Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

HAK-HAK ATAS TANAH MENERUT UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA


DAN ANALISIS KASUS SENGKETA TANAH ANTARA TNI-AD DENGAN
MASYARAKAT URUTSEWU, KEBUMEN, JAWA TENGAH

Dosen Pengampu :

Salahuddin S.H., M.Kn

Disusun oleh :

Anggi Wirakusuma (0206212069)

HUKUM

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA MEDAN


KATA PENGANTAR

Pertama-tama marilah kita ucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat-Nya
makalah ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat waktu. Makalah ini tidak luput dari
bimbingan Dosen Hukum Agraria serta tuntutan untuk memenuhi tugas terstruktur mata kuliah ini.

Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, maka mohon maaf atas segala
kesalahan dan kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Untuk itu penulis tidak menutup
kemungkinan untuk menerima berbagai saran dan kritik yang membangun sebagai bahan
pertimbangan dan perbaikan dimasa mendatang.

Medan, 23 Desember 2022

Penulis
BAB I

Pendahuluan

A. Latar Belakang

Pada tanggal 24 September 1960 disahkan Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, LNRI Tahun 1960 No.104-TLNRI No.2043. Undang-
Undang ini lebih dikenal dengan sebutan Undang-Undang Agaria (UUPA). Sejak diundangkan
UUPA, berlakulah Hukum Agraria Nasional yang mencabut peraturan dn keputusan yang dibuat
pada masa Pemerintahan Hindia Belanda, antara lain Agrarische Wet Stb. 1870 No.55 dan
Agrarische Besluit Stb.187 No.118.1

Tanah merupakan salah satu sumber penghidupan dan mata pencaharian bagi manusia dan
masyarakat sehingga menjadi kebutuhan manusia yang paling mendasar dengan keyakinan betapa
sangat dihargai dan bermanfaat tanah untuk kehidupan manusia, bahkan tanah dan manusia tidak
dapat dipisahkan. Manusia hidup dan berkembang serta melakukan aktivitas diatas tanah sehingga
setiap saat berhubungan dengan tanah. 2 Dalam UUPA tidak ditemukan secara jelas pengertian
hukum pertanahan. Hukum tanah menurut Boedi Harsono, merupakan bagian dari bidang hukum
agraria yang masing-masing mengatur hak-hak penguasaan atas sumber-sumber daya alam
tertentu, seperti: hukum air, hukum pertambangan, hukum perikanan, hukum penguasaan atas
tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa.3

Hukum tanah sebagai suatu sistem bukan mengatur tanah dalam segala aspeknya. Ia
hanya mengatur salah satu aspek yuridisnya yang disebut hak-hak penguasaan atas tanah, bukan
sebagai lembaga hukum maupun hubungan hukum kongkret.4 Dalam sejarah perkembangan
hukum agraria, masih banyak hal-hal yang belum diatur dalam UUPA. UUPA hanya mengatur
sebagian besar masalah tentang pertanahan. Untuk masalah yang lebih mengkhusus UUPA belum
menjelaskan lebih rinci lagi. Misal tentang kasus sengketa penguasaan hak atas tanah yang secara
rinci belum di atur dalam UUPA.

1
Urip Santoso, Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah,(Jakarta : KENCANA PRENADA MEDIA
GROUP, 2011),Cet. Kedua, hlm. 1

2
M.P. Siahan, 2003, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Teori Praktek, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, hal.1

3
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, jilid 1 Hukum Tanah Nasional, Penertbit Djambatan, Edisi
Revisi 1999, hlm.5, 8, 17, 23, dan 26

4
Rusmadi Murad, Menyingkap Tabir Masalah Pertanian, (Bandung: CV.Mandar Maju, 2017), Cet.Kesatu,
hlm.1
Hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu permukaan bumi yang berbatas,
karenanya hak atas tanah bukan saja memberikan wewenang untuk mempergunakan sebagian
tertentu permukaan bumi yang disebut tanah. Tetapi juga sebagian tubuh bumi yang dibawahnya
dan air serta ruang yang ada diatasnya dengan pembatasan. Tetapi tubuh bumi dibawah tanah dan
ruang angkasa yang ada di atsanya sendiri bukan merupakan obyek hak atas tanah. Bukan
termasuk obyek yang dipunyai pemegang hak atas tanah. Hak atas tanah yang berlaku di
Indonesia saat ini merupakan salah satu hal yang diatur dalam Hukum Agraria dan didasarkan
pada keberadaan hukum adat.

Perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah, berarti hak atas tanah yang bersangkutan
sengaja dialihkan kepada pihak lain. Adapun bentuk pemindahan hak atas tanah adalah dengan
Jual Beli; Hibah; Wakaf; dan Hibah wasiat. Perbuatan-perbuatan hukum tersebut kecuali hibah
wasiat, dilakukan pada waktu pemegang haknya masih hidup dan merupakan perbuatan hukum
pemindahan hak yang bersifat tunai. Artinya, bahwa dengan dilakukanya perbuatan hukum
tersebut, hak atas tanah yang bersangkutan berpindah kepada pihak lain.

Pada kenyataannya banyak sekali kasus sengketa tanah yang terjadi, diantaranya karena
tidak mengantongi bukti kuat atas kepemilikan tanah. Oleh karenanya tidak sembarangan bagi
siapapun dalam penguasaan tanah, pemiliknya sekalipun wajib memelihara dan memanfaatkannya
hanya sesuai kebutuhan tanpa merugikan pihak lain dan tidak secara berlebihan menggunakannya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja hak-hak atas tanah?

