PENGANTAR
......and due to their higher population densities and extensive land cover
modification, a majority of cities are expected to experience more dramatic
climate-induced changes than surrounding areas (Grimmond, 2007).
(.......dan karena kepadatan penduduk yang lebih tinggi serta alih fungsi lahan
yang meluas, mayoritas dari perkotaan diperkirakan akan mengalami dampak
perubahan iklim secara lebih dramatis daripada daerah di sekitarnya)1
Perubahan iklim merupakan salah satu isu yang paling banyak menyita perhatian
dunia. R.A Reinstein menyebut perubahan iklim sebagai the most complex public policy
issue ever to face goverment.2. Eksistensi ancaman perubahan iklim yang bersifat global
tersebut, mendorong terbentuklah kerjasama global menyangkut isu perubahan iklim.
Dibawah kerangka United Nations Framework Convention on Climate Change
(UNFCCC) yang terbentuk sebagai salah satu hasil dari pertemuan Earth Summit di
1
Halaman 1 dari 30
Brazil pada tahun 1992.3 Hingga saat ini sudah lebih dari 180 negara yang telah
meratifikasi konvensi ini. Indonesia sendiri meratifikasi konvensi ini melalui UU No. 6
tahun 1994. Konvensi ini kemudian ditindak lanjuti dengan diadakannya rangkaian
pertemuan lanjutan untuk mengimplementasikan konvensi tersebut. Negara-negara yang
berpartisipasi dalam UNFCCC bertemu dalam forum Conference of the Parties (CoP)
yang hingga tahun 2007 telah berlangsung 13 kali. UNFCCC (United Nations Framework
Convention on Climate Change) mengkategorikan kelompok negara industri maju,
bersama kelompok negara ekonomi transisi dalam bentuk negara Annex 1.4 Langkah
untuk mencapai tujuan konvensi tersebut, maka sebuah protokol telah diadopsi pada
pelaksanaan CoP ke-3 tahun 1997 di Kyoto. Protokol ini kemudian dikenal dengan nama
Protokol Kyoto. Aspek terpenting dari Protokol Kyoto ini mensyaratkan bahwa negaranegara Annex 1, secara bersama-sama berkewajiban untuk mengurangi tingkat emisi
total GRK Annex 1 sebesar 5,2 % level emisi tahun 1990. Kewajiban tersebut
dilaksanakan sesuai dengan komitmen masing-masing negara Annex 1 yang tercantum
dalam Annex B Protokol Kyoto, yang berlaku untuk masa komitmen pertama Protokol
Kyoto.
Pertemuan di Kyoto juga melahirkan sebuah terobosan dalam konteks transfer
teknologi dan bantuan bagi negara-negara berkembang yaitu Clean Development
Mechanism (CDM) atau Mekanisme Pembangunan Bersih. CDM disebut sebagai
kejutan Kyoto (Kyoto surprise) karena sepanjang negosiasi, hanya dibahas dua
mekanisme reduksi emisi gas rumah kaca yang dapat diterapkan oleh negara-negara
Annex 1 dalam upaya memenuhi target reduksi emisi nasional masing-masing, yaitu
perdagangan emisi (emission trading) dan implementasi bersama (joint implementation).
Indonesia sebagai negara pihak dalam Protokol Kyoto, telah meratifikasi Protokol
Kyoto pada tanggal 28 Juli 2004 melalui sidang Pleno yang dilakukan Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI). Hal ini mengingat dampak perubahan iklim di
Indonesia demikian besar, sebagaimana Laporan Analisa Lingkungan Indonesia Oktober
tahun 2009 yang diterbitkan oleh The World Bank Group dengan tema Berinvestasi
Untuk Yang Lebih Berkelanjutan Indonesia sebagai berikut :
3
Halaman 2 dari 30
1. Indonesia akan mengalami kenaikan temperatur yang tidak terlalu tinggi. Temperatur
rata-rata tahunan di Indonesia terlihat naik sekitar 0.3 derajat Celsius (oC) per tahun
sejak 1990 dan terjadi untuk semua musim sepanjang tahun, relatif konsisten atau
sedikit lebih rendah dibanding perkiraan tren pemanasan karena perubahan iklim.
Tahun 1990-an merupakan dasawarsa terpanas dan kenaikan 1oC pada 1998 (di
atas rata-rata 1961 1990) menjadikannya tahun terpanas di negara itu dalam abad
ke-20 (Hulme, dkk., 1999).
2. Indonesia akan mendapat curah hujan yang lebih tinggi. Perubahan iklim
diperkirakan akan menaikkan curah hujan per tahun di Indonesia sebesar 2 hingga 3
persen (Ratag, 2001 dalam Susandi, 2007). Seluruh negara ini akan mendapat curah
hujan yang lebih tinggi, sementara perubahan terbesar terjadi di Maluku. Kenaikan
curah hujan diperkirakan akan berlanjut dan, karena perubahan iklim, musim hujan
akan lebih pendek (lebih sedikit jumlah hari hujan dalam setahun), yang
menyebabkan risiko banjir naik secara signifikan.
3. Ketahanan pangan di Indonesia akan terancam oleh perubahan iklim. Perubahan
iklim akan mengubah curah hujan, penguapan, air limpasan, dan kelembapan tanah;
karena itu akan berpengaruh pada pertanian dan tentu saja ketahanan pangan.
Kemarau akibat El Nino tahun 1997 mempengaruhi 426,000 hektar sawah.
Penurunan produksi (diukur sebagai deviasi persentase dari rata-rata bergerak limatahun) selama delapan tahun El Nino antara 1965 dan 1997 rata-rata 4 persen.
Variabilitas produksi selama 1963-1998 terbesar untuk jagung (13.5 persen)
terutama karena perubahan area tanam (World Bank, 2008). Untuk beberapa
wilayah tertentu, kerugian mungkin lebih tinggi: Jawa Timur/Bali, wilayah dengan
musim hujan yang singkat, diperkirakan mencapai 18 persen untuk musim panen
Januari-April (Naylor dkk., 2007). Model yang menyimulasikan dampak perubahan
iklim terhadap tanaman (Goddard Institute of Space Studies, UK Meteorological Offi
ce) memperlihatkan penurunan hasil panen di Jawa Barat dan Jawa Timur.
