Anda di halaman 1dari 23

Hukum Adat dalam Hukum Tanah

Nasional
2 November 2022   06:00 Diperbarui: 2 November 2022   06:44 182 0 0

Dalam pengertian umum, hukum adat merupakan hukum kebiasaan yang dirumuskan
berdasarkan tingkah laku masyarakat yang tumbuh dan berkembang sehingga dan
menjadi sebuah hukum yang tidak tertulis namun tetap ditaati oleh masyarakat.
Seleanjutnya Van Vollen Hoven berpandangan bahwa hukum adat adalah
keseulurhan aturan mengenai tingkah laku yang memiliki sanksi yang tegas namun
tidak dikodifikasikan. Kemudian oleh negara, bentuk pengakuan terhadap hukum
adat yang ada dituangkan menjadi salah satu landasan dasar negara dalam pasal 18B
ayat 2 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang menjelaskan sebagai berikut;
negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
berserta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
diatur dalam undang-undang". Di Indonesia, hukum adat juga merupakan salah satu
aturan hukum tidak tertulis yang paling tua jauh sebelum aturan-aturan hukum
lainnya ada. Hal ini dikarenakan hukum adat merupakan suatu aturan hukum tidak
tertulis yang dijalankan secara turun-temurun oleh masyarakat.

Tidak hanya sampai disitu, hukum adat dijadikan landasan bagi hukum tanah
nasional untuk yang sebagaimana kita ketahui terkodifikasi ke dalam suatu bentuk
peraturan yang kita kenal dengan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang
Pokok-pokok Agraria atau UUPA. UUPA sendiri berhasil mengakhiri kebhinekaan
perangkat hukum yang mengatur bidang pertanahan dan menciptakan hukum tanah
nasional yang tunggal dari dualisme antara hukum belanda dan juga hukum adat kala
itu. Selain menciptakan perangkat hukum tanah yang tunggal, UUPA juga
mengunifikasikan hak-hak penguasaan atas tanah juga hak-hak jaminan atas tanah,
menghapus semua pengaturan perangkat-perangkat hukum tanah yang lama, juga
mengkonversikan beberapa aturan lama menjadi satu hak yang diatur dalam UUPA.
Pernyataan mengenai hukum adat dalam UUPA sendiri dapat kita jumpai dalam;

A. Penjelasan umum angka III

B. Pasal 5 UUPA

C. Penjelasan Pasal 5

D. Penjelasan pasal 16

E.  Pasal 56

F. Secara tidak langsung dalam pasal 58

1
Pengejawantahan hukum adat umumnya hanya di lihat dan diartikan hanya sebagai
hukum positif yang merupakan suatu rangkaian norma-norma hukum yang menjadi
pegangan bersama dalam kehidupan bermasyarakat dan berbeda dengan norma-
norma hukum tertulis. Namun pada hakikatnya, hukum adat sebagai hukum tidak
tertulis merupakan rumusan-rumusan para ahli hukum dan juga hakim yang
bersumber dari rangkaian kenyataan mengenai sikap dan tingkah laku para anggota
masyarakat hukum adat yang dalam penerapannya memerlukan kesadaran yang
penuh dalam menjalankan norma-norma aturan tersebut agar dapat mewujudkan
kesadaran hukum serta dapat membantu dalam menyelesaikan kasus-kasus konkret
yang terjadi di dalam masyarakat adat itu sendiri. 

Dalam hukum adat, hak penguasaan atas tanah yang tertinggi adalah hak ulayat yang
menandung dua aspek hukum yakni keperdataan dan hukum publik. Subyek hak
ulayat adalah masyarakat hukum adat, baik teritorial ataupun genealogik yang
merupakan bentuk bersama antara masyarakat hukum adat. Di bawah hak ulayat
adalah hak kepala adat dan para tetua adat yang juga sebagai petugas masyarakat
hukum adat yang berwenang untuk mengelola, mengatur, dan memimpin
peruntukan, penguasaan, penggunaan dan pemeliharaan tanah bersama tersebut yang
beraspek pada hukum publik semata. Kemudian yang terakhir adalah hak atas tanah
yang dikuasai oleh masyarakat adat yang bersangkutan. Sebagai hak-hak perorangan
yang konkret, pengaturannya diatur dalam hukum perdata namun pengaturan
mengenai penggunaan dan penguasaannya yang diatur oleh kepala adat termasuk ke
dalam hukum publik. Dalam hukum tanah adat tidak dikenal lembaga hak jaminan
atas tanah sebagaimana pengertian jaminan atas tanah di masa ini.

Refrensi :
Hukum Agraria Indonesia : Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria,
Isi dan Pelaksanaannya/Boedi Harsono.- Jakarta : Universitas Trisakti 2013. ISBN :
978-602-9463-31-6

https://jdih.perpusnas.go.id/detail-buku-hukum/69820

https://www.gramedia.com/literasi/hukum-adat/

2
Pertanian Versus Pertambangan:
Bagaimana Petani Bertahan?
30 November 2022   21:34 Diperbarui: 30 November 2022   22:41 176 2 1

Eksploitasi sumberdaya lahan dan ketidakadilan merupakan isu yang senantiasa


menghiasi diskusi di ranah publik. Para akademisi, praktisi maupun pengambil
kebijakan menempatkan isu tersebut menjadi hal yang krusial dalam dunia investasi.
Kedua isu tersebut terutama menjadi relevan bagi Indonesia dengan potensi sumber
daya alam yang besar baik sumber daya alam hayati maupun non hayati.

Jika eksploitasi bicara pada aspek pemanfaatan sumberdaya yang berlebihan, maka
ketidakadilan memfokuskan pada konsekuensi atas pola pemanfaatan yang dipilih
oleh aktor. Secara ringkas, pemanfaatan sumberdaya alam (SDA) yang dilakukan
masyarakat banyak dilakukan secara berlebihan sehingga menimbulkan kerusakan
pada SDA tersebut. 

Peristiwa kerusakan SDA sudah banyak terjadi di berbagai daerah sehingga


berpengaruh terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat. Kelompok masyarakat
yang paling beresiko dalam perebutan SDA terutama adalah petani yang
menggantungkan hidupnya terhadap alam. Isu alih fungsi lahan banyak terjadi pada
lahan pertanian. Hal tersebut memberikan kerugian yang sangat besar terhadap
keberlangsungan petani karena telah mengandalkan sektor pertanian sebagai sumber
pendapatan utama.

Desa Batujajar merupakan salah satu desa di Kabupaten Bogor yang memiliki
sumber daya alam yang melimpah yaitu lahan pertanian di permukaan bumi dan
kandungan batu yang melimpah di dalam perut bumi. Sebab itulah barangkali desa
ini dinamai "batujajar" merujuk pada potensi sumberdaya mineral yang dimiliki.
Pada masa dimana kandungan perut bumi belum dieksploitasi, sebagian besar warga
menyandarkan sistem penghidupan pada pertanian. Aktivitas pertanian menjadi
sumber ekonomi utama dalam meningkatkan perekonomian keluarga.

