Nasional
2 November 2022 06:00 Diperbarui: 2 November 2022 06:44 182 0 0
Dalam pengertian umum, hukum adat merupakan hukum kebiasaan yang dirumuskan
berdasarkan tingkah laku masyarakat yang tumbuh dan berkembang sehingga dan
menjadi sebuah hukum yang tidak tertulis namun tetap ditaati oleh masyarakat.
Seleanjutnya Van Vollen Hoven berpandangan bahwa hukum adat adalah
keseulurhan aturan mengenai tingkah laku yang memiliki sanksi yang tegas namun
tidak dikodifikasikan. Kemudian oleh negara, bentuk pengakuan terhadap hukum
adat yang ada dituangkan menjadi salah satu landasan dasar negara dalam pasal 18B
ayat 2 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang menjelaskan sebagai berikut;
negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
berserta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
diatur dalam undang-undang". Di Indonesia, hukum adat juga merupakan salah satu
aturan hukum tidak tertulis yang paling tua jauh sebelum aturan-aturan hukum
lainnya ada. Hal ini dikarenakan hukum adat merupakan suatu aturan hukum tidak
tertulis yang dijalankan secara turun-temurun oleh masyarakat.
Tidak hanya sampai disitu, hukum adat dijadikan landasan bagi hukum tanah
nasional untuk yang sebagaimana kita ketahui terkodifikasi ke dalam suatu bentuk
peraturan yang kita kenal dengan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang
Pokok-pokok Agraria atau UUPA. UUPA sendiri berhasil mengakhiri kebhinekaan
perangkat hukum yang mengatur bidang pertanahan dan menciptakan hukum tanah
nasional yang tunggal dari dualisme antara hukum belanda dan juga hukum adat kala
itu. Selain menciptakan perangkat hukum tanah yang tunggal, UUPA juga
mengunifikasikan hak-hak penguasaan atas tanah juga hak-hak jaminan atas tanah,
menghapus semua pengaturan perangkat-perangkat hukum tanah yang lama, juga
mengkonversikan beberapa aturan lama menjadi satu hak yang diatur dalam UUPA.
Pernyataan mengenai hukum adat dalam UUPA sendiri dapat kita jumpai dalam;
B. Pasal 5 UUPA
C. Penjelasan Pasal 5
D. Penjelasan pasal 16
E. Pasal 56
1
Pengejawantahan hukum adat umumnya hanya di lihat dan diartikan hanya sebagai
hukum positif yang merupakan suatu rangkaian norma-norma hukum yang menjadi
pegangan bersama dalam kehidupan bermasyarakat dan berbeda dengan norma-
norma hukum tertulis. Namun pada hakikatnya, hukum adat sebagai hukum tidak
tertulis merupakan rumusan-rumusan para ahli hukum dan juga hakim yang
bersumber dari rangkaian kenyataan mengenai sikap dan tingkah laku para anggota
masyarakat hukum adat yang dalam penerapannya memerlukan kesadaran yang
penuh dalam menjalankan norma-norma aturan tersebut agar dapat mewujudkan
kesadaran hukum serta dapat membantu dalam menyelesaikan kasus-kasus konkret
yang terjadi di dalam masyarakat adat itu sendiri.
Dalam hukum adat, hak penguasaan atas tanah yang tertinggi adalah hak ulayat yang
menandung dua aspek hukum yakni keperdataan dan hukum publik. Subyek hak
ulayat adalah masyarakat hukum adat, baik teritorial ataupun genealogik yang
merupakan bentuk bersama antara masyarakat hukum adat. Di bawah hak ulayat
adalah hak kepala adat dan para tetua adat yang juga sebagai petugas masyarakat
hukum adat yang berwenang untuk mengelola, mengatur, dan memimpin
peruntukan, penguasaan, penggunaan dan pemeliharaan tanah bersama tersebut yang
beraspek pada hukum publik semata. Kemudian yang terakhir adalah hak atas tanah
yang dikuasai oleh masyarakat adat yang bersangkutan. Sebagai hak-hak perorangan
yang konkret, pengaturannya diatur dalam hukum perdata namun pengaturan
mengenai penggunaan dan penguasaannya yang diatur oleh kepala adat termasuk ke
dalam hukum publik. Dalam hukum tanah adat tidak dikenal lembaga hak jaminan
atas tanah sebagaimana pengertian jaminan atas tanah di masa ini.
