(Jurnal)
Oleh
Ervina Eka Putri
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2018
ABSTRAK
Oleh
Ervina Eka Putri, Eddy Rifai, Damanhuri WN
Email : vinaervinaeka@gmail.com
Sebagai warga Negara Indonesia, kita memiliki hak-hak atas tanah yang meliputi: hak
milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa untuk bangunan, hak
membuka tanah, hak memungut hasil hutan. Dalam kehidupan sehari-sehari tentu
banyak berbagai peristiwa yang terjadi, salah satunya adalah penyerobotan dan
pengrusakan tanah milik orang lain, baik disengaja maupun tidak disengaja di Indonesia
pada umumnya dan khususnya di wilayah Bandar Lampung. Banyaknya peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang penyerobotan tanah yang ada di negara ini,
ternyata belum bisa membuat kasus penyerobotan tanah bisa dengan mudah di
selesaikan ditingkat peradilan. Hal tersebut bisa terlihat ketika adanya keputusan
pengadilan atas kasus pidana tentang penyerobotan tanah, belum bisa digunakan untuk
mengeksekusi lahan yang disengketakan atau yang diserobot, karena keputusan pidana
yaitu menghukum atas orang yang melakukan penyerobotan tanah, sehingga hak
penguasaan atas tanah tersebut pada umumnya masih harus diselesaikan melalui
gugatan secara perdata. Penyerobotan tanah merupakan salah satu jenis tindak pidana
yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Penulisan skripsi ini menggunakan dua
pendekatan masalah yaitu pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris. Hasil
penelitian Penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana penyerobotan dan
pengrusakan tanah di wilayah Bandar Lampung sanksi hukum yang diberikan terhadap
tindak pidana penyerobotan tanah dapat didasarkan pada ketentuan Pasal 2 Undang-
Undang Nomor 51 PRP Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin
Yang Berhak Atau Kuasanya dan dapat pula diterapkan ketentuan Pasal 385 KUHP, di
mana Pasal tersebut merupakan satu-satunya Pasal yang mengatur tentang kejahatan
yang berkaitan langsung dengan kepemilikan tanah sementara dalam faktor penegak
hukum kurangnya anggota atau penyidik yang benar-benar berkompeten dalam
menangani kasus tersebut sehingga dalam proses penyidikan sedikit terkendala. Saran
dalam penelitian adalah hendaknya secara khusus perlu diadakan pengkajian ulang
terhadap hierarki peraturan perundang- undang yang mengatur kewenangan Pemerintah
Daerah di bidang pertanahan, agar pelaksanaan sistem pelayanan administrasi
pertanahan di daerah menjadi lebih lancar, terarah dan terpadu secara efketif dan efisien.
As citizens of Indonesia, we have land rights which include: property rights, use rights,
building rights, use rights, leases for buildings, land clearance rights, the right to
collect forest products. In everyday life of course many events that occur, one of which
is the grasping and destruction of land owned by others, both intentional and
unintentional in Indonesia in general and especially in the region of Bandar Lampung.
The number of laws and regulations governing land grabbing in this country has not
been able to make cases of land grabs easily solved at the judicial level. It can be seen
when a court decision on a criminal case concerning land grabs can not be used to
execute disputed or impoverished land, because the criminal decision is to punish the
person who is infesting the land, so that the right to land is generally still to be resolved
through a civil suit. Land grabbing is one of the types of criminal acts committed in
community life. Writing this thesis use two approach problem that is approach of
juridical normative and juridical empirical. Result of research Law enforcement on
perpetrators of criminal acts of annexation and destruction of land in Bandar Lampung
territory legal sanction granted to criminal acts of land grabbing can be based on the
provisions of Article 2 of Law Number 51 PRP Year 1960 concerning Prohibition of
Land Use Without Permission of Authorized Or Attorney and can also be applied to the
provisions of Article 385 of the Criminal Code, where the Article is the only article
regulating crimes directly related to temporary ownership of land in law enforcement
factors lack of members or investigators who are really competent in handling the case
so that in the process of investigation a little constrained. Suggestions in the study
should be a special review of the hierarchy of legislation that regulates the authority of
the Regional Government in the field of land, so that the implementation of the system
of land administration services in the region become more smoothly, directed and
integrated efketif and efficient.
