Anda di halaman 1dari 11

Efektivitas Pelaksanaan Peraturan dalam Perjanjian Sistem

Bagi Hasil Pertanian

(Studi Kasus di Kabupaten Lamongan)

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Metode Penelitian dan Penulisan

Hukum

Dosen pembimbing: Prof. Dr. Yodis Lubili SH., M.Si.

Oleh :

Disusun Oleh:
Naoval Alutfi (215010107111138)

UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS HUKUM
MALANG
2023
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Tanah mempunyai fungsi sosial yang pemanfaatannya harus sungguh-


sungguh membantu usaha meningkatkan kesejahteraan rakyat dalam rangka
mewujudkan keadilan sosial. Oleh karena itu perlu terus dikembangkan rencana
tata ruang dan tata guna tanah secara nasional. Sehingga pemanfaatan tanah
dapat terkoordinasi antara berbagai jenis penggunaan dengan tetap memelihara
kelestarian alam dan lingkungan, serta mencegah penggunaan tanah yang
merugikan kepentingan masyarakat.1
Tujuan dari pada pemantapan pembangunan di bidang pertanian ini adalah
untuk mendukung pembangunan di bidang ekonomi, dalam upaya untuk tumbuh
dan berkembang atas kekuatan sendiri sehingga tanah terutama tanah pertanian
yang merupakan sumber daya kehidupan, memegang peran sangat penting bagi
kehidupan dan penghidupan masyarakat Indonesia baik masyarakat perkotaan
maupun pendesaan dalam mencukupi kebutuhannya.
Dalam rangka untuk melindungi golongan petani yang berekonomi lemah
terhadap praktek-praktek yang mengandung unsur-unsur “exploitation” dari
golongan berekonomi kuat, maka Pemerintah Indonesia telah mengatur perjanjian
tersebut dalam Undang- Undang No. 2 Tahun 1960 (selanjutnya disingkat UU No.
2 Tahun 1960) tentang Perjanjian Bagi Hasil, yang mulai berlaku sejak tanggal 7
Januari 1960 dan merupakan dasar pembenar (justification) bagi berlakunya di
masyarakat. Adapun tujuan dilahirkannya Undang-undang yang mengatur tentang
perjanjian bagi hasil adalah sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan Undang-
undang tersebut,yaitu :
1) Agar pembagian hasil tanah antara pemilik dan penggarapnya dilakukan
atas dasar yang adil dan,
2) Dengan menegaskan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari pemilik dan
penggarap agar terjamin pula kedudukan hukum yang layak bagi para
penggarap, yang biasanya dalam perjanjian bagi hasil itu berada dalam
kedudukan yang tidak kuat, yaitu karena pada umumnya tanah yang
tersedia tidak banyak, sedang jumlah orang yang ingin menjadi
penggarapnya adalah sangat besar.
3) Dengan terselenggaranya apa yang tersebut pada poin 1 dan 2 diatas,
maka akan bertambahlah kegembiraan bekerja pada para petani
penggarap, yang mana berpengaruh baik pada cara memelihara kesuburan
dan mengusahakan tanahnya.
Hal itu tentu akan berpengaruh baik pula pada produksi tanah yang
bersangkutan, yang berarti suatu langkah maju dalam melaksanakan
program yang akan melengkapi sandang pangan rakyat.
Apabila dilihat dari tujuan dibuatnya undang-undang mengenai perjanjian bagi
hasil sebagaimana telah dikemukakan diatas, maka sudah sepantasnya kedudukan
petani penggarap semakin terlindungi dan pengelolaan lahan pertanian juga
semakin terjaga. Undang-undang nomor 2 tahun 1960 tentang bagi tanah
pertanian ini mengatur perjanjian pengusahaan tanah dengan bagi hasil, agar
pembagian hasil tanahnya antara pemilik dan penggarap dilakukan atas dasar
yang adil dan agar terjamin pula kedudukan hukum yang layak bagi para
penggarap itu, dengan menegaskan hak-hak dan kewajiban-kewajiban, baik dari
penggarap maupun pemilik.2

Dengan demikian tujuan utama dari Undang-undang Perjanjian Bagi Hasil ini
untuk memberikan kepastian hukum kepada petani penggarap tanah. Hal ini
bukan berarti memberikan perlindungan khusus kepada penggarap tanah namun
untuk menegaskan hak dan kewajiban baik penggarap maupun pemilik tanah,
mengingat adanya kecenderungan manusia untuk memperoleh hak sebanyak-
banyaknya dari perjanjian yang dibuatnya.

