Peningkatan konsumsi bahan bakar oleh berbagai sektor tersebut juga diiringi
oleh meningkatnya emisi gas karbon yang terbuang ke atmosfer. Hasil perhitungan
inventarisasi gas karbon nasional menunjukkan tingkat emisi gas karbon pada tahun
2018 adalah sebesar 1. 637.156 Gg CO2e. Data tersebut meningkat 283.351 Gg CO2e
dari tahun sebelumnya (Kementerian LHK, 2020). Data inventarisasi gas karbon
nasional tahun 2000-2018 ditunjukkan pada Gambar 2.
Berdasarkan grafik tersebut, dapat dilihat bahwa kategori Forestry and Other
Land Use (FOLU) dan Kebakaran Gambut menyumbang emisi terbesar yaitu 723.510
Gg CO2e atau sekitar 44% dari total emisi gas karbon pada tahun 2018. Grafik
tersebut juga menginformasikan bahwa emisi gas karbon nasional secara umum
semakin meningkat dari tahun ke tahun. Sebagai salah satu gas penyumbang efek
rumah kaca, produksi gas CO2 di Indonesia dan negara-negara di dunia dapat
memperburuk kondisi bumi sebagai dampak terjadinya pemanasan global, yaitu
peningkatan suhu rata-rata daratan, perairan, dan atmosfer bumi.
Pemanasan global disebabkan oleh adanya lapisan Gas Rumah Kaca (GRK) di
atmosfer bumi yang menyebabkan panas matahari yang dipantulkan oleh bumi
terhalang oleh lapisan atmosfer, sehingga panas yang seharusnya dapat
dilepaskan ke luar angkasa terperangkap dan bahkan dipantulkan kembali ke
permukaan bumi, hal tersebut yang menyebabkan suhu rata-rata di bumi meningkat,
peristiwa ini disebut pemanasan global. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan
Geofisika menyebutkan bahwa proyeksi domestik kenaikan suhu Indonesia dapat
mencapai 3,5 °C pada 2100.
Berdasarkan data dari NASA, pada tahun 2019 suhu rata-rata bumi mencapai
0,8 °C, naik 0,2 °C dalam kurun waktu 10 tahun yaitu pada 2019. Data perubahan
konsentrasi CO2 di Atmosfer dan suhu rata-rata bumi ditunjukkan pada Gambar 3.
PEMBAHASAN
Menilik kembali usaha Pemerintah Indonesia di balik NZE, terdapat beberapa
kebijakan dan peraturan yang telah dirancang untuk membatasi produksi emisi
karbon, didasari oleh empat prinsip yang diacu oleh Kementerian ESDM. Prinsip
pertama, pengembangan lahan yang bertumpu pada kebijakan reforestasi dan
pencegahan deforestasi hutan. Perkembangan kebijakan dan peraturan mengenai lahan
dan hutan di Indonesia menandai dukungan pemerintah terhadap upaya konservasi
hutan, terlepas dari segala jenis dan peruntukannya. Peraturan pertama tentang hutan
dan konservasinya telah eksis di Indonesia sejak diberlakukannya Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan. Tiga dekade
kemudian, peraturan tersebut resmi dicabut dan digantikan oleh Undang-undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Pasal 18 ayat (1) dari undang-undang ini menyebutkan bahwa: “Pemerintah
menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan
hutan untuk setiap daerah aliran sungai dan atau pulau, guna optimalisasi manfaat
lingkungan, manfaat sosial, dan manfaat ekonomi
masyarakat setempat”. Pada ayat (2) pasal yang sama, disebutkan bahwa luas kawasan
hutan yang harus dipertahankan adalah minimal sebesar 30% dari pulau dengan
sebaran proporsional. Penjelasan tentang pasal tersebut juga menyebutkan bahwa bagi
provinsi maupun kota dengan luas kawasan hutan di atas 30% tidak boleh secara
bebas mengurangi luas kawasan hutannya dari luas yang telah ditetapkan (Pemerintah
Republik Indonesia, 1999).