Mata pencaharian kemudian perlahan beralih ketika didapati besarnya potensi batu di
desa ini. Tentu hal tersebut menarik minat swasta untuk berinvestasi pada bidang
pertambangan terutama galian C. 

Perusahaan melakukan pengambilan batu dengan mengeruk gunung yang


menyimpan banyak potensi batu di dalamnya. Perusahaan yang pertama kali
beroperasi yaitu Perusahaan Sudamanik pada tahun 1977 yang berlokasi di desa
tetangga, yaitu Desa Rengasjajar. Perusahaan tersebut menjadi pelopor masuknya
perusahaan swasta lainnya yang ingin memperoleh keuntungan dari sumber daya
batu tersebut. 

3
Adanya aktivitas pertambangan batu memicu terjadinya peristiwa alih fungsi lahan.
Lahan pertanian yang ada di sekitar gunung mengalami alih fungsi salah satunya
menjadi tempat penampungan tanah hasil keruk gunung (timbunan tanah dan batu).
Sebelum melakukan pertambangan, perusahaan melakukan negosiasi dengan
masyarakat pemilik lahan di sekitar gunung untuk dijual, sehingga banyak yang
merelakan lahannya untuk dialihfungsikan.

Dampak pertambangan ini juga dirasakan oleh petani yang lahannya berada dekat
dengan jalan raya. Aktivitas distribusi batu yang dilakukan perusahaan menggunakan
truk, membuat polusi tersebar dimana-mana dan berdampak pada kesehatan tanaman.
Selain itu, polusi juga dihasilkan dari adanya aktivitas pengeboman tambang yang
membuat banyaknya pasir bertebaran, juga berakibat pada retaknya rumah-rumah
penduduk.

Hadirnya pertambangan ternyata tidak memberikan manfaat besar kepada


masyarakat sekitar. Hanya ucapan belaka yang dijanjikan perusahaan, sedangkan
pemerintah tidak mampu melarang aktivitas pertambangan tersebut untuk dilakukan
karena telah diberikan konsesi pertambangan oleh pemerintah. Masyarakat kesulitan
dalam mengakses pekerjaan terutama bagi petani yang lahannya telah dijual kepada
perusahaan. 

Selain itu, dampak yang dirasakan yaitu bencana seperti longsor, dan selokan yang
tertutup menghambat aliran sungai. Padahal air tersebut digunakan untuk mengairi
lahan pertanian warga dan keperluan rumah tangga. Sehingga membuat perairan di
desa tersebut tidak berjalan dengan baik. 

Potensi air yang terhambat membuat petani yang menanam komoditas padi
kebingungan dalam mempertahankan aktivitas pertaniannya. Padi sebagai komoditas
yang memerlukan banyak air tentu mengalami gangguan dalam proses
pertumbuhannya.  

Dari berbagai permasalahan yang terjadi akibat pertambangan, terutama masyarakat


tani yang sangat terdampak dari adanya aktivitas tersebut membuat masyarakat
melakukan adaptasi. Pola adaptasi yang diajukan oleh Robert K. Merton yakni
konformitas dan inovasi menjadikan masyarakat petani mampu menyesuaikan diri
dengan perubahan yang terjadi (Rabbani, 2017). 

Petani melakukan berbagai hal sebagai upaya adaptasi atas dampak pertambangan,
terutama mengembangkan pola-pola baru dalam merespons perubahan lingkungan.
Beberapa hal dilakukan agar dapat bertahan untuk tetap hidup dari kegiatan bertani.
Berikut adalah beberapa aktivitas yang dikembangkan oleh petani diantaranya
adalah;

Pertama, tidak semua perusahaan secara langsung melakukan aktivitas produksi.


Beberapa perusahaan memilih untuk menunda membuka lahan, sementara yang lain

4
berhenti berproduksi karena beberapa alasan. Situasi ini dimanfaatkan oleh petani
dengan melakukan tumpang sari hingga perusahaan kembali berproduksi. 

Kedua, tanaman yang terkena penyakit akibat polusi dari aktivitas pertambangan
membuat masyarakat tani secara terpaksa melakukan perawatan tanaman dengan
pupuk/pestisida kimia. Hal tersebut dilakukan agar tanaman dapat terhindar dari
penyakit dan dapat tumbuh dengan baik dan hasilnya dapat sesuai dengan kebutuhan
serta harapan masyarakat tani

Ketiga, pembukaan lahan di wilayah tangkapan air menyebabkan terjadinya bencana


longsor yang menyebabkan saluran irigasi dan selokan terhambat. Situasi tersebut
menggiring pada keputusan dibuatnya sumur bor di beberapa titik baik itu dekat
lahan pertanian maupun sekitar pemukiman. Air sumur yang memiliki potensi yang
besar akan ditampung oleh masyarakat menggunakan wadah tampungan air pribadi
sehingga dapat digunakan untuk keperluan rumah tangga. Selain itu, terhambatnya
aliran air juga membuat masyarakat melakukan adaptasi dalam penanaman
komoditas pertaniannya. 

Keempat, petani melakukan perubahan jenis komoditas pada lahan dengan


keterbatasan pasokan air. Petani yang pada awalnya menanam padi, memilih untuk
beralih menanam ubi, singkong, timun, dan sebagainya. Melalui strategi tersebut
petani dapat tetap menjalankan kehidupannya dan mengatur pola perekonomian
utamanya sebagai bentuk pola adaptasi hadirnya pertambangan di desa tersebut.

"Artikel dibuat berdasarkan pengalaman penulis dalam kegiatan/riset/proyek yang


didukung oleh Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi dan
Lembaga Pengelola Dana Pendidikan melalui Pendanaan Program Riset Keilmuan
Tahun 2022".

(Penulis: Dhea Putri Aryani dan Heru Purwandari)

Referensi:

Rabbani A. 2017. Robert K.Merton Anomie Theory (Teori Anomi). Robert K.


Merton. Anomie Theory (Teori Anomi) - Sosiologi79. 

5
Hilangnya HAM dalam
Konflik Agraria
26 Oktober 2022   15:49 Diperbarui: 26 Oktober 2022   16:00 216 0 0
+
Bukanlah hal yang baru, konflik agraria ternyata merupakan sebuah persoalan yang
sudah ada di Indonesia sejak masa kepenpududukan kolonial Belanda, konflik ini
dilatar belakangi adanya ketimpangan kepemilikan terhadap sebuah wilayah kelola
antara pejabat publik yang diiberikan hak ijin dengan masyarakat lokal ,
pengambilahan lahan tersebut menjadikan masyarakat terekslusi dan seringkali
peristiwa tersebut diwarnai kekerasan sehingga menimbulkan perlawan dari
masyarakat. 

