Anda di halaman 1dari 58

MODUL

HUKUM AGRARIA
(2 SKS)
UNTUK KALANGAN SENDIRI

OLEH
BENEDIKTUS PETER LAY, SH.MHum

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA
MANDIRA
KUPANG
2019

1
BAB I
PENGERTIAN DASAR

A. PENGERTIAN AGRARIA DAN HUKUM AGRARIA


1. Pengertian Agraria
Dalam bahasa umum sebutan agraria tidak selalu dipakai dalam arti
yang sama. Dalam bahasa Latin Ager berarti tanah atau sebidang tanah.
Agrarius berarti perladangan, persawahan, pertanian (Prent K. Adisubrata,
J. Poerwadarminta, W. J. S. 1960, Kamus Latin Indonesia, Yayasan
Kanisius, Semarang).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1994, edisi kedua cetakan
ketiga, Balai Pustaka Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta,
Agraria berarti urusan pertanian atau tanah pertanian, juga urusan
pemilikan tanah (Balai Pustaka Jakarta).
Agraria atau dalam bahasa Inggris Agraria selalu diartikan dengan
tanah dan dihubungkan dengan usaha pertanian (Blacks Law Dictionary,
1983). Pengertian Agraria di Lingkungan Administrasi Pemerintahan di
Indonesia sebutan Agraria dipakai dalam arti tanah, baik tanah pertanian
maupun non pertanian.
Pengertian Agraria dalam UUPA; biarpun tidak dinyatakan dengan
tegas tetapi dari apa yang tercantum dalam konsiderans, pasal-pasal dan
penjelasannya dapatlah disimpulkan bahwa pengertian Agraria dalam
UUPA dipakai dalam arti yang sangat luas, meliputi bumi, air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya. Dalam batas-batas seperti yang
ditentukan dalam pasal 48, meliputi juga ruang angkasa yaitu ruang di atas
bumi dan air yang mengandung tenaga dan unsur-unsur yang dapat
digunakan untuk usaha-usaha memelihara dan memperkembangkan
kesuburan bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dan
hal-hal lain yang bersangkutan dengan itu. Pengertian bumi meliputi
permukaan bumi (yang disebut tanah), tubuh bumi di bawahnya serta yang
berada di bawah air (pasal 1 ayat 4 jo pasal 4 ayat 1) juga apa yang dikenal
dengan sebutan landasan kontinen Indonesia. LKI merupakan dasar laut
dan tubuh bumi di bawahnya di luar perairan wilayah Republik Indonesia
yang ditetapkan dengan UU No. 4 Prp 1960, sampai kedalaman 200 meter
atau lebih, di mana masih mungkin diselenggarakan.
Pengertian hukum agraria menurut UUPA; dengan pemakai sebutan
agraria dalam arti yang demikian luasnya, maka dalam pengertian UUPA
Hukum Agraria bukan hanya merupakan satu perangkat bidang hukum,
tetapi hukum agraria merupakan suatu kelompok berbagai bidang hukum,
yang masing-masing mengatur hak-hak penguasaan atas sumber-sumber

2
daya alam tertentu yang termasuk dalam pengertian agraria. Kelompok
berbagai bidang hukum tersebut terdiri atas :
1. Hukum tanah, yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah dalam
arti permukaan bumi;
2. Hukum air, yang mengatur hak-hak penguasaan atas bahan-bahan
galian yang dimaksud dalam UU Pokok Pertambangan;
3. Hukum pertambangan, yang mengatur hak-hak penguasan atas bahan-
bahan galian yang dimaksudkan dalam UU Pokok Pertambangan;
4. Hukum perikanan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas kekayaan
alam yang terkandung di dalam air;
5. Hukum penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa
(bukan space law), mengatur hak-hak penguasaan atas tenaga dan
unsur-unsur dalam ruang angkasa yang dimaksudkan oleh pasal 48
UUPA;
6. Hukum kehutanan mengatur hak-hak penguasaan atas hutan dan hasil
hutan.

B. PENGERTIAN TANAH, HAK ATAS TANAH DAN HUKUM TANAH


1. Pengertian tanah dan hak atas tanah dalam arti yuridis
Sebutan tanah dalam bahasa kita dapat dipakai dalam berbagai arti.
Misalnya menurut Kamus Bahasa Indonesia (1994); tanah adalah
1). Permukaan bumi atau lapisan bumi yang di atas sekali;
2). Keadaan bumi di suatu tempat;
3). Permukaan bumi yang diberi batas;
4). Bahan-bahan dari bumi, bumi sebagai bahan sesuatu (pasir, cadas, napal
dan sebagainya).
Namun dalam penggunaannya perlu diberi batasan, agar diketahui
dalam arti apa istilah tersebut digunakan. Dalam hukum tanah kita, sebutan
“tanah” dipakai dalam arti yuridis, sebagai suatu pengertian yang telah
diberi batasan resmi oleh UUPA. Bagaimanakah pengertian tanah dalam
arti yuridis? Dalam arti yuridis, pengertian tanah dapat terlihat dalam pasal
4 ayat 1 UUPA dengan rumusan sebagai berikut : Bahwa atas dasar hak
menguasai dari negara….. ditentukan adanya macam-macam hak atas
permukaan bumi yang disebut tanah yang dapat diberikan kepada dan
dipunyai oleh orang-orang…. Baik sendiri maupun bersama-sama dengan
orang-orang lain serta badan hukum.
Dari rumusan di atas jelaslah bahwa tanah dalam pengertian yuridis
adalah permukaan bumi (pasal 4 ayat 1), sedangkan hak atas tanah adalah
hak atas sebagian tertentu permukaan bumi yang berdimensi dua dengan
ukuran panjang dan lebar.
Namun tanah diberikan kepada dan dipunyai oleh orang dengan hak-
hak yang disediahkan oleh UUPA, adalah untuk digunakan atau untuk

3
dimanfaatkan. Diberikannya dan dipunyainya tanah dengan hak tersebut
tidak akan bermakna, jika penggunaannya terbatas hanya pada tanah
sebagai permukaan bumi saja. Untuk keperluan apa pun tidak bisa tidak,
pasti diperlukan juga penggunaan sebagian tubuh bumi yang ada di
bawahnya dan air serta ruang yang ada di atasnya. Oleh karena itu dalam
pasal 4 ayat 2 UUPA dinyatakan bahwa hak-hak atas tanah bukan hanya
memberikan wewenang untuk mempergunakan sebagian tertentu
permukaan bumi yang bersangkutan yang disebut tanah, tetapi juga bumi
yang ada dibawahnya dan air serta ruang yang ada di atasnya.
Dengan demikian makna yang dipunyai dengan hak atas tanah itu
adalah tanahnya, dalam arti sebagian tertentu permukaan bumi, tetapi
wewenang menggunakan yang bersumber pada hak tersebut diperluas
hingga meliputi juga penggunaan sebagian tubuh bumi yang ada di
bawahnya dan air serta ruang yang ada diatasnya.
Permasalahan hukumnya; sedalam berapa tubuh bumi dan setinggi
berapa ruang di atas boleh digunakan?
Jawabnya sangat ditentukan oleh :
1. Tujuan penggunaannya
2. Dalam batas-batas kewajaran
3. Perhitungan teknis kemampuan tubuh bumi
4. Kemampuan pemegang hak
5. Ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku

2. Pengertian hukum tanah


Dalam UUPA hukum tanah adalah ketentuan-ketentuan hukum baik
yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang mempunyai obyek
pengaturan yang sama yaitu hak-hak penguasaan atas tanah sebagai
lembaga-lembaga hukum dan hubungan-hubungan hukum konkrit,
beraspek publik dan perdata yang dapat disusun dan dipelajari secara
sistematis sehingga keseluruhan menjadi satu kesatuan yang merupakan
satu sistem.
Jadi hukum tanah dalam UUPA bukan mengatur tanah dalam segala
aspeknya tetapi hanya mengatur salah satu aspek yuridisnya yang disebut
hak-hak Penguasaan Atas Tanah baik sebagai Lembaga Hukum maupun
sebagai Hubungan Hukum Konkrit.

4
BAB II
SEJARAH HUKUM AGRARIA NASIONAL

I. MASA SEBELUM KEMERDEKAAN (MASA


BERLAKUNYA AGRARISCHE WET S/D 17 AGUSTUS 1945)
A. Politik Hukum Agraria
Politik hukum agraria pada masa ini ditandai dengan berbagai
peraturan yang berlaku. Peraturan dimaksud di antaranya adalah
Agrarische Wet (AW) dan Agrarische Besluit (AB).
Agrarische Wet
1. Diundangkan di Negeri Belanda tahun 1870 (stbl.
1870.55)
2. Tujuan dari Agrarische Wet adalah untuk
memberi kemungkinan dan jaminan kepada modal besar asing agar
dapat berkembang di Hindia-Belanda, dengan pertama-tama
memberikan kemungkinan untuk memperoleh anah dengan hak
erfpacht yang berjangka waktu lama (75 tahun).
3. Bagaimana politik hukum agraria yang
dilaksanakan berdasarkan pengaturan AW? :
- Bagi para pedagang/saudagar/pemilik
modal besar asing, mereka diberi kesempatan untuk menguasai
tanah di Hindia-Belanda (Indonesia) atas dasar hak erfpacht
(semacam hak guna usaha sekarang) yaitu hak untuk boleh
mengambil hasil sebanyak-banyaknya dari tanah milik orang lain
yang diusahakan dalam waktu yang sangat lama yaitu 75 tahun dan
sebagai imbalannya, pemilik tanah mendapat penyerahan tahunan
yang diberikan oleh penggarap baik itu berupa uang ataupun
bagian dari hasil tanahnya itu (pasal 720 KUHper).
- Sedangkan pelaksanaan penyediaan tanah
tersebut oleh pemerintah Hindia-Belanda diterapkan berdasarkan
ketentuan Agrarische Besluit, yang merupakan peraturan pelaksana
dari AW atau UUPAnya Belanda.

Agrarische Besluit (stbl. 1870.188)


AB ini merupakan alat politik hukum agraria kolonial Belanda.
Mengapa? Karena dalam AB ini tertanamlah “Domein Verklaring” yang
merupakan pengejawatahan dari “Asas Domein Beginsel), yang tertuang
dalam pasal 1 AB : bahwa setiap tanah yang tidak dapat dibuktikan
kepemilikannya (Terutama melalui pendaftaran) secara hukum dengan
sendirinya telah dianggap sebagai domein (milik) negara. Domein

5
verklaring ini merupakan senjata utama bagi pemerintah Hindia-Belanda
dalam merampas tanah-tanah di Indonesia secara legal (perampasan
hukum).
Akibat berlakunya Domein Verklaring ini bagi tanah-tanah di
Indonesia ialah bahwa semau tanah yang bukan tanah hak eigendom (hak
milik pada masa itu) yang terdaftar, sudah jelas merupakan milik negara
(domein negara) tanpa perlu dibuktikan lagi.
Dengan berlakunya Domein Verklaring, maka Belanda berhasil
merampas sebagian besar tanah-tanah di Indonesia yang umumnya belum
terdaftar. Dengan telah sahnya pemerintah Hindia-Belanda menjadi milik
dari tanah-tanah tersebut maka mereka dengan leluasa dapat memberikan
tanah-tanah tersebut kepada para saudagar/pedagang Belanda.
Politik hukum agraria kolonial, yang diutamakan adalah prinsip
dagang yaitu mencari keuntungan sebesar mungkin bagi penguasa
kolonial dan mengabaikan hak-hak rakyat. Dan pada masa kolonial
pemerintah penjajah semata-mata berusaha mengeksploitasi sebanyak-
banyaknya hasil bumi demi kepentingan penjajah dengan mengabaikan
kesejahteraan pribumi.

B. Dualisme Hukum Agraria


Pada masa ini terjadi dualisme bahkan pluralisme di bidang hukum
agraria. Dualisme dimaksud adalah bahwa pada masa ini di samping
hukum agraria yang didasarkan pada hukum perdata barat juga berlaku
hukum adat. Dualisme ini tentunya menimbulkan beberapa akibat hukum;
yaitu :
1. Mempunyai landasan filsafat
yang berbeda
2. Adanya dualisme hak atas tanah
3. Dualisme menimbulkan
persoalan antar golongan
4. Dualisme tidak memberikan
kepastian hukum

Ad. 1 Landasan filsafat yang berbeda


Perbedaan dimaksud adalah bahwa hukum perdata barat lebih
mengutamakan kepentingan pribadi (individualistis leberalistis) dengan
pangkal pengaturannya terletak pada hak eigendom (eigendom recht) yaitu
pemilikan perorangan yang penuh dan mutlak di samping domein
verklaring/pernyataan pemilikan tanah oleh negara. Sedangkan hukum
adat bertitik tolak dari pengutamaan kepentingan masyarakat
(komunalistis) yang berakibat senantiasa mempertimbangkan antara
kepentingan umum dan kepentingan perorangan.

6
Ad. 2 Adanya dualisme hak atas tanah
Dualisme hak atas tanah dimaksud adalah adanya hak-hak atas
tanah menurut hukum adat dan hak-hak atas tanah menurut hukum perdata
barat :
a. Hak eigendom/eigendom recht (570 KUHPer); hak yang kuat
dan mutlak yaitu siapa saja bisa mempunyai hak eigendom di
Indonesia asal saja tunduk pada hukum perdata barat.
b. Hak erfpacht yaitu hak untuk mengusahakan tanah milik orang
lain dengan kewajiban membayar pacht setiap tahun sebagai
pengakuan terhadap eigendom orang lain baik dalam bentuk uang
maupun hasil bumi.
c. Hak opstal yaitu hak untuk mempunyai rumah, bangunan dan
tanaman di atas tanah milik orang lain.
d. Bezit (kedudukan berkuasa) adalah hak tertentu terhadap benda
dan mendapat perlindungan seperti hak eigendom. Bezit menunjukkan
penguasaan nyata yang tidak selalu disertai dengan hak atau tanpa
penguasaan nyata, seperti tanah dijadikan pemasangan hipotik.
e. Burenrecht (hak tetangga/hukum tetangga) adalah hak dan
kewajiban antara rumah yang berdekatan untuk saling mengijinkan
penggunaan tanahnya karena UU atau karena perjanjian seperti melati
pekarangan orang lain.
f. Erfdiensthaarheden (pengabdian pekarangan) adalah pemilik
pekarangan memberikan kewenangan kepada pemilik pekarangan
lainnya untuk menggunakan dan memanfaatkan pekarangannya.
g. Het Regt Van Ap Staal (hak menumpang karang) adalah hak
mempunyai bangunan dengan tanaman di antara pekarangan orang
lain.
h. Dan sebagainya.

Hak-hak atas tanah menurut hukum adat :


a. Hak persekutuan/hak ulayat (Beschikkingsrecht) atau tanah
suku adalah hak persekutuan masyarakat hukum adat tertentu
berdasarkan pengelompokan geneologis yang memiliki teritorial
tertentu di bawah penguasaan penguas adat yang memberikan hak dan
kewajiban seluruh anggota suku terhadap tanah yang dikuasainya. Hak
perorangan diperoleh dari hak suku dan hak suku tidak hanya terbatas
pada tanah tetapi termasuk juga segala hasil yang terkandung di
atasnya dan di dalam tanah dan di dalam air.
b. Hak Perorangan
Hak perorangan diperoleh dari hak suku yakni hak milik, hak
terdahulu, tanah, jabatan, hak pakai dan hak gadai.
Hak milik adalah hak terkuat, terpenuhi dan dapat diwariskan kepada
ahli waris.

7
Hak terdahulu adalah hak anggota suku untuk mengisahkan tanah
diutamakan dari pada hak di luar anggota suku.
Tanah jabatan adalah hak pejabat desa untuk menikmati tanah ulayat
hanya selama menjalani jabatannya.
Hak pakai adalah hak memungut hasil atau menggunakan tanah milik
keluarga.
Hak gadai adalah hak pemegang gadai untuk menguasai tanah orang
lain dengan terlebih dahulu memberikan sejumlah uang dan tanahnya
akan dikembalikan bila melunasi sejumlah uang yang telah
diterimanya.

