Anda di halaman 1dari 4

RILIS GEMPA DEWA

(Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas)


Paradoks pembangunan Bendungan Purworejo

Proyek pembangunan Bendungan Bener di Kabupaten Purworejo merupakan salah satu


proyek strategis nasional yang telah ditetapkan melalui Peraturan Presiden Nomor 56 Tahun
2018. Rencananya proyek bendungan senilai ± 4 triliun dan menjadi salah satu yang terbesar di
Indonesia tersebut akan dibangun diatas dua kabupaten yakni Purworejo dan Wonosobo, tiga
kecamatan (Kecamatan Bener, Kepil, dan Gebang), 11 desa (Desa Guntur, Nglaris, Limbangan,
Karangsari, Kedung Loteng, Wadas, Bener, Burat, Gadingrejo, Kemiri, dan Bener). Namun,
dalam rencana pelaksanaanya, proyek ini tidak berjalan sesuai dengan amanat perundang-
undangan, terutama dalam skema pengadaan tanahnya.
Sejatinya proyek ini mendapat penolakan keras dari rakyat khususnya rakyat Desa Wadas
yang tergabung dalam organisasi Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas (Gempa Dewa).
Mereka menolak keras lantaran Desa Wadas akan dijadikan tempat penambangan bahan material
berupa batuan Andesit untuk keperluan pembangunan Bendungan. Rencananya penambangan
bahan material akan dilakukan diatas lahan seluas 145 hektar yang selama ini menjadi tempat
tinggal dan sumber penghidupan lebih dari 500 pemilik tanah di Desa Wadas.
Penolakan ini bukan tanpa alasan. Sedikitnya 95% rakyat Desa Wadas menggantungkan
hidupnya pada perkebunan dan pertanian. Komoditas hasil perkebunan dan pertanian seperti
Durian, Karet, Aren, berbagai macam rempah-rempah, umbi-umbian, kayu keras, dan hasil bumi
lainnya selama ini menjadi penopang hidup mayoritas rakyat Wadas. Dalam hal ini,
pembangunan bendungan yang seharusnya menjadi instrumen untuk mencapai kemaslahatan
rakyat justru berpotensi mengeksklusi rakyat dari tanah dan sumber ekonominya yang pada
akhirnya akan memperpanjang rantai kemiskinan.

Kronologi
Pada tanggal 4 September 2017, permohonan izin lingkungan diterbitkan. Pengumuman
atas terbitnya izin lingkungan ini disebarluaskan melalui spanduk yang berisikan permintaan
saran, pendapat, dan tanggapan dari rakyat. Spanduk-spanduk tersebut dipasang di beberapa desa
dengan menyebutkan secara spesifik nama beberapa desa yang akan terdampak. Namun dalam
spanduk tersebut tidak tercantum nama Desa Wadas sebagai bagian yang terdampak proyek
bendungan. Namun, ketika izin lingkungan terbit pada tanggal 8 Maret 2018, Desa Wadas masuk
sebagai salah satu desa yang terkena dampak secara langsung pembangunan bendungan.
Memasuki tahun 2018, tepatnya tanggal 27 Maret 2018, pihak pemrakarsa yakni Balai
Besar Wilayah Sungai (BBWS) Serayu Opak mengadakan sosialisasi terkait pengadaan tanah
untuk pembangunan bendungan. Pada saat itu, rakyat Wadas memilih untuk walk out karena
sejak awal rakyat Wadas memang secara tegas menolak tanahnya dijadikan lokasi penambangan.
Kemudian pada tanggal 26 April 2018 diadakan konsultasi publik yang intinya hanya melakukan
pendataan bagi warga terdampak. Rakyat sempat memprotes dan meminta untuk diadakan forum
diskusi tetapi tidak difasilitasi. Pada tanggal 7 Juni 2018, izin penetapan lokasi terbit dan
dicantumkan dalam Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 590/41/2018. Dalam izin
penetapan lokasi tersebut, salah satu desa yang akan menjadi objek pembangunan bendungan
adalah Desa Wadas. Padahal dalam seluruh proses penyusunan Amdal, rakyat Desa Wadas sama
sekali tidak dilibatkan secara aktif.
Dengan fakta-fakta di atas, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah telah bersikap sewenang-
wenang dalam mengeluarkan izin lingkungan tanpa mempertimbangkan aspirasi rakyat yang
menolak. Pemerintah juga lalai karena tidak menerangkan kepada rakyat terkait dampak yang
akan dirasakan rakyat akibat penambangan bahan material. Dalam hal ini, pemerintah
seharusnya memberikan sosialisasi kepada masyarakat terkait dampak dari penambangan bahan
material. Selain itu, pemerintah juga wajib memberi pemahaman mengenai mekanisme dalam
hukum yang mengatur soal pengadaan tanah, pengeluaran izin lingkungan, dan hal-hal yang
berkaitan dengan pembangunan infrastruktur.
Sosialisasi kepada masyarakat harus dilakukan sampai pada taraf paham. Bukan hanya
sebatas formalitas dan pantas-pantasan saja. Paham disini harus diartikan bahwa masyarakat
benar-benar paham mengenai dampak penambangan bendungan baik sebelum maupun sesudah
beroperasi serta prosedur hukum yang berlaku dalam proses pembangunan bendungan. Dengan
tingkat pemahaman yang memadai, masyarakat dapat secara bebas dan sadar dalam menentukan
sikapnya tanpa ada paksaan.
Namun realitanya, pemerintah sama sekali tidak pernah memberikan sosialisasi kepada
masyarakat terdampak khususnya warga Desa Wadas yang tanahnya akan dikeruk habis-habisan
demi kepentingan segelintir orang. Fakta ini jelas-jelas bertentangan dengan amanat Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Peraturan
Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan, Peraturan Menteri Lingkungan
Hidup Nomor 17 Tahun 2012 tentang Keterlibatan Masyarakat dalam Proses Analisis Dampak
Lingkungan Hidup dan Izin Lingkungan.