Berdasarkan survei diketahui bahwa sebagian besar anggota masyarakat yang


melakukan perjanjian bagi hasil tetap memakai sistem lama yaitu mengikuti aturan
adat atau kebiasaan yang berlaku di tempat/desa tersebut. Dan sangat sulit
dipantau keberadaannya, karena tidak ada dokumen yang dibuat secara tertulis
sebagai bahan bukti adanya perjanjian bagi hasil dmaksud. Sebelum dikeluarkan
undang-undang no 2 tahun 1960 tentang perjanjian bagi hasil, di daerah-daerah
padat penduduk seperti pulau jawa, Madura, dan bali sudah mengalami kondisi,
dimana jumlah lahan tersedia tidak sebanding lagi dengan banyaknya jumlah
penggarap. Dalam kondisi seperti ini penggarap secara terpaksa menerima semua
persyaratan yang diajukan oleh pemilik tanah, walaupun syarat tersebut sangat
memberatkan dan tidak adil. Di lain pihak, sistem sewa dan sistem lainnya
penggarap jarang sekali mau melaksanakan, hal itu disebabkan antara lain
penggarap tidak punya modal (uang) untuk membayar sewa, yang umumnya
dibayar dimuka di samping itu bilamana gagal panen, maka resiko tidak
ditanggung secara bersama, artinya hanya penggaraplah yang akan menjadi
korban. Oleh sebab itu, perjanjian bagi hasil yang berlangsung dalam masyarakat
tidak sepenuhnya didasari pada negosiasi antara pemilik dengan penggarap, tetapi
lebih dominan diatur oleh hukum adat/kebiasaan setempat.

1
A.P Parlindungan, komentar atas undang-undang pokok agrarian, (Bandung, Mandar Maju,1998), hlm.8
Sementara hukum adat sendiri tidak mengaturnya secara tegas, sehingga
seringkali kedudukan penggarap selalu dalam posisi yang lemah. Dalam suasana
seperti ini sangat dimungkinkan terjadinya pemerasan oleh pihak yang kuat (dalam
hal ini pemilik) terhadap pihak yang lemah yakni si penggarap.
Hal ini tentu saja tidak boleh dibiarkan berlarut-larut, karena sangat bertentangan
dengan prinsip yang terkandung dalam UUPA No. 5 Tahun 1960, yang sama sekali
tidak membenarkan penindasan oleh si kuat terhadap si lemah. Dan ini juga
sangat bertentangan dengan tujuan nasional yang ingin dicapai yaitu memajukan
kesejahteraan umum bagi seluruh rakyat Indonesia termasuk kaum petani. Upaya
untuk mendorong pembagian hasil yang merata dan memperluas kesempatan
kerja, salah satunya adalah dengan cara melaksanakan ketentuan bagi hasil atas
tanah pertanian secara adil, sehingga pemilik dan penggarap sama-sama
bergairah. Dengan demikian lapangan kerja di sektor pertanian akan semakin
meningkat. Berhubungan dengan apa yang telah diuraikan di atas, maka perlu
dilakukan penelitian yang bersifat yuridis empiris dengan menggunakan metode
pendekatan yuridis empiris, dengan maksud dan tujuan untuk menguraikan
bagaimana sesungguhnya pelaksanaan perjanjian bagi hasil.

Untuk mengetahui lebih dalam tentang pelaksanaan sistem bagi hasil dalam
pertanian, maka dilakukan penelitian dengan judul “pengaturan pelaksanaan
bentuk perjanjian dalam sistem bagi hasil pertanian”.

B. Rumusan masalah

1. Apakah perjanjian bagi hasil atas tanah pertanian sudah dilaksanakan


sesuai dengan aturan hukum?
2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi pelaksanaan perjanjian bagi hasil
tanah pertanian?

C. Tujuan penelitian

1. Untuk mengetahui apakah perjanjian bagi hasil atas tanah sudah sesuai
dengan aturan hukum.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan perjanjian
bagi hasil tanah pertanian.