Refrensi :
Hukum Agraria Indonesia : Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria,
Isi dan Pelaksanaannya/Boedi Harsono.- Jakarta : Universitas Trisakti 2013. ISBN :
978-602-9463-31-6
https://jdih.perpusnas.go.id/detail-buku-hukum/69820
https://www.gramedia.com/literasi/hukum-adat/
2
Pertanian Versus Pertambangan:
Bagaimana Petani Bertahan?
30 November 2022 21:34 Diperbarui: 30 November 2022 22:41 176 2 1
Jika eksploitasi bicara pada aspek pemanfaatan sumberdaya yang berlebihan, maka
ketidakadilan memfokuskan pada konsekuensi atas pola pemanfaatan yang dipilih
oleh aktor. Secara ringkas, pemanfaatan sumberdaya alam (SDA) yang dilakukan
masyarakat banyak dilakukan secara berlebihan sehingga menimbulkan kerusakan
pada SDA tersebut.
Desa Batujajar merupakan salah satu desa di Kabupaten Bogor yang memiliki
sumber daya alam yang melimpah yaitu lahan pertanian di permukaan bumi dan
kandungan batu yang melimpah di dalam perut bumi. Sebab itulah barangkali desa
ini dinamai "batujajar" merujuk pada potensi sumberdaya mineral yang dimiliki.
Pada masa dimana kandungan perut bumi belum dieksploitasi, sebagian besar warga
menyandarkan sistem penghidupan pada pertanian. Aktivitas pertanian menjadi
sumber ekonomi utama dalam meningkatkan perekonomian keluarga.
Mata pencaharian kemudian perlahan beralih ketika didapati besarnya potensi batu di
desa ini. Tentu hal tersebut menarik minat swasta untuk berinvestasi pada bidang
pertambangan terutama galian C.
3
Adanya aktivitas pertambangan batu memicu terjadinya peristiwa alih fungsi lahan.
Lahan pertanian yang ada di sekitar gunung mengalami alih fungsi salah satunya
menjadi tempat penampungan tanah hasil keruk gunung (timbunan tanah dan batu).
Sebelum melakukan pertambangan, perusahaan melakukan negosiasi dengan
masyarakat pemilik lahan di sekitar gunung untuk dijual, sehingga banyak yang
merelakan lahannya untuk dialihfungsikan.
Dampak pertambangan ini juga dirasakan oleh petani yang lahannya berada dekat
dengan jalan raya. Aktivitas distribusi batu yang dilakukan perusahaan menggunakan
truk, membuat polusi tersebar dimana-mana dan berdampak pada kesehatan tanaman.
Selain itu, polusi juga dihasilkan dari adanya aktivitas pengeboman tambang yang
membuat banyaknya pasir bertebaran, juga berakibat pada retaknya rumah-rumah
penduduk.
Selain itu, dampak yang dirasakan yaitu bencana seperti longsor, dan selokan yang
tertutup menghambat aliran sungai. Padahal air tersebut digunakan untuk mengairi
lahan pertanian warga dan keperluan rumah tangga. Sehingga membuat perairan di
desa tersebut tidak berjalan dengan baik.
Potensi air yang terhambat membuat petani yang menanam komoditas padi
kebingungan dalam mempertahankan aktivitas pertaniannya. Padi sebagai komoditas
yang memerlukan banyak air tentu mengalami gangguan dalam proses
pertumbuhannya.
Petani melakukan berbagai hal sebagai upaya adaptasi atas dampak pertambangan,
terutama mengembangkan pola-pola baru dalam merespons perubahan lingkungan.
Beberapa hal dilakukan agar dapat bertahan untuk tetap hidup dari kegiatan bertani.