Ad. 3 Dualisme menimbulkan persoalan antar golongan


Ad. 4 Dualisme tidak memberikan kepastian hukum.

II. MASA KEMERDEKAAN


A. Masa 17 Agustus 1945 sampai denagn 23 September
1960
Pada masa ini disebut sebagai masa transisi, karena sebagai bangsa
yang baru merdeka bangsa Indonesia belum memiliki peraturan hukum di
bidang keagrarian. Pada masa ini ada dua pekerjaan besar yang dilakukan
pemerintah Indonesia dalam kaitan dengan bidang hukum keagrarian.
Pertama, Berhubung masih banyak peraturan agraria kolonial yang sangat
bertentangan dengan perjuangan dan cita-cita kemerdekaan bangsa
Indonesia, maka pemerintah mengambil beberapa langkah kebijaksanaan
agraria; Kedua, adanya usaha konkrit untuk menyusun dasar-dasar hukum
agraria baru, yang akan menggantikan hukum agraria warisan pemerintahan
jajahan.
1. Kebijakan-Kebijakan baru di bidang keagrariaan
yang diambil :
a. Penafsiran baru terhadap
UU keagrariaan lama yang disesuaikan dengan situasi kemerdekaan,
UUD 1945 dan Dasar Negara. Misalnya mengenai hubungan negara

8
dengan tanah, tidak lagi menerapkan domein verklaring, yaitu
negara tidak lagi sebagai pemilik tanah, melainkan sebagai
organisasi kekuasaan seluruh rakyat Indonesia hanya menguasai
tanah.
b. Sambil menunggu
terbentuknya hukum agraria baru dikeluarkannya/diadakan pelbagai
peraturan untuk menghapus/meniadakan lembaga-lembaga
dimaksud antara lain :
- Lembaga apanage,
- Tanah partikelir,
- Desa Perdikan,
- Persewaan tanah rakyat,
- Dan sebagainya

- Penghapusan Lembaga apanage;


Pemerintah menghapus sistim penguasaan tanah oleh rakyat di
atas tanah raja dengan kewajiban menyerahkan sebagian hasil
tanah dan kerja paksa untuk raja. Lembaga ini dihapus dengan
UU Nomor 5 Tahun 1950.

- Penghapusan Tanah partikelir


Tanah partikelir adalah eigendom yang diberi sifat dan corak
istimewa yang diberikan kepada pemiliknya hak-hak pertuanan.
Usaha penghapusan ini dengan ditetapkannya UU No. 1 Tahun
1958 tentang penghapusan Tanah partikelir.
Tanah Partikelir diambil pemerintah dengan pemberian ganti
rugi dan dijadikan tanah negara kemudian dibagikan kepada
rakyat yang mengusahakannya menjadi tanah milik.

- Penghapusan Desa Perdikan;


Desa perdikan yaitu desa yang pada umumnya mempunyai hak
istimewa berupa pembebasan pembayaran pajak tanah, karena
jasa-jasa tertentu pendirinya kepada raja atau sultan yang
berkuasa sebelum atau selama masal awal penjajahan. Pendiri
desa diangkat sebagai kepala desa, dengan jabatan yang bersifat
turun temurun. Para kepala desa tersebut umumnya menguasai
tanah yang relatif luas, yang dikerjakan oleh para warga desa
sebagai penyakap atau penggarap bagi hasil.

- Persewaan tanah rakyat


Persewaan tanah rakyat mengalami perubahan dengan
ditetapkan UU No. 6 Tahun 1951a yaitu membolehkan

9
menyewa tanah rakyat untuk tanaman tebuh dan tembakau
paling lama 1 tahun. Sedangkan sebelumnya selama 21 tahun.

2. Usaha Konkrit Pembentukan Hukum Agraria


Nasional
Selain beberapa langkah kebijaksanaan dalam bisang keagrariaan yang
berkaitan dengan hukum agraria lama sebagaimana telah diuraikan di
atas, pada masa ini juga setelah tiga tahun kemerdekaan Indonesia
tepatnya pada tahun 1948, sudah dimulai usaha konkrit untuk menyusun
dasar-dasar hukum agraria baru, yang akan menggantikan hukum
agraria warisan pemerintah jajahan yang mulai dari kegiatan Panitia
Yogyakarta dan berakhir dengan Rancangan Sadjarwo.
1) Panitia Agraria
Yogyakarta
Panitian ini dibentuk dengan Penetapan Presiden No. 16 Tahun
1948 tanggal 21 Mei 1948 berkedudukan di Yogyakarta diketuai
oleh Sarimin Reksodiharjo, Kepala Bagian Agraria Kementrian
dalam Negeri.
Panitia ini bertugas merancang dasar-dasar hukum tanah menurut
politik hukum agraria nasional dan merancang perubahan-
perubahan, pergantian, pencabutan peraturan-peraturan lama.
Usulannya tentang asas-asas yang akan merupakan dasar-dasar
hukum agraria yang baru yaitu :
a. Meniadak
an asas domein dan pengakuan hak ulayat
b. Mengada
kan peraturan yang memungkinkan adanya hak perseorangan
yang kuat, yaitu hak milik yang dapat dibebani hak tanggungan.
c. Mengada
kan penyelidikan terlebih dahulu di negara-negara lain terutama
di negara-negara tetangga sebelum menentukan apakah orang-
orang asing dapat pula mempunyai hak milik atas tanah.
d. Mengada
kan penetapan batas luas minimum tanah agar para petani kecil
dapat hidup layak dan untuk jawa diusulkan 2 hektar.
e. Mengada
kan penetapan luas maksimum luas pemilikan tanah dengan
tidak memandang macam tanahnya dan untuk Jawa diusulkan
10 hektar, sedangkan di luar Jawa masih diperlukan
penyelidikan lebih lanjut.
f. Menganju
rkan menerima skema hak-hak atas tanah yang diusulkan oleh
Panitia Yogyakarta.

10
g. Mengada
kan pendaftaran tanah dan milik dan hak-hak menumpang yang
penting.

2) Panitia Agraria
Jakarta
3) Panitia Agraria
Jakarta dibubarkan dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun
1951 tanggal 19 Maret tahun 1951, sekaligus dibentuk Panitia
Agraria Jakarta yang berkedudukan di Jakarta, diketuai oleh Singgih
Praptodihardjo, Wakil Kepala Bagian Agraria Kementrian Dalam
Negeri.
Panitia ini mengemukakan usulan mengenai tanah untuk pertanian
rakyat (kecil) yaitu :
a. Mengadakan batas minimum pemilik tanah, yaitu 2 hektar
dengan mengadakan peninjauan lebih lanjut sehubungan dengan
berlakunya hukum adat dan hukum waris.
b. Mengadakan ketentuan batas maksimum pemilikan tanah, yaitu
25 hektar untuk satu keluarga.
c. Pertanian rakyat hanya dapat dimiliki oleh warga negara dan
tidak dibedakan antara warga negara asli dan bukan asli. Badan
hukum tidak dapat mengerjakan tanah rakyat.
d. Bangunan hukum untuk pertanian rakyat ialah hak milik, hak
usaha, hak sewa, dan hak pakai.
e. Pengaturan hak ulayat sesuai dengan pokok-pokok dasar negara
dengan suatu undang-undang.

3. Panitia Soewahjo
Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 1 Tahun 1956 tanggal
14 Januari 1956 dibentuklah Panitia Negara Urusan Agraria
berkedudukan di Jakarta yang diketuai Soawahjo Soemudilogo,
Sekretaris Jenderal Komenterian Agraria.
Panitia ini menghasilkan naskah Rancangan Undang-Undang
Pokok Agraria pada tanggal 1 Januari 1957 yang berisi :
a. Dihapuskannya asas domein dan diakui hak ulayat yang
harus ditundukkan pada kepentingan umum (negara).
b. Asas domein diganti dengan hak kekuasaan negara atas
dasar ketentuan pasal 38 ayat 3 UUDS 1950
c. Dualisme Hukum Agraria dihapuskan. Secara sadar
diadakan kesatuan hukum yang akan memuat lembaga-lembaga dan
unsur-unsur yang baik, baik yang terdapat dalam hukum adat
maupun hukum barat.

11
d. Hak-hak atas tanah : hak milik sebagai hak yang terkuat
yang berfungsi sosial kemudian ada hak usaha, hak bangunan dan
hak pakai.
e. Hak milik dipunyai oleh orang-orang warga negara
Indonesia yang tidak diadakan perbedaan antara warga negara asli
dan tidak asli badan-badan pada asanya tidak boleh mempunyai hak
milik atas tanah.
f. Perlu diadakan penetapan batas maksimum dan minimun
luas tanah yang boleh menjadi milik seseorang atau badan hukum
g. Tanah pertanian pada asasnya harus dikerjakan dan
diusahakan sendiri oleh pemiliknya.
h. Perlu diadakan pendaftaran tanah dan perencanaan
penggunaan tanah berdasarkan keputusan presiden No. 97 Tahun
1958 tanggal 6 Mei 1958 panitia negara urusan Agraria (panitia
Soewahjo) dibubarkan

4. Rancangan Soenarjo
Setelah dilakukan beberapa perubahan mengenai sistematika dan
perumusan beberapa pasalnya, maka rancangan panitia Soewahjo oleh
mentri Agraria Sosenarjo diajukan kepada Dewan Menteri pada tanggal
14 Maret 1958. Dewan Menteri dalam sidangnya tanggal 1 April 1958
dapat menyetujui rancangan Sonarjo dan diajukan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) melalui amanat Presiden Soekarno tanggal
24 April 1958.
Dalam membahas rancangan Soenarjo, DPR mengharap perlu
untuk mengumpulkan bahan-bahan yang lebih lengkap. Selanjutnya
panitia permusyawaratan DPR membentuk sebuah panitia Ad Hoc
dengan tugas :
a. Membahas rancangan
Undang-Undang pokok Agraria secara teknis yuridis.
b. Mempelajari bahan-bahan
yang bersangkutan dengan Rancangan Undang-Undang pokok
Agraria tersebut yang sudah ada dan mengumpulkan bahan-bahan
yang baru.
c. Menyampaikan laporan
tentang pelaksanaan tugasnya serta usul-usul yang dipandang perlu
mengenai rancangan Undang-Undang Agraria kepada panita
permusyawaratan DPR.

5. Rancangan Sadjarwo
Berdasarkan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 kita kembali kepada
UUD 1945. berhubung Rancangan Soenarjo yang telah diajukan

12
kepada DPR beberapa waktu yang lalu disusun berdasarkan UUDS
1950, maka dengan surat Presiden tanggal 23 Maret 1960 rancangan
tersebut ditarik kembali dan disesuaikan dengan UUD 1945.
Setelah disesuaikan dengan UUD 1945 dan disempurnakan dengan
bahan-bahan dari berbagai pihak, maka Rancangan Undang-Undang
Pokok Agraria yang baru diajukan oleh Menteri Agraria Sadjarwo
kepada Kabinet. Rancangan Sadjarwo ini disetujui oleh Kabinet inti
dalam sidangnya tanggal 1 Agustus 1960. kemudian dengan amanat
Presiden Soekarno tanggal 1 Agustus 1960 Nomor 2584/HK/60,
rancangan tersebut diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Gotong
Royong (DPRGR).
Dalam sidang pleno sebanyak 3 kali, yaitu tanggal 12, 13 dan 14
September 1960 diadakan pemeriksaan pendahuluan. Kemudian dengan
suara bulat DPRGR menerima baik Rancangan Undang-Undang Pokok
Agraria. Pada hari Sabtu tanggal 24 September 1960 Rancangan
Undang-Undang Pokok Agraria yang telah disetujui oleh DPRGR itu
disahkan oleh Presiden menjadi Undang-Undang No. 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar. Pokok – pokok Agraria, LNRI Tahun 1960
No. 104-TNLRI No. 2043, yang menurut Dictum kelimanya disebut
Undang-Undang pokok Agraria (UUPA).

B. Masa 24 September 1960 sampai dengan sekarang

Pada masa ini negara Indonesia sudah mempunyai peraturan


hukum agraria sendiri yakni Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok – pokok Agraria, yang disebut Undang-undang
Pokok Agraria dan disingkat UUPA yang termuat dalam LNRI Tahun 1960
No. 104-TNLRI No. 2043 yang menurut Dictum kelimanya disebut
Undang-Undang pokok Agraria (UUPA). Dengan adanya Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1960 ini utnuk pertama kalinya Negara Indonesia
mempunyai peraturan hukum agraria nasional yang berlaku untuk seluruh
wilayah Indonesia dari Sabang sampai Merauke.
Dengan berlakuknya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960,
sebagai peraturan hukum agrarian nasional maka berbagai peraturan hukum
agrarian lama buatan kolonia Belanda dinyatakan dicabut dan tidak berlaku
lagi sebagai peraturan hukum agrarian negara Indonesia.
Tujuan dari Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 sebagai
hukum agrarian nasional ini harus sebangun dan sejalan dengan tujuan
nasional didirikannya Negara Indonesia sebagaimana tertuang dalam
Pembukaan UUD 1945 yaitu
1. Melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia
2. Memajukan kesejahteraan umum

13
3. Mencerdaskan kehidupan bangsa dan
4. Ikut melaksnakan ketertiban dunia

Bagaimanakah tujuan dari hukum agraria nasional yang


dikatakan harus sejalan dan sebangun dengan tujuan nasional,
pembahasannya pada Bab III tentang Tujuan dan Dasar-dasar Hukum
Agraria Nasional.

14
BAB III
TUJUAN DAN DASAR-DASAR HUKUM AGRARIA NASIONAL

B. TUJUAN HUKUM AGRARIA NASIONAL

Sebagaimana dikemukakan pada Bab I bahwa Tujuan dari Undang-


undang Nomor 5 Tahun 1960 sebagai hukum agrarian nasional ini harus
sebangun dan sejalan dengan tujuan nasional didirikannya Negara Indonesia
sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945.
Bagaimanakah tujuan dari hukum agraria nasional yang dikatakan
harus sejalan dan sebangun dengan tujuan nasional :

1. Meletakan dasar-dasar bagi penyusun


hukum agraria nasional yang akan merupakan alat untuk membawa
kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat dalam
rangka masyarakat yang adil dan makmur.
UUPA sebagai dasar, maka hal-hal yang diatur hanyalah pokok-pokok
saja, sedangkan hal-hal yang lebih detail akan diatur dengan berbagai
peraturan lainnya sebagai peraturan pelaksana baik dalam kedudukan
horisontal maupun vertikal.
Misalnya :
- Pasal 7, 17 tentang larangan penguasaan tanah melampaui batas,
dilaksanakan dengan UU Prp No. 56/1960 yang merupakan UU
Landreform Indonesia.
- Pasal 8 tentang pengambilan kekayaan alam yang terkandung di
dalam bumi, air dan ruang angkasa yang dilaksanakan dengan UU No.
11/1967 tentang pertambangan; UU No. 9/1985 tentang perikanan; UU
No. 8/1967 tentang kehutanan yang diganti dengan UU No.11/1999.
Sebagai peraturan dasar hanyalah memuat asas-asas dan garis-garis
instruksi untuk dilaksanakan oleh peraturan lainnya.
Misalnya :
- Pasal 19 tentang pendaftaran tanah dilaksanakan dengan PP. 10/1961,
diganti dengan PP.24/1997 tentang pendaftaran tanah.
- Pasal 18 dilaksanakan dengan UU No.20/1961 Tentang Pencabutan
tanah beserta semua yang ada di atasnya.
- Dan sebagainya.
UUPA berperan sebagai sasaran untuk mewujudkan kesejahteraan
petani, sehingga perlu dibarengi dengan politik pemerataan penguasaan
tanah yang bersifat pemerasan serta memberikan perlindungan hak dan
perlindungan hukum bagi pemiliknya.
2. Meletakan dasar-dasar untuk menjadikan
kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan.

