Anda di halaman 1dari 30

Inovasi Kebijakan Melalui Strategi Adaptasi dan Mitigasi

dalam Perlindungan Iklim di Indonesia


Sasmito Jati Utama
Sebagai negara kepulauan, Indonesia sangat rentan terhadap dampak perubahan
iklim. Agenda adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim berdasar fakta
empiris dan normatif di Indonesia demikian penting dilakukan. Penelitian ini
berupaya untuk mengetahui bentuk inovasi kebijakan melalui strategi adaptasi dan
mitigasi dalam perlindungan iklim di Indonesia, baik pada level pemerintah pusat
maupun pada level pemerintah daerah. Pendekatan yang dilakukan dalam kajian
ini melalui studi kepustakaanmelalui laporan ilmiah peraturan-peraturan,
ketetapan-ketetapan, dan sumber-sumber tertulis baik tercetak maupun elektronik
lain. Hasil kajian menunjukkan bahwa agenda adaptasi perubahan iklim
difokuskan pada area yang rentan terhadap perubahan iklim, yakni: sumber daya
air, pertanian, perikanan, pesisir dan laut, infrastruktur dan pemukiman,
kesehatan, dan kehutanan. Strategi adaptasi terhadap perubahan iklim merupakan
aspek kunci yang harus menjadi agenda pembangunan nasional di Indonesia
dalam rangka mengembangkan pola pembangunan yang tahan terhadap dampak
perubahan iklim dan gangguan anomali cuaca yang terjadi saat ini dan antisipasi
dampaknya ke depan. Tujuan jangka panjang dari agenda adaptasi perubahan
iklim di Indonesia adalah terintegrasinya adaptasi perubahan iklim ke dalam
perencanaan pembangunan nasional dan terdistribusi pada semua level
pemerintahan.
Kata kunci : climate chane, policy adoption, mitigation

PENGANTAR
......and due to their higher population densities and extensive land cover
modification, a majority of cities are expected to experience more dramatic
climate-induced changes than surrounding areas (Grimmond, 2007).
(.......dan karena kepadatan penduduk yang lebih tinggi serta alih fungsi lahan
yang meluas, mayoritas dari perkotaan diperkirakan akan mengalami dampak
perubahan iklim secara lebih dramatis daripada daerah di sekitarnya)1
Perubahan iklim merupakan salah satu isu yang paling banyak menyita perhatian
dunia. R.A Reinstein menyebut perubahan iklim sebagai the most complex public policy
issue ever to face goverment.2. Eksistensi ancaman perubahan iklim yang bersifat global
tersebut, mendorong terbentuklah kerjasama global menyangkut isu perubahan iklim.
Dibawah kerangka United Nations Framework Convention on Climate Change
(UNFCCC) yang terbentuk sebagai salah satu hasil dari pertemuan Earth Summit di
1

Grimmond, S, 2007,   


          .
The Geographical Journal,  (1), hal 8388.
Reinstein, RA. 1993,   , The Washington Quarterly Vol. 16 No. 1 hal 79-95,
Electronic Copy Available At: http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/01636609309451439#

Halaman 1 dari 30

Brazil pada tahun 1992.3 Hingga saat ini sudah lebih dari 180 negara yang telah
meratifikasi konvensi ini. Indonesia sendiri meratifikasi konvensi ini melalui UU No. 6
tahun 1994. Konvensi ini kemudian ditindak lanjuti dengan diadakannya rangkaian
pertemuan lanjutan untuk mengimplementasikan konvensi tersebut. Negara-negara yang
berpartisipasi dalam UNFCCC bertemu dalam forum Conference of the Parties (CoP)
yang hingga tahun 2007 telah berlangsung 13 kali. UNFCCC (United Nations Framework
Convention on Climate Change) mengkategorikan kelompok negara industri maju,
bersama kelompok negara ekonomi transisi dalam bentuk negara Annex 1.4 Langkah
untuk mencapai tujuan konvensi tersebut, maka sebuah protokol telah diadopsi pada
pelaksanaan CoP ke-3 tahun 1997 di Kyoto. Protokol ini kemudian dikenal dengan nama
Protokol Kyoto. Aspek terpenting dari Protokol Kyoto ini mensyaratkan bahwa negaranegara Annex 1, secara bersama-sama berkewajiban untuk mengurangi tingkat emisi
total GRK Annex 1 sebesar 5,2 % level emisi tahun 1990. Kewajiban tersebut
dilaksanakan sesuai dengan komitmen masing-masing negara Annex 1 yang tercantum
dalam Annex B Protokol Kyoto, yang berlaku untuk masa komitmen pertama Protokol
Kyoto.
Pertemuan di Kyoto juga melahirkan sebuah terobosan dalam konteks transfer
teknologi dan bantuan bagi negara-negara berkembang yaitu Clean Development
Mechanism (CDM) atau Mekanisme Pembangunan Bersih. CDM disebut sebagai
kejutan Kyoto (Kyoto surprise) karena sepanjang negosiasi, hanya dibahas dua
mekanisme reduksi emisi gas rumah kaca yang dapat diterapkan oleh negara-negara
Annex 1 dalam upaya memenuhi target reduksi emisi nasional masing-masing, yaitu
perdagangan emisi (emission trading) dan implementasi bersama (joint implementation).
Indonesia sebagai negara pihak dalam Protokol Kyoto, telah meratifikasi Protokol
Kyoto pada tanggal 28 Juli 2004 melalui sidang Pleno yang dilakukan Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI). Hal ini mengingat dampak perubahan iklim di
Indonesia demikian besar, sebagaimana Laporan Analisa Lingkungan Indonesia Oktober
tahun 2009 yang diterbitkan oleh The World Bank Group dengan tema Berinvestasi
Untuk Yang Lebih Berkelanjutan Indonesia sebagai berikut :
3

Orbethur, Sebastian & Herman E. Ott, 1999. !   


