Anda di halaman 1dari 39

Usulan Proposal

Kepastian Hukum Bagi Para Pihak Didalam Transaksi

Jual-Beli Tanah yang telah Dibebankan Hak Sewa

Kepada Pihak Ketiga.

OLEH:

I KADEK DWI ARIANA

2182411013

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2022

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang masalah.

Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan UndangUndang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) adalah Negara

hukum yang memberikan jaminan dan perlindungan atas hak-hak warga Negara,

antara lain hak warga negara untuk mendapatkan, mempunyai, dan menikmati hak

milik. Hak Milik atas tanah sebagai salah satu jenis hak milik, yang sangat

penting bagi negara, bangsa, dan rakyat Indonesia sebagai masyarakat agraria

yang sedang membangun ke arah perkembangan industri dan lain-lain. Akan

tetapi, tanah yang merupakan kehidupan pokok bagi manusia akan berhadapan

dengan berbagai hal, antara lain:1

1. keterbatasan tanah, baik dalam kuantitas maupun kualitas dibandingkan

dengan kebutuhan yang harus dipenuhi;

2. Pergeseran pola hubungan antara pemilik tanah dan tanah sebagai akibat

perubahan-perubahan yang ditimbulkan oleh proses pembangunan dan

perubahan-perubahan sosial pada umumnya;

3. Tanah di satu pihak telah tumbuh sebagai benda ekonomi yang sangat

penting, pada lain pihak telah tumbuh sebagai bahan perniagaan dan obyek

spekulasi;

4. Tanah disatu pihak harus dipergunakan dan dimanfaatkan untuk sebesar-

besarnya kesejahteraan rakyat lahir batin, adil dan merata, sementara di lain

pihak harus dijaga kelestariannya.

1
Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah Dan Pendaftarannya,(Jakarta : Sinar
Grafika,2010) hal. 1.

2
Tanah merupakan sumber daya penting dan strategis karena menyangkut

hajat hidup seluruh rakyat Indonesia yang sangat mendasar. Sebagaimana

diketahui masalah tanah memang merupakan masalah yang sarat dengan berbagai

kepentingan, baik ekonomi, sosial, politik, bahkan untuk Indonesia, tanah juga

mempunyai nilai religius yang tidak dapat diukur secara ekonomis. Tanah

mempunyai arti penting dalam kehidupan manusia karena tanah mempunyai

fungsi ganda, yaitu sebagai social asset dan capital asset. Sebagai social asset

tanah merupakan sarana pengikat kesatuan sosial di kalangan masyarakat

Indonesia untuk hidup dan kehidupan, sedangkan sebagai capital asset tanah

merupakan faktor modal dalam pembangunan. Sebagai capital asset tanah telah

tumbuh sebagai benda ekonomi yang sangat penting sekaligus sebagai bahan

perniagaan dan objek spekulasi. Disatu sisi tanah harus dipergunakan dan

dimanfaatkan untuk sebesar- besarnya kesejahteraan rakyat, secara lahir, batin,

adil, dan merata, sedangkan di sisi lain juga harus dijaga kelestariaannya.

Di bidang industri, tanah merupakan kebutuhan yang utama dalam

menjalankan kegiatan operasional usaha. Dunia industri seperti industri besar

membutuhkan tanah diantaranya untuk pendirian pabrik-pabrik, tempat

pembuangan (dumping area) dan untuk area penempatan/penampungan

(stacking area). Ketiadaan tanah dengan luas yang mencukupi dapat

mengganggu kegiatan operasional industri tersebut. Demikian besarnya fungsi

dan manfaat tanah, menjadikan tanah sebagai aset yang berharga bagi industri.

Meningkatnya sektor industri mengakibatkan kebutuhan akan tanah yang dapat

mendukung sektor ini juga semakin besar. Selain memanfaatkan tanah untuk

keperluan industri, perlu diperhatikan pula kewajiban untuk memelihara

3
kesuburan tanah.

Sebagai karunia Tuhan sekaligus sumber daya alam yang strategis bagi

bangsa, negara, dan rakyat, tanah dapat dijadikan sarana untuk mencapai

kesejahteraan hidup bangsa Indonesia sehingga perlu campur tangan negara turut

mengaturnya. Hal ini sesuai amanat konstitusional sebagaimana tercantum pada

Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 yang berbunyi : “Bumi, air, dan kekayaan alam

yang terkandung di dalamnya dikuasi oleh negara dan dipergunakan untuk

sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Dalam rangka mewujudkan amanat konstitusional tersebut, pada tanggal

24 September 1960 telah disahkan oleh Presiden Republik Indonesia Soekarno

dan diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 104 Tahun

1960, yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar

Pokok-pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA). Dengan lahirnya UUPA maka

terjadi perubahan fundamental pada Hukum Agraria di Indonesia terutama hukum

di bidang pertanahan yakni dengan terwujudnya suatu keseragaman Hukum Tanah

Nasional.

Adapun tujuan pokok dibentuknya UUPA, yaitu:

1. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan Hukum Agraria Nasional yang

akan merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan

keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka

masyarakat yang adil dan makmur;

2. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan

dalam hukum pertanahan;

4
3. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-

hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.

Didalam Pasal 2 ayat (2) UUPA, Negara sebagai organisasi kekuasaan

tertinggi mempunyai kewenangan untuk :

1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan

pemeliharaan bumi air dan ruangangkasa tersebut.

2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang

dengan bumi air dan ruang angkasa.

3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang

dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi air dan ruang

angkasa.

Dikarenakan tanah dianggap sangat berharga menurut UUPA, kepemilikan

hak atas tanah dapat dijadikan sebagai asset yang dapat dipindahkan kepada orang

lain. Oleh karena itu, didalam menghadapi masa pandemi ini, banyak sekali

masyarakat yang mengalihkan hak atas tanahnya kepada orang lain guna

mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya dengan cara

menjaul, menyewakan, dan menggaidaikan kepemilikan ha katas tanah yang

dimilikinya.

Peralihan hak atas tanah adalah berpindahnya hak atas tanah dari

pemegang hak yang lama kepada pemegang hak yang baru menurut ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Terdapat 2 (dua) cara peralihan

hak atas tanah, yaitu beralih dan dialihkan. Beralih menunjukkan berpindahnya

hak atas tanah tanpa ada perbuatan hukum yang dilakukan oleh pemiliknya,

misalnya melalui pewarisan. Sedangkan dialihkan menunjuk pada berpindahnya

5
hak atas tanah melalui perbuatan hukum yang dilakukan pemiliknya, misalnya

melalui jual beli. Di Indonesia, peralihan hak atas tanah didasarkan pada

Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah (PP

No. 10 Tahun 1961) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah

Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah (PP No. 24 Tahun 1997).

Dalam Pasal 37 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997 disebutkan bahwa,

“Pemindahan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui

jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan

hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya

dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang

berwenang menurut ketentuan peraturan perundang – undangan yang berlaku”

Secara umum, tanah diperoleh seseorang dengan cara jual beli. Jual beli

tanah merupakan bentuk peralihan hak yang sering terjadi dalam masyarakat.

Peralihan hak milik atas tanah juga dapat dilakukan melalui hibah, pemberian

dengan wasiat dan tukar- menukar. Baik jual beli, hibah, pemberian dengan

wasiat maupun tukar-menukar

Dalam KUHPerdata Pasal 1457, 1458 dan 1459 menyatakan bahwa jual

beli tanah adalah suatu perjanjian dimana satu pihak mengikatkan dirinya untuk

menyerahkan tanah dan pihak lainnya untuk membayar harga yang telah

ditentukan. Pada saat kedua belah pihak telah mencapai kata sepakat, maka jual

beli dianggap telah terjadi, walaupun tanah belum diserahkan dan harga belum

dibayar. Akan tetapi, walaupun jual beli tersebut dianggap telah terjadi, namun

hak atas tanah belum beralih kepada pihak pembeli. Agar hak atas tanah beralih

dari pihak penjual kepada pihak pembeli, maka masih diperlukan suatu perbuatan

6
hukum lain, yaitu berupa penyerahan yuridis (balik nama). Penyerahan yuridis

(balik nama) ini bertujuan untuk mengukuhkan hak-hak si pembeli sebagai

pemilik tanah yang baru.

