Anda di halaman 1dari 67

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Separuh dari penduduk Indonesia menjalankan roda

perekonomiannya di sektor pertanahan, baik dalam skala kecil,

menengah, dan skala besar.

QS. Al Araf : 58

Artinya :

Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan


seizin Allah; dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya hanya
tumbuh merana. Demikianlah Kami mengulangi tanda-tanda
kebesaran (Kami) bagi orang-orang yang bersyukur.

Tanah bagian dari bumi tempat berpijak berbagai makhluk

ciptan-Nya. Tanah merupakan bagian dari kehidupan manusia karena

mempunyai nilai sosial bagi siapa saja yang memiliki dan

menguasainya. Disamping itu, kebutuhan manusia akan tanah sangat

mendasar yang disisi lain biasa dikatakan sebagai lahan hidup

manusia untuk mencapai kehidupan seperti halnya untuk perumahan,

pertanian, peternakan, perkantoran dan sebagainya.

1
2

Usaha menuju arah kepastian hak atas tanah diselenggarakan

aturan yang mengatur, mengingat kepentingan masyarkat dan negara

dalam keperluan lalu lintas kelangsungan hidup. Maka, terdapat

lembaga yang diberi kewenangan dapat menangani kasus pertanahan

diluar pengadilan sebagai mediator, kewenangan administratif

permohonan pembatalan suatu. Surat keputusan pemberian hak atas

tanah ialah kewenangan kepala badan pertanahan nasional termasuk

langkah-langkah kebijaksanaan yang akan diambil berkenaan dengan

adanya suatu putusan hakim yang tidak dapat dilaksanakan. Semua

ini agar diserahkan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional untuk

menimbang dan mengambil keputusan lebih lanjut. Di bidang

pertanahan, belum ada suatu peraturan perundang undangan yang

secara eksplisit memberikan dasar hukum penerapan Alternatif

Dispute Resolution (ADR).Namun, hal ini tidak dapat dijadikan alasan

untuk tidak menggunakan lembaga ADR di bidang pertanahan

berdasarkan 2 (dua) alasan, yaitu: Pertama, di dalam setiap sengketa

perdata yang diajukan di muka pengadilan, hakim selalu mengusulkan

untuk penyelesaian secara damai oleh para pihak (Pasal 130 HIR).

Kedua, secara eksplisit cara penyelesaian masalah berkenaan

dengan bentuk dan besarnya ganti kerugian dalam kegiatan

pengadaan tanah diupayakan melalui jalur musyawarah.

Keputusan Presiden Nomor 55 tahun 1993 tentang Pengadaan

Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum,


3

(Keppres No.53 tahun 1993) dan Peraturan Menteri Negara Agraria

/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 tahun 1994 yang

merupakan peraturan pelaksanaan Keppres No. 55 tahun 1993,

mengatur tentang tata cara melakukan musyawarah secara cukup

terinci. Dalam perkembangannya, hal ini dimuat dalam Peraturan

Presiden Nomor 36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi

Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum (Perpres No.

36 tahun 2005) yang diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65

tahun 2006 yang telah dilengkapi dengan Peraturan Kepala BPN

Nomor 3 tahun 2007. Dengan berlakunya Perpres No. 36 tahun 2005,

maka Keppres No. 55 tahun 1993 dinyatakan tidak berlaku lagi.

Dalam rangka memberi kepastian hukum para pemegang hak

atas tanah dalam peraturan pemerintah, maka sejauh mana diberikan

penegasan terhadap kekuatan pembuktian sertifikat, yang dinyatakan

sebagai alat pembuktian yang kuat oleh UUPA. Untuk itu, diberikan

ketentuan bahwa selama belum dibuktikan yang sebaliknya, data fisik

dan data yuridis yang dicantumkan dalam sertifikat harus diterima

sebagai data yang benar, baik dalam kegiatan sehari-hari maupun

pada kasus di Pengadilan, sepanjang data tersebut sesuai dengan

apa yang ada pada surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan,

bahwa orang tidak dapat menuntut tanah yang sudah bersertifikat atas

nama orang atau badan hukum lain jika selama lima tahun sejak

dikeluarkannya itu dia tidak mengajukan gugatan pada Pengadilan,


4

sedangkan tanah tersebut diperoleh orang atau badan hukum lain

tersebut dengan itikad baik dan secara fisik nyata dikuasai olehnya

atau oleh orang lain atau badan hukum yang mendapat

persetujuannya.

Mengapik suatu judul kasus tanah dalam hak kepemilikan alat

bukti surat (akta) pada kewenangan BPN sebagai mediator kasus

pertanahan. Namun, akta yang keotentitakannya itu tidak menjadi

mutlak satu-satunya alat bukti yang diajukan pada penyelesaian

kasus. Hal ini melatar belakangi penulis berani mencoba untuk

mengangkatnya dalam kepenulisan skripsi ini, menunjang pentingnya

peran akta agar semua elemen terkhusus para pihak dapat kembali

mengkaji kelengkapan dan kejelasan alat bukti surat (akta) yang ada

dalam penerapannya menyelesaikan kasus pertanahan, menuju pada

tujuan hukum itu sendiri, yang bukan pada kepuasan pribadi atau

kepentingan tertentu.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana mekanisme pembuktian alat bukti surat (akta)

terhadap kewenangan Badan Pertanahan Nasional sebagai

mediator kasus pertanahan?

2. Faktor-faktor apa yang menyebabkan legalitas alat bukti surat

(akta) menjadi penting dalam penyelesaian kasus pertanahan?


5

C. TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN

Tujuan Penelitian:

1. Untuk mengetahui mekanisme pembuktian alat bukti surat (akta)

terhadap kewenangan Badan Pertanahan Nasional sebagai

mediator kasus pertanahan.

2. Untuk mengetahui faktor-faktor apa yang menyebabkan legalitas

alat bukti surat (akta) menjadi penting dalam penyelesaian kasus

tanah.

Kegunaan Penelitian:

1. Menambah referensi kepusatakaan, semua para pihak yang

mempelajari dan mengkaji hukum baik sebagai: Mahasiswa,

Dosen, Aktivis, Notaris, dan sebagainya.

2. Dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan pada

umumnya dan ilmu hukum pada khususnya, serta sebagai

bahan perbandingan bagi penelitian.


6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Hukum Agraria dan Hukum Tanah

1. Pengertian Hukum Agraria

Istilah Agraria berasal dari kata Akker (Bahasa Belanda),

Agros (Bahasa Yunani) berarti pertanian, Agger (Bahasa Latin)

berarti sebidang tanah, Agrarian ( Bahasa Inggris) berarti untuk

pertanian.

Menurut Subekti (1983 : 12), agrarian adalah urusan tanah

dan segala apa yang ada di dalam dan di atasnya.

Bachsan Mustofa (1988 : 11) menjabarkan kaidah hukum

yang tertulis adalah

Hukum Agraria dalam bentuk undang-undang dan peraturan-


peraturan pemerintah tertulis lainnya yang dibuat oleh Negara,
sedangkan kaidah hukum yang tidak tertulis adalah Hukum
Agraria dibuat oleh masyarakat adat setempat dan yang
pertumbuhan, perkembangan serta berlakunya dipertahankan
oleh masyarakat adat yang bersangkutan.

Selanjutnya menurut Boedi Harsono (2003 :8) menyatakan

Hukum Agraria merupakan

Satu kelompok berbagai bidang hukum, yang masing masing


mengatur hak-hak penguasaan atas sumber-sumber daya alam
tertentu termasuk pengertian agrarian.
Kelompok berbagai bidang hukum tersebut terdiri atas:
a. Hukum Tanah, yang mengatur pengusaan atas tanah,
dalam arti permukaan bumi.

6
7

b. Hukum Air, yang mengatur hak-hak atas penguasaan air.


c. Hukum Pertambangan, yang mengatur hak-hak
penguasaan atas bahan-bahan galian yang dimaksudkan
oleh UU Pokok Pertambangan.
d. Hukum Perikanan, yang mengatur hak-hak penguasaan
atas kekayaan alam yang terkandung di dalam air.
e. Hukum Penguasaan atas tenaga dan Unsur-unsur dalam
Ruang Angkasa, mengatur hak-hak penguasaan atas
tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa yang
dimaksudkan oleh Pasal 48 UUPA.

Tanah sebagai bagian dari bumi disebutkan dalam pasal 4

ayat (1) UUPA, yaitu:

Atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud


dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak
permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan
kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun
bersama-sama orang lain serta badan-badan hukum.

Menurut Effendi Perangin (1989 : 195), menyatakan bahwa

Hukum tanah adalah keseluruhan peraturan-peraturan


pemerintah hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang
mengatur hak-hak penguasaan atas tanah yang merupakan
lembaga-lembaga hukum dan hubungan hukum yang konkret.

Hukum tanah dimana segala aspek yang mengatur tentang

permasalahan tanah yang diberikan wewenang tanggungjawab

kepada pemerintah sebagai pihak yang berperan dalam

pengelolaan negara bagi kehidupan warga negaranya.

Dari uraian beberapa pendapat pakar mengenai tanah

yang memang harus diakui bahwa kemajuan zaman


8

pengetahuan tentang definisi tanah itu telah mencakup hal yang

luas dimana ruang angkasa dan di bawah dasar tanah karena

adanya pemanfaatan oleh perkembangan teknologi

pembangunan.

Hal ini telah dijelaskan dalam firman Sang Pencipta Maha

Mengetahui segala apa yang ada dilangit dan dibumi, pada

seluruh kemanfaatan tanah untuk keberlangsusngan hidup

ciptaan-Nya.

(QS. Al Ahzab : 27)

Artinya:

Dan Dia mewariskan kepada kamu tanah-tanah, rumah-rumah


dan harta benda mereka, dan (begitu pula) tanah yang belum
kamu injak dan adalah Allah Maha Kuasa terhadap segala
sesuatu.

2. Ruang Lingkup Hukum Agraria

Urip Santoso (2005 : 7), secara garis besar hukum agraria

setelah berlakunya UUPA dibagi menjadi 2 bidang yaitu;

Dua pembgian ruang lingkup hukum agraria


a. Hukum Agraria Perdata (Keperdataan), adalah
keseluruhan dari ketentuan hukum yang bersumber pada
hak perseorangan dan badan hukum yang
memperbolehkan, mewajibkan, melarang diperlakukan
perbuatan hukum yang berhubungan dengan tanah
9

(objeknya). Contoh: jual beli, hak atas tanah sebagai


jaminan utang dan pewarisan.
b. Hukum Agraria Administratsi (Adminitratif), adalah
keseluruhan dari ketentuan hukum yang memberi
wewenang kepada pejabat dalam menjalankan praktek
hukum negara dan mengambil tindakan dari masalah-
masalah agrarian yang timbul. Contoh: pendaftaran tanah,
pengadaan tanah dan pencabutan hak atas tanah.