Berikut adalah beberapa aktivitas yang dikembangkan oleh petani diantaranya
adalah;
4
berhenti berproduksi karena beberapa alasan. Situasi ini dimanfaatkan oleh petani
dengan melakukan tumpang sari hingga perusahaan kembali berproduksi.
Kedua, tanaman yang terkena penyakit akibat polusi dari aktivitas pertambangan
membuat masyarakat tani secara terpaksa melakukan perawatan tanaman dengan
pupuk/pestisida kimia. Hal tersebut dilakukan agar tanaman dapat terhindar dari
penyakit dan dapat tumbuh dengan baik dan hasilnya dapat sesuai dengan kebutuhan
serta harapan masyarakat tani
Referensi:
5
Hilangnya HAM dalam
Konflik Agraria
26 Oktober 2022 15:49 Diperbarui: 26 Oktober 2022 16:00 216 0 0
+
Bukanlah hal yang baru, konflik agraria ternyata merupakan sebuah persoalan yang
sudah ada di Indonesia sejak masa kepenpududukan kolonial Belanda, konflik ini
dilatar belakangi adanya ketimpangan kepemilikan terhadap sebuah wilayah kelola
antara pejabat publik yang diiberikan hak ijin dengan masyarakat lokal ,
pengambilahan lahan tersebut menjadikan masyarakat terekslusi dan seringkali
peristiwa tersebut diwarnai kekerasan sehingga menimbulkan perlawan dari
masyarakat.
Konflik ini bersifat kronis, masif, meluas, dan berdimensi hukum, sosial, politik,
serta ekonomi. Kondisi ini kemudian diperburuk dengan tidak adanya evaluasi
terhadap pemberian ijin pengelolaan terhadap suatu lembaga pemerintahan,
pemerintah yang bersifat defensif ketika masyarakat coba untuk mengartikulasikan
permasalahan yang terjadi, tidak adanya sebuah lembaga lintas sektor yang memiliki
wewenang khususu untuk menyelesain permasalahan ini, hal tersebut yang kemudian
yang menjadikan konflik agraria tidak pernah selesai (Rachman, 2013).
Pada masa orde lama, Setelah kemerdekaan rakyat merasa mereka memiliki hak
untuk merebut kembali tanah peninggalan nenek moyangnya yang mereka serahakan
secara paksa kepada pemerintah Belanda. Setelah Belanda pergi dari Indonesia
6
banyak tanah perkebunan milik Belanda yang ditinggalkan Belanda dan menjadi
terlantar kemudian tanah tersebut diduduki oleh rakyat dan difungsikan kembali
sebagai lahan pertanian. Peristiwa penarikan tanah kembali oleh rakyat dikenal pada
saat itu dengan nama pendudukan liar oleh petani.
Persoalan baru muncul ketika disepakatinya persetujuan KMB pada tahun 1949.
Pemerintah RIS melalui perjanjian KMB tersebut memberikan pengakuan hak orang
asing akan tanah, yaitu hak konsesi dan hak erfpacht serta hak untuk mengusahakan
selanjutnya. Sudah mulai terlihat konflik kepentingan antara rakyat yang merasa
memiliki hak atas tanah tersebut dan pengusaha, pendudukan lahan oleh petani
dengan demikian memiliki hukum semu berdasarkan riwayat turun-temurun
bersinggungan dengan pengusaha perkebunan memiliki hukum yang sah.
