Anda di halaman 1dari 11

4.

resolusi Jakarta tentang sustain developmet

Percepatan permbangunan yang dilakukan di kawasan ASEAN harus memenihi syarat bahwa
proses pembangunan tidak boleh merusak lingkungan yang jga diperlukan oleh generasi yang
akan dating. Berdasarkan hal itu ASEAN mengeluarkan resolusi Jakarta tentang pembangunan
yang berkelanjutan pada tanggal 30 oktober 1987, yang dikelurkan terlebih dahulu oleh deklarasi
Rio tentang pembangunan berkelanjutan.

Negara-negara ASEAN telah setuju untuk mendirikan badan lingkuan regional yang ;

a. Merekomendasikan garis-garis besar kebijakan lingkungan untuk mengimplementasikan


prinsip sustainable development
b. b) memnfasilitas, penginkorporasian pertimbangan lingkungan ke dalam program dan
aktivitas ASEAN committees:
c. memantau kualitas lingkungan dan Sumber daya alam untuk memungkinkan
pengkompilasian secara berkala Laporan Kondisi Lingkungan ASEAN (ASEAN State of
the Environment Reports): dan
d. meningkatkan kerja sama tentang permasalahan lingkungan.

5. Kuala Lumpur Accord 1990 tentang Lingkungan dan Pembangunan


Kuala Lumpur Accord tentang Lingkungan dan Pembangunan dikeluarkan di Kuala
Lumpur pada tanggal 19 Juni 1990. Accord ini dikeluarkan 2 tahun sebelum pelaksanaan
Konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan (the United Nations Conference
on Environment and Development atau UNCED). Accord ini meminta negara-negara
ASEAN menetapkan posisi yang sama terhadap kebutuhan pembagian tanggung jawab
dan pengalokasian tanggung jawab yang adil dalam upaya perlindungan lingkungan
global. Kuala Lumpur Accord dianggap sebagai embrio penolakan ASEAN terhadap
konsep lingkungan sebagai global commons and heritage bagi semua umat manusia, dan
sebagai pembenaran dari tuntutan kedaulatan permanen terhadap sumber daya alam dan
pembangunan. Kuala Lumpur Accord memberi penekanan pada pentingnya aksi regional
dalam mengelola sumber daya alam dan lingkungan, khususnya melalui pendekatan
harmonisasi (harmonization), seperti harmonisasi standar kualitas lingkungan, praktik
pencegahan pencemaran, dan evaluasi sumber daya alam.

Tapi, Accord ini tidak menyebutkan bagaimana pendekatan jitu dilaksanakan atau kapan
harus direalisasikan. Konsekuensinya, negara-negara anggota ASEAN pada akhirnya
mempunyai cara-cara yang berbeda dalam mengimplementasikannya, yang pada
gilirannya dapat menimbulkan perbedaan yang tak terarah. Misalnya, Singapura
mendirikan Joint Committee on the Environment dengan Malaysia dan Indonesia
berturut-turut pada tahun 1990 dan 1991, yang dikenal dengan sebutan Malaysia -
Singapore Joint Committee on the Environment (MSJCE) dan Singapore — Indonesian
Joint Committee on the Environment (SJCE). Baik MSJCE dan SIJCE dirancang untuk
mengadakan kerja sama untuk pengharmonisasian standar dan pemantauan lingkungan.2'
Pendirian MSJCE dan SIJCE sangat aneh karena negara-negara yang terlibat merupakan
negara pioneers pendiri ASEAN. Negara-negara ini seharusnya mendirikan kerja sama
seperti itu di bawah payung Kuala Lumpur Accord, yang seharusnya melibatkan semua
negara anggota ASEAN.
6. Resolusi singapura 1992 tentang lingkungan dan pembangunan
Diterapkan pada tanggal 18 februari 1992. Resolusi ini merefleksikan ergerakan
ASEAN ke arah pencapaian perimbangan yang pantas antara perlindungan
lingkungan dan pembangunan ekonomi dalam upaya untuk mencapai sustainable
development. Resolusi ini mengakui bahwa ASEAN perlu mengejar
ketertinggalannya dari upaya internasional untuk mengatasi masalah lingkungan
global seperti climate change melalui upaya yang saling menguntungkan antara
negara maju dan negara berkembang. Resolusi Singapura berisikan pernyataan-
pernyataan yang menghimbau Sokongan negara maju terhadap negara berkembang
dalam suatu upaya global untuk menyelesaikan masalah-masalah lingkungan global.

