Anda di halaman 1dari 11

Konflik dan Kerusakan Lingkungan (Pembangunan Pabrik Semen di Rembang)

Isu lingkungan bukanlah isu baru dalam hidup bermasyarakat, namun tidak sedkit tanda tanya
yang bermunculan dalam masyarakat untuk merespon isu-isu tersebut. Lingkungan baik dalam
makna alam maupun keadaan sosial dan ekonomi secara disadari maupun tidak memiliki sesuatu
keterikatan yang cukup erat, di mana manusia sebagai masyarakat sosial akan saling
mempengaruhi satu sama lain yang akan berdampak pada perubahan lingkungan baik itu alam,
keadaan sosial, serta ekonomi yang ada disekitarnya.

Salah satu isu yang sangat rentan saat ini adalah isu lingkungan dalam artian alam sebagai
tempat naungan masyarakat. Telah banyak masyarakat yang menyadari permasalahan ini dan
pemilik inisiatif untuk berkontribusi menjawab permasalahan tersebut, baik secara individu
maupun dalam suatu wadah organisasi. Banyaknya pabrik yang dibangun saat ini bukan hanya
memberikan sumber pendapatan bagi masyarakat sekitarnya namun pabrik juga bisa
mempengaruhi lingkungan sekitarnya. Pabrik didirikan untuk memberikan kesempatan kerja
penduduk malah menimbulkan masalah lingkungan yang serius. Timbulnya masalah lingkungan
ini berakibat bagi kesehatan penduduk disekitarnya. Keadaan lingkungan yang kurang baik lama-
kelamaan menimbulkan masalah bagi penduduk yang ada disekitar seperti wabah penyakit dan
kerusakan ekosistem. Hal tersebut akan memicu terjadinya konflik antara penduduk setempat
dan pihak investor. Seperti yang terjadi di Kendeng, Rembang, Jawa Tengah.

Sekilas tentang PT. Semen Gresik

PT Semen Gresik (Persero) Tbk adalah perusahaan yang bergerak dibidang industri semen dan
merupakan produsen semen yang terbesar di Indonesia. Pada tanggal 20 Desember2012, PT
Semen Indonesia (Persero) Tbk resmi berganti nama dari sebelumnya bernama PT Semen Gresik
(Persero) Tbk. Diresmikan di Gresik pada tanggal 7 Agustus1957 oleh Presiden RI
pertama dengan kapasitas terpasang 250.000 ton semen per tahun. Pada tanggal 8 Juli1991Semen
Gresik tercatat di Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabayasehingga
menjadikannya BUMN pertama yang go public dengan menjual 40 juta lembar saham kepada
masyarakat.

Mengutip pemberitaan Supriyanto (dalam industri.bisnis.com, 2013), pabrik semen di Rembang


ini merupakan salah satu dari dua proyek pembangunan pabrik baru yang sedang dikerjakan PT
Semen Indonesia (Persero) Tbk selain di Padang dan Sumatra Barat. PT Semen Indonesia
(Persero)

PT Semen Indonesia melakukan ekspansi, dengan pembangunan pabrik baru di Kabupaten Pati,
Jawa Tengah. Kabupaten Pati dipilih sebagai pembangunan pabrik semen karena memiliki
kekayaan alam yang unik, yaitu bentang alam kars di Pegunungan Kendeng Utara. Pegunungan
ini meliputi wilayah kabupaten Pati, Kudus, Gorongan, Blora, Rembang hingga Tuban Jawa
Timur. Kars adalah bahan baku utama pembuatan semen. Dari data Jaringan Masyarakat Peduli
Pegunungan Kendeng (JMPPK) menunjukan bahwa ekosistem kars kawasan pegunungan
kendeng utara memiliki sungai bawah tanah. Ia mampu mensuplai kebutuhan air rumah tangga
dan lahan pertanian seluas 15.873,9 Ha di Kecamatan Sukolilo dan 9.063,232 Ha di kecamatan
Kayen, Kabupaten Pati.