Namun, disahkannya Undang-undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja,
yang sering dikenal dengan istilah Omnibus Law, menuai banyak pertanyaan terkait
komitmen pemerintah Indonesia terhadap konservasi lahan untuk hutan. Menurut
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya, pemberlakuan UU
Cipta Kerja ini ditujukan untuk memperluas kesempatan kerja dan pertumbuhan
ekonomi masyarakat (DLHK Aceh, 2021). Bukan hal aneh jika peraturan ini
menghapus beberapa kebijakan mengenai lingkungan hidup yang eksis sejak periode-
periode sebelumnya. Salah satu di antara keresahan masyarakat berkaitan erat dengan
gugurnya ketentuan khusus batas minimal kawasan hutan yang wajib dipertahankan.
Perubahan atas batas luas kawasan hutan di UU No. 41 Tahun 1999 diatur
pada pasal 36. Pasal 18 (2) memiliki perubahan sebagai berikut: “Pemerintah Pusat
mengatur luas kawasan yang harus dipertahankan sesuai dengan kondisi fisik dan
geografis daerah aliran sungai dan/atau pulau” (Pemerintah Republik Indonesia,
2021). Tanpa adanya angka yang jelas sebagai batas minimal luas hutan, peraturan ini
terkesan memberi kebebasan pada pihak terkait–baik Pemerintah Pusat maupun
investor–dalam mengatur pembebasan lahan hutan untuk mencapai keuntungan.
Meskipun pasal ini diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun
2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan, peraturan untuk mewajibkan upaya
reforestasi bagi kota dan provinsi dengan luasan hutan di bawah 30% masih terbilang
samar. Kementerian LHK telah mengantisipasi adanya pertanyaan skeptis sejak
pemberlakuan PP ini, yaitu dengan memperkenalkan tools untuk mengawal hutan dan
kawasan di sekitarnya. Dilansir dari Katadata, beberapa di antara tools tersebut adalah
Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dan Life Cycle Assessment (LCA).
Pengawalan rencananya akan dilakukan oleh 10 Kelompok Kerja (Pokja) di
bawah KLHK. Akan tetapi, jejak nyata dari aksi kawal ini belum tampak di mata
publik. Sebaiknya, angka mutlak batas minimal luas kawasan hutan tetap terpampang
dengan jelas, sehingga implementasi serta aksi kawal dapat dipantau oleh publik dari
berbagai kalangan.
Prinsip kedua dari upaya pencapaian NZE berpijak pada aspek produksi
limbah. Dalam rangka mengatasi permasalahan limbah dan sampah, pemerintah telah
berupaya menegakkan Circular Economy, yaitu asas ekonomi yang berselaras dengan
17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) atau Sustainable Development Goals.
Ekonomi sirkular mengembangkan prinsip sederhana yang tak lagi asing di telinga
masyarakat yaitu 3R (Reduce, Reuse, Recycle) menjadi lebih luas dan diaplikasikan ke
ranah industri berskala besar. Asas ekonomi sirkular ini lebih baik dibandingkan
ekonomi linear, karena dapat meningkatkan produksi optimal dengan memanfaatkan
residu atau bahan sisa, sehingga mampu meminimalkan eksploitasi alam, kadar emisi,
dan tentunya limbah serta sampah (Strielkowski, 2016 dalam Kristianto & Nadapdap,
2021).
Implementasi asas ekonomi sirkular tertuang pada beberapa kebijakan
pemerintah, di antaranya Pembangunan Rendah Karbon dalam Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024 dan Pengelolaan Persampahan
dalam Kebijakan dan Strategi Nasional (Jakstranas). Pada RPJMN, terdapat rencana
adanya penyusunan sistem pengelolaan sampah terintegrasi hulu hingga hilir. Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) membagi fokus ekonomi sirkular ke
dalam beberapa cabang, yaitu kemasan makanan/minuman, pakaian, konstruksi,
plastik, dan elektronik. Sedangkan, pada Jakstranas, pengelolaan limbah dibagi
menjadi dua yaitu sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga,
sehingga pengurangan dapat diatur dengan lebih konkret dan kondusif (Fasa, 2021).