Perubahan iklim kemungkinan akan mengurangi kesuburan jangka panjang tanah 2
hingga 8 persen, mengakibatkan penurunan produksi padi sebesar 4 persen per
tahun, kedelai sebesar 10 persen, dan jagung sebesar 50 persen (Amin, 2004 dan
Parry dan Nih, 1992).
4. Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia berkaitan erat dengan perubahan iklim.
Selama tahun-tahun El Nino, area total lahan dan hutan yang mengalami kebakaran
meningkat secara signifi kan, demikian pula dengan emisi karbon (Pemerintah
Indonesia, 2007). Kebakaran ini menghancurkan habitat, mencemari daerah aliran
sungai,
menyusutkan
jumlah
keanekaragaman
hayati,
dan
meningkatkan
Halaman 3 dari 30
bencana alam terbesar di dunia antara 1907 dan 2007. Potensi kerusakan dan
kerugian ekonomi yang ditimbulkan, baik langsung maupun tidak mencapai US$ 17
miliar (OFDA/CRED, 2007).
5. Variabilitas curah hujan akan berpengaruh buruk pada sumber air. Kenaikan dan
penurunan curah hujan akan berpengaruh buruk pada pembangkit hidrolistrik dan
persediaan air minum, keduanya tergantung pada suplai teratur dari waduk. Data
dari delapan bendungan selama enam tahun El Nino memperlihatkan bahwa
produksi PLTA di bawah normal. Kekurangan air di waduk juga akan berpengaruh
pada ketersediaan air minum, terutama di kota besar. Sebaliknya, curah hujan yang
tinggi yang menyebabkan kekeruhan akan merusak fasilitas pemrosesan air,
mencemari persediaan air dan meningkatkan biaya pengolahan air (Pemerintah
Indonesia,2007).
6. Kenaikan permukaan air laut akan menggenangi zona pesisir yang produktif.
Perubahan iklim juga akan menaikkan permukaan air laut karena pertambahan
volume air laut dan melelehnya selubung es kutub. Permukaan air laut di Teluk
Jakarta akan naik setinggi 0.57 sentimeter (cm) per tahun. Kedalaman area yang
tergenang berkisar antara 0.28 dan 4.17 pada 2050 (Meliana 2005 dalam Susandi,
2007). Hal ini bersama dengan penurunan permukaan tanah sebesar 0.8 cm per
tahun, sebagaimana diamati di Teluk Jakarta, dapat berdampak besar pada
prasarana dan produktivitas kota, (Priambodo, 2005). Selain itu, di kabupaten
pedesaan seperti Karawang dan Subang, penurunan pasokan padi lokal sebesar 95
persen (turun 300,000 ton) diperkirakan akan terjadi karena tergenanginya daerah
pesisir. Di beberapa kabupaten, produksi jagung akan turun 10,000 ton, sekitar
setengahnya karena tergenang air laut. Dalam skala nasional, analisis baru-baru ini
oleh Columbia University memperlihatkan risiko kenaikan permukaan air laut yang
meluas di Indonesia. Wilayah dengan kepadatan penduduk lebih dari 1,000 orang
per kilometer persegi seperti Jakarta, Yogyakarta, Semarang, dan Surabaya, adalah
wilayah yang paling terkena dampak kenaikan permukaan air laut (CIESIN, 2007).
Secara total, ada 41,610,000 orang Indonesia yang tinggal dalam jarak sepuluh
meter dari permukaan laut rata-rata. Mereka inilah yang paling rentan terhadap
perubahan permukaan air laut (IIED, 2007).
7. Kenaikan permukaan air laut akan mengurangi mata pencarian pertanian dan pesisir.
Kenaikan permukaan air laut juga akan berpengaruh pada produksi ikan dan udang.
Di kabupaten Karawang dan Subang, kerugian itu diperkirakan lebih dari 7,000 ton
dan 4,000 ton masing-masing (bernilai lebih dari US$ 0.5 juta). Di hilir Daerah Aliran
Sungai Citarum, kenaikan permukaan air laut dapat menyebabkan tergenanginya
sekitar 26,000 hektar kolam dan 10,000 hektar lahan pertanian. Hal ini dapat
menyebabkan hilangnya 15,000 ton hasil ikan dan berbagai jenis udang, dan sekitar
Halaman 4 dari 30
940,000 ton produksi beras. Efeknya secara keseluruhan akan mengurangi potensi
pendapatan rata-rata. Pengurangan hasil yang diperkirakan ini akan membebani
petani padi US$ 10 hingga US$ 17 per tahun, petani kedelai US$ 22 hingga US $72,
dan petani jagung US$ 25 to US $130 per tahun. Di Kabupaten Subang saja,
diperkirakan penurunan hasil panen ini akan menyebabkan sekitar 43,000 buruh tani
kehilangan pekerjaan. Di samping itu, lebih dari 81,000 petani harus mencari sumber
penghasilan lain karena sawah atau kolam ikan dan tambak udangnya tergenang
karena kenaikan permukaan air laut (Parry & Nih, 1992).
8. Pemanasan air laut akan mempengaruhi keanekaragaman hayati bahari. Perubahan
iklim akan menyebabkan kenaikan suhu air laut Indonesia sebesar 0.2 hingga 2.5oC.