Kekayaan alam lainnya diatas tanah Pati adalah sumber daya hutan. Di lokasi yang akan
dijadikan pabrik semen, terdapat sekitar 2.756 hektar lahan perhutani yang saat ini dikelola oleh
kelompok LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan). 5.512 orang menggantungkan hidup pada
sumber daya hutan. Di sisi lain, kekayaan alam berupa bentang alam kars menjadi incaran
perusahaan semen. Pada titik inilah ketegangan mulai muncul. Masyarakat mengandalkan
ketergantungan hidupnya pada sumber daya alam, sementara perusahaan berkepentingan
melakukan eksploitasi untuk kepentingan komersial.

Ketegangan antarawarga Rembang, Jawa Tengah dengan PT Semen Indonesia dimulai sejak 16
Juni 2014 lalu. Saat itu PT Semen Indonesia mulai meletakkan batu pertama pembangunan
pabrik. Pembangunan pabrik tersebut menuai kontroversi panjang. Sebagian penduduk
Pegunungan Kendeng Utara menolak rencana pembangunan tersebut. Masyarakat lokal pun
melakukan penolakan. Penolakan tersebut dengan alasan bahwa pembangunan pabrik semen
yang akan menambang batu gamping di pegunungan kars akan mengancam ketahanan pangan
dan ketersediaan air yang telah dimanfaatkan untuk berbagai keperluan.

Berbagai macam aksi dilakukan, sedikitnya 100 warga terutama ibu-ibu petani asal Desa
Tegaldowo, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah mendirikan tenda di area pembangunan pabrik
semen sebagai salah satu aksi mereka yang menolak pembangunan Pabrik Semen Indonesia di
Kawasan Kendeng. Lokasi tenda yang mereka beri nama “Tenda Tolak Semen “ berada di tepi
jalan masuk ke proyek pembangunan pabrik semen di Kecamatan Bulu, Kabupaten Rembang.
Warga melakukannya sebagai aksi menolak pabrik semen di kawasan karst Gunung Kendeng,
yang melakukan penambangan dan merusak lingkungan tempat tinggal mereka. Warga
menyatakan akan terus bertahan hingga tuntutan mereka agar alat-alat berat dikeluarkan dari
areal tapak pabrik semen dan pertambangan dibatalkan, terpenuhi.

Sementara itu di Jakarta sejumlah petani asal Kendeng menggelar aksi mengecor kaki sebagai
bentuk protes terhadap keberadaan Pabrik Semen di Pegunungan Kendeng. Aksi tersebut mereka
gelar di depan Istana Negara dimotori oleh Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng
(JMPPK), yang didalamnya termasuk komunitas Sedulur Sikep. Aksi ini menjadi pilihan terakhir
setelah warga tidak pernah diberi kesempatan untuk menyuarakan berbagai pelanggaran yang
telah dilakukan selama persiapan proyek pembangunan pabrik semen PT Semen Indonesia di
Rembang ini. Warga tidak pernah tahu informasi yang jelas mengenai rencana pendirian pabrik
semen. Tidak pernah ada sosialisasi yang melibatkan warga desa secara umum, yang ada hanya
perangkat desa dan tidak pernah disampaikan kepada warga. Dokumen AMDAL tidak pernah
disampaikan terhadap warga. Tidak pernah ada penjelasan mengenai dampak-dampak negatif
akibat penambangan dan pendirian pabrik semen.

