Percepatan permbangunan yang dilakukan di kawasan ASEAN harus memenihi syarat bahwa
proses pembangunan tidak boleh merusak lingkungan yang jga diperlukan oleh generasi yang
akan dating. Berdasarkan hal itu ASEAN mengeluarkan resolusi Jakarta tentang pembangunan
yang berkelanjutan pada tanggal 30 oktober 1987, yang dikelurkan terlebih dahulu oleh deklarasi
Rio tentang pembangunan berkelanjutan.
Negara-negara ASEAN telah setuju untuk mendirikan badan lingkuan regional yang ;
Tapi, Accord ini tidak menyebutkan bagaimana pendekatan jitu dilaksanakan atau kapan
harus direalisasikan. Konsekuensinya, negara-negara anggota ASEAN pada akhirnya
mempunyai cara-cara yang berbeda dalam mengimplementasikannya, yang pada
gilirannya dapat menimbulkan perbedaan yang tak terarah. Misalnya, Singapura
mendirikan Joint Committee on the Environment dengan Malaysia dan Indonesia
berturut-turut pada tahun 1990 dan 1991, yang dikenal dengan sebutan Malaysia -
Singapore Joint Committee on the Environment (MSJCE) dan Singapore — Indonesian
Joint Committee on the Environment (SJCE). Baik MSJCE dan SIJCE dirancang untuk
mengadakan kerja sama untuk pengharmonisasian standar dan pemantauan lingkungan.2'
Pendirian MSJCE dan SIJCE sangat aneh karena negara-negara yang terlibat merupakan
negara pioneers pendiri ASEAN. Negara-negara ini seharusnya mendirikan kerja sama
seperti itu di bawah payung Kuala Lumpur Accord, yang seharusnya melibatkan semua
negara anggota ASEAN.
6. Resolusi singapura 1992 tentang lingkungan dan pembangunan
Diterapkan pada tanggal 18 februari 1992. Resolusi ini merefleksikan ergerakan
ASEAN ke arah pencapaian perimbangan yang pantas antara perlindungan
lingkungan dan pembangunan ekonomi dalam upaya untuk mencapai sustainable
development. Resolusi ini mengakui bahwa ASEAN perlu mengejar
ketertinggalannya dari upaya internasional untuk mengatasi masalah lingkungan
global seperti climate change melalui upaya yang saling menguntungkan antara
negara maju dan negara berkembang. Resolusi Singapura berisikan pernyataan-
pernyataan yang menghimbau Sokongan negara maju terhadap negara berkembang
dalam suatu upaya global untuk menyelesaikan masalah-masalah lingkungan global.
Ada tiga judul yang terkai dengan pencemaran atmosfer dalam Resolusi ini. Dalam
judul, “Urgent Measures to Combat Climate Change”, Menteri-Menteri Lingkungan
negara anggota ASEAN setuju untuk mengurangi gas rumah kaca (greenhouse gases)
jika negara maju, yang telah mengeluarkan jumlah komulatif CO? dalam jumlah
besar menyediakan pendanaan dan teknologi baru dan tambahan.
a. Judul kedua adalah “The Immediate Implementation of the Montreal Protocol
Interim Multilateral Fund”. Di sini, Resolusi mengajak pencepatan alih teknologi
yang ramah lingkungan dari negara maju ke negara berkembang. Resolusi Singapura
juga meminta agar kepentingan negara berkembang dimasukkan dalam amendemen
Montreal Protocol ke depan.
b. Di bawah judul ketiga “The Sustainable Management of all Forests”, Resolusi
Singapura hak berdaulat (sovereign right) negara-negara anggota ASEAN untuk
mengeksploitir hutan dengan cara berkesinambungan dan mengajak negara maju
untuk menghentikan semua bentuk peraturan unilateral yang menghentikan impor
kayu tropis (tropical timber). Negara maju dihimbau untuk membuat peraturan yang
transparan guna meningkatkan jumlah cakupan hutan negara maju sebagai bagian dari
tanggung jawab global (global responsibilities) dari negara maju.
Dalam mengatasi masalah pencemaran udara lintas batas negara, 3 (tiga) institusi
telah didirikan untuk melaksanakan beberapa tugas sesuai dengan spesialisasinya:
a. The ASEAN Specialized Meteorological Center (ASMC)
ASMC merupakan fasilitas untuk mengembangkan kemampuan khusus meramal
cuaca di Asia Tenggara. ASMC akan berfungsi sebagai focal point untuk
mengoordinasikan pendeteksian dan pemantauan pencemaran udara lintas batas
melalui kerja sama dengan badan meteorologi nasional dari masing-masing
negara anggota.