Ada tiga judul yang terkai dengan pencemaran atmosfer dalam Resolusi ini. Dalam
judul, “Urgent Measures to Combat Climate Change”, Menteri-Menteri Lingkungan
negara anggota ASEAN setuju untuk mengurangi gas rumah kaca (greenhouse gases)
jika negara maju, yang telah mengeluarkan jumlah komulatif CO? dalam jumlah
besar menyediakan pendanaan dan teknologi baru dan tambahan.
a. Judul kedua adalah “The Immediate Implementation of the Montreal Protocol
Interim Multilateral Fund”. Di sini, Resolusi mengajak pencepatan alih teknologi
yang ramah lingkungan dari negara maju ke negara berkembang. Resolusi Singapura
juga meminta agar kepentingan negara berkembang dimasukkan dalam amendemen
Montreal Protocol ke depan.
b. Di bawah judul ketiga “The Sustainable Management of all Forests”, Resolusi
Singapura hak berdaulat (sovereign right) negara-negara anggota ASEAN untuk
mengeksploitir hutan dengan cara berkesinambungan dan mengajak negara maju
untuk menghentikan semua bentuk peraturan unilateral yang menghentikan impor
kayu tropis (tropical timber). Negara maju dihimbau untuk membuat peraturan yang
transparan guna meningkatkan jumlah cakupan hutan negara maju sebagai bagian dari
tanggung jawab global (global responsibilities) dari negara maju.

7. Resolusi Bandar Seri Begawan tentang Lingkungan dan Pembangunan


Dalam merespons Deklarasi Rio dan Agenda 21, ASEAN menganggap perlu untuk
mengimplementasikan kedua hukum lunak internasional dimaksud di kawasan Asia
Tenggara dengan mengadopsi Rencana Aksi Strategis (Strategic Plan of Action).
Oleh karena itu, Resolusi Bandar Seri Begawan pada tanggal 26 April
1994menyetujui untuk:
a. Mengadopsi dan mengimplementasikan adopt and ASEAN Strategic Plan of
Action, yang secara utama ditujukan untuk merespons rekomendasi-rekomendasi
khusus Agenda 21, yang mengintrodusir standar kebijakan, yang menetapkan
tujuan kualitas lingkungan jangka panjang, dan berupaya untuk menciptakan
standar kualitas lingkungan yang diharmonisasikan.
b. Mendeklarasikan tahun 1995 sebagai Tahun Lingkungan ASEAN (ASEAN
Environment Year) untuk menggarisbawahi permasalahanpermasalahan
lingkungan ASEAN dan program-program kerja sama dan menstimulan
kesadaran masyarakat ASEAN terhadap isu-isu lingkungan, memperluas proses
partisipasi dalam arena lingkungan, dan menstimulan aktivitas regional di bidang
lingkungan.
c. Mengadopsi seperangkat Standar Kualitas Lingkungan yang Diharmonisasikan
(Harmonized Environmental Ouality Standards) untuk kualitas udara dan air
ambicnt dan mengimplementasikan standar dimaksud untuk mencapai target
menjelang tahun 2000.
d. Memperkuat kerja sama antara negara-negara anggota ASEAN guna menjamin
implementasi efektif keputusan Conference of the Purties (COP) HI Konvensi
Basel (the Busel Cunventiun).