Upaya penambangan di kawasan karst Watuputih dinilai sejumlah kalangan merupakan sebuah
bentuk pelanggaran. Penggunaan kawasan karst Watuputih sebagai tempat penambangan batu
kapur, melanggar Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Jawa Tengah nomor
06/2010. Pasal 63 perda tersebut menetapkan areal menjadi kawasan lindung. (Mongabay.co.id,
2014)

Pemberitaan yang dimuat Mongabay.co.id pada tanggal 16 Juni 2014 menyebutkan bahwa
penebangan kawasan hutan tidak sesuai dengan persetujuan prinsip tukar menukar kawasan
hutan oleh Menteri Kehutanan. Surat Nomor S. 279/Menhut-II/2013 tertanggal 22 April 2013,
dalam surat tersebut menyatakan bahwa kawasan yang diijinkan untuk ditebang adalah kawasan
hutan KHP Mantingan. Perlu diketahui dalam Perda no 14 tahun 2011 tentang RTRW Kab.
Rembang Kecamatan Bulu tidak diperuntukkan sebagai kawasan industri besar.
(Mongabay.co.id, 2014)

Mengacu pada pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi, “Bumi, air dan ruang angkasa serta
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar –
besarnya untuk kemakmuran rakyat” maka sudah sewajarnya warga Rembang merasa diresahkan
dan berujung penolakan atas pembangunan pabrik semen PT Semen Indonesia. Semestinya
sumber daya alam dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kemakmuran rakyat bukan melahirkan
ketimpangan kepentingan antara pengusaha pabrik dan petani. Dilihat dari kasus – kasus
sebelumnya, penambangan dan pembangunan pabrik yang sedemikian rupa dapat mempersempit
lahan pertanian lalu menurunkan produktivitas pertanian pada wilayah tersebut hingga bagian
terburuknya adalah menyebabkan lemahnya ketahanan pangan daerah dan nasional. Tak hanya
masalah lahan, pembangunan proyek tersebut juga dapat menyebabkan kerusakan lingkungan di
sekitar, terganggunya keseimbangan ekosistem, hilangnya daerah resapan air, dan pencemaran
limbah yang terjadi akibat proses produksi semen. Dalam UU 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup disebutkan bahwa masyarakat memiliki hak
dan kesempatan berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, yang
artinya masyarakat berhak menolak segala macam tindakan asing yang dapat membahayakan
keberlangsungan lingkungan hidup mereka.
Jika dikaitkan dengan UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria), telah dijelaskan segala
hal tentang tanah termasuk didalamnya ditegaskan bahwa tanah Indonesia adalah seluruhnya
untuk kemakmuran bangsa bukan untuk kemakmuran asing. Konflik di Rembang menunjukkan
adanya kelalaian serta ketidakpedulian pemerintah terhadap nasib petani di daerah tersebut.
Pemerintah mencegah adanya usaha-usaha dalam lapangan agraria dari organisasi-organisasi dari
perseorangan yang bersifat monopoli swasta (UUPA Pasal 13).

Menyikapi konflik tersebut, Komnas HAM sejak Juni 2015 telah membentuk Tim Pemantauan
dan Penyelidikan Pemenuhan HAM Masyarakat di Sekitar Kawasan Karst. Tim yang dipimpin
oleh Komisioner Muh. Nurkhoiron tersebut hampir menyelesaikan laporannya untuk
disampaikan ke Presiden dan pihak-pihak terkait, tentang pelestarian ekosistem karst dan
perlindungan HAM. Dalam kajian itu, disimpulkan bahwa Pulau Jawa tidak layak lagi sebagai
wilayah untuk penambangan, karena daya dukungnya yang sudah sangat terbatas dan padat oleh
penduduk. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah membuat Indeks
Kebencanaan di masing-masing kabupatan/kota yang memetakan wilayah rawan bencana di
Indonesia khususnya di Pulau Jawa yang rentan oleh berbagai bencana. Pembangunan pabrik
semen yang disertai dengan penambangan batu gamping dikhawatirkan akan menambah
kerentanan bencana itu.

Selain itu, disampaikan tentang masih lemahnya data tentang dampak pabrik semen bagi
kesehatan dan penghidupan masyarakat. Padahal, banyak pabrik semen yang telah beroperasi
sejak puluhan tahun, akan tetapi kajian atas dampak-dampaknya, masih belum dilakukan secara
komprehensif. Padahal di China, ratusan pabrik semen telah ditutup karena menjadi sumber
polutan yang besar dan sangat serius.