2 Sudargo Gautama, Tafsiran Undang-undang Pokok Agraria, (Bandung, Citra Aditya Bakti,1993), hlm. 253.
D. Manfaat Penelitian

Penelitian dengan judul “Pengaturan Pelaksanaan Bentuk Perjanjian Bagi Hasil


Tanah Pertanian di Kabupaten Lamongan“ ini adalah wujud dari pengamatan
penulis atas semakin maraknya pelaksanaan perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian
yang terjadi khususnya di Kabupaten Lamongan. Adapun manfaat yang
diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Secara Teoritis/Akademis
Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran guna
pengembangnan ilmu hukum, khusunya Hukum Pertanian, mengenai
pelaksanaan perjanjian Bagi Hasil yang sesuai dengan peraturan perundang-
undang yaitu Udang-Udang Nomor 2 tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil.
2. Secara Praktis
a. Untuk memberikan gambaran pelaksanaan perjanjian Bagi Hasil (Tanah
Pertanian ), dalam praktek.
b. Untuk memberikan sumbangan pemikiran bagi pengambil kebijakan
dalam mengatur dan menyelesaikan masalah-masalah yang muncul
dalam pelaksanaan perjanjian Bagi Hasil

E. Metode penelitian

Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan


data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Cara ilmiah berarti kegiatan ini
berdasarkan pada ciri-ciri keilmuan, yaitu rasional, empiris, dan sistematis.
Rasional yang dimaksud adalah kegiatan penelitian ini dilakukan dengan cara-cara
yang dilakukan itu dapat diamati oleh indera manusia, sehingga orang lain dapat
mengamati dan mengetahui cara-cara yang digunakan. Sistematis dapat diartikan
sebagai proses yang digunakan dalam penelitian dan menggunakan langkah-
langkah tertentu yang bersifat logis.

a) Pendekatan penelitian
Dalam suatu penelitian untuk mendapatkan hasil yang optimal harus
menggunakan metode penelitian yang tepat. Penelitian ini menggunakan
metode sosio legal, dikarenakan penelitian ini adalah penelitian deskriptif
yang nantinya akan dituangkan dalam bentuk laporan dan uraian, jadi tidak
menggunakan angka-angka statistik. Pendekatan yang digunakan dalam
penelitian ini yaitu empiris atau penelitian yang objeknya mengenai gejala-
gejala, peristiwa, dan fenomena yang terjadi di masyarakat, lembaga atau
Negara yang bersifat non pustaka dengan melihat fenomena yang terdapat
di masyarakat.
Ciri-ciri penelitian empiris adalah melakukan penelitian pada latar alamiah
atau pada konteks dari suatu keutuhan, mengandalkan manusia sebagai
alat penelitian (instrumen), menggunakan analisis data secara induktif,
mengarahkan sasaran penelitian pada usaha menemukan teori dari dasar
(grounded theory), bersifat deskriptif, lebih mementingkan proses daripada
hasil, membatasi studi dengan fokus, memiliki seperangkat kriteria untuk
memeriksa keabsahan data, desain penelitian bersifat sementara dan hasil
penelitian dirundingkan serta disepakati bersama antara peneliti dan subjek
penelitian.
Dengan dasar tersebut, maka penelitian ini diharapkan mampu memberikan
gambaran mengenai pelaksanaan bagi hasil pertanian di Kabupaten
Lamongan. Dengan didukung oleh data- data tertulis maupun data-data
hasil wawancara. Penelitian perlu memfokuskan pada masalah tertentu.
Ada dua maksud yang ingin dicapai peneliti dalam menetapkan fokus adalah
sebagai berikut:
• Penetapan fokus dapat membatasi studi atau membatasi bidang
inkuiri, yang berarti bahwa dengan adanya fokus, penentuan tempat
penelitian menjadi layak.
• Penetapan fokus berfungsi untuk memenuhi kriteria memasukkan
dan mengeluarkan suatu informasi yang baru diperoleh di lapangan.
Mungkin data cukup menarik, tetapi jika dipandang tidak relevan,
data itu tidak akan dihiraukan (Moleong, 1996: 237).

Fokus dalam penelitian ini, adalah sebagai berikut:


1. Pelaksanaan bagi hasil pertanian sawah di Kabupaten lamongan
dengan indicator
a. Ketaatan pihak penggarap dan pemilik tanah dalam melakukan
perjanjian.
b. Pembagian hasil pertanian sawah yang sesuai dengan perjanjian.
2. Kendala yang muncul dalam pembagian hasil pertanian sawah di
Kabupaten Lamongan
3. Cara mengatasi kendala-kendala dalam bagi hasil pertanian sawah
di Kabupaten Lamongan.