Terumbu karang seluas 50,000 km2 di Indonesia, sekitar 18 persen total terumbu
karang dunia, sudah berada dalam keadaan sulit. Peristiwa El Nino tahun 1997
1998 saja diperkirakan menyebabkan pemutihan pada 16 persen terumbu karang
dunia. Dalam Survei tahun 2000, hanya 6 persen terumbu karang Indonesia yang
berada dalam kondisi sangat baik, 24 persen dalam kondisi baik, dan 70 persen
sisanya dalam kondisi sedang hingga rusak (John Hopkins University dan Terangi,
2003). Survei di Taman Nasional Bali Barat menemukan bahwa sebagian besar
terumbu karang berada dalam kondisi rusak. Lebih dari setengah penurunan kualitas
diakibatkan pemutihan terumbu karang. Ini menempatkan Taman Nasional Bali Barat
sebagai tempat yang mengalami bencana (Wilkinson, 2000 dalam Setiasih, 2006). Di
Pulau Pari, dalam Taman Nasional Pulau Seribu, 50 60 persen terumbu karangnya
ditemukan mengalami pemutihan pada 1997 (Irdez 1998 dalam Setiasih, 2006);
sepuluh tahun kemudian, ini meningkat menjadi 90-95 persen (Pemerintah
Indonesia, 2007b)
9. Perubahan iklim akan menyebabkan berjangkitnya penyakit yang dibawa air dan
vektor. Pada akhir 1990-an, El Nino dan La Nina diasosiasikan dengan mewabahnya
malaria, demam berdarah, dan sampar. Malaria menyebar hingga ke dataran tinggi
dan terdeteksi untuk pertama kalinya di tempat setinggi 2,103 m di tanah tinggi Irian
Jaya pada 1997 (Epstein, dkk., 1998). Pada 2004, galur demam berdarah yang lebih
mematikan mungkin muncul kembali. Demam berdarah menyebar lebih cepat dan
membunuh lebih banyak daripada tahun-tahun sebelumnya, terutama pada tahuntahun La Nina (Pemerintah Indonesia, 2007).5
Halaman 5 dari 30
TUJUAN PENELITIAN
Kajian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk inovasi kebijakan melalui strategi adaptasi
dan mitigasi dalam perlindungan iklim di Indonesia, baik pada level pemerintah pusat
maupun pada level pemerintah daerah.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan melalui studi kepustakaan. Kegiatan dalam metode ini dilakukan
oleh peneliti untuk menghimpun informasi yang relevan dengan topik atau masalah
mengenai bentuk bentuk strategi adaptasi dan mitigasi dalam perlindungan iklim di
Indonesia, baik pada level pemerintah pusat maupun pada level pemerintah daerah
sebagai suatu bentuk dalam inovasi kebijakan. Informasi akan hal tesebut, dapat
diperoleh dari buku-buku ilmiah, laporan penelitian, karangan-karangan ilmiah, peraturanperaturan, ketetapan-ketetapan, buku tahunan, dan sumber-sumber tertulis baik tercetak
maupun elektronik lain.
Halaman 6 dari 30
dilakukan.
Secara umum strategi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim adalah integrasi program
aksi keduanya kedalam rencana pembangunan nasional jangka panjang, menengah dan
jangka pendek, yang dituangkan dalam program kerja kementerian dan kelembagaan.
Proses pengintegrasian tersebut terjadi melalui beberapa tahap dan proses.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2005 2025, perubahan iklim
dinyatakan sebagai tantangan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan dan
pengurangan kemiskinan. Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 2004-2009 juga mengidentifikasi dampak perubahan iklim di
Indonesia terhadap upaya untuk mencapai target-target yang ditetapkan dalam rencana
pembangunan tersebut. Walaupun demikian, strategi pembangunan nasional yang
dituangkan dalam RPJMN 2004-2009 belum secara lengkap mempertimbangkan aksi
untuk melaksanakan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim secara sektoral dan lintassektoral.
Tindakan adaptasi adalah upaya untuk mengatasi dampak perubahan iklim,
sehingga mampu mengurangi dampak negatif dan mengambil manfaat positifnya. Dalam
pengertian lain adaptasi adalah upaya untuk mengelola hal yang tidak dapat dihindari.
Dalam hal ini upaya perubahan dilakukan dengan asumsi bahwa perubahan iklim
merupakan suatu keniscayaan yang tidak dapat dihindari dan terjadi secara global.
Tindakan mitigasi adalah upaya utuk mengatasi penyebab perubahan iklim melalui
kegiatan yang dapat menurunkan emisi/meningkatkan penyerapan gas rumah kaca dari
berbagai sumber emisi. Dalam pengertian lain mitigasi adalah upaya untuk menghindari
hal yang tidak dapat dikelola. Dalam hal ini upaya perubahan dilakukan pada sumber
penyebab pemanasan global. Secara umum langkah adaptasi dilakukan dengan asumsi
bahwa perubahan iklim yang terjadi sudah tidak dapat dielakkan karena sudah, sedang
dan akan terjadi, sehingga diperlukan perubahan pola dan tingkah laku untuk
penyesuaiannya. Sedangkan langkah mitigasi dilakukan dengan asumsi bahwa masih
ada harapan perubahan iklim dapat dicegah terutama untuk generasi mendatang.
Apabila langkah adaptasi dilakukan dengan benar maka akan dapat mengurangi dampak
Halaman 7 dari 30
risiko perubahan iklim dan dapat mengambil langkah optimal dengan memanfaatkan
informasi iklim.
Perhatian terhadap fenomena perubahan iklim semakin meningkat di kalangan
pemangku kepentingan di Indonesia, termasuk pembuat kebijakan, menjelang Konferensi
para Pihak ke-13 (COP-13) dari Konvensi PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) di
Bali pada Desember tahun 2007. Untuk pertama kalinya, pemerintah mengeluarkan
naskah Rencana Aksi Nasional menghadapi Perubahan Iklim (RAN-PI), yang mencakup
situasi fenomena perubahan iklim di Indonesia dan usulan rencana aksi mitigasi gas
rumah kaca dan adaptasi terhadap peningkatan pemanasan global dan perubahan iklim,
melalui koordinasi antar sektor pembangunan.
Lebih kurang enam bulan setelah COP 13, dengan mempertimbangkan perlunya
meningkatkan koordinasi pelaksanaan pengendalian perubahan iklim dan untuk
memperkuat posisi Indonesia di forum perundingan internasional dalam pengendalian
perubahan iklim, Presiden RI membentuk Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI)
melalui Peraturan Presiden No. 46/2008. Presiden RI menjadi Ketua DNPI, yang dibantu
oleh dua orang Wakil Ketua, yakni Menko Perekonomian dan Menko Kesra, 17 Menteri
terkait dan Kepala BMKG sebagai anggota. Untuk melaksanakan mandatnya, maka
Presiden menunjuk seorang Ketua Harian, Kepala Sekretariat, dan dibantu oleh
Kelompok-kelompok Kerja (Pokja) sebagai pelaksana kegiatan Dewan sehari-hari.
Upaya untuk mengoperasionalkan rekomendasi dalam RAN-PI kedalam RPJMN
2004-2009
coba
dilakukan
oleh
Badan
Perencanaan
Pembangunan
Nasional
Halaman 8 dari 30
bertujuan
mengintegrasikan
perubahan
iklim
kedalam
perencanaan
Halaman 9 dari 30
dipublikasi dan dapat dipakai sebagai salah satu acuan untuk menetapkan prioritas
kebijakan dan rencana aksi untuk mencapai target penurunan emisi GRK sebesar 26 dan
41 persen, sebagaimana telah digariskan oleh Presiden RI. Sesuai dengan profil emisi
GRK maka Reducing Emission from Deforestation and Degradation (REDD) adalah salah
satu
bentuk
program
mitigasi
GRK
yang
penting
bagi
Indonesia.