Konflik ini bersifat kronis, masif, meluas, dan berdimensi hukum, sosial, politik,
serta ekonomi. Kondisi ini kemudian diperburuk dengan tidak adanya evaluasi
terhadap pemberian ijin pengelolaan terhadap suatu lembaga pemerintahan,
pemerintah yang bersifat defensif ketika masyarakat coba untuk mengartikulasikan
permasalahan yang terjadi, tidak adanya sebuah lembaga lintas sektor yang memiliki
wewenang khususu untuk menyelesain permasalahan ini, hal tersebut yang kemudian
yang menjadikan konflik agraria tidak pernah selesai (Rachman, 2013).

Dalam konteks kepenguasaan Belanda konflik agraria disebabkan karena


pemerintahan kolonial mengembangkan ekspansi perkebunan industri untuk
memenuhi kebutuhan dalam negeri mereka, kebijakan ini memaksa rakyat untuk
menyerahkan tanah yang sudah dimiliki secara turun temurun untuk memenuhi
kepentingan pemerintah Belanda. Beberapa kebijakan agraria yang ada pada masa
kependudukan belanda pada 1870, pemerintah kolonial Belanda menerbitkan
Agrarische Wet (UU Agraria) dan Agrarische Besluit (Peraturan Agraria). 

Kedua regulasi ini menjamin kebebasan ekonomi bagi perusahaan perkebunan


swasta dan secara perlahan menghapuskan sistem tanam paksa yang berada dibawah
monopoli negara. semua tanah tanpa bukti kepemilikan menjadi milik negara
(domein van den staat), yang umum disebut Domein Verklaring. Tanah petani pun
dianggap sebagai tanah negara tak bebas, sedangkan semua tanah tak bertuan atau
terlantar digolongkan sebagai tanah negara bebas, politik agraria ini jelas sangat
merugikan rakyat, akibatnya terjadi protes hingga kekacauan (Ahmadin, 2007).
Konflik tersebut masih terus berlanjut setelah masa kemerdekaan, pada masa
kemerdekaan konflik agraria masih juga menjadi isu yang dominan dalam peta
konflik di Indonesia. pada masa pemerintahan. 

Pada masa orde lama, Setelah kemerdekaan rakyat merasa mereka memiliki hak
untuk merebut kembali tanah peninggalan nenek moyangnya yang mereka serahakan
secara paksa kepada pemerintah Belanda. Setelah Belanda pergi dari Indonesia

6
banyak tanah perkebunan milik Belanda yang ditinggalkan Belanda dan menjadi
terlantar kemudian tanah tersebut diduduki oleh rakyat dan difungsikan kembali
sebagai lahan pertanian. Peristiwa penarikan tanah kembali oleh rakyat  dikenal pada
saat itu dengan nama pendudukan liar oleh petani. 

Persoalan baru muncul ketika disepakatinya persetujuan KMB pada tahun 1949.
Pemerintah RIS melalui perjanjian KMB tersebut memberikan pengakuan hak orang
asing akan tanah, yaitu hak konsesi dan hak erfpacht serta hak untuk mengusahakan
selanjutnya.  Sudah mulai terlihat konflik kepentingan antara rakyat yang merasa
memiliki hak atas tanah tersebut dan pengusaha, pendudukan lahan oleh petani
dengan demikian memiliki hukum semu berdasarkan riwayat turun-temurun
bersinggungan dengan pengusaha perkebunan memiliki hukum yang sah.

Tidak berhenti pada masa orde lama, ketika orde baru berkuasa di Indonesia konflik
agraria mengalami eskalasi yang sangat signifikan, rezim pembangungan sedang
gencar-gencarnya dikampanyekan, dibukanya kran investasi menjadi salah satu
pemicu pembukaan lahan besar-besaran yang menjadi penyebab konflik agraria. Ada
dua bentuk konflik yang sangat umum terjadi pada saat itu, yang pertama adalah
konflik yang terjadi antara petani dengan swasta, terutama karena keluarnya HGU di
atas tanah yang selama ini telah dikuasai oleh rakyat secara turun menurun, tipologi
ini sama halnya yang terjadi pada masa orla ketika masyarakat merasakan memiliki
hak atas tanah tersebut bersinggungan dengan pengusaha yang memiliki landasan
hukum yang lebih kongkrit dan sah. Kemudian yang kedua adalah konflik antara
petani dengan pemerintah terkait dengan pembebasan lahan di atas tanah yang telah
dikuasai atau dimiliki petani untuk pembangunan berbagai kepentingan umum, jenis
seperti ini masih sering terjadi sampai saat ini. Konflik agraria terus terjadi ketika
kita memasuki era reformasi, bahkan konflik agraria saat ini semakin masif dengan
fenomena yang sangat menonjol adalah reclaiming petani terhadap tanah-tanah yang
dikuasai oleh swasta baik untuk kegiatan perkebunan, pertambangan, peternakan dan
sebagainya. (Darini, n.d.)

Undang-Undang "Perampasan"

Dalam rangka penyederhanaan regulasi untuk meningkatkan investasi, pada tanggal


12 Februari 2020, secara resmi draft dan Naskah Akademik RUU Cipta Kerja
diserahkan Pemerintah kepada DPR yang kemudian resmi menjadi Undang-Undang
pada tanggal 5 Oktober 2020. Banyak prinsip-prinsip demokratis yang titabrak dalam
pembuatan Undang-Undang ini mulai dari asas keterbukaan, keterlibatan masyarakat,
akuntabilitas, kemudahan akses, dan lain sebagiainya. Ternyata tidak hanya
prosesnya yang problematis banyak susbtansi yang terkadung juga tidak
menempatkan masyrakat sebagai prioritas, khususnya bada bab pertanahan
meningkatnya angka investasi tidak diimbangi dengan pengakuan atas hak-hak
masyarakat lokal hanya akan memperparah konflik yang sudah terjadi.

Mulai dari diksi "penguatan hak pengelolaan" Pasal 129 RUU Cipta Karya, hal ini
disinyalir menghidupkan kembali domein verklaring pada masa kolonialisme

7
belanda, Karena dalam UUPA tidak diatur mengenai HPL, yang menjadi aneh adalah
penguatan apa yang dimaksud oleh pasal tersebut, dalam pasal tersebut dijelaskan
pemerintah pusat memiliki kebebasan mendelegasikan hak tersebut kepada lembaga
yang dikehendaki, hal ini jelas semakin memperkuat kedudukan pemerintah sebagai
pemegang kekuasaan sama halnya dengan prinsip domein verklaring (Wardhani,
2020). Hal ini jelas bertentangan dengan Putusan MK No.001-021-022/PUU-1/2003
yang menjelaskan bahwa HMN adalah kebijakan pengaturan, pengurusan,
pengelolaan dan pengawasan bukan berarti negara memiliki hak milih atas tanah
tersebut sehingga bisa dibagi-bagi dengan mudah. Ditambah lagi dengan alur
perijinan yang dipermudah hal ini semakin memperkuat keduduan perusahaan dalam
menjalankan kepentingannya (Kartika, 2020).

