Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH BIOTEKNOLOGI

“BIOREMEDIASI”

Oleh Kelompok V
Nurlaila / 17177026
Restu Quslam Fulta / 17177028
Gustri Yani / 17177046

PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN BIOLOGI


FAKULTAS MATEMATIKAN DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2018
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Aktivitas manusia di alam bertujuan untuk kesejahteraan manusia.
Aktivitas tersebut, disadari atau tidak, bisa mendatangkan kerusakan bagi alam,
mempengaruhi makhluk hidup, dan akhirnya manusia juga yang akan terkena
imbasnya. Contoh yang paling tragis adalah tragedi teluk minamata Jepang,
merkuri masuk ke rantai makanan dan akhirnya menimbulkan kelainan pada
manusia yang mengkonsumsi ikan dari perairan tercemar limbah merkuri.
Tumpahan minyak di laut, dari hasil tambang lepas pantai ataupun bocornya
kapal pengangkut minyak hasil tambang, mengganggu keseimbangan di laut
dan bisa membunuh organisme yang beraktivitas disana. Penggunaan plastik
yang sepertinya tidak akan pernah berhenti menyisakan gunung plastik di
daratan dan hamparan plastik mengapung di lautan, yang pastinya akan
mengganggu kehidupan organisme.
Seluruh aktivitas yang awalnya untuk kebaikan manusia, ternyata
menimbulkan banyak hal sampingan yang tidak terduga. Manusia saat ini
mulai mencari cara untuk menanggulangi permasalahan yang telah diperbuat.
Cara-cara yang dilakukan bisa secara fisika, kimia dan biologi. Cara fisika dan
kimia bisa menimbulkan zat sampingan yang mungkin masih berbahaya bagi
lingkungan dan biaya cukup tinggi. Cara biologi lah yang paling aman bagi
lingkungan, yaoti dengan bioremediasi. Bioremediasi dilakukan dengan
memanfaatkan organisme untuk membuang atau mengubah polutan berbahaya
di lingkungan, sehingga lingkungan menjadi normal kembali.

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
a. Apa yang dimaksud dengan bioremediasi?
b. Apakah tujuan dan manfaat dilakukan bioremediasi?
c. Apa saja jenis polutan yang dapat diproses dengan bioremediasi ?
d. Apa saja jenis bioremediasi ?
e. Apa saja tahap-tahap pelaksanaan bioremediasi ?
f. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan bioremediasi ?
g. Apa saja kelebihan dan kekurangan bioremediasi ?
h. Bagaimana cara kerja bioremediasi?

C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai beikut:
1. Mengetahui pengertian bioremediasi.
2. Mengetahui tujuan dan manfaat dilakukan bioremediasi
3. Mengetahui jenis polutan yang dapat diproses dengan bioremediasi
4. Mengetahui jenis bioremediasi
5. Mengetahui tahap-tahap pelaksanaan bioremediasi
6. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan bioremediasi
7. Mengetahui kelebihan dan kekurangan bioremediasi
8. Mengetahui cara kerja bioremediasi
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Bioremediasi.
Bioremediasi merupakan perluasan ilmu dari bioteknologi lingkungan
yang merupakan aplikasi proses biologi untuk penanganan polusi (Gadd,
2001). Bioremediasi adalah proses menghilangkan polutan dan komponen
kimia yang bersifat toksik di lingkungan menggunakan mikroorganisme
(bakteri, alga, dan fungi uniseluler/multiseluler), ataupun tumbuhan (Astuti,
2016:5). Mikroorganime memecahkan toksin tertentu, kemudian meninggalkan
hasil sampingan metabolik yang tidak berbahaya, seperti karbon dioksida dan
klorida (Solomon, dkk., 2011:531).
Bioremediasi bisa dilakukan oleh mikroorganisme aerob dan anaerob
dengan ‘memakan’ polutan kemudian menyisakan zat sisa yang tidak
berbahaya. Misalnya, bioremediasi minyak bumi dengan memecah
hidrokarbon menjadi karbon dioksida dan air melalui proses metabolisme.
Karbon dioksida dan air tersebut adalah sisa meatbolisme yang tidak
berbahaya. Perhatikan gambar berikut:

Gambar 1. Ilustrasi konsep dasar bioremediasi


Reaksi kimia proses bioremediasi secara sederhana sebagai berikut ini
(Geoengineer, 2014).
Kontaminan organik + O2 H2O + CO2+ cell material + energi
Bioremediasi aerob akan menggunakan polutan organik higrokarbon
pada minyak bumi dalam metabolisme dengan adanya oksigen. Mikroba
mendapatkan energi dan molekul untuk pertumbuhan sel, dengan sisanya
berupa gas karbondioksida dan air. Proses pemecahan hidrokarbon menjadi
CO2 dan H2O tersebut merupakan proses biodegradasi, yaitu perombakan
molekul kompleks menjadi sederhana. Biodegradasi merupakan salah satu
proses yang terjadi dalam bioremediasi. (Astuti, 2016: 6)
Tabel 1. Proses dan Hasil Bioremediasi oleh Organisme Berbeda
Mikroorganisme (Uniseluler) Organisme multiseluler
Mendegradasi polutan orga- Menyerap polutan anorganik
nik yang bersifat toksik menjadi seperti logam berat sehingga terjadi
tidak toksik bagi lingkungan. akumulasi polutan dalam tubuh.
Caranya dengan reaksi enzi- Misalnya dalam proses bioremediasi
matis sehingga terjadi degradasi, logam berat (Hg,Cd, Pb). Proses ini
menggunakannya dalam meta- disebut biosorpsi
bolisme sehingga polutan dipa-
kai, kemudian dilepaskan-lah
zat sisa metabolisme yang tidak
berbahaya bagi lingkung-an.
Mengubah senyawa tok- Logam berat tidak dapat
sik dari polutan anorganik se- dihancurkan, namun bisa diambil dari
perti senyawa logam menjadi lingkungan oleh alga, jamur dan
kurang toksik. Proses ini disebut tumbuhan, kemudian terakumulasi
transformasi. didalam tubuh. Pengikatan didalam
tubuh organisme terjadi karena ada
protein yang berikatan dengan ion
logam berat tersebut. (Coelho dkk,
2015: 6)

B. Tujuan dan Manfaat Dilakukan Bioremediasi


Tujuan dari bioremediasi adalah untuk memecah atau mendegradasi zat
pencemar menjadi bahan yang kurang beracun atau tidak beracun (karbon
dioksida dan air) atau mengontrol dan mereduksi bahan pencemar dari
lingkungan. Bioremediasi telah memberikan manfaat yang luar biasa pada
berbagai bidang, diantaranya yaitu sebagai berikut:
a. Bidang Lingkungan
Pengolahan limbah yang ramah lingkungan dan bahkan mengubah limbah
tersebut menjadi ramah lingkungan. Contoh bioremediasi dalam lingkungan
yakni telah membantu mengurangi pencemaran dari limbah pabrik,
misalnya pencemaran limbah oli di laut Alaska berhasil diminimalisir
dengan bantuan bakteri yang mampu mendegradasi oli tersebut.
b. Bidang Industri
Bioremediasi telah memberikan suatu inovasi baru yang membangkitkan
semangat industri sehingga terbentuklah suatu perusahaan yang khusus
bergerak dibidang bioremediasi, contohnya adalah Regenesis Bioremedia-
tion Products, Inc., di San Clemente, Calif.
c. Bidang Ekonomi
Karena bioremediasi menggunakan bahan-bahan alami yang hasilnya ramah
lingkungan, sedangkan mesin-mesin yang digunakan dalam pengolahan
limbah memerlukan modal dan biaya yang jauh lebih, sehingga
bioremediasi memberikan solusi ekonomi yang lebih baik.
d. Bidang Pendidikan
Penggunaan mikroorganisme dalam bioremediasi dapat membantu
penelitian terhadap mikroorganisme yang masih belum diketahui secara
jelas. Pengetahuan ini akan memberikan sumbangan yang besar bagi dunia
pendidikan sains.