Akan tetapi, adanya tantangan saat implementasi pada dunia nyata tidak dapat
dipungkiri. Beberapa kendala saat mengupayakan adanya pengelolaan sampah terjadi
akibat kurangnya fasilitas dan aksesibilitas serta sarana prasarana yang tersedia dalam
proses pengelolaan limbah dan sampah. Kendala ini terjadi pada sistem ekonomi
sirkular berbasis masyarakat, yang memiliki tingkatan lebih rendah dibanding
industri berskala nasional. Kurangnya investasi dan perhatian
pemerintah maupun perusahaan swasta juga menjadi ancaman mangkraknya
implementasi Circular Economy di kalangan masyarakat umum. Sebaiknya,
Pemerintah Indonesia juga mengatur kebijakan ekonomi sirkular yang lebih
menyeluruh, termasuk pada tingkatan yang lebih rendah dan skala yang lebih kecil.
Yang dimaksud skala lebih kecil di sini adalah pengaturan Circular Economy terhadap
proses pengelolaan limbah dan sampah yang diatur oleh UMKM atau masyarakat.
Perlu adanya pengarahan terhadap industri skala besar untuk bekerjasama atau bahkan
berinvestasi pada sistem ekonomi sirkular berbasis masyarakat.
Prinsip ketiga adalah optimalisasi sumber daya energi, melalui kontrol energi
baru dan terbarukan atau yang selanjutnya disebut dengan EBT. Sedikit meninjau
sejarah, kebijakan energi yang ditetapkan pemerintah telah mengalami beragam
perubahan disesuaikan dengan kondisi dan krisis yang sedang terjadi. Di awal
kemerdekaan, telah dibuat kebijakan yang ditujukan untuk pemulihan ekonomi
melalui sektor migas. Dilanjutkan pada Tahun 1970-an, kebijakan berpindah haluan
kepada pembangunan nasional sehingga dilakukan subsidi terhadap bahan bakar untuk
menunjang perekonomian masyarakat. Pada dekade Tahun 2000-an lebih berfokus
pada pembangunan infrastruktur pembangkit listrik tenaga uap. Hingga pada dekade
Tahun 2010-an mulai mengarah pada perumusan energi nasional dengan
ditetapkannya Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi
Nasional yaitu pengelolaan energi berlandaskan prinsip yang berkeadilan,
berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan. Peraturan ini menjadi payung hukum
dalam pembentukan kebijakan energi lainnya, sehingga dapat mewujudkan
momentum inisiasi kebijakan EBT di Indonesia.
Pemerintah Pusat Indonesia pada tahun 2017 juga menerbitkan Rencana
Umum Energi Nasional (RUEN) yang dimuat dalam Peraturan Presiden No. 22 Tahun
2017. RUEN disusun oleh Pemerintah dan ditetapkan Dewan Energi Nasional untuk
jangka waktu hingga 2050 (Rachmat, 2017). Pada tahun 2020, pemerintah kebijakan
pandemi COVID-19 menyebabkan adanya penyesuaian kebijakan sehingga
pemerintah Indonesia mengambil komitmen hanya untuk berfokus menuntaskan rasio
elektrifikasi nasional hingga 100%. Tidak hanya itu, pemerintah juga menetapkan
harga listrik bersumber EBT untuk meningkatkan
nilai perekonomian pembangkit listrik berbasis EBT. Pemerintah pusat mulai
menetapkan kebijakan penggunaan biodiesel (B30) sebagai bahan bakar transportasi.
Dinamika perkembangan kebijakan EBT terpengaruh oleh kondisi yang sedang terjadi
dan rasio elektrifikasi. (Arsita dkk., 2021).
