Anda di halaman 1dari 49

J.

06
PERUBAHAN ORGANISASI BADAN LINGKUNGAN HIDUP
KOTA TERNATE PROVINSI MALUKU UTARA

ORGANIZATIONAL CHANGE ENVIRONMENTAL AGENCY


OF TERNATE CITY NORTH MALUKU PROVINCE

Oleh :

MAHAR ARIFIN
170130100024

DISERTASI
Untuk memperoleh gelar Doktor Bidang Ilmu Administrasi Publik
pada Universitas Padjadjaran
Dengan wibawa Rektor Universitas Padjadjaran
Prof. Dr. Med. Tri Hanggono Achmad, dr.
Sesuai dengan Keputusan Senat Komisi I/Guru Besar Universitas
Dipertahankan pada tanggal, 16, Agustus 2016
Di Universitas Padjadjaran

PROGRAM PASCASARJANA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2016
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian

Kota Ternate Provinsi Maluku Utara, yang secara spesifik terdiri atas

beberapa pulau, menghadapi persoalan pengelolaan lingkungan hidup dengan

karakteristiknya sendiri. Beragam kejadian di Kota Ternate dan pada dasarnya

mengarah pada proses kerusakan lingkungan hidup, antara lain tercatat sebagai

berikut:

1. Sekurangnya telah terjadi 8 (delapan) kali kebakaran hutan dan lahan

perkebunan warga di kota Ternate. Kebakaran telah menyebabkan kebun

pala dan cengkeh milik warga menjadi korban. Sudah 190 hektar lebih

hutan terbakar dan mulai masuk ke lahan perkebunan warga. Kondisi

demikian apabila tidak segera diantisipasi ditengarai akan mengakibatkan

bertambahnya kemiskinan di masyarakat.1

2. Dampak proyek reklamasi pantai di Kota Ternate adalah kehancuran

ekosistem berupa hilangnya keanekaragaman hayati. Keanekaragaman

hayati yang diperkirakan akan punah antara lain berupa hilangnya berbagai

spesies mangrove, punahnya spesies ikan, kerang, kepiting, burung dan

berbagai keanekaragaman hayati lainnya. Dampak lingkungan lainnya dari

proyek reklamasi pantai adalah meningkatkan potensi banjir. Hal itu

1
Portal.Malutpost.co.id, Maluku Utara Dalam Ancaman Kebakaran Hutan. Diunduh tgl 25
Februari 2016, Pk. 18.30. WIB.

1
2

dikarenakan proyek tersebut dapat mengubah bentang alam (geomorfologi)

dan aliran air (hidrologi) di kawasan reklamasi.2

3. Tingkat kerusakan lingkungan pesisir kota Ternate khususnya terumbu

karang di kelurahan mangga dua mencapai 24,30% dan Kelurahan

Gamalama 49,05% dan dikategorikan rusak berat.

4. Kondisi kualitas perairan mengalami penurunan dimana pada stasiun

penelitian tingkat BOD berkisar antara 9,12 – 25,7 ppm dan COD berkisar

antara 25 – 50 ppm. Hasil ini sangat buruk apabila dibandingkan dengan

kadar maksimum parameter kualitas air menurut keputusan menteri KLH

(1988), yang menyatakan bahwa nilai BOD dianjurkan atau diperbolehkan

dalam suatu perairan tidak lebih dari 6 ppm.3

Beragam data kerusakan lingkungan sebagai akibat dari campur tangan

manusia tersebut, apabila tidak secepatnya diantisipasi maka akan menjadikan

lingkungan kota Ternate semakin tidak kondusif bagi kehidupan yang nyaman.

Bentangan persoalan yang dihadapi Kota Ternate khususnya berkaitan dengan

lingkungan hidup, sebenarnya telah berlangsung cukup lama dan bersifat masif.

Kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh sektor pertambangan menempati

urutan pertama. 4

Kebijakan nasional penyelenggaraan dan pengelolaan lingkungan hidup

secara terpadu dan menyeluruh berpijak pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2
Darius-arkwright.blogspot.com Reklamasi Pantai dan Dampaknya Terhadap Wilayah Pesisir.
Dinduh tgl 25 Februari 2016 Pk. 20.05 WIB.
3
Repository.unhas.ac.id. Analisis Tingkat Perubahan Penggunaan Lahan Wilayah Pesisir
Kota Ternate, Diunduh Tgl 20 Februari 2016 Pk. 12.30 WIB.
4
Portal.malutpost.co.id. Komisi I Ancam Tutup Seluruh Galian C. Diunduh Tgl 25 Pk. 10.30 WIB
3

1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Untuk menjalankan kebijakan

pemerintah di bidang lingkungan hidup yang diamanatkan undang-undang, maka

didirikan lembaga yang diberikan kewenangan menangani pengelolaan

lingkungan hidup. Lembaga pengelolaan lingkungan hidup pada lingkup nasional

adalah Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup. Sedangkan pada lingkup

daerah diselenggarakan oleh Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD).

Pengelolaan lingkungan hidup Kota Ternate dilaksanakan berawal dengan

pembentukan Kantor Lingkungan Hidup Daerah (KLHD). Dasar hukum

pembentukan KLHD adalah Peraturan Daerah Kota Ternate Nomor 12 Tahun

2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga lainnya Kota Ternate.

Sedangkan sistematika tata Kerja KLHD disusun melalui instrumen uraian tugas

pokok dan fungsi (tupoksi), dengan landasan hukum Peraturan Walikota Ternate

Nomor 11 Tahun 2010.

Seiring dinamika masyarakat dan urgensi kebutuhan penguatan kapasitas

kelembagaan pengelolaan lingkungan hidup, memunculkan pemikiran perubahan

guna meningkatkan kinerja organisasi. Terjadi perubahan peningkatan

nomenklatur dan eselonisasi organisasi pengelola lingkungan hidup dari tingkat

Kantor menjadi Badan. Pengelola lingkungan hidup mengerucut menjadi

organisasi mandiri dalam arti tidak digabung dengan SKPD teknis lainnya.

Melalui Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2013 tentang perubahan keempat atas

Peraturan Daerah Kota Teranate No. 16 Tahun 2007 Tentang Organisasi Lembaga

Teknis Daerah Kota Ternate, dibentuklah BLH Kota Ternate menggantikan KLH

Kota Ternate.
4

BLH Kota Ternate yang dipimpin oleh Kepala badan adalah penanggung

jawab leading sector pengelolaan dan pengendalian lingkungan hidup daerah.

BLHD didukung oleh perangkat sumber daya manusia aparatur daerah yang

terintegrasi kepada struktur organisasi pemerintah kota. Sedangan penganggaran

berada pada wadah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) secara terpadu.

Provinsi Maluku Utara sebagaimana pada umumnya, didominasi oleh

wilayah laut. Kota Ternate yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 11

Tahun 1999 tentang Pembentukan Kotamadya Ternate, sangat dipengaruhi oleh

iklim laut, dan oleh karenanya mempunyai tipe iklim tropis yang terdiri dari dua

musim (Utara-Barat) dan Timur-Selatan) yang seringkali diselingi dua kali masa

pancaroba di setiap tahunnya. Kondisi topografi Kota Ternate juga ditandai

dengan keragaman ketinggian dari permukaan laut (Rendah : 0 – 499 m, sedang :

500 – 699 m dan tinggi = lebih dari 700 m). Kota Ternate merupakan wilayah

kepulauan yang terdiri dari delapan pulau, dimana lima pulau berpenghuni, yaitu

Pulau Ternate, Hiri, Moti, Mayau dan Pulau Tifure. Sedangkan tiga pulau kecil

yaitu Pulau Maka, Mano dan Gurida tidak berpenghuni. Keadaan topografi dan

geografi wilayah dalam sisi tertentu menjadi kendala dalam konteks penataan

lingkungan hidup, sebagaimana tercermin pada kesenjangan antara wilayah

perkotaan dan wilayah pesisir.

Kondisi kurang maksimalnya penataan, pengendalian dan pemanfaatan

ruang kota telah menyebabkan kondisi yang tidak serasi antara kebutuhan dan

daya dukung lahan. Sebagaimana telah dikemukakan pada catatan terdahulu,


5

dapat disaksikan penataan kawasan Pasar Gamalama, Tapak I plus dan Tapak II,

sebagai sentra perekonomian modern dengan aksentuasi ornamen kebudayaan

lokal yang belum dikerjakan secara optimal. Penataan pasar-pasar tradisional

yakni pasar Bastiong, Pasar Dufa-Dufa, Pasar Kotabaru dan Pasar Sasa juga

belum optimal dan belum didukung oleh regulasi pemerintah Kota Ternate.

Demikian juga belum ada penataan taman kota dan ruang terbuka hijau kawasan

perkotaan sebagai area publik yang asri, nyaman dan tertib.

Di daerah pesisir permasalahan lingkungan hidup tidak kalah krusial dengan

adanya abrasi yang terjadi sepanjang pantai wilayah Kota Ternate. Berdasarkan

data dari Dinas Kelautan dan Perikanan tahun 2013 telah terjadi abrasi 1,25 meter

per tahun yang menggerus sepanjang garis pantai Kota Ternate. Selain

permasalahan abrasi pantai, Kota Ternate juga diperhadapkan dengan

pemanfaatan sumber air bersih. Sumber air bersih selama ini diambil dari air tanah

dengan cara pompanisasi Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Keterbatasan

pasokan air bersih mulai dirasakan masyarakat, dimana kualitas air sangat buruk

karena terasa asin.

Permasalahan lainnya yang juga dihadapi oleh Kota Ternate terkait

pengelolaan sampah dan banjir. Perilaku masyarakat yang sering membuang

sampah sembarangan menimbulkan dampak lingkungan secara serius pada

kebersihan lingkungan pantai. Pemukiman penduduk dan pasar tradisional

cenderung menjadi kotor akibat belum adanya tempat pembuatan akhir (TPA)

yang permanen dan dilengkapi manajemen pengolahan sampah yang baik.


6

Reformasi birokrasi merupakan narasi besar yang diusung pemerintahan

saat ini untuk mengurai hambatan mewujudkan tata kepemerintahan yang

mampu menjawab tantangan global dewasa ini. Birokrasi pemerintahan sebagai

mesin penggerak pelayanan publik tidak lepas dari struktur kelembagaan dan

pusat interaksi sumber daya manusia. Birokrasi senantiasa dituntut untuk mampu

beradaptasi dengan lingkungan kelembagaan yang senantiasa berubah dengan

cepat. Perubahan organisasi sektor publik maupun swasta akan selalu terjadi

seiring dinamika masyarakat.