Selain memperoleh tanah dengan cara-cara tersebut di atas, seseorang

yang tidak memiliki uang yang cukup untuk membeli tanah atau karena alasan

membutuhkan tanah hanya untuk jangka waktu yang tidak lama (jangka waktu

tertentu saja), dapat memperoleh tanah melalui sewa tanah (land lease). Maksud

memperoleh tanah dalam sewa tanah bukan untuk mengalihkan kepemilikan hak

atas tanah tersebut namun hanya untuk mengambil manfaat atas tanah karena

dalam sewa-menyewa tidak terjadi peralihan hak milik. Sewa tanah yang sering

dijumpai di masyarakat adalah sewa tanah pertanian. Dengan sewa tanah

pertanian ini, seseorang yang mempunyai kemampuan untuk mengolah tanah,

menyewa tanah pertanian pihak lain untuk jangka waktu tertentu dan dengan

pembayaran sewa. Pembayaran sewa tanah pertanian ini biasanya dalam bentuk

bagi hasil pertanian yang telah disepakati sebelumnya.

Pada dasarnya sewa menyewa adalah suatu persetujuan, dengan mana

pihak yang satu mengikatkan diri untuk memberikan kenikmatan suatu barang

kepada pihak yang lain selama waktu tertentu, dengan pembayaran suatu harga

yang disanggupi oleh pihak tersebut terakhir itu. Orang dapat menyewakan

pelbagai jenis barang, baik yang tetap maupun yang bergerak. Ini sebagaimana

disebutkan dalam Pasal 1548 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata (“KUHPer”).

Dalam UUPA tidak memberikan pengertian tentang hak sewa tanah

pertanian. Menurut Urip Santoso, yang dimaksud dengan hak sewa tanah

7
pertanian adalah suatu perbuatan hukum dalam bentuk penyerahan kekuasaan

tanah pertanian oleh pemilik tanah pertanian kepada pihak lain (penyewa) dalam

jangka waktu tertentu dan sejumlah uang sebagai sewa yang ditetapkan atas dasar

kesepakatan kedua belah pihak.2 Dalam Pasal 53 UUPA, hak sewa tanah pertanian

termasuk hak-hak yang sifatnya sementara. Bersifat sementara karena hak-hak

tersebut diusahakan untuk dihapus dalam waktu singkat. Alasan rencana

penghapusan hak sewa tanah pertanian adalah karena adanya unsur pemerasan.

Ketentuan tentang sewa tanah tidak diatur secara jelas dalam peraturan

perundang-undangan. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang

Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), hanya memuat beberapa pasal

yang mengatur tentang hak sewa yaitu Pasal 16 ayat (1) huruf e yang

menyebutkan hak sewa sebagai salah satu hak atas tanah dan dalam penjelasan

pasalnya tidak menerangkan yang dimaksud dengan hak sewa, Pasal 53 tentang

hak sewa tanah pertanian, Pasal 44 dan Pasal 45 yang merupakan bagian dari Bab

VII tentang Hak Sewa Untuk Bangunan.

Pasal 44 UUPA:

1) seseorang atau suatu badan hukum mempunyai hak sewa atas tanah
apabila ia berhak mempergunakan tanah milik orang lain untuk
kepentingan bangunan, dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah
uang sebagai sewa.
2) Pembayaran uang sewa dapat dilakukan :
a. Satu kali atau pada tiap-tiap waktu tertentu;
b. Sebelum atau sesudah tanahnya dipergunakan.
3) Perjanjian sewa tanah yang dimaksudkan dalam pasal ini tidak boleh
disertai syarat-syarat yang mengandung unsur pemerasan.

Pasal 45 UUPA:
Yang dapat menjadi pemegang hak sewa ialah :
a. warga negara Indonesia;
b. orang asing yang berkedudukan di Indonesia;
2
Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-hak Atas Tanah, Kencana Prenada Media Group,
Cetakan Keenam, Jakarta, Maret 2010, h. 145 (selanjutnya disebut Urip Santoso 1).

8
c. badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia;
d. badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.

Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 44 dan Pasal 45 UUPA disebutkan

bahwa oleh karena hak sewa merupakan hak pakai yang mempunyai sifat-sifat

khusus maka disebut tersendiri. Hak sewa hanya disediakan untuk bangunan-

bangunan berhubungan dengan ketentuan Pasal 10 ayat (1). Hak sewa tanah

pertanian hanya mempunyai sifat sementara (Pasal 16 jo 53). Negara tidak dapat

menyewakan tanah, karena negara bukan pemilik tanah.

Merujuk pada UUPA dapat dilihat bahwa UUPA hanya mengatur terkait

bagaimana sewa menyewa dan jual-beli itu dilakukan. Didalam transaksi jual beli

tanah, sangat memungkinkan untuk terjadi bahwa tanah yang dijual tersebut sudah

disewakan terlebih dahulu kepada pihak lain. Untuk penyelesaian kasus tersebut,

masih terdapat kekosongan norma didalam UUPA. Didalam transaksi jual beli

tanah maupun sewa-menyewa dimasyarakat, tidak jarang ditemukan praktek-

praktek menyimpang yang dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung

jawab. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka relevan untuk melakukan

penelitian dengan mengangkat judul, “Kepastian hukum bagi para pihak didalam

transaksi jual beli tanah yang telah dibebankan hak sewa kepada pihak ketiga”.

1.2. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah keabsahan jual beli tanah yang dibebankan hak sewa

kepada pihak ketiga?

2. Bagaimana kedudukan para pihak terkait kepastian hukum yang

diakibatkan dari transaksi jual beli tanah yang telah dibebankan hak sewa?

1.3. Tujuan Penelitian.

9
Agar penulisan karya ilmiah ini memiliki maksud yang jelas, maka harus

memiliki suatu tujuan guna mencapai target yang dikehendaki. Adapun tujuan

penulisan ini dikualifikasikan atas tujuan yang bersifat umum dan tujuan yang

bersifat khusus, lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut:

1.3.1. Tujuan Umum.

Adapun tujuan umum dari penulisan skripsi ini yaitu:

1. Untuk mengetahui dan mempunyai pengetahuan yang lebih dalam pada

bidang hukum keperdataan sehingga nantinya mampu mendalami

masalah terkait hukum Agraria.

2. Untuk mengetahui dan memahami bagaimana Kedudukan/kepastian

hukum para pihak didalam transaksi jual beli tanah yang telah

dibebankan hak sewa kepada pihak ketiga.

1.3.2. Tujuan Khusus.

Adapun tujuan khusus dari penulisan tesis ini antara lain:

1. Untuk mengetahui dan memahami bagaimanakah keabsahan jual beli

tanah yang dibebankan hak sewa kepada pihak ketiga.

2. Untuk mengetahui dan memahami bagaimana kedudukan para pihak

terkait kepastian hukum yang diakibatkan dari transaksi jual beli tanah

yang telah dibebankan hak sewa.

1.4. Manfaat Penelitian.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis

maupun praktek, sebagai berikut:

1.4.1. Manfaat Teoritis.

10
1. Dapat menambah pengetahuan, pengalaman, dan pemahaman terhadap

masalah-masalah yang berkaitan dengan Hukum Agraria, khususnya

mengenai jual-beli dan sewa-menyewa yang berpotensi menimbulkan

sengketa diantara para pihak.

2. Dapat menambah literatur dan bahan-bahan informasi sebagai

pijakan penelitian mengenai cera penyelesaian sengketa didalam

transaksi jual beli tanah yang dibebankan hak sewa kepada pihak

ketiga.

1.4.2. Manfaat Praktis.

Penelitian ini secara praktis diharapkan mampu untuk memberikan suatu

kontribusi berupa manfaat dalam perkembangan dunia praktik, yakni bagi

masyarakat, bagi praktisi khususnya notaris, serta bagi pemerintah yang

mampu dijabarkan sebagai berikut:

1. Mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir dinamis sekaligus

untuk mengembangkan kemampuan penulis dalam mengkritisi

persoalan-persoalan hukum.

2. Bagi para akademisi, penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi

untuk menyusun suatu karya akedemis yang terkait dengan transaksi

jual-beli tanah dan perjanjian sewa tanah. Penelitian ini juga diharapkan

dapat membantu para akademisi dalam memahami konsep-konsep

hukum yang ada dalam transaksi jual-beli tanah perjanjian sewa tanah.

3. Penelitian hukum untuk kegiatan praktik hukum akan menghasilkan

argumentasi hukum.3 Argumentasi hukum tersebut selanjutnya

3
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,
April 2013, h. 225 (selanjutnya disingkat Peter Mahmud Marzuki - I).