Ruang lingkup agrarian berdasarkan ketetapan MPR RI No.

IX atau MPR Tahun 2001 tentang Pembaharuan Agraria dan

Pengelolaan Sumber Daya Alam.

1. Bumi, pengertian bumi menurut pasal 1 ayat (4) UUPA

adalah permukaan bumi, termasuk pulatubuh bumi di

bawahnya serta yang berada di bawah air. Permukaan

bumi menurut pasal 4 ayat (1) UUPA adalah tanah.

2. Air, pengertian air menurut pasal 1 ayat (5) UUPA adalah

air yang berada diperairan pedalaman maupun air yang

berada di laut wilayah Indonesia. Dalam pasal 1 angka 3

UU No. 11 Tahun 1974 tentang pengairan, disebutkan

bahwa pengertian air meliputi air yang dapat di dalam atau

berasal dari sumber-sumber air, baik yang terdapat di atas

maupun di bawah di bwah permukaan tanah, tetapi tidak

meliputi air yang terdapat di laut.

3. Ruang angkasa, pengertian ruang angkasa menurut pasal

1 ayat (6) UUPA adalah ruang di atas bumi wilayah

Indonesia dan ruang di atas air wilayah Indonesia.


10

4. Pengertian ruang angkasa menurut pasal 48 UUPA, ruang

di atas bumi dan air yang mengandung tenaga dan unsur-

unsur yang dapat digunakan untuk usaha-usaha

memelihara dan memperkembangkan kesuburan bumi, air

serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dan hal-

hal lain yang bersangkutan dengan itu.

5. Kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, yang

terkandung dalam bumi disebut bahan, yaitu unsur-unsur

kimia, mineral-mineral, bijih-bijih dan segala macam

batuan-batuan mulia yang merupakan endapan-endapan

alam UU No. 11 Tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan

pokok pertambangan dalam air adalah ikan dan lain-lain

kekayaan alam yang berada di dalam perairan pedalaman

dan laut wilayah Indonesia ( UU No.9 Tahun 1985 tentang

perikanan). Dalam hubungan kekayaan alam di dalam

tubuh bumi dan air tersebut perlu dimaklumi adanya

pengertian dan lembaga Zona Ekonomi Ekslusif, yang

meliputi jalur perairan dengan betas terluar 200 mil laut

diutkur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia. Dalam

Zona Ekonomi Eksklusif ini hak berdaulat untuk melakukan

eksplorasi, eksploitasi dan lain-lainnya atas segala sumber

hayati dan Nonhayati yang terdapat didasar laut serta tubuh

bumi di bawahnya dari di atasnya, ada pada Negara


11

Republik Indonesia UU No. 5 Tahun 1983 tentang Zona

Ekonomi Eksklusif.

Tanah memiliki batasan tertentu, baik pada kepemilikan

maupun kemanfaatannya. Sesuai kutipan hadis riwayat

Aisyah.ra, Bahwa Rasulullah saw. bersabda:

Barang siapa berbuat zalim dengan mengambil tanah seluas


sejengkal, maka akan dikalungkan di lehernya setebal tujuh lapis
bumi. (Shahih Muslim No.3025).

B. Hukum Pembuktian

1. Pengertian Hukum Pembuktian

Pembuktian memegang peranan penting dalam suatu

proses peradilan. Penentuan tidaknya seorang terdakwa harus

bersalah dibuktikan melalui pemeriksaan di depan sidang

Pengadilan.

R. Supomo (1998 : 132) mengemukakan pengertian

pembuktian dengan membedakannya sebagai berikut:

a. Pengertian yang Luas, pembuktian adalah membenarkan


hubungan dengan hukum. Misalnya Hakim mengabulkan
tuntutan penggugat, maka pengabulan ini berarti bahwa
Hakim menarik kesimpulan bahwa yang dikemukakan
penggugat sebagai hubungan hukum antara penggugat
dan tergugat adalah benar. Berhubung dengan begitu,
maka membuktikan dalam arti yang luas adalah
memperkuat kesimpulan hakim dengan syarat bukti yang
sah.
b. Pengertian yang terbatas, berarti bahwa yang perlu
dibuktikan itu hanyalah hal-hal yang dibantah oleh tergugat.
Hal ini yang diakui tergugat tidak perlu dibuktikan lagi.
Hukum Pembuktian adalah keseluruhan aturan tentang
12

pembuktian yang menggunakan alat-alat bukti yang sah


sebagai alatnya dengan tujuan untuk memperoleh
kebenaran melalui putusan atau penetapan hakim.

Hukum pembuktian (law of evidence) dalam berperkara

merupakan bagian yang sangat kompleks dalam proses litigasi.

Keadaan kompleksitasnya makin rumit, karena pembuktian

berkaitan dengan kemampuan merekonstruksi kejadian

peristiwa masa lalu dan suatu kebenaran (Ultimate

truth). Kesulitan mengungkap kebenaran dalam proses

pembuktian karena alat bukti mengandung prasangka,

kebohongan dan kepalsuan.

Banyak orang bertanya mengapa hukum tidak mengambil

dan menganut sistem pembuktian yang lebih efisien, yaitu

mencari kebenaran berdasarkan perkembangan modern

dibidang kesehatan, ilmu pengetahuan, dan rekayasa

(engineering). Kenapa tidak dicari kebenaran itu melalui ahli

pengetahuan (scientific experts), hipnotis, psikoanalisis, atau

dengan teknik yang relevan dengan ilmu pengetahuan? Namun

hal itu pada umumnya, baru berupa wacana. Belum direalisasi

dalam kenyataan perundang undangan, apalagi dalam

penerapan. Meskipun beberapa negara, seperti Swedia, telah

meningkatkan pendapat ahli sebagai alat bukti, namun

kenyataan sampai sekarang banyak negara masih tetap

menitikberatkan pembuktian kebenaran secara manual melalui


13

alat bukti arkais (archaic). Keadaan tersebut meliputi sistem

pembuktian mencari kebenaran yang dianut peradilan Indonesia.

Belum ada perubahan kearah pembaharuan kebenaran yang

lebih modern dan rasional.

Itulah hukum positif di Indonesia yang berlaku sangat

berusaha mengejar dan menyesuaikan diri perkembangan

hukum dalam masyarakat Indonesia. Sekedar upaya menyaring

dan mengontrol putusan yang mengandung kebenaran yang

berisi kepalsuan dan kebohongan, Hakim harus mengklasifikasi

kebolehan alat bukti yang diajukan,hal ini diatur dalam pasal 181

UU No.8 Tahun 1981 yaitu:

1. Hakim ketua sidang memperlihatkan kepada terdakwa


segala barang bukti dan menanyakan kepadanya apakah
ia mengenal benda itu dengan memperhatikan ketentuan
sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 45 UU ini,
2. Jika perlu benda itu diperlihatkan juga oleh hakim ketua
sidang kepada saksi,
3. Apabila dianggap perlu untuk pembuktian, hakim ketua
hakim ketua sidang membacakan atau memperlihatkan
surat atau berita acara kepada terdakwa atau saksi dan
selanjutnya minta keterangan seperlunya tentang hal itu.

Dalam memberikan pembuktian akan kebenaran alat bukti

yang diajukan di pengadilan oleh atau yang melaporkan lebih

menekankan pada pengakuan oleh pelaku. Hal ini tentu lebih

bertumpu pada pelaku untuk mengakui atau berhak menolak

untuk mengakui benar atau tidak akan alat bukti tersebut.


14

Pembuktian mencari dan mewujudkan kebenaran formil

M Yahya Harahap (2014 : 498) dalam bukunya mengatakan

bahwa:

Sistem pembuktian yang dianut Hukum Acara Perdata, tidak


besifat stelsel negatif menurut undang-undang (negatief wettelijk
stelsel). Seperti dalam proses pemeriksaan pidana yang
menuntut pencarian kebenaran:
1. Harus dibuktikan berdasarkan alat bukti yang mencapai
batas minimal pembuktian, yakni sekurang-kurangnya dua
alat bukti yang sah dalam arti memenuhi syarat formil dan
materil;
2. Di atas pembuktian yang mencapai batas minimum
tersebut, harus didukung lagi oleh keyakinan Hakim
tengtang kebenaran keterbuktian ketersalahan terdakwa
(beyond a reasonable doubt).

Dalam proses awal hingga akhir dalam permasalahan

hukum untuk mencapai tujuan hukum itu sendiri diperlukan

pengajuan alat bukti yang akurat agar pihak yang berwenang

dalam menanganinya tidak menyulitkan mereka untuk

menylesaikan berbagai masalah hukum yang terjadi di

lingkungan masyarakat.

2. Klasifikasi Alat Alat Bukti

Tidak hanya dalam pembuktian mengajukan alat bukti

dengan begitu saja, meskipun sekarang ini mulai ada

perkembangan alat bukti jenis lainnaya. Namun, perlu diketahui

klasifikasi alat bukti yang telah distandarisasi oleh undang-

undang, dari berbagai bidang yang seperti kita ketahui bahwa


15

Indonesia memiliki berbagai macam sumber hukum, yang di

uraikan menurut Achmad Ali ( 1996 : 118) ialah

Undang-undang, kebisaan dan adat yang dipertahankan dalam


keputusan yang berkuasa dalam masyarakat, traktat,
yurisprudensi, pendapat pakar hukum yang terkenal (doktrin).

Hal tersebut menjadi acuan terkhusus bagi kalangan

hukum dengan tujuan tertentu. Adapun klasifikasi alat bukti,

yaitu:

Bidang Hukum Acara Perdata

1. Alat Bukti Surat

Diatur dalam pasal 165, 167 HIR Stb. No.29 Tahun

1867.pasal 285-305 RBg. Surat merupakan alat bukti

tertulis yang memuat tulisan untuk menyatakan

pikiran seseorang sebagai alat bukti.

2. Alat Bukti Saksi

Di atur dalam pasal 168-172 HIR, 306-309 RBg.

Dalam Pembuktian saksi pada umumnya dibolehkan

dalam segala hal. Kecuali, jika Undang-Undang

menentukan lain, misalnya persatuan harta kekayaan

dalam perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan

perjajian kawin (pasal 150 BW), Perjanjian Asuransi

dibuktikan dengan polis (pasal 258 KUHD).


16

3. Alat Bukti Persangkaan

Persangkaan atau dugaan (vermoeden, presumption)

diatur dalam pasal 173 HIR, 310 RBg. Dalam pasal

tersebut tidak dijelaskan arti persangkaan akan tetapi,

dalam pasal 1915 BW ditentukan bahwa persangkaan

itu adalah kesimpulan yang oleh Undang-Undang

atau oleh Hakim ditarik dari suatu peristiwa yang

terang kenyataannya kearah peristiwa lain yang

belum terang kenyataannya. Berdasarkan ketentuan

ini persangkan itu hanyalah kesimpulan belaka dari

ketentuan Undang-Undang atau Hakim tentang suatu

peristiwa yang sudah jelas kearah peristiwa yang

belum jelas.