Untuk
http://www.thejakartapost.com/news/2010/09/24/kuntoro-mangkusubrotochairs-redd-taskforce.html
Draft pertama Naskah Stranas REDD tertanggal 23 September 2010. Naskah ini disusun oleh
Bappenas, bekerjasama dengan Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian
Halaman 10 dari 30
Halaman 11 dari 30
Halaman 12 dari 30
Halaman 13 dari 30
kebijakan-kebijakan
yang
sebelumnya
(konvensi
dan
kebijakan
dunia
membatasi
dan
mengurangi
emisi
melalui
mekanisme
pendanaan.
Pelaksanaan CDN dapat dilaksanakan melalui bilateral, multilateral dan unilateral. Pada
dasarnya kegiatan CDM dapat dibedakan atas kegiatan yang menurunkan emisi GRK
pada sumber dan kegiatan yang menyerap GRK dari atmosfer. Kegiatan yang
menurunkan emisi dari sumber biasanya terfokus pada sektor yang memanfaatkan
energi, sementara kegiatan untuk menyerap GRK dari atmosfer, dikenal pula sebagai
carbon sequestration, adalah kegiatan non-energi seperti kehutanan. Adapun sektorsektor yang termasuk kedalam CDM, antara lain : sektor energi, transportasi, industri,
komersial & rumah tangga, persampahan dan kehutanan. Hal ini apabila dikomparasikan
dengan sektor-sektor yang diintervensi dalam kebijakan penanganan iklim di Indonesia
dapat dilihat pada tabel berikut :
Halaman 14 dari 30
Tabel 1. Komparasi Sektor CDM dengan Sektor yang Diatur dalam Kebijakan
Penanganan Perubahan Iklim Di Indonesia
No.
Sektor Penanganan
CDM
Kebijakan Indonesia
1
Pertanian
Kesehatan
Kehutanan
Transportasi
Industri
Energi
Pengolahan Limbah
10
Komersial
&
Rumah
Tangga
Keterangan : = Ya x = Tidak
Beragam inovasi kebijakan pada pada level pemerintah pusat (nasional), yang
tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2005 2025,
Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014,
Rencana Aksi Nasional menghadapi Perubahan Iklim (RAN-PI, National Development
Planning: Indonesia Response to Climate Change Yellow Book, Second National
Communication (SNC), Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap (ICCSR),
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2011 Tentang Rencana Aksi
Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca; Strategi Nasional REDD+ dan Pedoman
Pengukuran Karbon untuk mendukung Penerapan REDD+, juga dipengaruhi oleh kondisi
riil yang terjadi di Indonesia. Artinya bahwa kebijakan-kebijakan yang sebelumnya
bukanlah salah satu faktor penentu timbulnya inovasi kebijakan pada skala nasional,
akan tetapi juga desakan fakta empiris tentang dampak yang ditimbulkan dari adanya
perubahan iklim di Indonesia. Adapun pemetaan atas dampak, rasionalitas strategi
adaptasi dan strategi serta program prioritas dalam penanganan perubahan iklim di
Indonesia dapat dilihat pada tabel berikut:
Halaman 15 dari 30
Tabel 2. Pemetaan Atas Dampak, Rasionalitas Strategi Adaptasi Dan Strategi Serta
Program Prioritas Dalam Penanganan Perubahan Iklim Di Indonesia
No
1.
7
8
Dampak
a. Indonesia akan
mengalami
kenaikan
temperatur yang
tidak terlalu tinggi
b. Ketahanan pangan
di Indonesia akan
terancam oleh
perubahan iklim
c. Indonesia akan
mendapat curah
hujan yang lebih
tinggi
d. Kebakaran hutan
dan lahan di
Indonesia
berkaitan erat
dengan perubahan
iklim
e. Variabilitas curah
hujan akan
berpengaruh buruk
pada sumber air
f. Kenaikan
permukaan air laut
akan menggenangi
zona pesisir yang
produktif
g. Kenaikan
permukaan air laut
akan mengurangi
mata pencarian
pertanian dan
pesisir
h. Pemanasan air
laut akan
mempengaruhi
keanekaragaman
hayati bahari
i. Perubahan iklim
akan
menyebabkan
berjangkitnya
penyakit yang
dibawa air dan
vektor
Bentuk
Strategi
Adaptasi
Sektor
Program Prioritas
Pertanian
Kesehatan
Penguatan sistem
kesehatan sebagai respon
terhadap perubahan iklim
Kehutanan
Transportasi
Mitigasi
Rasionalitas
Industri
Energi
Pengembangan dan
Pemanfaatan Energi
Terbarukan
Pengolahan
Limbah
Program peningkatan
kualitas landfill
Sumber: diolah dari bahan Presentasi Bappenas, 2009, Penyusunan Road Map Pengarusutamaan Isu Perubahan Iklim
ke
dalam
Perencanaan
Pembangunan
Nasional.
http://www.dephut.go.id/files/Presentasi
_Roadmap_Bapenas_09.pdf
Proses adaptasi kembali terjadi, bersamaan dengan adopsi atas dampak yang
ditimbulkan dari adanya perubahan iklim. Artinya pada skala nasional, inovasi kebijakan
dalam bentuk munculnya beragam kebijakan-kebijakan level pusat, dipengaruhi oleh
Halaman 16 dari 30
dampak riil maupun potensial yang ditimbulkan dari perubahan iklim. Sehingga faktor
dampak dapat dikatakan sebagai pemicu dari munculnya inovasi kebijakan. Lebih lanjut,
pemetaan dokumen kebijakan skala nasional
Tabel 3. Kebijakan Makro, Meso, dan Mikro pada Skala Nasional Terkait Langsung
dengan Penanganan Perubahan Iklim Di Indonesia
No
Bentuk
Strategi
Sektor
1.