8. Rencana kerja sama ASEAN tentang pencemaran lintas batas Negara


Rencana kerja sama ASEAN tentang pencemaran lintas batas Negara tahun 1995
merupakan tindak lanjut dari Kuala Lumpur Accord 1990, Resolusi Singapore 1990
dan Resolusi Bandar Seri Bengawan 1994, yang menggarisbawahi isu ini. Rencana
kerja sama ASEAN tentang Pencemaran Lintas Batas Negara terdiri dari 3 (tiga)
program, yaitu Pencemaran Udara Lintas Batas Negara, Pergerakan Limbah Beracun
Lintas Batas Negara, dan Pencemaran Lintas Batas Negara yang Bersumber dari
Kapal. Masing-masing program memiliki tujuan, strategi, aktivitas dan pengaturan
institusi yang akan mengimplementasikan program dimaksud. Program Pencemaran
Udara Lintas Batas Negara secara khusus difokuskan pada masalah asap yang telah
menjadi kejadian tahunan di Asia Tenggara selama beberapa tahun belakangan ini.
Sementara itu, pencemaran udara dari sumber-sumber lain tidak dibicarakan sama
sekali. Tujuan program ini adalah untuk memperkirakan sumber, penyebab, sifat serta
cakupan kejadian asap untuk mencegah asap: dan untuk mengembangkan dan
menerapkan rencana tanggap darurat nasional dan regional (national and regional
emergency response plans).“ Rencana tanggap darurat menetapkan bahwa strategi
jangka pendek terbaik untuk mengatasi masalah asap adalah dengan cara mendeteksi
dan mencegah kebakaran hutan melalui sistem deteksi dini (early warning systems),
melarang pembakaran biomass, untuk meminimalisir pergerakan sumber pencemaran
lokal selama episode asap, dan untuk mempromosikan investasi di bidang
penggunaan biomas alternatif.
Untuk mencapai tujuan Program Pencemaran Udara Lintas Batas Negara, kegiatan-
kegiatan berikut ini harus dilaksanakan:
a. mendirikan National Focal Points guna menginventarisir sumber daya dan
menyebarluaskan informasi:
b. memperbesar peran the ASEAN Specialized Meteorological Center (ASMO):
c. menetapkan prosedur pelaporan kebakaran,
d. menetapkan indeks kualitas udara bersama (common air guality index) dan
mengharmoniskan teknik sampel kualitas udara,
e. mengembangkan sistem derajat bahaya regional, berbagi ilmu pengetahuan dan
teknologi untuk mencegah dan
f. memitigasi kebakaran hutan, membuat mekanisme untuk memerangi kebakaran
hutan,
g. mengembangkan peran ASEAN Institute of Forest Management, dan
h. meningkatkan kemampuan regional untuk mencegah, memantau dan memitigasi
kebakaran hutan.“

Dalam mengatasi masalah pencemaran udara lintas batas negara, 3 (tiga) institusi
telah didirikan untuk melaksanakan beberapa tugas sesuai dengan spesialisasinya:
a. The ASEAN Specialized Meteorological Center (ASMC)
ASMC merupakan fasilitas untuk mengembangkan kemampuan khusus meramal
cuaca di Asia Tenggara. ASMC akan berfungsi sebagai focal point untuk
mengoordinasikan pendeteksian dan pemantauan pencemaran udara lintas batas
melalui kerja sama dengan badan meteorologi nasional dari masing-masing
negara anggota.
b. ASEAN Institute of Forest Management (AIFM)
Pengembangan peran AIFM diarahkan untuk meningkatkan skill dan kemampuan
di bidang pengelolaan kebakaran hutan, yaitu:
1) menciptakan hubungan dengan negara-negara maju dan organisasi-organisasi
multilateral sehubungan dengan penggunaan sistem penetapan tingkat bahaya api:
GIS dan teknologi remote sensing dalam memonitor kebakaran hutan, dan
memetakan area sumber api (fire-prone areas): mengembangkan dan
melaksanakan sistem penetapan tingkat
2) bahaya kebakaran hutan regional :
3) mengembangkan dan melaksanakan strategi regional untuk merespons tanggap
darurat kebakaran hutan, dan

4) mengoordinir pengembangan standar pelatihan yang dapat diterapkan.

c. ASEAN Working Group on Forestry

Pertemuan Keenam Pejabat-pejabat Lingkungan Senior ASEAN (the ASEAN


Senior Officials on the Environment atau ASOEN) yang diselenggarakan di Bali
tanggal 20-22 September 1995 setuju untuk mendirikan Satgas Asap (Haze
Technical Task Force atau HTTF) untuk mengoperasionalkan dan
mengimplementasikan langkahlangkah yang direkomendasikan oleh the ASEAN
Cooperation Plan on Transboundary Pollution sehubungan dengan pencemaran
udara, termasuk tugas-tugas berikut:

1) membatasi batasan kritis kebakaran hutan dan lahan, 2) mengidentifikasi masa-


masa kritis kejadian asap:

3) memfasilitasi pengumpulan dan penyebarluasan data meteorologis secara


pantas, termasuk foto satelit tentang titik api (“hotspots”) oleh ASMC dan negara
yang terkait,

4) mengembangkan sistem pemantauan yang pantas tentang — Jangkah-langkah


yang diambil sebagai dasar untuk memerangi kebakaran hutan dan lahan, dan
5) memantau serta melaporkan status proyek-proyek yang berhubungan dengan
pengelolaan dan pengaturan pencemaran asap lintas batas negara yang melibatkan
organisasi internasional dan negara maju.“?

