Anda di halaman 1dari 7

PENGADUAN DUGAAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA MENGENAI

LINGKUNGAN HIDUP (PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA UAP-BATUBARA)


OLEH NEGARA DAN/ATAU PT. SUMBER SEGARA PRIMADAYA

A. KASUS POSISI
1. Bahwa PT. Sumber Segara Primadaya (PT. S2P) merupakan badan hukum yang
usahanya adalah pengoperasian Pembangkit Listrik Tenaga Uap dengan Bahan
Bakar Batubara (PLTU) di Desa Karangkandri, Kecamatan Kesugihan,
Kabupaten Cilacap;
2. Bahwa PT. S2P memiliki beberapa pembangkit yang telah beroperasi antara
lain PLTU Cilacap Unit 1 dan 2 dengan kapasitas 2 x 300 MW dan Unit 3 dengan
kapasitas 1 x 660 MW;
3. Bahwa PLTU Cilacap Unit 1 dan 2 telah beroperasi dari tahun 2006 sedangkan
PLTU Cilacap Unit 3 telah beroperasi semenjak tahun 2015;
4. PLTU batubara merupakan salah satu usaha dan/atau kegiatan yang
menghasilkan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Limbah B3) yaitu fly ash
(abu terbang) dan bottom ash (abu dasar);
5. Bahwa berdasarkan dokumen ANDAL PLTU Cilacap unit 1 dan 2 menyatakan
bahwa PLTU unit 1 dan 2 menghasilkan abu terbang dan abu dasar sebesar
4500 ton/bulan. Sedangkan untuk unit 3 belum diketahui berapa jumlah yang
dihasilkan;
6. PT S2P telah memiliki dokumen perizinan Limbah B3 antara lain:
Surat Keputusan Bupati Cilacap Nomor 660.1/176/30 Tahun 2011 tentang
Pemberian Ijin Penyimpanan Limbah Berbahaya dan Beracun Kepada PT
Sumber Segara Primadaya (S2P).
Surat Keputusan Bupati Cilacap Nomor 660.1/404/30/Tahun 2016
tentang Izin Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3)
untuk Kegiatan Penyimpanan Limbah B3 kepada PT. Sumber Segara
Primadaya (S2P) Cilacap.
7. Bahwa berdasarkan SK Bupati Cilacap Nomor 660.1/404/30 Tahun 2016, PT
S2P diwajibkan membangun suatu bangunan penyimpanan dengan ketentuan
sebagai berikut :
Tempat penyimpanan Limbah B3 Dewatering Bin (TPS 1) berupa 2 (dua)
unit silo untuk memyimpan limbah B3 jenis Bottom Ash dengan diameter
7,6 M; tinggi 19,57 M dan Volumen 600 M3 dan berada pada titik koordinat
07o 41’ 10,43” LS dan 109o 05’ 28,25” BT.
Tempat penyimpanan Limbah B3 Ash Silo (TPS 2) berupa 3 unit Silo untuk
menyimpan limbah B3 jenis Fly Ash, dengan dimensi 7,80 m, dan tinggi 27
m Volumen 210 m3 dengan berlokasi pada titik koordinat : 07O 41’ 81,6” LS
dan 109o 00’ 17,1 BT.
8. Bahwa PT S2P juga telah melaporkan kegiatan pengelolaan limbah B3 kepada
bupati dalam bentuk lampiran Neraca Limbah B3. Adapun dokumen yang telah
dimiliki walhi antara lain :
Laporan Triwulan ke I Tahun 2017
Laporan Triwulan ke II Tahun 2017
Laporan Triwulan ke IV Tahun 2017
Laporan Triwulan ke I Tahun 2018
9. Bahwa secara singkat, dari laporan neraca limbah B3 yang diberikan kepada
bupati didapatkan fakta dokumen bahwa PT S2P telah melakukan
penyimpanan Limbah B3 kemudian memberikan Limbah B3 kepada
pemanfaat Limbah B3 yaitu PT Holcim Indonesia;
10. Bahwa dari hasil pengamatan warga dan Walhi didapatkan beberapa fakta
yang patut diduga terjadi pelanggaran pengelolaan limbah B3 antara lain:
Tempat tinggal warga di sekitar PLTU tercemar abu terbang dan abu dasar
hasil pembakaran abubatubara PLTU. (bukti : foto warga dan video);
PT S2P melakukan pelanggaran pengelolaan limbah B3 abu terbang dan
abu dasar yang sesuai dengan izin yang dimiliki. PT S2P melakukan
pembuangan limbah B3 abu terbang ke lapangan terbuka namun masih
dalam areal PLTU Cilacap. (bukti : video).