         
&   New York : Springer, 1999, hal. 7-8
Negara-negara industri memiliki kewajiban tersendiri. Mereka dikategorikan dalam negara-negara
yang tergolong dalam Annex I dan Annex II Konvensi Perubahan Iklim. Negara-negara Annex I terdiri
dari 41 negara yang terdiri dari 24 negara OECD (        
*  ) ditambah dengan negara-negara Eropa Timur yang ekonominya sedang dalam transisi
(     !  /CEIT). Sedangkan negara Annex II terdiri dari 24 negara OECD.
Negara-negara berkembang dikenal dengan nama Non-Annex I. Negara-negara Annex I secara kolektif
memiliki kewajiban menurunkan emisinya sebesar 5 persen dari tingkat emisi tahun 1990 dan pada
tahun 2008-2012. Di samping itu pelaporan inventarisasi nasionalnya harus disampaikan ke
Sekretariat Konvensi Perubahan Iklim lebih awal dibanding dengan negara-negara Non-Annex I.
Mereka juga memiliki kewajiban untuk melaporkan kegiatan transfer teknologi dan bantuan
keuangannya

Halaman 2 dari 30

1. Indonesia akan mengalami kenaikan temperatur yang tidak terlalu tinggi. Temperatur
rata-rata tahunan di Indonesia terlihat naik sekitar 0.3 derajat Celsius (oC) per tahun
sejak 1990 dan terjadi untuk semua musim sepanjang tahun, relatif konsisten atau
sedikit lebih rendah dibanding perkiraan tren pemanasan karena perubahan iklim.
Tahun 1990-an merupakan dasawarsa terpanas dan kenaikan 1oC pada 1998 (di
atas rata-rata 1961 1990) menjadikannya tahun terpanas di negara itu dalam abad
ke-20 (Hulme, dkk., 1999).
2. Indonesia akan mendapat curah hujan yang lebih tinggi. Perubahan iklim
diperkirakan akan menaikkan curah hujan per tahun di Indonesia sebesar 2 hingga 3
persen (Ratag, 2001 dalam Susandi, 2007). Seluruh negara ini akan mendapat curah
hujan yang lebih tinggi, sementara perubahan terbesar terjadi di Maluku. Kenaikan
curah hujan diperkirakan akan berlanjut dan, karena perubahan iklim, musim hujan
akan lebih pendek (lebih sedikit jumlah hari hujan dalam setahun), yang
menyebabkan risiko banjir naik secara signifikan.
3. Ketahanan pangan di Indonesia akan terancam oleh perubahan iklim. Perubahan
iklim akan mengubah curah hujan, penguapan, air limpasan, dan kelembapan tanah;
karena itu akan berpengaruh pada pertanian dan tentu saja ketahanan pangan.
Kemarau akibat El Nino tahun 1997 mempengaruhi 426,000 hektar sawah.
Penurunan produksi (diukur sebagai deviasi persentase dari rata-rata bergerak limatahun) selama delapan tahun El Nino antara 1965 dan 1997 rata-rata 4 persen.
Variabilitas produksi selama 1963-1998 terbesar untuk jagung (13.5 persen)
terutama karena perubahan area tanam (World Bank, 2008). Untuk beberapa
wilayah tertentu, kerugian mungkin lebih tinggi: Jawa Timur/Bali, wilayah dengan
musim hujan yang singkat, diperkirakan mencapai 18 persen untuk musim panen
Januari-April (Naylor dkk., 2007). Model yang menyimulasikan dampak perubahan
iklim terhadap tanaman (Goddard Institute of Space Studies, UK Meteorological Offi
ce) memperlihatkan penurunan hasil panen di Jawa Barat dan Jawa Timur.
Perubahan iklim kemungkinan akan mengurangi kesuburan jangka panjang tanah 2
hingga 8 persen, mengakibatkan penurunan produksi padi sebesar 4 persen per
tahun, kedelai sebesar 10 persen, dan jagung sebesar 50 persen (Amin, 2004 dan
Parry dan Nih, 1992).
4. Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia berkaitan erat dengan perubahan iklim.
Selama tahun-tahun El Nino, area total lahan dan hutan yang mengalami kebakaran
meningkat secara signifi kan, demikian pula dengan emisi karbon (Pemerintah
Indonesia, 2007). Kebakaran ini menghancurkan habitat, mencemari daerah aliran
sungai,

menyusutkan

jumlah

keanekaragaman

hayati,

dan

meningkatkan

pencemaran udara, serta membahayakan kesehatan. Kebakaran gambut terkait El


Nino pada 1997/98 di Indonesia diklasifi kasikan sebagai salah satu dari sepuluh

Halaman 3 dari 30

bencana alam terbesar di dunia antara 1907 dan 2007. Potensi kerusakan dan
kerugian ekonomi yang ditimbulkan, baik langsung maupun tidak mencapai US$ 17
miliar (OFDA/CRED, 2007).
5. Variabilitas curah hujan akan berpengaruh buruk pada sumber air. Kenaikan dan
penurunan curah hujan akan berpengaruh buruk pada pembangkit hidrolistrik dan
persediaan air minum, keduanya tergantung pada suplai teratur dari waduk. Data
dari delapan bendungan selama enam tahun El Nino memperlihatkan bahwa
produksi PLTA di bawah normal. Kekurangan air di waduk juga akan berpengaruh
pada ketersediaan air minum, terutama di kota besar. Sebaliknya, curah hujan yang
tinggi yang menyebabkan kekeruhan akan merusak fasilitas pemrosesan air,
mencemari persediaan air dan meningkatkan biaya pengolahan air (Pemerintah
Indonesia,2007).
6. Kenaikan permukaan air laut akan menggenangi zona pesisir yang produktif.
Perubahan iklim juga akan menaikkan permukaan air laut karena pertambahan
volume air laut dan melelehnya selubung es kutub. Permukaan air laut di Teluk
Jakarta akan naik setinggi 0.57 sentimeter (cm) per tahun. Kedalaman area yang
tergenang berkisar antara 0.28 dan 4.17 pada 2050 (Meliana 2005 dalam Susandi,
2007). Hal ini bersama dengan penurunan permukaan tanah sebesar 0.8 cm per
tahun, sebagaimana diamati di Teluk Jakarta, dapat berdampak besar pada
prasarana dan produktivitas kota, (Priambodo, 2005). Selain itu, di kabupaten
pedesaan seperti Karawang dan Subang, penurunan pasokan padi lokal sebesar 95
persen (turun 300,000 ton) diperkirakan akan terjadi karena tergenanginya daerah
pesisir. Di beberapa kabupaten, produksi jagung akan turun 10,000 ton, sekitar
setengahnya karena tergenang air laut. Dalam skala nasional, analisis baru-baru ini
oleh Columbia University memperlihatkan risiko kenaikan permukaan air laut yang
meluas di Indonesia. Wilayah dengan kepadatan penduduk lebih dari 1,000 orang
per kilometer persegi seperti Jakarta, Yogyakarta, Semarang, dan Surabaya, adalah
wilayah yang paling terkena dampak kenaikan permukaan air laut (CIESIN, 2007).
Secara total, ada 41,610,000 orang Indonesia yang tinggal dalam jarak sepuluh
meter dari permukaan laut rata-rata. Mereka inilah yang paling rentan terhadap
perubahan permukaan air laut (IIED, 2007).
7. Kenaikan permukaan air laut akan mengurangi mata pencarian pertanian dan pesisir.
Kenaikan permukaan air laut juga akan berpengaruh pada produksi ikan dan udang.
Di kabupaten Karawang dan Subang, kerugian itu diperkirakan lebih dari 7,000 ton
dan 4,000 ton masing-masing (bernilai lebih dari US$ 0.5 juta). Di hilir Daerah Aliran
Sungai Citarum, kenaikan permukaan air laut dapat menyebabkan tergenanginya
sekitar 26,000 hektar kolam dan 10,000 hektar lahan pertanian. Hal ini dapat
menyebabkan hilangnya 15,000 ton hasil ikan dan berbagai jenis udang, dan sekitar