2. Bagaimana penyelesaian sengketa tanah antara TNI-AD dengan masyarakat


Urutsewu, Kabupaten Kebumen, Provinsi Jawa Tengah?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui hak-hak atas tanah

2. Mengetahui bagaimana penyelesaian kasus sengketa tanah antara TNI-AD dengan


masyarakat, Urutsewu, Kabupaten Kebumen, Provinsi Jawa Tengah.
BAB II
Pembahasan
A. Hak-hak Atas Tanah
Yang dimaksud dengan hak atas tanah adalah hak yang member wewenang kepada pemegang
haknya untuk menggunakan dan/atau mengambil manfaat dari tanah yang dihakinya. Perkataan
“menggunakan” mengandung pengertian bahwa hak atas tanah itu digunakan untuk kepentingan
mendirikan bangunan, sedangkan perkataan “mengambil manfaat” mengandung pengertian
bahwa hak atas tanah itu digunakan untuk kepentingan bukan mendirikan bangunan, misalnya
pertanian, perikatan, peternakan, dn perkebunan.
Atas dasar ketentuan Pasal 4 ayat (2) UUPA, kepada pemegang hak atas tanah diberi
wewenang untuk menggunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta
ruang yang diatasnya sekadar diperlukan untuk kepentingan langsung yang berhubungan dengan
penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan-peraturan hukum lain yang
lebih tinggi.
Penguasaan yang di atur dalam UUPA adalah penguasaan oleh Negara. Dalam Pasal 2 UUPA
menjelaskan tentang apa saja hak-hak yang diperoleh oleh Negara. Adapun bunyi Pasal 2 UUPA
yaitu :
1. Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar dan hal-hal sebagai yang
dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang
terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi
kekuasaan seluruh rakyat.

2. Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk:
 mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan
pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
 menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan
bumi, air dan ruang angkasa,
 menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan
perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

3. Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat (2) pasal ini
digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan,
kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang
merdeka berdaulat, adil dan makmur.

4. Hak menguasai dari Negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-
daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan
Pemerintah.5
Selanjutnya di jelaskan pula dalam Pasal 4 UUPA, yang berbunyi:
1. Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan
adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan
kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-
orang lain serta badan-badan hukum.
5
Pasal 2 Undang-Undang Pokok Agraria

2. Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk
mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang
ada diatasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan
penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut Undang-undang ini dan peraturan-peraturan
hukum lain yang lebih tinggi.
3. Selain hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditentukan pula
hak-hak atas air dan ruang angkasa.6
Dalam uraian isi pasal tersebut menjelaskan tentang wewenang apa saja yang diperoleh oleh
Negara dalam menguasai bumi, air dan bangunan sesuai dengan batas-batas yang telah di
tentukan dalam Undang-Undang.
Dalam hal ini UUPA tidak menjelaskan apabila suatu tanah atau bangunan yang dikuasai oleh
orang perorangan. Padahal dalam kenyataannya banyak sekali kasus tentang penguasaan atas
tanah atau objek sengketa. Pengertian penguasaan dan menguasai dapat diperoleh dalam arti fisik
dan yuridis, juga beraspek perdata dan beraspek publik.
Di Indonesia sebutan agraria dilingkungan administrasi Pemerintah dipakai dalam arti tanah,
baik tanah pertanian maupun non pertanian.7
Penguasaan dan pemanfaatan tanah yang diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria
(UUPA) merupakan arah dari politik hukum pertanahan Indonesia yang bertujuan untuk
menjamin terwujudnya kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Wujud dari hal tersebut
terlihat dari adanya perhatian khusus kepada kelompok masyarakat lemah melalui kebijakan
pertanahan.8 Penguasaan yang di atur dalam UUPA adalah penguasaan oleh Negara. Dalam Pasal
2 UUPA menjelaskan tentang apa saja hak-hak yang diperoleh oleh Negara.

B. Hak Menguasai

1. Pengertian Penguasaan Atas Tanah


Pengertian “penguasaan” dapat dipakai dalam arti fisik, juga dalam arti yuridis. Juga beraspek
privat dan beraspek publik. Penguasaan adalam arti yuridis adalah penguasaan yang dilandasi hak,
yang dilindungi oleh hukum dan pada umumnya member kewenangan kepada pemegang hak
untuk menguasai secara fisik tanah yang dihaki, misalnya pemilik tanah menggunakan atau
mengambil manfaat dari tanah yang dihaki, tidak diserahkan kepada pihak lain. Ada penguasaan
yuridis, yang biar pun member kewenangan untuk menguasai tanah yang dihaki, tidak diserahkan
kepada pihak lain. Ada penguasaan yuridis, yang biarpun memberi kewenangan untuk menguasai
tanah yang dihaki secara fisik, pada kenyataannya penguasaan fisiknya dilakukan oleh pihak lain,
misalnya seseorang yang memiliki tanah tidak menggunakan tanahnya sendiri akan tetapi
disewakan kepada pihak lain, dalam hal ini secara yuridis tanah tersebut dimiliki oleh pemilik
tanah akan tetapi secara fisik dilakukan oleh penyewa tanah.
Ada juga penguasaan secara yuridis yang tidak member kewenangan untuk menguasai tanah
yang bersangkutan secara fisik, misalnya kreditur (Bank) pemegang hak jaminan atas tanah
mempunyai hak penguasaan yuridis atas tanah yang dijadikan agunan (jaminan), akan tetapi
secara fisik penguasaannya tetap ada pada pemegang hak atas tanah.
6
Urip Santoso, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, (Jakarta: PT.Fajar Interpratama Mandiri, 2017), cet.
Keenam, hal. 1 dan 2
7
Opcit, hal 1
8
Nurhasan Ismail, 2012, Arah Politik Hukum Pertanahan Dan Perlindungan Kepemilikan Tanah
Masyarakat, vol.1 No.1.

