Anda di halaman 1dari 5

Nama : Taufik Nur Hidayat

Nim : 2102030051
Matka kuliah : Pasar Modal B

PT. TIRTA FRESINDO JAYA

1.) Pihak-Pihak yang terkait


PT Tirta Fresindo Jaya
Warga Desa Cadasari
Ahmad Herwandi ( Aparat desa )
Irna Narulita ( Bupati Pandeglang )
Pemkab Pandeglang
2.) Kronologi Kejadian
Bisnis minuman kemasan yang dilakukan oleh PT Tirta Fresindo Jaya, anak usaha Mayora
Group diklaim telah menyerobot Gunung Karang di Kabupaten Pandeglang, Banten. Akibatnya,
warga yang telah bertahun-tahun bergantung pada mata air dari kaki gunung itu, mengalami
kekeringan. Mereka pun mengadu ke kantor bupati.Sayangnya, aduan mereka hanya dianggap
angin lalu, hingga berujung pada emosi warga dengan merusak gudang perusahaan.

Seperti apa konflik di sana? Berikut kisah lengkapnya seperti yang dilansir dari Program
Saga produksi Kantor Berita Radio (KBR). PT Tirta Fresindo Jaya, anak usaha Mayora Group
mulai masuk ke Banten di tahun 2012. Pasalnya di Desa Cadasari, yang posisinya berada di
perbatasan antara Kabupaten Pandeglang dan Serang, ada mata air yang masih jernih juga
melimpah, yaitu Mata Air Gunung Karang. Mata air itu, selama bertahun-tahun digunakan
masyarakat sekitar; petani maupun peternak, termasuk pesantren untuk bertani dan
kebutuhan sehari-hari.

Namun kehadiran perusahaan tersebut tak disadari warga setempat. Sebab


sepengetahuan mereka, PT Tirta Fresindo Jaya hanya berencana membangun gudang. Tapi
setahun setelahnya atau pada 9 Desember 2013, Kepala Dinas Tata Ruang Kebersihan dan
Pertamanan Kabupaten Pandeglang, mengeluarkan SK Nomor 600/548.b/SK-DTKP/XII/2013. SK
tersebut berisi pemberian persetujuan site plan kepada perusahaan. SK Kepala Dinas Tata
Ruang Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Pandeglang inilah yang dijadikan rujukan bagi
Kepala Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) Kabupaten Pandeglang mengeluarkan izin
lokasi pembangunan industri minuman ringan PT. Tirta Fresindo dengan Nomor 503/Kep.02-
BPPT/2014 tertanggal 30 Januari 2014.

Dari situ, baru lah warga tahu pabrik didirikan untuk pengelolaan air minum kemasan.
Dan, delapan mata air yang mengalir dari Gunung Karang ditimbun. Sejak itu, gelombang protes
hingga aksi demo dari petani, peternak, ulama, dan santri bermunculan. Alasannya,  Kecamatan
Cadasari dalam kawasan resapan air dan kawasan lahan pertanian pangan berkelanjutan
(LP2B). Belakangan, pada 21 November 2014, bekas Bupati Pandeglang Erwan Kurtubi
memutuskan menghentikan kegiatan investasi PT Tirta Fresindo Jaya lewat surat Nomor
0454/1669-BPPT/2014.Keputusan bekas Bupati Pandeglang itu rupanya disokong DPRD Provinsi
Banten yang mengimbau agar perusahaan menghentikan segala aktivitasnya.

Tapi apa yang terjadi? PT Tirta Fresindo, anak usaha Mayora Group, tetap melenggang
tak peduli. Salah satu warga, Sanusi, mengatakan perusahaan melanggar ketentuan soal
perizinan.  “Soal kepemilikan lahan didatangi oleh rombongan calo tanah. Mereka datang ke
perorangan terus dibeli lah. Kalau peruntukannya untuk industri kan bukan seperti itu
pembebasannya. Mereka atur dulu perizinan, atur dulu AMDALnya dan sebagainya. Setelah
sesuai, baru pembebasan lahan, ” ungkap Ustad Uci. Ahmad Herwandi dari Koalisi Hak Atas Air
mengatakan, proses perizinan dan pembangunan pabrik PT Tirta Fresindo Jaya sebenarnya
sudah bermasalah sejak 2014. “Inikan dulu pernah ada pembekuan izin oleh bekas Bupati yang
lama pak Erwan.

Namun di tahun 2016 tanpa sebab, PT Mayora itu sudah beroperasi. Wilayah itu
peruntukannya bukan untuk industri tetapi sebagai resapan air, itukan sudah melanggar Perda
RT RW,” kata Ahmad Herwandi. Hanya saja, Bupati Pandeglang Irna Narulita, tetap ngotot
melanjutkan investasi air minum kemasan PT Tirta Fresindo Jaya atas nama pembangunan. Hal
itu disampaikan Bupati Irna dalam coffee morning dengan Polda Banten di Pendopo Kabupaten
Pandeglang, awal April 2016.
Pasca insiden 6 Februari 2017, perusakan dan pembakaran backhoe, persoalan izin PT
Tirta Freshindo Jaya diambil alih Pemerintah Provinsi Banten.Pemprov pun membentuk satgas
yang dipimpin Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Banten, Hudaya
Latunconsina. Tugas satgas itu menganalisa perizinan yang dikantongi anak usaha Mayora
Group ini, serta dampak lingkungannya.  “Surat dari provinsi kan belum terbit. Diharapkan
tadinya hari ini terbit tetapi saya dapat tugas dari Bappenas dan Kemendagri. Kalau bisa kita
dorong besok pak gubernur bisa tandatangan. Persoalan air itu persoalan yang berbeda,
pengaturan air diatur oleh negara dan tidak boleh dikuasai oleh pelaku usaha,” kata Hudaya
Latuconsina.