Halaman 4 dari 30

940,000 ton produksi beras. Efeknya secara keseluruhan akan mengurangi potensi
pendapatan rata-rata. Pengurangan hasil yang diperkirakan ini akan membebani
petani padi US$ 10 hingga US$ 17 per tahun, petani kedelai US$ 22 hingga US $72,
dan petani jagung US$ 25 to US $130 per tahun. Di Kabupaten Subang saja,
diperkirakan penurunan hasil panen ini akan menyebabkan sekitar 43,000 buruh tani
kehilangan pekerjaan. Di samping itu, lebih dari 81,000 petani harus mencari sumber
penghasilan lain karena sawah atau kolam ikan dan tambak udangnya tergenang
karena kenaikan permukaan air laut (Parry & Nih, 1992).
8. Pemanasan air laut akan mempengaruhi keanekaragaman hayati bahari. Perubahan
iklim akan menyebabkan kenaikan suhu air laut Indonesia sebesar 0.2 hingga 2.5oC.
Terumbu karang seluas 50,000 km2 di Indonesia, sekitar 18 persen total terumbu
karang dunia, sudah berada dalam keadaan sulit. Peristiwa El Nino tahun 1997
1998 saja diperkirakan menyebabkan pemutihan pada 16 persen terumbu karang
dunia. Dalam Survei tahun 2000, hanya 6 persen terumbu karang Indonesia yang
berada dalam kondisi sangat baik, 24 persen dalam kondisi baik, dan 70 persen
sisanya dalam kondisi sedang hingga rusak (John Hopkins University dan Terangi,
2003). Survei di Taman Nasional Bali Barat menemukan bahwa sebagian besar
terumbu karang berada dalam kondisi rusak. Lebih dari setengah penurunan kualitas
diakibatkan pemutihan terumbu karang. Ini menempatkan Taman Nasional Bali Barat
sebagai tempat yang mengalami bencana (Wilkinson, 2000 dalam Setiasih, 2006). Di
Pulau Pari, dalam Taman Nasional Pulau Seribu, 50 60 persen terumbu karangnya
ditemukan mengalami pemutihan pada 1997 (Irdez 1998 dalam Setiasih, 2006);
sepuluh tahun kemudian, ini meningkat menjadi 90-95 persen (Pemerintah
Indonesia, 2007b)
9. Perubahan iklim akan menyebabkan berjangkitnya penyakit yang dibawa air dan
vektor. Pada akhir 1990-an, El Nino dan La Nina diasosiasikan dengan mewabahnya
malaria, demam berdarah, dan sampar. Malaria menyebar hingga ke dataran tinggi
dan terdeteksi untuk pertama kalinya di tempat setinggi 2,103 m di tanah tinggi Irian
Jaya pada 1997 (Epstein, dkk., 1998). Pada 2004, galur demam berdarah yang lebih
mematikan mungkin muncul kembali. Demam berdarah menyebar lebih cepat dan
membunuh lebih banyak daripada tahun-tahun sebelumnya, terutama pada tahuntahun La Nina (Pemerintah Indonesia, 2007).5

Lihat Susandi, Armi et al (2007),     


        , Proceedings
of Annual Scientifi c Meeting HAGI, Semarang, Indonesia (13-15 November 2006). Hulme, Mike and
Sheard, Nicola (1999),       . Climatic Research Unit. United Kingdom :
University of East Anglia and WWF International, 1999 Ratag, Mezak (2 March 2007), Perubahan Iklim :
        
 
  . Jakarta : Badan Metereologi dan Geofisika.
Naylor, Rosamond et al. (2007),   
           
      , PNAS Early Edition, May 1, 2007. World Bank (2008), Adapting to Climate
Change: The Case of Rice in Indonesia, Report No. 44434-ID. Parry, M.L and Nih, A.R. Magalhaes and N.H.

Halaman 5 dari 30

TUJUAN PENELITIAN
Kajian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk inovasi kebijakan melalui strategi adaptasi
dan mitigasi dalam perlindungan iklim di Indonesia, baik pada level pemerintah pusat
maupun pada level pemerintah daerah.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan melalui studi kepustakaan. Kegiatan dalam metode ini dilakukan
oleh peneliti untuk menghimpun informasi yang relevan dengan topik atau masalah
mengenai bentuk bentuk strategi adaptasi dan mitigasi dalam perlindungan iklim di
Indonesia, baik pada level pemerintah pusat maupun pada level pemerintah daerah
sebagai suatu bentuk dalam inovasi kebijakan. Informasi akan hal tesebut, dapat
diperoleh dari buku-buku ilmiah, laporan penelitian, karangan-karangan ilmiah, peraturanperaturan, ketetapan-ketetapan, buku tahunan, dan sumber-sumber tertulis baik tercetak
maupun elektronik lain.