Salah satu upaya pemerintah daerah agar dapat bertahan dan menata

fleksibilitas terhadap arus perubahan adalah dengan perubahan kapasitas

organisasi agar dapat menyesuaikan dengan tuntutan publik. Sektor lingkungan

hidup dipandang strategis dalam percaturan dinamika pembangunan nasional dan

daerah. Pemerintah terus mengupayakan adanya keseimbangan antara

pembangunan dengan kelestarian lingkungan hidup. Salah satu upaya tersebut

adalah dengan pembentukan kelembagaan. Kelembagaan ini sangat penting

sebagai alat untuk mengatur dan mengendalikan aktivitas masyarakat agar tetap

berbasis lingkungan. Perubahan organisasi badan lingkungan hidup dapat dilihat

dari kinerja instansi pemerintah dan LSM, perangkat hukum dan peraturan

perundang-undangan, serta program-program yang dijalankan pemerintah dalam

rangka menjaga kelestarian lingkungan hidup dan melaksanakan pembangunan

berkelanjutan.

Berkaitan dengan hal tersebut, perubahan keorganisasian BLHD dimana

dalam konteks penelitian ini dimaksudkan, adalah untuk mengkaji sejauh mana
7

perubahan yang ada dapat mengoptimalkan kapasitas sumber daya manusia,

berjalannya deskripsi kerja, dan terpenuhinya kelengkapan struktur organisasi

yang telah ditetapkan. Menata harmonisasi mekanisme hubungan kerja horizontal

antara lembaga lingkungan hidup dengan lembaga terkait di daerah yang juga

secara tidak langsung mengurusi aspek lingkungan. Juga diperlukan penataan

pembagian kewenangan antar lembaga, pelaksanaan otonomi daerah dan

kerjasama antar daerah.

Lemahnya kelembagaan pengelolaan lingkungan hidup daerah selama ini

karena lembaga ini merupakan salah satu institusi yang hanya bersifat koordinasi

dan tidak integrative. Kewenangan pengelolaan lingkungan hidup dalam penataan

ruang, konservasi sumberdaya alam dan pengendalian dampak lingkungan ada

pada banyak dinas/badan. Sementara lembaga pengelolaan lingkungan hidup tidak

punya kewenangan penuh (limitatif) dalam perencanaan dan pengendalian dalam

bidang pengelolaan lingkungan hidup.

Pembentukan BLHD seyogyanya dapat menyelesaikan persoalan

masyarakat dan pemerintah dalam penanganan permasalahan-permasalahan

lingkungan. Tetapi dalam kenyataannya badan yang dibentuk sejak tahun 2013,

berdasarkan pengamatan dan analisis awal dapat disimpulkan hanya difungsikan

sebagai organisasi perangkat daerah guna memenuhi amanat undang-undang.

BLHD tidak dapat secara optimal merespon berbagai permasalahan lingkungan

yang sering terjadi. Penanggulangan banjir, pencemaran lingkungan, abrasi pantai,

kesemerawutan tata ruang, krisis bahan baku air bersih, sampah dan drainase,

tekanan pada hutan kota, tidak pernah mendapat respon secara memadai. Secara
8

empirik sejak dibentuknya badan ini sudah mengalami keterbatasan jumlah

personil dan alokasi anggaran.

Dalam pengelolaan lingkungan hidup sudah dapat diperkirakan lembaga ini

akan menghadapi tugas-tugas sangat berat. Fungsi-fungsi manajemen yang

menyangkut perencanaan, pengelolaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi

mutlak diperlukan dan dilaksanakan secara konkrit. Keberadaan BLHD tidak

hanya dimaknai sebagai kaidah umum dan berjalannya suatu organisasi.

Prakondisi yang mutlak terpenuhi pada lembaga BLHD adalah adanya

dukungan internal keorganisasian yang mencakup elemen-elemen sumberdaya

manusia yang sesuai dengan pendidikan dan keahliannya, struktur organisasi yang

lengkap diisi oleh aparatur yang kapabel, kebijakan operasional pelaksanaan tugas

dijalankan secara aktif, adanya strategi kerja yang tepat, adanya dukungan

teknologi dan terpeliharanya budaya organisasi yang kondusif. Berdasarkan

deskripsi tersebut, penulis tertarik melakukan penelitian tentang penataan

kelembagaan dengan judul Perubahan Organisasi Pada Badan Lingkungan Hidup

Daerah Kota Ternate Provinsi Maluku Utara.

Sebagai komparasi dan inspirasi, terdapat beberapa penelitian berkaitan

dengan Perubahan Organisasi yang sudah pernah dilakukan, antara lain sebagai

berikut:

1. Corneles Sagrim (2013), mengadakan penelitian dalam rangka tugas

disertasi dengan mengambil judul: “Implementasi Kebijakan Lingkungan

Hidup di Kota Papua”. Penelitian ini memandang bahwa implementasi

fungsi pemerintahan menjadi kunci peran strategis dalam pembangunan


9

lingkungan hidup. Permasalahan yang diangkat adalah bagaimana

implementasi fungsi pengelolaan lingkungan hidup oleh Pemerintah Kota

Papua beserta kendala-kendala yang dihadapi. Dideskripsikan bentuk

tanggung jawab pemerintah dalam mewujudkan harapan masyarakat,

khususnya dalam rangka mengatasi kendala terciptanya kebijakan standar

pengelolaan lingkungan hidup. Metode penelitian menggunakan pendekatan

deskriptif kualitatif dengan pendekatan informan secara snow ball

technique. Penelitian berfokus pada implementasi kebijakan lingkungan

hidup di Provinsi Papua, yang belum efektif dalam mengatur, mengarahkan

dan mengawasi pemanfaatan, penataan, pemeliharaan, pengendalian,

pemulihan dan pengembangan lingkungan hidup. Diketemukan bahwa

faktor-faktor yang menyebabkan implementasi kebijakan lingkungan hidup

belum efektif adalah kebijakan standar dan tujuan, sumberdaya kebijakan,

kegiatan pengelolaan komunikasi antar organisasi, karakteristik lembaga

implementasi, kondisi ekonomi, sosial dan politik, dan disposisi

implementor.

2. Wiklif Yarisetou (2008), mengadakan penelitian dalam rangka tugas

disertasi dengan mengambil judul: “Pelestarian Lingkungan Pesisir dan Laut

Berbasis Konsep Tiatiki dalam Kebijakan Pembangunan Daerah” (Studi

pada Komunitas Senamai, Tablanusu, dan Tablasupa di Kabupaten

Jayapura). Penelitian ini dimaksudkan untuk menelusuri, mengungkap fakta

empiris, memahami proses dan mendeskripsikan permasalahan dan faktor

penyebab belum terlaksananya kebijakan usaha pelestarian lingkungan dan


10

laut Kabupaten Jayapura. Peneliti mendeskripsikan nilai dan manfaat

konsep Tiatiki sebagai kearifan lokal dalam turut serta melestarikan

lingkungan. Dalam penelitian ini digunakan metode kualitatif dengan desain

netrospetif. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik wawancara,

observasi dan studi dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

kebijakan pembangunan daerah dalam pelestarian lingkungan pesisir dan

laut di Kabupaten Jayapura belum terlaksana dengan baik. Kenyataan ini

dikarenakan implementasi tidak ditunjang oleh peraturan Bupati sebagai

petunjuk operasional dalam pelaksanaan pembangunan lingkungan berbasis

tiatiki. Selanjutnya pemangku kepentingan lingkungan hidup setempat juga

belum melaksanakan pembangunan lingkungan hidup dengan konsep tiatiki

secara menyebar dan terpadu. Ketidak-paduan berbagai instansi terkait

karena belum didukung oleh aksesibilitas dan fasilitas sektor lingkungan

hidup. Demikian pula kebijakan belum dapat menarik minat dan

memobilisasi partisipasi masyarakat, sehingga pengembangan pelestarian

lingkungan tidak berjalan efektif.

3. Yamin M. Saleh (2006), mengadakan penelitian dalam rangka tugas

disertasi dengan mengambil judul: “Perubahan Organisasi Pemerintah

Daerah Dalam Meningkatkan Mutu Pelayanan Publik Bidang Kesehatan

Masyarakat di Kabupaten Sukabumi”. Penelitian ini berdasarkan

pemahaman bahwa penyelenggaraan otonomi daerah yang seluas-luasnya

memiliki maksud luhur, terutama untuk meningkatkan kesejahteraan

masyarakat daerah melalui peningkatan mutu pelayanan publik. Perubahan


11

organisasi pemerintah daerah yang seharusnya dapat mewujudkan

peningkatan kesejahteraan masyarakat, ternyata tidak mampu meningkatkan

mutu pelayanan publik, khususnya bidang kesehatan masyarakat.

Rendahnya mutu pelayanan publik bidang kesehatan masyarakat,

merupakan masalah yang dijadikan titik tolak dalam penelitian. Penelitian

dilaksanakan secara eksploratif menggunakan metode deskriptif kualitatif.

Pengumpulan data dilaksanakan dengan teknik pengamatan, wawancara

mendalam, library research dan telaah terhadap naskah, risalah rapat

DPRD, serta data sekunder tentang mutu pelayanan publik pada bidang

kesehatan masyarakat tahun 2000 sampai dengan 2004. Adapun hasil

penelitian yang diperoleh sebagai berikut : (1) Perubahan organisasi

Pemerintah Daerah tidak mempertimbangkan secara cermat faktor

lingkungan eksternal, kondisi internal, dan strategi organisasi pemerintah

daerah; (2) Proses penataan struktur organisasi pemerintah daerah

dilaksanakan secara tertutup oleh pejabat birokrasi dan adanya power

control yang kuat. Hal ini mengandung makna tidak bersifat independent,

sehingga menghasilkan struktur dan proses organisasi yang tidak sesuai

dengan kebutuhan dan kondisi lingkungan; (3) Bentuk struktur organisasi

pemerintah daerah yang sangat besar secara diferensiasi horizontal dan

vertical dan tidak memperbanyak diferensiasi spasial pada daerah terpencil,

telah menyebabkan jauhnya jangkauan pelayanan kesehatan masyarakat dan

mutu pelayanan publik bidang kesehatan; (4) pembinaan perilaku organisasi

tidak dilaksanakan dengan rencana dan strategi yang jelas, telah


12

menghasilkan bentuk perilaku organisasi yang tidak sesuai dengan

formalisasi dan norma-norma organisasi yang telah ditetapkan. Akibatnya

mutu pelayanan publik bidang kesehatan masyarakat tetap rendah.

4. Sagala Syaiful (2013), mengadakan penelitian dalam rangka tugas disertasi

dengan mengambil judul: “Perubahan Organisasi Pendidikan Dalam

Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah”. Permasalahan mendasar dalam

penelitian ini adalah bagaimana perubahan organisasi pendidikan dilihat dari

budaya, perilaku, iklim dan lingkungan organisasi pendidikan yang

diselenggarakan secara efektif untuk mencapai visi dan misi pendidikan

pada Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Kabupaten Garut dan Kota Bandung

dalam implementasi kebijakan otonomi daerah. Tujuan Penelitian ini ingin

mengetahui perubahan organisasi yang efektif mencapai visi dan misi

pendidikan dalam implementasi kebijakan otonomi daerah pada Dinas

Pendidikan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dan

menggunakan analisis SWOT. Informan kunci dalam penelitian ini adalah

para pejabat Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat, Kabupaten Garut dan

Kota Bandung. Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam,

pengamatan (observasi partisipan) dan bahan-bahan dokumen yang

dilaksanakan sejak Juli 2001 sampai dengan Mei 2002. Hasil penelitian ini

dapat disimpulkan sebagai berikut: Penyelenggara pendidikan yaitu kepala

dinas pendidikan hanya melaksanakan kegiatan rutin yang ditugaskan

Kepala Daerah kemudian para pejabat dan pegawai pada Dinas Pendidikan

melaksanakan tugas atas dasar instruksi atasannya masing-masing dan atau


13

ada permintaan masyarakat atau pihak-pihak yang berkepentingan yang

dapat diberikan atas persetujuan atasan dan aturan yang berlaku.