Tugas HTTF sangat tergantung pada petunjuk operasional khusus. Tapi


sayangnya, petunjuk dimaksud tidak pernah dibuat. Oleh karena itu, HTTF tidak
efektif. Kebakaran Hutan dan Lahan 1997-1998 dianggap merefleksikan
ketidakefektifan HTTF melaksanakan tugasnya.

Untuk mengatasi kegagalannya mencegah kebakaran hutan dan lahan yang masif,
HTTF membuat Rencana Aksi Asap Regional (Regional Haze Action Plan atau
RHAP), yang dikukuhkan AMM pada bulan Desember

1997.49 Tujuan RHAP adalah sebagai berikut:

1) untuk mencegah kebakaran hutan dan lahan melalui perbaikan kebijakan


pengelolaan sumber daya alam dan penegakan peraturan perundang-undangan
yang relevan,

2) membuat prosedur operasional untuk memantau kebakaran hutan dan lahan:


dan

3) memperkuat kemampuan regional untuk pemadaman api dan upayaupaya


mitigasi lainnya.20

Tujuan RHAP sangat bagus secara tertulis tapi sangat susah untuk
mengimplementasikannya karena beberapa alasan. Pertama, “ASEAN way”
menghambat pelaksanaan tujuan pertama karena ASEAN keberatan untuk
mengintervensi masalah internal negara anggotanya, jadi ini membuat ASEAN
tidak mampu memperbaiki keabsenan sistem nasional Indonesia.2! Kedua, RHAP
hanya merupakan perjanjian yang tidak mengikat (non-binding agreement). Jadi,
pemantauan dan kepatuhan negara tidak bisa dipastikan. Ketiga, kurangnya
inisiatif dan sumber daya manusia merupakan hambatan lain bagi RHAP??
Menurut Prof. Robinson, RHAP tidak akan dapat berbuat banyak, dia percaya
bahwa RHAP pada dasarnya merupakan suatu himbauan bukan kewajiban untuk
pembuatan peraturan di tingkat nasional yang konsisten dan paralel. Prof.
Robinson juga menyimpulkan bahwa RHAP akan gagal karena RHAP tidak
menyebutkan upaya regional untuk mencegah dan menanggapi kebakaran hutan
dan lahan.

[15.20, 26/4/2022] ebiet: 9. Rencana Strategis Lingkungan ASEAN 1994 -1998

Pertemuan Keempat ASOEN di Bangkok tahun 1993 menyimpulkan bahwa


ASEAN harus menetapkan sebuah rencana aksi untuk menerapkan Agenda 21
yang diadopsi UNCED tahun 1992. Beberapa isu utama harus diperhitungkan
dalam membuat rencana aksi dimaksud. Pertama, kebutuhan untuk
mengharmoniskan tujuan kelompok kerja dan pentingnya penguatan pengaturan
kelembagaan. Kedua, pentingnya untuk mengidentifisir isu-isu regional prioritas,
termasuk implikasi lingkungan

dari (the ASEAN Free Trade Agreement atau AFTA), harus diinkorporasikan
dalam Rencana Aksi. Akhirnya, Rencana Aksi harus mengakui kebutuhan untuk
mendirikan posisi ASOEN di tingkat internasional seperti Komite Pembangunan
Berkelanjutan (the Commission on Sustainable Development atau CSD) dan
Komite Antar-Pemerintah tentang Keanekaragaman Hayati (the Inter-
Governmental Committee on the Convention on Biological Diversity

atau ICCBD).?254 Tujuan Rencana Aksi Strategis tentang Lingkungan (the


ASEAN Strategic Plan of Action on Environment) adalaha untuk:?55 merespons
rekomendasi khusus Agenda 21 yang menuntut aksi prioritas ASEAN, b.
memperkenalkan pengaturan kebijakan dan mempromosikan pengembangan
institusional yang merangsang integrasi faktorfaktor lingkungan dalam semua
proses pembangunan baik di tingkat

a. nasional maupun regional, membuat tujuan kualitas lingkungan jangka panjang


dan melakukan harmonisasi standar kualitas lingkungan untuk kawasan ASEAN,

mengharmoniskan arahan kebijakan dan meningkatkan kerja sama operasional


dan teknis tentang masalah-masalah lingkungan, dan melaksanakan aksi bersama
untuk mengatasi masalah lingkungan

bersama: dan
| e. Jnempelajari implikasi AFTA terhadap lingkungan dan mengambil jangkah-
langkah untuk mengintegrasikan kebijakan perdagangan yang baik dengan
kebijakan lingkungan yang baik.