b) Alasan pemilihan lokasi penelitian


Penelitian dilakukan di Kabupaten Lamongan. Kabupaten Lamongan
terdiri dari 27 kecamatan. Dari 27 kecamatan tersebut ditentukan dua
kecamatan secara purposive sampling yang artinya pengambilan sampel
yang ditarik secara sengaja karena alasan yang diketahuinya sifat-sifat
sampel itu, yaitu penentuan
sample yang didasarkan pada ciri-ciri tertentu dari wilayah yang
bersangkutan bahwa dua kecamatan tersebut banyak terjadi pelaksanaan
perjanjian bagi hasil tanah pertanian yang turun menurun. Dua kecamatan
tersebut adalah Kecamatan Tikung dan Kecamatan Kembangbahu. Dari tiga
belas desa yang ada di Kecamatan Tikung, diambil lima desa sebagai
sampel secara purposive sampling yaitu penentuan sample yang didasarkan
pada ciri-ciri tertentu dari wilayah yang bersangkutan yaitu Desa
Dukuhagung, Desa Pengumbulanadi, Desa Mabang Soko, Desa sarirejo,
dan Desa Tinaro. Dari delapan belas desa yang ada di Kecamatan
Kembangbahu diambil lima desa sebagai sampel secara purposive sampling
yaitu penentuan sample yang didasarkan pada ciri-ciri tertentu dari wilayah
yang bersangkutan yaitu Desa Selomartani, Desa Tirtomartani, Desa
Wangun, Desa Mbriti dan Desa Saloyo.

c) Populasi dan Sampling

a. Populasi merupakan sejumlah manusia atau unit yang mempunyai ciri-ciri


atau karakteristik yang sama. Populasi berjumlah 240 orang terdiri dari 80
pemilik tanah dan 160 penggarap.
b. Sampel adalah bagian dari populasi yang dianggap mewakili
populasinya.10 Sampel dalam penelitian ini diambil 10% dari populasi
secara purposive sampling, yaitu pemilik tanah yang mempunyai dua
penggarap

d) Sumber data penelitian


• Sumber data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari
obyek yang diteliti. Pengumpulan data dilakukan dengan cara terjun
langsung kelapangan untuk memperoleh data yang diperlukan.
Sumber data primer
ini, guna memperoleh data dilakukan dengan cara wawancara,
observasi dan dokumentasi.
• Sumber data sekunder, untuk memperoleh sumber data sekunder
penulis menggunakan teknik dokumentasi, dokumentasi yang
digunakan dalam penelitian ini adalah sumber tertulis yang berupa
buku, gambar dokumentasi, dan rekap pembagian hasil.
e) Responden dan Narasumber
Responden dalam penelitian ini berjumlah 24 orang yangditentukan
secara purposive sampling yaitu penentuan sample yang didasarkan pada
ciri-ciri tertentu dari wilayah yang bersangkutan. Sehingga responden
penelitian ini terdiri dari dua orang pemilik tanah masing-masing
mempunyai empat orang penggarap dari Desa Dukuhagung.
dua orang pemilik sawah masing-masing mempunyai empat orang
penggarap dari Desa Tinaro (Kecamatan Tikung), dua orang pemilik sawah
masing-masing dari dua orang pemilik tanah masing-masing mempunyai
empat orang penggarap dari Desa Dukuhagung.
dua orang pemilik sawah masing-masing mempunyai empat orang
penggarap dari Desa Tinaro (Kecamatan Tikung), dua orang pemilik sawah
masing-masing mempunyai empat orang penggarap dari Desa Selomartani
dan dua orang pemilik tanah masing-masing mempunyai empat orang
penggarap dari Desa Wangun (Kecamatan Kembangbahu). Sehingga
responden terdiri dari 8 pemilik tanah dan 16 penggarap.

a. Untuk pengumpulan data primer dipergunakan kuesioner dan


wawancara:
• Kuesioner dalam penelitian ini adalah daftar pertanyaan
tertulis yang diajukan kepada para responden untuk
memperoleh data yang berkaitan dengan pelaksanaan
perjanjian bagi hasil tanah pertanian antara pemilik tanah
dan penggarap di Kecamatan Tikung Kabupaten
Lamongan.
• Wawancara dalam penelitian ini adalah proses tanya jawab
mengenai pelaksanaan perjanjian bagi hasil tanah
pertanian antara pemilik tanah dan penggarap di
Kecamatan Tikung Kabupaten Lamongan.
b. Untuk mengumpulkan data sekunder dilakukan studi kepustakaan
dengan menelusuri berbagai literatur seperti buku-buku dan hasil
penelitian terdahulu serta peraturan perundang-undangan yang
terkait dengan perjanjian bagi hasil tanah pertanian.