C. Jenis Polutan yang Dapat Diproses dengan Bioremediasi


Bioremediasi bisa dilakukan pada banyak jenis polutan, berikut ini
merupakan beberapa jenis sasaran bioremediasi dan juga artikel penelitian
terkait.
1. Polutan organik
a. Hidrokarbon
Hidrokarbon dari tumpuhan minyak bumi dan turunannya seperti, plastik,
oli bekas dan diesel. Tumpahan minyak bumi bersifat toksik bagi
makhluk hidup. Hidrokarbon merupakan senyawa yang terdiri dari
hidrogen (H) dan karbon (C) dengan panjang rantaiyang berbeda.
Hidrokarbon ini akan didegradasi oleh mikroba dan karbon hasil
degradasi akan digunakan dalam metabolisme, inilah proses bioremediasi
hidrokarbon secara umum.
b. Limbah cair
Limbah cair pabrik dari pengolahan kelapa sawit, tahu dan tempe.
Limbah cair ini sebenarmya tidak bersifat toksik. Namun, keberadaan
bahan organik termasuk lipid dan minyak dari sisa pengolahan tersebut
dengan konsentrasinya yang tinggi, jika masuk ke perairan akan
mengurangi jumlah oksigen, membuat air menjadi keruh dan akhirnya
menurunkan pH. Dampaknya bisa mematikan bagi biota perairan.
Bioremediasi jenis polutan ini adalah dengan terjadinya degradasibahan
organik dan juga lipid oleh bioremediator.

Limbah cair dari rumah tangga juga merupakan sumber pencemar yang
mengganggu keseimbangan perairan. Penelitian terkait bioremediasi limbah
rumah tangga telah dilakukan oleh Yusuf (2008) dengan judul “ Bioremediasi
Limbah Rumah Tangga dengan Sistem Simulasi Tanaman Air”. Penelitian
dilakukan dengan membuat kolam-kolam berisi limbah cair, dengan
menggunakan empat jenis tumbuhan, yaitu mendong, teratai, kiambang dan
hidrilla. Hasil penelitian menunjukan bahwa kualitas air dari yang tidak
memenuhi syarat menjadi memenuhi syarat sesuai baku mutu yang ditetapkan.

2. Polutan an-organik
Polutan an-organik adalah logam berat yang dapat berasal dari berbagai
macam kegiatan manusia. Logam berat tidak dapat dihancurkan, tetapi dapat
dikurangi sifat toksinya. Logam berat merupakan jenis polutan yang
terdistribusi secara luas di dalam tanah dan mendapat perhatian secara khusus
karena sifatnya yang tidak dapat terdegradasi serta dapat bertahan lama di
dalam lingkungan (Suryani, 2011: 139).
Logam berat dapat berasal dari sisa penggunaan pestisida (Arsenik- As,
Tembaga-Cu), herbisida dan insektisisda (Timbal-Pb), pupuk fosfat (Cadmium-
Cd, Cu, penggunaan merkuri (Merkuri-Hg) pada industri dan tambang emas,
penggunaan pada pembuatan kertas (Pb) (Dixit, 2015:293). Logam berat dapat
masuk ke jaring-jaring makanan sehingga terjadi bioakumulasi, dengan
konsentrasi tertinggi berada pada konsumen tertinggi. Logam berat dapat
diremediasi oleh mikroba dengan menjadikannya senyawa yang kurang
berbahaya dan juga bisa diserap oleh organisme multiseluler sehingga
terakumulasi di dalam tubuh organisme tersebut.
Logam berat jika masuk ke dalam tubuh tidak dapat dihancurkan, karena
logam berat Hg, Pb, Cd adalah unsur. Unsur tidak dapat didegradasi lebih kecil
lagi karena penyusunnya tetap saja merupakan atom dari unsur. Logam berat
sebenarnya tetap ada di lingkungan, dan akan bersifat toksik saat berikatan
dengan unsur tertentu membentuk senyawa berbahaya. Misalnya saat Pb masuk
ke dalam tubuh melalui kulit ataupun pernapasan. Akibatnya akan
menimbulkan banyak gejala keracunan pada tubuh jika sudah melewati
ambang batas (Fardiaz, 1992: 64).
Di Sumatera Barat terdapat beberapa lokasi penambangan emas.
Penambangan emas di Solok Selatan di aliran sungai batang hari dan
Sijunjung misalnya, disana terdapat banyak sekali penambang ilegal. Mereka
menngunakan merkuri untuk memurnikan emas, dan setelah penggunaannya
merkuri akan dilepaskan ke lingkungan. Bioremediasi juga berpeluang
dilakukan pada limbah cair rumah sakit dan laboratorium. Limbah cair dari RS
dan laboratorium dapat berupa bahan sisa perawatan pasien, operasi dan bahan-
bahan yang berbahaya termasuk logam berat yang berasal dari bahan dan alat
percobaan. Jika limbah merupakan bahan organik, maka bioremediasi terjadi
dengan cara degradasi, namun jika limbah berupa bahan anorganik maka
bioremediasi dilakukan dengan mengubah ikatan senyawa anorganik berbahaya
tersebut menjadi kurang toksik oleh mikroba atau menyerapnya oleh
multiseluler.
Berbeda dengan hidrokarbon dan bahan organik, polutan logam berat
bukanlah sumber nutrisi. Namun, mikroorganisme bioremediator mampu
berperan sebagai biosorben dengan menyerap logam berat dan mangakumu-
lasinya dalam jaringan dan organ. Biosorpsi terjadi dengan adanya reaksi
antara logam berat dengan membran sel. Logam berat denga ion positifnya
akan berikatan dengan membran sel yang memiliki ion negatif. Selanjutnya
logam berat akan dipindahkan ke sitoplasma melewati membran sel dengan
bantuan protein, dan terjadilah akumulasi. Biosorpsi logam berat juga
tergantung dari Ph, misalnya biosorpsi logam Cr, Zn, Ni, dan Pb akan
terhambat pada Ph dibawah 3 (Garima dan Singh, 2014:5).
D. Jenis Bioremediasi
Konsep bioremediasi adalah penggunaan organisme dalam proses
menghilangkan polutan di lingkungan, sehingga apapun jenis pengelompokan-
nya bukanlah suatu masalah karena yang paling penting adalah prosesnya
melibatkan organisme.
1. Jenis Bioremediasi Berdasarkan Prosesnya
Bioremediasi dilihat dari prosesnya dapat dikelompokkan menjadi
biostimulasi, bioaugmentasi, dan bioremediasi instrinsik.
a. Biostimulasi
Biostimulasi adalah proses penambahan suatu nutrisi dan oksigen ke dalam
suatu situs atau tempat yang tercemar yang bertujuan untuk mendukung
pertumbuhan dan aktifitas bakteri yang ada di dalam tempat tercemar itu.
b. Bioaugmentasi
Bioaugmentasi adalah proses pemasukkan mikroorganisme yang alami
ataupun yang telah direkayasa genetika ke lingkungan tercemar (Astuti,
2016: 13). Prinsip bioaugmentasi adalah penambahan bakteri tertentu pada
suatu tempat tercemar yang berfungsi sebagai pembersih kontaminan yang
ada di daerah tersebut. Cara ini yang paling sering digunakan dalam
menghilangkan kontaminasi di suatu tempat. Namun ada beberapa
hambatan yang ditemui ketika cara ini digunakan. Sangat sulit untuk
mengontrol kondisi situs yang tercemar agar mikroorganisme dapat
berkembang dengan optimal. Para ilmuwan belum sepenuhnya mengerti
seluruh mekanisme yang terkait dalam bioremediasi, dan mikroorganisme
yang dilepaskan ke lingkungan yang asing kemungkinan sulit untuk
beradaptasi.
e. Bioremediasi instrinsik
Bioremediasi instrinsik merupakan proses yang terjadi secara alami tanpa
bantuan manusia. Bioremediasi ini bisa terjadi karena mikroba bioreme-
diator di dalam tanah atau air yang tercemar berada pada kondisi yang baik.