11
dituangkan dalam legal opinion atau dalam bentuk legal memorandum.

Bagi para praktisi hukum seperti notaris, konsultan hukum, corporate

legal, penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi dalam menyusun

legal opinion maupun legal memorandum tentang perjanjian sewa

tanah. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi

dalam menyusun perjanjian sewa tanah yang benar menurut peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Para praktisi diharapkan dapat

menyusun perjanjian sewa tanah sesuai dengan konsep sewa tanah yang

benar dan menerapkannya dalam praktek, sehingga produk perjanjian

sewa tanah yang dihasilkan benar-benar memberikan perlindungan

hukum bagi para pihak dalam perjanjian.

1.5. Orisinalitas Penelitian.

Penelitian ini akan dilakukan dengan membandingkan dengan beberapa tesis atau

karya tulis lainnya yang berkaitan dengan sengketa jual-beli dan sewa menyewa.

Beberapa tesis/karya tulis yang dimaksud yakni:

Nama/ Nomor Induk


No. Judul Rumusan Masalah
Mahasiswa/ Univeristas

1. Bagaimana bentuk
PENYELESAIAN Sengketa Sewa
SENGKETA Lahan Pertanian
SEWA LAHAN Perspektif Hukum
PERTANIAN Ekonomi Syariah
Mega Sartika /14204032/ Institut PERSPEKTIF (Studi di
Agama Islam Negeri HUKUM Kenagarian Rao-
1. Batusangkar. EKONOMI Rao)?
SYARIAH (Studi 2. Bagaimana upaya
kasus di penyelesaian Sewa
Kenagarian Rao- Lahan Pertanian
Rao). Perspektif Hukum
Ekonomi Syariah
(Studi di
Kenagarian Rao-

12
Rao)?4

1. Bagaimanakah
Prosedur
Pelaksanaan
Perjanjian Sewa
Penyelesaian Menyewa Kios
antara Pedagang
Sengketa Sewa
dengan Dinas
Feni Agustin/502012107/ Menyewa Kios Pasar Baru Kota
Universitas Muhammadiyah Antara Pedagang Baturaja?
2. Palembang. Dengan Dinas 2. Bagaimanakah
Pasar Baru Kota Penyelesaian
Baturaja. Sengketa Sewa
Menyewa Kios
antara Pedagang
dengan Dinas
Pasar Baru Kota
Baturaja5?

1. Bagaimanakah
keabsahan jual
beli tanah bekas
Hak Guna Usaha
yang dikuasai
Pemerintah telah
diperjualbelikan
Jual Beli Atas masyarakat
Julianto Jover Jotam
Tanah Negara kepada pihak
Kalalo/P0903211403/Universitas
3 yang Dikuasai ketiga?
Indonesia.
Pemerintah. 2. Sejauhmana
upaya
Pemerintah
untuk menguasai
kembali tanah
bekas Hak Guna
Usaha yang telah
diperjualbelikan
masyarakat?6

4
Sartika M., 2018, PENYELESAIAN SENGKETA SEWA LAHAN PERTANIAN
PERSPEKTIF HUKUM EKONOMI SYARIAH (Studi kasus di Kenagarian Rao-Rao), Fakultas
Hukum Institut Agama Islam Negeri Batusangkar, Batusangkar.
5
Agustin F., 2016, Penyelesaian Sengketa Sewa Menyewa Kios Antara Pedagang Dengan
Dinas Pasar Baru Kota Baturaja, Universitas Palembang.
6
Jover Jotam J., 2013, Jual Beli Atas Tanah Negara yang Dikuasai Pemerintah,
Universitas Indonesia, Jakarta.

13
Penelitian yang dilakukan oleh Mega Sartika membahas mengenai

penyelesaian sewa lahan pertanian persfektif hukum ekonimi syariah, yang

dilakukan di Kanegerian Roa-Roa. Penelitian ini berfokus kepada bagaimana

bentuk Sengketa Sewa Lahan Pertanian di Kenagarian Rao-Rao dan bagaimana

Upaya Penyelesaian Sengketa Sewa Lahan Pertanian di Kenagarian Rao-Rao.

Sehingga untuk mengetahui Bentuk Sengketa Sewa Lahan Pertanian di

Kenagarian Rao- Rao dan untuk mengetahui bagaimana upaya penyelesaian

Sengketa Sewa Lahan Pertanian di Kenagarian Rao-Rao.

Penelitian yang dilakukan oleh Feni Agustin membahas tengtang

penyelesaian sengketa sewa menyewa kios antara pedagang dengan dinas pasar

baru Kota Baturaja. Penelitian ini lebih memfokuskan kepada prosedur

pelaksanaan perjanjian sewa menyewa kios antara pedagang dengan Dinas Pasar

Barn Kota Baturaja dan untuk mengetahui penyelesaian sengketa sewa

menyewa kios antara pedagang dengan Dinas Pasar Barn Kota Baturaja.

Penelitian yang dilakukan adalah menggunakan jenis penelitian empris yang

bersifat deskriftif (menggambarkan) Yang diambil dari data sekunder dengan

melakukan wawancara dan mengelola data daribahan hukum primer, bahan

hukum sekunder, dan bahan hukum tertier. Sehingga dapat diketahui bahwa

Prosedur Pelaksanaan Perjanjian Sewa Menyewa Kios Antara Pedagang dengan

Dinas Pasar Barn Kota Baturaja yaitu pihak pedagang mengajukan Surat

Permohonan, kemudian Kepala Dinas Unit Pasar Barn Kota Baturaja

memberikan Disposisi, apabila Surat Permohonan diterima, maka pihak Dinas

tersebut membuatkan Surat Perjanjian Sewa Menyewa Kios, dengan Persyaratan

sebagai berikut.

14
Julianto Jover Jotam Kalalo dalam penelitiannya membahas tentang Jual

Beli Atas Tanah Negara yang Dikuasai Pemerintah. Hasil penelitian dan

pembahasan menunjukkan bahwa Jual beli atas tanah yang objeknya merupakan

tanah Negara antara penjual dan pembeli tidak sah dan batal demi hukum karena

tidak terpenuhinya syarat jual beli yaitu syarat materiil sehingga tidak sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dan upaya yang

dilakukan Pemerintah Kota Bitung pada saat ini yaitu telah melakukan pemetaan

terhadap tanah bekas Hak Guna Usaha tersebut dan bekerja sama dengan pihak

kantor pertanahan Kota Bitung untuk mengeksekusi tanah Negara sehingga dapat

dikuasai langsung oleh Pemerintah Kota Bitung dan upaya hukum yang dapat

ditempuh oleh pemerintah untuk menguasai kembali tanah Negara yaitu

dengan menggunakan proses mediasi Kantor Pertanahan Kota Bitung.

1.6. Kerangka Teori dan Konseptual.

1.6.1. Kerangka Teori.

Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori,

thesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan

perbandingan, pegangan teoritis.7 Bagi suatu penelitian, teori merupakan alat dari

ilmu (tool of science) di lain pihak, teori juga merupakan alat penolong. Dalam

penelitian, fungsi teori adalah untuk memperjelas ruang lingkup yang diteliti,

untuk merumuskan hipotesis dan menyusun instrumen penelitian dan

menampilkan hubungan antar variabel, konsep, dan menerangkan fenomena

sebagai masukan dalam mengambil persoalan dan informasi pembanding. Untuk

itu kerangka teori dalam penelitian tesis ini sangat diperlukan guna memperjelas

7
M. Solly Lubis, 1994, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar maju, Bandung, hlm 80.

15
nilai-nilai, azas – azas, dalil-dalil, dan norma-norma, serta dasar hukum sampai

kepada landasan filosofinya yang tertinggi.