Kebijakan Makro
Kebijakan Meso
Rencana
Pembangunan
Jangka Panjang
(RPJP) 2005
2025,
Dokumen
Rencana
Pembangunan
Jangka
Menengah
Nasional
(RPJMN) 20102014,
Kelautan dan
Perikanan
Pertanian
2
Adaptasi
3
4
Kesehatan
Sumber Daya
Air
Kehutanan
Mitigasi
6
7
8
9
Transportasi
Industri
Energi
Pengolahan
Limbah
Kebijakan Mikro
Halaman 17 dari 30
Nama Proyek
Bahari CoComposting
Project
Nagamas
Biomassa
Cogeneration
Project
Gandaerah
Hendana CoComposting
Project
Pangkalan
Brandan Palm Oil
Waste Power Plant
The Greenhouse
Gases Emission
Reduction
Programme for
Urban Buses in
Yogyakarta
Wayang Windu
Unit 2
Uraian
Proyek manajemen limbah dari industri minyak sawit. Limbah diolah
menjadi kompos untuk mengurangi emisi gas methana dari limbah minyak
sawit. Reduksi emisi diperkirakan mencapai 58,458 ton CO2 per tahun
dalam jangka waktu 10 tahun.
Implementasi proyek Permata Hijau Group (PHG) yang melibatkan
kontruksi pembangkit biomas di terminal induk PHG di Dumai, Sumatera.
Dari proyek ini diharapkan dapat menurunkan CO2 sebesar 75.147
ton/tahun. Penurunan emisi GRK ini dilakukan dengan tidak lagi
menggunakan bahan bakar fosil untuk mengoperasikan generator.
Aktivitas dari proyek ini adalah proyek yang dilakukan di Propinsi Riau,
Sumatera. Proyek ini akan menghindari emisi gas methana melalui proses
pengomposan. Proyek ini akan menggunakan limbah padat dan cair dari
pabrik kelapa sawit untuk memproduksi kompos organik yang dapat
digunakan untuk pemupukan perkebunan kelapa sawit. Proyek ini
diperkirakan dapat mengurangi emisi sebesar 81.629 ton CO2/tahun.
Aktivitas proyek ini bertujuan untuk mengurangi emisi GRK dengan
mengenalkan sistem pembangkit turbine gas oleh PT. Sumi Rubber
Indonesia (SURINDO), yang merupakan perusahaan ban automobile di
Cikampek, Jawa Barat. Sistem pembangkit turbin gas ini akan
menggunakan tenaga listrik dari gas alam dan menghasilkan energi listrik
mencapai 56 GWh/tahun serta 148.860 ton panas. Dan hasil ini akan
dimanfaatkan untuk operasi SURINDO.
Pangkalan Brandan Palm Oil Waste Power Plant, melakukan pembakaran
220.000 ton/tahun ampas buah sawit dari 6 pabrik pengolahan minyak
sawit untuk menggerakkan 10.3 MW di Pangkalan Brandan, Sumatera
Utara. Proyek ini dikembangkan di bawah program Pembina Institute di
Kanada dan Tata Energy Research Institute (TERI) di India yang sedang
mengeksplorasi aplikasi CDM di Asia. Potensi pengurangan emisi sebesar
565.000 ton CO2e untuk jangka waktu 10 tahun. Sekarang, proyek ini
sedang mencari investor dari negara maju (Annex I)
Tipe dari proyek ini adalah proyek transportasi. Tujuan utama untuk
menyediakan sistem transportasi umum kota yang atraktif dan ramah
lingkungan. Sistem ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan mobilitas
populasi penduduk kota dan dapat mengurangi emisi dari sistem
transportasi yang digunakan saat ini. Diharapkan proyek ini dapat
mengurangi 25% emisi CO2 yang dihasilkan oleh urban buses at the end
of demonstration project, 10-15% CO2 yang dihasilkan oleh sistem
transportasi kota, 5-10% ambient CO2
Wayang Windu Unit 2, adalah sebuah proyek Geothermal sebesar 110
MW di Jawa. Potensi pengurangan emisi untuk jangka waktu 7 tahun
sekitar 750.000 tCO2e dengan nilai 5,2 Euro per tonnya. Proyek ini dipilih
sebagai sumber dari karbon kredit oleh pemerintah Belanda dan telah
mendapatkan kontrak CERUPT2001 namun pada perkembangannya,
kontrak tersbut gagal dikarenakan dokumen dokumen untuk persiapannya
kurang
Lokasi
Aceh Tamiang,
NAD
Dumai, Sumatera
Riau, Sumatera
Cikampek, Jawa
Pangkalan Brandan,
Sumatera Utara
Yogyakarta
Gunung Wayang,
Bandung Jawa Barat
menyatu
dalam
Dewan
Nasional
Perubahan
Iklim
(DNPI)
berhasil
Halaman 18 dari 30
total emisi yang diturunkan sebesar 33.079.993 ton CO2 eq10. Lebih lanjut, upaya
kerjasama juga dilakukan yang berhasil dilakukan dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 5. Proyek Kerjasama dalam Rangka Perubahan Iklim Di Indonesia
No
1.
Negara
Kerjasama
Indonesia
Belanda
Uraian
Penandatanganan emissions reductions purchase agreement (ERPA) atau kontrak penjualan penurunan
emisi tersertifikasi antara PT Gikoko Kogyo dan International Bank for Reconstruction and Development
dalam kapasitasnya sebagai penanggung jawab Netherlands Clean Development Mechanism Facility.
Program ini merupakan salah satu proyek Clean Development Mechanism (CDM) atau Mekanisme
Pembangunan Bersih (MPB), proyek ini merupakan hasil kerja sama Pemerintah Kota (Pemkot)
Pontianak dengan PT Gikoko Kogyo Indonesia.Pemerintah Kota Pontianak menjadi satu-satunya kota di
Indonesia yang memiliki mesin pengumpul dan pembakar gas di tempat pengelolaan sampah akhir (TPA)
Batulayang, menghasilkan pengurangan sekitar 1,5 juta ton ekuivalen CO2.
2
Indonesia Kerja sama kedua negara mencakup pertukaran informasi mengenai prosedur persetujuan nasional bagi
Denmark
proyek CDM di Indonesia, promosi pengembangan, peningkatan kapasitas, fasilitas penilaian, dan
penyetujuan proyek, serta penghargaan kepemilikan sertifikat proyek CDM yang dapat ditransaksikan
3
Indonesia - Jepang Pemerintah Jepang melalui NEDO mengalokasikan anggaran sebesar Rp 130 miliar untuk pembangunan
proyek Waste Heal Recovery Power Engineering (WHRPG), aplikasi teknologi pemanfaatan panas
terbuang pada semen di Indonesia. WHRPG meru pakan hasil kerja sama NEDO Jepang yang bertujuan
untuk meningkatkan efisiensi dan daya .saing serta meminimalkan emisi gas Co2 melalui mekanisme
pembangunan bersih atau Clean Development Mechanism (CDM).