F. Penelitian terdahulu

1. Adhe Negara dengan skripsi berjudul “efektivitas pelaksanaan bagi hasil


pertanian sawah di desa Tapa Lama Kecamatan Sikap Dalam Provinsi Sum-Sel”
2. F. hermawan dengan skripsi berjudul “pelaksanaan perjanjian bagi hasil tanah
pertanian”.

G. Kajian Pustaka
Dalam penulisan skripsi ini peneliti menggali informasi dari penelitian-penelitian
sebelumnya sabagai bahan perbandingan, baik mengenai kekurangan atau
kelebihan yang sudah ada. Selain itu, peneliti juga menggali informasi dari buku-
buku maupun skripsi dalam rangka mendapatkan suatu informasi yang ada
sebelumnya tentang teori yang berkaitan dengan judul yang digunakan untuk
memperoleh landasan teori ilmiah.
1. Adhe Negara dengan skripsi berjudul “efektivitas dalam pelaksanaan bagi hasil
pertanian sawah di desa Tapa Lama Kecamatan Sikap Dalam Provinsi Sum-Sel”
Penelitian ini merupakan jenis penelitian yang menggunakan metode Empiris.
Pengumpulan data yang digunakan adalah instrumen tes yang berupa multiple
choice test dan essay untuk mengetahui hasil sejauh mana tingkat efektivitas dalam
pelaksaan sistem bagi hasil tanah yang selama ini dilakukan oleh Masyarakat
setempat, apakah sudah sesuai dan atau sejalan dengan peraturan yang telah ada
dan ditetapkan oleh pemerintah atau mereka menjalankan atas dasar hukum adat
ataukebiasaan yang turun temurun terjadi di daerah tersebut.
Dari hasil penelitian diperoleh bahwa, Perjanjian bagi hasil yang dijalankan di desa
tapa lama kecamatan sikap dalam provinsi Sumatra selatan, tidak pernah
menentukan jangka waktunya. Sehingga nanti di kemudian hari bila ada masalah
antara kedua belah pihak, perjanjian bagi hasil ini dapat berakhir. Pemutusan
Perjanjian bagi hasil tanah pertanian antara pemilik dan petani penggarap, yang
dilakukan secara sepihak apabila kemudian terjadi sengketa maka hal ini biasa
diselesaikan secara musyawarah antara kedua belah pihak. Hal tersebut di atas
menunjukkan bahwa dalam pelaksanaan perjanjian bagi hasil tanah pertanian di
desa tapa lama kecamatan sikap dalam provinsi Sumatra selatan, masyarakat hanya
berpedoman pada kebiasaan-kebiasaan dan rasa saling percaya.
Mengenai bentuk perjanjian bagi hasil masyarakat melakukan dengan cara lisan,
tidak ada saksi dan tidak dilakukan dihadapan Kepala Desa. Dengan demikian UU
Nomor 2 Tahun 1960 tidak dilaksanakan oleh masyarakat di desa tapa lama
kecamatan sikap dalam provinsi Sumatra selatan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan perjanjian bagi hasil tanah pertanian


di desa tapa lama kecamatan sikap dalam provinsi Sumatra selatan yaitu:
a. Faktor petugas yang menegakkannya, tidak ada sosialisasi Undang-undang
nomor 2 Tahun 1960 tentang perjanjian bagi hasil kepada masyarakat. Sehingga
hal itu membuat Masyarakat yang ada di Desa Tapa Lama menjadi acuh terhadap
peraturan yang ada dan menjadikan hukum adat atau kebiasaan yang
berlangsung terjadi selama ini untuk dijadikan dasar dalam membentuk sebuah
perjanjian.
b. Faktor masyarakat, dimana masyarakat di Desa penelitian telah merasa cukup
apabila mengikuti adat kebiasaan tentang perjanjian bagi hasil yang selama ini
mereka lakukan. Hal itu juga terjadi karena mereka tidak tau akan sebuah
peraturan yang sah secara hukum dan menjadikan mereka membuat atau
melakukan kebiasaan yang menurut mereka itu sudah cukup dan tidak
merugikan kedua belah pihak.
DAFTAR PUSTAKA

A.P Parlindungan, komentar atas undang-undang pokok agrarian, (Bandung, Mandar


Maju,1998), hlm.8
Sudargo Gautama, Tafsiran Undang-undang Pokok Agraria, (Bandung, Citra Aditya
Bakti,1993), hlm. 253.
Ibid, hal.27
Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum Dalam Masyarakat (Jakarta;
Rajawali, 1982) hal. 14

Anda mungkin juga menyukai