HASIL DAN DISKUSI


Perubahan Iklim Sebagai Krisis : Aksi Penanganan di Indonesia
Eksistensi Indonesia sebagai negara Non Annex I menjadikan tidak memiliki
kewajiban untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca, namun Indonesia sangat
berkepentingan untuk berperan aktif dalam upaya global untuk menghambat laju
penurunan kondisi biosfer karena perubahan iklim. Indonesia meratifikasi Konvensi
Kerangka PBB mengenai Perubahan Iklim lewat UU No. 6 tahun 1994. Sepuluh tahun
kemudian Indonesia meratifikasi Protokol Kyoto lewat UU No. 17 tahun 2004. Komitmen
tersebut saat ini membutuhkan usaha dan tindakan nyata yang menyeluruh, mencakup
seluruh sektor pengemisi gas rumah kaca. Komitmen tersebut harus pula secara
serentak diterapkan dengan usaha perbaikan pemenuhan syarat kualitas hidup rakyat
dan kualitas lingkungan hidup, dan tercermin dalam pengelolaan sektor-sektor produksi
dan konsumsi prioritas untuk tindakan mitigasi dan adaptasi. Oleh karenanya dengan
meratifikasi Protokol Kyoto, maka Indonesia dapat berpartisipasi dalam pengembangan
proyek Clean Development Mechanism (CDM), yang dimulai pada 2005, melalui
(1992), !   

 

          !  
 . Nairobi: Kenya : United Nations Environment Programme. OFDA/CRED (2007), ! 
%  , Catholic University of Louvain, Belgium. CIESIN, 2007. $ 
           "   %. s.l. : Columbia University,
2007. IIEE (2007), Energy Security and Sustainable Development, The Indonesia Energy Economics Review
Volume 2-2007, Periodical published by IIEE, Jakarta Setiasih, Naneng (2006), 6 6 # &
766#'  ( $. s.l. : Friends of the Reefs Project WWF Indonesia.

Halaman 6 dari 30

pembentukan CDM Designated National Authority (DNA) di Kementerian Lingkungan


Hidup (KLH). Pada tahun 2009, DNA berpindah ke Dewan Nasional Perubahan Iklim
(DNPI).
Dalam empat hingga lima tahun terakhir, isu perubahan iklim telah mendapatkan
perhatian yang lebih luas dalam penyusunan kebijakan dan program pembangunan
jangka panjang. Sejumlah kajian tentang dampak perubahan iklim terhadap berbagai
sektor dan bidang serta peri-kehidupan masyarakat Indonesia juga telah

dilakukan.

Secara umum strategi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim adalah integrasi program
aksi keduanya kedalam rencana pembangunan nasional jangka panjang, menengah dan
jangka pendek, yang dituangkan dalam program kerja kementerian dan kelembagaan.
Proses pengintegrasian tersebut terjadi melalui beberapa tahap dan proses.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2005 2025, perubahan iklim
dinyatakan sebagai tantangan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan dan
pengurangan kemiskinan. Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 2004-2009 juga mengidentifikasi dampak perubahan iklim di
Indonesia terhadap upaya untuk mencapai target-target yang ditetapkan dalam rencana
pembangunan tersebut. Walaupun demikian, strategi pembangunan nasional yang
dituangkan dalam RPJMN 2004-2009 belum secara lengkap mempertimbangkan aksi
untuk melaksanakan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim secara sektoral dan lintassektoral.
Tindakan adaptasi adalah upaya untuk mengatasi dampak perubahan iklim,
sehingga mampu mengurangi dampak negatif dan mengambil manfaat positifnya. Dalam
pengertian lain adaptasi adalah upaya untuk mengelola hal yang tidak dapat dihindari.
Dalam hal ini upaya perubahan dilakukan dengan asumsi bahwa perubahan iklim
merupakan suatu keniscayaan yang tidak dapat dihindari dan terjadi secara global.
Tindakan mitigasi adalah upaya utuk mengatasi penyebab perubahan iklim melalui
kegiatan yang dapat menurunkan emisi/meningkatkan penyerapan gas rumah kaca dari
berbagai sumber emisi. Dalam pengertian lain mitigasi adalah upaya untuk menghindari
hal yang tidak dapat dikelola. Dalam hal ini upaya perubahan dilakukan pada sumber
penyebab pemanasan global. Secara umum langkah adaptasi dilakukan dengan asumsi
bahwa perubahan iklim yang terjadi sudah tidak dapat dielakkan karena sudah, sedang
dan akan terjadi, sehingga diperlukan perubahan pola dan tingkah laku untuk
penyesuaiannya. Sedangkan langkah mitigasi dilakukan dengan asumsi bahwa masih
ada harapan perubahan iklim dapat dicegah terutama untuk generasi mendatang.
Apabila langkah adaptasi dilakukan dengan benar maka akan dapat mengurangi dampak

Halaman 7 dari 30

risiko perubahan iklim dan dapat mengambil langkah optimal dengan memanfaatkan
informasi iklim.
Perhatian terhadap fenomena perubahan iklim semakin meningkat di kalangan
pemangku kepentingan di Indonesia, termasuk pembuat kebijakan, menjelang Konferensi
para Pihak ke-13 (COP-13) dari Konvensi PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) di
Bali pada Desember tahun 2007. Untuk pertama kalinya, pemerintah mengeluarkan
naskah Rencana Aksi Nasional menghadapi Perubahan Iklim (RAN-PI), yang mencakup
situasi fenomena perubahan iklim di Indonesia dan usulan rencana aksi mitigasi gas
rumah kaca dan adaptasi terhadap peningkatan pemanasan global dan perubahan iklim,
melalui koordinasi antar sektor pembangunan.
Lebih kurang enam bulan setelah COP 13, dengan mempertimbangkan perlunya
meningkatkan koordinasi pelaksanaan pengendalian perubahan iklim dan untuk
memperkuat posisi Indonesia di forum perundingan internasional dalam pengendalian
perubahan iklim, Presiden RI membentuk Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI)
melalui Peraturan Presiden No. 46/2008. Presiden RI menjadi Ketua DNPI, yang dibantu
oleh dua orang Wakil Ketua, yakni Menko Perekonomian dan Menko Kesra, 17 Menteri
terkait dan Kepala BMKG sebagai anggota. Untuk melaksanakan mandatnya, maka
Presiden menunjuk seorang Ketua Harian, Kepala Sekretariat, dan dibantu oleh
Kelompok-kelompok Kerja (Pokja) sebagai pelaksana kegiatan Dewan sehari-hari.
Upaya untuk mengoperasionalkan rekomendasi dalam RAN-PI kedalam RPJMN
2004-2009