Penguasaan yuridis dan fisik atas tanah ini dipakai dalam aspek privat. Ada penguasaan
yuridis yang beraspek publik,yaitu penguasaan atas tanah sebagaimana yang disebutkan dalam
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 2 UUPA9 , yang berbunyi :
Pasal 33 ayat (3) : “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh
Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”10
Pasal 2 UUPA :
“(1) Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar dan hal-hal sebagai
yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi
kekuasaan seluruh rakyat.
(2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk:
a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi,
air dan ruang angkasa tersebut; b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa, c. menentukan dan mengatur hubungan-
hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air
dan ruang angkasa.
(3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat 2 pasal ini
digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan,
kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka
berdaulat, adil dan makmur.
(4) Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada
daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah. 11
Boedi Harsono menyatakan bahwa hak penguasaan atas tanah berisi serangkaian wewenang,
kewajiban dan/atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu yang boleh, wajib,
atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan itulah yang menjadi kriterium
atau tolok ukur pembeda antara hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam Hukum
Tanah.12
2. Pengaturan Hak-hak Atas Tanah dalam Hukum Tanah
Dalam Hukum Tanah pengaturan hak-hak penguasaan atas tanah di bagi menjadi dua, yaitu:
a. Hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga hukum
Hak penguasaan atas tanah ini belum dihubungkan dengan tanah sebagai objek dan orang atau
badan hukum tertentu sebagai pemegang haknya. Ketentuan-ketentuan dalam hak penguasaan
atas tanah, adalah sebagai berikut:
 Memberi nama pada hak penguasan yang bersangkutan
 Menetapkan isinya, yaitu mengatur apa saja yang boleh, wajib dan dilarang untuk
diperbuat oleh pemegang haknya serta jangka waktu penguasaannya

9
Ibid , hal. 75 dan 76
10
Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945
11
Pasal 2 Undang-Undang Pokok Agraria
12
Opcit, hal 7

 Mengatur hal-hal mengenai subjeknya, siapa yang boleh menjadi pemegang haknya
dan syarat-syarat bagi penguasannya
 Mengatur hal-hal mengenai tanahnya.

b. Hak penguasaan atas tanah sebagai hubungan hukum yang konkret


Hak penguasaan atas tanah ini sudah dihubungkan dengan tanah tententu sebagai objeknya
dan orang atau badan hukum tertentu sebagai subjek atau pemegang haknya.

3. Ketentuan-ketentuan dalam hak penguasaan

Ketentuan-ketentuan dalam hak penguasaan atas tanah adalah sebagai berikut :


 Mengatur hal-hal mengenai penciptanya menjadi suatu hubungan hukum yang konkret,
dengan nama atau sebutan hak penguasaan atas tanah tertantu
 Mengatur hal-hal mengenai pembebanannya dengan hak-hak lain
 Mengatur hal-hal mengenai pemindahannya kepada pihak lain
 Mengatur hal-hal mengenai hapusnya,
 Mengatur hal-hal mengenai pembuktiannya

4. Hierarki hak penguasaan atas tanah dalam UUPA:

Hierarki hak-hak penguasaan atas tanah dalam UUPA dan Hukum Tanah Nasional
adalah:
 Hak bangsa Indonesia atas tanah.
 Hak menguasai Negara atas tanah.
 Hak ulayat masyarakat ukum adat.
 Hak perseorangan atas tanah, meliputi:
a. Hak-hak atas tanah,
b. Wakaf tanah Hak Milik
c. Hak Tanggungan
d. Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun

5. Cara memperoleh hak menguasai suatu bangunan

Cara memperoleh hak untuk menguasai suatu bangunan juga dapat dilakukan dalam
perjanjian atau kesepakatan antara pemegang hak milik dengan si penerima kuasa. Dalam hal
ini dilakukan perjanjian terlebih dahulu demi meminimalisir terjadinya sengketa tanah.

Pemberian kuasa diatur dalam KUH Perdata dalam Buku Ketiga, Bab XVI, tentang
pemberian kuasa. Pemberian kuasa ialah suatu persetujuan yang berisikan pemberian
kekuasaan kepada orang lain yang menerimanya untuk melaksanakan sesuatu atas nama
orang yang memberikan kuasa.13

Kuasa dapat diberikan dan diterima dengan suatu akta umum, dengan suatu surat di
bawah tangan bahkan dengan sepucuk surat ataupun dengan lisan. Penerimaan suatu kuasa
dapat pula terjadi secara diam-diam dan disimpulkan dari pelaksanaan kuasa itu oleh yang
diberi kuasa.14
13
Pasal 1792 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
14
Pasal 1793 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Pemberian kuasa terjadi dengan cuma-cuma, kecuali jika diperjanjikan sebaliknya. Jika
dalam hal yang terakhir upahnya tidak ditentukan dengan tegas, maka penerima kuasa tidak
boleh meminta upah yang lebih daripada yang ditentukan dalam Pasal 411 untuk wali. 15
Pemberian kuasa yang dirumuskan secara umum hanya meliputi Tindakan-tindakan yang
menyangkut pengurusan.