Kesimpulan ini memberi makna bahwa Dinas Pendidikan menganut

paradigma birokratik yang dapat mempersempit ruang pemberdayaan

sekolah sebagai satuan pendidikan, sehingga apabila dibiarkan berlanjut

akan memandulkan fungsi-fungsi manajemen pendidikan itu sendiri yang

akhirnya mengakibatkan SDM kurang kompetitif. Sebagai implikasinya

adalah muncul sengketa kavling dan apabila dibiarkan berlanjut,

dimungkinkan akan berubah menjadi sengketa orientasi kewenangan.

Penyelenggaraan administrasi pendidikan pada Pemerintah Daerah yang

terpecah-pecah, akan mengakibatkan sistem organisasi pendidikan semakin

rumit dan kompleks. Penelitian ini merekomendasikan perubahan organisasi

Dinas Pendidikan di Provinsi maupun di Kabupaten/Kota dikonversi

menjadi Badan Pendidikan Daerah. Dengan demikian diharapkan dapat

mengarahkan perubahan kualitatif (qualitative improvement) yang

kompetitif dalam memberdayakan satuan pendidikan di daerah sehingga

mencapai tingkat layanan pendidikan yang efektif dan unggul. Untuk

memenuhi legal aspek Badan Pendidikan ini, maka Pemerintah Daerah yaitu

eksekutif bersama legislatif sebaiknya mengusulkan kepada Pemerintah

Pusat untuk menerbitkan peraturan pemerintah yang mengatur kedudukan

dan fungsi badan pendidikan daerah yang mengacu pada prinsip profesional

dan ekonomi pendidikan.


14

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan fenomena dan permasalahan sebagaimana dimaksudkan dalam

latar belakang penelitian, maka dapat dikemukakan rumusan masalah penelitian

(problem statement) sebagai berikut: Badan Lingkungan Hidup Kota Ternate

dalam pelaksanaan dan tanggung jawabnya belum berjalan sebagaimana yang

diamanatkan perundang-undangan dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup

mulai dari perencanaan, pengelolaan, pengawasan, pengendalian, evaluasi, dan

pencegahan.

Berdasarkan pernyataan masalah penelitian tersebut, selanjutnya dapat

dikemukakan pertanyaan penelitian (research question) sebagai berikut: Mengapa

Perubahan Organisasi BLH Kota Ternate Provinsi Maluku Utara tidak berhasil

dalam pencapaian target indikator kinerja utama BLH Kota Ternate?

1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian

1. Maksud Penelitian

Penelitian ini bermaksud untuk menjelaskan proses perubahan organisasi

dari KLH ke BLH Kota Ternate Provinsi Maluku Utara .

2. Tujuan Penelitian

Melalui penelitian yang dilakukan terhadap perubahan organisasi Badan

Lingkungan Hidup Kota Ternate Provinsi Maluku Utara maka di harapkan

dapat memberikan sumbangan terhadap pengembangan ilmu pengetahuan,

terutama bagi pengembangan ilmu administrasi publik.


15

1.4. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna, baik bagi pengembangan

ilmu pengetauan (teoritis) maupun bagi aspek guna laksana (praktis).

1. Kegunaan Teoritis

Temuan penelitian diharapkan dapat mengembangkan teori ilmu

administrasi publik khususnya terkait dengan Perubahan Organisasi Badan

Lingkungan Hidup Kota Ternate Provinsi Maluku Utara.

2. Kegunaan Praktis

Temuan penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi dan menjadi

masukan bagi Pemerintah Daerah Kota Ternate Provinsi Maluku Utara

dalam perubahan organisasi pengelolaan lingkungan terutama berkaitan

dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang

Pengelolaan Lingkungan Hidup agar dapat lebih meningkatkan kualitas

pengelolaan dan peningkatan kapasitas lembaga.


BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN

DAN HIPOTESIS KERJA

2.1. Kajian Pustaka

Kajian ini berfokus pada konsep perubahan organisasi dengan mengambil

lokus organisasi Badan Lingkungan Hidup Kota Ternate Provinsi Maluku Utara.

Meskipun fokus dan lokus kajian telah demikian spesifik, tidak dapat mengindar

dari keharusan memiliki pemahaman yang baik tentang organisasi secara umum.

Perubahan organisasi adalah bagian dari organisasi, dan organisasi merupakan

bagian dari sistem sosial yang lebih besar. Dengan demikian pada akhirnya akan

menempatkan kita pada suatu pemahaman bahwa keberadaan organisasi beserta

perubahan yang terjadi tidak pernah berada di dalam ruang hampa. Keberadaan

organisasi dan perubahannya selalu berada pada ruang penuh nilai (value loaded)

seturut dinamika masyarakat. Mengingat konsep organisasi memiliki karakter

perkembangan demikian cepat seiring dengan dinamika masyarakat, maka

semakin diperlukan pula uraian secara singkat tentang organisasi secara umum.

Pemahaman terhadap organisasi secara umum pada gilirannya diharapkan dapat

memberikan inspirasi dan komparasi pengendapan pemahaman yang memadai

atas spesifikasi terhadap organisasi tertentu. Adanya bentuk organisasi publik dan

organisasi privat misalnya, telah mengarahkan pula pentingnya pemahaman atas

perbedaan antara organisasi publik dan organisasi privat.

1
16
2

Perubahan organisasi sebagai fokus konseptual dalam kajian ini dipahami

oleh banyak kalangan selalu berkaitan erat, bahkan selalu berhimpitan dengan

konsep desain organisasi dan pengembangan organisasi. Dengan demikian ketika

suatu organisasi dirancang atau didesain, maka sekaligus perlu disadari

sepenuhnya bahwa dinamika masyarakat selalu berpotensi akan memposisikan

diadakannya perubahan dan pengembangan organisasi. Kondisi yang memaksa

terjadinya perubahan dan pengembangan organisasi, perlu dibaca bersama sebagai

suatu keniscayaan yang mengekspresikan kebutuhan bersama manusia dalam

mencapai tujuan. Kebutuhan serta dinamika masyarakat telah menjadi lingkungan

latar belakang utama munculnya konsep desain organisasi, perubahan organisasi,

dan pengembangan organisasi. Dengan demikian antara desain organisasi,

perubahan organisasi dan pengembangan organisasi merupakan satu kesatuan

entitas yang saling mengisi.

Ramifikasi organisasi menjadi organisasi publik dan organisasi privat

membawa konsekuensi, bahwa pemahaman atas kategori organisasi publik dan

organisasi privat menjadi sangat urgen dan relevan. Maksud yang berkaitan

dengan proses dan tujuan yang berkaitan dengan hasil, tentunya sangat berbeda

antara organisasi publik dan organisasi privat. Oleh karena itu desain organisasi,

perubahan organisasi, dan pengembangan organisasi, yang terjadi diantara

organisasi publik dan organisasi privat harus disikapi secara kritis dan bijak. Sikap

kritis dan bijak sangat diperlukan mengingat konvergensi dan divergensi antara

organisasi publik dan organisasi privat, sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari

dinamika masyarakat menjadi sulit dihindari.


3

Diskursus ilmiah telah menunjukkan adanya upaya proses adopsi, dimana

entitas-entitas yang berkembang di dalam organisasi privat ditransfer menjadi

mekanisme yang diberlakukan di dalam organisasi publik. Padalah sesuatu yang

cocok di dalam organisasi privat tidak secara otomatis cocok diterapkan pada

organisasi publik. Seyogyanya perlu disadari bahwa dengan karakteristik yang

berbeda antara organisasi publik dan organisasi privat, maka kriteria kinerja antara

keduanya pun sangat berbeda. Desain organisasi berdasarkan lingkup sosial

diciptakannya organsisasi publik, tentunya sangat berbeda dengan lingkup sosial

dilahirkannya organisasi privat. Penggunaan terminologi publik dan privat saja

telah menggambarkan secara tegas, bahwa obyek dari organisasi publik adalah

benda publik dan obyek dari organisasi privat adalah benda privat. Organisasi

publik secara hakiki selalu menterjemahkan kepentingan publik atau umum

sebagai keutamaan, sedangkan organisasi privat secara hakiki selalu

menterjemahkan kepentingan pribadi sebagai keutamaan. Oleh karena itu

meskipun organisasi publik dan organisasi privat sama-sama mengusung prinsip

produktivitas, efektivitas, dan efisiensi, namun kriteria kinerja yang dipergunakan

sangat berbeda. Kriteria kinerja organisasi publik adalah menciptakan kepuasan

pelayanan setinggi-tingginya bagi masyarakat, sedangkan kriteria kinerja

organisasi privat adalah keuntungan setinggi-tingginya bagi pemilik kapital.

Perubahan organisasi sebagai suatu keniscayaan karena adanya dinamika

masyarakat, maka di dalam konteks perubahan organisasi publik sebagaimana

perunahan Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD), diikhtiarkan agar

organisasi dapat tetap terselenggara secara produktif, efisien, dan efektif sehingga
4

dapat memberikan kepuasan terhadap masyarakat. Perubahan organisasi di dalam

organisasi publik merupakan ekspresi dari aktualisasi tujuan organisasi publik

dalam berkinerja ditengah dinamika masyarakat. Organisasi publik sebagaimana

Badan Lingkungan Hidup Kota Ternate, diikhtiarkan sejak awal akan dapat

membertikan kepuasan pelayanan kepada masyarakat.

2.1.1. Organisasi Secara Umum

Merujuk pada sejarah organisasi, maka secara umum konsep organisasi

dapat dipilah ke dalam tiga aliran besar, yaitu teori klasik, teori neoklasik, dan

teori modern.

1. Teori Klasik: merupakan konsep yang berkembang pada abad 19, yang

cenderung mengartikan organisasi sebagai akumulasi dari struktur

hubungan, kekuasaan-kekuasaan, tujuan-tujuan, peranan-peranan, kegiatan-

kegiatan, komunikasi dan faktor lain dalam suatu rangkaian kerjasama.

Teori klasik menitik-beratkan pada sentralisasi dan spesialisasi tugas, serta

pemberian petunjuk mekanis struktural secara kaku. Teori klasik ini dikenal

juga sebagai teori organisasi tradisional. Di dalam perjalanannya teori

organisasi klasik ini berkembang dan mengenal tiga aliran utama yaitu: (1)

Teori Birokrasi, yang dikembangkan oleh Max Weber; (2) Teori

Administrasi yang dikembangkan oleh Henry Fayol, Lyndall Urwick,

Mooeny dan Repliey; (3) Teori Manajemen Ilmiah yang dikembangkan oleh

Frederick Winslow Taylor.