Menurut pendapat Ronny H. Soemitro, untuk memberikan landasan yang

mantap, pada umumnya setiap penelitian haruslah selalu disertai dengan

pemikiran- pemikiran teoritis.8 Kerangka teori merupakan kerangka pemikiran

atau butir- butir pendapat, teori, mengenai suatu kasus ataupun permasalahan,

yang bagi si pembaca menjadi bahan perbandingan, pasangan teoritis yang

mungkin ia setujui ataupun tidak disetujuinya dan ini merupakan masukan

eksternal bagi pembaca.9

Sebelum membahas mengenai asas, konsep, dan teori yang akan

digunakan dalam penulisan tesis ini, akan didefinisikan dulu apa yang dimaksud

dengan asas, konsep dan teori. Asas hukum adalah wujud dari suatu pemikiran

dasar yang memiliki sifat umum serta mendasari atau yang terdapat di dalam atau

di belakang peraturan hukum yang konkret. Scholten mendefiniskan bahwa asas

hukum merupakan kecenderungan yang ditetapkan oleh moral pada hukum. Oleh

sebab itu, bersifat umum dengan segala keterbatasan umum, tetapi yang juga tidak

dapat dihapus.10 Satjipto Rahardjo mengungkapkan pendapatnya mengenai asas

hukum yakni sebagai suatu ratio legis dari suatu peraturan hukum atau dapat

dikatakan sebagai alasan atas lahirnya suatu peraturan hukum. Suatu asas hukum

adalah jantung peraturan hukum dan merupakan perwujudan dari landasan yang

palig luas atas lahirnya peraturan hukum.11


8
Ronny H. Soemitro, 1982, Metodologi Penelitian Hukum, Penerbit Ghalia, Jakarta,
hlm. 34.
9
Jhon Rawls dalam M. Solly Lubis,1994, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju,
Bandung, Hal. 80
10
Sudikno Mertokusumo, 2012, Teori Hukum; Edisi Revisi, Cahaya Atma Pustaka,
Yogyakarta, h. 46.
11
Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, PT Ciptra Aditya Bakti, Bandung, h. 45.

16
Definisi prinsip atau asas dalam bahasa Latin yakni principium, dalam

bahasa Inggris principle, bahasa Belanda beginsel, bahasa Arab assasun, bahasa

Perancis principe, dan principio dalam bahasa Spanyol. Menurut kamus Latin

oleh Charlton T. Lewis dan Charles Short, principium berarti beginning,

commencement, origin. Prinsip berarti suatu permulaan atau asal mula.12 Menurut

Kamus Besar Bahasa Indonesia (yang selanjutnya disebut KBBI), konsep

diartikan sebagai suatu rancangan atau suatu pengertian yang diabstrakkan dari

peristiwa yang konkret.

Asas-asas hukum atau prinsip hukum bukan suatu perwujudan dari hukum

yang sifatnya konkret, hanya merupakan suatu pemikiran dasar yang memiliki

sifat umum serta digunakan sebagai latar belakang dari lahirnya peraturan yang

sifatnya konkret yang mana dapat ditemukan pada dan di belakang sistem hukum

yang diwujudkan dalam peraturan perundang-undangan serta putusan hukum yang

digunakan sebagai hukum positif serta dapat diketahui dengan cara melakukan

pencarian sifat umum yang ada pada peraturan yang bersifat konkret tersebut. 13

Pada dunia praktik, asas hukum digunakan sebagai dasar bagi hakim dalam

melakukan penemuan hukum pada kasus-kasus yang tengah dihadapi, yang mana

pada saat itu hakim tidak dapat merujuk pada norma hukum karena belum ada

yang mengaturnya. Selain itu asas hukum mampu digunakan sebagai parameter

dalam pengukuruan norma hukum yang ada apakah hal tersebut telah sesuai

dengan koridornya atau tidak.14

12
A'an Efendi, et.al, 2017, Teori Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 147.
13
Sudikno Mertokusumo, 2006, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, h.
14
Hadi Shubhan, 2008, Hukum Kepailitan; Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan,
Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 1.

17
Teori berasal dari kata bahasa Yunani yaitu thoros yang berarti spetator

atau penonton. Teori menekankan pada fakta-fakta bahwa semua teori adalah

mental model yang menjadi realitas. Teori berarti seperangkat asumsi-asumsi,

proposisi- proposisi, maupun fakta-fakta yang ada sehingga dicoba untuk

ditetapkan penjelasan yang bersifat rasional serta masuk akal sehingga

diketemukan adanya hubungan sebab akibat pada kelompok yang diamati oleh

fenomena serta gejala-gejala.15 Teori dalam teori hukum merupakan suatu wujud

definisi atas satu kesatuan pandang, pendapat, serta adanya pengertian yang saling

berhubungan dengan kenyataan sehingga dapat dirumuskan sedemikian rupa, serta

dimungkinkan untuk dijabarkan dalam wujud hipotesis yang selanjutnya dapat

dikaji.16 Teori hukum adalah bagian dari disiplin ilmu hukum yang tujuan sifat

umum (dengan kata lain tidak terikat pada tata hukum atau budaya hukum

tertentu) guna mencari dalam rangka menjelaskan mengenai hukum sebagai

kumpulan institusi sosial dan politik. Teori hukum menurut Richard A. Posner

adalah sebagai, "By Legal Theory, I mean the study of law not as means of

acquiring conventional professional competence but 'from the outside', using the

method of scientific and humanistic inquiry to enlarge our knowledge of the legal

system".17

Apabila diterjemahkan secara bebas maka, teori hukum merupakan studi

tentang hukum yang bukan sebagai sarana untuk mendapatkan kemampuan

profesional yang konvensional, tetapi mempelajari dari sisi luar, menggunakan

metode ilmiah dan penyelidikan yang humanis dalam rangka mendapatkan

15
Ibid., h. 89.
16
Sudikno Mertokusumo, op.cit., h. 5.
17
Richard A. Posner, 1987, The Decline of Law as an Autonomous Discipline; 1962-1987,
Harvard Law Review, Vol. 100:761, h. 779.

18
pengetahuan yang lebih luas tentang sistem hukum. Adapun asas, konsep, dan

teori hukum yang dapat digunakan dalam penelitian dan penulisan tesis ini adalah:

1.6.1.1. Konsep Hak.

Menurut Hans Kelsen dalam bukunya yang berjudul "General Theory of

Law and State" menyebutkan bahwa, "... a distinction is made between jus in rem,

that is a right to a thing, and jus in personam, that is a right to demand that

somebody else shall behave in a certain way, the right to somebody else's

behavior, for instance, the creditor has a right to demand that the debtor shall

pay a certain sum of money."18

Berdasarkan pembagian hak oleh Hans Kelsen tersebut sesuai dengan

terjemahan oleh ahli bahasa Somardi dalam buku Teori Hukum Murni, dilihat dari

sudut pandang teori hukum murni, hak dapat dibedakan menjadi jus in rem yakni

hak atas suatu barang, dengan jus in personam yaitu hak untuk menuntut

seseorang agar berbuat menurut suatu cara tertentu.19 Apabila lebih ditekankan

sebagai hak hukum, maka hak tersebut merupakan hak atas perbuatan seseorang

lainnya, yang mana menurut hukum merupakan kewajiban dari seseorang

lainnya.20 Hak hukum ini menimbulkan kewajiban hukum dari seseorang lainnya,

seperti misalnya seorang kreditor memiliki hak hukum (hak yang bersifat jus in

personam) untuk menuntut debitornya membayar sejumlah uang, yang mana si

debitor diwajibkan menurut hukum untuk membayar sejumlah uang tersebut.


18
Hans Kelsen, 1973, General Theory of Law & State, Harvard University Press, New
Jersey, h. 75.
19
Somardi, 1995, Teori Hukum Murni; Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu
Hukum Empirik-Deskriptif, Rimdi Press, Jakarta, h. 75.
20
Ibid.

19
Pada dasarnya hukum bersifat mengharuskan bagi seorang individu atau

membolehkan bagi individu lainnya. Dalam hal kepailitan, khususnya mengenai

pembayaran sisa utang debitor kepada kreditornya merupakan suatu bentuk norma

hukum yang mewajibkan. Dengan kata lain, norma hukum mewajibkan bagi

seorang individu untuk melakukan suatu perbuatan tertentu terhadap seorang

individu lainnya, sehingga norma hukum ini memberikan jaminan kepada

individu tersebut atas perbuatan individu lain kepadanya.21

Pernyataan bahwa seseorang memiliki atau tidak memiliki hak untuk

memiliki suatu benda merupakan suatu pertimbangan nilai yang dimungkinkan

secara logis dan psikologis hanya jika orang yang membuat pernyataan ini

mensyaratkan keberadaan suatu norma tentang kepemilikan. Tanpa adanya suatu

norma yang mengatur mengenai perbuatan manusia, tidak mungkin ada

pernyataan mengenai keberadaan atau ketidakberadaan suatu hak.22 Dalam

kepailitan, pembuatan regulasi mengenai kepailitan tentu saja akan

mempertimbangkan hak dari para pihak baik pihak debitor dan pihak kreditor.