2. Jenis Bioremediasi berdasarkan Tempat Berlangsungnya


Berdasarkan tempat berlangsungnya, bioremediasi dapat dibedakan
menjadi dua macam, yaitu:
a. Bioremediasi Ex-Situ
Proses bioremediasi ini mengandalkan pada mikroorganisme yang ada
ditempat aslinya untuk meng remediasi lingkungan tersebut (Gibson, D.T.
1984).
b. Bioremediasi Ex-Situ
Merupakan proses bioremediasi yang dilakukan diluar tempat asli mikroba
(terjadinya peng isolasian mikroba) yang dilakukan dengan mengambil
limbah di suatu lokasi kemudian dilakukan treatment di tempat lain, setelah
itu baru dikembalikan ke tempat asal. Atau diberi perlakuan khusus dengan
memakai organisme yang mana bila organisme sudah terbukti dapat
mendegradasi limbah tersebut kemudian di sebar ditempat yang tercemar.
Bioremediasi ini bisa lebih cepat prosesnya dan mudah dikontrol dibanding
in-situ, ia pun mampu me-remediasi jenis kontaminan dan jenis tanah yang
lebih beragam (Gibson, D.T. 1984).

E. Tahap-tahap pelaksanaan bioremediasi


1. Bioremediasi skala laboratorium untuk mengidentifikasi bakteri
a. Hal pertama yang perlu dilakukan adalah persiapan. Aktivitas yang
dilakukan yaitu:
1) Mengumpulkan data tentang polutan
2) Isolasi bakteri dari lahan tercemar untuk diidentifikasi, dan
3) Mengukur kebutuhan nutrisi.
b. Tahap berikutnya prosedur eksperimen bioremediasi tergantung dari
variabel yang ukur.
c. Jika isolasi bakteri bioremediator berhasil, hal berikutnya yang dilakukan
adalah perbanyakan bakteri.

2. Bioremediasi skala Lapangan


a. Analisis lingkungan yang akan di bioremediasi, untuk mengetahui
ketersediaan nutrisi, oksigen pH dll.
b. Bakteri yang telah berhasil diidentifikasi dan diperbanyak, kemudian
dimasukkan ke tempat berpolutan dilingkungan.
c. Penambahan nutrisi, termasuk didalamnya:
1) Nitrat (N) dan Fosfor (P) ikut dimasukkan ke lingkungan bersamaan
dengan bakteri.
2) Agar kehidupan bakteri dapat terus berlangsung demi berlangsungnya
bioremediasi, suplai oksigen pada lingkungan merupakan hal yang
sangat perlu diperhatikan. Jika polutan berada di tanah, biasanya bisa
di berikan suplai oksigen dengan banyak cara termasuk injeksi ke
dalam tanah. Jika polutan berada dalam air tanah, suplai oksigen
diberikan dalam bentuk hydrogen peroksida (H2O2).
3) Perlu ditambahkan jika melakukan bioremediasi pada hidrokarbon
adalah penambahan surfaktan.
d. Proses bioremediasi perlu diamati secara berkala hingga kadar polutan
sudah mencapai batas diperbolehkan di lingkungan. (Astuti, 2016: 15-16)

F. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Bioremediasi


1. Karakteristik lokasi bioremediasi. Bioremediasi tanah tercemar minyak
lebih mudah dilaksanakan dibanding bioremediasi pada pencemar di tanah
dan juga telah mencapai air tanah. Bioremediasi pada perairan yang di
bentuk seperti kolam akan lebih efektif dibanding bioremediasi pada
perairan yang mengalir.
2. Faktor lingkungan, termasuk didalamnya suhu, pH, akseptor elektron,
nutrisi, oksigen dan air. Nutrisi yang ditambahkan diantaranya unsur
Nitrogen (N) dan Pospor (P). Nitrogen dibutuhkan bagi organisme sebagai
komponen dalam protein sedangkan fosfor terdapat di dalam sel dalam
bentuk senyawa fosfat (PO4) yang merupakan bagian dari nukleotida DNA.
3. Sifat dari kontaminan. Beberapa jenis kontaminan yang berpotensi
diremediasi oleh organisme adalah hidrokarbon, dan logam berat yang
berasal dari limbah industri dan peptisida, limbah sawit, dan beberapa jenis
limbah lainnya.
4. Ada atau tidaknya gen yang mampu mendegradasi. Bioremediator
berpotensi di gunakan jika memiliki kemampuan mendegradasi kontaminan.
Kemampuan tersebut terkait dengan produksi enzim pendegradasi yang
dikode dari gen.
5. Bioavailabilitas kontaminan terhadap bioremediator. Bioavailabilitas
berperan dalam mengontrol biodegradasi karena bisa menghemat
pengggunaan energi. (Maier, 2000: 59)

G. Kelebihan dan Kekurangan Bioremediasi


Tidak ada suatu metode perbaikan lingkungan yang sempurna, begitu
juga dengan bioremediasi. Berikut ini adalah kelebihan dan kekurangan teknik
bioremediasi dalam penanganan polutan. Bioremediasi banyak dilakukan
karena dianggap memiliki kelebihan berikut:
1. Efektif dari segi biaya dan ramah lingkungan dibanding cara fisika-kimia
2. Proses reduksi bisa dilakukan secara terus menerus, selama mikroba masih
bisa menggunakan polutan sebagai sumber nutrisi dan nutrisi lainnya juga
terpenuhi. Kehadiran polutan berpengaruh besar terhadap jumlah populasi
bioremediator. Populasi mikroba akan menurun jika polutan selesai
didegradasi.
3. Dapat dilakukan secara in-situ tanpa penggalian pada tanah yang tercemar
ataupun secara ex-situ dengan menggunakan bioreaktor.
4. Tidak merusak tempat yang akan diremediasi (Singh dan Tripathi, 2007:67).