coba

dilakukan

oleh

Badan

Perencanaan

Pembangunan

Nasional

(BAPPENAS) melalui penyusunan naskah National Development Planning: Indonesia


Response to Climate Change. Naskah yang kemudian dikenal sebagai Yellow Book ini
mulai diperkenalkan secara terbatas saat berlangsungnya COP 13, tetapi baru
dipublikasikan secara penuh pada tahun 2008. Yellow Book juga ditujukan sebagai
dokumen perantara (bridging document) yang mempertimbangkan berbagai isu sektoral
dan lintas sektoral yang sensitif terhadap perubahan iklim, sekaligus untuk mempertajam
program pembangunan yang dituangkan dalam RPJMN 2004-2009, dan sebagai
masukan dalam merumuskan RPJMN 2010-2014.
Naskah Yellow Book Bappenas berusaha mengintegrasikan adaptasi dan
mitigasi perubahan iklim dalam perencanaan pembangunan nasional. Selain itu
ditetapkan juga prioritas sektor untuk adaptasi yaitu: (i) pertanian dan (ii) daerah pesisir,
pulau-pulau kecil, kelautan dan perikanan; dan untuk mitigasi yaitu: (i) energi dan
pertambangan, (ii) kehutanan. Lebih daripada itu, isi yang terpenting dari Yellow Book
adalah daftar proyek dari sektorsektor prioritas dan non-prioritas yang terkait dengan
perubahan iklim.

Halaman 8 dari 30

Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) juga telah menyelesaikan penyusunan


Second National Communication (SNC) pada tahun 2009. Sesuai dengan Konvensi
Perubahan Iklim, pelaporan inventori gas rumah kaca dalam bentuk National
Communication merupakan salah satu bentuk tanggung jawab negara berkembang.
National Communication Indonesia yang pertama dibuat pada tahun 1994, dengan basis
emisi tahun 1990. SNC mencakup inventori emisi GRK pada rentang tahun 2000-2005.
Pada dasarnya SNC merupakan dokumen inventori emisi GRK dari berbagai sektor di
Indonesia, dimana yang dihitung adalah emisi GRK bersih. SNC menjadi dokumen acuan
bagi penentuan kebijakan dan prioritas aksi mitigasi perubahan iklim.
Dalam upaya mengintegrasikan lebih lanjut perubahan iklim dalam pembangunan
nasional, BAPPENAS menyusun dokumen kebijakan perencanaan sektoral yang disebut
Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap (ICCSR). Menurut BAPPENAS, peta jalan
sektoral

bertujuan

mengintegrasikan

perubahan

iklim

kedalam

perencanaan

pembangunan sektoral dan lintas sektor, serta untuk mempercepat implementasi


berbagai sektor yang relevan untuk menghadapi perubahan iklim. ICCSR mencakup
jangka waktu pembangunan selama 20 tahun, dengan prioritas pembangunan yang
ditentukan sesuai dengan rencana pembangunan jangka menengah 5 tahunan.
Pada formulasi strategi adaptasi, ICCSR mengintegrasikan kerangka penilaian
resiko akibat pemanasan global dan dampak perubahan iklim yang telah terjadi dan akan
terjadi di Indonesia untuk menentukan tingkat ancaman bahaya iklim (climate hazards)
dan dampaknya pada sektor-sektor yang relevan. Prioritas dan rencana aksi adaptasi
ditentukan berdasarkan pada tingkat dampak yang terjadi. Adapun strategi mitigasi
dicapai melalui proses analisa terhadap skenario laju emisi GRK pada setiap sektor
berdasarkan kajian tingkat pertumbuhan emisi dari sektor-sektor tersebut, dan dilakukan
analisa terhadap skenario mitigasi untuk setiap sektor (energi, transportasi, industri,
kehutanan dan limbah/sampah). Naskah ICCSR merinci berbagai rencana kegiatan untuk
sektor-sektor energi, industri, transportasi, limbah, kehutanan, sampah, pertanian,
kelautan dan perikanan, air serta kesehatan yang dikategorikan dalam 3 kelompok
aktivitas. Sesuai dengan rencananya, berbagai rencana aksi yang telah dikaji seharusnya
diimplementasikan sebagai rangkaian program kerja pada kementerian dan lembaga
yang terkait, sesuai dengan prioritas pembangunan dalam Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang berlaku selama 5 tahun.
Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) telah melakukan kajian Indonesia GHGs
Abatement Cost Curve, untuk melakukan identifikasi berbagai peluang dan pilihan-pilihan
aksi mitigasi untuk menurunkan emisi GRK Indonesia berdasarkan biaya penurunan
(abatement cost) dari setiap aksi mitigasi tersebut. Laporan kajian DNPI ini telah

Halaman 9 dari 30

dipublikasi dan dapat dipakai sebagai salah satu acuan untuk menetapkan prioritas
kebijakan dan rencana aksi untuk mencapai target penurunan emisi GRK sebesar 26 dan
41 persen, sebagaimana telah digariskan oleh Presiden RI. Sesuai dengan profil emisi
GRK maka Reducing Emission from Deforestation and Degradation (REDD) adalah salah
satu

bentuk

program

mitigasi

GRK

yang

penting

bagi

Indonesia.