B. PELANGGARAN PERATURAN PER-UNDANG-UNDANGAN MENGENAI


LINGKUNGAN HIDUP
1. Berdasarkan Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014
tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (selanjutnya
disebut PP Limbah B3) mengatur bahwa “Setiap orang yang menghasilkan
Limbah B3 Wajib melakukan pengelolaan Limbah B3 yang dihasilkannya”;
2. Lebih lanjut pasal 12 ayat (1) PP Limbah B3 menyatakan “Setiap orang yang
menghasilkan Limbah B3 wajib melakukan penyimpanan Limbah B3” dan ayat
(3) “Untuk dapat melakukan Penyimpanan Limbah B3, Setiap orang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki izin pengelolaan limbah
B3 untuk kegiatan penyimpanan Limbah B3”;
3. Bahwa PT. S2P telah memenuhi ketentuan pada pasal 3 dan pasal 12 PP LB3
dengan memiliki izin pengelolaan limbah B3 untuk kegiatan penyimpanan
sementara Limbah B3, telah memiliki ash silo untuk menampung abu terbang
dan abu dasar, serta dari laporan neraca limbah mengenai penampungan dan
pemberian ke pihak ketiga;
4. Namun, berdasarkan fakta lapangan didapatkan suatu fakta yaitu PT. S2P juga
melakukan pembuangan Limbah B3 abu terbang dan abu dasar di lapangan
terbuka sesuai dari bukti yang dimiliki warga;
5. Bahwa atas temuan ini, berdasarkan Pasal 175 dan 176 ayat (1) PP Limbah B3
mengatur antara lain :
a) Pasal 175 “Setiap Orang dilarang melakukan Dumping (Pembuangan)
Limbah B3 ke media lingkungan hidup tanpa melakukan izin”;
b) Pasal 176 ayat (1) “Setiap orang untuk dapat melakukan Dumping
(Pembuangan) Limbah B3 ke media lingkungan hidup wajib memiliki izin
dari Menteri”;
6. Bahwa berdasarkan pengecekan dalam situs KLHK terkait dengan daftar
penerima Izin Dumping yang diterbitkan oleh Menteri tidak ditemukan Izin
Dumping yang diberikan oleh PT. S2P;
7. Bahwa PT. S2P diduga sampai dengan penyusunan pendapat hukum ini belum
memiliki izin Dumping ataupun Izin Pengelolaan Limbah B3 untuk kegiatan
Penimbunan Limbah B3;
8. Bahwa selain itu, PT S2P tidak melakukan pembuangan Limbah B3 ke media
tanah yang sesuai dengan kriteria yang sesuai dalam melakukan Penimbunan
Limbah B3 ke media tanah, hal ini diatur dalam pasal 176 ayat (4) PP Limbah
B3 yang menyatakan “Persyaratan dan tata cara permohonan dan penerbitan
izin dumping (pembuangan) Limbah B3 ke media lingkungan hidup berupa
tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan penimbunan limbah B3 sebagaimana yang dimaksud dalam
pasal 145 sampai dengan pasal 174”.
9. Bahwa dengan demikian, kasus pembuangan Limbah B3 abu terbang dan abu
dasar ke media tanah yaitu lapangan terbuka tanpa izin telah melanggar
ketentuan pasal 3 ayat (1), pasal 12 ayat (1) dan (3), pasal 175, pasal 176 ayat
(1) dan (4) Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan
Limbah Berbahaya dan Beracun;
10. Bahwa dalam mengatur mengenai sanksi aministratif, PP Limbah B3
membedakan antara jenis-jenis sanksi administratif yang dapat dijatuhkan
untuk pelanggaran kegiatan penimbunan limbah B3 dan pelanggaran kegiatan