4. Alat Bukti Pengakuan

Bekenteins, confession diatur dalam pasal 174-176

HIR, 311-313 RBg. Menurut pasal tersebut

pengakuan dimuka sidang pengadilan memiliki

kekuatan bukti yang sempurna dan memperhatikan

keyakinan Hakim dalam menilai benar tidaknya

pengkuan tergugat, yang tidak boleh terabaikan.

5. Alat Bukti Sumpah

Diatur dalam pasal 155-158, 177 HIR, 182-185, 314

RBg. Sumpah sebagai alat bukti adalah suatu


17

keterangan atau pernyataan yang dikuatkan atas

nama Tuhan yang dengan tujuan agar pihak yang

mengeluarkan pernyataan sumpah tersebut takut

akan murka dari Tuhan, yang sangat berpengaruh

pada keyakinan akan adanya Tuhan beserta balasan

yang ia peroleh.

Bidang Hukum Acara Pidana

Dalam acara pidana jenis alat bukti yang diakui dalam

penyelesaiannya berbeda di bidang pidana lebih menitik

beratkan untuk membuktikan kesalahan dilakukan

terdakwa, diarahkan kepada alat bukti keterangan saksi,

yang mengandalkan sendiri secara langsung orang yang

mengalami, melihat atau mendengar secara langsung

tindak pidana yang terjadi. Namun, tidak mengurangi

pentingnya alat bukti surat dalam pidana tertentu, seperti

pemalsuan, tipikor, tindak pidana hak atas kekayaan

intelektual dan sebagainya. Berdasarkan Pasal 184

KUHAP, alat bukti yang diakui, yaitu:

1. Keterangan Saksi,

2. Keterangan ahli,

3. Surat,

4. Petunjuk,

5. dan Keterangan terdakwa.


18

Bidang Hukum Acara TUN

Sebagaimana yang diatur dalam pasal 100 KUPTUN,

yaitu:

1. Surat atau tulisan;

Pasal 101 menjelaskan tentang surat atau tulisan

yang terbaik atas tiga jenis, yakni surat yang dibuat

dihadapan pihak yang berwenang (akta otentik), akta

bawah tangan dan surat-surat lain yang bukan akta.

2. Keterangan ahli;

Pasal 102-103 dijelaskan keterangan ahli ialah

pendapat orang yang memiliki pengetahuan dan

pengalam di bawah sumpah

3. Keterangan saksi;

Berkenaan denga hal yang dialami, dilihat, atau

didengar oleh saksi itu sendiri .

4. Pengakuan para pihak;

Pengakuan para pihak beradasarkan persetujuan

Hakim bila ingin ditarik kembali.

5. Pengetahuan Hakim

Terhadap hal yang harus dibuktikan, beban

pembuktian beserta penilainnya, dan minimal dua alat

bukti untuk sahnya pembuktian.


19

3. Pengkhususan Alat Bukti (Surat)

Dari kedua perbedaan alat bukti pada bidang hukum

masing-masing, penulis akan lebih menjabarkan pada alat bukti

surat yang dengannya terkait pada pembahasan yang termasuk

akta otentik. Adapun klasifikasi alat bukti surat, yaitu:

a. Akta Otentik

Pengertian AO yang diatur dalam Pasal 1868 KUH

Perdata yang berbunyi:

Suatu akta otentik ialah akta yang dibuat dalam bentuk


yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan
pejabat umum yang berwenang untuk itu ditempatkan akta
dibuat.

Dalam arti luas adalah perbuatan hukum yang

diartikan sebagai suatu tulisan yang dibuat untuk dipakai

sebagai bukti suatu perbuatan dan peristiwa hukum.

Pasal 165 HIR dan pasal 258 RBG menyebutkan bahwa :

Akta otentik adalah suatu akta yang dibuat oleh dan


dihadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu,
merupakan bukti yang lengkap antara para pihak dan para
ahli warisnya dan mereka yang tercantum di dalamnya
sebagai pemberitahuan belaka, akan tetapi ini adalah
sepanjang yang diberitaukan itu erat kaitannya dengan
pokok akta.

Pasal 1868 K.U.H. Perdata disebutkan bahwa :

Suatu akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk


yang ditentukan dalam undang-undang dibuat oleh atau
20

dihadapan pejabat-pejabat umum yang berkuasa itu


ditempat mana akta itu dibuatnya.

Demikian pula menurut Wirjono Prodjodikoro (1975 :

108) menyatakan bahwa :

Akta otentik adalah suratyang dibuat dengan maksud


dijadikan bukti atau di muka seorang pejabat yang
berkuasa untuk itu.

Beberapa pendapat dan uraian pasal di atas cukup

memberikan kita gambaran universal mengenai akta

otentik dengan demikian akta yang dibuat oleh notaris dan

sebagai peraturan pemerintah adalah termasuk akta

otentik, karena isi dari akta notaris yang dikatan ada

kepastian berarti memang demikian yang dikehendaki para

pihak dan isi akta tanah telah di saring terlebih dahulu oleh

notaris, sedang isi dari akta Peraturan Pemerintah adalah

akta pemindahan hak atas tanah yang dibuat oleh dan

dihadapan pejabat yang berwenang.

Bentuk AO, ditinjau dari segi pembuatan pada Pasal

1868 KUH Perdata memiliki cara dalam melakukannya:

1. Dibuat oleh pejabat dibidang hukum publik, seperti

pejabat TUN, berita acara penyidikan dan SIM yang

dibuat POLRI, KTP yang diterbitkan pemerintah, IMB,

Izin dari PEMDA dan sebagainya.


21

2. Dibuat oleh pejabat dibidang hukum perdata oleh

Notaris yang diatur dalam pasal 1 PJN (S 1860 No. 3),

akan tetapi dalam hal tertentu biasa juga pejabat

TUN, seperti akta nikah dibuat dihadapan Pegawai

Pencatatan Nikah(PPN) di KUA bagi mereka yang

beragama Islam dan dihadapn Pegawai Catatan Sipil

bagi yang non Islam.

Pada pembuatan dan penerbitan akta otentik

(sertifikat tanah) yang terjadi akibat dari perbuatan dan

peristiwa hukum yang melibatkan mereka berhubungan

para pihak yang membutuhkan ialah dalam hal BPN selaku

lembaga yang menaungi PPAT. Menurut Rahmat Ryanto

dalam skripsinya (2013 : 37), mengatakan bahwa :

(a.) BPN adalah lembaga Pemerintah non Departemen


yang berada dan bertanggung jawab kepada Presiden dan
dipimpin oleh Kepala. (sesuai dengan Perpres No.
10/2006). Yang wilayah tugasnya meliputi nasional,
regional dan sektoral.( b.) PPAT sebagai pejabat umum
dalam pasal 1 angka 24 diberi kewenangan untuk membuat
akta-akta tanah tertentu sebagai yang diatur dalam
peraturan perundang-unadangan, yaitu akta pemindahan
dan pembebasan hak atas tanah. Pejabat umum adalah
orang yang diangkat oleh instansi yang berwenang dengan
tugas melayani masyarakat umum dibidang atau kegiatan
tertentu. Dalam pasal 7 ditetapkan, bahwa PPAT diangkat
dan diberhentikan oleh menteri Negara agrarian/ kepala
BPN. (c.) Formasi jabatan PPAT pada kabupaten/kota yang
bersangkutan, telah ditetapkan berdasarakan Keputusan
Kepala BPN RI No. 103/KEP-17.3/III/2011 tanggal 21 Maret
2011 tentang formasi, pengangkatan dan penempatan
PPAT tahun 2011-2015 telah menetapkan jumlah
22

kebutuhan formasi PPAT pada wilayah yang


bersangkutan.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun

1998 pasal 1 ayat (1) tentang PPAT adalah :

Pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat


akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu
mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan
Rumah Susun.

Demikianlah penjelasan yang telah diuraikan sangat

jelas bahwa para pihak yang berhak membuat dan

menerbitkan akta otentik ialah pihak-pihak yang diatur

sesuai ketentuan peratuaran pemerintah.

b. Akta Bawah Tangan

Dalam pasal 1874 KUH Pardata, pasal 286 RBG ABT

diuraikan:

a. Tulisan atau akta ditanda tangani di bawah tangan,

b. Tidak dibuat atau ditanda tangani dihadapan pejabat

yang berwenang (pejabat umum), tetapi dibuat oleh

seseorang atau para pihak yang melibatkan dari

perbuatan dan kejadian hukum.

c. Akta sepihak atau akta pengakuan sepihak

Akta sepihak berarti akta pengakuan sepihak dari

tergugat, oleh karenanya penilaian dan penerapannya di


23

tundukkan pada Pasal 1878 KUH Perdata, Pasal 291 RBG

yang mengatakan :

Perikatan utang sepihak dibawah tangan haruslah ditulis


untuk membayar sejumlah uang tunai atau memberikan
barang yang dapat dinilai dengan suatu harga tertentu,
harus ditulis seluruhnya dengan tanda tangan si penenda
tangan sendiri, setidak-tidaknya selain tanda tangan,
haruslah ditulis dengan tangan si penanda tangan sendiri
suatu tanda setuju yang menyebut jumlah uang atau
banyaknya barang yang terutang, jika hal ini tidak
diindahkan, maka bila perkataan dipungkiri, akta yang
ditanda tangani itu hanya apat diterma sebagai suatu
permulaan pembuktian dengan tulisan.

4. Kekuatan Pembuktian Akta Otentik

Pembuktian akta otentik dari Peraturan Pemerintah yang

hanya dapat dibuat olehnya, selain dari padanya berarti

melanggar peraturan yang berlaku. Keabsahannya mempunyai

kekuatan hukum berlaku apabila telah memenuhi persyaratan

yang ditentukan.

Berdasarkan jenis alat bukti surat yang telah di uraikan

ketiga juga memiliki perbedaan yang terletak pada kekuatan

pembuktian, namun dimungkinkan memiliki kekutan pembuktian

yang sama jika memenuhi persyaratan tertentu. Bila

terpenuhinya syarat formil dan syarat materiil dari masing-

masing akta.