Pengembangan EBT di Indonesia memiliki hambatan utama dari PLN sebagai
single offtaker EBT yang saat ini sedang mengalami krisis kondisi ekonomi, namun di
sisi yang lain perlu adanya pencapaian target elektrifikasi 100%. Pemerintah berupaya
meningkatkan rasio elektrifikasi di Indonesia dengan mendorong pembangunan
Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) untuk meningkatkan bauran energi
terbarukan dan rasio elektrifikasi. Pemerintah juga melakukan kerja sama dengan
berbagai pihak dalam pengembangan energi surya untuk mendorong penggunaan
EBT. Sebagaimana tertuang dalam Kebijakan Energi Nasional, Indonesia
berkomitmen mencapai 23% porsi EBT di tahun 2025 dan 31% di tahun 2050. Upaya
ini tentunya juga sebagai bukti komitmen Indonesia dalam mendukung Paris
Agreement yang akan mulai menjajaki babak baru, yaitu transparansi upaya masing-
masing negara di tahun 2025.
Tidak hanya berfokus pada upaya perumusan kebijakan dan strategi nasional,
Pemerintah Indonesia juga membuktikan upaya konkretnya melalui penjalinan
kerjasama dengan berbagai pihak. Pemerintah Indonesia melalui Kementerian
Perindustrian merangkul dan memacu semangat para pemangku bisnis dalam
perwujudan industri hijau, yaitu perusahaan manufaktur yang dalam proses
produksinya mengutamakan upaya efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya
secara berkelanjutan sejalan dengan program Making Indonesia 4.0. Pemanfaatan
EBT juga dilakukan dengan penggunaan biofuel, biomass, dan Refuse Derived Fuel
(RDF) atau bahan bakar yang dihasilkan dari berbagai jenis limbah. Kemenperin juga
mengakselerasi industrialisasi kendaraan bermotor hemat energi serta ramah
lingkungan yaitu Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB). Tidak
hanya KBLBB, teknologi penyerapan karbon Power to X (P2X) juga diterapkan
dengan menggunakan sumber energi Pembangkit Listrik Tenaga Air di Kalimantan
Utara, mendayagunakan aliran Sungai Kayan (Kemenperin, 2021).
Beragam upaya dan strategi terkait dengan optimalisasi sumber daya energi
telah dilakukan, beragam regulasi juga telah disahkan. Akan tetapi, masih ada celah
dalam perwujudan mimpi NZE kedepannya. Pengembangan EBT di Indonesia masih
perlu payung hukum yang jelas sehingga pembahasan RUU EBT hendaknya menjadi
prioritas atas urgensi yang ada. Dengan adanya RUU EBT, langkah pengembangan
EBT tidak lagi terhambat oleh palang pintu kebijakan. Selain itu, pemetaan nasional
yang mendetail terkait dengan potensi sumber daya baru terbarukan perlu
dioptimalkan kembali sebagai inventarisasi serta pertimbangan dalam evaluasi
kebijakan mengenai arah pengembangan EBT. Transparansi harus lebih digalakkan
agar seluruh sektor dapat menjadikannya sebagai acuan dalam melakukan
aktivitasnya. Dengan demikian, arah pengembangan EBT menjadi lebih jelas dan
terstruktur serta tentunya harus diiringi dengan evaluasi dan pengawasan secara
berkala.
Prinsip keempat sekaligus terakhir sebagai acuan Kementerian ESDM dalam
upaya pencapaian NZE adalah perumusan kebijakan di bidang fiskal. Pemerintah
Indonesia melalui Kementerian Keuangan telah merumuskan adanya kebijakan fiskal
yaitu optimalisasi Nilai Ekonomi Karbon (NEK) melalui instrumen pajak karbon.
Pajak karbon merupakan bentuk kompensasi yang dibayarkan oleh pencemar kepada
masyarakat sebagai pemicu penurunan emisi karbon. Produsen emisi akan berusaha
mengurangi beban pungutan wajib dengan mengevaluasi efisiensi emisi yang
dihasilkan dari proses industrinya (Saputra, 2021). Adanya pajak karbon memiliki tiga
tujuan diantaranya: mengubah perilaku para pelaku ekonomi untuk beralih kepada
aktivitas ekonomi hijau yang rendah karbon; mendukung target penurunan emisi GRK
dalam jangka menengah dan panjang; serta mendorong perkembangan pasar karbon,
inovasi teknologi, dan investasi yang lebih efisien, rendah karbon, dan ramah
lingkungan (Kemenkeu, 2021).