Komunikasi Efektif

Luasnya wilayah Republik Indonesia dengan jenis geografi yang berbeda disetiap wilayahnya,
serta budaya yang beragam menjadi satu masalah tersendiri dalam pembangunan, sebab
kadangkala suatu program yang direncanakan tidak sesuai dengan kondisi masyarakat setempat.
Untuk itu perlu komunikasi yang baik antara masyarakat dengan pemerintah.

Menurut Everett M. Rogers, Komunikasi adalah proses dimana suatu ide dialihkan dari sumber
kepada suatu penerima atau lebih, dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka. Baik
secara lisan maupun tidak langsung secara tulisan melalui media (Onong, 2003;79). Rembang
seperti penjelasan di atas adalah memiliki sumberdaya alam yang cukup besar. Tetapi hal ini
menjadi dilema masyarakat karena adanya pendirian pabrik semen. Hal ini menjadi masalah
karena warga menolak pendirian tersebut. Sehingga, mengakibatkan konflik antara perusahaan,
pemerintah dan warga. Adanya konflik menunjukkan perencanaan komunikasi yang dilakukan
kurang tepat. Menurut Hamijoyo (2001), adanya konflik dalam aktivitas komunikasi adalah bukti
bahwa adanya kemacetan komunikasi. Menurut Effendy (1990), bahwa salah satu komponen
komunikasi yang perlu diperhatikan supaya komunikasi efektif adalah saluran atau media
komunikasi yang digunakan. Penggunaan media komunikasi tentunya akan mempermudah
masyarakat untuk mengerti isi pesan yang disampaikan oleh perusahaan.

Dalam tulisannya, Brulle (2010) mengemukakan bahwa komunikasi harus digunakan untuk
meningkatkan keterlibatan publik dalam pembuatan berbagai kebijakan dan opini publik
termasuk dalam proses pembangunan infrastruktur. Model komunikasi yang digunakan
perusahaan semen dikategorikan ”tidak efektif”. Hal ini disebabkan warga Rembang tidak
terlibat atau berpartisipasi dalam proses komunikasi secara langsung berkomunikasi tatap muka
dengan komunikator (pemerintah atau perusahaaan) sehingga menimbulkan konflik. Untuk
pembangunan yang stategis komunikasi yang efektif sangat diperlukan. Dengan demikian
program pembangunan akan berjalan dengan baik tanpa konflik. Disini sebelum melakukan
pembangunan maka langkah yang baik adalah terciptanya komunikasi antara warga dengan
pemerintah/perusahaan.

Menurut Garret Hardin, istilah konflik lingkungan yang terjadi di Rembang diatas adalah seperti
“The Tragedy of the commons”. Tragedy of the commons dimaksud adalah menggambarkan
berkurangnya sumber daya alam bersama (commons) karena setiap individu (yang
berkepentingan) bertindak secara bebas dan rasional untuk kepentingan diri sendiri tanpa
menyadari bahwa berkurangnya sumber daya bersama bertentangan dengan kepentingan
kelompok dalam jangka panjang.

Framing dari kemungkinan strategi komunikasi yang dilakukan adalah dengan manajemen krisis
yang bersifat dialog. (dalam Loefstedt) PT. Semen Indonesia melalui PT. Semen Gresik pada
dasarnya memiliki kewajiban untuk terus melakukan produksi, sehingga sebagai BUMN tidak
ikut membebani negara. Capaian sebagai perusahaan multi nasional juga pada dasarnya
merupakan prestasi sehingga tidak hanya mampu mencukupi dalam negeri saja melainkan juga
mampu masuk dalam pasar internasional. Alasan – alasan rasional ekonomi inilah yang
kemudian menjadi alasan kuat kenapa PT. Semen Gresik harus mendirikan tambang baru. Pada
dasarnya UU No. 41/1999 menetapkan peraturan penggunaan hutan untuk kepetingan non hutan,
tetapi hanya boleh diberikan pada hutan produksi. Kawasan pegunungan karst di Kendeng
kemudian melalui peraturan tersebut dapat digunakan sebagai hutan produksi.