5

2. Teori Neo Klasik: merupakan konsep yang menekankan pentingnya aspek

psikologis dan sosial, baik dalam kedudukan sebagai individu maupun

kelompok lingkungan kerja. Teori Neoklasik dikenal pula sebagai teori

hubungan manusia (The Human Relation Movement). Dalam pembagian

kerja teori ini mengajarkan: (1) Partisipasi, yaitu melibatkan setiap orang

dalam proses pengambilan keputusan; (2) Perluasan kerja, yaitu kebalikan

dari pola spesialisasi; (3) Bottom-up, yaitu memberikan kesempatan

berpartisipasi dari bawah dalam pengambilan keputusan manajemen puncak.

3. Teori Modern: merupakan konsep yang bersifat terbuka dimana semua

unsur organisasi sebagai satu kesatuan yang memiliki sifat saling

tergantung. Pelopor teori modern antara lain adalah Herbert Simon. Teori

modern sering juga disebut sebagai analisa system pada organisasi.

Berdasarkan pengaruh akumulasi tiga aliran besar tersebut, lahirlah beragam

definisi organisasi secara beragam, dan terus berkembang hingga kini. Keragaman

definisi yang muncul pada dasarnya menunjukkan adanya keragaman pengalaman

dan sudut pandang terhadap organisasi. Beberapa definisi yang telah dikenal

secara umum antara lain sebagai berikut: (1) Stoner: Organisasi adalah suatu pola

hubungan-hubungan melalui mana orang-orang dibawah pengarahan atasan

mengejar tujuan bersama; (2) Stephen P. Robbins: Organisasi adalah kesatuan

sosial yang dikoordinasikan secara sadar, dengan sebuah batasan yang relatif

dapat diidentifikasi, yang bekerja terus menerus untuk mencapai tujuan bersama;

(3) James D. Mooney: Organisasi adalah setiap bentuk perserikatan manusia

untuk mencapai tujuan bersama; (4) Chester I. Bernard: Organisasi adalah suatu
6

sistem aktivitas kerja sama yang dilakukan oleh dua orang atau lebih; dan (5) Max

Weber: Organisasi adalah suatu kerangka hubungan terstruktur yang di dalmnya

terdapat wewenang, tanggung jawab, dan pembagian kerja untuk menjalankan

sesuatu fungsi tertentu.

Mengacu pada beragam definisi organisasi tersebut terdapat beberapa unsur

utama yang menunjukkan adanya kesamaan-kesamaan di dalam organisasi, yaitu :

(1) Unsur Manusia: adalah unsur utama pembentuk organisasi yang menurut

fungsi dan tingkatannya terdiri atas unsur pimpinan tertinggi, para pemimpin unit

tertentu, dan pekerja; (2) Unsur Kerja Sama: adalah unsur organisasi dimana

setiap anggota atau personil melakukan perbuatan secara bersama-sama untuk

tujuan bersama; dan (3) Unsur Tujuan Bersama: adalah unsur sasaran yang ingin

dicapai, baik berkaitan dengan prosedur, program, ataupun pola pekerjaan

organisasi.

Ketiga unsur utama tersebut di dalam praktik pelaksanaanya ditunjang oleh

beberapa unsur penting lainnya, antara lain adalah : (1) Unsur Peralatan: adalah

unsur organisasi berupa sarana dan prasarana berupa kelengkapan organisasi

berupa bangunan, dana, dan kelengkapan lainnya; (2) Unsur Lingkungan: adalah

unsur organisasi berupa faktor pengaruh, sebagaimana aspek ekonomi, sosial

budaya, strategi, kebijaksanaan, anggaran, dan peraturan.

Di dalam perkembangnya selanjutnya beberapa ahli mengkonstruksikan

suatu ciri yang terdapat di dalam organisasi, yaitu : (1) Formalitas: merujuk pada

perumusan tertulis peraturan-peraturan, prosedur, kebijaksanaan, tujuan, dan

strategi; (2) Hirarkhi: merujuk pada pola kekuasaan dan kewenangan berbentuk
7

piramida, dimana terdapat kekuasaan dan kewenangan dari yang tinggi hingga

terendah dalam organisasi; (3) Besaran Kompleksitas: merujuk pada kuantitas

anggota dimana hubungan sosial antar anggota tidak langsung atau impersonal;

(4) Durasi: merujuk pada keberadaan organisasi yang lebih lama dari pada

keanggotaan pada organisasi.

Pada jaman modern sebagaimana yang sedang berlangsung saat ini terdapat

kecenderungan suatu organisasi menampilkan ciri-ciri: (1) Bertambah besar; (2)

Penggunaan staf lebih intensif; (3) Unsur-unsur lebih lengkap; (4) Pengolahan

data semakin cepat; (5) Adanya prinsip-prinsip atau azas-asaz organisasi; dan (6)

Cenderung bersifat spesialisasi. Keith Davis lebih lanjut mengkonstruksikan

unsur-unsur yang terdapat di dalam suatu organisasi jaman moder sebagai berikut:

(1) Partisipasi atau keikutsertaan sesungguhnya merupakan keterlibatan mental

dan perasaan, lebih dari semata-mata keterlibatan secara jasmaniah; (2) Adanya

sikap sukarela dalam membantu kelompok mencapai tujuan tertentu; (3)

Tanggung jawab merupakan rasa yang paling menonjol dalam menjadi anggota

2.1.2. Organisasi Publik dan Organisasi Privat

Pengertian organisasi publik mengacu pada konsep benda publik, yaitu

berupa barang dan jasa yang tidak dapat terselenggara melalui mekanisme pasar

oleh individu-individu. Kenyataan ini mengandung makna bahwa terdapat suatu

kebutuhan bersifat kolektif, sehingga penyelenggaraanyapun harus secara kolektif.

Penyelenggaraan atas ketersediaan barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat

yang tidak dapat dilakukan oleh organisasi privat, menjadi alasan kuat perlu
8

dimunculkannya organisasi publik. Perbedaan antara privat dan publik utamanya

berkisar pada sasaran yang hendak dituju. Publik selalu berkaitan dengan

kepentingan masyarakat, sedangkan privat selalu berkaitan dengan kepentingan

individu. Dengan demikian keberadaan organisasi publik mengarah pada

masyarakat umum, dan organisasi privat mengarah secara terpisah dari

masyarakat umum.

Perbedaan nyata antara Organisasi publik dengan Organisasi privat antara

lain dapat terlihat dari aspek tujuan, sumber pembiayaan, pertanggung-jawaban,

struktur organisasi, karakteristik anggaran, dan pengampu kepentingan, sebagai

berikut: (1) Organisasi privat bertujuan maksimalisasi keuntungan, sedangkan

organisasi publik bertujuan pemberian pelayanan dan penyediaan barang publik;

(2) Sumber pendanaan organisasi publik adalah pajak, retribusi, laba badan usaha

milik negara, dan pinjaman luar negeri. Sumber pembiayaan organisasi privat

dapat dilakukan secara internal maupun eksternal. Secara internal berasal dari

modal pemilik dan laba yang diinvestasikan kembali. Sedangkan sumber

pembiayaan eksternal dapat dilakukan dengan cara pinjaman bank, penerbitan

obligasi, dan penerbitan saham kepada masyarakat. (3) Pertanggung-jawaban

organisasi privat adalah kepada pemilik modal, sedangkan peertanggung-jawaban

organisasi publik adalah kepada masyarakat. (4) Struktur organisasi publik

bersifat birokratis, kaku, dan hirarkis. Sedangkan struktur organisasi privat

bersifat fleksibel. (5) Karakteristik anggaran organisasi publik adalah terbuka

untuk dipublkasikan, dikritisi, dan didiskusikan. Sedangkan karakteristik anggaran

organisasi privat bersifat karena merupakan rahasia perusahaan. (6) Pengampu


9

kepentingan organisasi publik antara lain adalah lembaga negara, kelompok

politik, pegawai pemerintah, masyarakat pengguna jasa publik, masyarakat

pembayar pajak, pngguna pelayanan publik, dan generasi mendatang. Sedangkan

pengampu kepentingan organisasi privat adalah manajemen, karyawan,

pemegang saham, bank, serikat buruh, pemerintah, pemasok, distributor,

pelanggan, masyarakat, serikat dagang dan pasar modal.

Selanjutnya Baber menyimpulkan perbadaan antara organisasi publik dan

ornanisasi privat, antara lain sebagai berikut: (1) Organisasi Publik tugasnya lebih

kompleks dan ambigu; (2) Organisasi Publik lebih banyak menghadapi masalah

dalam implementasi keputusan; (3) Organisasi Publik memperkerjakan lebih

banyak pegawai dengan motivasi beragam; (4) Organisasi Publik lebih

memperhatikan bagaimana mengamankan peluang/kapasitas yang ada; (5)

Organisasi Publik lebih memperhatikan usaha kompensasi kegagalan pasar; (6)

Organisasi Publik lebih banyak kegiatan dengan signifikan simbolis lebih besar;

(7) Organisasi Publik memegang standar lebih ketat dalam komitmen dan

legalitas; (8) Organisasi Publik lebih fokus menjawab ketidak-adilan; (9)

Organisasi Publik beroperasi untuk kepentingan publik; (10) Organisasi Publik

harus menjaga dukungan masyarakat.

Khusus berkaitan dengan dinamika yang terjadi di dalam organisasi publik,

maka didalam sejarah perkembangannya dikenal tiga paradigma besar yang

pernah ada dan saling mempengaruhi, yaitu: (1) Paradigma Old Public

Administration (OPA): adalah pendekatan yang menawarkan standar-standar

tradisional yang sudah berkembang sejak abad pertengahan; (2) Paradigma New
10

Public Management (NPM) adalah pendekatan dengan menawarkan standar-

standar organisasi privat ke dalam organisasi publik; (3) Paradigma New Public

Service (NPS) adalah pendekatan dengan menawarkan stantar-standar khas

organisasi publik, sambil berusaha memperbaiki kinerja secara pragmatis.

2.1.3. Perubahan Organisasi

Penanggulangan kendala dalam mencapai tujuan organisasi adalah melalui

perubahan nomenklatur organisasi. Penataan yang benar atas perubahan organisasi

merupakan tonggak penting guna pencapaian kinerja secara maksimal. Penataan

kelembagaan dalam hal ini merupakan suatu proses perubahan yang direncanakan

dalam rangka meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat. Perubahan

sendiri merupakan suatu hal yang pasti terjadi karena manusia selalu berusaha

untuk menyesuaikan diri dengan perubahan dan tuntutan perubahan. Perubahan

tidak selalu memberi dampak yang baik, kadang justru sebaliknya, sehingga

makna perubahan adalah beralihnya keadaan dari sebelumnya (the before

condition) menjadi keadaan setelahnya (the after condition). Pembahasan

perubahan dan proses perubahan biasanya dilakukan melalui fokus perubahan

keorganisasian (organizational change). Pada perubahan yang direncanakan,

arahnya adalah selalu menuju kepada kondisi yang lebih baik dan lebih efektif

dari sebelumnya seperti dikatakan oleh Jones (2007 : 269) bahwa organizational

change is the processby which organizations move from their current state to

some desired future state to increase their effectiveness.