15
Mengingat dualistis hukum agraria lama kurang memberikan
kepastian hukum, maka hukum agraria baru harus mencerminkan kepastian
hukum bagi semua golongan penduduk Indonesia dengan adanya kesatuan
hukum.
Guna terwujudnya kesatuan hukum agraria nasional, maka
dicabutnya peraturan perundangan kolonial dianggap sebagai penghambat
kesatuan dan cita-cita bangsa.
Peraturan-peraturan yang dicabut UUPA adalah :
a. Pencabutan agrarische wet dan pasal 51 IS
b. Penghapusan pernyataan hak domein
c. Penghapusan peraturan agrarische eigendom
d. Pencabutan Buku II KUHPer sepanjang mengenai bumi,
air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
3. Meletakan dasar-dasar untuk memberikan
kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya
Untuk mencapai kepastian hukum, oleh pemerintah mengadakan
pendaftaran tanah (rechts cadaster) diseluruh Indonesia baik tanah negara,
tanah yang dikuasai persekutuan masyarakat hukum adat, hak-hak
perorangan maupun badan hukum. Hasil kegiatan pendaftaran tanah,
kepada pemilik diberikan bukti hak berupa sertifikat hak atas tanah.

C. DASAR – DASAR HUKUM AGRARIA


NASIONAL
Dasar-dasar hukum agraria nasional :

a. Dasar Kenasionalan
Dasar kenasionalan ini mengandung pengertian secara formal dan
secar materiil. Secara formal : hukum agraria nasional (UUPA) telah
dibuat oleh badan pembentuk UU di Indonesia, dalam bahasa Indonesia,
dan dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah negara Indonesia. Secara
materil (isi); juga mencerminkan dasar kenasionalan yang dapat dilihat
pada pasal 1 ayat (1,2 dan 3) sekaligus merupakan perwujudan dari Dasar
Falsafah Pancasila, terutama sila I dan III.
 Pasal 1 ayat (1), bahwa seluruh wilayah Indonesia
merupakan kesatuan tanah air yang harus dipandang sebagai satu
kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan dari seluruh rakyat
Indonesia yang bersatu sebagai bangsa. Dalam ayat ini konsep
wawasan nusantara, yang melihat wilayah Indonesia sebagai satu
kesatuan yang bulat dan utuh, tidak dapat dipisah-pisahkan yang
bersatu sebagai bangsa sekaligus sebagai cerminan Sila Persatuan
Indonesia.

16
 Pasal 1 ayat (2), Adanya pengakuan bangsa
Indonesia bahwa bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa
kepada bangsa Indonesia dan sebagai kekayaan nasional. Ini berarti
bahwa bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya, dalam wilayah RI yang kemerdekaaanya diperjuangkan
oleh bangsa Indonesia (hak bangsa). Jadi tidaklah semata-mata hak
dari pemiliknya saja. Demikian pula tanah-tanah di daerah-daerah atau
pulau-pulau yang bersangkutan. Jadi tidaklah semata-mata hak dari
pemiliknya saja. Demikian pula tanah-tanah di daerah-daerah dan
pulau-pulau tidaklah semata-mata menjadi hak rakyat asli dari daerah
atau pulau yang bersangkutan. Jadi ada hubungan yang semacam
hubungan hak ulayat antara bangsa Indonesia dengan bumi, air, ruang
angkasa dan kekayaan alam, yang pada tingkatan paling atas adalah
seluruh wilayah negara.
 Pasal 1 ayat )3), Hubungan yang bersifat abadi
antara bangsa Indonesia dengan bumi, air, ruang angkasa dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya, tiada suatu kekuasaan
yang dapat memutuskan hubungan itu. Ini berarti bahwa selama rakyat
Indonesia masih bersatu sebagai bangsa tiada satu kekuasaan pun yang
dapat memisahkan / memutuskan hubungannya dengan bumi, air,
ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Pasal 1 ayat (1,2 dan 3) UUPA ini mencerminkan pengakuan negara
kesatuan sebagai hasil perjuangan bangsa Indonesia, sehingga segala
hasil kekayaan menjadi kekayaan bangsa, tanpa mengabaikan
perorangan sebagai warga bangsa. Pengakuan ini sekali-kali tidak
membenarkan adanya pemilikan tanah semata-mata hanya untuk
kepentingan pemiliknya atau hanya untuk didaerah atau anggota suku.

b. Hak Menguasai Negara


Hukum Agraria Nasional (UUPA No.5/1960) menempatkan negara
dalam hubungan dengan bumi, air dan ruang angkasa tidaklah sebagai
pemilik tapi sebagai organisasi kekuasaan yang pada tingkatan tertinggi
disebut sebagai “Badan Penguasa” sebagaimana ditentukan dalam pasal 2
ayat 1 yang menyatakan bahwa : Bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya pada tingkatan yang tertinggi dikuasai
oleh negara. Arti dikuasai dalam pasal ini bukalah berarti “memiliki”, tetapi
adalah pengertian yang memberi wewenang kepada negara sebagai
organisasi kekuasaan dari bangsa Indonesia. Bagaimanakah wewenang
negara sebagai organisasi kekuasaan itu?

17
Lebih lanjut pasal 2 ayat (2) UUPA menyebutkan bahwa “Hak
menguasai dari Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 pasal ini
memberi wewenang untuk :
1) Mengatur dan
menyelenggarakan peruntukan, penggunaan persediaan dan
pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa
2) Menentukan dan mengatur
hubungan-hubungan hukum antar orang-orang dengan bumi, air dan
ruang angkasa
3) Menentukan dan mengatur
hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatn-
perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Konsekwensi dari Hak Menguasai Negara adalah untuk mencapai
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana dinyatakan dalam pasal
2 ayat (3).
Bedanya dengan hukum agraria kolonial adalah bahwa negara dapat
mempunyai hak milik yang lebih dikenal dengan asas domein, sebagaimana
dinyatakan dalam pasal 1 Agrische Besluit (S.1870-118).
c. Pengakuan Adanya Hak Ulayat
Hukum Agraria Nasional (UUPA), mengakui adanya hak ulayat.
Dasar pengakuan ini sebagaimana dituangkan dalam pasal 3 UUPA yang
menyatakan bahwa “pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak serupa dari
masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya masih ada, harus
sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara,
yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan
dengan undang-undang dan peraturan yang lebih tinggi”. Pengakuan hak
ulayat hanya untuk hak-hak yang sudah ada sebelum berlakunya UUPA dan
sesuai dengan kepentingan nasional.
Dalam pasal 3 UUPA ini hak ulayat diakui keberadaan dengan syarat
bahwa harus menurut kenyataan masih ada. Bagaimana menunjukan bahwa
hak ulayat menurut kenyataan masih ada? Keputusan Menteri Negara
Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 Tentang
Pedoman Penyelesaian Sengketa Hak Ulayat Atas Tanah menyebutkan
bahwa syarat keberadaan hak ulayat adalah :
1) Harus ada warga ulayat
2) Harus ada tanah ulayat itu sendiri
3) Harus adanya pengaturan tentang penggunaan hak ulayat
d. Semua Hak Atas Tanah mempunyai Fungsi Sosial
Arti fungsi sosial adalah bahwa hak atas tanah apa pun yang ada pada
seseorang atau pun badan hukum, tidaklah dapat dibenarkan bahwa
tanahnya itu dipergunakan (atau tidak dapat dipergunakan) semata-mata
hanya untuk kepentingan pribadinya, apalagi, kalau hal itu merugikan
masyarakat. Penggunaan tanah itu harus disesuaikan dengan keadaan dan

18
sifat haknya, sehingga bermanfaat bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang
mempunyainya maupun bagi masyarakat dan negara. Ini berarti bahwa hak
atas tanah apapun yang ada pada seseorang, tidak lah dapat dibenarkan
bahwa tanahnya itu akan dipergunakan atau ditidak dipergunakan, semata-
mata hanya untuk kepentingan pribadinya, tetapi harus bisa dimanfaatkan
juga untuk kepentingan masyarakat dan negara, jika kepentingan
masyarakat dan negara menghendakinya, baik langsung maupun tidak
langsung.
Di sini tidaklah berarti bahwa kepentingan perseorangan akan terdesak
sama sekali oleh kepentingan masyarakat (umum). Prinsip sosial dalam
UUPA menekankan keseimbangan kepentingan perorangan dengan
kepentingan masyarakat dengan menolak mengutamakan kepentingan
pribadi atau kepentingan bersama.
Adanya prinsip fungsi sosialo hak atas tanah dalam UUPA, justru
karena adanya pengakuan dan penghormatan terhadap keberadaan hak-hak
perorangan atas tanah.
Fungsi sosial hak atas tanah juga mengisyaratkan kewajiban kepada
pemilik untuk memelihara kesuburan tanah serta mencegah kerusakan
tanah dan menggunakan tanah yang dikuasainya agar dapat memberikan
hasil guna bagi pemilik maupun orang lain (pasal 10 dan 15 UUPA).
Dasar semua hak atas tanah berfungsi sosial ini dituangkan dalam
ketentuan pasal 6 UUPA.
e. Hanya Warga Negara Indonesia mempunyai Hak Milik
Sesuai dengan asas kenasionalan maka hukum agraria nasional hanya
memperbolehkan warga negara Indonesia dapat mempunyai hak milik atas
tanah dan kepada orang asing dan badan hukum dilarang mempunyai tanah
dengan hak milik.
Mengingat tidak semua badan hukum bergerak di bidang ekonomi
khususnya badan hukum bergerak di bidang sosial dan keagamaan, oleh
pemerintah dapat memberikan hak milik sepanjang dalam batas-batas
sosial. Pemerintah berwenang menunjukan bank-bank pemerintah, koperasi
pertanian dan badan-badan keagrariaan mempunyai hak milik.
Sesuai dengan kebangsaan maka semua warga negara Indonesia baik
pria maupun wanita mempunyai kedudukan yang sama atas tanah.
f. Landreform
Landreform atau agraria reform adalah dasar perjuangan perubahan
terhadap struktur pertahanah dengan semboyan tanah pertanian untuk
petani. Maka diperlukan penetapan batas luas maksimum dan minimun
tanah pertanian, redistribusi tanah, tanah absente, perjanjian bagi hasil, hak
gadai atas tanah dan sewa tanah pertanian.
g. Tata Guna Tanah
Untuk meningkatkan hasil guna tanah oleh pemerintah membuat
perencanaan umum di seluruh wilayah Indonesia mengenai peruntukan,

19
penggunaan dan persediaan bumi, air dan ruang angkasa untuk berbagai
pemanfaatan di daerah-daerah penyusunan perencanaan dengan
memperhatikan dengan keadaan alam, politik, ekonomi, sosial dan budaya
serta kemungkinan perkembangan dalam hubungan arus
pemerintah,ekonomi dan pembangunan.
h. Dasar Mengadakan Kesatuan dan Kesederhanaan
Hukum
Hukum agraria nasional menghendaki adanya kesatuan hukum
dengan hukum adat sebagai sumbernya dengan terlebih dahulu diadakan
penyaringan, disesuaikan dengan arah kepentingan nasional serta hubungan
internasional.
Hukum adat yang dimaksud bukannya hukum adat murni tetapi terlebih
dahulu diadakan perubahan.
i. Mengadakan Kepastian Hukum
Supaya tercapai kepastian hak atas tanah, maka diadakan
pendaftaran tanah di seluruh Indonesia baik secara sistematis maupun
secara sporadis. Penyelenggaraan pendaftaran tanah dengan memperhatikan
kebutuhan sosial ekonomi dan kepentingan masyarakat dan negara dan
disesuaikan.

20
BAB IV
KEDUDUKAN HUKUM ADAT DALAM HUKUM AGRARIA NASIONAL

A. KETENTUAN-KETENTUAN / PERNYATAAN HUKUM ADAT


DALAM HUKUM AGRARIA NASIONAL

1. Dalam konsiderans “berpendapat” huruf a UUPA :


“Bahwa berhubung dengan apa yang tersebut dalam pertimbangan-
pertimbangan di atas perlu adanya hukum agraria nasional yang berdasarkan
atas hukum adat tentang tanah, yang sederhana dan menjamin kepastian
hukum bagi seluruh rakyat Indonesia, dengan tidak mengabaikan unsur-unsur
yang berstandar pada hukum agama”.
2. Dalam Pasal-pasal dan penjelasan UUPA :
a. Penjelasan umum III angka 1, yaitu “…… dengan sendirinya
HukumAgraria baru itu harus sesuai dengan kesadaran hukum dari pada
rakyat banyak. Oleh karena rakyat Indonesia sebagian terbesar tunduk
pada Hukum Adat, maka Hukum Agraria yang baru tersebut akan
didasarkan pada ketentuan-ketentuan Hukum Adat itu, sebagai hukum
yang asli yang disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentingan
masyarakat dalam negara yang modern dan dalam hubungannya dengan
dunia Internasional, serta disesuaikan dengan sosialisme Indonesia.”
b. Pasal 5 : “Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan
ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangs,
dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang
tercantum dalam Undang-Undang ini dan dengan peraturan perundangan
lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar
pda hukum agama.
c. Penjelasan pasal 5: “Penegasan bahwa hukum adat dijadikan
dasar dari hukum agraria yang baru. Selanjutnya lihat penjelasan Umum
(III angka 1).
d. Penjelasan pasal 16:”…… sesuai dengan asas yang
diletakkan dalam pasal 5, bahwa hukum pertanahan yang nasional
didasarkan atas hukum adat maka penentuan hak-hak atas tanah dan air
pada pasal ini didasarkan pula atas sistematik dari hukum adat…….”
e. Pasal 56:”Selama undang-undang mengenai hak milik
sebagai tersebut dalam pasal 50 ayat 1 belum terbentuk, maka yang
berlaku adalah ketentuan-ketentuan hukum adat yang memberi wewenang
sebagaimana atau mirip dengan yang dimaksud dalam pasal 20, sepanjang
tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-undang
ini”.
f. Secara tidak langsung juga dalam pasal 50:”Ketentuan-
ketentuan lebih lanjut mengenai hak milik diatur dengan undang-undang

21
“. Di sini dikatakan secara tidak langsung, oleh karena ketentuan undang-
undang tentang hak milik sampai sekarang belum terbentuk maka yang
berlaku adalah hukum adat.

B. KEDUDUKAN HUKUM ADAT DALAM HUKUM AGRARIA


NASIONAL
1. Hukum Adat sebagai Dasar/Sumber Utama (Sumber Hukum Materil)
bagi Hukum Agraria Nasional.
Mengapa? Karena pembentukan Hukum Agraria Nasional menggunakan
bahan-bahan Hukum Adat. Bahan-bahan hukum adat dimaksud adalah :
a. Konsepsi dan sistem hukum adat
- Konsepsi hukum adat adalah komunalistik relidius.
Komunalistik; menunjukan kepada adanya hak bersama pada anggota
masyarakat hukum adat atas tanah yang disebut “Hak Ulayat”.
Konsepsi komunalistik ini, juga yang memungkinkan penguasaan
tanah secara individual dengan hak-hak atas tanah yang bersifat
pribadi sekaligus mengandung unsur kebersamaan. Konsepsi ini
kemudian diintrodusir ke dalam pasal 6 UUPA mengenai fungsi sosial
hak atas tanah. Sedangkan religius, menunjukan bahwa tanah ulayat
merupakan tanah kepunyaan bersama yang diyakini sebagai karunia
suatu kekuatan gaib atau peninggalan nenek moyang, Konsepsi ini
kemudian diintrodusir ke dalam pasal 1 ayat 2 UUPA tentang sumber-
sumber agraria dalam wilayah Negara RI diyakini sebagai suatu
karunia Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan kekayaan nasional.
- Sistem hukum adat; bahwa dalam hukum adat hak
penguasaan atas tanah yang tertinggi adalah “hak ulayat” yang
beraspek perdata dan beraspek publik.
b. Asas-asas hukum adat dalam hukum agraria nasional
- Asas religiusitas (pasal 1 ayat 2 UUPA).
- Asas kebangsaan (pasal 1,2 dan 9 UUPA)
- Asas demokrasi (pasal 9 ayat 2 UUPA)
- Asas kemasyarakatan, pemerataan dan keadilan (pasal
6,7,10,11 dan 13 UUPA).
- Asas pemisahan horisontal tanah dengan bangunan dan
tanaman yang ada di atasnya.
c. Lembaga-lembaga hukum adat dalam hukum tanah nasional
Lembaga hukum adat yang dijadikan dasar utama pembangunan hukum
agraria nasional adalah susunan macam-macam hak atas tanah misalnya
hak mili/hak yasan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak
menikmati hasil hutan. Susunan macam-macam hak atas tanah yang
demikian ini kemudian diangkat dan dijadikan dasar dalam penyusunan
hak-hak atas tanah dalam Hukum Agraria Nasional sebagaimana diatur
dalam pasal 16 UUPA.