Pengadaan tanah yang menguntungkan yang merugikan masyarakat, dimasukkannya


sektor-sektor industri dalam kategeori kepentingan umum dalam pasal 10 pada bab
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum akan
memperbanyak jumlah konflik yang ada di Indonesia, beberapa jenis fasilitas yang
dianggap sebagai fasilitas umum, seperti :

Kawasan Industri Hulu dan Hilir Minyak dan Gas; 


Kawasan Ekonomi Khusus yang diprakarsai dan dikuasai oleh Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah; 
 Kawasan Industri yang diprakarsai dan dikuasai oleh Pemerintah Pusat, pemerintah
daerah, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah; 
 Kawasan Pariwisata yang diprakarsai dan dikuasai oleh Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara,, atau Badan Usaha Milik Daerah;
dan 
Kawasan lainnya yang diprakarsai dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik
Daerah(Indradi, Arsyah, Athilla, Hilmy, & Pangestu, 2020). 
Karena sifat bank tanah yang mana mempermudah penyediaan, pematangan, dan
penyaluran tanah untuk semua jenis penggunaan tanah baik publik maupun privat
jika kita kaitkan kembali dengan adanya HPL akan semakin memperkuat legitimasi
perusahaan maupun pemerintah untuk melakukan penggusuran dengan atasnama
pembangungan infrastruktur yang faktanya hanya mentungkan segelintir pihak.
Sebenarnya masih banyak pasal-pasal lain yang jelas hanya menguntungkan para
investor, namun merujuk pada pasal-pasal tersebut sudah cukup untuk mengambil
sebuah kseimpulan. Bahwa banyaknya investasi yang masuk maka banyak pula hak-
hak masyarakat lokal yang akan terancam, penggusuran dalam rangka pengadaan
lahan akan semakin mudah dan ini jelas akan berdampak secara sosial, budaya,
maupun ekonomi.

Kolaborasi pebisnis dan pemerintah

Untuk melihat lebih jelasnya mengenai relasi yang terbentu dalam konflik agraria
bisa kita amati aktor-aktor yang ada di DPR, menurut Defbry Margiansyah Peneliti
P2P LIPI sekaligus Pegiat Marepus Corner sebanyak 318 orang anggota Dewan

8
Perwakilan Rakyat (DPR) merupakan pebisni, 5 sampai 6 orang dari 10 anggota
DPR adalah pebisnis. Jumlah ini lebih dari setengah anggota DPR (55 persen),
sedangnya yang non pebisnis hanya 45 persen (Rahma, 2020). Selain itu ditemukan
adanya pola keterkaitan antar bisnis yang dijalakan denang penempatan di dalam
DPR Komisi VII DPR membidangi sektor energi yang didalamnya terdapat para
pengusaha energi yang ikut membahas regulasi. Dengan komposisi yang seperti ini
jelas berpengaruh terhadap pengambilan keputusan, Haris dalam (Azhar, 2012)
bahwa pada dasarnya motivasi utama para pengusaha atau 'taipan' terjun dalam dunia
politik adalah untuk mempertahankan kepentingan bisnisnya tidak ada yang lain,
Undang-Undang cipta kerja menjadi salah satu contohnya. Bisa kita amati muali dari
proses yang tidak demokratis, banyak aktor-kaotr yang terlibat dalam perumusan UU
tersebut ternyata memiliki kaitan baik secara langsung atau tidak langsung dengan
perusahaan, hasilnya bisa kita lihat bagaimanan UU Ciptaker ini menempatkan
kapital menjadi prioritas utama bukan lagi publik.

Selain melakukan legalisasi "perampasan" dengan dikeluarkannya UU Ciptaker ini,


dalam proses penanganan konflik banyak sekali bentuk-bentuk pelanggaran HAM
yang dialami oleh masyarakat lokal yang menolak, Ketua Komnas HAM RI Ahmad
Taufan Damanik menjelaskan pelanggaran HAM yang dimaksud adalah hak atas
hidup, pekerjaan, keadilan, pangan, dan hak rasa aman ("Komnas HAM Desak
Penyelesaian Konflik Pertambangan - Komnas HAM," 2020). Petani di Desa
Toluonua dan Peohuko, Kecamatan Mowila, Kabupaten Konawe Selatan terancam
sumber mata pencahariannya karena diserobot oleh perusahaan perkebunan PT
Merbau Jaya, padahal menurut keterangan warga sekitar mayoritas lahan pertanian
yang diambil oleh perusahaan tesebut memiliki sertifikat (Fua, 2018). Suku
Mandobo dan Malind yang tinggal di pedalaman Papua yang ruang lingkupnya
semakin terancam dengan kehadiran perusahan perkebunan sawit dari Korea Selatan,
Korindo Group. Perusahaan ini telah membuka hutan Papua lebih dari 57.000
hektare, Investigasi yang dilakukan oleh Forensic Architecture dan Greenpeace yang
diterbitkan pada Kamis (12/11) bersama dengan BBC, menemukan bukti bahwa
Korindo telah melakukan pembakaran lahan untuk membuka perkebunan kelapa
sawitnya selama periode 2011-2016 (Widianto, 2019). Konflik semacam ini juga
pernah memakan korban jiwa, salim kancil merupakan salah satu contohnya. Salim
Kancil adalah seorang petani yang menggarap tanah sendiri di Desa Selok Awar-
Awar, Salim sendiri akhirnya tewas setelah dikeroyok dan disiksa kelompok preman
pada 26 September 2015 karena melakukan penolakan terhadap tambang pasir ilegal.
Kehadiran tambang pasir ilegal tersebut ternyata mendapat jaminan dari kepala desa
setempat dan tig anggota kepolisan, ini membuktikan bahwa sebernyar kejahatan-
kejahatan yang terjadi dalam konflik agraria merupakan sebuah penyimpangan yang
terstruktur ("Bupati Dipolisikan, dan Kenangan Pahit Kasus Salim Kancil," 2020).