Peraturan hukum mengenai kepailitan memberikan suatu hak kepada

kreditor untuk mendapatkan kembali uangnya dan memberikan suatu hak untuk

mengatur harta kekayaannya kepada si pemiliknya. 23 Salah satu pertimbangan

pembuatan peraturan ini karena seorang kreditor memiliki kepentingan terhadap

pelunasan piutangnya, serta hak atas pelunasan merupakan salah satu bentuk

perlindungan atas harta kekayaan seseorang. Suatu aturan hukum terkadang tidak

bisa melindungi hak secara utuh karena perbuatan hukum yang dilakukan telah

21
Ibid., h. 77.
22
Somardi, 2007, Teori Umum Hukum dan Negara; Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif
Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif-Empirik, Bee Media, Jakarta, h. 100.
23
Ibid., h. 101.

20
mengalami perkembangan, yang mana akibat hukum yang ditimbulkan juga ikut

berkembang.

Sebagai salah satu contoh dalam masalah kepailitan yang diangkat dalam

penelitian tesis ini, hukum kepailitan yang telah ada tidak bisa melindungi secara

sempurna hak dari kreditor dalam hal pelunasan piutang. Pada hakekatnya hak

kreditor adalah norma hukum yang mewajibkan debitor untuk mengembalikan

pinjamannya, yang mana hak seorang pemilik adalah norma hukum yang

mewajibkan individu-individu lainnya untuk tidak mengganggu pengaturan harta

kekayaan yang menjadi milik orang lain.24 Maka hak seorang kreditor untuk

mendapatkan pelunasan merupakan hak yang wajib dilindungi oleh hukum.

1.6.1.2. Teori Keadilan.

John Rawls berpendapat bahwa keadilan adalah kebajikan bagi seluruh

masyarakat, tidak dapat mengesampingkan atau menggugat rasa keadilan dari

setiap orang yang telah memperoleh rasa keadilan. Khususnya masyarakat lemah

pencari keadilan.25 Rawls kemudian menegaskan pandangannya terhadap

keadilan, bahwa program penegakan keadilan yang berdimensi kerakyatan,

haruslah memperhatikan dua prinsip keadilan. Pertama, memberi hak dan

kesempatan yang sama atas kebebesan dasar yang paling luas, seluas

kebebasan yang sama bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur kembali

kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi, sehingga dapat memberi keuntungan

bersifat timbal balik.26

24
Ibid., h. 102.
25
Ibid, hlm. 139-140
26
John Rawls dalam Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, 2006, Teori Keadilan, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta.

21
Teori keadilan juga dikemukakan oleh Plato dan Aristoteles. Plato dalam

teorinya mengemukakan dua jenis keadilan, yaitu:

a. Keadilan Moral
Suatu perbuatan dapat dikatakan adil secara moral, apabila telah mampu
memberikan perlakuan yang seimbang antara hak dan kewajibannya.
b. Keadilan Prosedural
Sutau perbuatan dikatakan adil secara prosedural apabila seseorang telah
mampu melaksanakan perbuatan adil berdasarkan tata cara yang telah
diharapkan.27
Sedangngkan Aristoteles memberikan penjelasan mengenai masalah

keadilan sebagai berikut:28

1. Keadilan Distributif (memberi bagian)


Mengatur pembagian barang-barang dan penghargaan kepada tiap orang
sesuai dengan kedudukannya dalam masyarakat, serta menghendaki
perlakuan yang sama bagi mereka yang berkedudukan sama menurut
hukum.
2. Keadilan Korektif (mengadaan perbaikan) atau remedial (memberikan
pengobatan), adalah terutama merupakan suatu ukuran dari prinsip-
prinsip teknis yang menguasai administrasi daripada hukum pelaksanaan
undang-undang. Dalam mengatur hubungan hukum perlu ditemukan
ukuran umum untuk menanggulangi akibat-akibat perbuatan, tanpa
memandang siapa orangnya dan maksudnya baru dapat dinilai menurut
suatu ukuran objektif.
Hukuman harus memperbaiki kejahatan, ganti rugi harus memperbaiki
kesalahan/penyelewengan perdata, pengembalian harus memperbaiki
keuntungan yang diperoleh dengan tidak wajar. Konsepsi mengenai
Themis, yaitu dewi yang menimbang neraca tanpa memandang siapa
orangnya, mengiaskan bentuk keadilan ini. Tetapi ini (keadilan korektif)
harus dipahami sebagai takluk kepada keadilan distributif.
Prinsip keadilan juga dikemukakan oleh Franz Magnis Suseno. Beliau

membedakan keadilan kedalam keadilan dalam arti formal dan keadilan dalam

arti materil. Menurut Magnis Suseno sebagaimana dikutip oleh Martitah,


27
Plato dalam Satjipto Raharjo, 1990, Teori dan Filsafat Hukum, PT. Rajawali Press,
Jakarta, hlm. 118.

28
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, 2012, Filsafat, Teori dan Ilmu Hukum;
Pemikiran Menuju Masyarakat yang Berkeadilan dan Bermartabat, Rajawali Pers, Jakarta,
hlm. 268-269.

22
keadilan dalam arti formal (prosedural) adalah keadilan dalam arti bahwa hukum

itu berlaku secara umum, sedangkam keadilan dalam arti materil (substantif)

adalah keadilan dalam arti bahwa setiap hukum harus sesuai dengan cita-cita

keadilan masyarakat.29

Dari semua pendapat ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa keadilan

adalah kebebasan yang sama dengan sebesar-besarnya atau principle of the

greatest equal liberty. Menurut prinsip ini, semua orang punya hak yang sama

untuk semua sistem kebebasan yang sebesar-besarnya, baik itu perbedaan ataupun

persamaan yang berdasarkan kesepakatan.30 Prinsip ini meliputi kebebasan untuk

ikut berpartisipasi dalam sistem politik, kebebasan untuk berbicara, kebebasan

beragama, kebebasan menjadi diri sendiri dan hak untuk mempertahankan milik

pribadi.

1.6.1.3. Teori Kepastian Hukum.

Kepastian merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari hukum,

terutama untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan

kehilangan makna karena tidak dapat lagi digunakan sebagai pedoman

perilaku bagi setiap orang. Kepastian sendiri disebut sebagai salah satu tujuan dari

hukum.Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam

hukum, karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri. Keteraturan

menyebabkan orang dapat hidup secara berkepastian, sehingga dapat melakukan

kegiatan-kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat.

29
Martitah, Op Cit, Hal. 189.
30
Salim HS, dan Erlies Septiana Nurbani, 2014, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian
Tesis dan Disertasi, Cetakan Ketiga, PT. RajaGrafindo Persada, Depok (yang selanjutnya disebut
Salim HS, dan Erlies Septiana Nurbani I), h. 259.

23
Menurut Sudikno Mertokusumo, kepastian hukum adalah jaminan bahwa

hukum dijalankan, bahwa yang berhak menurut hukum dapat memperoleh haknya

dan bahwa putusan dapat dilaksanakan.31 Kepastian hukum erat kaitannya dengan

keadilan, namun hukum tidak identik dengan keadilan. Hukum bersifat umum,

mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan. Keadilan bersifat subyektif,

individualistis, dan tidak menyamaratakan. Kepastian hukum merupakan

pelaksanaan hukum sesuai dengan bunyinya, sehingga masyarakat dapat

memastikan bahwa hukum itu dilaksanakan. Penciptaan kepastian hukum dalam

pembuatan peraturan perundang-undangan memerlukan persyaratan yang

berkenaan dengan struktur internal dari norma hukum itu sendiri.32

Kepastian hukum mengehendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam

perundang-undangan, dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa,

sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis. Aspek ini nantinya dapat

menjamin adanya kepastian, bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan

yang harus ditaati. Berdasarkan uraian-uraian mengenai kepastian hukum diatas,

maka kepastian dapat mengandung beberapa arti yakni, adanya kejelasan, tidak

menimbulkan multitafsir, tidak menimbulkan kontradiktif, dan dapat

dilaksanakan. Hukum harus berlaku tegas di dalam masyarakat, mengandung

keterbukaan, sehingga siapapun dapat memahami makna atas suatu ketentuan

hukum.