Menurut Hudaya, dari hasil rapat bersama yang dihadiri perwakilan Pemkab
Pandeglang, Pemkab Serang dan beberapa SKPD pada 20 Februari 2017, diputuskan untuk
menghentikan proses pembangunan pabrik. Kata dia, hasil kajian bersama antara Pemkab
Pandeglang dan Serang ditemukan adanya pelanggaran terkait penguasaan air oleh korporasi
yang dilarang UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.

Selain itu, pendirian pabrik juga dinilai melanggar tata ruang dan wilayah karena
kawasan tersebut diperuntukan untuk pertanian. Sementara itu, Juru Bicara PT Mayora Group,
Sribugo Suratmo, mengaku pasrah dengan apapun keputusan pemerintah daerah.

“Nanti saya cek, saya tidak tahu informasinya. Kedua, itu pabrik baru belum beroperasi
full, baru pembangunan. Kalau  memang tidak diizinkan resmi dan segala macam ya
sudah,”ungkap  Sriboga.

3.) Etika dan Hukum yang dilanggar terkait pasar modal

Undang-undang Sumberdaya Air merupakan salah satu Undang-undang yang disusun


melalui pinjaman program Bank Dunia (Water Resources Sector Adjustment Loan) sebesar US$
300 juta. Undang-undang ini juga didasari atas cara pandang baru terhadap air, yaitu air sebagai
barang ekonomi yang mendorong terjadinya komersialisasi, komodifikasi dan privatisasi air.
Sebagai turunan, tentu saja air sebagai barang ekonomi menjadi landasan utama dalam
menyusun Undang-undang Sumberdaya Air.
Dari pemaparan tentang latar belakang masalah diatas maka penulis menganalisa
bahwa terjadi indikasi pelanggaran Etika Bisnis yang dilakukan oleh PT. Tirta Fresindo Jaya
diantara bukti-buktinya adalah sebagai berikut:

1. Mengacu konstitusi agraria di Indonesia, bahwa bumi, termasuk tanah, air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, merupakan sumber kekayaan agraria yang harus
dilindungi oleh Negara dan diperuntukkan sebesar-besarnya untuk keadilan dan kesejahteraan
rakyat sesuai Pasal 33 UUD 1945 dan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5/1960 oleh
karena itu seharusnya PT. Tirta Fresindo Jaya tidak melakukan eksploitasi dan privatisasi
sumber mata air uang merupakan sumber kekayaan yang menyangkut hajat hidup orang
banyak.

2. Warga Cadas Sari dan Baros yang sebagian besar merupakan petani telah dijamin
oleh UU No. 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (UU Perlintan) dalam
bentuk kepastian hak atas tanah dan lahan pertaniannya namun hak telah oleh PT. Tirta
Fresindo Jaya         .

3. Hak agraria petani Cadas Sari – Baros yang dilindungi UU No.41/2009 tentang
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan telah direnggut oleh PT. Tirta Fresindo
Jaya dimana seharusnya aktivitas pembangunan lainnya harus menjamin perlindungan fungsi
lahan pertanian yang ada.

4.) Kasus diselesaikan

Dari permasalahan tersebut harus dilakukan penindakan secara tegas dan juga
tepat agar tidak merugikan dari perusahaan terhadap warga setempat. Yang dilakukan
untuk permasalahan tersebut pemerintah setempat Pemda Pandeglang dan Serang
beserta jajaran yang terkait harus segera mengambil langkah -langkah tegas guna
menghentikan kegiatan privastisasi sumber mata air yang dilakukan oleh PT. Tirta
Fresindo Jaya.
Kementrian Perumahan Umum dan Pekerjaan Rakyat (PUPR) agar menghentikan
praktek penyusunan Kebijakan yang tertutup dan mengabaikan masukan masyarakat
serta perintah Konstitusi yang telah ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi dengan
menghindari terjadinya kembali praktek “Swastanisasi Terselubung” yang dilegalisir
lewat produk perundangan melalui RUU Sumber Daya Air.
Begituh juga dengan Presiden, Gubernur dan Bupati harus menjamin prioritas
pemenuhan dan penghormatan hak-hak dasar warga Cadas Sari – Baros atas kekayaan
agraria (bumi; tanah, air, udara dan seluruh kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya), sebagai sumber keberlangsungan dan keberlanjutan hidupnya, baik sebagai
petani di sekitar wilayah kawasan Cadasari sebagaimana telah diatur oleh konstitusi.
Oleh karena itu segenap elemen bangsa, publik secara luas khususnya
masyarakat Banten untuk bersama-sama mengawal dan menjadi bagian dari perjuangan
warga Cadas Sari dan Baros, memastikan keadilan agraria di wilayah Cadas Sari dan
Baros dapat dipenuhi. Harapannya agar semua pihak terkait untuk segera ditindaklanjuti
dalam menjaga hak-hak agraria dan keberlangsungan hidup warga Cadas Sari – Baros
dengan bersama-sama terus mengawal perjuangan warga Cadas Sari – Baros untuk
menyelamatkan tanah, air dan ruang hidup mereka.
Sehingga warga Cadas Sari – Baros bisa menikmati sumber mata air dari Gunung
Karang kembali untuk keberlangsungan hidup. Karena tindakan yang dilakukan oleh
pihak PT. Fresindo Jaya sangat merugikan warga dan tidak memikirkan kehidupan warga
setempat atas tindakannya mengeksploitasi sumber mata air untuk kepentingan
perusahaan. Padahal warga Cadas Sari – Baros sudah sangat lama menikmati sumber
mata air tersebut untuk keberlangsungan hidup.

Anda mungkin juga menyukai