11

1. Konteks Sosial Perubahan Organisasi

Setiap perubahan pasti ada faktor yang mendorong untuk terjadinya

perubahan. Siagian (1998: 216-217) mengutarakan faktor-faktor pemicu

terjadinya perubahan adalah: (1) Perkembangan ilmu pengetahuan yang sangat

pesat; (2) Perkembangan teknologi terjadi kepesatan yang belum pernah dialami

oleh umat manusia sebelumnya; (3) Terjadinya proses demokratisasi dalam

bidang politik, supremasi hukum dan ekonomi yang mengemuka dalam bentuk

tuntutan yang makin kuat di kalangan masyarakat akan berbagai haknya; (4)

Berkat perkembangan dan terobosan teknologi yang melahirkan revolusi

transportasi, komunikasi, informasi, dunia semakin kecil sehingga disebut sebagai

suatu desa yang global; (5) Perubahan geopolitik terjadi dengan berakhirnya

perang dingin sehingga menimbulkan optimisme baru di kalangan umat manusia

bahwa dunia tidak pernah lagi akan dilanda perang dunia.

Margulies dan Raia sebagaimana dikutip oleh Indrawijaya (1983: 16-17)

mengemukakan beberapa alasan terjadinya perubahan organisasi yang diakibatkan

oleh adanya perubahan sosial, sebagai berikut: (1) Perubahan peranan dan tujuan

organisasi; (2) Membesarnya ukuran dan kompleksitas organisasi; (3) Tujuan

organisasi menjadi lebih kompleks dan sukar; (4) Penggunaan teknologi yang

lebih maju; (5) Adanya bentuk organisasi yang baru; dan (6) Perubahan

pandangan terhadap manusia.

Latar belakang terjadinya perubahan organisasi sebagaimana disitir oleh

Margulies dan Raia, sebenarnya telah diperkirakan oleh Warren Bennis di dalam

Jay M. Shafritz (1967: 325) jauh sebelumnya. Dikatakan oleh Bennis bahwa:
12

“Apabila terjadi perubahan sistem nilai di dalam masyarakat, maka setiap

organisasi harus bersedia belajar bersikap responsif terhadap lingkungan maupun

tuntutan para anggota”. Pembelajaran yang dapat kita petik dari Bennis adalah

bahwa pengampu kepentingan organisasi akan berkembang sekaligus ke dalam

dan ke luar. Kliae organisasi sekaligus manusia yang terdapat di dalam organisasi

dan manusia diluar organisasi. Organisasi dengan karakter kaku dan mekanistis

dan kurang memberikan kebebasan berinteraksi terhadap sesama manusia pada

akhirnya akan tergantikan oleh organisasi dengan karakter yang fleksibel.

Afirmasi atas pernyataan Margulies, Raia, dan Bennis telah menjadikan

organisasi harus menyiapkan diri atas beberapa hal berikut (Indrawijaya, 1983:17-

19):

(1) Organisasi perlu memberikan perhatian terhadap aspek akuntabilitas; (2)


Organisasi harus dapat memanfaatkan potensi-potensi SDM yang ada; (3)
Organisasi perlu melakukan kerjasama dengan organisasi lainnya; (4)
Organisasi harus dapat beroperasi dalam beragam tujuan; (5) Organisasi
harus dapat menciptakan sistem yang lebih manusiawi.

Kesimpulan atas diskursus antara Margulies, Raia, dan Bennis dalam

konteks perubahan organisasi adalah sebagai berikut: (1) Organisasi harus

mempunyai kapasitas mengelola sistem sosial dan teknis yang lebih luas dan

rumit; (2) Organisasi harus memiliki kapasitas pengembangan secara organis; (3)

Organisasi harus memiliki kapasitas mengelola konflik; (4) Organisasi harus

memiliki kapasitas pengendalian untuk mempengaruhi; (5) Organisasi harus

memiliki kapasitas mengelola gejolak perubahan di dalam maupun di luar; (6)

Organisasi harus memiliki kapasitas perilaku yang lebih fleksibel; (7) Organisasi
13

harus memiliki kapasitas toleransi terhadap ketidak-jelasan; (8) Organisasi harus

memiliki kapasitas sikap melakukan penilaian dan perbaikan.

Berkaitan dengan perubahan keorganisasian, Schermerhorn, et. al. dalam

Winardi (2004 : 4), menjelaskan terdapat sejumlah target keorganisasian yang

dapat diubah dan metode-metode untuk menghadapinya, sebagaimana tertera di

dalam Tabel 2.1.

Tabel 2.1.
Target-Target Keorganisasian yang dapat diubah dan metode-metode
untuk menghadapinya

Target Metode-Metode Perubahan yang Dapat Diterapkan


Tujuan-tujuan Jelaskan misi secara keseluruhan, laksanakan modifikasi sasaran-
dan sasaran-sasaran sasaran yang ada; terapkan asas manajemen berdasarkan sasaran-
sasaran
Kultur Laksanakan klarifikasi, modifikasi dan atau ciptakan keyakinan-
keyakinan intidan nilai-nilai guna membantu membentuk perilaku
individu-individu dan kelompok- kelompok
Strategi Modifikasi rencana-rencana strategik; modifikasi rencana-rencana
operasional; modifikasi kebijakan-kebijakan serta prosedur-
prosedur
Tugas-tugas Modifikasi desain pekerjaan; terapkan pekerjaan- pekerjaan
(job enrichment) dan kelompok-kelompok kerja otonomi
Teknologi Perbaiki peralatan serta fasilitas-fasilitas; perbaiki metode-metode
dan arus pekerjaan
Orang-orang Modifikasi kriteria seleksi; modifikasi praktek-praktek
recruiting; terapkan program-program pelatihan danpengembangan;
klarifikasi peranan dan ekspektasi-ekspektasi
Struktur Modifikasi uraian pekerjaan; modifikasi desainkeorganisasian;
sesuaikan mekanisme-mekanisme koordinasi;modifikasi
penyebaran otoritas
Sumber Jones (2007 : 270).

Sejalan dengan pendapat tersebut, Jones (2007 : 270) menjelaskan pula

bahwa target perubahan keorganisasian dalam rangka meningkatkan efektivitas

setidaknya ada satu sampai empat, yaitu human resources, functional resources,

technological capabilities, and organizational capabilities:

a. Human resources are an organization's most important asset.


Typical kinds of change efforts directed at human resourcesinclude
14

(1) new investment in training and development activities so that


employees acquire new skills and abilities; (2) socializing employees
into the organizational culture so that they learn the new routines on
which organizational performance depends; (3) changing
organizational norms and values to motivate a multicultural and
diverse workforce; (4) ongoing examination of the way in which
promotion and reward systems operate in a diverse workforce; and
(5) changing the composition of the top management team to
improve organizational learning and decision making.
b. Functional Resources, As the environment changes, organizations
often transfer resources to the functions where the most value can be
created. Crucial functions grow in importance, while those whose
usefulness is declining shrink. An organization can improve the
value that its functions create by changing its structure, culture, and
technology. The change from a functional to a product team
structure, for example, may speed the new product development
process. Alterations in functional structure can help provide a
setting in which people are motivated to perform. The change from
traditional mass production to a manufacturing operation based on
selfmanaged work teams often allows companies to increase product
quality and productivity if employees can share in the gains from the
new work system.
c. Technological Capabilities. Technological capabilities give an
organization an enormous capacity to change itself in order to
exploit market opportunities. The ability to develop a constant
stream of new products or to modify existing products so that they
continue to attract customers is one of an organization's core
competences. Similarly, the ability to improve the way goods and
services are produced in order to increase their quality and
reliability is a crucial organizational capability. At the
organizational level, an organization has to provide the context that
allows it to translate its technological competences into value for its
stakeholders. This task often involves the redesign of organizational
activities.
d. Organizational Capabilities, through the design of organizational
structure and culture, an organization can harness its human and
functional resources to take advantage of technological
opportunities. Organizational change often involves changing the
relationships between people and functions to increase their ability
to create value. Changes in structure and culture take place at all
levels of the organization and include changing the routines an
individual uses to greet customers, changing work group
relationships, improving integration between divisions, and
changing corporate culture by changing the top management team.
15

Berkaitan dengan fase perubahan, Lewin (1951: 143) berpendapat bahwa

setiap upaya perubahan dapat dipandang sebagai sebuah proses yang terdiri dari

tiga fase, yaitu:

1) Fase Pencairan (unfreezing), merupakan tahap di mana orang


mempersiapkan sebuah situasi untuk perubahan;
2) Fase Perubahan (changing), mencakup tindakan modifikasi aktual
dalam manusia, tugas, struktur dan atau teknologi;
3) Fase Pembekuan kembali (refreezing) merupakan tahapan final dari
proses perubahan yang berfungsi untuk memelihara momentum
suatu perubahan, di mana terjadi pembekuan terhadap hasil-hasil
‘positif’ yang diinginkan.

Ketiga macam fase proses perubahan dari Kurt Lewin tersebut dapat

disajikan dalam bentuk model dalam Tabel 2.2 sebagai berikut :

Tabel 2.2
Tiga Fase Proses Perubahan

Fase I: unfreezing Fase II : changing Fase III : Pembekuan Kembali

Menciptakan kebutuhan Mengubah Orang- orang


Memperkuat Hasil-hasil,
akan perlubahan (individu-individu dan
membuat hasil-hasil, Membuat
meminimalisasi kelompok-kelompok;
Modifikasi-modifikasi
tantangan terhadap tugas-tugas struktur,
Konstruktif
perubahan teknologi

Sumber: Kurt Lewin (1951: 141).

2. Komponen Perubahan Organisasi

Menurut Hellriegel and Slocum (1998), komponen-komponen yang sangat

berpengaruh dalam setiap perubahan organisasi terdiri dari 6 (enam) komponen,

yaitu:

1) Komoponen Sumber Daya Manusia

Manusia mengacu pada pendapat Werther and Davis (1996 : 596) adalah

the people who are ready, willing and able to contribute to organizational goals.
16

Sumber Daya Manusia (SDM) dengan kualifikasi yang baik merupakan salah satu

faktor yang mendorong terwujudnya tujuan organisasi secara lebih efisien dan

efektif. Dimensi SDM sehubungan dengan perubahan, akan menekankan

bagaimana cara para karyawan mengalami proses perubahan yang berlangsung.

Terdapat lima macam fase utama dari dimensi SDM sehubungan dengan

perubahan yaitu: (a) Kesadaran tentang adanya kebutuhan untuk berubah

(awareness of the need for change); (b) Kesadaran untuk berpartisipasi dan

membantu perubahan tersebut (desire to participate and support the change); (c)

Pengetahuan tentang bagaimana melaksanakan perubahan (dan bagaimana kiranya

bentuk perubahan tersebut) (knowledge of howto change and what the change

looks like); (d) Kemampuan untuk mengimplementasi perubahan tersebut, sehari-

hari (ability to implement the change on a day to day basis); (e) Perkuatan agar

perubahan tersebut tetap berlangsung (reinforcement to keep the change in place).