1.6.1.4. Teori Perlindungan Hukum

Teori perlindungan diformulasikan guna memberikan perlindungan bagi

masyarakat yang mana masyarakat tersebut berada di posisi lemah, yang mana hal

31
Sudikno Mertokusumo, 2007, Mengenal Hukum Suatu Pengaturan, Liberty, Yogyakarta,
hlm.160.
32
Fernando M Manulang, 2007, Hukum Dalam Kepastian, Prakarsa, Bandung, hlm. 95.

24
ini diukur berdasarkan lemah pada segi ekonomi maupun segi yuridis. Satjipto

Raharjo mendefinisikan perlindungan hukum sebagai bentuk memberikan

pengayoman bagi Hak Asasi Manusia (HAM) yang dirugikan orang lain serta

perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat untuk tetap dapat menikmati

semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.33 Menurut Maria Theresia Geme,

perlindungan hukum memiliki kaitan dengan tindakan negara dalam melakukan

sesuatu dengan tujuan guna memberikan rasa sertma menjamin kepastian hak-hak

seseorang atau sekelompok orang.34

Dapat dikatakan bahwa perlindungan hukum hadir untuk melindungi

kepentingan serta hak-hak masyarakat. Secara hukum dapat dilihat bahwa teori

perlindungan digunakan sebagai pelindung subyek hukum melalui perlindungan

atas obyek yang diberikan oleh hukum kepada subyeknya. Berkaitan dengan

penulisan tesis ini, maka peran dari teori perlindungan hukum adalah untuk

mendukung adanya hak-hak daripada pihak penyewa dan pembeli tanah yang

harus dilindungi sebagai seorang subyek hukum dengan obyek hak atas tanah dan

hak atas pemakaian tanah.

1.6.1.5. Teori Tanggung Jawab Hukum

Dalam kamus hukum, pengertian tanggung jawab dapat di istilahkan

sebagai “liability” dan “responsibility”. Pengertian “liability” yakni sebagai

bentuk tanggung jawab secara hukum yang diakibatkan oleh adanya kesalahan

yang dilakukan oleh subjek hukum dimana atas tindakan yang dilakukan akan

menimbulkan kerugian bagi pihaklain, atau dapat sebagai suatu ancaman, bentuk

33
Salim HS, dan Erlies Septiana Nurbani, 2014, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian
Tesis dan Disertasi, Cetakan Ketiga, PT. RajaGrafindo Persada, Depok (yang selanjutnya disebut
Salim HS, dan Erlies Septiana Nurbani I), h. 259.
34
Ibid., h. 262.

25
tindak kejahatan, serta biaya dan kondisi yang dapat menimbulkan tidak berjalan

dengan baik suatu pelaksanaan undang-undang. Definisi "liability" lebih diarakan

pada bentuk pertanggungjawaban secara hukum, sedangkan "responsibility"

mengarah kepada bentuk pertanggungjawaban atas adanya kewajiban, meliputi

keterampilan, kemampuan, serta kecakapan secara hukum menjadi ruang lingkup

kewajiban tanggung jawab atas pelaksanaan undang-undang. Responsibility lebih

mengarah kepada pertanggungjawaban secara politik.35 Menurut Kamus Besar

Bahasa Indonesia (KBBI), tanggung jawab merupakan kewajiban yang harus

ditanggung berdasarkan atas segala sesuatu, yang mana apabila ada dampak atas

perbuatan tersebut maka dapat dilakukan tuntutan, dapat dipersalahkan, serta

diperkarakan secara hukum. Maka dapat dikatakan bahwa tanggung jawab adalah

wujud pertanggungjawaban atas keseluruhan perbuatan yang telah dilaksanakan

sebelumnya.

Secara umum tanggung jawab hukum dapat didefinisikan prestasi yang

melakukan sesuatu sesuai dengan aturan dan tata cara tertentu yang sesuai dengan

koridor hukum positif yang berlaku.36 Menurut Ridwan Halim, tanggung jawab

hukum adalah bentuk dampak dari adanya hak dan prestasi ataupun suatu

kekuasaan. Sedangkan menurut Hans Kelsen, tanggung jawab hukum menuntut

seseorang untuk diwajibkan tanggung jawab atas suatu perbuatan tertentu secara

hukum atau dibebankan tanggung jawab hukum pada subjek hukum yang

menandai bahwa ia telah bertanggung jawab yang merupakan suatu wujud sanksi

35
HR. Ridwan, 2006, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 337.
36
Khairunnisa, 2008, Kedudukan, Peran dan Tanggung Jawab Hukum Direksi, Pasca
Sarjana,Medan, h. 4.

26
atas perbuatan yang tidak sesuai dengan koridor hukum yang berlaku. 37 Menurut

Hans Kelsen, pertanggung jawaban dibagi menjadi empat, yaitu:38

1. Pertanggungjawaban dilakukan secara individu, dimana seorang individu


harus bertanggung jawab atas perbuatan yang melanggar yang ia lakukan
sendiri.
2. Pertanggungjawaban yang didasarkan pada kesalahan, yakni seorang
individu memiliki tanggung jawab atas bentuk penyimpangan yang
dilakukan baik secara sengaja maupun tidak sengaja serta diperkirakan
dapat menimbulkan kerugian bagi pihak lain.
3. Pertanggungjawaban secara kolektif yakni seorang individu harus
memiliki tanggung jawab atas bentuk pelanggaran yang dilaukan oleh
pihak lain.
4. Pertanggungjawaban secara mutlak yakni suatu pertanggungjawaban oleh
individu berdasarkan pelanggaran yang disebabkan atas ketidak sengajaan
atau ketidak sesuai dengan perkiraan.

Menurut Hans Kelsen berpandangan bahwa tanggung jawab hukum adalah

tanggung jawab dari seorang individu secara hukum berdasarkan perbuatan

tertentu yang dilakukannya atau individu dibebankan tanggung jawab hukum

sebagai bentuk sebuah sanski berdasarkan perbuatan yang menyimpang dari

koridor hukum. Selanjutnya dijelaskan lagi bahwa kegagalan atas tindakan yang

sudah dilakukan dengan kehati-hatian yang diwajibkan menurut hukum dapat

disebut dengan kekhilafan, yang mana biasanya kesalahan ini bersifat culpa

sehingga meski tidak seberat kesalahan yang dilakukan dengan sengaja, namun

atas perbuatan tersebut tetap memiliki dampak yang dapat membahayakan pihak

lain.39

37
Hans Kelsen, 2007, General Theory Of law and State, Teori Umum Hukum dan Negara,
Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif Empirik, sebagaimana
diterjemahkan oleh Somardi, BEE Media Indonesia, Jakarta, h. 81.
38
Hans Kelsen, 2006, Teori Hukum Murni Nuansa & Nusa Media, sebagaimana
diterjemahkan oleh Raisul Mutaqien, Bandung, h. 140.
39
Ibid., h. 83.

27
Menurut pandangan Abdulkadir Muhammad, disaat individu melakukan

suatu tindakan yang bersifat melanggar hukum (tort liability) maka teori

pertanggungjawaban dapat dikategorikan menjadi 3, yakni:40

1. Tanggung jawab akibat perbuatan melanggar hukum yang dilakukan


dengan sengaja (intertional tort liability), keadaan dimana pihak tergugat
telah mengetahui bahwa perbuatan yang dilakukannya akan menimbulkan
kerugian.
2. Tanggung jawab mutlak akibat perbuatan melanggar hukum tanpa
mempersoalkan kesalahan (stirck liability), hal ini dapat didasarkan dari
perbuatan yang dilakukan oleh individu baik secara sengaja ataupun tidak,
sehingga meski bukan atas kesalahan yang dilakukan ia tetap harus
bertanggungjawab atas dampak yang timbul atau kerugian yang timbul.
3. Tanggung jawab akibat perbuatan melanggar hukum yang dilakukan
karena kelalaian (negligence tort lilability), hal ini didasarkan pada adanya
bentuk konsep kesalahan (concept of fault) sehingga memiliki kaitan
dengan adanya moral serta hukum yang sudah mencampur
(interminglend).