Manajemen krisis yang dilakukan secara top down kemudian tidak memberikan kesempatan
adanya dialog antara masyarakat, perusahaan, dan pemerintah. Perusahaan yang telah
menggandeng pemerintah melalui izin yang telah diberikan kemudian berusaha untuk terus
mempertahankan usahanya agar dapat mendirikan pabrik. Masyarakat yang tidak memiliki
kesempatan untuk berdialog tentu akan memberikan perlawanan karena telah berusaha
memasuki zona nyaman yang telah dibentuk bertahun – tahun. Proses pengambilan keputusan
yang top down oleh pemerintah juga perlakuan perusahaan yang juga top down atas izin yang
diperoleh kemudian memberikan kesan bahwa tidak ada lagi usaha untuk dialog bersama.

Dampak negatif akibat penambangan dan pendirian pabrik semen.

Dampak terhadap kuantitas dan kualitas air

Sumberdaya air dapat terkena dampak dari pembangunan itu sendiri. Perubahan kondisi
lingkungan yang diakibatkan oleh pembangunan dapat berdampak pada sumberdaya air baik
secara kuantitatif maupun kualitatif. Peristiwa banjir yang sering terjadi tidak terlepas dari
dampak perubahan penggunaan lahan. Pencemaran pada air sungai dan air tanah yang sering
terjadi juga merupakan dampak dari pembangunan juga. Dengan memperhatikan daur hidrologi
serta proses hidrologi yang mengalami perubahan dapat dikaji dampak-dampak negatif yang
mungkin timbul yang disebabkan oleh proses pembangunan.

Dampak terhadap udara,

Efek Rumah Kaca (Green House Effect) disebabkan oleh : Perubahan kondisi Udara (iklim)
karena CO2 dan Gas Rumah Kaca yang lain, Pencemaran Atmosfir dan Kerusakan Lapisan Ozon

Dampak pada kebisingan


Dampak pada kebisingan atau dampak pada tingkat kebisingan yang terjadi didaerah proyek
pembangunan atau daerah disekitar proyek mempunyai pengaruh yang penting terhadap
kesehatan masyarakat, kenyamanan hidup masyarakat pada binatang ternak, satwa liar atau pun
gangguan pada ekosistem alam. Dampak pada kebisingan biasanya terjadi pada waktu proyek
tersebut sedang dibangun maupun sewaktu sudah berjalan. Di dunia Industri, sumber kebisingan
dapat di klasifikasikan menjadi 3 macam, yaitu

Mesin, kebisingan yang ditimbulkan oleh aktifitas mesi

Vibrasi, kebisingan yang ditimbulkan oleh akibat getaran yang ditimbulkan akibat gesekan,
benturan atau ketidakseimbangan gerakan bagian mesin. Terjadi pada roda gigi, batang torsi,
piston, fan, bearing, dan lain-lain.

Pergerakan udara, gas dan cairan, kebisingan ini di timbulkan akibat pergerakan udara, gas, dan
cairan dalam kegiatan proses kerja industri misalnya pada pipa penyalur cairan gas, outlet pipa,
gas buang, jet, flare boom, dan lain-lain.