dumping limbah B3;
11. Bahwa berdasarkan Pasal 249 PP Limbah B3, jenis sanksi administratif yang
dapat dijatuhkan terhadap pelanggaran kegiatan penimbunan limbah B3
adalah (a) teguran tertulis, (b) paksaan pemerintah, (c) pembekuan izin
pengelolaan limbah B3 untuk kegiatan penimbunan limbah B3, dan (d)
pencabutan izin pengelolaan limbah B3 untuk kegiatan penimbunan limbah
B3;
12. Bahwa berdasarkan pasal 250 PP Limbah B3, jenis sanksi adminsitratif yang
dapat dijatuhkan terhadap pelanggaran kegiatan dumping limbah B3 ke media
tanah adalah (a) paksaan pemerintah, (b) pembekuanizin dumping
(pembuangan) limbah B3, atau (c) pencabutan izin dumping (pembuangan)
limbah B3;
13. Bahwa penjatuhan setiap jenis sanksi administrative bersifat bertahap, dalam
arti bahwa misalkan untuk pelanggaran kegiatan penimbunan limbah B3,
paksaan pemerintah hanya bias dijatuhkan apabila PT S2P tidak menindak
lanjuti teguran tertulis dalam jangka waktu yang telah ditentukan, begitu pula
untuk sanksi administrative berupa pembekuan dan pencabutan izin.
14. Bahwa berdasarkan pasal 249 ayat (3) danpasal 250 ayat (3) PP Limbah B3,
jenis-jenis paksaan pemerintah yang dapat dijatuhkan berupa:
a) penghentiansementarakegiatan;
b) pemindahansaranakegiatan;
c) penutupan saluran drainase (khusus untuk pelanggaran kegiatan
penimbunan limbah B3);
d) pembongkaran;
e) penyitaan terhadap barang atau alat yang berpotensi menimbulkan
pelanggaran;
f) tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran dan
tindakan memulihkan fungsi lingkungan hidup;
15. Berdasarkan pasal 80 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungandan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH), pengenaan
paksaan pemerintah dapat dijatuhkan tanpa di dahului teguran apabila
pelanggaran yang dilakukan menimbulkan:
a) Ancaman yang sangat serius bagi manusia dan lingkungan hidup;
b) dampak yang lebih besar dan lebih luas jika tidak segera dihentikan
pencemaran dan/atau perusakannya; dan/atau
c) kerugian yang lebih besar bagi lingkungan hidup jika tidak segera
dihentikan pencemaran dan/atau perusakannya;
16. Bahwa dengan demikian, tindakan PT S2P yang menimbun dan membuang
limbah B3 di lapangan terbuka tanpa izin dapat menimbulkan ancaman yang
sangat serius bagi kesehatan manusia sehingga PT. S2P dapat langsung
dijatuhkan sanksi administratif paksaan pemerintah;
17. Bahwa Pasal 65 ayat (5) dan 70 ayat (2) huruf b UU PPLH memberikan hak
kepada masyarakat untuk melakukan pengaduan akibat dugaan pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Lebih lanjut lagi, dalam pasal 3
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pedoman
Penerapan Sanksi Administratif di Bidang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup diatur bahwa Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota
dapat menjatuhkan sanksi administratif kepada penanggungjawab usaha
dan/atau kegiatan berdasarkan pengaduan masyarakat.