Apabila dikaitkan dengan teori tanggung jawab bagi notaris, maka notaris

sebagai pejabat umum memiliki kewenangan yang diberikan oleh undang-undang

untuk membuat akta autentik serta kewenangan lainnya, maka atas kewenangan

tersebut, maka notaris memiliki tanggung jawab penuh atas segala akibat hukum

yang timbul sebagai dampak dari pelaksanaan akta karena seorang notaris harus

memahami dengan benar isi akta serta akibat yang mungkin muncul atas

pelaksanaan dari isi akta tersebut. Teori tanggung jawab digunakan dalam

penelitian ini, karena berhubungan dengan tanggung jawab notaris dan pihak

penjual tanah. Dengan adanya pertanggungjawaban hukum ini di harapkan notaris

dan pihak penjual tanah dapat bertanggungjawab dengan Tindakan yang telah

dilakukannya yang menyebabkan terjadinya sengketa diantara pihak yang merasa

dirugikan.

40
Abdulkadir Muhammad, 2010, Hukum Perusahaan Indonesia, Citra Aditya Bakti,
Bandung, h. 336.

28
1.6.2 Kerangka pemikiran

Berdasarkan asas, konsep, dan teori yang dijabarkan sebelumnya, maka

dapat dijelaskan dalam kerangka berfikir mengenai skema tanggung jawab debitor

pailit dalam upaya penyelesaian sisa utang dalam perkara kepailitan sebagai

berikut:

Sengketa terjadi karena pihak pertama menyewakan tanhnya kepada pihak kedua dan pihak
pertama juga menjual tanahnya kepada pihak ketiga. Dalam perkara sengketa tanah ini pihak kedua
dan ketiga saling mengklaim haknya. Namun didalam UUPA tidak mengatur bagaimana
penyelesaian sengketa terhadap transaksi jual beli tanah yang telah dibebankan hak sewa.

Norma Kosong

Bagaimanakah keabsahan jual beli Bagaimana kedudukan para pihak


tanah yang dibebankan hak sewa terkait kepastian hukum yang
kepada pihak ketiga? diakibatkan dari transaksi jual beli
tanah yang telah dibebankan hak
sewa?

Teori Kepastian Hukum


Konsep Hak

Teori Tanggung Jawab


Teori Perlindungan Hukum
Hukum

Teori Keadilan

29
Analisis

Simpulan Saran

1.7 Metode Penelitian

1.7.1 Jenis penelitian

Saat melakukan penelitian seseorang harus memperhatikan ilmu

pengetahuan yang menjadi induknya. Secara garis besar penelitian hukum yang

ditinjau dari sudut tujuan penelitiannya dibedakan menjadi 2 (dua), yakni

penelitian hukum normatif dan penelitian hukum sosiologis atau empiris.41

Penulisan tesis ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif karena

belum adanya pengaturan mengenai penyelesaian sisa utang yang dimiliki oleh

debitor perorangan, hal tersebut menyebabkan terjadinya kekosongan norma. Pada

umumnya penelitian hokum normatif merupakan bentuk dari penelitian yang

beranjak dari kesenjangan norma hukum. Penelitian ini secara khusus mengaitkan

hukum sebagai upaya untuk menjadi landasan pedoman dalam pelaksanaan

berbagai bidang kehidupan masyarakat yang dapat mengatur ketertiban dan

keadilan.42

Penelitian hukum normatif merupakan penelitian yang dilakukan dengan

meneliti bahan kepustakaan yang ada seperti peraturan perundang-undangan,


41
Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press,
Jakarta, h. 51.
42
Sri Mamudji, et al., 2005, Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, h. 4.

30
buku-buku yang berkaitan dengan hukum, serta kamus atau ensiklopedi. 43 Adapun

beberapa ciri-ciri penelitian hukum normatif, seperti: (1) beranjak dari adanya

kesenjangan dalam norma/asas hukum dengan praktik; (2) tidak menggunakan

hipotesis; (3) menggunakan landasan teoritis; dan (4) menggunakan bahan hukum

yang terdiri atas bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.44

1.7.2 Jenis penelitian

Dalam penelitian hukum pada umumnya terdapat beberapa jenis

pendekatan, terdiri dari: pendekatan perundang-undangan (statue approach),

pendekatan kasus (case approach), pendekatan fakta (the fact approach),

pendekatan historis (historical approach), pendekatan komparatif (comparative

approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Pendekatan

dimaksudkan agar peneliti mampu mendapatkan informasi dari berbagai aspek

mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya.45

Jenis pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari:

pendekatan perundang-undangan (statue approach), yakni pendekatan dengan

menggunakan legislasi dan regulasi.46 Pendekatan konseptual (conceptual

approach) yakni pendekatan dengan menggunakan konstruksi konsep hukum

yang berkaitan dengan permasalahan guna mendapatkan pemahaman yang jelas

dan tidak menyebabkan bias atau perbedaan pemahaman. Serta pendekatan fakta

(the fact approach) yakni pencarian informasi mengenai kasus apa yang terjadi,

sehingga informasi yang didapatkan merupakan sebuah hal yang nyata dan sesuai
43
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2009, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 13-14.
44
Magister Kenotariatan Universitas Udayana, 2015, Buku Pedoman Pendidikan Program
Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana, Denpasar 01-09-2015, h. 48.
45
Peter Mahmud Marzuki, 2013, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, h. 133.
46
Ibid., h. 137.

31
dengan keadaan yang terjadi di lapangan. Pendekatan kasus bertujuan untuk

mempelajari penerapan norma-norma atau kaidah-kaidah hukum yang dilakukan

dalam praktik hukum. Kasus tersebut dipelajari guna memperoleh gambaran

mengenai dampak dimensi penormaan dalam suatu aturan hukum dalam praktik

hukum.47

1.7.3 Sumber bahan hukum

Penelitian ini menggunakan 3 (tiga) sumber bahan hukum, yakni bahan

hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.

a) Sumber bahan hukum primer

Sumber bahan hukum primer merupakan sumber bahan hukum yang

bersifat mengikat, seperti peraturan perundang-undangan. Dalam penelitian ini

sumber bahan hukum primer bersumber pada:

1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;

2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok

Agraria

3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

b) Sumber bahan hukum sekunder

Sumber bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang

memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Seperti buku-buku, hasil

karya ilmiah, artikel internet ataupun pendapat para ahli yang berkaitan dengan

bentuk perlindungan hukum terhadap jual beli tanah yang telah dibebankan hak

sewa kepada pihak ketiga.

c) Sumber bahan hukum tersier


47
Jhonny Ibrahim, 2006, Teori dan Metodologi, Bayu Media, Malang, h. 310.

32
Sumber bahan hukum tersier merupakan bahan yang memberikan petunjuk

dan/atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

Contohnya seperti kamus hukum dan ensiklopedia.

1.7.4 Teknik pengumpulan bahan hukum

Pengumpulan bahan hukum dilakukan pertama yaitu penelusuran literature

dan peraturan perundang-undangan melalui studi kepustakaan dan/atau internet.

Dalam teknik pengumpulan bahan hukum ini dilakukan melalui proses

mempelajari dari adanya konsep, teori, serta dilakukan pengkajian peraturan

perundang-undangan serta bahan penunjang lainnya sehingga mampu

memberikan penjelasan pada permasalahan yang dilakukan diteliti pada penulisan

ini. Teknik pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan metode studi

kepustakaan sehingga dalam penelitian ini penulis mampu memperoleh gambaran

serta informasi mengenai penelitian yang sejenis dan berkaitan sesuai dengan

permasalahan yang diteliti, serta mampu memperoleh data penunjang dalam

penelitian ini.

Setelah melakukan penelusuran literature dan peraturan perundang-

undangan, langkah selanjutnya adalah kegiatan identifikasi dan invetarisasi,

dengan pengkoleksian dan pengorganisasian bahan-bahan hokum ke dalam suatu

system informasi, sehingga mampu mempermudah dalam penelusuran kembali

atas bahan hukum yang telah diperoleh tersebut. Kemudian bahan hukum yang

telah diperoleh tersebut akan dikumpulkan dengan melakukan metode studi

dokumentasi, yaitu dilakukan dengan pencatatan pada sumber bahan hukum

primer dan juga sekunder, yang mana selanjutnya akan dilakukan inventarisasi

bahan hukum yang relevan melalui cara pencatatan dan juga pengutipan yang

33
dilakukan dengan sistem kartu. Setelah itu setiap kartu akan diberikan identitas

mengenai sumber bahan hukum mana yang dikutip dalam penulisan sebagai

sumber bahan kutipan. Klasifikasi berdasarkan sistematika rencana tesis, sehingga

pada setiap bab mulai dari bab I hingga bab IV akan diberikan catatan atas kutipan

yang disisipkan. Setelah tu aklan dilakukan pengkualifikasian faka dan hukum.48

Dalam penelitian ini selanjutnya akan dilakukan penelusuran melalui

kegiatan inventarisasi yang berkaitan dengan tanggung jawab debitor perorangan

dalam perkara kepailitan sebagai upaya penyelesaian sisa utang. Penelitian ini

dilakukan dengan penelitian berdasarkan bahan hukum sekunder. Pada

pelaksanaan ini akan meliputi dua kegiatan utama yakni studi kepustakaan

(library research), yang diperoleh melalui kepustakaan, dengan mengkaji,

menelaah dan mengolah literatur, peraturan perundang-undangan, dan artikel-

artikel atau tulisan yang berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti.