Landasan hukum penyelenggaraan pajak karbon telah ditetapkan, diantaranya
adalah UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan - Pasal 13
serta Perpres No. 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon
(NEK) - Pasal 58. Kedua peraturan tersebut memuat pokok-pokok pengaturan terkait
pajak karbon seperti arah pengenaan, prinsip,
tarif, ketentuan, dan pemberlakuan. Aturan pelaksanaan pajak karbon masih dalam
proses penyusunan, yaitu antara lain RPMK Tentang Tarif dan DPP Pajak Karbon,
PMK Tentang Tata Cara dan Mekanisme Pengenaan Pajak Karbon, PP Tentang Peta
Jalan Pajak Karbon, serta PP Tentang Subjek dan Alokasi Pajak Karbon (Kemenkeu,
2021).
Rencana implementasi pajak karbon telah ditetapkan dalam peta jalan pajak
karbon dimana pada tahun 2022 direncanakan mulainya pengenaan pajak karbon atas
sektor PLTU Batubara secara terbatas dengan tarif Rp30.000,00/tCO2 ekivalen. Sistem
yang digunakan sebagai permulaan adalah Cap and Tax, yaitu hanya produsen emisi
yang melebihi cap tertentu yang akan terkena pajak. Awalnya pajak karbon akan
mulai diterapkan sejak tanggal 1 April 2022, namun karena masih dilakukan
sinkronisasi peta jalan antar berbagai pihak sehingga harus dimundurkan menjadi
tanggal 1 Juli 2022. Pemberlakuan pajak karbon dilakukan secara bertahap serta
dievaluasi secara periodik dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi negara. Pada
Tahun 2025, telah ditargetkan adanya perdagangan karbon secara penuh melalui bursa
karbon dan penambahan sistem Tax and Trade dimana memungkinkan adanya
negosiasi dan pertukaran hak emisi karbon.
Secara keseluruhan, penerapan pajak karbon di Indonesia masih ada pada
tahap awal dan masih perlu penyempurnaan dalam hal peraturan teknis. Untuk itu,
dalam periode awal ini hendaknya evaluasi perlu untuk digencarkan agar dapat
menciptakan tatanan regulasi yang baik dan siap diimplementasikan secara
menyeluruh di semua sektor penghasil emisi karbon. Kerja sama berbagai sektor
khususnya instansi pemangku kebijakan sebaiknya dapat menghasilkan suatu wadah
koordinasi. Sebagai contoh, didirikannya lembaga khusus yang menangani evaluasi
dan monitoring penerapan pajak karbon. Delegasi dari Kementerian Keuangan
bertugas menciptakan sistem pemantauan kepatuhan pembayaran pajak, delegasi dari
Kementerian LHK bertanggung jawab atas monitoring emisi yang dihasilkan dalam
proses produksi, serta delegasi dari Kementerian Perindustrian menciptakan tata
laksana manajemen industri baru yang melibatkan strategi dalam pemenuhan
peraturan wajib pajak karbon. Dengan demikian, akan tercipta suatu kerjasama multi
sektor yang baik dan dapat mengakselerasi
perluasan penerapan pajak karbon. Tidak hanya itu, pemanfaatan penerimaan negara
dari pajak karbon hendaknya memiliki regulasi yang jelas dan terarah serta sebaiknya
secara khusus ditujukan untuk pembiayaan upaya mitigasi iklim dan restorasi
lingkungan lainnya yang berkaitan dengan dampak emisi karbon.