Sebagai alat bukti akta otentik meliputi tiga segi kekuatan

pembuktian, yaitu:
24

a. Kekuatan pembuktian luar (uitwenddige bewijs recht), ialah

syarat formal yang diperlukan agar supaya suatu akta

dapat berlaku sebagai akta otentik, yaitu para pihak pada

tanggal tersebut dalam akta telah menghadap pada notaris

dan melakukan tindakan sebagaimana yang tersebut

dalam akta.

b. Kekuatan pembuktian formal (formal bewijs recht) ialah

kepastian bahwa suatu kepastian dan fakta tersebut dalam

akta betul-betul dilakukan pejabat yang berwenang atau

diterangkan oleh piha-pihak yang menghadap.

c. Kekuatan pembuktian materil (material bewijs recht) yaitu

kepastian bahwa apa yang disebut dalam akta adalah

merupakan pembuktian yang sah terhadap pihak-pihak

yang membuat akta atau mereka yang mendapat hak dan

berlaku untuk umum, kecuali ada pembutkian sebaliknya

5. Penerapan Beban Pembuktian

Penerapan beban pembuktian merupakan masalah yurudis

atau hukum. Oleh karena masalah yuridis, penerapannya dapat

diperjuangkan sampai ke tingkat kasasi di Mahkamah Agung.


25

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan kajian normatif untuk menganalisis

penerapan norma-norma terhadap berbagai fakta yang terkait

bagaimana mekanisme pembuktian alat bukti surat (akta) terhadap

kewenangan badan pertanahan nasional sebagai mediator kasus

pertanahan dan faktor-faktor apa saja yang menyebabkan legalitas

alat bukti surat menjadi penting pada kasus pertanahan.

Data yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari sumber

data yaitu:

1. Data Primer

Adalah data yang diperoleh dari sumber-sumber hukum, seperti

Undang-undang, kebiasaan, traktat, yurisprudensi, dan doktrin.

2. Data sekunder

Adalah data yang diperoleh dari beberapa literature dan

memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti

buku-buku, jurnal, media online, media cetak, hasil-hasil

penelitian, dan sebagainya yang berhubungan dengan tulisan

ini.

25
26

3. Tersier

Yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum sekunder, seperti Al- Quran

Al Kariim, kamus hukum, ensiklopedia, dan sebagainya yang

berhubungan dengan tulisan ini.

B. Teknik Pengumpulan Data

Data primer dikumpulkan dengan cara membaca, inventarisasi,

identifikasi, serta sinkronisasi antara kedua jenis data primer dan data

sekunder.

C. Analisis Data

Semua data yang penulis peroleh baik data primer maupun data

sekunder akan dianalisa dengan tinjauan normatif, agar terjalin

keselarasan antara tema dengan tujuan kepenulisan ini, yang

selanjutnya dirumuskan dalam bentuk kesimpulan.


27

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Mekanisme Pembuktian alat bukti surat (akta) terhadap

kewenangan Badan Pertanahan Nasional sebagai mediator kasus

pertanahan.

Timbulnya kasus hukum mengenai tanah berawal dari

pengaduan suatu pihak orang atau badan hukum yang berisi

keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah baik itu status,

prioritas, maupun kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh

penyelesaian administrasi sesuai peraturan yang berlaku. Namun,

untuk dapat mengetahui mekanisme penyelesaiannya terlebih dahulu

diketahui beberapa hal yang menjadi indikasi timbulnya suatu

peramasalahan ialah berikut beberapa hal yang dimaksud

diantaranya:

1. Sekilas Kasus Pertanahan

Salah satu kegiatan dalam program strategis BPN lainnya

adalah percepatan penyelesaian kasus pertanahan.

Berdasarkan Peraturan Kepala BPN RI Nomor 3 Tahun 2011

tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus

Pertanahan, kasus pertanahan adalah kasus, konflik dan

perkara pertanahan yang disampaikan kepada Badan

Pertanahan Nasional Republik Indonesia untuk mendapatkan

27
28

penanganan, penyelesaian sesuai peraturan perundang-

undangan dan/atau kebijakan pertanahan nasional.

a. Kasus Pertanahan

Kasus pertanahan adalah perselisihan pertanahan

antara orang perseorangan, badan hukum atau lembaga

yang tidak berdampak luas. Penekanan yang tidak

berdampak luas inilah yang membedakan definisi kasus

pertanahan dengan definisi konflik pertanahan. Kasus

tanah dapat berupa kasus administratif, kasus perdata,

kasus pidana terkait dengan pemilikan, transaksi,

pendaftaran, penjaminan, pemanfaatan, penguasaan dan

kasus hak ulayat.

b. Konflik Pertanahan

Konflik pertanahan merupakan perselisihan

pertanahan antara orang perseorangan, kelompok,

golongan, organisasi, anbadan hukum atau lembaga yang

mempunyai kecenderungan atau sudah berdampak luas.

c. Perkara Pertanahan

Perkara pertanahan adalah perselisihan pertanahan

yang penyelesaiannya dilaksanakan oleh lembaga

peradilan atau putusan lembaga peradilan yang masih

dimintakan penanganan perselisihannya di BPN RI.


29

2. Tipologi Kasus Pertanahan

Tipologi kasus pertanahan merupakan jenis kasus, konflik

dan atau perkara pertanahan yang disampaikan atau diadukan

dan ditangani oleh Badan Pertanahan Nasional, secara garis

besar dikelompokkan menjadi :

a. Penguasaan tanah tanpa hak, yaitu perbedaan persepsi,

nilai atau pendapat, kepentingan mengenai status

penguasaan di atas tanah tertentu yang tidak atau belum

dilekati hak (tanah Negara), maupun yang telah dilekati hak

oleh pihak tertentu.

b. Kasus batas, yaitu perbedaan pendapat, nilai kepentingan

mengenai letak, batas dan luas bidang tanah yang diakui

satu pihak yang telah ditetapkan oleh Badan Pertanahan

Nasional Republik Indonesia maupun yang masih dalam

proses penetapan batas.

c. Kasus waris, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau

pendapat, kepentingan mengenai status penguasaan di

atas tanah tertentu yang berasal dari warisan.

d. Jual berkali-kali, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau

pendapat, kepentingan mengenai status penguasaan di

atas tanah tertentu yang diperoleh dari jual beli kepada

lebih dari 1 orang.


30

e. Sertipikat ganda, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau

pendapat, kepentingan mengenai suatu bidang tanah

tertentu yang memiliki sertipikat hak atas tanah lebih dari 1

orang pemilik hak.

f. Sertipikat pengganti, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau

pendapat, kepentingan mengenai suatu bidang tanah

tertentu yang telah diterbitkan sertipikat hak atas tanah

pengganti.

g. Akta Jual Beli Palsu, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau

pendapat, kepentingan mengenai suatu bidang tanah

tertentu karena adanya Akta Jual Beli palsu.

h. Kekeliruan penunjukan batas, yaitu perbedaan

pendapat, nilai kepentingan mengenai letak, batas dan luas

bidang tanah yang diakui satu pihak yang teiah ditetapkan

oleh Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia

berdasarkan penunjukan batas yang salah.

i. Tumpang tindih, yaitu perbedaan pendapat, nilai

kepentingan mengenai letak, batas dan luas bidang tanah

yang diakui satu pihak tertentu karena terdapatnya

tumpang tindih batas kepemilikan tanahnya.

j. Putusan Pengadilan, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau

pendapat, kepentingan mengenai putusan badan peradilan

yang berkaitan dengan subyek atau obyek hak atas tanah


31

atau mengenai prosedur penerbitan hak atas tanah

tertentu.

3. Sifat Permasalahan Kasus

Menurut Teguh Sutanto ( 2014 : 157) ada 4 macam, yaitu:

a. Masalah yang menyangkut prioritas dapat ditetapkan


sebagai pemegang hak yang sah atas tanah yang berstatus
hak, atau atas tanah yang belum ada status haknya,
b. Bantahan terhadap sesuatu atas hak/bukti perolehan yang
digunakan sebagai dasar pemberian hak,
c. Kekeliruan/ kesalahan pemberian hak yang disebabkan
penerapan peraturan yang kurang atau tidak benar,
d. Kasus atau masalah lain yang mengandung aspek sosial
praktis.

Oleh karena itu, penyelesaiannya tergantung dari sifat

permsalahannya yang diajukan dan prosesnya akan

memerlukan berapa tahap tertentu sebelum diperoleh suatu

keputusan.

4. Kriteria Penyelesaian Kasus Pertanahan

Kasus pertanahan dalam basis data BPN merupakan

kasus-kasus lama maupun kasus-kasus baru yang timbul

sebagai implikasi kasus-kasus lama. Setelah dilakukan

identifikasi terhadap kasus-kasus tersebut, diperoleh informasi

bahwa tipologi kasus kasus tersebut tidak dapat dilakukan

generalisasi dalam melakukan upaya penanganan kasusnya.

Sehubungan dengan hal itu, upaya penyelesaiannya

dikategorikan dalam beberapa kriteria sebagai berikut:


32

a. Kriteria 1 (K1) : penerbitan surat pemberitahuan

penyelesaian kasus pertanahan dan pemberitahuan

kepada semua pihak yang berkasus.

b. Kriteria 2 (K2) : penerbitan Surat Keputusan tentang

pemberian hak atas tanah, pembatalan sertipikat hak atas

tanah, pencatatan dalam buku tanah atau perbuatan

hukum lainnya sesuai Surat Pemberitahuan Penyelesaian

Kasus Pertanahan.

c. Kriteria 3 (K3) : Pemberitahuan Penyelesaian Kasus

Pertanahan yang ditindaklanjuti mediasi oleh BPN sampai

pada kesepakatan berdamai atau kesepakatan yang lain

disetujui oleh pihak yang berkasus.

d. Kriteria 4 (K4) : Pemberitahuan Penyelesaian Kasus

Pertanahan yang intinya menyatakan bahwa penyelesaian

kasus pertanahan akan melalui proses perkara di

pengadilan.

e. Kriteria 5 (K5) : Pemberitahuan Penyelesaian Kasus

Pertanahan yang menyatakan bahwa penyelesaian kasus

pertanahan yang telah ditangani bukan termasuk

kewenangan BPN dan dipersilakan untuk diselesaikan

melalui instansi lain.


33

5. Solusi Penyelesaian Kasus Pertanahan

Hakikatnya, kasus pertanahan merupakan benturan

kepentingan (conflict of interest) di bidang pertanahan antara

siapa dengan siapa, sebagai contoh konkret antara perorangan

dengan perorangan; perorangan dengan badan hukum; badan

hukum dengan badan hukum dan lain sebagainya.

