sebagian areal tambang PT MCM atau Tergugat II Intervensi berada di
kawasan karst yang merupakan kawasan lindung geologi. Apabila kawasan tersebut dilakukan
eksploitasi, maka berpotensi merusak fungsi aquifer air, karena ekosistem kars memiliki fungsi aquifer
air alami, sebagai penampung dan penyalur air yang bermanfaat bagi wilayah di sekitarnya.

Areal rencana tambang PT MCM juga berada di Pegunungan Meratus yang merupakan kawasan hutan
lindung, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan
Nomor 9 Tahun 2015 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Kalimantan Selatan Tahun
2015-2035, dan di pegunungan tersebut melintas Sungai Batang Alai yang dimanfaatkan untuk irigasi
pertanian, perikanan dan sumber air minum, sehingga apabila dilakukan eksploitasi berpotensi
terganggunya sumber air.

Tindakan hukum Menteri ESDM menerbitkan keputusan objek sengketa bertentangan dengan dua hal.
Pertama, peraturan perundang-undangan. Yakni Pasal 21 ayat (3) huruf g UU Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 52 ayat (5) huruf c juncto Pasal 53 ayat
(3) huruf a Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2008 tentang RTRW Nasional, dan Pasal 56 ayat
(1) Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan Nomor 9 Tahun 2015 tentang RTRW Provinsi
Kalimantan Selatan Tahun 2015-2035. Kedua, asas-asas umum pemerintahan yang baik, yakni asas
kehati-hatian atau precautionary principle.

Maka oleh sebab itu, Putusan Pengadilan Tinggi TUN Jakarta Nomor 28/B/LH/2019/PT.TUN.JKT, tanggal
14 Maret 2019, yang menguatkan Putusan Pengadilan TUN Jakarta Nomor 47/G/LH/2018/PTUN.JKT,
tanggal 22 Oktober 2018, tidak dapat dipertahankan dan harus dibatalkan.
Atas putusan itu, PT MCM sempat mengajukan Peninjauan Kembali ke MA. Namun pada 4 Februari
2021, MA menerbitkan sebuah putusan peninjauan kembali (PK) dengan Nomor 15 PK/TUN/LH/2021,
yang mana isinya menolak PK yang diajukan PT MCM atas putusan yang mengabulkan kasasi Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia.

Pandangan dari pemerintah daerah setempat pun lebih kepada pelestarian Kawasan Pegunungan
Meratus daripada eksploitasinya. Sebab kelestarian Pegunungan Meratus sangat penting bagi
masyarakat. Di lansir dari Pro Kalsel, 24 September 2020, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Hulu Sungai
Tengah, M Yani menyampaikan bahwa Pemkab HST juga terus berupaya agar Pegunungan Meratus tidak
dieksploitasi. Isu penyelamatan Kawasan pegunungan Meratus menjadi salah satu fokus dalam Kajian
Lingkungan Hidup Strategis Rencana untuk Pembangunan Jangka Menengah Daerah Hulu Sungai
Tengah.

Diwartakan oleh Mongabay.co.id (23/2/2021) Pemerintah daerah (HST) saat ini, telah memberikan
rekomendasi kepada pimpinan selanjutnya agar melanjutkan program #SaveMeratus agar tak
tereksploitasi dalam bentuk apapun. Juga merekomendasikan penghijauan kembali agar Meratus
menjadi kawasan penyerap air dan konservasi.

Sebab kawasan pegunungan meratus saat ini menjadi sumber penting lingkungan hidup yang tersisa. Di
samping itu, Meratus belum ditambang saja banyak daerah sekitarnya yang diterpa banjir. Apalagi
ditambah dengan tindakan yang membuat daya dukung lingkungannya semakin berkurang, kita tentu
tidak ingin bencana lebih parah di masa mendatang.

2. Banjir tahunan

awal mula banjir besar melanda sejumlah daerah di Kalimantan Selatan.

Kala itu serbuan air bah merendam 11 kabupaten dan kota. BPBD Kalsel mencatat ratusan ribu jiwa
terdampak.

Berdasar data 27 Januari 2021, Kabupaten Banjar menjadi wilayah terparah dengan total 55.904 KK dan
235.076 jiwa terdampak. Disusul Banjarmasin sebanyak 35.138 KK dan 108.524 jiwa.

Kemudian, Hulu Sungai Tengah sebanyak 28.183 KK/86.825 jiwa; Barito Kuala 18.792 KK/53.855 jiwa;
Tanah Laut 13.476 KK/42.543 jiwa; dan Balangan dengan mencatat 7.007 KK/21.416 jiwa.