Untuk memindahtangankan barang atau meletakkan hipotek di atasnya, untuk membuat


suatu perdamaian, ataupun melakukan tindakan lain yang hanya dapat dilakukan oleh seorang
pemilik, diperlukan suatu pemberian kuasa dengan kata-kata yang tegas. 16 Pemberian kuasa
biasanya diberikan oleh pemegang hak milik atau ahli waris. Hak milik adalah Hak milik
adalah hak turun-menurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dan
Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.17

C. Peralihan Hak Atas Tanah

Peralihan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah memindahkan, sedangkan


hak berarti benar.[1] Peralihan Hak Atas Tanah adalah memindahkan atau beralihnya
penguasaan tanah yang semula milik sekelompok masyarakat ke masyarakat lainnya.

Peralihan tersebut dapat dilakukan dengan cara menukar/memindahkan tanah.


Penguasaan yuridis dilandasi hak yang dilindungi oleh hukum dan umumnya memberi
kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang dihaki. Namun
ada juga penguasaan yuridis yang walaupun memberi kewenangan untuk menguasai tanah
yang dihaki secara fisik, pada kenyataannya penguasaan fisiknya dilakukan oleh pihak lain.
Perbuatan hukum pemindahan hak bertujuan untuk memindahkan Hak Atas Tanah kepada
pihak lain untuk selama-lamanya (dalam hal ini subyek hukumnya memenuhi syarat sebagai
pemegang Hak Atas Tanah).18

a. Zaman Sebelum Kemerdekaan

Pada zaman Kolonial Belanda, dalam Pasal 131 Indische Staatsregeling (IS)
digambarkan adanya sistem hukum yang pluralistik karena diberlakukan hukum adat, hukum
Perdata mapun hukum Pidana formil dan materiil. Dengan kata lain di Hindia Belanda pada
waktu berlaku bersama-sama hukum adat dan hukum Barat.19

15
Pasal 1794 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
16
Pasal 1796 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
17
Pasal 20 Undang-Undang Pokok Agraria
18
Irene Eka Sihombing, Segi-Segi Hukum Tanah Nasional Dalam Pengadaan tanah Untuk
Pembangunan, (Jakarta: Universitas Trisakti, 2005), hlm 56.
19
Kartini Soejendro, Tafsir Sosial Hukum PPAT-Notaris Ketika Menangani Perjanjian Peralihan Hak
Atas Tanah yang Berpotensi Konflik, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm 48.

Hukum pertanahan yang berlaku pada saat zaman Pemerintahan Pendudukan Jepang
adalah seperti hukum yang berlaku pada saat zaman Kolonial Belanda. Terhadap tanah hak
Barat berlaku ketentuan hukum tanah Barat (termasuk Jepang), dan terhadap tanah adat
berlaku hukum tanah Adat (bagi Pribumi).

Dengan kata lain, Pemerintah Penduduk Jepang tidak pernah mengadakan perubahan-
perubahan dibidang Hukum Perdata (termasuk huku tanah) dan mempertahankan Hukum
Perdata yang berlaku pada saat sebelum pendudukanya di Indonesia, yaitu terdiri dari Hukum
Barat dan Hkum Adat termasuk dalam hal ini tentang prosedur peralihan hak atas tanahnya.

b. Zaman Setelah Kemerdekaan dan Sebelum UUPA Diundangkan

Di dalam tata hukum Indonesia sebelum berlakunya UUPA, hukum agrarian meliputi
kaidah-kaidah hukum yang beraneka macam. Kaidah-kaidah tersebut dapat dibicarakan
sebagai satu rangkaian yang merupakan satu bidang hukum yang beridiri sendiri, yaitu hukum
agrarian. Pertama, karena kaidah-kaidah itu mempunyai obyek yang sama, yaitu bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Kedua, membicarakan kaidah-kaidah tersebut
sebagai satu kesatuan akan memepermudah orang memepelajarinya.

Dalam ketentuan Pasal 20 (2) UUPA hanya dijelaskan bahwa Hak Milik dapat beralih
dan diperalihkan. Dalam ketentuan Pasal 20 beralih dalam hal ini ialah termasuk perbuatan-
perbuatan hukum yang disengaja untuk memindahkan hak atas tanah kepada pihak lain antara
lain melalui jual beli, hibah, wasiat, tukar menukar, warisan, wakaf, penyerahan secara
sukarela dan lainya. Pemindahan hak atas tanah menyebabkan hak atas tanah menyebabkan
hak atas tanah beralih dari seseorang kepada orang lain. Sehingga pemindahan hak atas tanah
adalah perbuatan hukum yang disengaja dilakukan dengan tujuan agar hak atas tanah
berpindah dari yang mengalihkan kepada yang menerima pengalihan.20

Peraturan pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 mengatur bahwa perjanjian yang


menyangkut peralihan hak atas tanah seharusnya dilakukan di depan Pejabat Pembuat Akta
Tanah (PPAT). PPAT adalah pejabat umum yang diangkat oleh Kepala BPN dan berwenang
membuat akta peralihan hak atas tanah termasuk jual beli tanah. Jika di daerah setempat
belum ada PPAT maka kewenangan sementara dilimpahkan kepada camat setempat. 21