Sehubungannya guna kepastian hukum yang diamanatkan

UUPA, maka terhadap kasus pertanahan dimaksud dapat

diberikan respons/reaksi/penyelesaian kepada yang

berkepentingan masyarakat dan pemerintah. Ada beberapa

solusi dalam penyelesaiannya, yakni melalui pengadilan dan di

luar pengadilan (negosiasi, mediasi/ BPN, paksaan,

penghindaran, membiarkan saja, dan penyelesaian khusus).

yang dapat kita cermati sebagai bahan perbandingan antara lain:

1. Arbitrase : Penyelesaian kasus yang sudah agak lama

adalah arbitrase. Para pihak melalui klausul yang

disepakati dalam perjanjian, menundukkan diri (sub

mission) menyerahkan penyelesaian kasus yang timbul

dari perjanjian kepada pihak ketiga yang netral dan

bertindak sebagai arbiter. Proses penyelesaian dilakukan

dalam wadah arbitral tribunal (majelis arbitrase). Untuk

mengantisipasi perselisihan yang mungkin terjadi maupun

yang sedang mengalami perselisihan yang tidak dapat


34

diselesaikan secara negosiasi/untuk menghindari

penyelesaian kasus melalui badan peradilan yang selama

ini dirasakan melalui waktu yang lama. Fungsi dan

kewenangannya penuh oleh para pihak sampai pada

putusan final dan mengikat kepada para pihak.

2. Mediasi: Mediasi pada dasarnya adalah negosiasi yang

melibatkan pihak ketiga yang memiliki keahlian yang

mengenai prosedur mediasi yang efektif, dapat membantu

dalam situasi konflik untuk mengkoordinasikan aktivitas

mereka sehingga lebih efektif dalam proses tawar

menawar, bila tidak ada negosiasi tidak ada mediasi.

3. Konsilisasi: Konsilisasi merupakan kelanjutan dari mediasi.

Mediator berubah fungsi menjadi konsilitator. Dalam hal ini

konsilisai berwenang menyusun dan merumuskan

penyelesaian untuk ditawarkan kepada para pihak. Jika

para pihak dapat menyetujui, solusi yang dapat dibuat

konsilitator menjadi resolution. Kesepakatan ini juga

bersifat final dan mengikat para pihak. Salah satu

perbedaan antara mediasi adalah berdasarkan

rekomendasi yang diberikan oleh pihak ketiga kepada

pihak yang bersengkata. Sedangkan mediator dalam suatu

mediasi hanya berusaha membimbing para pihak yang

berkasus menuju suatu kesepakatan.


35

4. Litigasi: Adalah proses penyelesaian kasus dipengadilan,

semua pihak yang berkasus saling berhadapan satu sama

lain untuk mempertahankan hak-haknya. Hasil akhir dari

suatu penyelesaian kasus melalui litigasi adalah putusan

yang menyatakan pihak yang satu menang dan pihak yang

lain kalah.

Disetiap upaya tersebut terhubung dengan suatu proses

ialah Negosiasi (Musyawarah): Negosiasi merupakan

keseharian seseorang melakukan negosiasi dalam kehidupan

sehari-hari, seperti sesama mitra dagang, kuasa hukum, salah

satu pihak-pihak dengan pihak yang sedang berkasus, bahkan

pengacara yang memasukan gugatannya di pengadilan juga

bernegosiasi dengan tergugat atau kuasa hukumnya sebelum

pemeriksaan perkaranya dimulai.

Agraria Propinsi dan Kantor Agraria

Kabupaten/Kotamadya, khususnya pasal 35 mengenai

Pembentukan saksi Bimbingan Teknis dan Penyelesian Hukum

yang bertugas memberikan bimbingan teknis di bidang

pengurusan hak-hak tanah dan menyelesaikan kasus hukum

yang berhubungan dengan hak-hak tanah. Penyelesaian kasus

pertanahan dapat diselenggarakan melalui jalur non peradilan

ialah instansi Badan Pertanahan Nasional dan jalur Peradilan

ialah melalui Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama dan


36

Pengadilan Tata Usaha Negara, adapun mekanisme penangan

kasus sebagai berikut:

a. Solusi melalui BPN

Kasus pertanahan itu timbul karena adanya klaim/

pengaduan /keberatan dari masyarakat (perorangan/badan

hukum) yang berisi tuntutan di bidang pertanahan yang

telah ditetapkan di lingkungan Badan Pertanahan Nasional,

dirasakan merugikan hak-hak mereka atas suatu bidang

tanah tersebut.

Adanya klaim, mereka ingin mendapat penyelesaian

secara administrasi dengan apa yang disebut koreksi serta

merta dari Pejabat yang berwenang. Kewenangan untuk

melakukan koreksi terhadap suatu keputusan Tata Usaha

Negara di bidang pertanahan (sertifikat/Surat Keputusan

Pemberian Hak Atas Tanah), ada pada Kepala Badan

Pertanahan Nasional. Berikut tahapan penyelesaian kasus:

i. Pelayanan pengaduan dan Informasi Kasus

a. Pengaduan disampaikan melalui Loket

pengaduan.

b. Dilakukan Register terhadap pengaduan yang

diterima.

c. Penyampaian informasi, digolongkan menjadi :


37

Informasi rahasia : Perlu ijin Kepala BPN RI atau

Pejabat yang ditunjuk.

Informasi Terbatas : Diberikan pada pihak yang

memenuhi syarat.

Informasi Terbuka untuk umum : Diberikan pada

pihak yang membutuhkan.

Tahapan ini adanya pemohon sebagai pihak

yang mengajukan permohonan hak atas tanah yang

dikasuskan dan dilampiri bukti-bukti kepemilikan

dengan harapan agar terhadap tanah tersebut dapat

dicegah mutasinya sehingga tidak merugikan

pemohon dan pemanggilan terhadap lawan dari

pemegang hak(pelapor) yang merasa dirugikan oleh

putusan sertifikat tanah serta Pemanggilan terhadap

camat, lurah dan RT-RW setempat, dimana terjadi

kasus tanah;

ii. Pengkajian Kasus

a. Untuk mengetahui faktor penyebab.

b. Menganalisis data yang ada.

c. Menyusun suatu rekomendasi penyelesaian kasus.

iii. Penanganan suatu kasus pertanahan yang

disampaikan atau diadukan dan ditangani oleh Badan

Pertanahan Nasional RI dilakukan dengan tahapan :


38

a. Pengolahan data pengaduan, penelitian

b. Lapangan/koordinasi/investigasi.

c. Penyelenggaraan gelar kasus/penyiapan berita

acara.

d. Analisis/Penyusunan Risalah Pengolahan

Data/surat

e. keputusan.

f. Monitoring dan evaluasi terhadap hasil

penanganan kasus.

g. Untuk suatu kasus pertanahan tertentu yang

dianggap strategis, dilaksanakan pembentukan tim

penanganan kasus potensi konflik strategis.

Disimpulkan sementara apakah pengaduan tersebut

dapat diproses lebih lanjut atau tidak dapat. Apabila data

yang disampaikan secara langsung ke BPN itu masih

kurang jelas atau kurang lengkap, maka akan diminta

penjelasan disertai dengan data serta saran ke Kepala

Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan

Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat letak

tanah yang dikasuskan.Bila kelengkapan data tersebut

telah dipenuhi, maka selanjutnya diadakan pengkajian

kembali terhadap masalah yang diajukan meliputi segi

prosedur, kewenangan dan penerapan hukumnya. jika


39

perlu setelah Kepala Kantor Pertanahan setempat

mengadakan penelitian dan apabila dari keyakinannya

memang harus distatus quokan, dapat dilakukan

pemblokiran atas tanah kasus. Kebijakan ini dituangkan

dalam surat edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional

tanggal 14-1-1992 No 110-150 perihal Pencabutan

Instruksi Menteri Dalam Negeri No 16 tahun 1984.

Dicabutnya Instruksi Menteri Dalam Negeri No 16

Tahun 1984, maka diminta perhatian dari Pejabat Badan

Pertanahan Nasional di daerah yaitu para Kepala Kantor

Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan Kepala

Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, agar selanjutnya di

dalam melakukan penetapan status quo atau pemblokiran

hanya dilakukan apabila ada penetapan Sita Jaminan (CB)

dari Pengadilan. (Bandingkan dengan Peraturan Menteri

Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No 3

Tahun 1997 Pasal 126).Oleh karena itu, apabila Kepala

Kantor Pertanahan setempat hendak melakukan tindakan

status quo terhadap suatu Keputusan Tata Usaha Negara

di bidang Pertanahan (sertifikat/Surat Keputusan

Pemberian Hak Atas Tanah), harusnya bertindak hati-hati

dan memperhatikan asas-asas umum Pemerintahan yang

baik, antara lain asas kecermatan dan ketelitian, asas


40

keterbukaan (fair play), asas persamaan di dalam melayani

kepentingan masyarakat dan memperhatikan pihak-pihak

yang berkasus. jika dapat dipertemukan pihak-pihak yang

berkasus, maka sangat baik diselesaikan melalui cara

musyawarah.

iv. Musyawarah

Secara musyawarah harus disertai surat

pemberitahuan para pihak membuat pernyataan

bahwa kasus tersebut mau diselesaikan secara

musyawarah. Dan umumnya sering berhasil dalam

usaha penyelesaian ini secara kekeluargaan.

v. Pelepasan Hak

Salah satu pihak bersedia untuk melepaskan

sertifikatnya dalam kasus tumpang tindih atau sering

disebut sertifikat ganda, yang dijadikan tanah Negara

kemudian diterbitkan kembali sertifikat hak pemegang

baru.

vi. Pembuatan Berita Acara

Berkenaan dengan itu, secara musyawarah

mencapai kata mufakat, maka harus pula disertai

dengan bukti tertulis, yaitu dari surat pemberitahuan

untuk para pihak, berita acara rapat dan selanjutnya

sebagai bukti adanya perdamaian dituangkan dalam


41

akta jika perlu dibuat di hadapan notaris sehingga

mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna.

Berita acara ini diketahui oleh para pihak, sepeti pihak

yang berkasus, disaksikan oleh camat, lurah dan

kepala kantor pertanahan yang dibuat oleh BPN.

b. Penyelesaian melalui jalur hukum/pengadilan.

Apabila penyelesaian melalui musyawarah di antara

para pihak yang berkasus tidak tercapai, demikian pula

apabila penyelesaian secara sepihak dari Kepala Badan

Pertanahan Nasional tidak dapat diterima oleh pihak-pihak

yang berkasus, maka penyelesaiannya harus melalui

pengadilan. Bila penyelesaiannya melalui pengadilan,

maka bisa melalui peradilan umum (Pengadilan Negeri,

Pengadilan Tinggi, dan Makhamah Agung), Pengadilan

Tata Usaha Negara dan Pengadilan Agama, seluruhnya

sesuai gugatan yang terkait lingkungan pertanahan.

Ada keuntungan sendiri penyelesaiannya di BPN

secara madiasi, yaitu prosesnya singkat, biaya murah, tidak

berbelit-belit. Jika dibandingkan mengajukan gugatan di

lembaga peradilan yang lebih mengarah ke win-win

solution, dimana dalam penyelesiannya kemungkinan tidak

ada kepuasan dari keputusan peradilan bagi para pihak.