Beberapa kekurangan bioremediasi dalam penanganan polutan adalah


sebagai berikut.
1. Umumnya terjadi pada bioremediasi tanah, proses bisa saja terjadi sangat
lambat dan tujuan akhir tidak tercapai. Adanya gangguan bisa menyebabkan
proses pengangkatan kontaminan bioremediasi membutuhkan proses hingga
bertahun-tahun.
2. Lambatnya pertumbuhan mikroba yang akan mendegradasi juga merupakan
alasan lambatnya proses bioremediasi. Penyebabnya juga bisa karena
kurangnya ketersediaan nutrisi lainnya.
3. Tidak semua bahan kimia dapat diolah secara bioremediasi.
4. Membutuhkan pemantauan yang intensif.
5. Berpotensi menghasilkan produk yang tidak dikenal (Singh dkk, 2014:10-
11).

H. Teknik-Teknik Bioremediasi
Mikroorganisme dalam proses bioremediasi memineralisasi kontaminan
organik menjadi produk akhir seperti karbon dioksida dan air, atau hasil
metabolit intermediet yang berguna sebagai substrat untuk pertumbuhan sel.
mikroorganisme mampu bertahan karena memproduksi enzim degradatif untuk
target polutan, sehingga resisten terhadap logam berat. Beberapa mekanisme
bioremediasi adalah biosorption, interaksi logam-mikroba, bioakumulasi,
biomineralisasi, biotransformasi, dan bioleaching.
Mikroorganisme membuang logam berat dari tanah dengan
menggunakan zat kimia sebagai pertumbuhan dan perkembangan.
Mikroorganisme mampu memutus ikatan logam dan mengoksidasi logam
transisi. Metode yang berbeda yang dilakukan mikroba untuk memperbaiki
lingkungan adalah oksidaisi, pengikatan, immobilizing, penguapan dan
transformasi logam berat. Bioremediasi bisa dilakukan secara sukses jika
mekanisme pengontrolan pertumbuhan dan aktivitas, kemampuan metabolik
dan respon mikroorganisme terhadap perubahan lingkungan dipahami.
Kebanyakan kontaminan merupakan pelarut organik yang bisa merusak
membran, tetapi sel mungkin mengembangkan mekanisme pertahanan
termasuk membentuk material protektif terhadap membran sel, seringkali
berupa hidrofobik atau pemopaan larutan keluar (sovlent efflux pumps).
Plasmid dan sistem pemompaan logam yang membutuhkan energi dan pompa
ion dan proton yang hadir pada bakteri resisten As, Cr, dan Cd.
Logam berat bisa diabsorbsi secara biologi oleh mikroorganisme melalui
sisi pengikatan aktif yang hadir pada struktur seluler tanpa melibatkan energi.
Diantara komponen reaktif yang berasosiasi pada dinding sel bakteri, substansi
polimer ekstraseluler (etracellular polymeric substances/EPS) yang memiliki
kemampuan berikatan dengan kompleks logam berat melalui mekanisme yang
bervariasi, yang melibatkan pertukaran proton dan pengendapan metal. Riset
dan praktik tentang bioremediasi masih menemui banyak hambatan karena
belum lengkapnya pemahaman genetik dan genom organisme dalam
penyerapan logam, termasuk jalur metaboliknya. Keterbatasan ini akhirnya
menyebabkan ketidakmampuan untuk membuat model dan prediksi proses
perkembangan bioremediasi di lapangan.
Biosorpsi merupakan proses yang melibatkan afinitas (daya tarik
menarik) yang tinggi antara biosorben terhadap sorbet (ion logam) yang
berlanjut hingga terjadinya keseimbangan dari kedua komponen.
Saccharomyces cereviceae berperan sebagai biosorben dalam pembuangan
Zn(II) dan Cd(II) melalui mekanisme pertukaran ion. Cunninghamella elegans
muncul sebagai sorben yang menjanjikan untuk remediasi logam berat dari
limbah tekstil. Degradasi logam berat melibatkan energi dalam siklus
metabolisme sel.
Fungi memiliki potensi biokatalis untuk dalam merubah logam berat
menjadi senyawa yang kurang toksik. Beberapa jenis fungi seperti Klebsiella
oxytoca, Allescheriella sp., Stachybotrys sp., Phlebia sp., Pleuretus pulmonaris,
dan Botryosphaeria rhodina memiliki potensi pengikat logam. Kontaminasi
Pb(II) pada tanah bisa didegradasi oleh fungi seperti Aspergillus parasitica dan
Cephalosporium aphidicola dengan proses biosorpsi. Fungi resisten Hg(II),
seperti Hymenoscyphus ericae, Necosmospora vasinfecta dan Verticillum
terrestre, mampu melakukan biotransformasi terhadap Hg(II) menjadi
nontoksik.
Banyak kontaminan bersifat hidrofobik, dan substansi ini bisa diambil
oleh mikroba melalui sekresi beberapa jenis biosurfaktan dan pembentukan
asosiasi antara sel dengan kontaminan. Biosurfaktan membentuk ikatan ionik
yang kuat antara logam dan membentuk kompleks sebelum diserap dari
matriks tanah ke fasa air, karena telah berkurangnya tegangan permukaan.
Teknik yang digunakan untuk mereduksi logam berat yang dapat
berpindah (mobilization of heavy metal) karena perubahan fisika atau kimia
disebut dengan teknik immobilisasi. Perlakuan ini melibatkan agen atau
hidroksida presipitasi. Mikroba memindahkan logam berat dari tempat yang
terkontaminan oleh mikroorganisme dilakukan dengan proses pelarutan,
pengikatan ion ke molekul logam, penambahan gugus metil, dan transformasi
redok. Logam berat tidak bisa dimusnahkan sepenuhnya, tetapi prosesnya akan
mengubah logam berat menjadi larut dalam air dan menjadi kurang toksik.
Mikroorganisme menggunakan logam berat sebagai penerima elektron terakhir
atau mereduksi logam melalui mekanisme detoksifikasi. Mikroorganisme
membuang logam berat dengan mengambil energi yang berasal dari reaksi
redoks dari logam, untuk berhubungan dengan logam toksik melaui proses
enzimatik maupun non-enzimatik.
Dua mekanisme utama dalam perkembangan bakteri resisten adalah
detoksifikasi dan mengaktifkan pompa logam berat keluar sel. Reaksi redoks
dalam proses ini terjadi antara mikroorganisme dengan logam berat.
Mikroorganisme berperan sebagai agen oksidasi sehingga mikroorganisme
kehilangan elektron, karena elektron diterima oleh penerima elektron
alternative (nitrat, sulfat, dan ferric oxide).
Bioremediasi juga bisa dilakukan oleh tumbuhan, yang disebut dengan
fitoremediasi. Fitoremediasi dalam proses bioremediasi digunakan secara
bersamaan dengan mikroorganisme atau penggunaan sepenuhnya untuk
meremediasi kontaminan dari tanah, lumpur, sediment, limbah, dan air tanah.
Fitoremediasi menggunakan berbagai jenis proses dan karakteristik fisik
tumbuhan dalam penggunaannya untuk bioremediasi. Teknik fitoremediasi
melibatkan proses fitoekstraksi, fitofiltrasi, fitostablisasi, dan fitovolatilasi, dan
fitodegradasi. Prosesnya diperlihatkan pada gambar berikut.
Gambar 1. Variasi proses yang terlibat dalam fitoremediasi logam berat.