Jenis-Jenis Peralihan Hak Atas Tanah

1. Pewarisan Tanpa Wasiat


Menurut Pasal 833 KUHPerdata para ahli waris secara otomatis mewarisi hak milik
atas segala barang, segala hak dan segala piutang si yang meninggal. Ini artinya, secara
otomatis pewaris mewarisi tanah milik si meninggal sekalipun tanpa wasiat.
20
Boedi Harsono, Undang-Undang Pokok Agraria-Sejarah Penyusunan, Isi dan Pelaksanaanya Hukum
Agraria Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1999), hlm 7-8.
21
Samun Ismaya, Pengantar Hukum Agraria. (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011), hlm 77
2. Pemindahan Hak
Berbeda dengan peralihan hak karena pemegang hak meninggal namun dalam hal ini
sengaja dialihkan kepada porang lain, bentuk pemindahannya berupa :
a. Pewarisan dari ayah atau ibu kepada anak, dari kakek-nenek kepada cucu, dari kakak
kepada adik atau sebaliknya;
b. Hibah;
c. Jual beli;
d. Tukar menukar antara bidang tanah yang satu dengan bidang tanah lain;
e. Pembagian Hak Atas Tanah bersama, bisa jadi sebelumnya hanya didaftarkan
dengan beberapa perwakilan dan demi kepastian hukum dilakukan pembagian rata;
f. Pemasukan menjadi tanah perseroan;
g. Pelepasan hak karena akan dialihkan kepada suatu badan hukum;
h. Lelang, jika sulit ditemukan pembeli;
i. Pengalihan karena penggabungan atau peleburan perseroan
j. Pengalihan tanah harus didaftarkan pada Kantor Pertanahan setempat letak tanah
tersebut berada dengan yujuan :
k. Mendapatkan kepastian dan perlindungan hukum;
l. Menyediakan informasi kepada pihak berkepentingan;
m. Terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.22

D. Penyelesaian Sengketa Tanah Antara TNI-AD dengan Masyarakat Urutsewu,


Kabupaten Kebumen, Provinsi Jawa Tengah

Kronologi :

Beberapa warga sekitar Pantai Urut Sewu, Desa Setrojenar, Kecamatan Bulus
Pesantren, Kebumen, Jawa Tengah, terlibat bentrok dengan beberapa personel Tentara
Nasional Indonesia (TNI), pada Sabtu siang, 16 April 2011. Hal tersebut, terpicu karena
adanya blokade warga terhadap latihan militer yang akan dilakukan TNI di lahan sekitar
pantai. Insiden tersebut diawali blokade jalan yang dilakukan warga dengan menggunakan
batang-batang kayu, lalu kemudian pihak TNI mencoba menyingkirkan kayu-kayu yang
memblokade jalan tersebut.

Menurut Kepala Penerangan Kodam (Kependam) IV Diponegoro, Letkol Zaenal


Mutaqin, bentrokan antara TNI dan warga terjadi akibat ulah provokator yang memancing
warga memblokade jalan masuk ke kawasan Dinas Penelitian dan Pengembangan
(Dislitbang) TNI AD di Pantai Urut Sewu, Setrojenar. Sebenarnya, sebelumnya telah ada
kesepakatan bahwa pihak TNI akan menghentikan sementara latihan militer di desa tersebut.
Hal ini tidak menjadi masalah sampai adanya aksi blokade jalan yang diprovokasi oleh
oknum yang kurang bertanggung jawab.
22
Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Pendaftaran Tanah, PP Nomor 24 Tahun 1997, LN Nomor
59 Tahun 1997, TLN No.3696, Pasal 3.

Pihak TNI sudah melakukan pertemuan dengan tokoh warga desa Setrojenar, dan
meminta ijin untuk melakukan uji coba meriam dari Korea, tetapi para tokoh dan warga desa
tersebut menolak memberi ijin dan akhirnya pihak TNI pun membatalkan ujicoba. Bahkan
pelatihan ujicoba meriam dari Korea akan dipindahkan ke Lumajang, Jawa Timur, dan
latihan militer digelar di Desa Ambalresmi, Kecamatan Ambal, Kebumen, Jawa Tengah, yang
berjarak enam kilometer dari Desa Setrojenar. Namun, tiba-tiba warga Desa Setrojenar malah
memblokade jalan- jalan masuk ke kawasan Dinas Penelitian dan Pengembangan (Dislitbang)
TNI AD di Pantai Urut Sewu. Warga juga membawa berbagai senjata tajam seperti pedang,
clurit, dan bambu runcing, bahkan ada warga yang menghancurkan gapura dan gudang
amunisi di Dislitbang milik TNI AD. Mau tidak mau akhirnya para anggota TNI yang berjaga
mengambil tindakan membela diri dan meredam aksi warga tersebut dengan menggunakan
peluru hampa dan karet.

Pembelaan yang di lakukan anggota TNI ini sudah sesuai prosedur, yakni
menembakan peluru hampa terlebih dahulu sebelum menggunakan peluru karet. Sementara
itu, hal yang patut dipertanyakan adalah mengapa bentrokan itu bisa terjadi, padahal
sebelumnya warga tidak pernah menghalangi adanya latihan militer di Desa Setrojenar.
Sedang pelatihan militer tersebut sudah dilangsungkan sejak tahun 1949an. Sudah jelas
bahwa hal ini berarti ada oknum-oknum yang memprovokasi warga.
Setelah aksi bentrok tersebut, beberapa warga terluka dan dilarikan ke Rumah Sakit
Umum Daerah Kebumen, Puskesmas terdekat, dan PKU Sruweng maupun PKU Gombong
yang berjarak sepuluh kilometer dari desa tersebut. Diduga belasan orang diantaranya terkena
peluru yang dilepaskan anggota TNI.