Penyelesaian melalui pengadilan ditempuh apabila dengan


42

jalan musyawarah tidak mendatangkan hasil, maka kasus

harus diselesaikan oleh lembaga peradilan sesuai prosedur

beracara.

Jika dicermati seksama, maka mekanisme

pembuktian akta pada dasarnya ada di setiap alur proses

pelaksanaan kegiatan yang telah diuraikan mulai dari

pengajuan kasus, pengkajian, penanganan hingga dibuat

berita acara dalam menyelesaikan kasus pertanahan itu

selalu terkait dengan adanya surat yang dibuat baik itu

pemerintah atau staf dalam instansi tersebut yang bekerja

untuk memenuhi dokumen-dokumen tugasnya maupun

masyarakat yang hendak memenuhi persyaratan

administratif dari proses yang berlangsung. Dan itu dapat

dijadikan sebagai alat bukti berupa tulisan atau surat, tetapi

bukan berarti itu menjadi alat bukti kepunyaan hak atas

tanah yang mutlak kewenangan ada padanya. Karena, bisa

jadi dia termasuk orang sebagai perwakilan atau yang

diberi kuasa saat mengurus proses tersebut.

Artinya baik wilayah pengadilan maupun BPN setiap

uraian perbuatan dan peristiwa hukum yang dibuatkan

surat yang didalamnya terpenuhi syart formil dan syarat

materiil, maka itu dapat dijadikan sebagai alat bukti baik

sebagai tindakan preventif untuk kewaspadaan kasus


43

kedepannya yang datang dari arah tak terduga khususnya

pertanahan maupun sebagai upaya represif jika telah

terjadi kasus yang memiliki kekutan pembuktian sepanjang

belum dibuktikan sebaliknya.

B. Faktor-Faktor yang Menyebabkan Legalitas Alat Bukti Surat

Menjadi Penting pada Kasus Pertaanahan.

Sudah mewakili pokok permasalahan yang ada dalam wilayah

pertanahan sesuai kutipan BPN RI (2015) menguraikan bahwa,

Sebagai sebuah program prioritas, penyelesaian kasus-kasus


pertanahan senantiasa menjadi perhatian seluruh jajaran Badan
Pertanahan Nasional RI di tingkat Pusat, Kantor Wilayah Propinsi
maupun Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota seluruh Indonesia.
Sampai dengan bulan September 2013, jumlah kasus pertanahan
mencapai 4.223 kasus yang terdiri dari sisa kasus tahun 2012
sebanyak 1.888 kasus dan kasus baru sebanyak 2.335 kasus. Jumlah
kasus yang telah selesai mencapai 2.014 kasus atau 47,69% yang
tersebar di 33 Propinsi seluruh Indonesia.

Dari banyaknya kasus, tentu timbulnya kasus pertanahan dari

berbagai sumber faktor-faktor terjadinya kasus terkhusus di

lingkungan BPN sebagaimana dijelaskan, yaitu:

1. Persoalan administrasi sertifikasi tanah atau pembuatan akta

yang tidak jelas, akibatnya adalah ada tanah yang dimiliki oleh

dua orang dengan memiliki sertifikat masing-masing.

2. Distribusi kepemilikan tanah yang tidak merata.

Ketidakseimbangan dalam distribusi kepemilikan tanah ini baik

untuk tanah pertanian maupun bukan pertanian telah


44

menimbulkan ketimpangan baik secara ekonomi, politis maupun

sosiologis. Dalam hal ini, masyarakat bawah, khususnya

petani/penggarap tanah memikul beban paling berat.

Ketimpangan distribusi tanah ini tidak terlepas dari kebijakan

ekonomi yang cenderung kapitalistik dan liberalistik. Atas nama

pembangunan tanah-tanah garapan petani atau tanah milik

masyarakat adat diambil alih oleh para pemodal dengan harga

murah.

3. Legalitas kepemilikan tanah yang semata-mata didasarkan pada

bukti formal (sertifikat), hanya pada pembutan akta semata tanpa

memperhatikan produktivitas tanah. Akibatnya, secara

llangsung, boleh jadi banyak tanah bersertifikat dimiliki oleh

perusahaan atau para pemodal besar, karena mereka telah

membelinya dari para petani/pemilik tanah.

Lain halnya peran pemerintah dalam melaksanakan tugas dan

kewenangannya yang pada umumnya dapat terjadi perbuatan

melanggar hukum. Adanya pihak dari pemerintah yang melanggar

peraturan tentang pertanahan dapat terjadi karena faktor hukum dan

faktor non hukum.

Salah satu faktor hukum adalah proses pendaftaran tanah yang

diselenggarakan dalam rangka memperoleh sertifikat hak atas tanah

belumlah terlaksana dengan baik, hal ini menyangkut administrasi

pertanahan. Kemudian faktor non hukum adalah adanya motivasi-


45

motivasi tertentu yang berlatarbelakang spekulatif dalam usaha

membatalkan suatu sertifikat hak atas tanah, dengan menggunakan

berbagai alat bukti nonotentik berupa rincik, girik dan lain-lain.

Tuntutan pembatalan sertifikat hak atas tanah dengan menggunakan

bukti nonotentik mendominasi. Hal itu merupakan indikasi bahwa

kekuatan pembuktian akta nonotentik sebagai bukti hak atas suatu

bidang tanah masih tetap diakui oleh perundang-undangan, apalagi

hakim Pengadilan mempunyai kewenangan untuk memberikan

penilaian setiap bukti surat baik otentik maupun non-otentik.

1. Legalitas kepemilikan tanah

Salah satu kabijakan Badan Pertanahan Nasional adalah

Program Legalisasi aset adalah proses administrasi pertanahan

yang meliputi adjudikasi (pengumpulan data fisik, data yuridis,

pengumuman serta penetapan dan/atau penerbitan surat

keputusan pemberian hak atas tanah), pendaftaran hak atas

tanah serta penerbitan sertipikat hak atas tanah. Legalitas

kepemilikan tanah mengandung 2 aspek pembuktian, yaitu:

a. Bukti Surat

Artinya, sebuah sertifikat dianggap sah dan benar selama

tidak terdapat tuntutan pihak lainuntuk membatalkan

sertifikat tersebut. Ada 4 hal yang sangat prinsip dalm

penerbitan sertifikat, yakni:


46

Status dan dasar hukum (atas hak kepemilikan).

Untuk mengetahui dan memastikan dengan dasar

apa tanah tersebut diperoleh, terpenuhi syarat materil

akta.

Identitas pemegang hak. Untuk memastikan

kepastian siapa pemegang hak sebenarnya dan

apakah benar termasuk orang yang berwenang untuk

mendapatkan hak atas tanah tersebut.

Letak dan luasnya obyek tanah. Untuk memastikan

bentuk surat ukur atau gambar situasi dimana letak

batasan dan luas tanah sebenarnya agar tidak terjadi

tumpang tindih dengan tanah orang lain, dan

memastikan keberadaan ada atau tidaknya tanah itu.

Prosedur penerbitan. Harus memenuhi asas

publisitas, yaitu dengan mengumumkan pada kantor

pertanahan atau pihak yang berwenang dala/m

bidang pertanahan setempat tentang adanya

permohonan hak atas tanah itu, agar pihak lain yang

merasa keberatan sanggahan sebelum pemberian

hak sertifikat itu diterbitkan, serta prosedur lainnya

yang tertera dalam PP No. 24 Tahun 1997 tentang

Pendaftaran Tanah.
47

Bila mana salah satu atau lebih dari empat uraian

diatas tidak ada, maka terjadi cacat hukum dan dapat

mengajukan permohonan pembatalan sertifikat, baik

melalui putusan PN ataupun putusan Menteri Agraria atau

Kepala BPN.

Selain sertifikat terdapat alat bukti lainnya, seperti

girik, ketitir, ireda, ipeda, SPPT(PBB) untuk tanah-tanah

milik adat atau tanah garapan. Dokumen itu bukanlah bukti

kepemilikan, tetapi bukti pembayaran pajak dan hal ini

dapat membuktikan bahwa orang pemegang dokumen

tersebut adalah orang yang mengusai atau memanfaatkan

tanah tersebut yang patut diberikan hak atas tanah. Yang

pembuktiannya kuat dijadikan dasar permohonan hak atas

tanah atau sertifikat, karena pada dasarnya hukum tanah

adat yang tidak tertulis berdasar pada pasal 5 UUPA tahun

1960.

Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang


angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan
dengan kepentingan nasional dan Negara, yang
berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme
Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang
tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan
perundangan lainnya, segala sesuatu dengan
mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum
agama.
48

Selanjutnya, dari sumber pembiayaan

penyelenggaraannya, legalisasi aset dapat dibedakan

menjadi legalisasi aset dengan rupiah murni dan legalisasi

aset dengan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Melalui legalisasi aset dengan rupiah murni, tanah milik

yang dikuasai oleh perorangan anggota masyarakat atau

perorangan anggota kelompok masyarakat tertentu

disertipikatkan dengan inisiatif dari pemerintah serta biaya

pengelolaan seluruh proses adminsistrasi pertanahan

(adjudikasi, pendaftaran tanah, serta penerbitan sertipikat)

sepenuhnya dibebankan kepada negara. Semenatara

untuk legalisasi dengan PNBP diselenggarakan dengan

inisitaif dari pemilik atau pemohon hak atas tanah dan

sumber biaya pengelolaannya dibebankan kepada pemilik

tanah/pemohon hak atas tanah.

Sesungguhnya percepatan legalisasi aset/tanah

merupakan sebuah keharusan untuk mewujudkan fokus

dari arah pembangunan nasional di bidang pertanahan.

Masih banyaknya bidang tanah yang belum terdaftar dan

diberikan legalitas asetnya berupa sertipikat hak atas

tanah, akan berpengaruh terhadap kepastian hukum atas

aset tanah, baik bagi masyarakat, pemerintah dan dunia

usaha. Pada gilirannya pemilikan/penguasaan tanah yang


49

belum terlegalisasi tersebut, akan rentan terhadap

terjadinya kasus pertanahan. Sebagai wujud pelaksanaan

tugas pemerintahan dibidang pertanahan untuk mendorong

tumbuhnya sumbersumber ekonomi masyarakat, Badan

Pertanahan Nasional Republik Indonesia terus

mengembangkan program prioritas Legalisasi Aset dengan

Rupiah Murni, melalui kegiatan: Sertipikat Tanah Prona,

Sertipikat Tanah Petani, Sertipikat Tanah Nelayan,

Sertipikat Tanah UKM, Sertipikat Transmigrasi, dan

Sertipikat Tanah Masyarakat Berpenghasilan Rendah

(MBR).

b. Bukti Fisik

Bukti ini berfungsi sebagai kepastian bahwa orang

yang bersangkutan benar-benar menguasai secara fisik

tanah tersebut dan menghindari terjadi dua pengauasaan

hak yang berbeda, yaitu hak atas (fisik) dan hak bawah

(surat). Hal ini penting dalam proses pembebasan tanah,

khususnya dalam pelepasan hak atau ganti rugi, dan untuk

memastikan bahwa si pemegang surat atau sertifikat

tersebut tidak menelantarkan tanahnya karena adanya

fungsi sosial tanah. Aspek legalnya terdapat beberapa hal

yang perlu diperhatikan, antara lain:


50

1. Pengecekan keabsahan sertifikat di kantor

pertanahan setempat dan memastikan rumah

tersebut letaknya sesuai dengan situasi di sertifikat.