Fenomena-fenomena tersebut merupakan contoh kecil dari banyaknya kasus-kasus


pelanggaran HAM khususnya dalam konteks konflik agraria, data terbaru yang
dimiliki KPA Sepanjang bulan Januari s/d Desember tahun 2020 KPA mencatat
setidaknya telah terjadi 134 kasus kriminalisasi (132 korban laki-laki dan 2
perempuan), 19 kali kasus penganiayaan (15 laki-laki dan 4 perempuan), dan 11

9
orang tewas di wilayah konflik agraria. Pelaku-pelaku kekerasan di daerah konflik
agraria sebagian besar berasal dari aparat kepolisian, TNI, dan Satpol PP, sepanjang
tahun 2020 aparat kepolisian tercatat telah melakukan tindakan kekerasan dan
intimidatif sebanyak 46 kasus di wilayah konflik agraria, diikuti TNI sebanyak 22
kasus, security swasta sebanyak 20 kasus dan Satpol PP 9 kasus kekerasan
("Kekerasan dan Kriminalisasi Dalam Konflik Agraria 2020," 2021). Terlibatnya
aparat dalam tindak kekerasan pada konflik agraria membuktikan keberpihakan
pemerintah kepada para oligark ini, munculnya UU Ciptakerja  yang juga
meruapakan hasil kolaborasi antara kedua aktor tersebut semakin memperjelas
bahwa masyarakat tidak menjadi prioritas dalam menjalankan fungsi pengelolaan
kekayaan negara.

Abainya Rezim Pembangunanisme

Mulai dari penanganan kasus pelanggaran ham sampai pendekatan-pendekatan yang


dilakukan dalam pembangungan infrakstruksur sangat tidak mencerminkan UUPA,
dimana masyarakat memiliki perlindungan hukum atas tanah yang dimilikinya.
Sesuai dengan Penjelasan Umum II/2 UUPA, perkataan "dikuasai" dalam pasal ini
bukanlah berarti "dimiliki", akan tetapi adalah pengertian, yang memberi wewenang
kepada negara, sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa Indonesia itu, untuk
melakukan kegiatan pengelolaan sumber daya alam yang berorientasi pada
kesejahteraan masyarakat, hal ini tidak bisa melegitimasi pengambilan tanah oleh
pemerintah secara paksa.

pengambilalihan tanah harus memperhatikan prinsip keadilan sehingga tidak


merugikan pemilik asal. Salah satu prinsip dasar dari pengambilalihan tanah yang
universal adalah no private property shall be taken for public use without just and
fair compensation

artinya proses pengambilalihan tanah harus diimbangi dengan kompensasi yang jujur
dan adil. Dalam mencapi hal tersebut dibutuhkanlah musyawarah antara pihak-pihak
yang berkepentingan, namun demikian dalam prakteknya prinsip-prinsip tersebut
sering terabaikan dan pemerintah selaku penyelenggara negara lebih mengedepankan
kekuasaannya dengan mengatasnamakan pembangunan infrastruktur yang kemudain
secara paksa mengambil hak-hak masyarakat lokal.

Belum lagi bentuk tindakan represif lain berupa penangkapan hingga kriminalisasi
warga yang tidak mau dibebaskan tanahnya, intimidasi, kekerasan fisik, isolasi yang
pelakuya jelas-jelas dilakukan oleh aparat bersenjata juga semakin memperkuat
bahwa konflik agraria yang banyak merugikan masyarakat merupakan sebuah
wacana yang terstruktur(Maladi, 2012). Terlihat disini kemana arah pemerintah
membawa pembangunan Negara Indonesia dengan di bentuknya Undang-Undang
yang memagkas birokrasi perijinan namun tidak diimbangi dengan pengakuan hak-
hak mendasar masyarakat lokal.

Referensi

10
Azhar, M. A. (2012). RELASI PENGUSAHA-PENGUASA DALAM
DEMOKRASI: Fenomena. Publica, 2(1), 43--55.

Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Hilangnya HAM dalam
Konflik Agraria", Klik untuk baca:
https://www.kompasiana.com/pupoesbiworo/6358f459a1987550ea0aebe2/hilangnya-
ham-dalam-konflik-agraria?page=all

11
Bupati Dipolisikan, dan Kenangan Pahit
Kasus Salim Kancil
CNN Indonesia
Jumat, 10 Jul 2020 12:21 WIB
Bagikan :  
Tijah, istri mendiang Salim Kancil di Mapolda Jawa Timur, Surabaya, 9 Juli 2020.
(CNN Indonesia/Farid)
Jakarta, CNN Indonesia -- Kasus petani yang dikenal sebagai pejuang
lingkungan, mendiang Salim Kancil di Lumajang, Jawa Timur mencuat lagi.
Pasalnya, Bupati Lumajang Thoriqul Haq yang membela hak tanah dari istri
mendiang Salim Kancil, Tijah, dipolisikan ke Polda Jatim.

Kemarin, Thoriqul telah mendatangi Mapolda Jatim yang berada di Kota


Surabaya untuk memberikan keterangan pada penyidik Ditreskrimsus Polda
Jatim setelah dipolisikan atas pencemaran nama baik oleh pengusaha.

Bukan hanya Thoriqul, Tijah pun datang bersama sang bupati ke markas polisi
tersebut.

Lihat juga:Bupati Lumajang: Pengurukan Tanah Salim Kancil Tak Berizin


Kepada wartawan di sana, Tijah pun menceritakan dirinya berusaha menjaga
enam petak sawah peninggalan suaminya yang diuruk pengusaha tanpa izin
darinya. Sehingga ia pun melaporkan hal tersebut kepada Thoriqul, yang lalu
langsung dikroscek sang bupati.

Mendengar laporan ini, Thoriq langsung menindaklanjuti kasus tersebut. Ia


bersama Tijah kemudian meninjau lokasi tanah milik mendiang Salim Kancil
tersebut.

Berbekal peta dan keterangan historis dari Tijah, Thoriq melawan pengusaha
tambak udang yang menggunakan tanah di luar hak guna usaha (HGU).

Dalam video yang beredar di YouTube Lumajang TV tersebut, memperlihatkan


Thoriq, Tijah dan pengawas tambak udang saling berdebat mengenai batas
HGU pemilik tambak udang dan tanah milih Salim Kancil.

Akibat dari tindakannya, Thoriq dilaporkan karena diduga telah mencemarkan


nama baik seseorang melalui unggahan video Youtube.

Terlepas dari kasus tersebut, masihkah Anda mengingat siapa Salim Kancil?

Sebetulnya, Salim Kancil adalah seorang petani yang menggarap tanah sendiri


di Desa Selok Awar-Awar. Namanya mencuat karena upayanya memprotes
penambangan pasir di desanya sejak 2013.

Salim dan beberapa warga yang juga petani membentuk Forum Komunikasi

12
Masyarakat Peduli Desa Selok Awar-awar. Beranggotakan 12 orang kawan yang
sama-sama berprofesi sebagai petani mereka terus memperjuangkan penolakan
penambangan pasir yang telah berdampak pula terhadap sawah-sawah mereka.

Salim sendiri akhirnya tewas setelah dikeroyok dan disiksa kelompok preman
akibat perjuangannya tersebut pada 26 September 2015. Mayatnya kala itu
dibiarkan pengeroyok tergeletak begitu saja di pinggir jalan.