22
Namun demikian, macam-macam hak atas tanah yang ada dalam hukum
adat tersebut masih perlu disempurnakan sesuai dengan perkembangan
masyarakat Indonesia yang menuju masyarakat yang modern.
Penyempurnaan tersebut adalah adanya tambahan hak baru yaitu Hak
Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan. Juga adanya keharusan pendaftaran
tanah terhadap macam-macam hak atas tanah tersebut.

2. Hukum adat sebagai pelengkap Hukum Agraria Nasional


Sebagaimana diketahui bahwa UUPA hanya berisi dasar dan ketentuan-
ketentuan pokok mengenai hukum agraria. Itu artinya dibutuhkan peraturan-
peraturan lain sebagai penjabaran atau peraturan pelaksanaan dari UUPA.
Akan tetapi kenyataan, banyak peraturan tertulis yang merupakan peraturan
pelaksana dari UUPA belum dibuat.
Untuk melengkapi hukum tertulis di bidang keagrariaan itu, norma-
norma hukum adat berfungsi sebagai pelengkap. Dasarnya adalah pasal 56
dan pasal 58 UUPA.
Pasal 56 UUPA :”Selama Undang-undang mengenai hak milik sebagaimana
tersebut dalam pasal 50 ayat (1) belum terbentuk, maka yang berlaku adalah
ketentuan-ketentuan hukum adat.

23
BAB V
HAK – HAK PENGUASAAN ATAS TANAH

A. PENGERTIAN
Hak penguasaan atas tanah adalah hak yang berisikan serangkaian
wewenang, kewajiban dan/atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat
sesuatu dengan tanah yang dihaki. Kata “sesuatu” yang boleh, wajib atau dilarang
untuk diperbuat, yang merupakan isi dari hak penguasaan itulah yang menjadi
kriterium/tolok pembeda di antara hak-hak penguasaan tanah yang diatur dalam
hukum tanah.
B. PENGATURAN DAN SISTEMATIKANYA
Pengaturan dan sistematika hak penguasaan atas tanah ada yang “Sebagai
Lembaga Hukum/Hukum Tanah Dalam Keadaan Tidak Bergerak (Het gronden
recht in rust)” dan ada yang “Sebagai Hubungan Hukum Konkrit/Hukum Tanah
Dalam Keadaan Tidak Bergerak (Het gronden recht in beweging)”.
Dikatakan sebagai “Lembaga Hukum” jika belum dihubungkan dengan
tanah tertentu sebagai objek dan orang atau badan hukum sebagai subjek atau
pemegang hak atas tanah. Contoh Hak Milik, HGU, HGB, Hak Pakai dan
sebagainya. Pengaturan dan sistematikanya adalah Nama, Isi, Subjek, dan Objek
dari hak penguasaan tanah sebagai lembaga hukum.
 Nama ; nama dari hak-hak penguasaan atas tanah sebagai
lembaga hukum. Misalnya, Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan, Hak Pakai dan sebagainya.
 Isi; yang menjadi isi dari hak penguasaan atas tanah sebagai
lembaga hukum ini antara lain tentang Hak (pasal 9 ayat 2 UUPA), Kewajiban
(kewajiban umum, pasal 10 dan 15 UUPA dan kewajiban khusus berdasarkan
penetapan pemberian hak).
 Larangan, misalnya :
- Orang asing tidak boleh mempunyai hak milik atas tanah;
- Larangan memiliki tanah secara absente (PP.224/1961)
- Larangan penguasaan tanah melampaui batas (pasal 7 dan 17
UUPA)
 Jangka wkatu; terdapat dalam berbagai hak atas tanah.
Dikatakan sebagai “Hubungan Hukum Konkrit” jika sudah
dihubungkan dengan tanah tertentu sebagai objek dan orang atau badan
hukum sebagai subjek atau pemegang hak atas tanah. Misalnya tanah hak
milik si A di lokasi .. … Atau tanah HGU badan hukum B di lokasi …. Dan
seterusnya.
Pengaturan dan sistematikannya adalah :
 Penciptaannya/terjadinya
 Pembebanannya
 Hapusnya

24
 Perpindahan/peralihannya
 Pembuktiannya
C. TATA JENJANG/HIERARKIR/JENIS-JENIS HAK PENGUASAAN ATAS
TANAH.
1. Hak bangsa Indonesia atas tanah
Hak bangsa Indonesia atas tanah merupakan hak penguasaan atas tanah yang
tertinggi. Selain tersirat dalam pasal 1 ayat 2 juga dinyatakan dalam pasal 1
ayat 1 sebagai berikut : seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air
dari seluruh rakyat Indonesia, yang telah bersatu sebagai bangsa Indonesia.”
Dalam rumusan 2 ayat diatas dijelaskan lagi maksudnya dalam penjelasan
umum sebagai berikut :
“Bumi, air dan ruang angkasa dalam wilayah RI yang kemerdekaannya
diperjuangkan sebagai keseluruhan, menjadi hak pula dari bangsa Indonesia,
jadi tidak semata-mata menjadi hak daripara pemiliknya saja”,
Demikian pula tanah-tanah didaerah dan pulau-pulau, tidaklah semata-mata
menjadi hak rakyat asli dari daerah atau pulau yang bersangkutan. Dengan
pengertian demikian, maka hubungan bangsa Indonesia dengan bumi, air dan
ruang angkasa Indonesia merupakan semacam hubungan Hak Ulayat, yang
diangkat dari tingkatan yang lebih luas, yaitu pada tingkatan yang mengenai
seluruh wilayah negara.
1.1. Obyek Hak Bangsa
Dalam pasal 1 ayat 1 menggunakan kata “seluruh” yang berarti bahwa
tidak ada sejengkal tanahpun di negara RI yang dikategorikan sebagai
“res nullius” (tanah tidak bertuan).
1.2. Sifat Hak Bangsa
Dalam pasal 1 ayat 3:”hubungan antar bangsa Indonesia dan bumi, air
serta ruang angkasa termasuk dalam ayat 2 pasal itu adalah hubungan
yang bersifat abadi.
Hubungan yang bersifat abadi berarti hubungan tersebut akan
berlangsung tiada terputus-putus untuk selamanya.
1.3. Pemegang Hak Bangsa
Subyek hak bangsa adalah seluruh rakyat Indonesia sepanjang masa.
1.4. Terciptanya Hak Bangsa
Hak bangsa baik dalam kedudukannya sebagai suatu lembaga hukum
maupun sebagai hubungan hukum yang konkrit tidak dapat dipisahkan.
Hak bangsa sebagai hubungan hukum tercipta pada saat diciptakannya
hubungan hukum konkrit dengan tanah yang diyakini sebagai karunia
TuhanYang Maha Esa.
2. Hak Menguasai Dari Negara
4.1 Subyeknya
Sebagaimana dikemukakan bahwa ada pelimpahan amanat yang
menyertai pelimpahan kekayaan alam yakni kewajiban untuk

25
mengelolanya secara bertanggung jawab dan berkelanjutan bagi
kesejahteraan seluruh bangsa Indonesia. Untuk kesejahteraan seluruh
bangsa itu maka tidak mungkin kekayaan alam ini akan dikelola secara
sendiri-sendiri menurut kemampuan individu mengingat kemampuan
masing-masing anggota bangsa tidak sama. Oleh karena itu maka bangsa
Indonesia melimpahkan kewenangan pengelolaannya kepada negara
sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat yang tergabung dalam
bangsa. Organisasi kekuasaan tersebut meliputi penguasaan bidang
legislatif, eksekutif maupun yudikatif.

4.1 Ruang Lingkup Kewenangan


Dalam pasal 2 ayat 2 diberikan rincian kewenangan daripada hak
menguasai dari negara berupa kegiatan :
1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa.
2. Mengatur dan menyelenggarakan hubungan-hubungan hukum
antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai
bumi, air dan ruang angkasa.
3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi,
air dan ruang angkasa.
Pengertian hak menguasai menunjukan hubungan hukum publik semata
dan tidak memiliki aspek kepunyaan sebagaimana dimiliki oleh hak
ulayat. Dalam hak ulayat mengandung dua unsur yakni unsur publik dan
unsur perdata. Begitu juga dengan dua unsur yang dipunyai oleh hak
bangsa. Yang dilimpahkan oleh bangsa kepada negara hanyalah
kewenangan dalam aspek publik saja.

4.1 Sebutan dan isi dari Hak Menguasai Negara


Dalam penjelasan umum II disebutkan bahwa : UUPA berpangkal pada
pendirian, bahwa untuk mencapai apa yang ditentukan dalam pasal 33
ayat 3 UUD tidak perlu dan tidak pada tempatnya, bahwa bangsa
Indonesia atupun negara bertindak sebagai pemilik tanah. Adalah lebih
tepat jika negara sebagai organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat
(bangsa) bertindak selaku badan penguasa.
4.1 Subyek hak dari hak menguasai negara
Subyeknya adalah Negara Republik Indonesia
4.1 Obyek
Semua tanah yang berada dalam wilayah RI, baik tanah-tanah yang
tidak atau sudah di haki dengan hak-hak perorangan maupun tanah-
tanah yang belum dihaki oleh UUPA disebut dengan tanah yang

26
langsung dikuasai oleh negara atau tanah negara (pengertian
administrasi). Tanah-tanah yang sudah terdapat hak-hak disebut tanah
hak. Dengan kata lain obyek hak menguasai negara adalah baik tanah
negara bebas (vrij land domein) yaitu tanah-tanah yang belum melekat
hak-hak tertentu, maupun tanah negara tidak bebas (on vrij land
domein) yaitu tanah-tanah yang sudah melekat hak-hak tertentu.
4.1 Terciptanya Hak Menguasai Dari Negara
Hak menguasai dari negara merupakan pelimpahan tugas kewenangan
bangsa Indonesia, yang dilakukan oleh wakil-wakil bangsa Indonesia
pada saat menyusun UUD 1945 dan membentuk negara RI pada tanggal
18 Agustus 1945. sebagaimana halnya dengan hak bangsa, hak
menguasai dari negara berupa lembaga hukum dan sebagai hubungan
hukum konkrit merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan.
Hak menguasai dari negara sebagai lembaga hukum tercipta pada waktu
diciptakan hubungan konkrit antara Negara dan tanah Indonesia pada
tanggal 18 Agustus 1945.
4.1 Pembebanan Hak Menguasai dari Negara
Hak menguasai dari negara tidak dapat dipindahkan kepada pihak lain.
Tetapi tanah negara dapat diberikan dengan sesuatu hak atas tanah
kepada pihak lain. Pemberian hak atas tanah negara kepada seseorang
atau badan hukum, tidak berarti melepaskan hak menguasai dari negara
atas tanah tersebut, melainkan hanya kewenangan negara atas tanah-
tanah dimaksud menjadi terbatas sesuai dengan jenis hak apa yang telah
diberikan oleh negara kepada seseorang atau badan hukum itu.
Batas kewenangan itu harus dihormati oleh negara karena pada
hakekatnya batas dimaksud dibuat oleh negara sebagai suatu negara
hukum untuk membatasi dirinya sendiri untuk tidak mengganggu
penguasaan dan penggunaan tanah yang telah diberikan dengan sesuatu
hak, tetapi perlu disadari bahwa demi terciptanya kemakmuran rakyat
sebagaimana dinyatakan dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dalam pasal
2 ayat 3 UUPA, sudah barang tentu negara mempunyai kekuasaan
penuh untuk menetapkan batas-batas kewenangan tersebut dan
mengadakan perubahan-perubahan di kemudian hari jika dianggapnya
perlu, dengan tetap mendasarkan tindakannya itu pada prosedur hukum
yang berlaku. Jadi, penguasaan perorangan atau badan hukum atas
tanah dilindungi dari segala gangguan termasuk dari penguasa jika tidak
mengikuti prosedur sebagaimana ditentukan oleh hukum. Sarana yang
disiapkan adalah dengan gugatan administratif melalui peradilan Tata
Usaha Negara atau Peradilan Umum.
Hak menguasi dari negara juga dibatasi oleh hak ulayat sepanjang
menurut kenyataannya masih ada. Apabila tanah dalam lingkungan hak
ulayat tersebut akan digunakan bagi kepentingan yang berkaitan dengan
pemberian Hak Guna Usaha maka kepada masyarakat diminta

27
pendapatnya atas kesediaan mereka harus diberikan “reconite” atau
penghargaan yang selayaknya menurut aturan yang berlaku.
4.1 Pelimpahan Pelaksanaannya pihak lain
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa hak menguasai dari
negara tidak dapat dipindahkan kepada pihak lain, tetapi
pelaksanaannya dapat dilimpahkan kepada pemerintah daerah dan
masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang hal itu diperlukan dan
tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, sebagai tugas
pembantuan, buku otonomi, tentang pelimpahan wewenang ini diatur
dengan Peratuan Pemerintah.
Isi wewenang yang dilimpahkan adalah sebagaimana disebutkan dalam
pasal 2 ayat 2 huruf (a) yakni wewenang mengatur dan
menyelenggarakan peraturan, penggunaan, persediaan dan
pemeliharaan tanah. Wewenang mengatur berkaitan dengan
perencanaan pembangunan daerah, wewenang menyelenggarakan
berkaitan dengan misalnya persiapan lahan bagi pembangunan
perumahan rakyat, industri dan sebagainya. Dengan pelimpahan
pelaksanaan berupa wewenang mengatur dan menyelenggarakan
peruntukan tanah pada wilayah pemerintahan daerah maka daerah dapat
membentuk perusahaan tanah yang selain bertugas mematangkan tanah
yang tersedia, jika mengatur persediaan tanah bagi pihak-pihak yang
memerlukan. Hal ini merupakan aplikasi dari bunyi penjelasan pasal 2
bahwa : “wewenang dalam bidang agraria dapat merupakan sumber
keuangan bagi daerah itu”. Tetapi perlu dicatat bahwa pelaksanaan
kewenangan oleh Pemda harus dititik beratkan pada pemenuhan
kebutuhan umum bukan hanya mencari keuntungan semata-mata.
Selain pelimpahan pelaksanaan wewenang dari hak menguasai dari
negara diberikan kepada Pemda dan masyarakat hukum adat juga
diberikan kepada badan-badan otorita seperti perusahaan-perusahaan
negara, perusahaan-perusahaan dalam bentuk hak pengelolaan. Selain
menggunakan tanah yang dihaki dengan hak pengelolaan tersebut,
pemegang haknya dapat melakukan kegiatan yang merupakan sebagian
garis kewenangan negara sebagaimana diatur dalam pasal 2 mengenai
hak pengelolaan ini diatur dalam pasal 3 PMDA No 5 tahun 1974.
contoh Industrial Estate Rungkut Surabaya, PERUM PERUMNAS dan
Otorita Pulau Batam.
4.1 Hapusnya Hak Menguasai Dari Negara
Hak ini tidak akan hapus selama Negara RI masih ada negara yang
merdeka dan berdaulat.
3. Hak Ulayat Atas Tanah
a. Pengaturannya : pasal 3 UUPA
b. Pengertian : Hak ulayat merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban
suatu masyarakat hukum adat yang berhubungan dengan