(Winardi, 2006 : 110).

2) Komponen Deskripsi Kerja

Tugas mencakup sifat dari pekerjaan itu sendiri apakah pekerjaan yang

bersangkutan bersifat sederhana atau kompleks, bersifat baru atau repetitif,

distandarisasi, atau bersifat unik. Hal ini seperti yang dijelaskan oleh Hellriegel

dan Slocum (2004:583) bahwa task variable is variable that involves the nature

ofthe work itself-whether jobs are simple or complex, novel or repetitive,

standardized or unique. Pada organisasi pemerintah tugas-tugas tersebut mengacu

pada deskripsi kerja. Robin (2006:637) menjelaskan bahwa terdapat model

karakteristik pekerjaan (job characteristics model) yang diperkenalkan oleh


17

Hackman dan Oldham di mana setiap pekerjaan dapat dideskripsikan ke dalam

lima dimensi pekerjaan inti yaitu: (a) Keanekaragaman keterampilan, sejauh mana

pekerjaan itu menuntut keragaman kegiatan yang berbeda sehingga pekerja itu

dapat menggunakan sejumlah keterampilan dan bakat yang berbeda; (b) Identitas

tugas, sejauh mana pekerjaan itu menuntut diselesaikannya seluruh potongan kerja

secara utuh dan dapat dikenali; (c) Pentingnya tugas, sejauh mana pekerjaan itu

mempunyai dampak yang cukup besar pada kehidupan atau pekerjaan orang lain;

(d) Otonomi, sejauh mana pekerjaan itu memberikan kebebasan,

ketidaktergantungan dan keleluasaan yang cukup besar ke individu dalam

menjadwalkan pekerjaan itu dan menentukan prosedur yang digunakan

menyelesaikan pekerjaan tersebut; (e) Umpan balik, sejauh mana pelaksanaan

pekerjaan mendapatkan umpan balik atas keefektifan kinerjanya.

3) Komponen Strategi Organisasi

Strategi adalah proses perencanaan organisasi yang terdiri dari kegiatan-

kegiatan yang dilaksanakan untuk mengidentifikasi tujuan-tujuan keorganisasian

dan dipersiapkannya rencana-rencana spesifik guna mencapai, mengalokasi dan

memanfaatkan sumber-sumber daya dalam upaya mencapai tujuan-tujuan

organisasi. Sehubungan dengan strategi, Siagian (2002:5) menyatakan bahwa

strategi merupakan kiat yang diterapkan biasanya oleh manajemen puncak untuk

memenangkan "peperangan" yang melibatkan organisasi. Untuk memenangkan

peperangan tersebut maka harus diketahui faktor-faktor kekuatan dan kelemahan

apa yang dimiliki oleh organisasi, peluang apa yang mungkin timbul dan

bagaimana cara memanfaatkannya, serta ancaman apa yang diperkirakan akan


18

timbul dan cara-cara apa yang paling efektif untuk menghadapinya. Sebaliknya,

perlu pula diketahui kekuatan dan kelemahan lawan sehingga dapat ditentukan

kiat yang tepat sehingga lawan tidak memiliki kemampuan untuk memanfaatkan

peluang dan bahkan, apabila mungkin, menghilangkan peluang tersebut-sehingga

tidak memiliki keandalan dalam menghadapi ancaman yang dihadapinya.

4) Komponen Struktur dan Desain Organisasi

Struktur organisasi menurut Robbins (2006 : 585) adalah suatu cara

bagaimana tugas pekerjaan dibagi, dikelompokkan dan dikoordinasikan secara

formal. Sedangkan menurut Kast dan Rosenzweig (1995 : 324) struktur adalah

pola hubungan antara berbagai komponen atau bagian dari organisasi. Robbins

(1994 : 90) menjelaskan terdapat tiga komponen utama dari struktur organisasi

yaitu kompleksitas, formalisasi dan sentralisasi. Kompleksitas merujuk pada

tingkat diferensiasi yang terdapat dalam sebuah organisasi. Diferensiasi horizontal

memperhatikan tingkat sejauh mana pekerjaan tersebar secara geografis. Makin

besar diferensiasi horizontal, dengan mempertahankan rentang kendali yang

konstan, maka makin tinggi pula hierarkinya; makin tersebar cara geografis unit-

unitnya, makin kompleks pula organisasinya. Dan makin kompleks organisasinya,

makin besar pula kesukaran komunikasi, koordinasi dan kontrol. Formalisasi,

dalam hal ini merujuk pada sejauh mana pekerjaan dalam organisasi

distandarisasi. Makin tinggi formalisasinya, makin diatur pula perilaku

pegawainya. Dalam keadaan yang demikian, organisasi tersebut akan

menggunakan peraturan dan prosedur untuk mengatur apa yang dilakukan oleh

para pegawai.Teknik-teknik formalisasi yang sering digunakan adalah proses


19

seleksi (untuk mengidentifikasi para individu yang akan cocok dengan

organisasi); persyaratan peran, peraturan, prosedur dan kebijakan, pelatihan, dan

mengatur agar para pegawai menjalani ritual untuk membuktikan loyalitas dan

komitmen mereka terhadap organisasi. Sedangkan sentralisasi dinyatakan sebagai

tingkat sejauh mana kekuasaan formal dapat membuat kebijakan-kebijakan

dikonsentrasikan pada satu individu, sebuah unit, atau suatu tingkat (biasanya

pada tingkat tinggi dalam organisasi), sehingga pegawai (biasanya berada di

bagian bawah organisasi) hanya memperoleh masukan yang minim dalam

pekerjaan mereka. Tingkat control yang dipunyai seseorang dalam seluruh proses

pengambilan keputusan dapat digunakan sebagai sebuah ukuran mengenai

sentralisasi. Desentralisasi dalam hal ini dapat mengurangi kemungkinan

terjadinya beban informasi yang berlebihan, memberi tanggapan yang cepat

terhadap informasi yang baru, memberi masukan yang lebih banyak bagi sebuah

keputusan, mendorong terjadinya motivasi, dan merupakan sebuah alat yang

potensial untuk melatih para manajer dalam mengembangkan pertimbangan yang

baik. Kast dan Rosenzweig (1995: 373) menjelaskan bahwa ciri-ciri organisasi

yang kompleks dewasa ini sebagai berikut:

Ciri-ciri organisasi dewasa ini adalah tingginya spesialisasi-tugas dan


pembagian kerja. Diferensiasi ini bergerak ke dua arah - vertikal yang
ditunjukkan oleh hierarki dan horizontal yang ditunjukkan oleh
departementalisasi. Meningkatnya diferensiasi telah memperbesar masalah
integrasi. Organisasi yang menghadapi perubahan lingkungan dan pesatnya
kemajuan teknologi, telah merasa perlu untuk memakai cara-cara baru bagi
tercapainya integrasi, seperti dengan panitia, satuantugas (taskforces), team
koordinasi dan para manajer program.

Robin (2006:585) menjelaskan bahwa terdapat enam unsur kunci yang perlu

disampaikan ke manajer ketika mereka merancang struktur organisasinya yaitu:


20

(a) Spesialisasi Kerja, atau pembagian kerja untuk mendeskripsikan sampai

tingkat mana tugas dalam organisasi dipecah-pecah menjadi pekerjaan-pekerjaan

yang terpisah. Hakikat spesialisasi kerja adalah bahwa, bukannya keseluruhan

pekerjaan dilakukan oleh satu individu, seluruh pekerjaan itu dipecah-pecah

menjadi sejumlah langkah, dengan tiap langkah diselesaikan oleh individu yang

berlainan; (b) Departementalisasi adalah mengelompokkan pekerjaan-pekerjaan

ini sehingga tugas yang sama/mirip dapat dikoordinasikan. Departementalisasi

dapat dilakukan berdasarkan fungsi, jenis produk, geografi/teritorial, kebutuhan

pelanggan dan lain-lain; (c) Rantai Komando merupakan garis wewenang yang

tidak terputus yang terentang dari puncak organisasi ke eselon terbawah dan

memperjelas siapa melapor ke siapa (d) Rentang Kendali adalah berapa banyak

bawahan yang dapat diatur secara efektif dan efisien oleh manajer. Rentang

kendali sangat menentukan banyaknya tingkatan dan manajer yang harus dimiliki

oleh organisasi. Makin luas atau besar rentang itu, makin efisien organisasi itu; (e)

Sentralisasi dan Desentralisasi. Sentralisasi mengacu pada sampai tingkat mana

pengambilan keputusan dipusatkan pada titik tunggal dalam organisasi. Konsep

itu hanya mencakup wewenang formal, yaitu, hak-hak yang dimiliki oleh posisi

seseorang. Sebaliknya, dalam organisasi yang terdesentralisasi, tindakan dapat

diambil lebih cepat untuk memecahkan masalah, lebih banyak orang memberikan

masukan untuk proses pengambilan keputusan dan makin kecil kemungkinan para

karyawan merasa diasingkan karena dari mereka pengambilan keputusan yang

menyangkut kehidupan kerja mereka; (f) Formalisasi, mengacu pada tingkat di

mana pekerjaan di dalam organisasi itu dibakukan. Jika formalisasi tinggi, di situ
21

terdapat uraian jabatan yang tersurat, banyak aturan organisasi, dan prosedur yang

terdefinisi dengan jelas yang meliputi proses kerja dalam organisasi. Sebaliknya

jika formalisasi itu rendah, perilaku kerja karyawan relatif tidak terprogram,

mereka mempunyai banyak kebebasan untuk menjalankan keleluasaan dalam

kerja. Keleluasaan individu pada pekerjaan itu berbanding terbalik dengan

banyaknya pembakuan, semakin besar pembakuan itu, semakin sedikit masukan

dari pihak karyawan yang berkenaan dengan cara pekerjaan itu harus dilakukan.

Dari sisi desain organisasi, Robbins (2006:594) menjelaskan bahwa desain

organisasi yang lazim digunakan yaitu, struktur sederhana, birokrasidan struktur

matriks. (1) Struktur Sederhana dicirikan oleh derajat rendah departementalisasi,

luasnya rentang kendali, otoritas terpusat pada satu orang dan sedikit formalisasi.

Struktur sederhana paling banyak dipraktekkan dalam bisnis kecil di mana

manajer dan pemilik hanya ada satu dan adalah orang yang sama; (2) Birokrasi,

pada desain birokrasi dicirikan oleh struktur dengan tugas-tugas operasi yang

sangat rutin yang dicapai lewat spesialisasi, aturan dan pengaturan yang sangat

formal, tugas-tugas yang dikelompokkan ke dalam departemen-departemen

fungsional, wewenang terpusat, rentang kendali yang sempit dan pengambilan

keputusan yang mengikuti rantai komando. Dalam hal ini birokrasi mengandalkan

kaidah aturan dan kegiatan kerja yang dibakukan. Kekuatan utama birokrasi

terletak pada kemampuannya menjalankan kegiatan terbakukan secara sangat

efisien. Pengelompokkan berbagai bidang keahlian yang sama ke dalam

departemen-departemen fungsional menghasilkan skala ekonomi, memperkecil

kemungkinan personalia dan peralatan ganda, dan karyawan yang mempunyai


22

kesempatan berbicara dalam ‘bahasa yang sama’ di antara rekan sekerja mereka.