KESIMPULAN
Pemerintah Indonesia telah mengupayakan berbagai kebijakan dan pengaturan terkait
pembatasan emisi karbon jauh sebelum Presidensi G20. Kebijakan terkait Net Zero
Emission (NZE) difokuskan terhadap empat prinsip utama yaitu Pengembangan
Lahan, Produksi Limbah, Optimalisasi Sumber Daya Energi, dan Pemberlakuan
Kebijakan Fiskal. Berbagai kebijakan dan peraturan telah ditetapkan, namun beberapa
diantaranya perlu penyempurnaan dan sebagian yang lainnya sudah baik dan hanya
perlu dilaksanakan secara optimal serta pengawasan yang baik secara periodik.
Pemerintah perlu memberikan perhatian khusus terhadap permasalahan ini sehingga
rancangan peraturan yang sedang dalam proses pembahasan hendaknya segera
dirampungkan melihat urgensi yang ada. Pada akhirnya, momentum Indonesia dalam
Presidensi G20 dapat dimaksimalkan dengan membawa isu NZE di KTT G20 dan
NZE akan terus mendapatkan penyempurnaan sehingga tidak hanya akan menjadi
fatamorgana belaka, melainkan akan menjadi fakta dalam waktu segera.
DAFTAR PUSTAKA
Arsita, S. A., Saputro, G. E., Susanto. 2021. Perkembangan Kebijakan Energi
Nasional dan Energi Baru Terbarukan Indonesia. Jurnal Syntax Transformation.
2 (2): 1779-1788.
Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2021. KLHK Bentuk 10 Pokja, Kawal
Implementasi UU Cipta Kerja.
https://dlhk.acehprov.go.id/2021/06/klhk-bentuk-10-pokja-kawal-implement asi-
uu-cipta-kerja/. Diakses pada tanggal 12 Mei 2022.
Fasa, A. W. H. 2021. Aspek Hukum dan Kebijakan Pemerintah Indonesia Mengenai
Ekonomi Sirkular dalam Rangka Mencapai Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan. Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional 10
(3): 339-357.
Kementerian ESDM. 2022. Urgensi Transisi Energi dalam Presidensi G20 Indonesia.
https://www.esdm.go.id/id/media-center/arsip-berita/urgensi-transisi-energi-
dalam-presidensi-g20-indonesia. Diakses pada tanggal 10 Mei 2022
Masitoh, S. 2022. Indonesia Butuh Investasi Besar untuk Net Zero Emission pada
2060, G-20 Jadi Momentum.
https://amp.kontan.co.id/news/indonesia-butuh-investasi-besar-untuk-net-ze ro-
emission-pa4da-2060-g-20-jadi-momentum. Diakses pada tanggal 10
Mei 2022
Nicholls, N. 2019. Scientists predicted climate change 40 years ago, so why didn’t we
act sooner?.
https://www.weforum.org/agenda/2019/07/40-years-ago-scientists-predicted
-climate-change-and-hey-they-were-right. Diakses pada tanggal 10 Mei 2022.
Pusat Data dan Teknologi Informasi Energi dan Sumber Daya Mineral Kementerian
ESDM. 2020. Inventarisasi Emisi GRK Bidang Energi. Kementerian ESDM.
Jakarta-Indonesia.
Rahmat, M.H. 2017. RUEN, Rencana Umum Energi Nasional.
https://setkab.go.id/ruen-rencana-umum-energi-nasional/. Diakses pada tanggal
14 Mei 2022.
Saputra, A. I. 2021. Pajak Karbon Sebagai Sumber Penerimaan Negara dan Sistem
Pemungutannya. Jurnal Anggaran dan Keuangan Negara Indonesia. 3 (1): 56-
71.
Tim Penyusun Laporan LHK. 2020. Laporan Inventarisasi GRK dan Monitoring,
Pelaporan, Verifikasi (MPV). Kementerian LHK. Jakarta-Indonesia.
Ulfa, M., Vania, H. F., Yoshio, A. 2020. Memastikan Masa Depan Hutan Pasca UU
Cipta Kerja.
https://katadata.co.id/padjar/analisisdata/60dbe3db4e8ff/memastikan-masa-d
epan-hutan-pasca-uu-cipta-kerja. Diakses pada tanggal 12 Mei 2022.