b. ASEAN Institute of Forest Management (AIFM)
Pengembangan peran AIFM diarahkan untuk meningkatkan skill dan kemampuan
di bidang pengelolaan kebakaran hutan, yaitu:
1) menciptakan hubungan dengan negara-negara maju dan organisasi-organisasi
multilateral sehubungan dengan penggunaan sistem penetapan tingkat bahaya api:
GIS dan teknologi remote sensing dalam memonitor kebakaran hutan, dan
memetakan area sumber api (fire-prone areas): mengembangkan dan
melaksanakan sistem penetapan tingkat
2) bahaya kebakaran hutan regional :
3) mengembangkan dan melaksanakan strategi regional untuk merespons tanggap
darurat kebakaran hutan, dan
Untuk mengatasi kegagalannya mencegah kebakaran hutan dan lahan yang masif,
HTTF membuat Rencana Aksi Asap Regional (Regional Haze Action Plan atau
RHAP), yang dikukuhkan AMM pada bulan Desember
Tujuan RHAP sangat bagus secara tertulis tapi sangat susah untuk
mengimplementasikannya karena beberapa alasan. Pertama, “ASEAN way”
menghambat pelaksanaan tujuan pertama karena ASEAN keberatan untuk
mengintervensi masalah internal negara anggotanya, jadi ini membuat ASEAN
tidak mampu memperbaiki keabsenan sistem nasional Indonesia.2! Kedua, RHAP
hanya merupakan perjanjian yang tidak mengikat (non-binding agreement). Jadi,
pemantauan dan kepatuhan negara tidak bisa dipastikan. Ketiga, kurangnya
inisiatif dan sumber daya manusia merupakan hambatan lain bagi RHAP??
Menurut Prof. Robinson, RHAP tidak akan dapat berbuat banyak, dia percaya
bahwa RHAP pada dasarnya merupakan suatu himbauan bukan kewajiban untuk
pembuatan peraturan di tingkat nasional yang konsisten dan paralel. Prof.
Robinson juga menyimpulkan bahwa RHAP akan gagal karena RHAP tidak
menyebutkan upaya regional untuk mencegah dan menanggapi kebakaran hutan
dan lahan.
dari (the ASEAN Free Trade Agreement atau AFTA), harus diinkorporasikan
dalam Rencana Aksi. Akhirnya, Rencana Aksi harus mengakui kebutuhan untuk
mendirikan posisi ASOEN di tingkat internasional seperti Komite Pembangunan
Berkelanjutan (the Commission on Sustainable Development atau CSD) dan
Komite Antar-Pemerintah tentang Keanekaragaman Hayati (the Inter-
Governmental Committee on the Convention on Biological Diversity
bersama: dan
| e. Jnempelajari implikasi AFTA terhadap lingkungan dan mengambil jangkah-
langkah untuk mengintegrasikan kebijakan perdagangan yang baik dengan
kebijakan lingkungan yang baik.
-
sekarang kecuali jika kalimat itu diikuti dengan “and then to establish ASEAN
institutions and legislation (dan kemudian membentuk institusi dan legislasi
ASEAN)”. Aksi No. 1 kelihatannya diformulasikan untuk menciptakan
kesempatan untuk memperlambat fase pengembangan - institusi dan legislasi
lingkungan yang solid. Ada pakar yang berkomentar bahwa perumusan bahasa
Aksi 1 itu diarahkan untuk menciptakan kesempatan kepada birokrat untuk
berjalan-jalan ke banyak negara untuk melakukan studi banding. Ini merupakan
pendekatan tipikal birokrat di negara berkembang, yaitu untuk menciptakan
proyek dalam proyek. Oleh karena itu, perlu adanya keterlibatan LSM dalam
proses pembuatan kebijakan lingkungan ASEAN, seperti Rencana Aksi Strategis
ASEAN. Aksi 2 dan 3 memiliki masalah yang sama. Perumusan bahasanya
sangat umum dan tidak mernuat target yang dapat diukur. Strategi 4 berbunyi
“IsJtrengthen institutional and legal capacities to implement international
agreements on environment”. Diharapkan bahwa hasil dari strategi ini adalah
bahwa ASEAN akan memiliki institusi lingkungan yang kuat untuk
Dalam Strategi 10, ada 2 (dua) aksi yang harus dilakukan ASEAN. Kedua-duanya
difokuskan pada penguatan sistem administrasi, termasuk pendanaan untuk
menerapkan aksi ini. Ini sangat diperlukan untuk melaksanakan konvensi
internasional di Asia Tenggara.
Rencana Aksi Strategis ASEAN dikritik oleh banyak pihak karena hanya
berisikan aturan-aturan lunak (soft rules), yang memiliki kelemahan dalam
memastikan implementasinya. Rencana Aksi ini juga dikritik karena tidak
memuat kewajiban pemantauan dan kepatuhan negara (state compliance).57
Kelemahan lain Rencana Aksi Strategis ASEAN adalah bahwa Rencana Aksi ini
tidak memiliki langkah-langkah penerapannya.