28
tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya. Wewenang
dan kewajiban itu ada yang termasuk bidang hukum perdata
(unsur kepunyaan), dan ada yang termasuk dalam bidang
hukum pubik (unsur pengaturan)
c. Subjek/pemegang hak ulayat : adalah masyarakat hukum adat baik secara
teritorial (tempat tinggal yang sama) maupun secara
geneologik (terikat oleh pertalian darah yang sama)
d. Objek hak ulayat : semua tanah dalam wilayah masyarakat hukum adat
yang bersangkutan. Disini karena hak ulayat meliputi semua
tanah maka dalam lingkungan masyarakat hukum adat yang
bersangkutan juga dikenal tiada sejengkal tanahpun yang
tidak bertuan (res nullius).
e. Terciptanya hak ulayat :
- Hak ulayat sebagai hubungan hukum konkrit tercipta pada
waktu nenek moyang meninggalkan tanah tersebut kepada orang-
orang yang merupakan kelompok tertentu.
- Hak ulayat sebagai lembaga hukum, sudah ada sebelumnya.
4. Hak-hak Perorangan Atas Tanah
4.1 Hak milik
4.1.1 Pengertian
Hak milik adalah hak turun – temurun, terkuat dan terpenuh yang
dapat dipunyai orang atas tanah dengan mengingat ketentuan pasal
6. Turun – temurun artinya hak tersebut tidak akan berakhir
dengan meninggalnya si pemilik, tetapi dapat diwariskan kepada
ahli warisnya. Terkuat artinya menunjukan sifat paling kuat
melekat pada subjek selama masih membutuhkannya dengan tidak
bermaksud untuk dialihkan. Terpenuh artinya menunjukan luas
wewenangnya dalam menggunakan tanah tersebut (wewenang
tidak dibatasi).
4.1.2 Pengaturannya : Bab II bagian III Pasal 20-27 UUPA
4.1.3 Subjek
a. WNI
b. Badan-badan hukum Indonesia yang didirikan, tunduk dan
berada di Indonesia. Badan-badan hukum dimaksud seperti :
- Bank-bank yang didirikan oleh negara (Permen. Agraria
No.2/1960 jo No.5/1960 yaitu : Bank Tani Nelayan, Bank
Negara Indonesia, Bank Industri Negara, BRI, BI, BDN.
- Perkumpulan-perkumpulan koperasi pertanian
- Badan Keagamaan
- Badan-badan sosial
4.1.4 Objek : tanah negara atau tanah adat
4.1.5 Terjadinya hak milik :

29
- Menurut hukum adat : membuka hutan, Aanslibing, Reklamasi,
Aanslibing adalah tumbuhnya lidah tanah di pinggir sungai atau
pinggir pantai karena peristiwa alam. Reklamasi adalah
tumbuhnya lidah tanah di pinggir sungai atau pantai karena
perbuatan yang disengajakan.
- Menurut UU : Konversi hak
- Karena penetapan pemerintah
4.1.6 Jangka waktu : tidak terbatas
4.1.7 Peralihan : Karena beralih dan dialihkan. Beralih yaitu
perpindahan/peralihan hak atas tanah yang terjadi dengan
sendirinya karena hukum. Misalnya perpindahan hak atas tanah
kepada ahli waris karena kematian pewaris. Sedangkan dialihkan
yaitu perpindahan/peralihan karena perbuatan yang disengajakan.
Misalnya, jual, beli, tukar menukar, hibah wasiat, dan sebagainya.
4.1.8 Pembebanannya : Dapat dijadikan jaminan utang dan dibebani
dengan hak tanggungan.
4.1.9 Hapusnya hak milik
a. Tanahnya jatuh kepada negara:
- Karena dicabut oleh negara
- Karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya
- Karena ditelantarkan
- Karena ketentuan pasal 21 ayat 3 dan pasal 26 ayat 2
b. Tanahnya musnah
4.2 Hak Guna Usaha
4.2.1 Pengertian
Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang
langsung dikuasai oleh negara dalam jangka waktu tertentu guna
usaha pertanian, perikanan dan peternakan
4.2.2 Pengaturannya
- UUPA : pasal 28/34
- PP 40/1996 : pasal 2 s/d 18
4.2.3 Subjek : sama dengan hak milik
4.2.4 Objek : Tanah yang langsung dikuasai oleh negara. Mengapa?
Karena disamping waktunya lama, juga membutuhkan tanah luas
minimal 5 ha dan maksimal 25 ha.
4.2.5 Terjadinya : Karena penetapan pemerintah (PMDN No.5/1973
tentang ketentuan-ketentuan tata cara pemberian hak atas tanah
4.2.6 Jangka waktunya
- UUPA : - 25 tahun
- Untuk perkebunan besar 35 tahun dan
diperpanjang 25 tahun
- PP 40/1996 : - 35 tahun dan diperpanjang 25 tahun

30
- sesudahnya dapat diberikan pembaharuan
HGU atas tanah yang sama.
4.2.7 Peralihan : sama dengan hak milik
4.2.8 Pembebanannya : sama dengan hak milik
4.2.9 Hapusnya : UUPA pasal 34 dan PP 40/1996 pasal 15:
a. Jangka waktunya berakhir
b. Diberhentikan sebelum jangka waktunya berakhir
c. Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya
berakhir
d. Dicabut untuk kepentingan umum
e. Ditelantarkan oleh pemegang hak
f. Tanahnya musnah
4.3 Hak Guna Bangunan
4.3.1 Pengertian
Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai
bangunan di atas tanah bukan miliknya sendiri dengan jangka
waktu paling lama 30 tahun.

4.3.2 Pengaturannya
- UUPA : Pasal 35 s/d 40
- PP 40/1996 : pasal 19 s/d 38
4.3.3 Subjek : sama dengan hak milik dan HGU
4.3.4 Objek : - tanah negara
- Tanah hak pengelolaan
- Tanah hak milik
4.3.5 Terjadinya : - HGB atas tanah negara diberikan dengan keputusan
pemberian hak oleh menteri atau pejabat yang
ditunjuk
- HGB atas tanah hak pengelolaan, diberikan
dengan keputusan pemberian hak oleh menteri
atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan usul
pemegang hak pengelolaan
- HGB atas tanah hak milik, terjadi karena
perjanjian antara pemilik tanah dengan pihak yang
akan memperoleh HGB.
4.3.6 Jangka waktunya
UUPA : - 30 tahun dan diperpanjang 20 tahun
- PP 40/1996 : - 30 tahun dan diperpanjang 20 tahun
- sesudahnya dapat diberikan pembaharuan
HGB atas tanah yang sama.
4.3.7 Peralihan : sama dengan hak milik
4.3.8 Pembebanannya : sama dengan hak milik

31
4.3.9 Hapusnya
a. Jangka waktunya berakhir
b. Diberhentikan sebelum jangka waktunya berakhir
c. Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya
berakhir
d. Dicabut untuk kepentingan umum
e. Ditelantarkan oleh pemegang hak
f. Tanahnya musnah
g. Karena ketentuan pasal 36 UUPA dan pasal 30 PP 40/1996 :
tidak memenuhi syarat pemegang hak (WNI dan BH yang
didirikan, tunduk dan berada di Indonesia).
4.4. Hak Pakai
4.4.1. Pengaturannya (Dasar Hukum)
UUPA : paal 41 s/d 43
PP 40/1996 : pasal 39 s/d 58
4.4.2. Pengertian
Hak Pakai, pasal 41 ayat 1 UUPA adalah :
Hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang
dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain yang
memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan
pemberiannya oleh pejabat yang berwenang atau dalam perjanjian
dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa – menyewa atau
perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan
dengan jiwa dan ketentuan UU ini.
4.4.3. Subyek/yang mempunyai hak pakai
Pasal 42 UUPA dan Pasal 39 PP No.40/1996
1. WNI
2. orang asing yang berkedudukan di Indonesia
3. Badan hukum yang didirikan di Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia
4. Departemen, Lembaga Pemerintah Non Depertemen dan
Pemerintah Daerah

4.4.4. Terjadinya hak pakai


Pasal 422 PP 40/1996
1. Hak pakai atas tanah negara diberikan dengan
keputusan pemberian hak oleh menteri atau pejabat yang
ditunjuk
2. Hak pakai atas tanah pengelolaan diberikan dengan
keputusan pemberian hak menteri atau pejabat yang ditunjuk
berdasarkan usul pemegang hak pengelolaan

32
Hak pakai atas milik orang lain hanya dimungkinkan kalau
berdasarkan isi perjanjian dengan pemilik tanah tanpa disebutkan
bentuk perjanjian yang bagaimana dibuat.
4.4.5. Jangka waktu hak pakai
UUPA pasal 41 ayat 2 : Hak pakai dapat diberikan selama jangka
waktu tertentu selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan
tertentu PP.40/1996 : pasal 45
1. Hak pakai sebagaimana dimaksud pasal 42 diberikan
untuk jangka waktu paling lama 25 tahun dan dapat diperpanjang
untuk jangka waktu paling lama 20 tahun atau diberikan untuk
jangka waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya
dipergunakan untuk keperluan tertentu.
2. Sesudah jangka waktu hak pakai atau perpanjangannya
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) habis, kepada pemegang
hak dapat diberikan pembaharuan hak pakai atas tanah yang
sama.
3. Hak pakai yang diberikan untuk jangka waktu yang
tidak ditentukan selama dipergunakan untuk keperluan tertentu
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan kepada :
a. Departemen, Lembaga Non Departemen, dan pemerintah
Daerah
b. Perwakilan Negara asing dan perwakilan badan internasional
c. Badan keagamaan dan badan sosial
4.4.6. Obyek Hak pakai
Hak pakai merupakan suatu hak atas tanah yang dapat diletakan di
atas tanah negara bebas atau tanah perorangan dengan hak milik dan
tanah hak pengelolaan (pasal 41 PP 40/1996).
4.4.7. Pengalihan hak pakai
Pasal 43 UUPA bahwa hak pakai beralih apabila :
1. Sepanjang mengenai tanah yang langsung dikuasai
oleh negara, maka hak pakai hanya dapat dialihkan kepada pihak
lain dengan ijin pejabat yang berwenang.
2. Hak pakai atas tanah milik, hanya dialihkan kepada
pihak lain jika hal itu dimungkinkan dalam perjanjian
bersangkutan
Untuk hak pakai atas tanah negara maka peralihanya dilakukan
dengan ijin dari pejabat yang berwenang. Sedangkan ijin hak pakai
atas tanah milik perorangan maka peralihannya dengan ijin dari
pemiliknya
PP 40 tahun 1996 pasal 54 :
1. Hak pakai yang diberikan atas tanah negara untuk jangka waktu
tertentu dan hak pakai atas tanah hak pengelolaan dapat beralih
dan dialihkan pada pihak lain.

33
2. Hak pakai atas tanah milik hanya dapat dialihkan apabila hak
tersebut dimungkinkan dalam perjanjian pemberian hak pakai
atas tanah hak milik yang bersangkutan.
3. Peralihan hak pakai terjadi karena :
a. Jual beli
b. Tukar menukar
c. Penyertaan dalam modal
d. Hibah
e. pewarisan
4.4.8. Pembebanan hak pakai
PP 40/1996 pasal 53
Hak pakai atas tanah negara dan tanah hak pengelolaan dapat
dijadikan jaminan utang dengan dibeban Hak Tanggungan.
4.4.9. Hapusnya Hak pakai
PP 40/1996 pasal 55 ayat (1) :
a. Berakhirnya jangka waktunya
b. Dibatalkan hak milik sebelum jangka waktunya berakhir karena :
1. Tidak terpenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak
dan atau dilanggarnya ketentuan-ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 50, 51, 52.
2. Tidak terpenuhinya syarat-syarat atau kewajiban yang
tertuang dalam perjanjian pemberian hak pakai antara
pemegang hak pakai atau perjanjian penggunaan hak
pengelolaan
3. Putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum yang tetap.
c. Dilepaskan secara sukarela oleh pemegang hak sebelum jangka
waktunya berakhir
d. Dicabut berdasarkan UU No.20/1961
e. Ditelantarkan
f. Tananya musnah
g. Ketentuan pasal 40
4.4.10. Hak dan kewajiban pemegang hak pakai
Hak : pasal 52 PP 40/1996 :
Pemegang hak paki berhak menguasai dan mempergunakan tanah
yang diberikan dan hak pakai selama waktu tertentu untuk keperluan
pribadi untuk usahanya serta untuk memindahkan hak tersebut
kepada pihak lain dan membebaninya, atau selama digunakan untuk
keperluan tertentu.
Kewajiban pemegang hak :
Pasal 50 dan 51 PP 40/1996.

4.5. Hak Sewa untuk Bangunan

34
4.5.1. Dasar pengaturannya UUPA pasal 44, 45
4.5.2. Pengertian
Pasal 44 UUPA menetapkan bahwa hak sewa untuk bangunan
adalah hak untuk mempergunakan tanah milik orang lain untuk
keperluan pembangunan dengan membayar kepada pemiliknya
sejumlah uang sebagai sewa.
4.5.3. Tujuan penggunaannya
Hak sewa untuk bangunan bertujuan untuk menyewakan tanah
milik orang lain dengan maksud akan didirikan bangunan diatasnya
dan bangunan tersebut menjadi hak penyewa.
4.5.4. Sifatnya
Sebenarnya hak sewa untuk bangunan hampir sama dengan sifat
atau ciri hak pakai hanya beberapa hal ada perbedaannya yakni :
a. Bersifat pribadi sehingga tidak dapat dialihkan kepada orang
lain
b. Peralihan hak milik atas tanah tidak mengakibatkan
berakhirnya hak penyewa.
4.6. Hak Gadai Atas Tanah
4.6.1. Pengertian
Boedi Harsono, gadai adalah : hubungan antar seseorang dengan
tanah kepunyaan orang lain yang mempunyai utang uang
kepadanya, selama uang tersebut dibayar lunas maka hak tetap
berada dalam penguasaan yang meminjamkan uang. Penjelesan UU
No.50 tahun 1960 tentang penetapan luas tanah pertanian pada
point 9a.
Hak gadai sebagai hubungan antara seseorang dengan tanah
kepunyaan lain yang mempunya utang kepadanya. Selama utang
tersebut belum dibayar lunas maka tanah itu tetap berada dalam
penguasaan yang meminjamkan uang (pemegang gadai).
Dari pengertian gadai tersebut dapat dilihat unsur-unsur gadai
sebagai berikut :
a. Adanya hubungan hak pakai memberikan kepada seseorang
untuk menerima sesuatu (tanah) untuk dipergunakan sepanjang
tidak bertentangan dengan kewenangan berdasarkan hak yang
diberikan pemegang hak tidak boleh mengasingkan hak milik
atas tanah tersebut kepada orang lain.
b. Obyek ; adalah tanah pertanian
c. Yang menjadi perjanjian pokok adalah utang piutang, baik
berwujud uang maupun benda-benda bernilai magis sesuai
kebutuhan pemilik tanah. Sedangkan tanah menjadi obyek
perjanjian accesoir yang digunakan sebagai jaminan bagi
penyelesaian perjanjian pokok.