Untuk menengahi kasus ini, Kepolisian Daerah Jawa Tengah mengirimkan satu
Satuan Setingkat Kompi (SSK) atau sekitar 1000 personil untuk membantu mengamankan
situasi pasca bentrok antara TNI dengan puluhan warga Pantai Urut Sewu, Setrojenar. Satuan
tersebut terdiri dari Brigade Mobil, Reserse, Intelijen, dan Divisi Program. Ada juga pihak
Pemda dan Satpol PP yang ikut serta mengamankan situasi. Selanjutnya, Komando Daerah
Militer (Kodam) IV Diponegoro juga menarik pasukan penjaga penjaga di Dinas Penelitian
dan Pengembangan (Dislitbang) TNI AD di Pantai Urut Sewu. Hal ini dilakukan untuk
mencegah bentrokan susulan yang mungkin kembali terjadi, karena kedua belah pihak masih
saling emosi dengan jatuhnya korban baik di pihak TNI maupun warga. Mereka ditarik dan
diganti personil dari Kodim, serta dibantu Bintara Pembina Desa (Babinsa) wilayah Desa
Setrojenar.

Penolakan atas rencana TNI untuk ujicoba meriam tersebut bermula dari klaim warga
atas lahan latihan militer TNI di Desa Setrojenar. Padahal sudah sejak tahun 1949 TNI
memakai lahan itu. TNI juga membolehkan masyarakat Pantai Urut Sewu, Desa Setrojenar
menggarap tanah itu. Jadi selain latihan militer, TNI mengizinkan warga menanam palawija
atau apapun di lahan tersebut. Warga sudah turun-temurun menggarap lahan itu. Sebetulnya
warga paham betul bahwa lahan tersebut bukan milik mereka, dan mereka hanya memakai
lahan tersebut sebagai tanah garapan saja. Hanya saja terdapat beberapa pihak yang mengaku
bahwa tanah tersebut milik mereka, dan merupakan tanah yang bersertifikat dan dikenai
pajak. Selain itu, masyarakat daerah Urut Sewu itu juga memiliki saksi sejarah yang
mengetahui tentang keberadaan tanah di Urut Sewu sejak lama.

Sebaliknya, TNI mengaku bahwa tanah tersebut milik TNI dengan bukti SH No
4/1994, dimana dasar hukum kepemilikan lahan itu adalah penyerahan tanah oleh KNL pada
tanggal 25 Juni 1950, dan Keppres No 4/1960 tentang semua rampasan perang yang dikuasai
Negara dan dibagi-bagi sesuai departemennya. Dasar hukum lain berupa Berita Acara
Rekonsiliasi Barang Milik Negara pada Denzibang 1/IV Yogyakarta nomor:
012.22.035.044E02.000.KP dan periode semester II tahun anggaran 2010 No: BA.SMT2-
002.TNI/WKN.09/KNL.06/2011, telah dilakukan inventarisasi dan penilaian oleh Kantor
Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Yogyakarta.

Dan berdasarkan surat keterangan Kabupaten Kebumen, tanah tersebut adalah tanah
negara yang dikuasai TNI AD dan bukan merupakan lahan sengketa. Kolonel Hartind Astrin
yang pernah memimpin pasukan untuk latihan di wilayah Kebumen mengatakan, diatas tanah
itu sedari dulu sudah digunakan untuk latihan militer. Biasanya dipakai untuk tembak
lengkung, tembak datar, dan tembakan mortar dan artileri medan. Dalam menanggapi
persoalan ini, Sekjen Kementrian Pertahanan Marsdya TNI Eris Herryanto mengatakan
bahwa persoalan ini telah dibicarakan dan dimusyawarahkan bersama dengan Badan
Pertahanan Nasional (BPN), dengan membentuk tiga tim. Tim pertama, mengurus orang-
orang yang memiliki lahan sengketa. Tim kedua adalah tim yang akan mensertifikati tanah
tersebut. Dan tim ketiga adalah tim yang bertanggungjawab mengenai hal-hal yang bersifat
strategis.

Penyebab :

Pada tahun 1982 TNI AD meminjam tempat untuk Latihan selain itu juga untuk
Melakukan Uji Coba Senjata Berat. TNI kemudian membuat surat “tempat untuk latihan”
kepada kepala desa setempat. Namun seiring dengan berjalannya waktu, “pinjam tempat”
tidak lagi dilakukan, dan hanya memberikan surat pemberitahuan ketika latihan. Kemudian
TNI “meminjam” lagi tanah Urut Sewu mulai dari tahun 1998 sampai 2009 ke Pemerintah
Kabupaten Kebumen.

Pemicu :

Pada 16 April 2011 warga menolak latihan uji coba senjata TNI-AD dengan berziarah
ke makam salah satu warga yang meninggal akibat kena bom mortar beberapa tahun
sebelumnya dan meblokade jalan dengan pohon, namun blokade tersebut dibongkar oleh TNI.
Melihat blokade dibongkar oleh TNI, warga kembali memblokade jalan dengan kayu,
merobohkan gerbang TNI dan merusak bekas gudang amunisi TNI yang berdiri di lahan milik
warga. Tindakan warga tersebut kembali direspon oleh TNI dengan balik menyerang warga
masyarakat kemudian merusak belasan sepeda motor, merebut ponsel, alat perekam video
milik masyarakat kemudian memusnahkan barang-barang tersebut. Dalam konflik ini
beberapa warga jadi korban luka-luka, ada yang tertembus peluru karet dan enam warga yang
jadi tersangka (dijatuhi pasal tentang pengrusakan dan penganiayaan).
Pelaku :

1. TNI- AD
TNI AD adalah bagian dari Tentara Nasional Indonesia berperan sebagai alat Negara
di bidang pertahanan di darat yang dalam menjalakan tugasnya berdasarkan kebijakan dan
keputusan politik Negara. Diantaranya sebagai berikut :
a. Penangkal terhadap setiap bentuk ancaman militer dan ancaman bersenjata dari luar
dan dalam negeri terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa;
b. Penindak terhadap setiap bentuk ancaman sebagaimana dimaksud di atas;
c. Pemulih terhadap kondisi keamanan Negara di darat yang terganggu akibat
kekacauan keamanan.