Untuk

mengimplementasikan program REDD plus di Indonesia, pada 20 September 2010,


Presiden mengeluarkan Keputusan Presiden yang menetapkan pembentukan Satuan
Tugas REDD. Satuan Tugas ini akan dipimpin oleh Kuntoro Mangkusubroto, kepala
UKP4 (Unit Kerja Presiden untuk Pengendalian dan Pengawasan Pembangunan),
dengan sejumlah pejabat yang mewakili kementerian dan lembaga yang relevan sebagai
anggotanya (Bappenas, KLH, Kementerian Keuangan, Kementerian Kehutanan, Badan
Pertanahan Nasional dan DNPI). Tugas Satgas REDD sebagaimana yang dicantumkan
dalam Kepres adalah memastikan terbentuknya strategi nasional untuk mengurangi emisi
gas rumah kaca dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD plus) dan rencana nasional
untuk aksi pengurangan emisi gas rumah kaca dari sektor kehutanan6.
Sebagai bagian dari tugas dibawah Satgas REDD, sebuah Strategi Nasional
Penurunan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (Stranas REDD plus) juga baru
dipublikasikan.7 Stranas REDD plus mencoba mengidentifikasi penyebab terjadinya
deforestasi dan degradasi hutan dan perumusan strategi yang diperlukan untuk menekan
penyebab tersebut dalam rangka mengurangi emisi serta peningkatan serapan dan
simpanan karbon dari kegiatan konservasi hutan, pengelolaan hutan secara lestari,
restorasi ekosistem, dan berbagai usaha peningkatan produktivitas hutan produksi dan
hutan tanaman. Tahapan pelaksanaan REDD+ di Indonesia, yang secara umum dibagi
dalam tiga tahap: (1) penyusunan strategi yang mencakup strategi nasional dan rencana
aksi nasional REDD plus; (2) membangun kesiapan dan pelakasanaan tindakan awal
berupa pembangunan infrastruktur prasyarat REDD+, pemenuhan kondisi pemungkin
dan pelaksanaan kegiatan-kegiatan awal; dan (3) implementasi yang mencakup
pengarusutamaan REDD+ dalam pembangunan, integrasi REDD+ ke dalam RPJMN dan
implementasi penuh, terutama di daerah-daerah percontohan berdasarkan kriteria yang
ditentukan. Dalam naskah Stranas REDD plus yang pertama, belum dicantumkan
rencana aksi yang rinci untuk diimplementasikan di masing-masing tahap.
Dalam hal teknologi untuk mitigasi perubahan iklim, pada tahun 2009,
Kementerian Lingkungan Hidup dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)
6

http://www.thejakartapost.com/news/2010/09/24/kuntoro-mangkusubrotochairs-redd-taskforce.html
Draft pertama Naskah Stranas REDD tertanggal 23 September 2010. Naskah ini disusun oleh
Bappenas, bekerjasama dengan Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian

Halaman 10 dari 30

telah menyelesaikan kajian kebutuhan teknologi untuk mitigasi perubahan iklim


(Technology Needs Assessment for Climate Change Mitigation, TNA). Kajian ini telah
berhasil mengidentifikasi prioritas teknologi untuk mitigasi GRK untuk 7 sektor Indonesia:
Energi, Kelautan, Kehutanan, Industri, Pertanian, Persampahan, dan Transportasi. Selain
opsi pilihan teknologi, TNA juga melakukan analisis marginal abatement cost untuk
pilihan teknologi di setiap sektor.
Untuk mendukung pembuatan Strategi Nasional Adaptasi dan Rencana Aksi
Adaptasi menghadapi perubahan iklim, DNPI telah menyelesaikan Adaptation Science
and Policy Study8. Kajian mencoba mengidentifikasi berbagai kajian dan analisis yang
telah dilakukan oleh berbagai institusi yang terkait dengan adaptasi perubahan iklim di
Indonesia. Melalui kajian ini, dicoba untuk mengidentifikasi celah (gap) dan kebutuhan
untuk mengembangkan strategi adaptasi, kebutuhan strategi pendanaan serta kebutuhan
teknologi untuk Indonesia. Sejumlah kementerian sektoral, misalnya Kementerian
Pertanian dan Kementerian Kelautan dan Perikanan juga telah membuat kajian terkait
dengan identifikasi tantangan dan pilihan-pilihan adaptasi di sektor pertanian, dan
strategi adaptasi untuk kelautan dan kawasan pesisir.
Perkembangan selanjutnya pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden
Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2011 Tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan
Emisi Gas Rumah Kaca sebagai dokumen rencana kerja untuk pelaksanaan berbagai
kegiatan yang secara langsung dan tidak langsung menurunkan emisi gas rumah kaca
sesuai dengan target pembangunan nasional. Peraturan tersebut secara detail memuat
rencana aksi, bentuk kegiatan, periode pelaksanaan, lokasi serta indeks penurunan emisi
gas rumah kaca. Oleh karenanya Pemerintah Indonesia pada tahun 2010 sebelumnya
telah menyusun Strategi Nasional REDD+ dan Pedoman Pengukuran Karbon untuk
mendukung Penerapan REDD+ di Indonesia. Upaya Pemerintah Indonesia untuk
membumikan persoalan gas rumah kaca ditingkat daerah juga dilakukan, dengan
diterbitkannya Panduan Penyusunan Rencana Aksi Daerah Pengurangan Emisi Gas
Rumah Kaca (RAD-GRK) pada tahun 2011. Adapun visualisasi hubungan aksi dunia
internasional dengan aksi pemerintah Indonesia terhadap perubahan iklim dan global
warming dalam bingkai kebijakan dapat dilihat pada bagan berikut :

Kajian ini berjudul    


    , yang dilakukan oleh DNPI dan LAPI ITB, atas
dukungan UK Aid dan British Council. Kajian ini dimulai pada Maret 2010 dan diselesaikan pada Juli
2010.

Halaman 11 dari 30

Gambar 1. Visualisasi Hubungan Aksi Dunia Internasional Dengan Aksi Pemerintah


Indonesia Terhadap Perubahan Iklim Dan Global Warming Dalam
Bingkai Kebijakan
Kondisi di Indonesia, konfigurasi dampak perubahan iklim sebagaimana
disampaikan dalam tabel 6 demikian komplek, walau demikian dapat diinventarisir
beberapa bidang pembangunan yang terkait erat dengan dampak perubahan iklim
tersebut. Secara umum dampak perubahan iklim meliputi bidang-bidang diantaranya
(1) sektor sumber daya air; (2) sektor kelautan dan perikanan; (3) sektor pertanian;
(4) sektor kesehatan; (5) sektor kehutanan; (6) sektor transportasi; (7) sektor Industri;
(8) sektor energi; dan (9) sektor pengolahan limbah. Sektor-sektor yang telah diinvetarisir
tersebut kemudian dikelompokkan dlam prioritas penanganan diantara mitigasi dan
adaptasi. Sektor yang diterapkan strategi adaptasi meliputi ; (1) sektor sumber daya air;
(2) sektor kelautan dan perikanan; (3) sektor pertanian; dan (4) sektor kesehatan.
Sedangkan yang diperlukan penanganan mitigasi meliputi : (1) sektor kehutanan;
(2) sektor transportasi; (3) sektor Industri; (4) sektor energi; dan (5) sektor pengolahan
limbah. Visualisasi strategi penanganan ini dapat dilihat pada gambar berikut :