C. KETENTUAN PER-UNDANG-UNDANGAN MENGENAI HAK ASASI MANUSIA


1. Bahwa hak asasi manusia diakui di Indonesia melalui kewajiban Negara, dalam
hal ini untuk memastikan terpenuhinya, terlindunginya, dan penghormatan
Negara terhadap hak asasi manusia yaitu kewajiban Negara untuk aktif
dan/atau pasif dalam sebuah peraturan per-Undang-Undangan yang berlaku di
Indonesia;
2. Bahwa berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (UUD NRI Th. 1945) Pasal 1 ayat (3) menyatakan “Negara Indonesia
adalah negara hukum.” Sehingga segala sesuatu seharusla sesuai dengan
ketentuan peraturan per-Undang-Undangan;
3. Bahwa selanjutnya dalam Bab XA Pasal 28H (1) UUD NRI Th. 1945
menyatakan “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat
tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan.”;
4. Selanjutnya dalam Pasal 28H (2) UUD NRI Th. 1945 “Setiap orang berhak
mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan
dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.”;
5. Bahwa dalam ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun
1999 Tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) Bab III tentang Hak Asasi Manusia
Dan Kebebasan Dasar Manusia Pasal 9 ayat (1) Setiap orang berhak untuk
hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya;
selanjutnya dalam ayat (2) Setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai,
bahagia, sejahtera lahir dan batin; dan dalam ayat (3) Setiap orang berhak atas
lingkungan hidup yang baik dan sehat;
6. Bahwa kelayakan hidup juga ditegaskan dalam Hak Kesejahteraan Pasal 40 UU
HAM Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang
layak;
7. Pasal 12 (1) “Negara Pihak dalam Kovenan ini mengakui hak setiap orang
untuk menikmati standar tertinggi yang dapat dicapai atas kesehatan fisik dan
mental”;
8. Selanjutnya dalam ayat (2) “Langkah-langkah yang akan diambil oleh Negara
Pihak pada Kovenan ini guna mencapai perwujudan hak ini sepenuhnya, harus
meliputi hal-hal yang diperlukan untuk mengupayakan:
a) Ketentuan-ketentuan untuk pengurangan tingkat kelahiran-mati dan
kematian anak serta perkembangan anak yang sehat;
b) Perbaikan semua aspek kesehatan lingkungan dan industri;
c) Pencegahan, pengobatan dan pengendalian segala penyakit menular,
endemik, penyakit lainnya yang berhubungan dengan pekerjaan;
d) Penciptaan kondisi-kondisi yang akan menjamin semua pelayanan dan
perhatian medis dalam hal sakitnya seseorang;
9. Bahwa melihat ketentuan-ketentuan diatas, bentuk perlindungan dan
pemenuhan Negara mengenai HAM adalah melalui peraturan per-Undang-
Undangan, yaitu dengan membuat instrument perlindungan mengenai
penjaminan Hak atas lingkungan hidup yang baik sebagai hak dasar manusia
dan/atau melaksanakan peraturan per-Undang-Undangan mengenai
lingkungan hidup sebagai upaya untuk memastikan terpenuhinya hak dasar
manusia mengenai lingkungan hidup;
10. Bahwa begitu pula kewajiban setiap orang, baik perseorangan maupun badan
hukum yaitu adalah untuk menghormati HAM orang lain. Bentuk
penghormatan yang diwajibkan oleh ketentuan per-Undang-Undangan diatas
adalah dengan cara melaksanakan ketentuan peraturan per-Undang-Undangan
mengenai lingkungan hidup, baik kewajiban yang harus dilakukan maupun
larangan yang tidak boleh untuk dilakukan.

D. KEWENANGAN KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA


1. Bahwa dalam UU HAM Pasal 75 Komnas Hak Asasi Manusia bertujuan:
a. mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi
manusia sesuai dengan Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, dan Piagam
Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia;
dan
b. meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna
berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuan
berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.
2. Bahwa selanjutnya, Pasal 76 UU HAM “Untuk mencapai tujuannya, Komnas
HAM melaksanakan fungsi pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan,
dan mediasi tentang hak asasi manusia.”
3. Bahwa dalam Pasal 89 ayat (3) UU HAM Untuk melaksanakan fungsi Komnas
HAM dalam pemantauan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76, Komnas HAM
bertugas dan berwenang melakukan :
a. pengamatan pelaksanaan hak asasi manusia dan penyusunan laporan hasil
pengamatan tersebut;
b. penyidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam
masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terdapat
pelanggaran hak asasi manusia;
c. pemanggilan kepada pihak pengadu atau korban maupun pihak yang
diadukan untuk dimintai dan didengar keterangannya;
d. pemanggilan saksi untuk diminta dan didengar kesaksiannya, dan kepada
saksi pengadu diminta menyerahkan bukti yang diperlukan;
e. peninjauan di tempat kejadian dan tempat lainnya yang dianggap perlu;
f. pemanggilan terhadap pihak terkait untuk memberikan keterangan secara
tertulis atau menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai dengan
aslinya dengan persetujuan Ketua Pengadilan;
g. pemeriksaan setempat terhadap rumah, pekarangan, bangunan, dan
tempat-tempat lainnya yang diduduki atau dimiliki pihak tertentu dengan
persetujuan Ketua Pengadilan; dan
h. pemberian pendapat berdasarkan persetujuan Ketua Pengadilan terhadap
perkara tertentu yang sedang dalam proes peradilan, bilamana dalam
perkara tersebut terdapat pelanggaran hak asasi manusia dalam masalah
publik dan acara pemeriksaan oleh pengadilan yang kemudian pendapat
Komnas HAM tersebut wajib diberitahukan oleh hakim kepada para pihak.
4. Bahwa selanjutnya dalam ayat (4) Untuk melaksanakan fungsi Komnas HAM
dalam mediasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76, Komnas HAM bertugas
dan berwenang melakukan :
a. perdamaian kedua belah pihak;
b. penyelesaian perkara melalui cara konsultasi, negosiasi, mediasi,
konsiliasi, dan penilaian ahli;
c. pemberian saran kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketa
melalui pengadilan;
d. penyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak asasi
manusia kepada Pemerintah untuk ditindaklanjuti penyelesaiannya; dan
e. penyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak asasi
manusia kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk
ditindaklanjuti.

Anda mungkin juga menyukai