35
Hak gadai ini berbeda dengan gadai dalam pasal 1150 KUH
perdata yang obyeknya adalah benda-benda bergerak.
d. Pemilik tanah berhak untuk membeli kembali tanahnya dengan
cara mengembalikan uang atau barang yang pernah
diterimanya sebagai utang. Dalam ketentuan adat, batas
waktunya tergantung pada perjanjian antara uang untuk
menebus kembali utangnya.
4.6.2. Faktor-faktor yang mendorong terjadinya transaksi gadai
a. Dari sisi pemberi gadai (pemilik tanah)
 Faktor yang bersifat religius magis seperti kebutuhan
upacara-upacara ritual yang membutuhkan banyak biaya.
 Faktor belis
 Gotong royong seperti kepentingan kekerabatan
b. Dari sisi penerima gadai/pemilik barang atau uang
Ingin mendapatkan hasil tanah yang akan dikuasainya dengan
cara ingin mendapatkan hasil tanah yang akan dikuasainya
dengan cara menyediakan barang atau uang yang dibutuhkan
orang lain (pemilik tanah).
4.6.3. Jangka waktu perjanjian gadai
Hukum adat mengenal dua macam penetapan waktu menebus
yakni:
a. Waktu penebusan tidak ditetapkan ; jika tidak ditentukan maka
penebusan tergantung pada kemampuan pemilik tanah dengan
dasar setiap waktu pemilik tanah berhak melakukan penebusan.
b. Jangka waktu ditentukan
Meskipun jangka waktu ditentukan tetapi tidak berarti hak
milik atas tanah dengan sendirinya berpindah kepada pemegang
gadai.
Setelah berlakunya UUPA maka jangka waktu diatur dalam
pasal 7 ayat (2) UU No.56 PP/1960 sebagai berikut :
“Barang siapa menguasai tanah pertanian dengan hak gadai
yang pada mulanya berlaku peraturan ini sudah berlangsung
tujuh tahun atau lebih wajib mengembalikan tanah itu kepada
pemiliknya dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada
diatasnya selesai dipanen dengan tidak menuntut pembayaran
uang tebusan.”
Berdasarkan keputusan MA tanggal 15 Januari 1969 No 420
K/SIP/1968 dan No 810 K/SIP 1970 bahwa ketentuan pasal 7
bersifat memaksa.
4.6.4. Pembebanan dan Peralihan
Pemegang hak gadai dapat mengusahakan sendiri tanah yang
digadaikan kepadaya dan dapat pula membuat perjanjian dengan

36
pihak lain untuk mengusahakan tanah tersebut tetapi tidak boleh
jual lepas.
Tetapi untuk tidak sampai menimbulkan kerugian pemiliknya maka
setiap perbuatan untuk itu harus dengan seijin pemilik tanahnya.
4.6.5. Hapusnya Hak Gadai
Jika :
1. Terjadi penebusan
2. Sudah berlangsung tujuh tahun
3. Dicabut untuk kepentingan umum

4.7. Perjanjian Bagi Hasil


4.7.1. Pengertian
Menurut Boedi Harsono perjanjian bagi hasil adalah perjanjian
antara pemilik tanah dengan pemilik lain yang disebut penggarap
diperkenankan oleh pemilik untuk menyelenggarakan usaha
pertanian diatas tanah tersebut sedangkan hasil dibagi menurut
imbangan yang sudah ditentukan sebelumnya.
Berdasarkan ketentuan pasal 1 UU No.2 / 1960
Perjanjian bagi hasil adalah perjanjian dengan nama apapun juga
yang diadakan antara pemilik disuatu pihak dan seseorang atau
badan hukum pada lain pihak yang dalam UU ini disebut
penggarap berdasarkan perjanjian mana penggarap diperkenankan
oleh pemilik tersebut untuk menyelenggarakan usaha pertanian di
atas tanah pemilik, dengan pembagian hasilnya antara kedua belah
pihak.
Yang dimaksud dengan penggarap ialah setiap orang atau badan
hukum yang mengusahakan tanah pertanian yang bukan
miliknya/dibawah penguasahaannya didasarkan atas perjanjian bagi
hasil.
Selain penggarap ada juga dikenal dengan buruh tani yakni orang
yang mengerjakan tanah orang lain dengan memperoleh dalam
bentuk upah dalam bentuk uang atau hasil setelah menyelesaikan
suatu jumlah pekerjaan tertentu ataupun diperhitungkan
berdasarkan lawan kerja.
Perbedaan antara penggarap dengan buruh tani terletak pada jumlah
yang diterima :
a. Penggarap menerima hasil pertanian setelah panen yang setiap
panen dapat saja berubah sesuai dengan hasil ang diperoleh,
sedangkan buruh tani memperoleh upah tidak tergantung pada
berapa besar hasil panen yang akan diperoleh orang yang
membayarnya.

37
b. Perbedaan yang lain, dilihat dari saat menerima bagiannya,
buruh tani menerima upah pada saat selesainya pekerjaan yang
diberikan kepadanya sedangkan penggarap harus setelah panen.
4.7.2. Obyek Perjanjian Bagi Hasil
Yang menjadi sasaran pokok dalam perjanjian ini bukanlah tanah
melainkan hasil tanah, sehingga transaksi tidak perlu didaftarkan
haknya pada kantor pendaftaran tanah.
Hasil tanaman yang dimaksud adalah tanaman palawija atau
tanaman umur pendek.
4.7.3. Besarnya Pembagian Hasil
Besarnya selalu berdasarkan kesempatan pada pihak. Hasil yang
dibagi adalah hasil bersih yakni hasil kotor dikurangi biaya
produksi tentang siapakah yang berhak mendapatkan bagian biaya
produksi tersebut sangat tergantung pada siapakah yang telah
menanggung biaya itu pada saat tergantung pada siapakah yang
telah menanggung biaya itu pada saat mengusahakan.
Rumus pembagian hasil adalah
1:1 Untuk tanaman padi sawah
2/3 :1/3 (penggarap, pemilik) untuk palawija
Pembagian hasil diterima masing-masing pihak sesudah dikurangi
biaya produksi/hasil bersih.
Kewajiban membayar pajak bumi bangunan (PBB) dibebani
pemilik tanah dan penggarap mengembalikan tanah dalam keadaan
baik.
4.7.4. Bentuk Perjanjian
Tentang bentuk perjanjian diatur dalam pasal 3 UU No.2/1960
bahwa perjanjian bagi hasil harus dibuat dihadapan kepala desa dan
disahkan oleh camat dan kepala desa wajib mengumumkan pada
rapat terakhir.
4.7.5. Jangka Waktu
Lamanya perjanjian bagi hasil ditentukan berdasarkan tingkat
kesuburan tanah yakni tanah sawah sekurang kurangnya 3 tahun
dan tanah kering sekurang kurangnya 5 tahun, dan jika kurang dari
waktu tersebut memerlukan ijin camat.

4.7.6. Pemutusan hubungan pernjanjian


Sebelum jangka waktu berakhir pemilik dapat memutuskan
hubungan perjanjian dengan alasan penggarap lalai mengusahakan
tanah, menyerahkan sebagian hasil tidak sesuai dengan perjanjian,
tidak menanggung pupuk dan obat yang diperjanjikan dan
mengalihkan haknya kepada orang lain tanpa persekutuan pemilik.

4.7.7. Kewajiban pemilik dan penggarap

38
a. Dilarang menerima sistem ijon di atas perjanjian bagi hasil atau
dengan cara memberikan sesuatu kepada pemilik untuk
mendapatkan hak menggarap.
b. Pembayaran PBB dibebankan kepada pemilik
c. Penggarap harus menyerahkan tanah dalam keadaan baik pada
saat berakhirnya perjanjian.
4.8. Hak Sewa Tanah Pertanian
4.8.1. Pengertian
Boedi Harsono mengartikan sewa tanah pertanian adalah
penyerahan tanah pertanian kepada orang lain yang memberi
sejumlah uang kepada pemilik dengan perjanjian setelah memberi
uang itu menguasai tanah selama waktu yang ditentukan (misalnya
4 tahun, 5 tahun atau 5 musim).
Hak sewa ini merupakan spesis hak pakai maka tanah yang dapat
disewakan lagi kepada pihak ketiga dengan terlebih dahulu
mendapat ijin penyewa/pemilik.
4.8.2. Tentang jangka waktu hak sewa ini diatur dalam UUPA maupun
peraturan pelaksanaannya.
Mengenai jangka waktu dapat dilihat berdasarkan :
a. Groundhuwi Ordonantie (S. 1918 No.88) mengelompokan tiga
jangka waktu yakni :
 Jangka waktu sangat pendek : tidak lebih dari satu tahun
atau satu masa panen.
 Jangka waktu pendek : selama 1 tahun – 25 tahun
 Jangka waktu panjang : lebih dari 25 tahun
b. Dalam pasal 8a UU No.6 tahun 1952 yang digunakan dalam
pedoman sementara dalam pelaksanaannya.
 Persawahan yang paling lama satu tahun untuk tanaman
yang berumur satu tahun.
 Tanaman yang berumur lebih dari satu tahun hanya
diperbolehkan selama umur tanaman tersebut berdasarkan
kebiasaan.
 Dalam penetapan jangka waktu tersebut perlu mendapatkan
persetujuan PEMDA Propinsi
c. Dalam hukum adat tidak dikenal batas waktu yang jelas, sangat
tergantung kesepakatan para pihak tetapi dengan waktu
minimal dalam satu kali masa panen.
Catatan :
Dalam jangka waktu terjadi kadang timbul hal-hal yang tak terduga yang
tidak diperjanjikan. Untuk itu maka pedoman penyelesaian sementara
ditempuh dengan menggunakan ketentuan pasal 1592 KUHPer sbb :

39
“Jika dalam satu hak sewa untuk beberapa tahun selama waktu sewa
seluruh atau separuh menghasilkan setahun, telah hilang karena kejadian-
kejadian yang tidak dapat dihindarkan maka si penyewa dapat menuntut
suatu pengurangan uang sewa, kecuali jika ia telah memperoleh pergantian
kerugian karena penghasilan tahun-tahun yang lalu.
Hak menuntut tersebut dapat ditiadakan jika penyewa telah mendapatkan
keuntungan atas hasil usaha pada misim sebelumnya, yang diperkirakan
telah melampaui uang sewa keseluruhan atauun atas perjanjian bahwa
segala kejadian yang timbul menjadi tanggung jawab si penyewa”

4.8.3. Hak dan Kewajiban


Hak dan Kewajiban pemilik tanah
a. Kewajiban pemilik tanah (yang menyewakan)
1. Menyerahkan tanah yang akan disewakan
2. tidak menghalang-halangi penyewa untuk menikmati
kegunaan tanah yang disewanya.
b. Hak mendapatkan pembayaran uang sewa untuk memperoleh
kembali tanahnya dalam keadaan baik saat perjanjian berakhir.
Hak dan kewajiban penyewa
a. Kewajiban menyerahkan uang sewa atau hasil panen sesuai
perjanjian dan menggunakan tanah sesuai kesepakatan dan
mengembalikannya dalam keadaan baik.
b. Haknya menikmati kegunaan tanah yang disewakannya
4.8.4. Bentuk Perjanjian
Tidak ditentukan secara pasti oleh karena itu ditafsirkan dapat
dilakukan secara lisan.

4.9. Hak Menumpang


4.9.1. Pengertian
Menurut Boedi Harsono (1911) bahwa hak menumpang adalah hak
memberi wewenang kepada seseorang (penumpang) untuk
mendirikan dan menempati rumh di atas tanah pekarangan orang
lain.
4.9.2. Terjadinya hak menumpang
1. Hak menumpang terjadi atas kesepakatan pemilik
pekarangan dengan penumpang untuk mendirikan rumah tanpa
suatu kewajiban tertentu.
2. Terjadinya hak menumpang karena didorong
penghasilan, biasanya dibuat diantar mereka yang mempunyai
hubungan keluarga.
3. Hak menumpang tidak berakibat peralihan hak atas
tanah maka perjanjian cukup dibuat di bawah tangan.

40
4.9.3. Jangka waktu
Hak menumpang tidak ditentukan batas waktu minimum dan
maksimum tergantung pada kebutuhan dan kesepakatan kedua
belah pihak, sehingga sewaktu-waktu dapat diputuskan.
4.9.4. Peralihannya
Pada dasarnya hak tersebut bersifat pribadi yang tidak boleh
dialihkan kepada orang lain, sehingga jikapun terjadi maka pihak
ketiga tidak mendapat perlindungan hukum.

41
BAB VI
PENDAFTARAN TANAH

A. PENGERTIAN DAN TUJAUN


PENDAFTARAN TANAH
Pendaftaran tanah menurut Boedi Harsono adalah suatu rangkaian kegiatan
yang dilakukan secara teratur dan terus menerus untuk mengumpulkan,
menghimpun dan menyajikan keterangan – keterangan mengenai semua tanah
atau tanah-tanah yang ada pada suatu wilayah.
Menurut ketentuan pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah No 24 tahun 1997,
pendaftaran tanah adalah kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus
menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan dan pengolahan,
pembekuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis dalam
bentuk peta dan daftar mengenai bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun,
termasuk memberi surat tanda bukti hanya bagi bidang-bidang tanah yang sudah
ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang
membebaninya.
Kontinuitas penyelenggaraan pendaftaran tanah dimaksudkan agar
keterangan-keterangan dan informasi-informasi yang dihimpun dan disajikan
tersebut selalu up to date atau aktual, sehingga apa yang menjadi tujuan
pendaftaran tanah dapat tercapai.
Tujuan pendaftaran tanah menurut Bachtiar Effendi adalah :
a. Menyediakan data-data penggunaan tanah untuk pemerintah ataupun untuk
masyarakat
b. Jaminan kepastian hukum terhadap hak-hak atas tanah
Sedangkan menurut ketentuan pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997, pendaftaran tanah bertujuan
a. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum terhadap
pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain
yang terdaftar agar mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak
yang bersangkutan.
b. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan
termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang
diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang
tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar.
c. Untuk terselenggarakannya tertib administrasi.
Kepastian hukum dan hak atas tanah meliputi :
a. Kepastian mengenai subyek yaitu orang atau badan hukum yang menjadi
pemegang hak atas tanah atau pemilik atas satuan-satuan rumah susun
b. Kepastian mengenai obyek yakni letak, luas serta batas-batas tanah serta
satuan-satuan rumah susun dimaksud.
Data, informasi atau keterangan-keterangan mengenai tanah dan hak-hak atas
tanah serta satuan-satuan rumah susun terdiri atas :

42
a. Data, informasi atau keterangan yang bersifat teknis kadastral yang berisikan
keterangan mengenai letak, luas dan batas tanah serta satuan-satuan rumah
susun; data dan keterangan mana dapat ditemukan pada peta pendaftaran
tanah berupa surat ukur atau gambar situasi
b. Data, informasi atau keterangan yang bersifat yuridis yang berisikan
keterangan tentag subyek hak atas tanah atau satuan-satuan rumah susun,
peralihan dan pembebanannya, yang semuanya terhimpun dan tersajikan
dalam buku tanah.

B. SISTEM PENDAFTARAN TANAH


Secara umum dikenal tiga macam sistem pendaftaran tanah sebagai berikut
a. Sistem positif
Ciri umum sistem positif adalah data dan keterangan yang tercantum
dalam buku tanah dan surat ukur merupakan pembuktian yang mutlak
sehingga mempunyai kekuatan hukum yang sangat kuat dan tak terbantahkan
kepada pemegang meskipun bila dikemudian hari dia bukan pemilik yang
berhak atas tanah yang bersangkutan. Pihak ketiga yang tidak terdaftar dalam
buku tanah, yang beritikad baik sekalipun, tidak memperoleh perlindungan
hukum, meskipun sebenarnya dia yang berak atas tanah yang bersangkutan.
Sistem ini memberikan kepercayaan yang mutlak kepada buku tanah,
dan sertifikat tanah merupakan satu-satunya bukti hak atas sesuatu bidang
tanah tertentu, sehingga nama yang tercantum dalam sertifikat itu tidak dapat
diganggu gugat dan diganti oleh siapapun. Karena itu sistem ini memerlukan
tingkat ketelitian, kecermatan dan obyektivitas yang sangat besar baik
terhadap subyek maupun terhadap obyek hak atas tanah.
Kebaikan sistem positif adalah :
1. Peranan aktif dari pejabat/aparat
pelaksana akan mempertinggi rasa tanggung jawab sehingga akan
mengurangi kesalahan dalam pendaftaran
2. Adanya kepastian dari buku tanah
3. Mekanisme kerja dalam penerbitan
sertifikat mudah dicermati oleh orang awam
4. Mempertinggi kepercayaan masyarakat
terhadap manfaat pendaftaran tanah.
Beberapa kelemahan sistem ini adalah :
1. Memerlukan waktu yang lama
2. Membutuhkan biaya yang cukup besar sehingga sulit terjangkau oleh
masyarakat yang tidak mampu
3. Akibat kesalahan pihak petugas atau pelaksana, pihak ketiga yang
beritikad baik sekalipun tidak mendapat perlindungan hukum
4. Sengketa yang timbul semata-mata berada pada wewenang administratif

b. Sistem Negatif

43
Menurut sistem negatif jaminan kepastian dan perlindungan hukum
yang diberikan oleh pendaftaran tanah kepada pemegang hak atas tanah atau
satuan-satuan rumah susun tidak mutlak sifatnya, sehingga pihak ketiga
terutama yang beritikad baik tetap mendapat perlindungan hukum bilamna
yang bersangkutan dapat bahwa dialah yang sebenarnya berhak. Dengan
demikian nama yang tercantum dalam sertifikat dianggap benar selama pihak
lain tidak dapat membuktikan sebaliknya dimuka sidang pengadilan. Hakim
berwenang menentukan bersifat sah atau tidaknya sertifikat pertimbangan
kebenaran materil atau formal dalam penetapan pemberian hak atas tanah oleh
pejabat yang berwenang.
Berbeda dengan sistem positif, pemohon menurut sistem negatif harus
proaktif dalam mencari sesuatu yang diperlukan dalam proses pencarian
tanah, sedangkan petugas atau pendaftaran bersikap pasif dan mempercayai
kebenaran dan segala sesuatu yang disampaikan kepada pemohon tanpa
menyelidiki lebih jauh akan kebenaran data dan informasi yang disampaikan
pemohon tanpa menyelidiki lebih jauh akan kebenaran data dan informasi
yang disampaikan pemohon tersebut.
Kebaikan sistem ini adalah :
1. Hak pihak ketiga mendapat perlindungan hukum
2. Proses pendaftaran tanah berlangsung dengan mudah, cepat dan
murah.
Sedangkan kelemahan dari sistem ini adalah :
1. Sikap pasif dari pejabat atau petugas pelaksana dapat mengurangi
tanggung jawab terhadap pelaksanaan petugas.
2. Mekanisme kerja dalam penerbitan sertifikat kurang dimengerti oleh
orang awam
3. Mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap pendaftaran tanah terutama
terhadap sertifikat tanah.