4
Indonesia - Inggris Lapan dan United Kingdom Space Agency (UKSA) atau lembaga antariksa Inggris. Fokus pada
perubahan iklim dan peningkatan ekonomi Bermanfaat bagi pembangunan kapasitas Measurement
Reporting Verification (MRV) atau pengukuran emisi karbon akibat degradasi dan deforestasi hutan guna
menangani perubahan iklim. Dari sisi ekonomi, kerja sama ini akan bermanfaat di bidang observasi bumi.
Hal ini akan membantu Indonesia antara lain untuk pemantauan ketahanan pangan, pemantauan laut dan
perikanan, pemantauan penanaman padi, dan penanganan bencana.
5
Indonesia Proyek Kesejahteraan Hijau (Green Prosperity Project) senilai 332,5 jutal dolar guna mendukung
Amerika
pertumbuhan ekonomi lingkungan yang berkelanjutan melalui manajemen peningkatan hutan, lahan
gambut, dan sumber daya alam lainnya serta penyebaran energi terbarukan.
Pusat Perubahan Iklim atau Indonesian Climate Change Center (ICCC) yang baru,yang akan fokus
pada pemetaan dan pemantauan lahan gambut yang kaya akan karbon dan hutan tropis dengan
menggunakan keahlian dari US Forest Service dengan total bantuan dana sebesar 6,9 juta dolar
Pengalihan utang untuk pemeliharaan lingkungan sebesar 28,5 juta dolar guna mendukung
pelestarian hutan tropis.
program USAID baru senilai 58 juta dolar untuk pengelolaan hutan, sumber daya kelautan, dan energi
bersih, sebagai bagian dari 119 juta program kemitran SOLUSI dengan Indonesia untuk pencapaian
emisi rendah.
Disamping itu masih banyak kerjasama dengan negara-negara lain dalam hal penanganan perubahan iklim seperti Perancis, Norwegia,
Jerman dan juga Australia
Sumber: diolah penulis dari berbagai sumber, 2012
Beberapa capaian normatif dan empiris pada level nasional yang dicapai
pemerintah Indonesia sehubungan dengan penanganan perubahan iklim yang dapat
dipaparkan dalam tabel berikut :
10
Republik Indonesia, Rencana aksi Nasional Dalam Menghadapi Perubahan IKlim, (Kementrian
Lingkungan Hidup RI, Jakarta 2007), hal, 22
Halaman 19 dari 30
Bentuk
Strategi
1.
Sektor
Aksi Normatif
Kelautan dan
Perikanan
Adaptasi
Pertanian
Kesehatan
Sumber Daya
Air
Kehutanan
Transportasi
Industri
Energi
Pengolahan
Limbah
6
Mitigasi
7
8
9
Aksi Empiris
Umum
Sektoral
Rasio kawasan lindung
perairan terhadap total luas
perairan teritorial 0,14%
(1990) dan 4,35% pada
tahun (2009) melalui
Konservasi mangrove
Kerjasama
bilateral &
internasional
dalam hal
pendanaan
penanganan
perubahan iklim
(Belanda,
Inggris,
Denmark
Australia,
Norwegia,
Jepang,
Perancis,
Amerika Serikat
dll)
Pengiriman
delegasi dalam
pertemuan,
kovensi tentang
perlindungan
iklim
Pendirian
Dewan
Nasional
Perubahan
Iklim
Halaman 20 dari 30
Rencana Aksi
No
1.
2
3
4
5
6
7
8
9
Bentuk Strategi
Adaptasi
Mitigasi
Halaman 21 dari 30
ICCSR
RAN GRK
1.
PP 38 / 2007*
1. Pekerjaan umum
2. Perumahan
1. Sektor Transportasi
3. Penataan ruang
2. Sektor Kehutanan
2.
4. Perencanaan pembangunan
3. Sektor Industri
5. Perhubungan
3.
4. Sektor Energi
6. Lingkungan hidup
5. Sektor Pengelolaan
4.
7. Pertanian dan ketahanan pangan
Persampahan
5.
8. Kehutanan
9. Energi dan sumber daya mineral
10. Perindustrian
Keterangan : PP 38/2007 mendefinisikan bahwa terdapat 31 urusan pemerintahan yang dibagi
bersama antar susunan pemerintahan, daftar di atas hanya menampilkan yang
berkaitan dengan pembagian pada PP 38/2007, ICCSR, dan Draft RAN GRK.
Kegiatan kegiatan pengurangan emisi gas rumah kaca yang tercantum di dalam
RAN GRK ataupun RAD GRK nantinya pada akhirnya akan memiliki keterkaitan dengan
kewenangan dan juga urusan kepemerintahan yang diemban oleh masing masing
lembaga. Oleh karenanya, ketentuan di dalam UU 32/2004 mengenai Pemerintah
Daerah dan juga PP 38/2007 mengenai Pembagian urusan Pemerintahan Antara
Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
merupakan acuan dalam penentuan lembaga penanggungjawab maupun pelaksana
kegiatan pengurangan emisi gas rumah kaca.
Tabel 9. Keterkaitan Bidang Pengurangan Emisi GRK pada RAN dengan
Pembagian Urusan Pemerintahan
Halaman 22 dari 30
Padanan pembagian bidang kegiatan pengurangan emisi gas rumah kaca pada
RAN GRK dengan urusan pemerintahan pada PP 38/2007 menunjukkan bahwa seluruh
bidang berada pada urusan pemerintahan yang dibagi persama antar tingkatan dan/atau
susunan pemerintahan. Kenyataan memperlihatkan adanya keterkaitan antara bidang
kegiatan pengurangan emisi gas rumah kaca dengan pembagian urusan pemerintahan.
Pada gambar tersebut juga diindikasikan klasifikasi urusan pemerintahan yang sifatnya
wajib maupun pilihan bagi Pemerintah Daerah Provinsi maupun Kabupaten/Kota
bergantung kepada karakteristik wilayah masing masing. Urusan wajib ialah urusan
pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah Provinsi dan
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota berkaitan dengan pelayanan dasar. Adapun urusan
pilihan adalah urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi
unggulan daerah yang bersangkutan.