Untuk mengimplementasikan tujuan Rencana Aksi Strategis tentang Lingkungan


di atas, ada 10 (sepuluh) arah dan aksi strategis yang ditetapkan.?8 Dari sepuluh
arah dan aksi strategis tersebut, hanya tiga strategi yang terkait erat dengan
perlindungan atmosfer, yaitu Strategi 3,4 dan 10.

ASEAN telah menyetujui 3 (tiga) aksi yang harus dilakukan untuk


mengimplementasikan Strategi 3, yaitu membuat standar kualitas lingkungan
dasar dan mengharmonisasikan standar kualitas, untuk mengidentifisir centres of
exellence untuk R&D lingkungan: dan untuk menetapkan mekanisme pelaporan
periodik status lingkungan ASEAN. Dari uraian di atas jelaslah bahwa aksi
pertama dan ketiga sangat erat kaitannya dengan perlindungan atmosfer regional
yang mengharuskan harmonisasi standar kualitas udara dan mekanisme
pemantauan regional.

Aksi-aksi yang diambil untuk menerapkan Strategi 4 relatif abstrak sehubungan


dengan perlindungan atmosfer. Ini karena hasil aksiaksi ini sulit diukur secara
fisik. Misalnya, perumusan kalimat Aksi 1 dalam Strategi 4 yang berbunyi
“undertake a comparative study on the Institutional structure and legislation on
environmental management,” Ini tidak akan menolong menyelesaikan isu
atmosfer regional yang ada

-
sekarang kecuali jika kalimat itu diikuti dengan “and then to establish ASEAN
institutions and legislation (dan kemudian membentuk institusi dan legislasi
ASEAN)”. Aksi No. 1 kelihatannya diformulasikan untuk menciptakan
kesempatan untuk memperlambat fase pengembangan - institusi dan legislasi
lingkungan yang solid. Ada pakar yang berkomentar bahwa perumusan bahasa
Aksi 1 itu diarahkan untuk menciptakan kesempatan kepada birokrat untuk
berjalan-jalan ke banyak negara untuk melakukan studi banding. Ini merupakan
pendekatan tipikal birokrat di negara berkembang, yaitu untuk menciptakan
proyek dalam proyek. Oleh karena itu, perlu adanya keterlibatan LSM dalam
proses pembuatan kebijakan lingkungan ASEAN, seperti Rencana Aksi Strategis
ASEAN. Aksi 2 dan 3 memiliki masalah yang sama. Perumusan bahasanya
sangat umum dan tidak mernuat target yang dapat diukur. Strategi 4 berbunyi
“IsJtrengthen institutional and legal capacities to implement international
agreements on environment”. Diharapkan bahwa hasil dari strategi ini adalah
bahwa ASEAN akan memiliki institusi lingkungan yang kuat untuk

mengatasi permasalah lingkungan termasuk pencemaran atmosfer.

Dalam Strategi 10, ada 2 (dua) aksi yang harus dilakukan ASEAN. Kedua-duanya
difokuskan pada penguatan sistem administrasi, termasuk pendanaan untuk
menerapkan aksi ini. Ini sangat diperlukan untuk melaksanakan konvensi
internasional di Asia Tenggara.

Rencana Aksi Strategis ASEAN dikritik oleh banyak pihak karena hanya
berisikan aturan-aturan lunak (soft rules), yang memiliki kelemahan dalam
memastikan implementasinya. Rencana Aksi ini juga dikritik karena tidak
memuat kewajiban pemantauan dan kepatuhan negara (state compliance).57
Kelemahan lain Rencana Aksi Strategis ASEAN adalah bahwa Rencana Aksi ini
tidak memiliki langkah-langkah penerapannya.

Anda mungkin juga menyukai