Tidak berhenti pada masa orde lama, ketika orde baru berkuasa di Indonesia konflik
agraria mengalami eskalasi yang sangat signifikan, rezim pembangungan sedang
gencar-gencarnya dikampanyekan, dibukanya kran investasi menjadi salah satu
pemicu pembukaan lahan besar-besaran yang menjadi penyebab konflik agraria. Ada
dua bentuk konflik yang sangat umum terjadi pada saat itu, yang pertama adalah
konflik yang terjadi antara petani dengan swasta, terutama karena keluarnya HGU di
atas tanah yang selama ini telah dikuasai oleh rakyat secara turun menurun, tipologi
ini sama halnya yang terjadi pada masa orla ketika masyarakat merasakan memiliki
hak atas tanah tersebut bersinggungan dengan pengusaha yang memiliki landasan
hukum yang lebih kongkrit dan sah. Kemudian yang kedua adalah konflik antara
petani dengan pemerintah terkait dengan pembebasan lahan di atas tanah yang telah
dikuasai atau dimiliki petani untuk pembangunan berbagai kepentingan umum, jenis
seperti ini masih sering terjadi sampai saat ini. Konflik agraria terus terjadi ketika
kita memasuki era reformasi, bahkan konflik agraria saat ini semakin masif dengan
fenomena yang sangat menonjol adalah reclaiming petani terhadap tanah-tanah yang
dikuasai oleh swasta baik untuk kegiatan perkebunan, pertambangan, peternakan dan
sebagainya. (Darini, n.d.)
Undang-Undang "Perampasan"
Mulai dari diksi "penguatan hak pengelolaan" Pasal 129 RUU Cipta Karya, hal ini
disinyalir menghidupkan kembali domein verklaring pada masa kolonialisme
7
belanda, Karena dalam UUPA tidak diatur mengenai HPL, yang menjadi aneh adalah
penguatan apa yang dimaksud oleh pasal tersebut, dalam pasal tersebut dijelaskan
pemerintah pusat memiliki kebebasan mendelegasikan hak tersebut kepada lembaga
yang dikehendaki, hal ini jelas semakin memperkuat kedudukan pemerintah sebagai
pemegang kekuasaan sama halnya dengan prinsip domein verklaring (Wardhani,
2020). Hal ini jelas bertentangan dengan Putusan MK No.001-021-022/PUU-1/2003
yang menjelaskan bahwa HMN adalah kebijakan pengaturan, pengurusan,
pengelolaan dan pengawasan bukan berarti negara memiliki hak milih atas tanah
tersebut sehingga bisa dibagi-bagi dengan mudah. Ditambah lagi dengan alur
perijinan yang dipermudah hal ini semakin memperkuat keduduan perusahaan dalam
menjalankan kepentingannya (Kartika, 2020).
Untuk melihat lebih jelasnya mengenai relasi yang terbentu dalam konflik agraria
bisa kita amati aktor-aktor yang ada di DPR, menurut Defbry Margiansyah Peneliti
P2P LIPI sekaligus Pegiat Marepus Corner sebanyak 318 orang anggota Dewan
8
Perwakilan Rakyat (DPR) merupakan pebisni, 5 sampai 6 orang dari 10 anggota
DPR adalah pebisnis. Jumlah ini lebih dari setengah anggota DPR (55 persen),
sedangnya yang non pebisnis hanya 45 persen (Rahma, 2020). Selain itu ditemukan
adanya pola keterkaitan antar bisnis yang dijalakan denang penempatan di dalam
DPR Komisi VII DPR membidangi sektor energi yang didalamnya terdapat para
pengusaha energi yang ikut membahas regulasi. Dengan komposisi yang seperti ini
jelas berpengaruh terhadap pengambilan keputusan, Haris dalam (Azhar, 2012)
bahwa pada dasarnya motivasi utama para pengusaha atau 'taipan' terjun dalam dunia
politik adalah untuk mempertahankan kepentingan bisnisnya tidak ada yang lain,
Undang-Undang cipta kerja menjadi salah satu contohnya. Bisa kita amati muali dari
proses yang tidak demokratis, banyak aktor-kaotr yang terlibat dalam perumusan UU
tersebut ternyata memiliki kaitan baik secara langsung atau tidak langsung dengan
perusahaan, hasilnya bisa kita lihat bagaimanan UU Ciptaker ini menempatkan
kapital menjadi prioritas utama bukan lagi publik.