Dalam pembagian urusan pemerintahan, baik urusan wajib maupun urusan
pilihan, pada umumnya terdapat beberapa kriteria yang menjadi pertimbangan; yakni
eksternalitas, akuntabilitias, dan efisiensi dengan memperhatikan hubungan antar
tingkatan dan/atau susunan pemerintahan. Pada praktiknya, pembagian urusan
pemerintahan ini sifatnya akan sangat kontekstual dan sangat dimungkinkan untuk terjadi
perbedaan antara suatu periode ke periode lainnya maupun antar daerah. Oleh
karenanya pada pengaturan teknis untuk setiap bidang urusan pemerintahan perlu
dilakukan dengan melihat pengaturan yang dilakukan melalui kementerian/lembaga
pemerintahan non departemen yang membidangi urusan pemerintah tersebut.
Rencana Aksi Daerah Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK),
sebagai bagian tidak terpisahkan upaya penurunan emisi gas rumah kaca yang
direncanakan di dalam RAN GRK, perlu dilaksanakan dalam kerangka institusi yang
sesuai dan telah ditetapkan sebelumnya. Kerangka institusi nasional yang berperan
dalam mendukung pelaksanaan RAN GRK telah ditetapkan dengan melibatkan beberapa
komponen sebagai berikut :
Halaman 23 dari 30
Institusi
Kementerian
Koordinator
Perekonomian
Kementerian
Perencanaan
Pembangunan Nasional
/ Kepala Bappenas
Melakukan koordinasi pelaksanaan dan pemantauan RAN GRK dengan melibatkan para Menteri
dan Gubernur yang terkait dengan upaya penurunan emisi gas rumah kaca.
Melaporkan pelaksanaan RAN GRK yang terintegrasi kepada Presiden paling sedikit 1 tahun sekali.
Mengkoordinasikan evaluasi dan kaji ulang RAN-GRK yang terintegrasi
Melaporkan hasil evaluasi kepada Menteri Koordinator Perekonomian
Menyusun pedoman RAD-GRK yang akan diintegrasikan dalam upaya pencapaian target nasional
penurunan emisi GRK.
Mengkoordinasikan inventarisasi GRK yang dilakukan oleh masing-masing Kementerian/Lembaga
dan Pemerintah Daerah dan melaporkan hasil inventarisasi GRK tersebut kepada Menteri
Koordinator Perekonomian.
Menyusun pedoman dan metodologi MRV (Measurable Reportable Verifiable)
Memfasilitasi penyusunan RAD-GRK bersama-sama dengan Menteri Perencanaan Pembangunan
Nasional/Kepala Bappenas dan Menteri Lingkungan Hidup
Melaksanakan RAN-GRK dan inventarisasi GRK pada Kementerian/Lembaga masing-masing.
Memantau pelaksanaan RAN-GRK secara berkala.
Melaporkan pelaksanaan kegiatan RAN-GRK yang telah terverifikasi kepada Menteri Koordinator
Perekonomian, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, dan Menteri
Lingkungan Hidup secara berkala, minimal satu tahun sekali.
Menyusun Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK) yang mengacu
pada RAN-GRK dan sesuai dengan prioritas pembangunan daerah berdasarkan kemampuan
APBD dan masyarakat.
Menetapkan RAD GRK melalui Peraturan Gubernur
Menyampaikan RAD-GRK kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Perencanaan Pembangunan
Nasional/Kepala Bappenas untuk diintegrasikan dalam upaya pencapaian target nasional
penurunan emisi GRK
Kementerian
Lingkungan Hidup
Kementerian Dalam
Negeri
Kementerian / Lembaga
Gubernur / Pemerintah
Provinsi
Halaman 24 dari 30
Halaman 25 dari 30
3.
Paparan tentang fakta empiris dan normatif di Indonesia nampak jelas bahwa
penanganan masalah perubahan iklim dalam konteks pembangunan membutuhkan
manajemen risiko iklim saat ini secara efektif, dan pada saat bersamaan juga mampu
mengembangkan sistem pembangunan yang tahan terhadap dampak perubahan iklim
jangka-panjang. Upaya tersebut membutuhkan pendekatan lintas-sektor baik pada
tingkat nasional, regional, maupun lokal. Hal yang mendasar adalah, upaya adaptasi
harus disertai upaya mitigasi karena upaya adaptasi tidak akan dapat efektif apabila laju
perubahan iklim melebihi kemampuan beradaptasi. Pertimbangan mendasar bahwa,
Halaman 26 dari 30
perubahan
iklim
berdampak
terhadap
banyak
sektor,
maka
penanganannya
membutuhkan konsep yang holistik dan koordinasi yang baik diantara sektor.
KESIMPULAN
Sebagai negara kepulauan, Indonesia sangat rentan terhadap dampak perubahan
iklim. Agenda adaptasi perubahan iklim difokuskan pada area yang rentan terhadap
perubahan iklim, yakni: sumber daya air, pertanian, perikanan, pesisir dan laut,
infrastruktur
dan
pemukiman,
kesehatan,
dan
kehutanan.
Untuk
mencapai
pembangungan yang tahan terhadap resiko iklim, pada masing-masing area fokus perlu
untuk diketahui: 1) tujuan agenda perubahan iklim yang ingin dicapai terkait erat dengan
tujuan pembangunan nasional, yang dapat juga diselaraskan dengan pencapaian
Millenium Development Goals (MDGs) Indonesia; 2) kondisi yang ada pada masingmasing area fokus saat ini baik biofisik, program dan inisiatif yang ada serta institusi yang
bertanggung jawab terhadap dampak perubahan iklim; 3) perubahan kunci yang
diperlukan pada program, investasi atau rencana yang sudah ada; dan 4) investasi dan
kegiatan tambahan atau baru yang diperlukan.
SARAN
Dengan kondisi sebagai negara berkembang, kemampuan Indonesia dalam
melakukan adaptasi terhadap perubahan iklim belumlah sebaik negara-negara maju.
Oleh karena itu dikhawatirkan bahwa pembangunan yang sedang dilaksanakan
pemerintah bisa terhambat karena dampak perubahan iklim. Golongan yang paling
rentan terhadap dampak perubahan iklim adalah masyarakat miskin yang juga
merupakan golongan yang paling terkena dampak terhambatnya pembangunan nasional.
Dengan demikian, respon terhadap perubahan iklim harus mengikutsertakan program
pengentasan kemiskinan.