c. Sistem Torens
Sistem ini diciptakan oleh Sir Richard Torens, seorang pejabat bea dan
cukai di Australia Selatan. Atas prakarsanya ketika menjabat jabatan menteri,
pada tahun 1857 diundangkan The Real Property Act. Karena itu sistem ini
dikenal dengan nama THE REAL PROPERTY ACT atau TORENS ACT,
yang mulai berlaku di Australia Selatan sejak 1 Juli 1858: Fiji, Canada,
Brasilia, Aljazair, Tunisa, Kongo, Spanyol, Denmark, Norwegia dan
Malaysia.
Menurut sistem ini setiap pemegang hak atas tanah harus mengajukan
permohonan agar tanah tersebut dicantumkan atas namanya. Permohonan
tersebut akan diteliti untuk memeriksa haknya, dan bila ternyata telah
memenuhi persyaratan yang meyakinkan kebenarannya, maka kepada

44
pemohon diberikan bukti hak berupa sertifikat hak atas tanah. Sertifikat tanah
menurut sistem Torens merupakan alat bukti bagi pemenang hak atas tanah
yang paling lengkap serta tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun juga
seperti halnya sistem positif.
d. Pendaftaran Tanah di Indonesia
1) Sistem pendaftaran tanah di Indonesia
Penyelenggara pendaftaran tanah di Indonesia sebagaimana diatur
dalam pasal 19 UUPA dan peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997
dimaksudkan untuk kepastian hukum dan kepastian hak atas tanah
sehingga disebut Rechts-Kadaster atau Eigendoms-Kadaster. Pasal 2
Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 menyatakan bahwa
penyelenggaraan pendaftaran tanah terdasar atas asas sederhana, aman,
terjangkau, mutahir dan terbuka.
Asas sederhana dalam pendaftaran tanah dimaksudkan agar
ketentuan-ketentuan pokok dalam prosedurnya dengan mudah dipahami
oleh pihak-pihak yang berkepentingan, Terutama para pemegang hak atas
tanah.
Sedangkan asas aman dimaksudkan untuk menunjukan bahwa
pendaftaran tanah perlu diselenggarakan secara teliti dan cermat sehingga
hasilnya dapat memberikan jaminan kepastian hukum sesuai tujuan
pendaftaran tanah itu sendiri.
Sedangkan asas terjangkau dimaksudkan terjangkau bagi pihak –
pihak yang memerlukan, khususnya dengan memperhatikan kebutuhan
dan kemampuan golongan ekonomi lemah, pelayanan yang diberikan
dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah harus bisa terjangkau
oleh para pihak yang memerlukan.
Asas mutahir dimaksudkan kelengkapan yang memadai dalam
pelaksanaannya dan kesinambungan dalam pemeliharaan datanya. Data
yang tersedia harus menunjukan keadaan yang mutahir. Untuk itu perlu
diikuti kewajiban mendaftar dan pencatatan perubahan-perubahan yang
terjadi di kemudian hari. Asas mutahir menuntut dipeliharanya data
pendaftaran tanah itu sendiri.
Sedangkan asas terjangkau dimaksudkan terjangkau bagi pihak-
pihakyang memerlukan, khususnya dengan memperhatikan kebutuhan dan
kemampuan golongan ekonomi lemah, pelayananyang diberikan dalam
rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah harus bisa terjangkau oleh para
pihak yang memerlukan.
Asas mutahir dimaksudkan kelengkapan yang memadai dalam
pelaksanaannya dan kesinambungan dalam pemeliharaan datanya. Data
yang tersedia harus menunjukan keaddan yang mutakhir. Untuk itu perlu
diikuti kewajiban mendaftar dan pencatatan perubahan-perubahan yang
terjadi dikemudian hari. Asas mutakhir menuntut dipeliharanya data
pendaftaran tanah secara terus menerus dan berkesinambungan sehingga

45
data yang tersimpan dikantor pertanahan sesuai dengan keadaan yang
terjadi dilapangan, dan masyarakat dapat memperoleh data yang benar
setiap saat. Untuk itulah diberlakukan pula asas terbuka.
Sementara itu pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun
1997 dan pasal 19 ayat (2c) UUPA menyatakan bahwa, sertifikat
merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebai alat pembuktian yang
kuat mengenai data fisik dan yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada
dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan.
Dari ketentuan-ketentuan tersebut tampak bahwa sistem pendaftaran
tanah yang berlaku di Indonesia adalah sistem negatif yang tidak murni,
yang oleh Boedi Harsono disebut sistem negatif bertendes positif dan oleh
Mariam Darus Badrulzaman disebut sistem campuran. Hal ini secara
tegas diatur dalam pasal 32 ayat (2) yang menyatakn bahwa dalam hal hak
atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat atas nama orang atau
badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan
secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak
atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak apabila dalam
waktu 5 tahun sejak diterbitkan sertifikat itu telah tidak mengajukan
keberatan tertulis kepada pemegang sertifikat, kepala kantor pertanahan
dan ke pengadilan mengenai penguasaan tanah dan penerbitan sertifikat
tersebut. Ketentuan ini bertujuan pada suatu pihak tetap berpegang pada
sistem publikasi negatif dan pada pihak lain yang secara seimbang
memberikan kepastian hukum kepada pihak yang dengan itikad baik
menguasai sebidang tanah dan didaftar sebagai pemegang hak dalam buku
tanah dan sertifikat sebagai tanda buktinya yang berlaku dan sebagai bukti
yang kuat.

2) Pelaksanaan Pendaftaran Tanah di Indonesia


(a) Penyelenggara dan Pelaksanaan Pendaftaran Tanah
Penyelenggaraan pendaftaran tanah di Indonesia adalah Badan
Pertanahan Nasional. Pelaksanaannya di Kabupaten atau Kota Madya
adalah Kepala Kantor Pertanahan. Dalam melaksanakan tugasnya
Kepala Kantor Pertanahan dibantu oleh :
1. PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) atau PPAT
sementara untuk membaut akta pembebanan hak tanggungan, dan
akta peralihan hak baik atas bidang tanah ataupun satuan-satuan
rumah susun
2. Pejabat lelang untuk pembuatan risala lelang
3. Panitia ajudikasi untuk pelaksanaan pendaftaran tanah
secara sistematis.

(b) Obyek dan kegiatan pendaftaran tanah


Obyek tanah meluputi :

46
1. Bidang – bidang tanah yang mempunyai hak milik, hak
guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai
2. Tanah hak pengolahan
3. Tanah wakaf
4. Hak milik atas satuan rumah susun
5. Hak tanggungan
6. Tanah Negara
Pelaksanaan pendaftaran tanah dilakukan dengan dua cara :
1. Secara Sistematik
2. Secara Sporadik
Pendaftaran tanah secara sistematis adalah kegiatan pendaftaran
tanah untuk pertama kalinya yang dilaksanakan secara serentak
disemua obyek tanah yang belum terdaftar dalam wilayah atau
bagian wilayah satu Desa atau Kelurahan. Pendaftaran tanah secara
sistematis dilaksanakan atas dasar suatu rencana kerja yang
dilaksanakan oleh wilayah-wilayah yang ditetapkan oleh menteri.
Pendaftaran tanah secara sporadik adalah kegiatan pendaftaran
tanah untuk pertama kali yang dilakukan oleh obyek pendaftaran
tanah dalam wilayah atau wilayah desa atau Kelurahan secara
individual atau masal. Pelaksanaannya atas permintaan pihak yang
berkepentingan.
Baik pendaftaran tanah secara sistematis atau Sporadik satuan-
satuan wilayahnya adalah desa atau Kelurahan kecuali untuk
pendaftaran tanah hak guna usaha, hak pengelolahan, hak tanggungan
dan tanah negara yang satuan wilayah tata usahanya pendaftarannya
adalah Kabupaten/Kota Madya.
Kegiatan – kegiatan yang dilakukan dalam pendaftaran tanah
terdiri atas :
1. Kegiatan untuk pertama kalinya meliputi :
a. Pengumpulan dan pengolahan data fisik
b. Pembuktian hak dan pembukuannya
c. Penerbitan sertifikat
d. Penyajian data fisik dan data yuridis
e. Penyimpanan daftar umum dan dokumen
2. Kegiatan daftar pemeliharaan tanah meliputi :
a. Pendaftaran peralihan dan pembebanan hak
b. Pendaftaran perubahan data dan tanah lainnya

(c) Sertifikat Tanah


Penerbitan dan pemberian sertifikat tanah merupakan salah
satu kegiatan yang sangat menentukan dalam kegiatan pendaftaran
tanah. Sertifikat tanah menurut pasal 19 ayat (2c) UUPA dan pasal 32
Peraturan Pemerintah No. 24, merupakan surat tanda bukti hak yang

47
berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Dengan demikian fungsi
sertifikat tanah terutama terletak dalam bidang pembuktian. Dengan
sertifikat, dengan mudah dapat menentukan status dan subyek hukum
yang menguasai tanah, beban dan peristiwa-peristiwa hukum yang
pernah terjadi atas tanah tersebut, letak, luas dan batas-batas tanah
dimaksud. Hal-hal tersebut dapat diketahui melalui buku tanah dan
surat ukur atau gambar situasi. Dengan sertifikat tanah kita tidak
memerlukan alat pembuktian lain. Selama belum dibuktikan
sebaliknya maka apa yang dicantumkan dalam sertifikat menurut
hukum harus diterima sebagai keterangan yang benar. Apalagi
menurut ketentuan pasal 32 ayat 2 Peraturan Pemerintah No. 24
Tahun 1997 bahwa pihak lain yang merasa mempunyai hak atas
tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksana hak tersebut apalagi
dalam waktu 5 tahun sejak diterbitkannya sertifikat itu tidak
mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertifikat dan
Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak
mengajukan gugatan ke pengadilan mengenai penguasa tanah atau
penerbitan sertifikat tersebut.
Melalui fungsi sertifikat tanah yang demikian itu maka
pemegang hak atas tanah dapat menggunakan haknya secara aman
dan tenang.

48
BAB VII
KONVERSI HAK ATAS TANAH

A. Asas – Asas Konversi


Konversi hak atas tanah adalah perubahan hak-hak atas tanah lama
menjadi hak-hak atas tanah menurut UUPA. Hak –hak lama dimaksud adalah
hak-hak atas tanah menurut hukum perdata barat dan hak-hak atas tanah
menurut hukum adat.
Konversi hak-hak lama menjadi hak yang baru pada dasarnya terjadi
karena hukum dan terjadi dengan sendirinya. Konversi yang terjadi karena
hukum, apabila perubahan suatu hak menjadi sah setelah mendapat keputusan
dari pejabat yang berwenang ditunjuk berdasarkan peraturan perundangan. Hak
ini diperoleh berdasarkan tindakan aktif melalui prosedur permohonan
Terjadinya konversi dengan sendirinya yakni perubahan hak secara pasif
tanpa melalui permohonan hak dan penetapan dari instansi berwenang seperti
hak milik adat menjadi hak milik.

B. Konversi Hak Eigendom


Konversi hak eigendom diatur dalam pasal 1 ketentuan konversi UUPA
kepada orang asing dan badan hukum yang mempunyai hak eigendom atas
tanah yang memenuhi syarat pasal 21UUPA dapat dikonversikan menjadi hak
milik.
Bagi yang tidak memenuhi syarat diberikan waktu paling lama satu tahun
untuk mengkonversikan haknya menjadi hak pakai, hak guna bangunan dan
hak guna usaha.
Hak eigendom kepunyaan badan hukum yang memenuhi persyaratan
dapat dikonversikan menjadi hak milik.
Hak eigendom kepunyaan pemerintah negara asing yang dipergunakan
untuk keperluan rumah kepala perwakilan dan gedung kedutaan yang menjadi
hak pakai akan berlangsung selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan
tersebut.
Hak eigendom kepunyaan orang asing, warga negara rangkap dan badan-
badan hukum yang tidak ditunjuk dengan Peraturan Pemerintah dapat
dikonversikan haknya menjadi hak guna bangunan dengan jangka waktu 20
tahun.
Hak eigendom dibebani dengan hak erpacht, hak opstal, hak hypotek dan
hak- hak lain dikonversikan menjadi hak guna bangunan paling lama 20 tahun.
Konversi hak-hak adat atas tanah menjadi hak – hak menurut UUPA
tidak dikenakan pembatasan waktu.

C. Konversi Hak Erpacht Untuk Perusahaan


Kebun Besar dan Hak Konsensi dan Sewa untuk Perusahaan Kebun
Besar.

49
Untuk Perusahaan Kebun Besar
Hak erpacht untuk perkebunan besar dikonversi menjadi hak guna usaha.
Hak konsesi dan sewa untuk mengusahakan di atas tanah swapraja berdasarkan
pemberian kepada swapraja.
Hak sewa adalah hak sewa atas tanah negara dan tanah bekas swapraja dapat
dikonversikan menjadi hak guna usaha.

D. Konversi Hak Opstal dan Erfpacth Untuk


Perumahan
Hak opstal
Hak opstal dan hak erfpacht atas hak eigendom dapat dikonversi menjadi hak
guna bangunan setelah mengkonversi hak eigendom menjadi hak milik.
Hak opstal dan hak erfpacht untuk perumahan dapat dikonversikan menjadi hak
guna bangunan yang berlangsung sisa waktu tetapi paling lama 20 tahun.

E. Konversi Hak-Hak Lainnya


Hak agrarisch eigendom dikonversi menjadi hak milik hak guna bangunan atau
hak guna usaha.
Hak eigendom kepunyaan pemerintah negara asing yang digunakan untuk
rumah kediaman kepala perwakilan dkonversi menjadi hak pakai dengan tidak
dibatasi jangka waktu berlaku.
Tanah – tanah kepunyaan perwakilan asing dengan hak opstal dan hak ertpacht
dikonversi menjadi hak guna bangunan berlangsung selama siswa waktu tetapi
paling lama 20 tahun.

50
BAB VIII
PERALIHAN HAK ATAS TANAH

A. PENGHIBAHAN TANAH
1. Pengertian dan Dasar Hukum
Peralihan hak atas tanah diketemukan dalam pasal 19 pasal 26 UUPA.
Penghibaan bertujuan mencegah terjadinya percekcokan diantara para ahli
waris atau karena balas jasa.
Menurut B.Ter Haar, dimaksudkan dengan penghibaan adalah diwaktu
anak menjadi dewasa dan pergi meninggalkan rumah orang tuanya untuk
mencari dan memulai berumah tangga, maka acapkali anak-anak sudah
dibekali sebidang tanah pertanian dan tanah pekarangan.
Hilman Hadikusuma mengatakan dikala pewaris masih hidup dan
adakalanya pewaris telah melakukan penerusan atau pengalihan kedudukan
atau jabatan adat, hak atas harta kekayaan kepada ahlim waris utama
kepada aneka laki-laki tertua atau anak perempuan dapat juga diberikan
kepada anak angkat atau anak tiri, anak piara atau anak lainnya yang telah
banyak mengabdi, memberikan jasa-jasa.
R. Van Dijk, bahwa penghibaan dalam batas hukum waris sering terjadi
ketika anak-anak mulai berdiri sendiri sering telah mendapat bagian
warisan yang mungkin memang telah harus menjadi haknya nanti.