Belakangan preman-preman itu diketahui sebagai suruhan Kades Selok Awar-


Awar kala itu, Haryono. Pengadilan pun telah menjatuhkan hukuman, di mana
kades yang disebut sebagai aktor intelektual itu divonis 20 tahun penjara oleh
PN Surabaya--lebih rendah dari tuntutan jaksa--pada 2016 silam. Selain
Haryono, kaki tangannya, juga dijatuhi vonis hukuman oleh hakim.

Kasus pembunuhan Salim Kancil dan intimidasi terhadap anggota forum pun
menyeret anggota kepolisian di wilayah tersebut.

Kapolri kala itu, Jenderal Pol Badrodin haiti mengatakan tiga anggota polisi di
Lumajang telah diputus bersalah dalam sidang kode etik terkait kekerasan di
Lumajang tersebut.

Bukan hanya itu, Badrodin mengatakan pengusutan perkara tidak berhenti pada


vonis tersebut.

Dalam sidang kode etik di Mapolda Jatim, tiga polisi tersebut mengaku
menerima uang dari Hariyono.

Mereka terbukti melakukan pelanggaran disiplin dan menerima pungutan untuk


kepentingan diri sendiri dan kelompok terkait penambangan ilegal.

Ketiga polisi itu adalah bekas Kepala Polsek Pasirian, Ajun Komisaris
Sudarminto; Kepala Unit Reserse dan Kriminal Polsek Pasirian Inspektur Dua
Samsul Hadi; dan Kepala Badan Pembinaan Keamanan dan Ketertiban
Masyarakat Ajun Inspektur Dua Sigit Purnomo.

Para terdakwa kasus penganiayaan berujung kematian Salim Kancil saat sidang
di PN Surabaya, 25 Februari 2016. (ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat)
Lihat juga:Ratapan Istri Salim Kancil Saat Sawah 'Dirampas' Pengusaha
Di Mapolda Jatim kemarin, Tijah mengatakan sawah-sawah yang dimilikinya
saat ini merupakan peninggalan yang berharga dari mendiang Salim Kancil.
Dalam keadaan sesulit apapun ia bertekad tak akan menjualnya.

"Karena sawah itu kenang-kenangan yang indah buatku, di hati saya, soalnya
meskipun Pak Salim sudah wafat, kalau keadaan aku susah dia datang di mimpi.
Ya itu jadi sawah itu jadi kenang-kenangan bagi kami," kata Tijah, sembari
terbata kemarin.
(mln/kid)

13
14
Mengapa UU Cipta Kerja
Berpotensi Timbulkan Masalah
Agraria?
oleh Indra Nugraha [Bandung] di 6 November 2020

 Sejak awal, kehadiran omnibus law ini menimbulkan berbagai


kekhawatiran, antara lain berpotensi menimbulkan banyak masalah
agraria. Isi omnibus law dinilai berbagai kalangan pakar dan akademisi,
maupun peneliti, dinilai condong ke pelaku usaha dan berpotensi makin
menyulitkan pelaksanaan reforma agraria.

  Eko Cahyono dari Sajogjo Institute mengatakan, permasalahan


agraria di Indonesia adalah ketimpangan penguasaan lahan dan
konflik terus terjadi. Kondisi ini sangat tak tepat dijawab dengan
UU Cipta Kerja.
  Maria S.W. Sumardjono, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas
Gadjah Mada (UGM) menilai, banyak pasal dalam UU Cipta Kerja
menyangkut kluster pertanahan bermasalah secara substansi
maupun formil. UU Cipta Kerja, akan menimbulkan banyak
masalah di isu agraria.
  Sofyan Djalil, Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN menjelaskan
soal ‘betapa penting’ omnibus law. Dengan ‘memperbaiki’ 79 UU
yang saling bertentangan melalui UU Cipta Kerja, iklim investasi
jadi lebih mudah. Dengan begitu, investor mau menanamkan
modal di Indonesia, tidak perlu banyak mengurus izin yang dinilai
rumit.

 UU Cipta Kerja omnibus law sudah muncul lewat UU No 11/2020


dengan masih perlu perbaikan karena ada salah ketik seperti ayat
‘hilang.’ Sejak awal, kehadiran omnibus law ini menimbulkan
berbagai kekhawatiran, antara lain berpotensi menimbulkan banyak
masalah agraria. Isi omnibus law dinilai berbagai kalangan pakar
dan akademisi, maupun peneliti, dinilai condong ke pelaku usaha
dan berpotensi makin menyulitkan pelaksanaan reforma agraria.

Eko Cahyono dari Sajogjo Institute mengatakan, permasalahan


agraria di Indonesia adalah ketimpangan penguasaan lahan dan
konflik terus terjadi. Kondisi ini sangat tak tepat dijawab dengan UU
Cipta Kerja.

Dokumen:

15
“Ini gak nyambung. Maunya omnibus law itu untuk memudahkan
investasi besar masuk ke Indonesia. Sementara masalah agraria
adalah ketimpangan,” katanya, kepada Mongabay awal November
ini.

 Baca juga: Omnibus Law ‘Jalan Mulus’ Legalkan Pelanggaran


Investasi Sawit dalam Kawasan Hutan

Penyebab masalah ketimpangan agraria, katanya, justru lembaga-


lembaga korporasi berbasis agraria dan sumber daya alam seperti
tambang, perkebunan sawit, industri pariwisata juga properti.
“Penyebab masalah ketimpangan adalah pemegang investasi
terbesar itu.”

Eko juga menyoroti konflik agraria struktural. Dari berbagai data


seperti Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), HuMa maupun
Komnas HAM, justru korporasi besar berbasis sumber daya alam
itulah yang jadi aktor pelaku. Untuk menyelesaikan persoalan
agraria, katanya, tidak tepat dengan kehadiran investasi skala
besar.

Baca juga: Banjir Kritik Pengesahan UU Cipta Kerja,


Pemerintah Kejar Target Bikin Aturan Turunan

“Lalu, omnibus law ini mau melayani siapa? Mau mengatasi


persoalan agraria apa? Dengan omnibus law justru sedang
melanggengkan persoalan warisan agraria yang selama ini sedang
dihadapi, yakni, ketimpangan, konflik agraria dan krisis agraria lain.”

Dia juga lihat dari sisi politik hukum. Menurut Eko, pengesahan UU
Cipta kerja menunjukkan, politik hukum berupaya memangkas
berbagai regulasi, menghilangkan sumbatan leher botol atau
seluruh hambatan investasi bisa masuk ke Indonesia. Dengan
asumsi, ekonomi Indonesia akan terpuruk kalau investasi tidak
masuk.

Eko mengajak mencermati temuan KPK dalam gerakan nasional


penyelamatan sumber daya alam, yang jelas memperlihatkan
penghambat investasi itu korupsi.

“Kok jawabannya mau dihilangkan perizinan? Loh, jadi kondisi


sudah korup. Kemudian dijawab oleh omnibus law yang punya
potensi tinggi korupsi. Kan sebenarnya mau pakai investasi untuk
pertumbuhan ekonomi dengan masalah utama hukum adalah
korupsi. Ini malah mengesahkan omnibus law yang justru
berpotensi melanggengkan korupsi,” katanya.