Strategi nasional menghadapi perubahan iklim juga perlu diarahkan pada
pengembangan rekayasa sosial agar masyarakat dapat mengalami perubahan sosial
secara terencana, sistematis dan menyeluruh yang dapat memberikan manfaat bagi
kelangsungan kehidupan sosial dan ekologi. Adaptasi terhadap perubahan iklim
merupakan aspek kunci yang harus menjadi agenda pembangunan nasional dalam
rangka mengembangkan pola pembangunan yang tahan terhadap dampak perubahan
iklim dan gangguan anomali cuaca yang terjadi saat ini dan antisipasi dampaknya ke
depan. Tujuan jangka panjang dari agenda adaptasi perubahan iklim di Indonesia adalah
terintegrasinya adaptasi perubahan iklim ke dalam perencanaan pembangunan nasional.
Halaman 27 dari 30
yang
rentan
sebagai
tindakan
kesiap-siagaan
dini
dan
langsung
akan
dipengaruhi
oleh
perubahan
iklim.
Kemudian
adaptasi
perubahan
iklim
kedalam
perencanaan,
berbagai
sektor
(dengan
fokus
pada
penanggulangan
bencana,
Halaman 28 dari 30
Upaya adaptasi, seperti tertulis dalam Dokumen Rencana Aksi Nasional dalam
Menghadapi Perubahan Iklim (lebih dikenal dengan Dokumen RAN-PI) harus dilakukan
melalui beberapa pendekatan: 1) mengintegrasikan agenda adaptasi perubahan iklim ke
dalam rencana pembangunan nasional seperti Rencana Pembangunan Jangka
Menengah dan Jangka Panjang, 2) meninjau kembali dan menyesuaikan inisiatif atau
program yang ada sehingga menjadi tahan (resilience) terhadap perubahan iklim, 3)
melembagakan pemanfaatan informasi iklim sehingga mampu mengelola resiko iklim, 4)
mendorong daerah otonom untuk mengintegrasikan pertimbangan resiko iklim ke dalam
perencanaan pembangunan daerah, 5) memperkuat informasi dan pengetahuan untuk
mengurangi resiko iklim sekarang dan masa yang akan datang, 6) memastikan
tersedianya sumber daya dan pendanaan yang berasal dari dalam negeri untuk kegiatan
adaptasi serta memanfaatkan semaksimal mungkin bantuan pendanaan internasional, 7)
memilih opsi no-regrets (tanpa penyesalan), yakni mengambil tindakan adaptasi, meski
misalnya perubahan iklim tidak terjadi, sehingga manfaat yang diperoleh selain dapat
mengurangi kerentanan terhadap perubahan iklim sekaligus mendatangkan manfaat bagi
pembangunan nasional, dan 8) mendorong terbentuknya dialog nasional sehingga dapat
mempercepat proses pengimplementasian agenda adaptasi perubahan iklim di
Indonesia.
REFERENSI
Bappenas, 2009, Penyusunan Road Map Pengarusutamaan Isu Perubahan Iklim ke
dalam Perencanaan Pembangunan Nasional. http://www.dephut.go.id/files/Presentasi
_Roadmap_Bapenas_09.pdf
CIESIN, 2007. Population Density Within and Outside of a 10 m Low Elevation Coastal
Zone in Western Indonesia. s.l. : Columbia University, 2007
IIEE (2007), Energy Security and Sustainable Development, The Indonesia Energy
Economics Review Volume 2-2007, Periodical published by IIEE, Jakarta.
Grimmond, S, 2007, Urbanization And Global Environmental Change: Local Effects Of
Urban Warming. The Geographical Journal, 173 (1), hal 8388
Halaman 29 dari 30
Hulme, Mike and Sheard, Nicola (1999), Climate Change Projections in Indonesia.
Climatic Research Unit. United Kingdom : University of East Anglia and WWF
International, 1999
Johnson. 1992, dalam Fabby Tumiwa et al, 2010, Kertas Kebijakan : Strategi
Pembangunan Indonesia Menghadapi Perubahan Iklim: Status dan Kebijakan Saat Ini.,
2010. Penerbit: Friedrich-Naumann-Stiftung fr die Freiheit, Indonesia. ISBN: 978-9791157-29-2
kebayoran
baru,
Jakarta
Electronic
Copy
Available
At
:
http://www.scribd.com/document_downloads/direct/50684525?extension=pdf&ft=
1325914369<=1325917979&uahk= J6ydWpx8bQvDVz9uAcBw9ssfm+g, hal 14
Laporan Analisa Lingkungan Indonesia Oktober Tahun dengan tema Berinvestasi Untuk
Yang Lebih Berkelanjutan Indonesia, 2009 yang diterbitkan oleh The World Bank Group,
Jakarta
Electronic
Copy
Available
At
http://wwwwds.worldbank.org/external/default/WDSContentServer
/WDSP/IB/2009/11/19/000333038_20091119000502/Rendered/PDF/507620v20Revis1b
ox0info10CEA1bahasa.pdf.
Naylor, Rosamond et al. (2007), Assessing the risks of climate variability and climate
change for Indonesian rice agriculture, PNAS Early Edition, May 1, 2007.
Nasrullah, 2010, Perubahan Iklim Dan Trend Data Iklim, Electronic Copy Available At:
http://manado.kaukustujuhbelas.org/content/files/1307525387.pdf
Orbethur, Sebastian & Herman E. Ott, 1999. The Kyoto Protocol : International Climate
Policy for the 21st Century. New York : Springer, 1999, hal. 7-8
Olson, M, 1965. The logic of collective action. Cambridge, MA: Harvard University Press
OFDA/CRED (2007), The International Disaster Database, Catholic University of Louvain,
Belgium.
Pusat Standardisasi dan Lingkungan. 2008. Hutan Dan Pemanasan Bumi. Makalah
disampaikan dalam Seminar Sosialisasi Pemanfaatan Jasa Lingkungan (Nilai Intrinsik)
Sumberdaya Hutan Tingkat Propinsi Jawa Barat, 3 April 2008, Departemen Kehutanan
Ratag, Mezak (2 March 2007), Perubahan Iklim : Perubahan Variasi Curah Hujan, Cuaca
dan Iklim Ekstrim. Jakarta : Badan Metereologi dan Geofi sika.
Reinstein, RA. 1993, Climate Negotitations, The Washington Quarterly Vol. 16 No. 1 hal
79-95,
Electronic
Copy
Available
At:
http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/01636609309451439#
Halaman 30 dari 30