Halaman 12 dari 30

Gambar 2. Visualisasi Strategi Penanganan Perubahan Iklim


Kenyataan menunjukkan, aksi Pemerintah Indonesia cukup serius, dalam
menangani dampak perubahan iklim ini. Berbagai riset dilakukan sebagaimana DNPI
telah menyelesaikan Adaptation Science and Policy Study9. dapat disimpulkan bahwa
kajian untuk adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di Indonesia telah cukup banyak dan
beragam. Berbagai kajian baik dilakukan oleh, kementerian, badan, Non Govermental
Organization-NGO, LSM, perguruan tinggi memberi kontribusi sekaligus dapat menjadi
acuan dalam perumusan strategi dan rencana aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim
di Indonesia. Analisa terhadap dampak perubahan iklim, dari berbagai kajian mampu
dirumuskan program prioritas yang didasari rasionalitas atas pilihan program tersebut.
Program prioritas masing-masing sektor tersebut dipandang sangat perlu untuk
diintervensi melalui kebijakan dan kegiatan aksi pada level nasional, bahkan hingga
level daerah.

Opcit, DNPI, 2010,    


    

Halaman 13 dari 30

Inovasi Kebijakan dalam Perubahan Iklim Melalui Strategi Adaptasi dan


Mitigasi Antar Level Pemerintah
Sebagaimana diketahui, Pemerintah Indonesia demikian serius untuk melakukan
penanganan perubahan iklim, mengingat dampak nyata maupun dampak potensial yang
ada berdasarkan penelaahan beberapa kajian menunjukkan, kondisi krisis lingkungan
tengah terjadi di Indonesia. Pada perspektif inovasi kebijakan, maka pada level
pemerintah pusat (nasional), Pemerintah Indonesia secara makro melakukan tindakan
strategi adaptasi yang berorientasi kepada eksistensi hasil konvensi dan kebijakan dunia
internasional akan perubahan iklim. Hal ini sebagaimana pendapat Berry dan Berry
(1999), bahwa inovasi kebijakan yang terdapat pada level pemerintah pusat hasil dari
emulasi

kebijakan-kebijakan

yang

sebelumnya

(konvensi

dan

kebijakan

dunia

internasional) yang diadopsi dalam kebijakan perlindungan iklim di Indonesia. Sehingga


dapat dikatakan bahwa kebijakan-kebijakan yang sebelumnya merupakan faktor
pendorong dalam inovasi kebijakan yang ada. Artinya proses adopsi berlangsung
sebagai bentuk adaptasi kebijakan internasional yang berlaku secara holistik.
Secara lebih detail, kuatnya peran dunia internasional mempengaruhi kebijakan
internal Pemerintah Indonesia adalah dengan adanya Clean Development Mechanism
(CDM) sebagai program implementasi membantu negara-negara berkembang mencapai
pembangunan berkelanjutan, sekaligus membantu negara maju mencapai pelaksanaan
kewajiban

membatasi

dan

mengurangi

emisi

melalui

mekanisme

pendanaan.

Pelaksanaan CDN dapat dilaksanakan melalui bilateral, multilateral dan unilateral. Pada
dasarnya kegiatan CDM dapat dibedakan atas kegiatan yang menurunkan emisi GRK
pada sumber dan kegiatan yang menyerap GRK dari atmosfer. Kegiatan yang
menurunkan emisi dari sumber biasanya terfokus pada sektor yang memanfaatkan
energi, sementara kegiatan untuk menyerap GRK dari atmosfer, dikenal pula sebagai
carbon sequestration, adalah kegiatan non-energi seperti kehutanan. Adapun sektorsektor yang termasuk kedalam CDM, antara lain : sektor energi, transportasi, industri,
komersial & rumah tangga, persampahan dan kehutanan. Hal ini apabila dikomparasikan
dengan sektor-sektor yang diintervensi dalam kebijakan penanganan iklim di Indonesia
dapat dilihat pada tabel berikut :

Halaman 14 dari 30

Tabel 1. Komparasi Sektor CDM dengan Sektor yang Diatur dalam Kebijakan
Penanganan Perubahan Iklim Di Indonesia
No.
Sektor Penanganan
CDM
Kebijakan Indonesia
1

Kelautan dan Perikanan

Pertanian

Kesehatan

Sumber Daya Air

Kehutanan

Transportasi

Industri

Energi

Pengolahan Limbah

10

Komersial

&

Rumah

Tangga
Keterangan : = Ya x = Tidak

Beragam inovasi kebijakan pada pada level pemerintah pusat (nasional), yang
tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2005 2025,
Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014,
Rencana Aksi Nasional menghadapi Perubahan Iklim (RAN-PI, National Development
Planning: Indonesia Response to Climate Change Yellow Book, Second National
Communication (SNC), Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap (ICCSR),
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2011 Tentang Rencana Aksi
Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca; Strategi Nasional REDD+ dan Pedoman
Pengukuran Karbon untuk mendukung Penerapan REDD+, juga dipengaruhi oleh kondisi
riil yang terjadi di Indonesia. Artinya bahwa kebijakan-kebijakan yang sebelumnya
bukanlah salah satu faktor penentu timbulnya inovasi kebijakan pada skala nasional,
akan tetapi juga desakan fakta empiris tentang dampak yang ditimbulkan dari adanya
perubahan iklim di Indonesia. Adapun pemetaan atas dampak, rasionalitas strategi
adaptasi dan strategi serta program prioritas dalam penanganan perubahan iklim di
Indonesia dapat dilihat pada tabel berikut:

Halaman 15 dari 30

Tabel 2. Pemetaan Atas Dampak, Rasionalitas Strategi Adaptasi Dan Strategi Serta
Program Prioritas Dalam Penanganan Perubahan Iklim Di Indonesia
No

1.