2. Masyarakat Urut Sewu


Urut Sewu menjadi wilayah yang sangat subur untuk pertanian. Masyarakat sekitar
sangat menggantungkan hidupnya pada pertanian dan peternakan. Ketergantungan
masyarakat pada tanah membuat mereka meyakini falsafah jawa sadhuruk bathuk sanyari
bumi, yen perlu ditohipati (walaupun hanya menyentuh kening atau sejengkal tanah, akan
dibela sampai mati). Falsafah ini menunjukan betapa eratnya hubungan manusia dengan
tanah. Setiap jengkal tanah merupakan harga diri yang akan dipertahankan mati-matian
dengan seluruh jiwa raga.

Cakupan :

Urut Sewu merupakan sebutan untuk daerah yang membentang di pesisir selatan Pulau
Jawa. Di Kabupaten Kebumen, yang termasuk wilayah Urut Sewu meliputi Kecamatan Klirong,
Petanahan, Puring, Buluspesatren, Ambal dan Mirit.

Secara akademis dapat dikemukakan bahwa penyebab terjadinya konflik di bidang


pertanahan antara lain adalah keterbatasan ketersediaan tanah, ketimpangan dalam struktur
penguasaan tanah, ketiadaan persepsi yang sama antara sesama pengelola negara mengenai
makna penguasaan tanah oleh negara, inkonsistensi, dan ketidaksinkronisasian. Ini baik secara
vertikal maupun secara horizontal peraturan perundang-undangan yang ada kaitannya dengan
tanah, praktek-praktek manipulasi dalam perolehan tanah pada masa lalu dan di era reformasi
muncul kembali gugatan, dualisme kewenangan (pusat-daerah) tentang urusan pertanahan serta
ketidakjelasan mengenai kedudukan hak ulayat dan masyarakat hukum adat dalam sistem
perundang-undangan agraria.

Sebagaimana diketahui bahwa tanah, khususnya bagi masyarakat mempunyai kedudukan


sentral, baik sebagai sumber daya produksi maupun sebagai tempat pemukiman.Oleh karena itu
masalah tanah selalu mendapat perhatian dan penanganan yang khusus pula. Lebih-lebih lagi
dalam era pembangunan ini, bahwa pembangunan menjangkau berbagai macam aktifitas dalam
membangun manusia Indonesia seutuhnya, yang sedikit atau banyak akan berkaitan dengan
bidang tanah.
Kasus sengketa tanah Urut Sewu merupakan kasus rumit yang melibatkan banyak pihak.
Penyelesaiannya sebaiknya dilakukan melalui jalur hukum yang dilandasi keadilan dan akal sehat
untuk mencapai win-win solution, bukan dengan saling menyalahkan secara emosional. Kasus
pertanahan memiliki banyak dimensi sosial yang dipertentangkan, mulai dari hubungan sosial,
religi, ketidakberlanjutan komunitas masyarakat dan harga diri serta martabat
manusia (dignity) yang penyelesaiannya membutuhkan itikad baik dari pihak bersengketa agar
tidak menimbulkan gejolak kemasyarakatan.

Jika TNI menganggap lahan tersebut merupakan hak mereka, maka warga sekitar yang
memanfaatkan lahan tersebut mestinya segera diberi peringatan. Sebaliknya, warga sekitar juga
wajib menegur TNI jika lahan yang mereka miliki digunakan oleh TNI. Jika dikerucutkan,
permasalahannya adalah tentang bukti kepemilikan tanah sengketa Urut Sewu dan siapa yang
menggunakan tanpa hak selama bertahun-tahun. Jika terbukti warga tidak memiliki hak maka
yang selama ini digunakan sebagai mata pencaharian bertani diberi penggantian kerugian karena
warga mengantongi Letter C.

Berikut beberapa Pasal dalam UUPA yang mendukung kasus ini :[11]
a. Pasal 2 angka (1) menyatakan bahwa kekuasaan tertinggi atas tanah, bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai Negara;
b. Telah disebutkan dalam Pasal 6 UUPA bahwa semua ha katas tanah mempunyai fungsi
sosial. Itu berarti bahwa kepentingan umum harus diutamakan daripada kepentingan
pribadi, namun bukan berarti kepentingan pribadi tidak berhak dibela, namun harus
dilihat dari segi kemanfaatannya;
c. Disebutkan dalam Pasal 7 bahwa penggunaan tanah dilarang merugikan pihak lain;
d. Pasal 9 angka (2) menyatakan bahwa setiap Warga Negara Indonesia baik laki-laki
maupun perempuan berhak memperoleh Hak Atas Tanah, serta memperoleh manfaat dan
hasilnya, baik bagi diri maupun keluarganya;
e. Pasal 19 menyatakan bahwa demi kepastian hukum dilakukan pendaftaran tanah;
f. Pasal 41 angka (2) menyatakan bahwa hak pakai dapat diberikan dalam jangka waktu
tertentu untuk keperluan tertentu dan boleh secara Cuma-Cuma ataupun dengan
pemberian jasa.

Letter C sebenarnya hanya untuk catatan penarikan pajak yang berada di Kantor Desa/
Kelurahan dan sifatnya sangatlah tidak lengkap, cara pencatatannya pun tidak akurat sehingga
wajar jika dikemudian hari terjadi permasalahan. Induk dari Kutipan Pemungutan Pajak Tanah
ada di Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan. Dan pada umumnya masyarakat yang
pengetahuannya kurang cenderung hanya memiliki Girik (bukti kepemilikan tanah secara adat)
sebagai alat bukti kepemilikan tanah.