Selain itu, birokrasi dapat berfungsi baik jika para manajer tingkat menengah dan

bawah yang kurang berbakat dan karenanya tidak mahal. Kelemahan besar

lainnya dari birokrasi adalah sesuatu yang kita semua alami ketika suatu saat

harus berurusan dengan orang-orang yang bekerja dalam organisasi ini perhatian

yang berlebihan pada pematuhan aturan-aturan; (3) Struktur Matriks, adalah

struktur yang menciptakan dua garis wewenang; gabungan departementalisasi

produk dan fungsional. Kekuatan departementalisasi fungsional terletak pada

penempatan para spesialis yang serupa secara bersama, yang dapat meminimalkan

jumlah yang diperlukan, sementara memungkinkan pengumpulan dan penggunaan

bersama sumber daya khusus untuk semua produk. Kelemahan utamanya adalah

kesulitan mengkoordinasikan tugas spesialis fungsi yang beragam agar aktivitas

mereka selesai pada waktunya dan sesuai anggaran.

5) Komponen Teknologi

Teknologi merupakan metode-metode pemecahan masalah dan teknik-

teknik yang digunakan untuk penerapan pengetahuan terhadap berbagai macam

proses-proses keorganisasian. Siagian (2002 : 8) menyatakan bahwa berbagai

terobosan yang terjadi di bidang teknologi dapat memberikan sumbangan yang

besar kepada peningkatan produktivitas kerja suatu organisasi. Apabila dipilih

dengan tepat, teknologi dapat diterapkan pada semua jenis kegiatan dalam

organisasi. Di organisasi pemerintah, sarana pendukung yang harus segera

diterapkan pemerintah yaitu penerapan electronic government (e- government).

Penerapan e-government berdasarkan Microsoft e-government Strategy (2001)


23

akan banyak memberikan peluang dan keuntungan di antaranya: (a) Deliver

electronic and integrated public services, nilai tambah dalam peningkatan

pelayanan karena pelayanan dapat dilakukan semakin cepat, akurat dan terpadu;

(b) Bridge the digital divide, jembatan penghubung antara pemerintah dan

masyarakat untuk memperkenalkan teknologi baru; (c) Achieve life long learning,

sarana proses pembelajaran masyarakat; (d) Rebuild their customer relationship,

membangun hubungan dengan konsumen untuk meningkatkan kepercayaan

terhadap pemerintah; (e) Foster economic development, mendukung peningkatan

pembangunan perekonomian. (f) Establish sensible policies and regulations,

perkembangan informasi memunculkan isu-isu aktual yang berkaitan erat dengan

e-commerce, cyber-crime, dan cyber-terrorism yang menuntut adanya kebijakan

dan pengaturan; (g) Create a more participative form of government, peningkatan

partisipasi masyarakat dalam mendukung demokrasi.

Berkaitan dengan hal di atas, Indrajit (2004:54) mengemukakan

pandangannya tentang perubahan paradigma manajemen pemerintahan yang

selama ini dianggap efektif dengan paradigma e-Government. Terdapat delapan

aspek yang membedakan paradigma birokrasi dengan paradigma e-Government,

sebagaimana dijelaskan pada gambar 2.3.


24

Tabel 2.3.
Delapan Aspek perbedaan Paradigma Birokrasi dan e-Government

Bureaucratic
Aspect Bureaucratic Paradigm
Paradigm
- Orientation - Production cost - User satisfaction & control,
- Process efficiency - flexibility
- Organization - Functional rationality, - Horizontal hierarchy, network
- Management - departmentalization, - organization, information
- principle - vertical hierarchy of - sharing
- Leadership - control - Flexible management
- style - Management by rule - interdepartmental team work
- Internal - and mandate - with central coordination
- Communication - Command and control - Facilitation and coordination,
- External - Top down, hierarchical - innovative entrepreneurship
- communication - Centralized, formal, - Multidirectional network with
- Mode of service - limited channel - central coordination, direct
delivery - Documentary mode - communication
- - Principles of service - and interpersonal - Formal and informal, direct
delivery - interaction - and fast feedback, multiple
- Standardization, - channels.
- impartiality, equity - Electronic exchange, non facto
- face interaction (so far)
- User customization,-
- Personalization
Sumber : Indrajit (2004:5g4).

Di dalam e-government pemberian produk dan pelayanan harus berorientasi

pada kepuasan pelanggan (customer satisfaction oriented) Ukuran keberhasilan

pemberian produk dan pelayanan dari pihak pemerintah kepada masyarakat adalah

jumlah keluhan (complaint) dari pelanggan yang bersangkutan terhadap kualitas

produk dan pelayanan yang diberikan.

6) Komponen Budaya Organisasi

Budaya merefleksi keyakinan-keyakinan bersama (shared beliefs), nilai-

nilai, ekspektasi-ekspektasi dan norma-norma para anggota keorganisasian.

Siagian (2002:188) menjelaskan bahwa budaya organisasiadalah kemauan,

kemampuan, dan kesediaan seseorang menyesuaikanperilakunya dengan budaya

organisasi, mempunyai relevansi tinggi dengankemauan, kemampuan, dan


25

kesediaannya meningkatkan produktivitas kerjanya. Fungsi-fungsi budaya

organisasi bagi anggotanya menurut Ibrahim (2004: 318) adalah sebagai berikut:

(a) Adaptasi Eksternal : proses meraih tujuan dan bekerjasama dengan pihak luar.

Sejumlah pertanyaan harus dapat dijawab agar dapat sukses dengan adaptasi

eksternal, antara lain; (b) Integrasi Internal : adalah kreasi dari satu identitas

kolektif dan pemahaman tentang metode-metode kerja yang serasi dan hidup

dalam kebersamaan; (c) Mewujudkan kebersamaan eksekutif dan karyawan :

dengan menyadari tujuan bersama, perilaku yang ditetapkan dan saling isi

mengisi; (d) Memilih organisasi sesuai dengan budayanya : ada beberapa pilihan

antara lain: Budaya akademik : Perorangan secara hati-hati bergerak melalui

serangkaian program latihan bagi pengembangan karir untuk memperoleh fungsi-

fungsi yang diharapkan dalam jangka panjang; Budaya perlindungan : Perorangan

diminta untuk berjuang sehidup semati bagi kelangsungan hidup

organisasi/perusahaan; Budaya klub : Senioritas, loyalitas, status, komitmen dan

menyatu, di antara lebih penting daripada keahlian: Budaya tim baseball atau bola

kaki : Bakat dan kinerja sangat diutamakan, perorangan yang menang dihargai

tinggi dan yang selalu mengecewakan biasanya terdepak keluar dengan

sendirinya.

Konsep penataan kelembagaan birokrasi merupakan konsep yang luas dan

multi makna. Albrow (1989) mengajukan tujuh makna birokrasi, yaitu sebagai

(1) organisasi rasional; (2) inefisiensi organisasi; (3) kekuasaan yang dijalankan

oleh pejabat; (4) administrasi publik; (5) organisasi; (6) administrasi yang

dijalankan oleh pejabat; (7) masyarakat modern. Dalam penelitian ini, makna
26

birokrasi dimaksudkan adalah organisasi rasional. Max Weber

(Rosenbloom,et.al., 2002:150-153) membangun konsep birokrasi sebagai bentuk

”organisasi legal-rasional” dengan ”karakter strukturalnya” terdiri atas elemen-

elemen: (1) spesialisasi; (2) hierarkis; (3) struktur karier; (4) cenderung permanen;

(5) berskala besar. Selain berkarakter struktural, birokrasi mempunyai ”karakter

prosedural” dengan elemen-elemen; (6) impersonal; (7) formalistik; (8) terikat

aturan; (9) disiplin tinggi. Dari kedua karakter ini akan menghasilkan birokrasi

yang sangat efisien, berkuasa (powerful) dan ekpansif.

Sharkansky kemudian menjabarkan birokrasi sebagai, administration unit

are variously term: department, bureaus, agencies, commissions, offices, services,

or whatever label the designers of a unit consider appropriate (Tachjan,

2006:88). Selanjutnya dijelaskan oleh Tachjan, bahwa di Indonesia, yang

dimaksud dengan organisasi (birokrasi) publik adalah.

Keseluruhan organisasi pemerintah yang menjalankan tugas-tugas negara


dalam berbagai unit administrasi di bawah departemen dan lembaga-
lembaga non-departemen, baik di pusat maupun di daerah, seperti tingkat
provinsi, kabupaten, kota, kecamatan, maupun desa dan kelurahan.

Salah satu tugas birokrasi pemerintah adalah memberikan pelayanan.

Berdasarkan Kepmenpan No. 63/KEP/M.PAN/7/2003, tugas birokrasi dalam

melayani dapat dikelompokkan ke dalam : (1) Kelompok pelayanan administratif,

yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk dokumen resmi yang

dibutuhkan oleh publik, misalnya KTP, Sertifikat Tanah, IMB, Paspor, BPKP,

dan sebagainya. (2) Kelompok pelayanan barang, yaitu pelayanan yang

menghasilkan berbagai bentuk barang yang dibutuhkan oleh public, misalnya

jaringan telepon, penyediaan tenaga listrik, air bersih dan sebagainya. (3)
27

Kelompok pelayanan jasa, yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk

jasa yang dibutuhkan oleh publik, seperti pelayanan pendidikan, pemeliharaan

kesehatan dan sebagainya.

Birokrasi dalam penelitian ini adalah organisasi publik bidang lingkungan

hidup yang ada pada tingkat daerah (kota/kabupaten) yang berfungsi

menyelenggarakan pengawasan dan pengendalian LH, yaitu Organisasi Badan

Lingkungan Hidup. Secara teoretik, birokrasi BLHD dikategorikan sebagai street-

level bureaucracy, yaitu birokrasi yang menjalankan tugas berhadap-hadapan

dengan masyarakat, di mana karena peran dan kedudukannya itu, birokrasi

menjadi representase pemerintah di mata publik, seperti guru, dokter, perawat,

polisi dan pekerja sosial (Lipsky, 1978:135-136).

2.2 . Kerangka Pemikiran

Dengan diberlakukannya kebijakan otonomi daerah telah membawa banyak

perubahan dalam sistem pemerintahan di daerah. Perubahan terutama pada

ketetapan bahwa kewenangan sebagian besar diberikan kepada daerah kecuali

politik luar negeri, hankam, peradilan, moneter, fiskal serta agama. Perubahan

dalam kewenangan pemerintahan, baik pusat, provinsi dan kabupaten/kota,

menyebabkan perubahan terhadap organisasi di daerah. Dalam perubahan

organisasi di daerah tidak hanya mengacu kepada kewenangan tetapi harus

melihat aspek-aspek lain sehingga lahir kelembagaan yang rasional, efisien dan

profesional. Perubahan organisasi yang ideal akan mendukung terwujudnya

peningkatan kualitas pelayanan yang lebih baik.