16
 

Pada Kamis 13 Juli 2017, Ibrahim, 72 tahun, warga Mantadulu,


transmigran dari Lombok Tengah mempelihatkan sertifikat tanah yang
diklaim PTPN XIV. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 Dalam laporan KPK 2017 menyebut, korupsi struktural sumber


daya alam karena ada sistem oleh para koruptor untuk
mempengaruhi kepentingan negara demi kepentingan diri sendiri.
Kondisi ini terlihat dari 70% kepala daerah banyak didukung
kepentingan korporasi dalam bisnis mereka.

“Apa kompensasi untuk kepentingan politik mereka? Ketika


kampanye dan lain-lain, mereka itu dibiayai oleh korporasi. Temuan
kami kebanyakan adalah korporasi tambang, sawit dan industri
kehutanan. Kompensasinya, kemudahan izin dan konsesi.”

“Nah, itulah yang kami sebut dengan penyanderaan negara


atau state capture corruption. Korupsi yang menyandera negara,
bahasa lainnya itu ijon politik.”

Baca juga: Horor RUU Cipta Kerja: dari Izin Lingkungan Hilang


sampai Lemahkan Sanksi Hukum

Kalau melihat politik hukum pengesahan UU Cipta Kerja, kata Eko,


justru mau memudahkan seluruh perizinan investasi. Padahal,
kalau melihat kondisi saat ini, dengan berbagai regulasi yang
dianggap menghambat investasi pun, praktik korupsi sumber daya
alam dan agraria banyak terjadi.

“Kalau semua dipermudah malah lebih akan banyak lagi potensi


korupsi. Nggak ada omnibus law saja, praktik korupsi sumber daya

17
alam saja sudah kayak begini. Apalagi ditambah dengan
kemudahan-kemuhaan izin itu. Sangat mungkin akan meningkat.”

UU Cipta Kerja, katanya, justru akan makin menguatkan jejaring


gurita oligarki. Kalau melihat susunan anggota DPR, dari 500-an
anggota, 300- lebih adalah pebisnis. Dia menduga, ada conflict of
interest dalam penyusunan UU Cipta Kerja. Melihat itu, katanya,
secara politik hukum UU Cipta Kerja justru akan melanggengkan
oligarki dan menguntungkan korporasi dan jaringan di politik
nasional.

“Gak melayani rakyat, hanya mengabdi kepada korporasi dan


pebisnis yang itu tercipta dari persoalan agraria nasional. Akan
berpotensi menciptakan korupsi sumber daya alam dan
memperparah krisis agraria.”

Hal lain yang disoroti Eko mengenai ketentuan bank tanah. Menurut
dia, peruntukan bank tanah juga tak jelas.

“Di bank komersil saja secara logika sederhana, petani itu


bisa nggak meminjam? Nggak bisa kan. Istilah bank tanah ini elite.
Nah bisa dibayangkan bank tanah itu nantinya untuk melayani apa
meski sebagian untuk reforma agraria. Nanti tanah-tanah yang
dikumpulkan oleh bank tanah ini, akan jadi obyek pembangunan.
Mungkin nanti sisanya untuk reforma agraria. Menurut saya ini
menghina reforma agraria.”

Sebab, kata Eko, dalam menjalankan agenda reforma agraria tak


ada konsep yang dilayani skema bank. Reforma agraria, sejatinya
upaya merombak ketimpangan lahan, lalu ada redistribusi tanah.
“Bukan tanah dikumpulin terus dibagi-bagikan.”

Dalam konsep reforma agraria pemerintah saat ini, katanya, lebih


banyak menyasar soal legalisasi aset seperti sertifikasi lahan.
Dengan sertifikasi lahan dan pembentukan bank tanah,
menunjukkan kebijkan agraria di Indonesia dipandu pasar.

“Omnibus law ini, menegaskan, praktik kebijakan agraria Indonesia


berwatak land reform dipandu pasar. Dengan begitu apa? Ini untuk
kepentingan pasar. Maka gak heran kalau orientasi liberalisasi
ekonomi.”

Selain itu, katanya, pembentukan bank tanah seperti upaya


legalisasi makelar tanah. Pemerintah, seolah bertindak sebagai
makelar tanah.

18
  Ta
ufik Iskandar bersama rekannya di lahan pertanian cabai. Kampunya
kini berdampingan dengan tambang dan PLTU Batubara. Omnibus law
peluang terjadi perluasan, lahan-lahan pertanian macam punya Taufik
Iskandar ini, bisa terancam. Foto Tommy Apriando/ Mongabay
Indonesia

Kalau merujuk UU Pokok Agraria, kata Eko, jelas menyatakan


tanah itu punya fungsi sosial. Ia tak boleh diperjualbelikan dan tidak
boleh dikomodifisikan. Pembentukan bank tanah, katanya, sebuah
tindakan inkonstitusional.

“Sofyan Djalil [Menteri Agraria Tata Ruang/BPN], dimana-mana


mengatakan bank tanah itu akan memudahkan bahkan harga bisa
nol rupiah. Pertanyaannya, memang negara punya hak atas tanah?
Negara itu gak punya hak atas tanah. Di dalam konsepsi hak
menguasai negara, itu yang ditujuk Pasal 33 UUD 1945. Dikuasai
negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Jadi hak
menguasai negara itu adalah mengkoordinasi dan memfasilitasi.
Bukan memiliki.”

Eko melihat, banyak pasal dalam UU Cipta Kerja yang merupakan


naskah draf RUU Pertanahan yang sebelumnya ditolak. Dia bilang,
banyak pasal titipan terintegrasi dalam UU Cipta Kerja.

Sebelum itu, Maria S.W. Sumardjono, Guru Besar Fakultas Hukum


Universitas Gadjah Mada (UGM) menilai, banyak pasal dalam UU
Cipta Kerja menyangkut kluster pertanahan bermasalah secara
substansi maupun formil. UU Cipta Kerja, katanya, akan
menimbulkan banyak masalah di isu agraria.

19
“Isu krusial dalam UU Cipta Kerja terkait bank tanah, hak
pengelolaan dan rumah susun untuk warga negara asing. Dari
substansi khusus untuk pertanahan nyata sekali, rumusan itu bias
pada kepentingan pengusaha dan abai reforma agraria,” katanya,
dalam diskusi daring beberapa waktu lalu.

Dia bilang, rumusan substansi manipulatif karena tak merujuk satu


Undang-undang yang diubah. Substansi dalam UU Cipta
Kerja copy paste penuh dari substansi RUU Pertanahan dengan
yang tidak pembahasan setop alias tak lanjut DPR periode lalu
karena masalah-masalah krusial tak terselesaikan.