Berikut ini adalah tabel beberapa jenis tumbuhan yang bisa


dimanfaatkan dalam proses remediasi.

Teknik genetika dalam proses bioremediasi


Genetically engineered microorganism (GEM) merupakan organisme
yang memiliki materi genetik setelah melalui proses rekombinan DNA
sehingga memiliki sifat spesifik untuk proses bioremediasi, baik pada tanah,
air, dan lumpur, dengan tujuan untuk memiliki kemampuan mendegradasi
kontaminan yang luas. Pada tabel berikut diperlihatkan beberapa organisme
yang telah direkayasa genetika untuk digunakan dalam proses bioremediasi.
(Dixit, dkk, 2015:2194-2200).

I. Aplikasi Bioremediasi
1. Bioremediasi Limbah Plastik
Ada beberapa jenis plastik yang dapat kita temui untuk berbagai macam
keperluan. Salah satu yang paling sering kita jumpai adalah plastik untuk
kemasan makanan dan minuman, dengan kode plastik PET, PETE
(Polyethylene terephtalate (BPOM, 2015:2). Perhatikan logo berikut, logo
inilah yang bisa kita jumpai pada kemasan botol minuman dan makanan.

Gambar 2. Logo plastik PET


PET sebebenarnya bisa dihidrolisis untuk kembali menjadi monomer
pembentuknya, tetapi proses ini membutuhkan panas dan tekanan yang tinggi
jika dilakukan dengan cara fisika (Yoshida, 2016). Monomer PET adalah etilen
glikol dan asam tereftalat (USU, TT:10-11). Sebagian besar bahan baku plastik
berasal dari gas alam dan minyak bumi, melalui proses polimerisasi diubah
menjadi plastik. Agar plastik memiliki sifat yang optimal, perlu ditambahkan
zat aditif seperti, plasticizer, penstabil/stabilizer, pewarna, pelumas, pengawet,
antioksidan, bahan antistatik dan lain sebagainya. Zat aditif tersebut juga dapat
menimbulkan efek negatif pada manusia dan lingkungan (BPOM, 2015:2-6).
Produk plastik bertahan lama di lingkungan karena rendahnya aktivitas
katabolik enzim untuk memecah unsur pokok plastik. Produk polyester
misalnya, mengandung komponen aromatik yang sangat tinggi. Penelitian
sebelumnya, telah ditemukan fungi yang bisa mendegradasi PET. Namun
penemuan enzim dari fungi untuk degradasi PET masih terbatas pada beberapa
spesies, sehingga bioremediasi dengan menggunakan fungi masih belum bisa
diterapkan. Spesies fungi tersebut adalah Fusarium oxysporum dan F. solani.
Penelitian lebih lanjut, di Jepang, dengan mencari komunitas mikroorganisme
yang terekspos pada PET di lingkungan, diisolasi bakteri Ideonella sakaiensis,
yang mampu menggunakan PET sebagai sumber karbon dan sumber energi
utama. Saat tumbuh pada PET, bakteri ini memproduksi dua enzim yang bisa
menghidrolisis PET dan reaksi intermedietnya, mono(2-hydroxyethyl) dan
terephtalic acid (MHET). Kedua enzim dibutuhkan untuk megubah PET secara
efisien menjadi bentuk monomer awalnya di lingkungan, terephtalic acid dan
ethylene glycol.
Peneliti mengumpulkan sampel PET yang mencemari lingkungan, dari
tanah, perairan, dan dari tempat pengolahan kembali PET. Sampel digunakan
untuk menemukan mikroorganisme yang bisa menggunakan PET dengan
kristalisasi rendah (1,9%) sebagai sumber utama karbon untuk pertumbuhan.
Perhatikan pada gamabr berikut ini.

Gambar 3. Botol PET dengan kristalin rendah (1,9%) yang akan


dimanfaatkan oleh organisme sebagai sumber karbon untuk pertumbuhan. (A)
PET dengan konsorsium bakteri. Konsorsium adalah kelompok spesies
mikroorganisme berbeda yang bertindak sebagai suatu komunitas.
Konsortium ini terdiri dari bakteri, yeast-like cell, dan protozoa. Konsortium
ini mendegradasi permukaan PET 0,13 mg/cm2/day pada suhu 30oC (C).
Melalui cara pengkulturan konsortium dengan penambahan PET, yang
diasumsikan dapat digunakan oleh mikroorganisme sebagai sumber utama
karbon, akhirnya bisa diisolasi bakteri yang mampu mendegradasi dan
mengasimilasi PET. Setelah dilakukan database taksonomi, didapatkan bahwa
bakteri berasal dari genus Ideonella, dan dinamakan Ideonella sakaiensis.
Bakteri yang masih pada PET ini selanjutnya diobservasi, perhatikan gambar
berikut.

Gambar 3. Oservasi bakteri pada PET (D), bakteri saling bertautan (E). Tautan
antar sel bakteri dengan PET, membantu dalam mengantarkan enzim yang
disekresikan pada PET (D, E, F).

Gambar 3. PET film telah rusak secara luas (G) dan hampir terdegradasi
seluruhnya setelah 6 minggu pada suhu 30oC (H).

Setelah didapatkan bakteri, dilakukan purifikasi protein, dan


diinkubasikan pada PET film dengan suhu 30oC selama 18 jam. Perhatikan
hasil percobaannya pada gambar 2.
Gambar 4. (A) Hidrolisis PET B. Mono(2-hydroxyethyl) terephtalic
film oleh enzim dari bakteri I. acid (MHET) merupakan produk utama
sakaiensis yang dilepaskan.
Berikut ini adalah ilustrasi degradasi PET hingga kembali menjadi
monomer penyusunnya.

Gambar 5. Metabolisme PET oleh I. sakaiensis Jalur degradasi PET oleh I.


sakaiensis. Pertama, lokasi PETase dan MHETase. Hidrolisis PET oleh
PETase menjadi MHET. MHETase, menghidrolisis MHET menjadi TPA
(terephtalic acid) dan EG (etilen glikol).
Gambar 6. Level transkripsi dari
protein ISF6_4831 (PETase) dan
ISF6_0224 (MHETase). I. sakaiensis
ditumbuhkan pada empat jenis
medium dengan sumber karbon
berbeda, maltosa, disodium terephta-
lat (TPA-Na), PET film, dan bis
(hydroxyethyl) terephtalat (BHET).
Pertumbuhan I. sakaiensis pada media PET film. I. sakaiensis dibiakkan
pada medium agarosa 1,5% NBRC 802 yang mengandung 1% polipepton,
0,2% ekstrak yeast, dan 0,1% MgSO 4 selama 4 hari pada suhu 30oC. Sebuah
koloni diikunbasi ke dalam test tube yang mengandung PET yang dibenamkan dalam
medium YSV yang diganti setiap minggunya. Berikut hasil penrlitiannya.