2. Memastikan bahwa si penjual adalah pemegang hak

yang sah atas rumah tersebut dengan cara

memeriksa buku nikah dan fatwa waris, untuk

mengetahui siapa saja ahli waris yang sah.

3. Meminta surat keterangan dari pengadilan negeri

setempat , apakah rumah tersebut dalam kasus atau

tidak.

4. Meminta keterangan tentang advis planning dari

Kantor Dinas Tata Kota setempat untuk mengetahui

rencana perubahan peruntukan di lokasi tersebut

5. Memeriksa Izin Mendirikan Bangunan (IMB) untuk

memastikan apakah renovasi tersebut sesuai dengan

IMB perubahannya. Jika tidak bangunan itu bisa

disegel atau didenda.

6. Memastikan yang menandatangani AJB dari pihak

pejual adalah ahli waris yang sah atau setidaknya

mempunyai kuasa untuk kepentingan tersebut .

2. Legalisasi Kepemilikan Akta

Legalisasi Kepemilikan Akta ada pada :

a. Pembuat Akta
51

Pembuatan akta tentunya terdapat para pihak yang

berwenang. sesuai Peraturan Kepala Badan Pertanahan

Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011 tentang

Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus

Pertanahan. Peraturan tersebut menguraikan segala hal

yang menyangkut kewenangan BPN dalam menjalankan

tugas dan fungsinya yang menyeluruh dalam bidang untuk

mengkaji dan menangani dalam proses penyelesaian

kasus pertanahan. Dan mengenai Tugas Pokok dan

Kewenangan PPAT, yakni dalam perundang-undangan

PPAT maupun Notaris adalah merupakan pejabat umum

yang diberikan kewenangan membuat akta otentik

tertentu. Yang membedakan keduanya adalah Landasan

hukum berpijak yang mengatur keduanya. PPAT adalah

UU No. 5 tahun 1960, PP No. 24 tahun 1997, PP No. 37

tahun 1998 dan PerKBPN No. 1 tahun 2006, sedangkan

Pejabat Notaris adalah UU No. 30 tahun 2005. Perbedaan

tersebut tergambar dengan jelas lembaga hukum yang

bertanggung jawab untuk mengangkat dan

memberhentikan, tugas dan kewenangannya dalam rangka

pembuatan akta-akta otentik tertentu, system pembinaan

dan pengawasannya.
52

Pejabat Notaris diangkat dan diberhentikan oleh

Menteri dalam hal ini Menteri Hukum dan HAM dan

dibawah pembinaan dan pengawasan ada pada pejabat

yang ada dibawah kementerian tersebut yakni Pengadilan

negeri. PPAT diangkat dan diberhentikan oleh Kepala

Badan Pertanahan Nasional (KBPN), sedangkan

pembinaan dan pengawasannya ada pada pejabat yang

ditunjuk dalam tingkat daerah kabupaten / kota hal ini

Kepala Kantor pertanahan setempat. Produk hukum yang

dihasilkan adalah akte otentik, namun berbeda jenisnya.

Didalam UU No. 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris,

Pejabat notaris berwenang membuat akta otentik

mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan

yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan

dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan

untuk dinyatakan dalam akta otentik, semuanya itu

sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan

atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang

ditetapkan oleh undang-undang. Disamping itu dikatakan

notaris berwenang pula antara lain : membuat akta yang

berkaitan dengan pertanahan ( lihat pasal 15 UU No. 30

tahun 2004).
53

PPAT sebagai pejabat umum yang diberikan

kewenangan untuk membuat akta-akta otentik, (lihat UU

No. 5 tahun 1960, PP No.24/1997, PP No. 37/1998 jo

Permenag/KBPN No.1 / 2006). Sesuai ketentuan diuraikan

secara rinci dalam pasal 2 6 peraturan KBPN No. 1 tahun

2006 yang merupakan penjabaran dari PP No. 37 tahun

1998 dan tindak lanjut dari ketentuan yang diatur dalam PP

No. 24 tahun 1997, Permenag / KBPN No. 3 tahun 1997,

dijelaskan Tugas pokok dan kewenangan PPAT yakni,

melaksanakan sebagian dari kegiatan pendaftaran tanah

dengan tugas pembuatan akta (otentik) sebagai bukti telah

dilakukan perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas

tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang

dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data

pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum

itu di daerah kerjanya yang ditentukan oleh pemerintah (

kompetensi absolute) yakni kabupaten atau kota satu

wilayah dengan wilayah kerja Kantor pertanahan.

Ada 8 jenis akta PPAT yang menjadi alat bukti dan

dasar perubahan data pendaftaran tanah pasal 95 ayat 1

Peraturan Menteri Negara Agraria / KBPN (

Permenag/KBPN) No. 3 tahun 1997 jo. No.37 tahun 1998

dalam Pasal 2 ayat 2 , Per KBPN No. 1 tahun 2006) dan


54

rangka pembuatan akta-akta tersebut, ditentukan pula

bentuk akta akta yang wajib dipergunakan oleh PPAT,

dan cara pengisiannya, serta formulir yang dipergunakan

sebagaimana tercantum dalam lampiran 16 s/d 23

Permenag / KBPN No. 3 tahun 1997, terdiri dari bentuk: a.

Akta jual beli ( lampiran 16); b. Akta tukar menukar (

lampiran 17); c. Akta hibah ( lampiran 18); d. Akta

pemasukan ke dalam perusahaan ( lampiran 19); e. Akta

pembagian hak bersama (lampiran 20); f. Akta pemberian

hak tanggungan ( lampiran 21); g. Akta pemberian hak

guna bangunan / hak pakai atas tanah hak milik ( lampiran

22); h. Surat kuasa membebankan hak tanggungan (

lampiran 23 ); dan apabila dalam pembuatan akta tidak

sebagaimana yang ditentukan tersebut maka merupakan

pelanggaran. Namun, seiring perkembangan hukum dalam

mengejar penyesuaian diri terhadap penyelesaian dari

segala bentuk perkembangan kasus selalu ada

pembaharuan peraturan seperti aturan terkait PPAT dalam

Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 dijelaskan

mengenai kewenangan PPAT sebagaimana telah dikaitkan

diatas.
55

b. Pengguna Akta

Pihak yang memiliki kepentingan dengan tujuan dari

guna kepemilikan akta sabgai alat bukti, dalam tindakan

preventif jika sewaktu terjadi hal yang tidak diinginkan.

Pihak yang mengadakan perjanjian diatas alat bukti hitam

diatas putih (akta atau alat bukti surat) baik dihadapan

pejabat yang berwenang (akta otentik ) maupun akta

dibawah tangan.

c. Pemanfaatan Akta

Bergantung dari para pihak yang terlibat dari

perjanjian atau perikatan yang berisi dalam akta atas

kegunaan baik itu dilandasi oleh perbuatan hukum

(rechtshandeling), seperti jual-beli, utang piutang, hibah

dan sebagainya yang telah diuraikan dalam pasal 2 ayat (2)

pada aturan PPAT, maupun suatu hubungan hukum

(rechtsbetrekking), seperti hubungan dibidang harta

kekayaan atau bidang perdagangan, asuransi dan

sebagainya. Serta sesuai keinginan mereka akan hak

dalam pasal 16 UUPA Nomor 50 Tahun 1960 akan

kegunaan akta yang dimilikinya.

Pada poin a dan b merupakan penjabaran dari syarat

formil AO yang bersifat partai artinya harus memuat

keterangan yang saling bersesuaian antara kedua belah


56

pihak sebagai landasan yang melahirkan persetujuan, yang

dari mana PPAT atau notaris mengetahui adanya

persesuaian pendapat para pihak jika yang hadir hanya

satu pihak saja. Sedangkan, poin c dijelaskan mengenai

syarat materiil yang berisi keterangan dari perjanjian yang

disepakati.

3. Arti Penting Sistem Pembuktian

Pembuktian adalah tata cara untuk menetapkan

terbuktinya fakta yang menjadi dasar dari pertimbangan dalam

menjatuhkan suatu putusan. Menurut Indroharto,( 1993: 165-

186) fakta dimaksud dapat terdiri dari:

1. Fakta Hukum; yaitu kejadian-kejadian atau keadaan-

keadaan yang eksistensinya (keberadaannya) tergantung

dari penerapan suatu peraturan perundang-undangan.

2. Fakta Biasa; yaitu kejadian-kejadian atau keadaan-

keadaan yang juga ikut menentukan adanya fakta hukum

tertentu.

Dari arti penting pembuktian sepanjang bagaimana

kekuatan pembuktian akta sebagai alat bukti surat terkhusus

pada legalitas keotentikan terhadap kepemilikan hak atas tanah

dalam mempertanggung jawabkan sebagaimana adanya kondisi

terhadap akta tersebut, untuk menjaga keaslian yang sah dan

diterbitkan para pihak yang berwenang.


57

Berkaitan dengan keaslian AO telah disinggung pada

kekuatan pembuktian, yang setiap AO lahir tampak sebagai akta

keasliannya sepanjang tidak dibuktikan bahwa akta itu asli atau

palsu. Para mediator dan juga hakim atau siapa pun, harus

menerima dan menghargai keasliannya dalam bentuk dugaan

keaslian suatu akta. Oleh karena itu, siapa pun yang meragukan

keasliannya, harus membuktikan dari keraguannya. Seperti

dalam putusan MA No. 868 K/Sip/1974 yang kasusnya diuraikan

M Yahya Harahap (2004:280) bahwa:

Jumlah harga yang disebut dalam Akta Notaris No.36 jual-beli


(tanggal 2 januari 1970). Berdasarkan fakta itu bahwa salah satu
pihak membantah kebenaran dan keaslian akta tersebut.
Bantahan itu tidak dibenarkan atas alasan karena biasa dalam
akta jual-beli dicantumkan jumlah harag yang lebih rendah untuk
menghindari pajak yang lebih besar, sehingga hal itu belum
cukup membuktiakan bahwa telah terjadi schijnkop atau jual
pura-pura, meskipun cara yang seperti itu tidak dibenarkan
hukum.

