qur’anil hasan
Nim :2101113694
Perubahan Iklim
Perubahan iklim mengacu pada perubahan suhu dan pola cuaca dalam jangka panjang.
Pergeseran ini mungkin bersifat alami, tetapi sejak periode 1800-an, aktivitas manusia
telah menjadi pendorong utama perubahan iklim, terutama dengan pembakaran bahan
bakar fosil (seperti batu bara, minyak, dan gas) yang menghasilkan gas yang
memerangkap panas.
Periode pemanasan saat ini terjadi lebih cepat daripada peristiwa masa lalu. Menjadi jelas
bahwa umat manusia telah menyebabkan sebagian besar pemanasan abad terakhir dengan
melepaskan gas-gas yang memerangkap panas biasanya disebut sebagai gas rumah kaca
untuk menggerakkan kehidupan modern kita. Dengan adanya pembakaran bahan bakar
fosil, pertanian dan penggunaan lahan dan kegiatan lain yang mendorong perubahan iklim.
Gas rumah kaca berada pada tingkat tertinggi yang pernah mereka alami selama 800.000
tahun terakhir. Kenaikan pesat ini menjadi masalah karena mengubah iklim kita pada
tingkat yang terlalu cepat bagi makhluk hidup untuk beradaptasi.
Perubahan iklim tidak hanya melibatkan kenaikan suhu, tetapi juga peristiwa cuaca
ekstrem, naiknya permukaan laut, pergeseran populasi dan habitat satwa liar, dan berbagai
dampak lainnya.
Terdapat konsensus ilmiah yang mengatakan bahwa pemanasan global sebagian besar
buatan manusia: para ilmuwan iklim telah sampai pada kesimpulan ini hampir dengan
suara bulat.
Salah satu pendorong terbesar sejauh ini adalah pembakaran bahan bakar fosil batu bara,
gas, dan minyak yang telah meningkatkan konsentrasi gas rumah kaca seperti karbon
dioksida di atmosfer kita. Ini, ditambah dengan aktivitas lain seperti membuka lahan untuk
pertanian, menyebabkan suhu rata-rata planet kita meningkat. Faktanya, para ilmuwan
yakin akan hubungan antara gas rumah kaca dan pemanasan global seperti halnya
hubungan antara merokok dan kanker paru-paru.
Ini bukan kesimpulan baru-baru ini. Komunitas ilmiah telah mengumpulkan dan
mempelajari data ini selama beberapa dekade. Peringatan tentang pemanasan global mulai
menjadi berita utama pada akhir 1980-an.
Asia Tenggara sadar betul tingkat risiko yang dihadapi, sebagai salah satu kawasan yang
paling rentan terhadap dampak perubahan iklim. Tapi apakah tindakan yang diambil
mencukupi untuk mengatasi masalah ini?
Bicara pemanasan global, Asia Tenggara adalah salah satu kawasan di dunia yang paling
rentan terkena dampaknya. Seperti diperingatkan dalam laporan terbaru Panel
Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), kawasan ini sedang menghadapi
kenaikan permukaan laut, gelombang panas, kekeringan, dan badai hujan yang semakin
intens.
"Studi terbaru memperkirakan, hingga 96% kawasan ASEAN kemungkinan akan terkena
dampak kekeringan dan hingga 64% terkena dampak kekeringan ekstrem,” kata Benjamin
P. Horton, direktur Earth Observatory of Singapore di Nanyang Technological University.
"Kenaikan permukaan laut di masa depan akan memengaruhi populasi, ekonomi, dan
infrastruktur setiap negara pesisir,” tambahnya.
Federasi Internasional Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (IFRC) dan
pusat iklimnya pada September melaporkan, hampir 5 juta orang terkena dampak Topan
Vamco yang melanda Filipina dan Vietnam pada November 2020. Sementara, 289 orang
tewas dalam banjir yang disebabkan oleh badai tropis Linfa di Kamboja, Laos, Thailand,
dan Vietnam sebulan sebelumnya.
Sebuah survei iklim yang dilakukan oleh ISEAS-Yusof Ishak Institute juga mengungkap,
orang Asia Tenggara memandang hujan lebat dan banjir yang semakin intens sebagai
dampak paling serius dari pemanasan global.