Gambar 7. anallisis degradasi PET film oleh I.


sakaiensis.
I. sakaiensis pada PET (20x15x0,2 mm) dalam
medium MLE pada suhu 30oC. (A) Observasi
mikroskopik pada PET setelah 7 dan 22 hari.
(B) Proses degradasi PET setelah 22 hari,
jumlah terephtalic acid (TPA) dan ethylene
glycol (EG) yang terbentuk hampir sama.

Berdasarkan gambar diatas, dapat dilihat bahwa secara laboratotium I.


sakaiensis. bisa mendegradasi PET menjadi bentuk monomer awalnya, yaitu
asam tereftalat dan etilen glikol.
Gambar 8. (A) Kotak mewakili (B) Konversi PET menjadi CO2 dengan
medium dengan kehadiran PET kultivasi PET dan tanpa PET.
dengan I. sakaiensis yang
2
menunjukkan tingginya CO yang
dihasilkan. Diwakilkan dengan kotak.

PETase lebih aktif dibanding enzim yang bisa menghidrolisis PET


lainnya, yang ditemukan, sseperti TfH, LCC, dan FsC dalam mendegradasi
botol komersial. PETase bersifat labil jika dipaparkan pada suhu tinggi
(Yoshida dkk, 2016).

2. Bioremediasi Petroleum Hidrokarbon (Minyak Bumi)


Kebutuhan energi yang besar membutuhkan minyak bumi (petroleum)
untuk dikirim melalui laut dari tempat produksi ke tempat pengolahan. Proses
pengiriman minyak bumi ini terkadang bisa terjadi kecelakaan tanki karena
kelalaian manusia, yang akhirnya tumpah. Tumpahan minyak di perairan jika
termakan oleh hewan bisa membunuh mereka. Tumpahan minyak itu juga bisa
menutupi tubuh hewan, merusak kemampuan mereka untuk mempertahankan
suhu tubuh. Tumpahan minyak juga dapat memperngaruhi manusia,
menyebabkan iritasi kulit, gangguan pernafasan, dan isu kesehatan lainnya
pada anak-anak. Dampak negatif itu dapat dikurangi jika saat terjadi tumpahan
minyak dilakukan penanganan lebih cepat (Nakagawa, 2014). Banyak cara
dapat dilakukan untuk menghadapi masalah ini, diantaranya incinetration,
solvent extraction, pompa, dan bioremediasi. Cara yang paling menghemat
biaya adalah bioremediasi, dibanding pilihan fisiokimia tersebut.
Petroleum atau minyak bumi dapat berupa diesel, gasolin, heavy oil, dan
lubricating oil (Mohanty dkk, 2013:2). Minyak bumi merupakan campuran
hidrokarbon dan senyawa organik lain. senyawa hidrokarbon yang dikandung
yaitu alkana (paraffin), sikloalkana (napten), dan aromatik. Senyawa organik
minyak bumi yaitu karbon, hydrogen, nitrogen, oksigen, dan sulfur
(Septiadevana, 2006). Berikut ini adalah struktut kimia senyawa hidrokarbon
dan senyawa organik minyak bumi.

Gambar 9. Komposisi minyak bumi


Petroleum ini jika sudah tumpah ke perairan, misalnya keelakaan kapal
dan dari penambangan di tengah laut, maupun di tepian pantai dan di tanah
sehingga membentuk lumpur petroleum, akan mengganggu keseimbangan
ekosistem. Penggunaan teknik bioremediasi untuk mengatasi permasalahan
petroleum ini membutuhkan zat tambahan selain dari pemberian oksigen dan
nutrisi untuk pertumbuhan organisme, zat tersebut adalah surfaktan.
Surfaktan adalah senyawa yang bersifat ampipilik, artinya memiliki sifat
hidrofilik dan hidrofobik dalam satu molekul (Reningtyas dan Mahreni, 2015:12).
Surfaktan berfungsi untuk mendispersi petroleum, artinya surfaktan akan
menurunkan tegangan permukaan diantara petroleum sehingga menjadi bagian yang
lebih kecil, dan memperbesar kesempatan organisme untuk mendegradasinya.
Gambar 10. (A) Surfaktan. Daya (B) Struktur surfaktan. Adanya
larut petroleum hidrokarbon perbedaan sifat antara kepala dan ekor
meningkat karena telah terdispersi mengakibatkan surfaktan saat
oleh surfaktan. dimasukkan dalam air akan membentuk
micel. Minyak akan berikatan dengan
surfaktan pada bagian tengah micel.

Surfaktan bisa berasal dari organisme (biosurfaktan) dan dibuat secara


kimia. Biosurfaktan merupakan surfaktan biodegradable yang dapat diproduksi
oleh mikroorganisme (Reningtyas dan Mahreni, 2015:12). Cara kerja keduanya
sama saja, tetapi penggunaan biosurfaktan tentu saja lebih ramah lingkungan
dibanding surfaktan kimia. Berikut ini adalah tabel jenis surfaktan biologi dan
kimia serta polutannya.
Surfaktan Polutan Bioremediator Referensi
Biosurfaktan Lawniczak,
Rhamnolipid Polycyclic Konsortium mikroba dkk, 2013
aromatic pendegradasi PAH
hydrocarbon
Crude oil Mikroflora laut
hydrocarbon
Sophorolipid Campuran Mikroflora tanah
hidrokarbon
Rhamnolipid Lumpur Pseudomonas aeruginosa, Mohanty, dkk,
berminyak Phodococcus sp. 2013.
Surfaktan kimia
Span 80, Crude oil AAcinetobacter
Corexit 9527 calcoaceticus
Triton X-100 Diesel oil Pseudomonas alcaligenes

Surfaktan memberi peluang lebih besar pada mikroorganisme untuk


berikatan dengan rantai hirokarbon dari minyak bumi, sehingga
memungkinkan terjadinya proses bioremediasi yang lebih besar. Proses
biodegradasi dengan surfaktan dihasilkan dari kemampuan asimilasi katabolik
mikroorganisme dalam penggunaannya sebagai karbon dan sumber energi
(Mohanty dkk, 2013:10)