6
Wawancara dengan Hakim Syamsudin, 25
Januari 2018
a.Barangsiapa (menunjuk pada pelaku, Berdasarkan hasil wawancara dengan
minimal pelaku yang diduga melakukan Syamsudin8 proses pengosongan
perusakan) tanahnya harus di tempuh tersendiri.
b.Dilakukan dengan sengaja dan melawan dengan dasar keputusan Pengadilan
hukum (tanpa izin merusak (pidana) yang menyatakan pelaku
tanaman/pohon/bangunan/pagar milik penyerobot bersalah, pemilik tanah
seseorang) harus mengajukan gugatan perdata ke
c.Melakukan perbuatan menghancurkan, pengadilan untuk upaya pengosongan,
merusakkan, membuat tidak dapat kecuali dalam putusan pidananya
dipakai atau menghilangkan barang sekaligus memuat hak keperdataan
sesuatu. pemilik yang harus dikembalikan
d.Barang tersebut seluruhnya atau sebagian kepadanya dengan mengosongkan tanah
adalah milik orang lain dari penguasaan pelaku atau siapa saja
(pohon/tanaman/bangunan/pagar/kendar yang memperoleh hak daripadanya.
aan yang dirusak bukan milik pelaku). Dengan proses yang harus ditempuh
melalui jenjang pengadilan perdata
Berdasarkan hasil wawancara dengan (Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi,
Ardiansyah7 perbuatan penyerobotan dan Mahkamah Agung) hingga
tanah tidak secara tegas dirumuskan penguasaan kembali tanah milik
dalam Pasal 385 KUHP, namun karena seseorang yang diserobot pihak lain,
Pasal tersebut merupakan satu-satunya lama waktu yang harus di tempuh jauh
Pasal yang mengatur tentang kejahatan lebih panjang dibandingkan lama waktu
yang berkaitan langsung dengan yang digunakan “penyerobot”
kepemilikan tanah, tidak ada Pasal lain menguasai tanah dimaksud. Oleh karena
yang dapat digunakan untuk itu pemilik tanah yang sebenarnya
mengancam dengan hukuman bagi cenderung mencari alternatif lain yang
seseorang yang menyerobot tanah milik reatif waktu yang diperukan lebih cepat
pihak lain. Di sisi lain, posisi hukum untuk upaya pengosongannya.
penguasaan atas tanah milik orang atau
pihak lain oleh seseorang atau beberapa Sebelum diterbitkan UU No. 5 Tahun
orang dengan tiada izin dari pemiik atau 1960 tentang “Peraturan dasar Pokok-
kuasanya (penguasaan tanpa hak) pokok Agraria” telah lebih dulu
dengan melalui proses peradilan pidana ditetapkan ketentuan yang melarang
terlebih dahulu terhadap peakunya, setiap orang memakai tanah milik pihak
tidak dengan sendirinya penguasaan lain tanpa seizin pemilik atau kuasanya
objek tanahnya kembali kepada pemilik yang sah. Karena tuntutan perdata saja
yang sebenarnya. Atau dengan kata lain, tidak dapat mengatasi persoalan okupasi
sekalipun unsur-unsur yang dirumuskan oleh rakyat, maka Pemerintah Hindia
daam Pasal 385 KUHP terpenuhi oeh Belanda menerbitkan ordonnatie tahun
perbuatan “pelaku”, areal tanah yang 1948 yang dimuat dalam S.1948 No.
”diserobot” tidak berarti dengan 110 yaitu “Ordonantie onrechtmatige
sukarela dikembalikan kepada pemilik. occupatie van gronden”. Ordonasi ini
melarang pemakaian tanah tanpa izin
yang tak berhak dengan memberi
ancaman pidana. Karena hambatan
politis, psikologis dan teknis dalam
7 8
Wawancara dengan Kasi Pidum Ardiansyah, 5 Wawancara dengan Hakim Syamsudin, 25
Februari 2018. Januari 2018
pemberlakuan ketentuan ini mengancam perbuatan “penguasaan
digunakanlah Undang-Undang Darurat tanpa hak” atau “penyebotan” atas tanah
No. 8 Tahun 1954 khusus untuk tanah- pihak lain yang dapat diklasifikasi
tanah perkebunan dan untuktanah non sebagai perbuatan curng adalah Pasal
perkebunan diatur oleh Kepala Staf 385 KUHP yang termuat dalam Buku
Angkatan Darat selaku Penguasa Kedua Bab XXV tentang perbuatan
Militer. curang (Bedrog).
DAFTAR PUSTAKA