Dampak terhadap cuaca dan iklim

Penyebab utama perubahan cuaca dan iklim adalah pembakaran bahan bakar fosil, seperti batu
bara, minyak bumi, dan gas alam, yang melepas CO2 dan gas-gas lainnya seperti CO, N2O,
NOx, SO2, kegiatan manusia lainnya juga menghasilkan CFC dari AC dan gas Aerosol, serta
aktivitas pengolahan gambut juga menghasilkan CH4, yang semuanya dikenal sebagai gas rumah
kaca ke atmosfir. Ketika atmosfir semakin kaya akan gas-gas rumah kaca ini, ia semakin menjadi
insulator yang menahan lebih banyak energi panas yang dipantulkan bumi. Pembangunan
gedung-gedung yang berdinding kaca juga akan memantulkan radiasi panas dari matahari,
sehingga daerah sekitar gedung ini akan mengalami peningkatan panas. Hal ini akan
mengakibatkan siklus iklim terganggu.

Dampak terhadap tanah

Kerusakan tanah terjadi sebagai akibat eksplorasi lahan yang tidak terkontrol dan kurang
memperhatikan unsur lingkungan guna mendukung jalannya pembangunan. Pembangunan dalam
realitanya sering kali lebih mengutamakan nilai ekonomis dan mengabaikan aspek lingkungan.
Secara lebih lanjut pembangunan berjalan ekspansif, diantaranya menyangkut segi pemanfaatan
ruang / lahan. Dalam pemanfaatannya sering kali aspek tata guna lahan yang sesuai dan
seimbang terabaikan sehingga pada akhirnya akan menimbulkan terganggunya kestabilan
ekosistem alam dan permasalahan lingkungan, diantaranya kerusakan dan pencemaran tanah.

Konflik dan Kerusakan Lingkungan

(Pembangunan Pabrik Semen di Rembang)

Analisis Konflik Pembangunan PT Semen Indonesia di Pegunungan Kendeng, Jawa Tengah