3. Bioremediasi Tanah Tercemar Tumpahan Oli dan Minyak Bumi


Adanya bermacam-macam tipe mobil dan mesin mengakibatkan
terjadinya peningkatan penggunaan oli. Tumpahan dari minyak pelumas bekas
akan mengkontaminasi lingkungan dengan hidrokarbon. Hidrokarbon
khususnya polycyclic Aromatic hydrocarbon (PAH) bersifat toksik, mutagenic
dan karsinogenik. PAH sangat hidrofobik sehingga dapat tinggal dan meracuni
tubuh manusia dan lingkungan. Pada manusia, kontaminasi dengan PAH dalam
jangka waktu lama dan dalam jumlah besar dapat menyebabkan penyakit liver
atau ginjal, kerusakan sumsum tulang dan meningkatkan resiko kanker. PAH
dapat tersebar luas pada berbagai ekosistem. Mengingat tingginya resiko
penyakit yang dapat ditimbulkan oleh hidrokarbon dari minyak bekas,
pemulihan lingkungan yang tercemar oleh hidrokarbon harus dilakukan. Salah
satu usaha pemulihan lingkungan yang sangat banyak dilakukan saat ini adalah
bioremediasi (Ahda,Y.,&Fitri,L. 2017: 98)
Mikroorganisme adalah komponen utama dalam proses bioremediasi.
Dari banyak jenis mikroorganisme, bakteri merupakan mikroorganisme
potensial dalam proses bioremediasi. Nusyirwani dan Amolle (2012) berhasil
mengisolasi tiga jenis bakteri dari perairan Dumai yang berpotensi dalam
bioremediasi minyak bumi yaitu Providencia vermicola, Burkholderi acepacia
dan Myroides odoratimimus. Gofar (2012) juga berhasil mengkarakterisasi dua
isolate bakteri yang berpotensi dalam bioremediasi minyak bumi yaitu
Pseudomonas alcaligens dan Alcaligens facealis. Jauh sebelumnya Feliatra
dalam Nusyirwani dan Amolle(2012) berhasil mengisolasi bakteri berpotensi
pendegradasi minyak bumi dari perairan selat Malaka yaitu Acinetobacter sp,
Arthrobacter sp., Micrococcussp., Pseudomonas sp., Bacillus sp.,
Corinebacterium sp., dan Achromobacter sp. Sementara itu Arsanti dalam
Nusyirwani dan Amolle (2012) juga menemukan bakteri potensial untuk
bioremediasi minyak bumi seperti Azotobacter sp., Alcaligenes sp.,
Chromobacterium sp., Planococcussp., dan Micrococcussp (Ahda,Y.,&Fitri,L.
2017: 99).
Penerapan bioremediasi di Indonesia untuk skala lapangan dilakukan
oleh industri pertambangan minyak, setelah melalui sejarah percobaan dalam
skala laboratorium pada dulunya dengan kerjasama bersama para ahli di bidang
lingkungan. Penerapan teknologi bioremediasi petroleum ini dilakukan oleh
PT. Chevron Pacific Indonesia (CPI) pada tanah yang terkontaminasi, yang
dilakukan secara ex-situ. Prosedur yang dilakukan CPI adalah dengan meneliti
sampel yang terpapar petroleum melalui tes TPH (Total Petroleum
Hydrocarbon). Sesuai dengan Kepmen KLH no. 128/2003, tanah yang
mengandung TPH maksimal 15% dinilai efektif untuk diolah dengan proses
bioremediasi.
Tanah tercemar diangkut dan diolah pada fasilitas bioremediasi yang
diuji minimal sekali dalam dua minggu selama proses bioremediasi, yang
berlangsung maksimal 8 bulan. Lamanya proses bioremediasi tergantung
karakteristik tanah dan tingkat TPH. Jika uji tanah telah menunjukkan nilai
TPH kurang atau sama dengan 1%, proses bioremdiasi dinyatakan berhasil
berdasarkan Kepmen KLH no.128/2003 dan dapat dipergunakan untuk
program penghijauan atau keperluan operasi dengan ijin dari KLH. Tanah ini
selanjutnya diangkut keluar fasilitas bioremediasi untuk ditempatkan pada
lokasi yang telah disetujui. Tanah tersebut dapat dimanfaatkan untuk
penghijauan dan keperluan operasi dengan persetujuan KLH (Chevron, 2012).

4. Bioremediasi Logam Berat (Heavy Metal)


Logam berbeda dengan senyawa beracun lainnya karena logam tidak
dapat dihancurkan dalam tubuh manusia. Banyak jenis logam yang sangat
berbahaya bahkan mematikan jika dikonsumsi melebihi standar kebutuhan
manusia. Beberapa jenis logam yang sangat dibutuhkan untuk proses
pertumbuhan dan perkembangan manusia meskipun dalam dalam jumlah
sedikit. Logam-logam tersebar secara alami di alam melalu banyak proses
seperti dalam bentuk debu letusan gunung berapi, proses pelapukan bebatuan
yang mengandung senyawa atau unsur-unsur logam, pembakaran minyak fosil,
hasil pembakaran hutan dan insdustri, pembuangan limbah domestik dan
industri. Contoh logam yang berpotensi toksik adalah arsen, selenium, merkuri
(raksa), dan cadmium (Arisman, 2009:67).

5. Bioremediasi Lingkungan Tercemar Merkuri/raksa (Hg)


Salah satu lokasi di Sumatera Barat yang dikenal sebagai tambang emas
adalah kabupaten Sijunjung. Aktivitas penambangan ilegal bisa ditemukan di
sepanjang aliran sungai dan di sekitar lahan pertanian. Penambangan ilegal
umumnya melibatkan penggunaan merkuri (Hg) secara ekstensif untuk
memurnikan emas melalui proses amalgasi. Proses amalgasi inilah yang
nantinya akan menimbulkan bahaya pada lingkungan. Banyaknya penggunaan
merkuri dalam aktivtas tambang emas ini sulit untuk didata secara akurat
karena penambangan yang dilakukan ilegal.
Bentuk merkuri di atmosfer adalah bentuk elemennya, yaitu Hg (Hg 0),
yang bisa teroksidasi menjadi ion merkuri (Hg 2+) sebagai hasil dari interaksi
dengan air di ozon. Ketika kedua bentuk merkuri inorganic (Hg2- dan Hg0) yang
hadir dalam perairan, kemudian terkonversi menjadi merkuri organik yang
sangat toksik (metilmerkuri/MeHg) yang bisa masuk ke rantai makanan
melalui bioakumulasi. Bioakumulasi metilmerkuri dalam tubuh pada
konsentrasi yang tinggi bisa membahayakan kesehatan.
Sebuah penelitian oleh Essa dkk mengindikasikan bahwa mekanisme
tertentu pada mikroba bisa bertahan pada lingkungan tercemar merkuri dengan
konsentras tinggi. Berkembangnya kemampuan mekanisme detoksifikasi
terhadap beberapa bentuk kimia merkuri, mikroba resisten memainkan peran
penting pada bioremediasi lingkungan yang terkontaminasi merkuri.
Penelitian yang dilakukan Febria bertujuan untuk menemukan bakteri
yang diisolasi dari bekas tambang ilegal di kabupaten Sijunjung. Setelah
dilakukan screening pada kemampuan bakteri, akhirnya bisa diisolasi lima
bakteri resisten merkuri.
Penelitian ini masih dalam skala laboratorium, dengan mengisolasi lima
bakteri tersebut dal ditumbuhkan pada medium Nutrient Broth dengan
penambahan, 200, 2500 ppm HgCl2. Penanamam (kultivasi) bakteri diukur
dengan optical density menggunakan spektrofotometer dengan λ 600 nm sekali
dalam tiga hari selama 12 hari inkubasi pada suhu ruangan (27-30oC).
Persentase reduksi merkuri diukur dengan ICPE Shimadzu (Inductively
Coupled Plasma) setelah inkubasi 12 hari.
Pertumbuhan dari lima bakteri pada medium natrium broth dengan
penambahan HgCl2 (Merkuri (II) klorida) yang bervariasi, ditunjukkan pada
diagram berikut.

Gambar 11. Pertumbuhan bakteri resisten merkuri pada medium Nutrient


Broth dengan penambahan HgCl2 pada skala laboratorium, berdasarkan nilai
optical density (OD) yang diukur sekali dalam tiga hari selama 12 hari
inkubasi.