"Saya percaya akan ada lebih banyak perkembangan yang muncul dari kawasan ini
karena bisnis dan pemerintah menghadapi tekanan untuk mengambil lebih banyak
tindakan guna mengatasi perubahan iklim. Mudah-mudahan, [tindakan] itu akan
jauh lebih ambisius,” kata Martinus kepada DW.
"Visi-visi ini perlu diartikulasikan ke dalam program dan strategi yang lebih jelas
dalam waktu dekat,” ujar Martinus.
Sebagai negara dengan perekonomian terbesar di Asia Tenggara dan penghasil emisi
gas rumah kaca terbesar kedelapan di dunia, Indonesia menargetkan emisi nol-bersih
pada tahun 2060.
Sementara itu, Thailand dalam proposal barunya mengumumkan target netral karbon
pada tahun 2065-2070. Negara gajah putih itu pada tahun 2015 juga telah berjanji
mengurangi emisinya sebesar 20% pada tahun 2030.
Jika semua target itu tercapai, Thailand masih tertinggal 15-20 tahun di belakang
timeline yang telah ditetapkan oleh PBB, termasuk mewujudkan nol emisi gas
rumah kaca pada tahun 2050.
Vietnam di sisi lain masih belum menetapkan target nol-bersih. Meski begitu, negara
tersebut sedang berupaya meningkatkan sumber energi terbarukan, serta
meningkatkan undang-undang untuk membatasi penggunaan batu bara guna
mengurangi emisi.
"Singapura menargetkan pengurangan emisi hingga 50% dari puncaknya pada tahun
2050, tapi tidak ada batas waktu pasti terkait target emisi nol-bersih,” kata Horton
dari NTU.
Brunei Darussalam
Kebijakan Utama
1) Kebijakan Perubahan Iklim Nasional Brunei Darussalam (BNCCP)
2) Kebijakan Kehutanan Nasional Brunei Darussalam
3) Undang-Undang Kehutanan (Bab 46) Aturan Hutan
Kamboja
Kebijakan Utama
Indonesia
Kebijakan Utama
Kebijakan Utama
1) Strategi Nasional Perubahan Iklim (NSCC) (2010)
2) Strategi Kehutanan Menuju Tahun 2020 Laos (2005)
3) Rencana Aksi Perubahan Iklim Laos untuk Tahun 2013-2020 (2013)
4) Rencana Aksi Adaptasi Nasional (NAPA)
5) Rencana Strategis Penanggulangan Risiko Bencana (2020)
Malaysia
Kebijakan Utama
Myanmar
Kebijakan Utama
Filipina
Kebijakan Utama
Singapura
Kebijakan Utama
Thailand
Janji Adaptasi Terperinci
Kebijakan Utama
Vietnam
Kebijakan Utama
Kesimpulan
Berdasarkan dari pemaparan tadi dapat kita simpulkan bahwa Negara di ASEAN masih jauh
dalam memenuhi komitmen seperti NZE. seperti halnya di Indonesia memiliki rencana untuk
menghentikan penggunaan bahan bakar fosil untuk pembangkit listrik pada tahun 2056 dan
berjanji untuk tidak mengoperasikan pembangkit listrik batu bara tambahan. Tapi realitanya,
60% kebutuhan tenaga listrik di Indonesia masih bersumber dari batu bara.
Mungkin langkah pertama dalam mengatasi perubahan iklim adalah perlunya perubahan
mendasar menuju ekonomi rendah karbon di seluruh Asia. Sementara komposisi masing-
masing ekonomi akan sangat menentukan di mana pengurangan terbesar dapat dilakukan, dua
peluang terbesar adalah mengurangi deforestasi dan meningkatkan penggunaan teknologi
yang lebih baik, terutama penangkapan karbon. Dalam konteks tantangan besar yang
dihadapi negara-negara dari perubahan iklim dan komitmen universal untuk mengatasinya,
kerja sama regional tidak pernah lebih penting. Biaya ekonominya terlalu besar, dan
eksternalitas emisi karbon terlalu luas bagi negara-negara untuk tidak berkolaborasi melawan
tantangan global ini. Negara-negara di Asia Timur dan Tenggara memberikan pengingat
penting mengapa kolaborasi ini begitu penting.
Tambahan:
buat prolognya membahas semua negara, tapi inti dari pembahasannya ke Indonesia.
apa implementasi dari kebijakan di Indonesia, kendala dari kebijakan tersebut, dan upaya
pemerintah dalam mengatasi kendala tersebut.