Konflik dimulai ketika terjadi bentrok antara PT Semen Indonesia (Persero) dengan warga
Kendeng saat peletakan batu pertama tambang semen. Menurut pengakuan warga, mereka tidak
pernah diberikan informasi sebelumnya mengenai pembangunan pabrik semen di wilayah mereka.
Bahkan, dokumen AMDAL juga tidak disosialisasikan kepada warga. Maka dari itu, warga tidak
mengetahui dampak-dampak negatif yang akan ditimbulkan oleh pembangunan tersebut apabila
benar dilakukan. Kemudian warga Kendeng kembali menggugat PT Semen Indonesia (Persero)
ke Mahkamah Agung (MA) atas penerbitan izin lingkungan kegiatan penambangan karst dan
pembangunan pabrik semen. Mereka menyertakan bukti yang memberatkan Gubernur Jawa
Tengah dan PT Semen Indonesia (Persero) dalam gugatan tersebut.
Perjuangan warga Kendeng pun dilanjutkan dengan aksi yang cukup mencengangkan di depan
Istana Negara Jakarta. Para petani Kendeng melakukan aksi demonstrasi dengan mengecor kaki
mereka di seberang Istana Merdeka pada bulan Maret 2017 lalu. Hal ini kemudian mencuri
perhatian seluruh masyarsakat Indonesia, termasuk Presiden Jokowi.
Demonstrasi yang kontroversial ini mengundang simpati dari berbagai kalangan masyarakat yang
ditunjukkan dari berbagai media di Indonesia. Melihat hal in, Presiden Jokowi pun membentuk
Tim Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) agar kegiatan penambangan di kawasan tersebut
tidak menyebabkan kerusakan lingkungan dalam jangka waktu pendek maupun jangka panjang
serta merekomendasikan kawasan mana yang boleh ditambang dan tidak boleh ditambang. Jokowi
pun memutuskan untuk menghentikan pembangunan pabrik semen di Kendeng hingga KHLS
selesai dilaksanakan. KLHS telah diatur dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2009.
Unsur Simbolik dalam Teori Komunikasi Lingkungan
Robert Cox dalam bukunya mengatakan komunikasi lingkungan adalah komunikasi yang meliputi
tindakan manusia yang didasarkan pada penggunaan simbol-simbol. Simbol-simbol tersebut
meliputi kepercayaan, sikap, tingkah laku, dan penggunaan bahasa. Misalnya dalam kasus ini,
simbol apa saja yang dapat memicu konflik antara warga Kendeng dengan PT Semen Indonesia.
Komunikasi lingkungan dapat menjadi ruang untuk berdialog untuk mengubah kebijakan tertentu
berdasarkan konsensus yang telah dicapai bersama, hal ini dapat terjadi di ruang publik (public
sphere). Lebih lanjut Cox juga mengungkapkan ada tiga prinsip tentang komunikasi lingkungan,
yaitu :
Komunikasi yang dilakukan oleh manusia merupakan komunikasi simbolik. Manusia akan
menggunakan simbol-simbol tertentu untuk menyampaikan pesannya sehingga orang lain dapat
memaknai pesan tersebut.
Keyakinan, sikap, dan perilaku yang berkaitan dengan alam dan lingkungan yang dimediasi oleh
proses komunikasi.
Ruang publik (ruang public) muncul sebagai ruang diskursif dalam konteks komunikasi
lingkungan hidup. Individu-individu memiliki kesempatan untuk mempengaruhi diskusi tersebut
dengan berargumen, berdebat, atau menanyakan tentang suatu topik yang sedang dibicarakan
bersama.
Penilaian Resolusi Konflik
Pemerintah berupaya menyelesaikan konflik berkepanjangan antara warga Kendeng dengan PT
Semen Indonesia (Persero) secara tuntas. Upaya yang kini diupayakan adalah Kajian Lingkungan
Hidup Strategis (KLHS). Seperti yang diungkapkan Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki
dalam m.cnnindonesia.com, beliau mengatakan bahwa Kajian Lingkungan Hidup Strategis
(KLHS) adalah solusi yang diberikan langsung oleh Presiden Joko Widodo, sehingga pemerintah
pusat tidak dapat mencegahnya.
Menurutnya, hasil KHLS akan menjadi dasar peninjauan terhadap semua yang telah dilakukan.
Hasil KLHS tersebut menjadi pegangan bagi seluruh pihak yang berseteru, termasuk bagi
pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Dalam KLHS juga akan dicantumkan daerah mana yang
boleh dilakukan pertambangan dan mana yang tidak diperbolehkan melakukan kegiatan
pertambangan.
Untuk dapat menilai proses resolusi konflik yang terjadi pada konflik warga Kendeng dengan PT
Semen Indonesia , terlebih dahulu kita harus memahami pengertian resolusi konflik dalam teori
komunikasi. Menurut Johan Galtung, teori segitiga konflik. Dia mengatakan bahwa konflik dapat
dilihat sebagai sebuah segitiga, dengan kontradiksi sikap (A) dan perilaku (B) pada puncak-