Berikutnya, Hulu Sungai Selatan 4.173 KK/10.385 jiwa; Tabalong 3.194 KK/9.937 jiwa; Kota Banjarbaru
2.068 KK/8.429 jiwa; Hulu Sungai Utara 1.582 KK/4.774 jiwa; dan terakhir Tapin 549 KK/1.607 jiwa.

Banjir terparah selama beberapa dekade terakhir itu juga menelan sejumlah korban jiwa. Banyak warga
yang kehilangan sanak saudara.

Dejavu. Di awal tahun ini, banjir kembali melanda sejumlah daerah di Kalsel. Waktu yang hampir
bersamaan, per 14 Januari 2022 tercatat 5 kabupaten terendam.
Totalnya, sebanyak 5.093 KK/15.848 jiwa terdampak. Sementara jumlah yang mengungsi sudah tercatat
ada 575 orang.

Banjir yang bak fenomena tahunan ini tentu jadi pertanyaan. apa yang lantas jadi penyebab banjir di
kalsel.

mencabut sejumlah izin usaha pertambangan dan kelapa sawit.

"Pemda harus segera menata ulang kembali konsesi perizinan yang sudah dicabut oleh presiden,"
ucapnya.

Senada, ahli hukum lingkungan dan administrasi Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Prof Hadin
Muhjad menambahkan berdasar banyak hasil penelitian saat ini banyak ditemukan lahan kritis di Kalsel.

Padahal, kata dia, dalam Undang-Undang Kehutanan jelas menyebut salah satu fungsi utama hutan
yakni tata air.

"Analoginya, jika hutannya tidak ada, otomatis yang mengelola air juga tidak ada," tuturnya.

Menurutnya, curah hujan tinggi tak bisa jadi alasan penyebab banjir tahunan di Kalsel.

"Bila penyangganya (hutan) masih ada, hujan semingguan pun tak akan banjir," ujar Prof Hadin.

Sejauh ini, fakta di lapangan, Hadin menyebut banyak perusahaan yang meninggalkan bekas lubang hasil
tambang.

Padahal, dalam aturan izin pinjam pakai kawasan hutan, jelas menyebut kawasan pasca-pertambangan
wajib dikembalikan kondisinya seperti semula.

Oleh karenanya, keputusan terbaru presiden soal pencabutan ribuan izin usaha pertambangan mineral
dan batu bara.

"Memang penyebab utama maraknya ilegal logging ada diizin tersebut. Jadi semoga saja setelah ini
nanti arahnya bisa membaik," tutupnya.

3. Jalan rusak

Jalan nasional di sekitar wilayah longsor Kecamatan Satui, Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan
dikepung lubang tambang batu bara, hal tersebut dapat dilihat dari citra satelit.

Jarak lubang tambang dengan jalan nasional di titik longsor di sekitar koordinat 3.76089886S
115.43229592E dikabarkan BPBD Tanah Bumbu hanya berjarak di kisaran satu meter.

"Kondisi jalan labil sehingga tidak dapat menahan beban berat yang melintas," ujar Kabid Kedaruratan
dan Logistik BPBD Tanah Bumbu Hairil melalui keterangan resmi diterima ANTARA di Banjarmasin
dilaporkan Rabu.
Gambar citra satelit nampak jalan nasional (garis hitam) di Kecamatan Satui Kabupaten Tanah Bumbu
Kalimantan Selatan dikepung lubang tambang batu bara (ANTARA/HO-Walhi)

Lanjutnya, banyak masyarakat menilai penyebab longsor pada Rabu, 28/9 lalu karena maraknya aktivitas
pertambangan batu bara. Imbas peristiwa itu, jalan nasional sepanjang 200 meter rusak dan sebagian
ambruk ke arah lubang tambang.

Selain itu, longsor juga menarik satu buah rumah tanpa penghuni ke lubang tambang dan menyebabkan
27 rumah retak akibat pergeseran tanah.

Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalsel Kisworo Dwi Cahyono menyahut bahwa
rencana kerja, izin lingkungan, AMDAL, reklamasi hingga pasca tambang harus disoroti dan
dipertanyakan.

"Terkait jarak ada tertuang dalam Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan Hidup (LH) 4 Tahun 2012
tentang indikator ramah lingkungan untuk usaha dan atau untuk kegiatan tambang terbuka batu bara,"
ujarnya di Banjarbaru saat dikonfirmasi.

Dibaca sekilas, Permen LH tersebut mengatur tentang batas tambang dengan fasilitas umum. Idealnya,
jarak aktivitas pertambangan dengan fasilitas umum ini 500 meter, bisa diukur berdasarkan citra satelit
ataupun verifikasi lapangan.

Terkait penyebab longsor yang merugikan negara dan lingkungan hidup masyarakat tersebut, masih
belum ada keterangan resmi dari pihak berwenang. Misalnya, karena faktor alam atau dampak aktivitas
pertambangan.