9
orang tewas di wilayah konflik agraria. Pelaku-pelaku kekerasan di daerah konflik
agraria sebagian besar berasal dari aparat kepolisian, TNI, dan Satpol PP, sepanjang
tahun 2020 aparat kepolisian tercatat telah melakukan tindakan kekerasan dan
intimidatif sebanyak 46 kasus di wilayah konflik agraria, diikuti TNI sebanyak 22
kasus, security swasta sebanyak 20 kasus dan Satpol PP 9 kasus kekerasan
("Kekerasan dan Kriminalisasi Dalam Konflik Agraria 2020," 2021). Terlibatnya
aparat dalam tindak kekerasan pada konflik agraria membuktikan keberpihakan
pemerintah kepada para oligark ini, munculnya UU Ciptakerja yang juga
meruapakan hasil kolaborasi antara kedua aktor tersebut semakin memperjelas
bahwa masyarakat tidak menjadi prioritas dalam menjalankan fungsi pengelolaan
kekayaan negara.
artinya proses pengambilalihan tanah harus diimbangi dengan kompensasi yang jujur
dan adil. Dalam mencapi hal tersebut dibutuhkanlah musyawarah antara pihak-pihak
yang berkepentingan, namun demikian dalam prakteknya prinsip-prinsip tersebut
sering terabaikan dan pemerintah selaku penyelenggara negara lebih mengedepankan
kekuasaannya dengan mengatasnamakan pembangunan infrastruktur yang kemudain
secara paksa mengambil hak-hak masyarakat lokal.
Belum lagi bentuk tindakan represif lain berupa penangkapan hingga kriminalisasi
warga yang tidak mau dibebaskan tanahnya, intimidasi, kekerasan fisik, isolasi yang
pelakuya jelas-jelas dilakukan oleh aparat bersenjata juga semakin memperkuat
bahwa konflik agraria yang banyak merugikan masyarakat merupakan sebuah
wacana yang terstruktur(Maladi, 2012). Terlihat disini kemana arah pemerintah
membawa pembangunan Negara Indonesia dengan di bentuknya Undang-Undang
yang memagkas birokrasi perijinan namun tidak diimbangi dengan pengakuan hak-
hak mendasar masyarakat lokal.
Referensi
10
Azhar, M. A. (2012). RELASI PENGUSAHA-PENGUASA DALAM
DEMOKRASI: Fenomena. Publica, 2(1), 43--55.
Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Hilangnya HAM dalam
Konflik Agraria", Klik untuk baca:
https://www.kompasiana.com/pupoesbiworo/6358f459a1987550ea0aebe2/hilangnya-
ham-dalam-konflik-agraria?page=all
11
Bupati Dipolisikan, dan Kenangan Pahit
Kasus Salim Kancil
CNN Indonesia
Jumat, 10 Jul 2020 12:21 WIB
Bagikan :
Tijah, istri mendiang Salim Kancil di Mapolda Jawa Timur, Surabaya, 9 Juli 2020.
(CNN Indonesia/Farid)
Jakarta, CNN Indonesia -- Kasus petani yang dikenal sebagai pejuang
lingkungan, mendiang Salim Kancil di Lumajang, Jawa Timur mencuat lagi.
Pasalnya, Bupati Lumajang Thoriqul Haq yang membela hak tanah dari istri
mendiang Salim Kancil, Tijah, dipolisikan ke Polda Jatim.
Bukan hanya Thoriqul, Tijah pun datang bersama sang bupati ke markas polisi
tersebut.
Berbekal peta dan keterangan historis dari Tijah, Thoriq melawan pengusaha
tambak udang yang menggunakan tanah di luar hak guna usaha (HGU).
Salim dan beberapa warga yang juga petani membentuk Forum Komunikasi
12
Masyarakat Peduli Desa Selok Awar-awar. Beranggotakan 12 orang kawan yang
sama-sama berprofesi sebagai petani mereka terus memperjuangkan penolakan
penambangan pasir yang telah berdampak pula terhadap sawah-sawah mereka.
Salim sendiri akhirnya tewas setelah dikeroyok dan disiksa kelompok preman
akibat perjuangannya tersebut pada 26 September 2015. Mayatnya kala itu
dibiarkan pengeroyok tergeletak begitu saja di pinggir jalan.