Saat ini dengan adanya Undang-Undang pokok Agraria dan dengan adanya Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 yang diperbarui dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 tidak mungkin kepemilikan Hak Atas Tanah masih tetap tunduk pada hukum adat
yang tidak berkepastian hukum. Sebagai pentingnya pendaftaran Hak Atas Tanah maka diaturlah
dalam Pasal 32 dan Pasal 38 UUPA tentang Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan.

Untuk menjamin kepastian hukum maka menurut Pasal 19 UUPA Pemerintah


mewajibkan untuk melakukan pendaftaran tanah dan meninggalkan kebiasaan menggunakan
hukum adat yaitu hanya menggunakan Girik dan Letter C dari Desa/ Kelurahan. Sekarang sudah
diatur larangan berdasarkan Surat Direktur Jenderal Pajak untuk penerbitan Girik/Petuk sebagai
Obyek Pajak. Saat ini mutasi Girik mulai ditiadakan karena banyak menimbulkan tumpang tindih
dan ketidak pastian mengenai objek tanahnya.

Pada kasus ini warga tidak memiliki bukti kuat atas kepemilikan tanah Urut Sewu,
sehingga salah jika warga masih bersih kukuh mempertahankan tanahnya yang hanya dipayungi
dengan Letter C dari Desa, namun dalam hal ini TNI juga salah karena menyalahi hak asasi
warga dengan bertindak sewenang-wenang, menggunakan senjata dan melukai warga.

Pertahanan dan keamanan memang mutlak diperlukan oleh suatu negara. Keberadaan
TNI yang tangguh pun dibutuhkan untuk menjaga keamanan negara Indonesia. Namun, jangan
sampai pengabdian untuk menjaga keamanan dan pertahanan negara menjadi cacat karena
berhadapan dengan warga negara sendiri. Mengingat negara dibentuk sebagai alat untuk
mencapai kesejahteraan rakyat.

BAB III
Penutup
A. Kesimpulan

Timbulnya sengketa hukum yang bermula dari pengaduan sesuatu pihak (orang/badan)
yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah, baik terhadap status tanah, prioritas,
maupun kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi
sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Maka dari itu pengetahuan mengenai Hukum Tanah dan
Hak-Hak atas tanah dirasa cukup penting demi menghindari permasalahan mengenai tanah atas
sengketa tanah. Peralihan Hak Atas Tanah adalah memindahkan atau beralihnya penguasaan
tanah yang semula milik sekelompok masyarakat ke masyarakat lainnya. Peralihan tersebut dapat
dilakukan dengan cara menukar/memindahkan tanah. Penguasaan yuridis dilandasi hak yang
dilindungi oleh hukum dan umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk
menguasai secara fisik tanah yang dihaki. Namun ada juga penguasaan yuridis yang walaupun
memberi kewenangan untuk penguasaan fisiknya dilakukan oleh pihak lain.

Tanah yang disengketakan tersebut adalah milik Negara namun karena masyarakat sudah
terbiasa menggunakan dan memanfaatkannya jadi berdasarkan adat dianggap milik sendiri, bukti
Letter C yang dimiliki masyarakat tidak cukup kuat untuk membuktikan kepemilikan tanah
tersebut, harus ada sertifikat. Sedangkan pihak TNI sudah mengantongi legalitas inventarisasi dari
Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang, Yogyakarta. Yang disoroti adalah cara TNI
menghadapi masyarakat, tidak semestinya muncul pertumpahan darah.
Daftar Pustaka
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, jilid 1 Hukum Tanah Nasional, Penertbit
Djambatan, Edisi Revisi 1999, hlm.5, 8, 17, 23, dan 26
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( Burgerlijk Wetboek voor Indonesia) Terjemahan
Subekti dan Tjitrosudibio. 2004. Jakarta: PT. Pradnya Paramita.
M.P. Siahan, 2003, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Teori Praktek, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, hal.1.
Nurhasan Ismail, 2012, Arah Politik Hukum Pertanahan Dan Perlindungan Kepemilikan
Tanah Masyarakat, vol.1 No.1.
Rusmadi Murad, Menyingkap Tabir Masalah Pertanian, (Bandung: CV.Mandar Maju,
2017), Cet.Kesatu, hlm. 1
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria.
Urip Santoso, 2005, Hukum Agraria Dan Hak-Hak Atas Tanah, Kencana, Jakarta, hal.73.
Urip Santoso, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, (Jakarta: PT.Fajar Interpratama
Mandiri, 2017), cet. Keenam, hal. 1 dan 2
Urip Santoso, Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah,(Jakarta : KENCANA
PRENADA MEDIA GROUP, 2011),Cet. Kedua, hlm. 1
Irene Eka Sihombing, Segi-Segi Hukum Tanah Nasional Dalam Pengadaan tanah Untuk
Pembangunan, (Jakarta: Universitas Trisakti, 2005), hlm 56.
Kartini Soejendro, Tafsir Sosial Hukum PPAT-Notaris Ketika Menangani Perjanjian
Peralihan Hak Atas Tanah yang Berpotensi Konflik, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm 48.
Boedi Harsono, Undang-Undang Pokok Agraria-Sejarah Penyusunan, Isi dan Pelaksanaanya
Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1999), hlm 7-8.

Samun Ismaya, Pengantar Hukum Agraria. (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011), hlm 77

Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Pendaftaran Tanah, PP Nomor 24 Tahun


1997, LN Nomor 59 Tahun 1997, TLN No.3696, Pasal 3.

Anda mungkin juga menyukai