1.7.5 Teknik analisis bahan hukum

Analisis bahan hokum dalam penelitian ini yakni pengolahan bahan-bahan

hukum yang telah didapatkan melalui adanya penelitian pustaka. Terhadap bahan

hukum yang telah didapatkan maka selanjutnya akan dilakukan penelitian terlebih

dahulu apakah telah lengkap serta telah jelas untuk dapat dikategorikan dan juga

dilaksanakan penyusunan yang dilakukan secara sistematis dan juga konsisten

sehingga akan mempermudah dalam melakukan kegiatan analisis. Berdasarkan

bahan hukum yang diperoleh akan dilakukan pengkoreksian terlebih dahulu untuk

memastikan bahan hukum yang relevan dalam penelitian baik adanya kesusaian

dengan rumusan masalah yang akan dibahas. Kemudian bahan hukum yang sudah

48
Sunaryati Hartono, 1994, Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad Ke-20,
Alumni Bandung, h. 150.

34
melalui proses kepustakan selanjutnya akan dipilih kembali dan dikelompokkan

secara sistematis, sehingga mampu digunakan sebagai acuan dalam melakukan

kegiatan analisis. Berdasarkan hasil bahan hukum yang dilakukan dengan

penelitinan pustaka ini makan selanjutnya akan dilakukan pembahasan secara

deskriptif analitis.

Deskriptif merupakan wujud pemaparan berdasarkan hasil yang diperoleh

dari melakukan penelitian sehingga dapat memenuhi tujuan untuk mendapatkan

gambaran yang secara menyeluruh dan utuh namun tetap tertata sistematis

terutama mengenai fakta-fakta relevan yang memiliki kaitan dengan permasalahan

yang akan dibahas dalam penelitian ini. Analitis memiliki arti bahwa gambaran

yang didapatkan akan dilakukan analisis yang cermat hingga mampu diketahui

apa yang menjadi penelitian ini serta mampun memberikan bukti dalam menjawab

permasalahan sebagaimana sesuai dengan apa yang menjadi rumusan malasah

dalam penelitian ini. Selanjutnya analisis bahan hukum yang dilakukan peneletian

ini akan dilaksanakan dengan cara analisi kualitatif serta komprehensif.

Analisis kualitatif artinya, dilakukan penguraian atas bahan hukum yang

bermutu dan relevan yang dituangkan dalam bentuk kalimat yang teratur, runtut,

logis, serta tidak tumpang tindih sehingga efektif, dan memberikan kemudahan

dalam melakukan interprestasi bahan hukum dan memudahkan dalam memahami

atas analisa yang dilakukan. Atas kesemua data yang didapatkan selanjutkan akan

diolah dengan menggunakan metode kualitatif, yang mana metode ini merupakan

tata cara dalam melakukan penelitian yang mampu menghasilkan data dalam

wujud kalimat, bukan dalam wujud data statistik, mampu menggambarkan apa

yang diperoleh dari bahan serta data yang diteliti menjadi benar-benar terarah

35
sesuai dengan apa yang ingin diperoleh jawabannya serta dijelaskan.49

Komprehensif artinya, analisa dilakukan dengan cara yang sangat mendalam

dalam arti diperhatikan dari berbagai bidang yang menjadi lingkup dalam

penelitian ini. Pada analisi bahan hukum kemudian akan diterapkan teknik

deskriptif, yang mana mampu mendeskripsikan bahan yang diperoleh dengan cara

mengkonstruksikan hukum serta argumentasi, yang kemudian akan dilakukan

penilaian atas penelitian yang didasarkan pada alasan-alasan yang memiliki sifat

penalaran hukum, yaitu dilakukan dengan adanya pengungkapan doktrik serta

asas yang sesuai dengan permasalahan.

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Ali, Zainuddin, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.

Badrulzaman, Mariam Darus, 2001, Kompilasi Hukum perikatan, Citra Aditya


Bakti, Bandung.

49
Burhan Ashopa, 2001, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, h. 137.

36
Fuady, Munir, 2002, Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer, Citra
Aditya Bakti, Bandung.

Gemi, Sugiyarti, 2008. Pelaksanaan Kuasa Menjual dalam Kaitannya dengan


Perjanjian Utang Piutang di Wilayah Jakarta Selatan, Universitas
Diponegoro, Semarang.

Hans Kelsen, 2012, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, cetakan ke-2, terjemahan
Jimly Asshiddiqe dan M.Ali Safa’at, Konstitusi Press, Jakarta.

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2004, Perikatan yang lahir Dari
Perjanjian,
Ed.I, Cet.II, PT, Raja Grafindo Perasada, Jakarta.

Komaruddin dan Yooke Tjuparmah Komaruddin, 2001, Kamus Istilah Karya


Tulis
Ilmiah, Bumi Aksara, Jakarta.

Maria SW. Soemardjono, 2015, Kebijakan Pertanahan Anatara Regulasi dan


implementasi, Kompas, Jakarta.

M. Solly Lubis, 1994, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar maju, Bandung.

Moh.Nazir, 1988, Metode Penelitian, Ghalia indonesia, Jakarta.

Pandoman, Agus, 2017, Teori dan Praktek Akta Perikatan Publisitas dan Non
Publisitas, Raga Utama Kreasi, Yogyakarta.

Ridwan H.R, 2006, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Subekti, 2002, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta.

Sembiring, Meliala Djaja, 2008. Penuntut Praktis Perjanjian Pemberian Kuasa


Menurut Kitab Undang – Undang Hukum Perdata, Nuansa Aulia, Badung.

Satrio. J, 2018. Perwakilan dan Kuasa, PT. Rajagrafindo Persada, Depok.

Supriadi, 2008, Etika & Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Sinar
Grafika, Jakarta.

Soekanto, Soerjono, 1999, Beberapa Permasalahan Hukum dalam Kerangka

37
Pembangunan di Indonesia (suatu tinjauan secara sosiologis), cetakan
keempat, Universitas Indonesia, Jakarta.

Hartono, Sunaryati, 1994, Penelitian Hukum Indonesia Pada Akhir Abad ke-20,
Alumni, Bandung.

Sumardjono, Maria, 2007, Alternatif Kebijakan Pengaturan Hak Atas Tanah


Beserta Bangunan Bagi Warga Negara Asing dan Badan Hukum Asing,
Kompas, Jakarta.

Sutedi, Andrian, 2010, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Sinar
Grafika, Jakarta.

Soekanto, Soerjono, 1981, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta.

Sunggono, Bambang, 2010, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo


Persada,
Jakarta.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2009, Penelitian Hukum Normatif: Suatu
Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta

Jurnal:

Alhumami, Khunani, 2016, Melindungi Kedaulatan Tanah Indonesia Dari


Penguasaan Orang Asing: Tinjauan Atas Putusan Praperadilan Nomor:
07/Pid.Prap/2015/Pn.Dps, artikel pada jurnal Rechts Vinding, Vol 5, No 1.

Latumeten, Pieter Everhardus, 2017. Reposisi Pemberian Kuasa dalam Konsep


“Volmacht dan Lastgeving” berdasarkan Cita Hukum Pancasila. Artikel
pada jurnal Hukum & Pembangunan, Vol 47, No 1

I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, 2010, Implementasi
Ketentuan-Ketentuan Hukum Perjanjian Kedalam Perancangan Kontrak,
Udayana University Press, Denpasar.

Henry Campbell Black, 1991, Black’s Law Dictionary, St Paul Minn West
Publishing. Co, Boston.

Internet:

Diana Sari Kusuma, Surat Kuasa Mutlak, www.googelwebblght.com, Akses 17

38
Mei 2022

39

Anda mungkin juga menyukai