Kasus pembunuhan Salim Kancil dan intimidasi terhadap anggota forum pun
menyeret anggota kepolisian di wilayah tersebut.
Kapolri kala itu, Jenderal Pol Badrodin haiti mengatakan tiga anggota polisi di
Lumajang telah diputus bersalah dalam sidang kode etik terkait kekerasan di
Lumajang tersebut.
Dalam sidang kode etik di Mapolda Jatim, tiga polisi tersebut mengaku
menerima uang dari Hariyono.
Ketiga polisi itu adalah bekas Kepala Polsek Pasirian, Ajun Komisaris
Sudarminto; Kepala Unit Reserse dan Kriminal Polsek Pasirian Inspektur Dua
Samsul Hadi; dan Kepala Badan Pembinaan Keamanan dan Ketertiban
Masyarakat Ajun Inspektur Dua Sigit Purnomo.
Para terdakwa kasus penganiayaan berujung kematian Salim Kancil saat sidang
di PN Surabaya, 25 Februari 2016. (ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat)
Lihat juga:Ratapan Istri Salim Kancil Saat Sawah 'Dirampas' Pengusaha
Di Mapolda Jatim kemarin, Tijah mengatakan sawah-sawah yang dimilikinya
saat ini merupakan peninggalan yang berharga dari mendiang Salim Kancil.
Dalam keadaan sesulit apapun ia bertekad tak akan menjualnya.
"Karena sawah itu kenang-kenangan yang indah buatku, di hati saya, soalnya
meskipun Pak Salim sudah wafat, kalau keadaan aku susah dia datang di mimpi.
Ya itu jadi sawah itu jadi kenang-kenangan bagi kami," kata Tijah, sembari
terbata kemarin.
(mln/kid)
13
14
Mengapa UU Cipta Kerja
Berpotensi Timbulkan Masalah
Agraria?
oleh Indra Nugraha [Bandung] di 6 November 2020
Dokumen:
15
“Ini gak nyambung. Maunya omnibus law itu untuk memudahkan
investasi besar masuk ke Indonesia. Sementara masalah agraria
adalah ketimpangan,” katanya, kepada Mongabay awal November
ini.
Dia juga lihat dari sisi politik hukum. Menurut Eko, pengesahan UU
Cipta kerja menunjukkan, politik hukum berupaya memangkas
berbagai regulasi, menghilangkan sumbatan leher botol atau
seluruh hambatan investasi bisa masuk ke Indonesia. Dengan
asumsi, ekonomi Indonesia akan terpuruk kalau investasi tidak
masuk.
16
17
alam saja sudah kayak begini. Apalagi ditambah dengan
kemudahan-kemuhaan izin itu. Sangat mungkin akan meningkat.”
Hal lain yang disoroti Eko mengenai ketentuan bank tanah. Menurut
dia, peruntukan bank tanah juga tak jelas.
18
Ta
ufik Iskandar bersama rekannya di lahan pertanian cabai. Kampunya
kini berdampingan dengan tambang dan PLTU Batubara. Omnibus law
peluang terjadi perluasan, lahan-lahan pertanian macam punya Taufik
Iskandar ini, bisa terancam. Foto Tommy Apriando/ Mongabay
Indonesia
19
“Isu krusial dalam UU Cipta Kerja terkait bank tanah, hak
pengelolaan dan rumah susun untuk warga negara asing. Dari
substansi khusus untuk pertanahan nyata sekali, rumusan itu bias
pada kepentingan pengusaha dan abai reforma agraria,” katanya,
dalam diskusi daring beberapa waktu lalu.
20
“Kalau misal investasi itu tidak menimbulkan dampak lingkungan,
cukup dengan pendaftaran. Kalau izin usaha kecil itu tidak perlu
pakai izn lingkungan. Tapi kalau perusahaan besar punya dampak
terhadap lingkungan, punya dampak terhadap keselamatan
mansuia, masih tetap harus amdal [analisis mengenai dampak
lingkungan] diperlukan.”
21
dimanfaatkan. Fungsi bank tanah, katanya, untuk memanfaatkan
tanah-tanah terlantar itu.
22
23