Menurut Maria, substansi tak selesai dibahas dalam RUU


Pertanahan dan ditolak banyak kalangan justru diselundupkan
dalam UU Cipta Kerja. Malah memindahkan permasalahan yang
lebih gawat di dalam omnibus law.

Beberapa hal bermasalah dalam omnibus law terkait kluster


pertanahan, kata Maria, seperti, bank tanah yang tak jelas apa
landasan hukum, konstruksi, tak jelas filosofi, kelembagaan,
maupun tujuan. Bank tanah ini, katanya, malah bisa disangkakan
memang membantu kelompok tertentu. “Mengapa? Bisa dibaca
kewenangannya antara lain membantu kemudahan perizinan usaha
atau persetujuan,” katanya.

Kemudian cara memperoleh pengadaan tanah, ditambahkan


dalam omnibus law antara lain untuk kawasan ekonomi, kawasan
pariwisata dan lain-lain.

Menurut Maria, substansi terkait dengan pertanahan dalam UU


Cipta Kerja manipulatif. Jika pun dipaksakan, akan terdapat
kesulitan dalam penyusunan aturan peksananya.

Dalam temu media daring beberapa waktu lalu Sofyan Djalil,


Menteri ATR/BPN mengatakan, esensi terbit UU Cipta Kerja sesuai
arahan Presiden Joko Widodo. Selama ini, katanya, di Indonesia
banyak sekali tumpang tindih peraturan. Pemerintah, katanya, coba
jawab dengan UU Cipta Kerja.

Saat evaluasi, katanya, ada 79 Undang-undang saling


bertentangan dan menghambat investasi maka hadirlah jawaban
melalui UU Cipta Kerja.

Dengan ‘memperbaiki’ 79 UU yang saling bertentangan melalui UU


Cipta Kerja, kata Sofyan, iklim investasi jadi lebih mudah. Dengan
begitu, investor mau menanamkan modal di Indonesia, tidak perlu
banyak mengurus izin yang dinilai rumit.

20
“Kalau misal investasi itu tidak menimbulkan dampak lingkungan,
cukup dengan pendaftaran. Kalau izin usaha kecil itu tidak perlu
pakai izn lingkungan. Tapi kalau perusahaan besar punya dampak
terhadap lingkungan, punya dampak terhadap keselamatan
mansuia, masih tetap harus amdal [analisis mengenai dampak
lingkungan] diperlukan.”

Dia tuding warga yang demonstrasi menolak UU Cipta Kerja


sebagai pihak tak paham tujuan UU itu.

“Bahwa, omnibus law masih ada kekurangan, ayo perbaiki.”

Undang-undang itu, katanya, belum tuntas karena harus ada


peraturan pemerintah. “Di ATR/BPN saja harus bikin lima PP
[peraturan pemerintah]. Sekarang minta input dari semua orang,
silakan. Supaya nanti dalam pelaksanaan sesuai harapan. Kalau
ada kekurangan, kita perbaiki di peraturan pemerintahnya.”

“Kalau ada yang menganggap melanggar konstitusi, kita bawa ke


mahkamah konstitusi. Kalau PP dianggap merampas, tidak cocok
dengan spirit Undang-undang, bawa ke Mahkamah Agung. Jadi
semua ada mekanismenya,” katanya.

Landasan filosofis pembentukan UU Cipta Kerja, menurut Sofyan,


sudah jelas. Terpenting, apapun untuk mencapai tujuan bernegara,
kemakmuran rakyat, dan keadilan sosial untuk seluruh rakyat
Indonesia. Dia tak ada menjawab kekhawatiran berbagai kalangan
soal omnibus law tak menjawab konflik agraria maupun
ketimpangan kuasa sumber daya alam termasuk agraria.

Kementerian ATR/BPN, katanya, sedang siapkan antara lain


peraturan pemerintah soal tata ruang lebih komprehensif yang
dianggap lebih menjamin dan menjawab kebutuhan masyarakat
serta lebih memudahkan investasi sekaligus mencegah korupsi.
Kemudian peraturan pemerintah tentang tentang pengadaan tanah
untuk kepentingan umum yang lebih efisien dan lebih cepat. Dia tak
jelaskan peraturan pemerintah model apa yang bisa menjawab
berbagai hal itu.

Soal bank tanah dia bilang penting. Alasannya, pemerintah tidak


mempunyai lembaga khusus menangani tanah negara.
Pembentukan bank tanah, kata Sofyan, untuk mengambil tanah-
tanah terlantar, tanahtak terurus, tak bertuan, atau tanah-tanah
yang dilepaskan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutananan untuk kepentingan perkebunan, tetapi tidak

21
dimanfaatkan. Fungsi bank tanah, katanya, untuk memanfaatkan
tanah-tanah terlantar itu.

“Ini untuk kepentingan publik. Untuk kepentingan sosial dan reforma


agraria. Bahkan kalau misal nanti ada investasi datang ke
Indonesia mengatakan, akan bikin pabrik handphone dan
mempekerjakan puluhan ribu orang, itu juga bisa.”

Dia beri contoh, pernah ada perusahaan handphone dari Taiwan


akan memindahkan pabrik ke Indonesia dan mempekerjakan
puluhan ribu orang. “Mereka minta tanah 50 hektar dengan sewa
murah. Waktu itu kan kita gak punya tanah.” Kalau bank tanah
sudah ada, hal seperti itu bisa difasilitasi negara.

Bahkan, katanya, demi menarik investasi, memungkinkan investor


mendapatkan tanah secara cuma-cuma selama 20 tahun sebagai
insentif.

“Toh tanah itu kan gak dibawa ke negaranya. Setelah 20 tahun, kita


kenakan sewa mahal.”

Selama ini, katanya, pemerintah sulit membuat perumahan rakyat


di perkotaan karena tidak ada tanah negara atau harga tanah
mahal. Ada bank tanah dia harapkan mampu menjawab
permasalahan itu.

Nantinya, bank tanah meskipun jadi lembaga power full, tetapi tetap


harus diawasi dengan sistem yang baik. Dia bilang, akan ada
dewan pengawas terdiri dari tujuh orang. Tiga wakil pemerintah ex
officio, sisanya pengawas independen dari kalangan professional.

“Mungkin KPA itu, aktivis-aktivis agraria yang tertarik kita akan


undang. Kita akan pilih dan nanti kita akan kirimkan kepada DPR
yang akan approve.”

Keterangan foto utama: Hutan adat Laman Kinipan dihancurkan


untuk kebun sawit. Protes tak mau hutan mereka rusak, warga
Kinipan pun hadapi jerat hukum. Kini, Kampung Kinipan sedang
dilanda banjir besar. Kala hutan mereka hilang, bencana
datang….Belum ada omnibus law dengan fokus kemudahan
investasi saja konflik agraria terjadi di mana-mana, bagaimana
setelah omnibus law jalan? Foto: Save Kinipan/ Mongabay
Indonesia

22
23

Anda mungkin juga menyukai