puncaknya. Melalui segitiga konflik ini, kita bisa melihat bahwa kontradiksi ditentukan oleh pihak-
-pihak yang bertikai, hubungan mereka, dan benturan kepentingan inheren antara mereka dalam
berhubungan. Sikap yang dimaksud termasuk persepsi pihak-pihak bertikai dan kesalahan persepsi
antara mereka dan dalam diri mereka sendiri. Jadi, ketika ada perbedaan persepsi atau
ketidaksesuaian antara sikap dan perilaku dapat dikatakan terjadi sebuah konflik.
Menurut Johan Galtung ada tiga tahap dalam penyelesaian konflik. Pertama, peacekeeping yaitu
proses menghentikan atau mengurangi aksi kekerasan melalui intervensi militer yang menjalankan
peran sebagai penjaga perdamaian yang netral. Kedua, peacemaking yaitu proses yang tujuannya
mempertemukan atau merekonsiliasi sikap politik dan stategi dari pihak yang bertikai melalui
mediasi, negosiasi, arbitrasi terutama pada level elit atau pimpinan. Ketiga, peacebuldingyaitu
proses implementasi perubahan atau rekonstruksi social, politik, dan ekonomi demi terciptanya
perdamaian yang langgeng. Melalui proses peacebuilding diharapkan negative peace (atau the
absence of violence) berubah menjadi positive peace dimana masyarakat merasakan adanya
keadilan social, kesejahteraan ekonomi dan keterwakilan politik yang efektif.
Dari teori diatas, dapat saya simpulkan bahwa resolusi konflik yang terjadi pada kasus pertikaian
antara warga Kendeng dengan PT Semen Indonesia adalah peacemaking, karena upaya yang
digunakan untuk menyelesaikan konflik tersebut berupa mempertemukan atau merekonsiliasi
kedua belah pihak yang bertikai dengan dimediasi oleh Tim Kajian LIngkungan Hidup Strategis
(Tim KLHS). Bulan April lalu, Warga Kendeng dan PT Semen Indonesia bertemu dalam sebuah
kesempatan bersama dengan Tim KLHS bentukan Presiden Joko Widodo untuk mengkaji ulang
kegiatan penambangan semen di daerah Rembang tersebut. Melalui mediasi ini diharapkan
masyarakat Rembang dan PT Semen Indonesia dapat mencapai sebuah konsensus bersama agar
pertikaian segera selesai. Jika KLHS telah selesai disusun semua pihak harus mematuhi aturan
yang terterda lama Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) tersebut.
Menurut saya, penyelesaian konflik yang digagas oleh Joko Widodo mengenai Kajian Lingkungan
Hidup Strategis (KLHS) nantinya akan cukup efektif karena dalam forum tersebut semua pihak
diberikan memberikan suara dan opini mereka sehingga diharapkan keputusan-keputusan yang
kemudian diambil tidak merugikan pihak manapun (win-win solution). Di samping itu, peristiwa
demonstrasi warga Kendeng mengecor kaki mereka di depan Istana Merdeka hingga ada seorang
petani yang meninggal akibat kelelahan saat melakukan demonstrasi tersebut membuat mediasi
menjadi jalan terbaik yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan konflik ini, karena selain
dianggap lebih humanis dan kekeluargaan, dalam menyelesaikan kasus Kendeng ini tidak bijak
jika hanya menggunakan jalur hokum. Kita harus menyadari bahwa pada kenyataannya dalam
berpolitik kekuasaan (power) yang dimiliki oleh kedua pihak ini pun berbeda.
Kesimpulannya, kurangnya komunikasi yang terjalin antara warga Kendeng dan PT Semen
Indonesia menjadi pemicu konflik ini, sehingga penyelesaiannya pun harus diselesaikan dengan
proses komunikasi juga yaitu mediasi. Warga Kendeng tidak terima dengan kegiatan
penambangan semen di daerah mereka dan kemudia melakukan pemberontakan karena PT Semen
Indonesia tidak melakukan sosialisasi mengenai kegiatan tersebut dan dampak yang ditimbulkan
dari kegiatan tersebut kepada masyarakat Kendeng.
Jika PT Semen Indonesia sebelumnya mengadakan pertemuan dengan warga Kendeng untuk
membahas mengenai perencanaan penambangan yang akan mereka lakukan, masyarakat akan
mengerti dampak yang akan ditimbulkan dari kegiatan penambangan tersebut sehingga
masyarakat bias lebih menghargai keputusan PT Semen Indonesia dan bersama-sama mengawasi
kegiatan tersebut dengan tertib dan damai. Namun, konflik sudah terjadi secara berkepanjangan.
Jokowi pun mengambil langkah untuk membentuk Tim Kajian Lingkungan Hidup Strategis untuk
mengkaji ulang kegiatan tersebut melalui proses mediasi yang dilaksanakan bulan April 2017 lalu.
KLHS diharapkan dapat menjadi win-win solution dan pedoman bagi kedua belah pihak dalam
mengambil setiap keputusan.

Anda mungkin juga menyukai