2. Masa Pemberian Penghibaan


Pemberian penghibaan merupakan suatu perjanjian diaman pihak yang satu
menyanggupi dengan Cuma-Cuma kepada pihak penerima hibah dan tidak
dapat dicabut kembali jika tidak diperjanjikan.meskipun demikian penerima
hibah selalu memegang tanggung jawab dalam penggunaan hak sesuai
dengan isi pemberian hibah dan tidak boleh mengalihkan hak.

3. Hak dan Kewajiban


Hibah adalah suatu perjanjian dimana pihak yang satu menyanggupi dengan
Cuma-cjma kepada pihak penerima hibah dan tidak dapat dicabut kembali
jika tidak diperjanjikan. Meskipun demikian penerima hibah selalu
memegang tanggung jawab dalam penggunaan hak sesuai dengan isi
pemberian hibah dan tidak boleh mengalihkan hak.

4. Yang berhak memberi dan menerima hibah


Setiap orang pada dasarnya diperbolehkan memberi dan menerima hibah
kecuali dilarang oleh peraturan perundangan seperti warga negara aisng,
belum dewasa dan terganggu ingatan. Obyek dihibahkan adalah benar-
benar milik pemberi hibah dan berada dibawah penguasaan pemilik. Berhak
sebagai penerima hibah adalah warganegara Indonesia dan badan hukum
yang ditunjuk memperoleh hak milik atas tanah.

51
5. Proses Penghibahan
Berdasarkan ketentuan padal 19 UUPA, maka setiap perbuatan yang
bermaksud menghibahkan tanah harus dibuat oleh/di hadapan Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT) dengan dibuktikan akte hibah pihak yang
bersangkutan mendaftarkan haknya di Kantor Pertanahan Kabupaten.
Akte hibah berfungsi sebagai alat pembuktian pernah terjadinya peristiwa
hukum mengenai subyek dan obyek, sehingga mencegah atau mengurangi
kemungkinan yang akan timbul yang dapat merugikan di antara salah satu
pihak yang terlibat atau pihak ketiga.

6. Berakhirnya hibah
Sama halnya dengan penguasaan tanah dengan hak – hak lainnya, hak
menerima hibah dapat hilang apabila penerima hibah tidak menepati
kehendak pemberi hibah, penghibaan yang mengakibatkan
kerugian/kehilangan para ahli waris dan penerima hibah mencoba
membunuh pehibah.

B. JUAL BELI TANAH HAK MILIK


Jual beli tanah adalah si penjual (pemilik) melepaskan tanahnya untuk
selamanya dengan tidak ada hak lagi bermaksud membeli kembali sejak
menerima sejumlah pembayaran uang atau barang secara tunai dari pihak
pembeli.
a. Penjual
Berhak membuat transaksi jual-beli tanah adalah subyek yang berhak atas
tanah dan berwenang untuk menjualnya dan tidak dilarang oleh peraturan
perundangan.
Berdasarkan ketentuan pasal 20 ayat 2 UUPA menunjukan hanyalah hak
milik yang dapat dijual belikan, sedangkan hak yang lain tidak
diperbolehkan. Namun terdapat batasan dengan tidak memberi semua
pemilik dapat penjual tanahnya apabila hak milik bersama atau tanah dalam
keadaan sengketa. Pembatasan juga ditujukan kepada mereka yang belum
cukup atau terganggu ingatan kecuali melalui perantaraan/orang tuanya.
Larangan untuk menjual juga ditujukan kepada pemilik tanah yang berhak
dan berwenang untuk menjualnya tetapi tidak dapat menjualnya karena
larangan peraturan perundangan seperti melarang menjual tanah pertanian
di bawah dua hektar.
Pembeli adalah mereka yang berhak membeli karena tidak dilarang
memperoleh tanah dengan hak milik seperti warganegara Indonesiadan
badan-badan hukum yang ditunjuk dengan peraturan. Larangan ini banyak
dilanggar dengan menggunakan sistem jual-beli Ali Baba atau topeng
dimana si pembeli orang asing/Baba dengan menggunakan Ali dalam
proses transaksi.

52
Cara penyelundupan peraturan ini adalah perbuatan yang dilarang dan dapat
mengakibatkan batalnya perjajian dapat dibatalkan berarti setiap jual beli
tanah dianggap sah sejak diadakan jual beli tanah sampai dengan keputusan
hakim dengan mengingat pihak ketiga yang beritikad baik. Bertindak dalam
transaksi pada dasarnya dilakukan oleh penjual/pembelian sendiri, tetapi
jika berhalangan dapat dikuasakan kepada orang lain tanpa melupakan
kejelasan identitas yang bersangkutan meliputi : nama, umur,
kewarganegaraan, pekerjaan dan tempat tinggal. Bila melalui kuasa
seharunya disertai dengan surat khusus yang membatasi tindakan penerima
kuasa, sehingga mencegah terjadinya pemalsuan dan penipuan.

b. Sistem Jual Beli Tanah


Dalam perjalanan sejarah hukum rupanya adanya perbedaan. Cara jual –
beli tanah menurut hukum adat setelah berlakunya UUPA.
Perbedaannya terletak pada :
1) Hukum adat mengenal sistem panjar/persekot, hal ini
tidak dikenal dalam UUPA
2) Jual – beli tanah adat dilakukan di hadapan kepala
persekutuan masyarakat desa, tetapi setelah berlakunya UUPA, jual-beli
tanah dibuat oleh/di hadapan PPAT
3) Jual – beli tanah dalam masyarakat hukum adat tidak
mengenal bentuk tertentu sedangkan oleh UUPA menentukan suatu
bentuk tertentu.
4) Bilamana terjadi pelanggaran oleh kepala persekutuan
masyarakat hukum tidak mengakibatkan sanksi hukum, sedangkan
bilamana larangan tersebut dilanggar PPAT akan dikenakan sanksi
hukum.
5) Hukum adat tidak mengenal lembaga pendaftaran tanah
dan sertifikat, hal mana dikenal UUPA.
Sistem jual-beli tanah terdapat perbedaan penafsiran kedudukan pasal 19
dan pasal 26 UUPA.
Boedi Harsono berpendapat berdasarkan ketentuan pasal 5 UUPA maka
dianut sistem kontan / tunai, maka peralihan hak atas tanah telah terjadi
pada waktu dibuatnya akte tanah, sedangkan pendaftaran hak hanya bersifat
tuntutan administrasi.
Pendapat ini sama dengan keputusan MA tanggal 19-9-1970 No.
123K/SIP/1970
Apabila pendapat ini yang digunakan, dapat saja mengalami berbagai
kesulitan antara lain :
a. Adanya penolakan pendaftaran peralihan hak oleh Pejabat Kantor
Pendaftaran Tanah.
b. Kurang menjamin kepastian hukum bagi pihak pembeli

53
c. Bertentangan dengan tuntutan zaman dunia modern dalam pemanfaatan
hak atas tanah.
Berbeda halnya dengan keputusan MA tanggal 18-12-1971 No.
598/SIP/1970 berpendapat bahwa jual-beli tanah yang tidak dilakukan
dihadapan PPAT adalah tidak sah menurut hukum sehingga pembeli tidak
perlu mendapat perlindungan hukum.

c. Asas jual-beli tanah yang berhubungan dengan bangunan.


Hubungan tanah dengan bangunan pada umumnya menganut asas vertikal
dan asas horisontal.
Sistem hukum Eropa menganut asas vertikal yang memandang hubungan
antara tanah dengan tanaman dan banguan di atas merupakan satu kesatuan
yang tidak dapat dipisahkan, sehingga siapa yang dapat membuktikan
sebagai pemilik dari tanah berarti sebagai pemilik rumah dan tanaman
diatasnya.
Berbeda dengan asas horisontal yang dianut hukum adat, bahwa tanah
terlepas dari rumah dan tanaman di atasnya, sehingga setiap pemilik tanah
tidak dengan sendirinya memiliki rumah dan tanaman diatasnya
C. TUKAR MENUKAR TANAH
Tukar menukar tanah adalah cara memperoleh tanah dengan peralihan
hak atas tanah yakni pemiliknya melepaskan tanahnya untuk selamanya setelah
menyerahkan tanah tersebut kepada pihak lain dan pada saat bersamaan
memperoleh tanah dari pihak lain.
Menjadi subyek penukaran adalah tanah dengan status hak milik,
penukaran tanah dengan tanah biasanya didorong oleh perbedaan tujuan
penggunaan tanah atau letak tanah. Meskipun subyek penukaran tanah hak
milik, tetapi tidak semua tanah hak milik dapat dijadikan obyek perjanjian,
mengingat beberapa hak atas tanah dilarang dialihkan tanpa berlebihan dahulu
mendapat persetujuan pejabat yang berwenang.
Larangan tersebut antara lain :
a. Warganegaraan asing yang mempunyai hak milik
b. Pemilikan tanah kelebihan luas maksimum
c. Pemelikan tanah bersama
d. Tanah keadaan sengketa
e. Tanah dalam keadaan sitaan atau tanggungan utang.
Sebagai subyek dalam perjanjian adalah setiap orang yang memenuhi
persyaratan hukum dan khususnya tanah pertanian haruslah penerimanya dalam
petani.
Untuk sahnya tukar-menukar tanah haruslah dibuat oleh atau dihadapan PPAT,
dengan akte tersebut yang bersangkutan mendaftarkan haknya di Kantor Badan
Pertanahan untuk memperoleh sertifikat atas namanya sendiri.

D. PEWARISAN HAK ATAS TANAH

54
Pewarisan hak atas tanah adalah beralihnya hak-hak karena proses
alamiah, proses mana berjalan tanpa disadari oleh pemiliknya. Pewarisan
adalah proses peralihan hak-hak atas tanah setelah meninggalnya pewaris
kepada ahli warisnya.
Berhubungan belum adanya kodifikasi dan unifikasi hukum waris di
Indonesia, sehingga hukum waris yang berlaku masih bersifat pluralitas, yaitu
hukum adat waris, hukum waris islam dan hukum waris bagi mereka yang
tunduk pada BW.
B. Ter Haar mengartikan hukum adat waris meliputi aturan-aturan hukum
yang berlainan dengan proses dari abad ke abad yang menarik perhatian adalah
proses penerusan dan peralihan kekayaan materiil dan im materiil dari turunan
ke turunan.
Sujono Wignjodipuro mengertikan hukum waris meliputi norma-norma
hukum yang menetapkan harta kekayaan baik yang materiil maupun yang
imateriil yang manakah dari seorang yang dapat diserahkan kepada
ketentuannya serta kekaligus juga mengatur saat, cara dan proses peralihan.
Soepomo mengartikan hukum adat waris memuat peraturan-peraturan
yang mengatur proses meneruskan serta mengoper barang-barang berwujud
dan tidak berwujud benda dari suatu angkatan manusia kepada keturunanya.
Meskipun adanya perbedaan pendapat, namun semuanya mengakui adanya tiga
unsur pokok warisana ialah adanya pewaris, ahli waris dan harta warisan.
Dapat menjadi ahli waris hak atas tanah menurut hukum adat ditentukan
oleh dasar pelacakan garis keturunan yaitu patental, patrilineal atau matrinela.
Meskipun terdapat perbedaan dalam menentukan siapa yang berhak mewarisi
tanah tetapi adanya kesamaan yang berhak sebagai ahli waris adalah anak
kandung anak angkat dan janda. Anak angkat dan janda hanya berhak mewarisi
harta kekayaan orang tua angkat dan harta kekayaan suami, sedangkan harta
kekayaanyang berasal dari leluhur tidak berhak mewarisinya

55
BAB IX
LANDREFORM

A. PENGERTIAN
Landreform secara harafiah berasal dari bahasa Inggris yaitu Land artinya
tanah dan reform artinya perubahan, perombakan.
Menurut Boedi Harsono, landreform dibedakan atas pengertian dalam arti
luas dan dalam arti sempit. Dalam arti luas landreform disebut juga Agraria
reform yang dikenal dengan 5 program (panca program agraria) yaitu :
1. Pembaharuan Hukum Agraria, melalui unifikasi hukum yang
berkonsepsi hukum nasional dan pemberian jaminan kepastian hukum.
2. Penghapusan hak-hak asing dan konses-konsesi kolonial atas tanah;
3. Mengakhiri penghisap feodal secara berangsur-angsur;
4. Perombakan pemikiran dan penguasaan tanah serta hubungan-
hubungan hukum yang bersangkutan dengan penguasaan tanah dalam
mewujudkan pemerataan kemakmuran dan keadilan;
5. Perencanaan persediaan dan peruntukan dan peruntukan bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, serta penggunaannya secara
terencana sesuai dengan daya dukung dan kemampuannya.
Implementasi dari program dimaksud sudah tercakup pada semua materi-
materi dalam pokok-pokok bahasan terdahulu. Sedangkan dalam arti sempit
landreform hanya meliputi program ke-4 yaitu mengenai perombakan
mengenai pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan-hubungan hukum
yang bersangkutan dengan penguasaan tanah dalam mewujudkan pemerataan
kemakmuran dan keadilan.

B. OBJEK DAN PENGATURAN LANDERFORM


1. UUPA
Pengaturan landreform yang terutama terdapat dalam UUPA yang
merupakan induk landreform Indonesia. Beberapa pasal yang berkaitan
objek landreform adalah : pasal 6,7,10 ayat, 1,11,12 ayat 1,13,17.
2. UU No. 56 Prp Tahun 1960 Tentang Penetapan Luas
Tanah Pertanian. UU ini dikeluarkan sebagai pelaksana pasal 17 UUPA
yang menginginkan ditetapknya batas maksimum serta batas minimum
tanah pertanian.
3. PP No. 224 Tahun 1961 Tentang Pelaksanaan
pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Rugi. Melalui peraturan ini
dilakukan program redistribusi tanah.
4. UU No. 1 Tahun 1958 Tentang Penghapusan Tanah
Partikelir

56
5. UU No. 3 Tahun 1972 Tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Transmigrasi
Masih banyak lagi peraturan-peraturan lain yang mengatur mengenai
landreform.

57
DAFTAR PUSTAKA

A. P. Parlindungan, Komentar atas Undang – Undang Pokok Agraria, Mandar


Maju, Bandung, 1993.
..............................., Landreform Indonesia, Strategi dan Sasarannya, Mandar
Maju, Bandung, 1989
Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya,Sinar Grafika,
Jakarta 2007
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undnag
Pokok Agraria, Isi dan Pelaksaannua, Djambatan, 2007
Bernhard Limbong, Hukum Agraria Nasional, Margaretha Pustaka Jakarta, 2012
Erna Sri Wibawanti dan R.Murjiyanto, Hak Atas Tanah dan Peralihannya, Liberty
Yogyakarta, 2013
Eddy Ruchiyat, Politik Pertanahan Nasional Sampai Orde Reformasi, PT Alumni
Bandung, 2006
Hustiati, Agrarian Reform di Philipina dan Perbandingannya dengan Landreform
di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1990
H.Muchsin, Imam Koeswahyono dan Soimin, Hukum Agraria Indonesia Dalam
Perspektif Sejarah, PT Refika Aditama Bandung, 2007
Muhammad Bakri, Hak Menguasai Tanah Oleh Negara Paradigma Baru Untuk
Reformasi Agraria, Citra Media Jakarta 2007
Muchtar Wahid, Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah, Suatu
Analisis Dengan Pendekatan Terpadu Secara Normatif dan
Sosiologis, Republika Jakarta 2008
Urip Santoso, Hukum Agraria & Hak-Hak atas Tanah, Prenada Media, Jakarta,
2005.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria
Peraturan-peraturan lainnya yang terkait dengan materi pembelajaran.

58

Anda mungkin juga menyukai