Gambar diatas menunjukkan bahwa bakteri yang diisolasi bisa tumbuh


dalam medium dengan baik, sesuai dengan hasil pengukuran OD. Nilai OD
tertinggi berasal dari bakteri MRB5, dengan nilai dari 0,02 sampai 1,201. Fase
pertumbuhan bakteri pada medium tidak melaluui fase lag karena kultivasi
dilakukan berulang dengan medium yang sama. Fase log akan terus berlanjut
selama nutrisi dan kesesuaian lingkungan untuk pertumbuhan bakteri
terpenuhi. Selanjutnya, fasse kehidupan bakteri berlanjut ke fase stationer,
yaitu fase ketika bakteri memasuki tahap melambatnya pertumbuhan sel atau
berhentinya pertumbuhan sel. Kehidupan bakteri semakin terbatas di dalam
medium karena semakin berkurangnya nutrisi dan oksigen, serta semakin
menumpuknya hasil sekresi dan polutan biokimia lainnya. Fase kemudian
berlanjut ke fase eksponensial, dengan dimulainya fase kematian.
Bakteri yang mampu hidup dalam lingkungan yang terkontaminasi
merkuri memiliki mer operon, yaitu gen yang resisten terhadap merkuri, tetapi
setiap bakteri resisten merkuri memiliki struktur mer operon yang berbeda.
Mer operon mengandung gen metaloregulator (merR), gen transport merkuri
(merT, merP, merC), gen reduktase merkuri (merA), dan liase organomerkuri
(merB). Bakteri dengan hanya merA disebut dengan bakteri reisten merkuri
dengan kemampuan narrow spectrum. Beberapa bakteri tidak hanya memiliki
protein reduktase protein (merA) tetapi juga liase organomerkuri (merB) yang
berfungsi memutus ikatan merkuri-karbon sehingga menjadi komponen
organik dan ion Hg. Bakteri dengan protein merA dan merB disebut dengan
broad spectrum bakteri resisten merkuri.
Kapasitas bakteri pereduksi merkuri pada medium Nutrient Broth dalam
skala laboratorium disajikan pada gambar berikut.

Gambar 12. Persentase reduksi merkuri (HgCl2) oleh bakteri

Gambar diatas menunjukkan kemampuan isolate bakteri pereduksi


merkuri (HgCl2) dalam 70.69-85.44 dalam 150-200 ppm HgCl2. Persentase
tertinggi berasal dari isolate MRB5. Protein merA berfungsi untuk mereduksi
ion merkuri, mengkonversinya menjadi merkuri yang kurang toksik (Hg0) yang
bisa terevaporasi pada suhu ruangan. Sedangkan protein merB berfungsi untuk
memutus ikatan merkuri-karbon sehingga menjadi komponen organik dan ion
Hg2+. Jadi dapat disimpulkan bahwa isolate MRB dapat digunakan untuk agen
bioremediasi pada lingkungan tercemar merkuri (Febria, dkk. 2016).

BAB III
KESIMPULAN

A. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari uraian makalah yang telah diberikan
adalah sebagai berikut:
1. Bioremediasi merupakan proses perbaikan lingkungan tercemar dengan
memanfaatkan mikroorganisme dan tumbuhan.
2. Bioremediasi dilakukan dengan tujuan mengembalikan lingkungan ke
kondisi awal dengan menghilangkan polutan.
3. Bioremediasi memiliki manfaat yang lebih diantara teknik perbaikan
lingkungan yang lain, diantaranya aman bagi lingkungan dan sangat efektif
dari segi biaya.
4. Cara kerja bioremediasi dalam memperbaiki lingkungan jika dilakukan oleh
mikroorganisme adalah dengan oksidasi, pengikatan, immobilizing, dan
transformasi logam berat.
5. Cara kerja bioremediasi jika dilakukan dengan tumbuhan (fitoremediasi)
adalah fitoekstraksi, fitofiltrasi, fitostablisasi, dan fitovolatilasi, dan
fitodegradasi.
DAFTAR PUSTAKA

Chevron Pacific Indonesia. 2012. Program Bioremediasi di PT. Chevron Pacific


Indonesia. Lembar Fakta Bioremediasi, 12 Juni 2012. (online)
(http://www.chevronindonesia.com/ diakses tanggal 22 September 2018).
Dixit, Ruchita., Wasiullah., Malaviya, Deepti, dkk. 2015. “Bioremediation of
Heavy Metals from Soil and Aquatic Environment: An Overview of
Principles and Criteria of Fundamental Processes”. Sustainability, 2015,
7:2189-2212.
Febria, Fuji Astuti., Zakaria, Indra Junaidi., Syukriani, Lily., Rahayu, Sri Puspa.,
dan Fajri, Melisa Ainil. 2016. The Highest Mercury Resistant Bacteria as a
Mercury Remediator from Gold Minning Soil in West Sumatera, Indonesia.
Journal of Chemica and Pharmaceutical Research, 2016, 8(1):394-397.
Gadd, G. M (Ed.). 2001. Fungi in Bioremediation. United Kingdom: Cambridge
University Press.
Lawniczak, Lukasz., Marecik, Roman., Chrzanowski, Lukasz. 2013.
“Contribution of Biosurfactants to Natural Induced Bioremediation”. Appl
Microbiol Biotechnol, 2013, 97:2327-2339.
Mohanty, Sagarika., Jasmine, Jublee., dan Mukherji, Suparna. 2013. “Practical
Consideration and Challenges Involved in Surfactant Enhanced
Bioremediation of Oil”. BioMed Research International, Vol 2013.
Septiadevana, Riski. 2006. Komposisi Penyusun Minyak Bumi dan Gas Alam.
Bahan Kuliah (Online) (http://kimia.upi.edu/ diakses tanggal 22 September
2018).
Sembel, Dantje T. 2015. Toksikologi Lingkungan. Yogyakarta: ANDI.
Singh, Shree N., Tripathi, Rudra D. (Eds.). 2007. Environmental Bioremediation
Technologies. Berlin: Springer.
Solomon, Eldra P., Berg, Linda R., dan Martin, Diana W. 2011. Biology, Ninth
Edition. Boston: Brooks/Cole Publishing.
USU. TT. Kemasan Plastik. Medan: Universitas Sumatera Utara. (online)
(http://ocw.usu.ac.id/couse/ diakses 26 September 2016).
Yoshida S, Hiraga K, Takehana T, Taniguchi I, Yamaji H, Maeda Y, Toyohara K,
Miyamoto K, Kimura Y, dan Oda K. 2016. A Bacterium that Degrades and
Assimilates Poly(ethylene terephthalate). (online)
Suryani, Y. (2011). Bioremediasi Limbah Merkuri Dengan Menggunakan Mikroba
Pada Lingkungan Yang Tercemar. JURNAL ISTEK, 5(1-2).
Ahda, Y., & Fitri, L. (2017). Karakterisasi Bakteri Potensial Pendegradasi Oli
Bekas Pada Tanah Bengkel Di Kota Padang. Sainstek: Jurnal Sains dan
Teknologi, 8(2), 98-103.

Anda mungkin juga menyukai