Ditegaskan dalam hal pembuatan akta mengandung

penyalahgunaan formalitas, yakni dengan itikad buruk memberi

keterangan yang tidak benar, sehingga kebenaran tidak nyata

tampak didalamnya, oleh karena itu dianggap tidak memiliki

kekuatan pembuktian sebagai akta otentik, dianggap sebagai

penyimpangan pada akta.


58

a. Penyimpangan pada AO

Dalam berbagai teori dan praktek ada banyak bentuk

kepalsuan dengan tujuan tuntutan kepalsuan AO, guna

melumpuhkan kekuatan pembuktian yang ada padanya.

Kepalsuan intelektual, tuduhannya terhadap isi AO

berlawanan dengan sebenaranya. Untuk itu perlu

dibuktikan alat buktia lain yang telah diatur. Sebagai

perbandingan akta kematian yang dibuat oleh lurah,

dilumpuhkan dengan kesaksian sebagai alat bukti lain

(putusan MA No. 3759 K/Pdt/ 1991 ditegaskan surat

kematian yang dibuat lurah tanggal 15-10-1971,

dibantah dua orang saksi yang menyatakan, BD

meninggal setahun sebelum terjadinya jual beli itu,

maka pengadilan membenarkan bantahan penggugat

tersebut.

Kepalsuan materiil, hampir sama dengan yang

dijelaskan diatas namun, tidak hanya pada isi tetapi

juga pada tandatangan, kepalsuan terhadap bentuk

dan isi atas alasan; terdapat penghapusan isi,

mengandung penukaran, dan terdapat penambahan.

Sepanjang kepalsuan ini lebih mudah

membuktikannya dengan cara pemeriksaan laboratories,

tetapi menganai penghapusan, penukaran dan


59

penambahan agak sulit, kecuali ada dipegang minuta atau

salinan aslinya baik padanya maupun oleh pejabat yang

membuatnya.
60

BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

1. Mekanisme pembuktian alat bukti surat (akta) terhadap

kewenangan Badan Pertanahan Nasional sebagai mediator

kasus pertanahan.

Alur pada mekanisme pembuktian dalam proses

penyelesaian kasus tanah terdapat dua solusi, yakni melalui

pengadilan dan di luar pengadilan (negosiasi, mediasi/ BPN,

paksaan, penghindaran, membiarkan saja, dan penyelesaian

khusus). Namun, penulis lebih membahas pada kewenangan

BPN sebagai pihak mediator, yaitu ;

a. Solusi melalui BPN

Kasus pertanahan itu timbul karena adanya

klaim/pengaduan/keberatan dari masyarakat

(perorangan/badan hukum) yang berisi tuntutan terhadap

suatu keputusan di bidang pertanahan. Adanya klaim

tersebut, mereka ingin mendapat penyelesaian secara

administrasi dengan apa yang disebut koreksi serta merta

dari Pejabat yang berwenang untuk itu.

i. Pelayanan pengaduan dan Informasi Kasus

ii. Pengkajian Kasus

60
61

iii. Musyawarah

iv. Pelepasan

v. Pembuatan Berita Acara

Penyelesaian kasus perjanjian jual-beli tanah

bersertifikat ganda, dapat dilakukan melalui pengadilan dan

di luar pengadilan (negosiasi, mediasi, paksaan,

penghindaran, membiarkan saja, dan penyelesaian

khusus).

b. Melalui Badan Peradilan

Bila penyelesaiannya melalui pengadilan, maka bisa

melalui peradilan umum (Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi,

dan Makhamah Agung), Pengadilan Tata Usaha Negara dan

Pengadilan Agama, seluruhnya sesuai gugatan yang terkait

lingkungan pertanahan.

Ada keuntungan sendiri penyelesaiannya di BPN secara

madiasi, yaitu prosesnya singkat, biaya murah, tidak berbelit-

belit. Jika dibandingkan mengajukan gugatan di lembaga

peradilan yang lebih mengarah ke win-win solution.

2. Faktor-Faktor yang Menyebabkan Legalitas Alat Bukti Surat

(Akta) Menjadi Penting Dalam Penyelesaian Kasus Tanah.

a. Legalitas kepemilikan tanah

Kebijakan Badan Pertanahan Nasional adalah

Program Legalisasi aset adalah proses administrasi


62

pertanahan yang meliputi adjudikasi (pengumpulan data

fisik, data yuridis, pengumuman serta penetapan dan/atau

penerbitan surat keputusan pemberian hak atas tanah),

pendaftaran hak atas tanah serta penerbitan sertipikat hak

atas tanah.

b. Peran Legalitas Kepemilikan Akta ada pada :

i. Pembuat akta

ii. Pengguana akta

iii. Pemanfaatan akta

Sepanjang hubungan antara kuduanya sinkron-

bersinergi maka akta yang terbit memiliki legalitas sebagai

alat bukti yang kuat-mutlak tanpa adanya keraguan darinya

dan pembuktian pihak yang komplain itu dapat

dilumpuhkan, juga disertai alat bukti lainnya sebagaimana

yang terdapat dalam aturan yang berlaku.

3. Arti Penting Sistem Pembuktian

Pembuktian adalah tata cara untuk menetapkan

terbuktinya fakta yang menjadi dasar dari pertimbangan dalam

menjatuhkan suatu putusan.


63

C. SARAN

1. Penegakan hukum yang berperan tidak hanya pada aparat

semata melainkan lingkup luasnya juga orang dewasa yang

cakap memiliki pembebanan atau kewajiban sebagai pribadi

hukum (perzoonlijk). Kepastian dan perlindungan hukum

sebagai konsekuensi pengakuan negara terhadap hak atas

tanah atau suatu masyarakat hukum adat, maka negara wajib

memberi jaminan kepastian hukum sehingga lebih mudah bagi

warganya untuk mepertahankan haknya terhadap gangguan

lain. agar upaya pengurusan tanah perlu ditingkatkan dengan

meningkatkan mutu pelayanan aparat sehingga tercapai

tujuannya berupa alat bukti hak yang akurat, yang diperoleh

dalam jangka waktu tertentu dan biaya relatif wajar.

2. Konsistensi terhadap berbagai keputusan-keputusan, tanpa ada

niat terselubung yang desertai faktor internal yang bersifat

individualistik dan faktor eksternal berasal dari luar diri penegak

hukum lingkungan, politik, social, dan sebagainya.


64

Daftar Pustaka

Achmad, Ali,1982, Hukum Pembuktian Perdata. Yogyakarta, Karya


Kencana.

Abdulkadir, Muhammad, 2000, Hukum Acara Perdata Indonesia.


Bandung, PT. Citra Aditya Bakti.

Abdul Azis, Dahlan, 2005,

, 2006, Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta, PT.


Ichtiar Baru Van Hoeve.

,2006, Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata. Jakarta,


Kencana

A. Pitlo , 1986, Pembuktian dan Daluwarsa (terj.). Jakarta, Internusa.

Ali Srwan Husein, 1997. Konflik Pertanahan. Jakarta, Pestaka Sinar


Harapan.

Ary Ginanjar Agustian, 2008, Emotional Spiritual Quotient. Jakarta,


Arga Publishing.

Boedi Harsono, 1988, Himpunan Peraturan Tanah. Jakarta, Djambatan.

Effendi Perangin, 1989, Hukum Agraria di Indonesia.

Erman, suparman, 2004. Kitab Undang-undang PTUN. Bandung, Fokus


Media.

64
65

Fransiska Muharram, 2013, Kekuatan Bukti Sertifikat Hak Atas Tanah.


Makassar, UMI.

J.C.T Simotangkir, 2002, Kamus Hukum. Jakarta, PT. Rineka Cipta.

Jusman Jaya Jamid, 2003, Impelentasi Pengaturan Kepemilikan Hak


Atas Tanah Menurut Peraturan Hukum Agraria di Kota Makassar.
Makassar, UMI.

Maria S.W. Sumardjono, 2006. Kebijakan Pertanahan.jakarta, Kompas.

Nurul Qamar, 2011, Percikan Pemikiran Tentang Hukum. Makassar,


Pustaka Refleksi.

Prints Dewan, 1998, Hukum Acara Pidana dalam Praktek. Jakarta,


Djambatan.

Projodikoro, R ,Wirjono, 1992 , Hukum Acara Perdata di Indonesia.


Bandung, Sumur Bandung.

Rahmat Ryanto, 2013, Kajian Hukum Tentang Rangkap Jabatan


Notaris & PPAT yang Tidak Satu Wilayah Kerja. Makassar. UMI.

Said Sampara, dkk, 2009. Buku Ajar Pengantar Ilmu Hukum.


Yogyakarta, total Media.

Shidarta, 2006, Moralitas Profesi Hukum. Jakarta, Refika Aditama.

Soenarto, 1995, Metode Penelitian . Yogyakarta, Unit Penerbit dan


Percetakan(UPP) Akademi Perusahaan Manajemen Perusahaan
YKPN.
66

Soeroso, 2010, Yurisprudensi Hukum Acara Perdata. Jakarta, Sinar


Grafika.

Subekti, 2008, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta, Pradnya


Paramita.

Yahya Harahap,M, 2014, Hukum Acara Perdata. Jakarta, Sinar Grafika.

Yunus, Sudin Usu, Peranan Notaris Sebagai PPAT di Kota Gorontalo.


Gorontalo, UMI.

B. Al Quran Al- Qarim Digital

C. Undang-undang :

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-


Pokok Agraria.

Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1986 Tentang PTUN

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, No. 8 tahun 1981.

Undang-Undang Republik Indonesia nomor 30 tahun 2004 tentang


jabatan notaris.

TAP MPR Nomor: IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan


Pengelolaan Sumber Daya Alam

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 tahun 1996 tentang


HGU, HGB dan HPT
67

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 tahun 1998 tentang


Pejabat Pembuat Akta Tanah.

Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Keputusan Presiden No 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional Di


Bidang Pertanahan.

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No


3 Tahun 1999.

Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia


nomor: M-01. HT.03.01 tahun 2003 tentang kenotarisan

Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor


3 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Pengkajian Dan Penanganan
Kasus Pertanahan

D. Wibe Site :

Arief Rachman , Putusan Perkara Perdata sebagai Alat Bukti.

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt52d5e034652f7/putusan-
perkara-perdata-sebagai-alat-bukti.

Anoname, Sekilas Program Legalisasi Aset BPN-RI.


http://www.bpn.go.id/Program/Legalisasi-Aset

Uzteqyah, 2015, Penyelesaian Sengketa Tanah.


http://uzteyqah.blogspot.com/2013/04/penyelesaian-sengketa-
tanah_6952.html#!/2013/04/penyelesaian-sengketa-tanah_6952.html.

Anda mungkin juga menyukai