Tinjauan Hukum
PP No 27 tahun 2012, dalam pasal 9 ayat (2) huruf b junto Bab II Lampiran PermenLH
No. 17 tahun 2012 telah mewajibkan Pemrakarsa untuk melakukan kegiatan Konsultasi Publik
terhadap masyarakat yang terkena dampak, masyarakat pemerhati lingkungan dan masyarakat
yang atas segala bentuk keputusan dalam proses AMDAL.Bagian Konsultasi Publik Bab II
Lampiran PermenLH No. 17 tahun 2012 mengatur bahwa “Konsultasi Publik juga merupakan
sarana untuk memilih dan menetapkan wakil masyarakat terkena dampak yang akan duduk
sebagai anggota komisi penilai amdal. Bahwa kemudian di Dalam Bagian Penetapan Wakil
Masyarakat Terkena Dampak dalam Komisi Penilai Amdal Bab II Lampiran PermenLH No. 17
tahun 2012 mengatur bahwa:
a. Masyarakat terkena dampak memilih dan menetapkan sendiri wakilnya yang duduk sebagai
anggota komisi penilai amdal;
b. Pemilihan dan penetapan wakil masyarakat tersebut dilakukan bersamaan dengan
pelaksanaan konsultasi publik;
c. Jumlah wakil masyarakat terkena dampak yang dipiloh dan ditetapkan untuk duduk sebagai
anggota komisi penilai amdal ditetapkan secara proposional dan mewakili aspirasi
masyarakat yang diwakilinya dalam persoalan lingkungan hidup.
Khususnya tentang proses pelibatan masyarakat dalam penyusunan Dokumen Amdal dan
penerbitan Izin Lingkungan telah menyebabkan Warga Desa Wadas tidak mendapatkan
informasi mengenai rencana usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap
lingkungan; Masyarakat tidak dapat menyampaikan saran, pendapat dan/atau tanggapan atas
rencana usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan; Masyarakat tidak
dapat terlibat dalam proses pengambilan keputusan terkait dengan rekomendasi kelayakan atau
ketidaklayakan atas rencana usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap
lingkungan.Tidak dilakukannya kewajiban Pemerintah Jawa Tengah dan Pemrakrasa untuk
melibatkan masyarakat dalam proses penerbitan Izin Lingkungan sebagaimana disebutkan di atas
menunjukan bahwa Pemerintah tidak memberikan akses informasi yang benar, jujur, dan tidak
diskriminatif bagi warga Desa Wadas dalam penerbitan Izin Lingkungan. Maka dapat
disimpulkan bahwa penerbitan Izin Lingkungan bertentangan dengan asas keterbukaan.
Selain itu, Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai hukum
dasar tertulis dan merupakan norma yang tertinggi memberikan pengaturan mengenai hak asasi
manusia terhadap lingkungan hidup hidup yang baik dan sehat, yaitu yang tercantum dalam Pasal
28 H ayat (1). Ketentuan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat ini kemudian dipertegas
dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Ketentuan ini merupakan
amanat reformasi untuk memperbaiki kondisi bangsa dan negara ke arah yang lebih baik.
Amanah UUD 1945 tersebut jelas memandang bahwa kebutuhan mendapatkan lingkungan yang
sehat adalah salah satu hak asasi. Negara berkewajiban memberi perlindungan dan jaminan
lingkungan sehat, oleh sebab itu negara harus memiliki otoritas kuat dalam mengelola dan
melindungi Lingkungan Hidup. Namun, melihat fakta-fakta yang terjadi dalam proses proyek
pembangunan Bendungan Bener telah bertolak belakang dari semangat reformasi.
Berdasarkant dari uraian pahit diatas maka kami Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa
Wadas (GEMPA DEWA) mendesak dan menuntut Pemerintah untuk :
a. Mencabut Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 590/41/2018 tentang Izin
Penetapan Lokasi Bendungan
b. Mencabut Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/20 Tahun 2018 tentang Izin
Lingkungan Rencana Pembangunan Bener
c. Menolak segala bentuk eksploitasi alam terkhusus di Desa Wadas
d. Menolak segala bentuk Intimidasi terhadap warga yang memperjuangkan hak atas
lingkungan hidup terkhusus warga masyarakat Desa Wadas
Demikian pernyataan ini dibuat, atas terpenuhinya segala aspirasi dan tuntutan ini kami
ucapkan terimakasih.

Anda mungkin juga menyukai