Dari Kepala Balai Pelaksana Jalan Nasional (BPJN) Kalsel Syauqi Kamal misalnya, sebelumnya secara
umum mengatakan bahwa longsor yang terjadi itu diakibatkan perubahan lingkungan jalan nasional.

"Lebih dulu jalan nasional dari pada tambang," ujarnya, singkat.

Sejak saat itu, kini mobilitas barang ataupun orang kecuali roda dua dialihkan ke jalur alternatif yaitu
lintasan angkutan batu bara. Boros waktu tempuh melalui jalur alternatif itu 45-50 menit dan memiliki
risiko kecelakaan mengingat kondisi jalan yang licin apabila terkena hujan.

"Kondisi jalur alternatif basah, sehingga untuk angkutan berat kami arahkan untuk parkir terlebih
dahulu," ujar Kasat Lantas Polres Tanah Bumbu AKP Guntur Setyo Pambudi saat dikonfirmasi.

4. Kasus Pembunuhan Aktivis lingkungan hidup

Muhammad Yusuf, warga Desa Hilir Muara, Kecamatan Pulau Laut Utara, berstatus tahanan titipan
Kejaksaan Negeri Kotabaru. Dia terpaksa mendekam di tahanan Polres Kotabaru dan kemudian
dilimpahkan ke Lapas Kotabaru oleh pihak kejaksaan sejak beberapa waktu lalu karena terjerat kasus
pencemaran nama baik dan ujaran kebencian yang diberitakan melalui media Kemajuan Rakyat.Yusuf
dilaporkan ke polisi karena menulis berita soal konflik antara masyarakat dan perusahaan perkebunan
sawit PT Multi Agro Sarana Mandiri.

KASUS tewasnya Muhammad Yusuf, jurnalis media online Kemajuan Rakyat yang ditahan di Lembaga
Pemasyarakatan Kelas IIB Kotabaru, menunjukkan bahwa Kalimantan Selatan belum aman bagi pekerja
pers dan aktivis lingkungan.

Trisno Susilo, anggota individu Walhi Kalsel dan Sekretaris AMAN Tanah Bumbu yang membela hak-hak
rakyat tetapi di laporkan oleh PT Kodeco. Trisno divonis 4 tahun penjara dan kini juga mendekam di
Lapas Kotabaru.

penyerangan terhadap Jurkani di Kalimantan Selatan dilakukan oleh puluhan orang. Mobil Jurkani dan
rombongan diadang. Mereka dikepung dari berbagai sisi. Jurkani diserang hingga mendapatkan luka
serius dan meninggal dunia.

Penyerangan itu dilakukan sekelompok orang saat Jurkani dkk tengah mengadvokasi penambangan
ilegal di wilayah Tanah Bambu, Kalsel. Kronologi penyerangan tersebut diungkapkan oleh Komnas HAM
dalam Amicus Curiae atau 'sahabat pengadilan' yang diajukan kepada Pengadilan Negeri Batulicin yang
mengadili kasus Jurkani.

5. Lubang Tambang

Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mencatat pada 2020 ada sebanyak 3.092 lubang tambang yang tidak
direklamasi di Indonesia. untuk wilayah Kalimantan, yakni Kalimantan Tengah berjumlah 163,
Kalimantan Utara berjumlah 44, Kalimantan Selatan berjumlah 814, dan Kalimantan Timur berjumlah
1.735.

Seperti diketahui, banjir yang terjadi di Kalimantan Selatan (Kalsel) pertengahan bulan ini menjadi
perhatian banyak pihak. Sejumlah pegiat lingkungan bahkan menyebut banjir yang terjadi di Kalsel
bukan semata disebabkan oleh tingginya curah hujan. Tapi juga karena meningkatnya jumlah Izin Usaha
Pertambangan (IUP) dan besarnya kebun sawit.

Namun demikian, hal itu dibantah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Direktur
Teknik dan Lingkungan Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Lana Saria mengatakan, jumlah
kegiatan usaha pertambangan di Kalimantan Selatan per Januari 2021 terdapat 212 perizinan
pertambangan.

"Dengan total persentase luas wilayah kurang lebih 14% dari luas wilayah Provinsi Kalimantan Selatan,"
ujarnya kepada CNBC Indonesia, Senin (25/01/2021).

Dia mengklaim luas bukaan lahan untuk kegiatan pertambangan sangat kecil, seperti di Daerah Aliran
Sungai (DAS) Barito yang terdampak besar bencana banjir.
"Pada DAS Barito total luas bukaan lahan untuk kegiatan usaha pertambangan hanya 4,3% dari total luas
wilayah izin pertambangan,"

Anda mungkin juga menyukai