28

Teori kontingensi memberikan pemahaman bahwa untuk menghasilkan

kinerja yang baik setidaknya suatu organisasi perlu diatur dengan memperhatikan

sifat lingkungan pada struktur dan strategi organisasi. Organisasi dipahami akan

mengambil sekaligus memberikan sesuatu dari dan kepada lingkungan dimana ia

berada. Sementara itu pengembangan organisasi menurut Winardi (2003:140)

adalah meliputi serangkaian tindakan manajemen puncak suatu organisasi, dengan

partisipasi para anggota organisasi, guna melaksanakan proses perubahan dan

pengembangan dalam organisasi yang bersangkutan, dari kondisi yang sedang

berlaku sekarang, melalui proses yang berlangsung dalam waktu, dapat dilakukan

aneka macam perubahan, hingga pada akhirnya dicapai kondisi yang lebih

memuaskan dan lebih sesuai dengan tuntutan lingkungan.

Banyak hal yang dapat menjadi pertimbangan bagi Pemerintah Daerah

dalam menata kelembagaan perangkat daerah. Saat ini ada kecenderungan agar

lembaga yang ada berstruktur lebih ramping dan dapat meningkatkan PAD.

Pertimbangan bahwa prioritas pembentukan kelembagaan hanya berdasarkan pada

aspek ekonomi riil saja sangat tidak bijak, karena ada kalanya suatu lembaga

daerah tidak menghasilkan PAD tetapi urgensinya sangat dibutuhkan bagi

keberlanjutan pembangunan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, seperti

halnya lembaga pengelolaan lingkungan hidup daerah. Hal ini perlu disadari,

karena kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang menjadi tugas

pokok lembaga pengelolaan lingkungan hidup sangat berpengaruh terhadap

kelangsungan pembangunan ekonomi dan kesejahteraan sosial.


29

Untuk memenuhi kebutuhan daerah dalam melaksanakan tugas-tugas

pengelolaan lingkungan hidup, maka kelembagaan pengelolaan lingkungan hidup

daerah perlu untuk tetap dipertahankan dan dikembangkan melalui perubahan

nomenklatur organisasi sesuai kebutuhan. Karena pengelolaan lingkungan hidup

merupakan kewenangan wajib yang dilaksanakan oleh daerah (Kabupaten/Kota)

dan juga merupakan tugas dekosentrasi (sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 08

Tahun 2003), maka lembaga pengelolaan lingkungan hidup daerah yang sesuai

adalah berbentuk Dinas Daerah. Hal ini juga telah ditegaskan melalui Surat

Keputusan Bersama Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Menteri Dalam

Negeri melalui SKB Nomor 01/SKB/M PAN/4/2003; Nomor 17 Tahun 2003

tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2014

tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor

09 Tahun 2003 tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan dan

Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil. Pada bagian II mengenai Penataan

Perangkat Daerah disebutkan bahwa fungsi-fungsi yang selama ini diwadahi

dalam bentuk Lembaga Teknis Daerah seperti fungsi lingkungan hidup

(BAPEDALDA), mengingat lingkungan hidup merupakan salah satu kewenangan

wajib, maka pewadahannya dilakukan dalam bentuk dinas.

Perubahan secara esensi merupakan suatu hal yang pasti terjadi karena

manusia selalu berusaha untuk menyesuaikan diri dengan perubahan dan tuntutan

perubahan. Perubahan tidak selalu memberi dampak yang baik, kadang justru

berdampak sebaliknya, makna perubahan adalah beralihnya keadaan sebelumnya

(the before condition) menjadi keadaan setelahnya (the after condition).


30

Pembahasan perubahan dan proses perubahan biasanya dilakukan melalui focus

perubahan organisasi (organization change).

Organisasi sangat perlu bagi masyarakat kita. Dalam dunia pelayanan

publik, industri, pendidikan, pelayanan kesehatan dan sebagainya, organisasi telah

memberikan keuntungan yang mengesankan bagi standar kehidupan. Dengan

organisasi tercipta keterpaduan pikiran, konsepsi, tindakan dan keterampilan yang

dimiliki oleh tiap-tiap personel yang terlibat didalamnya untuk berhimpun

menjadi satu kesatuan kekuatan yang terkoordinasi untuk mencapai tujuannya.

Organisasi merupakan kumpulan dari individu dan kelompok sehingga

keefektifan organisasi pada dasarnya adalah merupakan fungsi dari keefktifan

individu dan kelompok. Sebagaimana definisi yang popular tentang organisasi

yakni kesatuan susunan yang terdiri dari sekelompok orang yang mempunyai

tujuan yang sama, yang dapat dicapai secara bersama, dimana dalam melakukan

tindakan itu ada pembagian tugas, wewenang dan tanggung jawab bagi tiap-tiap

personel yang terlibat didalamnya untuk mencapai tujuan organisasi.

Menurut Hellriegel dan Slocum (1998:581) apabila kita menghadapi

tantangan yang ditimbulkan oleh perubahan keorganisasian, maka perubahan

jangan dilaksanakan secara sepotong-sepotong, akan tetapi perubahan

dilaksanakan secara menyeluruh pada suatu organisasi.

Model perubahan yang dikemukakan Hellriegel dipandang dari sudut

pandangan sistemik melukiskan sebuah organisasi dengan enam komponen yang

saling berinteraksi, yang dapat dimanfaatkan sebagai fokus dari perubahan

terencana yaitu manusia, kultur, tugas-tugas, teknologi, desain dan strategi.


31

Manusia (Sumber Daya Manusia), berlaku bagi individu-individu yang

bekerja untuk organisasi yang bersangkutan, termasuk di dalamnya perbedaan-

perbedaan individual, kepribadian, sikap, atribut, kebutuhan dan motif-motif

mereka. Tugas mencakup sifat dari pekerjaan itu sendiri apakah pekerjaan yang

bersangkutan bersifat sederhana atau kompleks, bersifat baru atau repetitif,

distandarisasi, atau bersifat unik. Pada organisasi pemerintah tugas-tugas tersebut

mengacu pada deskripsi kerja. Strategi mencakup proses perencanaan organisasi

yang bersangkutan, secara tipikal ia terdiri dari kegiatan-kegiatan yang

dilaksanakan guna mengidentifikasi tujuan-tujuan keorganisasian dan

dipersiapkannya rencana-rencana spesifik guna mencapai, mengalokasi, dan

memanfaatkan sumber-sumber daya dalam upaya mencapai tujuan-tujuan yang

dikemukakan. Desain adalah struktur keorganisasian formal dan sistem-sistemnya

berupa komunikasi, pengendalian, otoritas dan tanggung jawab. Teknologi

mencakup metode-metode pemecahan masalah dan teknik-teknik yang digunakan

untuk penerapan pengetahuan terhadap berbagai macam proses-proses

keorganisasian. Ia mencakup hal-hal seperti, misalnya: pemanfaatan teknologi

informasi, robot-robot dan alat-alat otomatis lainnya, proses-proses produksi,

peralatan-peralatan, serta teknik-teknik. Kultur (budaya) merefleksi keyakinan-

keyakinan bersama (shared beliefs) – nilai-nilai – ekspektasi-ekspektasi dan

norma-norma para anggota keorganisasian.

Model tersebut di atas menunjukkan bahwa keenam komponen tersebut

bersifat sangat interdependen. Perubahan yang terjadi pada komponen tertentu

dapat menyebabkan timbulnya perubahan pada satu atau lebih komponen lainnya.
32

Oleh karenanya, komponen yang berkaitan dengan perubahan

keorganisasian dapat dipahami melalui Manusia (Sumber Daya Manusia) yang

ada dalam organisasi, Tugas (Deskripsi Kerja) yang melekat untuk dijalankan oleh

organisasi yang dibentuk, Strategi yang digunakan oleh organisasi baik untuk

menggerakkan sumber daya yang ada juga strategi untuk bagaimana mencapai

tujuan organisasi, yang didukung oleh Struktur dan Desain Organisasi jelas dan

tepat sesuai dengan kebutuhan daerah dalam upaya penyelesaian permasalahan

serta untuk menjalankan tugas dan fungsi yang didukung dengan Teknologi yang

dimiliki serta Kultur (Budaya) yang ada dimana organisasi itu berada dan

beraktivitas.

Dengan demikian dinyatakan bahwa perubahan dalam suatu organisasi

dalam rangka penyesuaian dengan lingkungan sekitarnya merupakan suatu

keharusan bagi suatu organisasi apabila organisasi itu ingin tetap mempertahankan

keberadaanya dan mengembangkan usahanya guna meningkatkan nilai tambah

organisasi tersebut terhadap lingkungan sekitarnya. Apabila organisasi tersebut

tidak mau berubah atau tidak mau menyesuaikan diri dengan tuntutan yang

berkembang maka organisasi tersebut tinggal menghitung hari menuju

kematiannya.

Keberhasilan dalam melakukan perubahan organisasi akan dapat

memberikan dampak bagi organisasi dalam penyelenggaraan tugas dan tanggung

jawab yang terwujud pada efektivitas organisasi. Pendapat Jones (1994).

Pemahaman para manajer mengenai efektivitas organisasi sangat mempengaruhi

kemampuannya guna memanfaatkan sumber daya yang dimiliki untuk mencapai


33

hasil (value creation). Semakin produktif dan efisien suatu organisasi dalam

memanfaatkan sumber daya yang dimilikinya maka semakin tinggi value creation

yang dicapainya. Lebih lanjut Jones menyatakan bahwa control (pengendalian),

innovation (penemuan) dan efficiency merupakan tiga penekanan dalam ranah

aktifitas dan interaksi manajemen puncak yang akan menentukan efektivitas dan

kemajuan organisasi.

Gambar 2.1
Kerangka Penelitian

Existing Condition :
Perubahan Future Condition :
- Tidak ada Kegiatan rutin/
Organisasi Badan - Fungsi undang-undang
pembangunan.
Lingkungan berjalan
- Strategi kerja vakum.
Hidup - Efektivitas Tupoksi Badan
- Penganggaran minim.

SUMBER
DESKRIPSI STRATEGI STRUKTUR TEKNO-
DAYA KULTUR
KERJA ORGANISASI ORGANISASI LOGI
MANUSIA

Sumber : Diolah oleh Peneliti berdasarkan Teori Hellriegel dan Slocum (1998:581)

2.3. Hipotesis Kerja

Berdasarkan kepada masalah penelitian, kajian pustaka dan kerangka

pemikiran maka hipotesis kerja penelitian ini sebagai berikut: “Perubahan

organisasi lingkungan hidup daerah pada Badan Lingkungan Hidup Kota Ternate

Provinsi Maluku Utara berkaitan dengan sumber daya manusia, deskripsi kerja,

struktur organisasi, strategi organisasi, teknologi dan kultur organisasi”.

Anda mungkin juga menyukai