7
8

Dampak
a. Indonesia akan
mengalami
kenaikan
temperatur yang
tidak terlalu tinggi
b. Ketahanan pangan
di Indonesia akan
terancam oleh
perubahan iklim
c. Indonesia akan
mendapat curah
hujan yang lebih
tinggi
d. Kebakaran hutan
dan lahan di
Indonesia
berkaitan erat
dengan perubahan
iklim
e. Variabilitas curah
hujan akan
berpengaruh buruk
pada sumber air
f. Kenaikan
permukaan air laut
akan menggenangi
zona pesisir yang
produktif
g. Kenaikan
permukaan air laut
akan mengurangi
mata pencarian
pertanian dan
pesisir
h. Pemanasan air
laut akan
mempengaruhi
keanekaragaman
hayati bahari
i. Perubahan iklim
akan
menyebabkan
berjangkitnya
penyakit yang
dibawa air dan
vektor

Bentuk
Strategi

Adaptasi

Sektor

Program Prioritas

Kelautan dan Peningkatan kapasitas


hukum dan kebijakan
Perikanan

Belum spesifiknya cakupan adaptasi


perubahan iklim dalam regulasi dan
kebijakan yang ada

Pertanian

Gagal tanam/gagal panen; kerusakan


infrastruktur pertanian; meningkatnya
frekuensi, intensitas dan distribusi
luas wilayah pertanian yang terkena
banjir, kekeringan
Meningkatnya risiko penularan
penyakit akibat dari
perkembangbiakan, pengembangan,
serta penyebaran vektor
Menurunnya debit bendungan
(Pekalongan, Jateng, dll) serta
adanya kekeringan dan banjir di
wilayah Jawa-Bali, Nusatenggara,
Sumatera

Kesehatan

mengenai adaptasi dan


mitigasi perubahan iklim di
wilayah pesisir dan laut
Penelitian Pengembangan
Antisipasi, Adaptasi, dan
Mitigasi Perubahan Iklim

Penguatan sistem
kesehatan sebagai respon
terhadap perubahan iklim

Sumber Daya Kajian Kerentanan


Perubahan Iklim pada
Air

Kehutanan

Transportasi

Mitigasi

Rasionalitas

Wilayah Sungai dan


Pengembangan
Infrastruktur Sumber Daya
Air dalam Peningkatan
Kapasitas Tampungan
Sumber Daya Air
Pengurangan emisi dari
pencegahan kebakaran
hutan dan degradasi lahan
hutan gambut
Peningkatan Integrasi
moda yang lebih rendah
karbon atau angkutan
umum untuk penumpang
dan barang

Industri

Capacity Building Bidang


Konservasi Energi

Energi

Pengembangan dan
Pemanfaatan Energi
Terbarukan

Pengolahan
Limbah

Program peningkatan
kualitas landfill

Besarnya potensi kawasan hutan


seluas 137,09 jt ha dan lahan gambut
seluas 17 jt ha (sekitar 10% dari luas
negara)
Pengurangan GHGs yang paling
efektif dan memiliki co-benefit yang
sangat tinggi adalah dengan
pendekatan shift, yaitu mengalihkan
pergerakan pada kendaraan yang
lebih rendah emisinya serta
memperbaiki manajemennya.
Konservasi energi pada industri akan
memberi dampak penghematan
energi hingga 57%
Target Tahun 2025 : Minyak Bumi 20
%, Batu bara 33 %, Gas 30 %,
geothermal 5%, Renewable Energi
5%, Coal to Liquids 2% and Biofuels
5%.
Hampir seluruh Tempat Pembuangan
Akhir Sampah merupakan open
dumping yang menyebabkan GHGs.

Sumber: diolah dari bahan Presentasi Bappenas, 2009, Penyusunan Road Map Pengarusutamaan Isu Perubahan Iklim
ke
dalam
Perencanaan
Pembangunan
Nasional.
http://www.dephut.go.id/files/Presentasi
_Roadmap_Bapenas_09.pdf

Proses adaptasi kembali terjadi, bersamaan dengan adopsi atas dampak yang
ditimbulkan dari adanya perubahan iklim. Artinya pada skala nasional, inovasi kebijakan
dalam bentuk munculnya beragam kebijakan-kebijakan level pusat, dipengaruhi oleh

Halaman 16 dari 30

dampak riil maupun potensial yang ditimbulkan dari perubahan iklim. Sehingga faktor
dampak dapat dikatakan sebagai pemicu dari munculnya inovasi kebijakan. Lebih lanjut,
pemetaan dokumen kebijakan skala nasional

yang berhubungan langsung dengan

perubahan iklim dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 3. Kebijakan Makro, Meso, dan Mikro pada Skala Nasional Terkait Langsung
dengan Penanganan Perubahan Iklim Di Indonesia
No

Bentuk
Strategi

Sektor

1.

Kebijakan Makro

Kebijakan Meso

Rencana
Pembangunan
Jangka Panjang
(RPJP) 2005
2025,
Dokumen
Rencana
Pembangunan
Jangka
Menengah
Nasional
(RPJMN) 20102014,

Rencana Aksi Nasional menghadapi


Perubahan Iklim (RAN-PI)
National Development Planning:
Indonesia Response to Climate
Change Yellow Book, Second
National Communication (SNC)
Indonesia Climate Change Sectoral
Roadmap (ICCSR)
Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2004 tentang Ra fi kasi Protokol
Kyoto
Rencana Aksi Nasional menghadapi
Perubahan Iklim (RAN-PI)
National Development Planning:
Indonesia Response to Climate
Change Yellow Book, Second
National Communication (SNC)
Indonesia Climate Change Sectoral
Roadmap (ICCSR)
Strategi Nasional REDD+ dan
Pedoman Pengukuran Karbon untuk
mendukung Penerapan REDD+
Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2004 tentang Ra fi kasi Protokol
Kyoto
Rencana Aksi Nasional menghadapi
Perubahan Iklim (RAN-PI)
National Development Planning:
Indonesia Response to Climate
Change Yellow Book, Second
National Communication (SNC)
Indonesia Climate Change Sectoral
Roadmap (ICCSR)
Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2004 tentang Ra fi kasi Protokol
Kyoto

Kelautan dan
Perikanan
Pertanian

2
Adaptasi
3
4

Kesehatan
Sumber Daya
Air

Kehutanan

Mitigasi
6
7
8
9

Transportasi
Industri
Energi
Pengolahan
Limbah

Kebijakan Mikro

Peraturan Presiden Republik


Indonesia Nomor 61 Tahun 2011
Tentang Rencana Aksi Nasional
Penurunan Emisi Gas Rumah
Kaca

Peraturan Presiden Republik


Indonesia Nomor 61 Tahun 2011
Tentang Rencana Aksi Nasional
Penurunan Emisi Gas Rumah
Kaca

Peraturan Presiden Republik


Indonesia Nomor 61 Tahun 2011
Tentang Rencana Aksi Nasional
Penurunan Emisi Gas Rumah
Kaca

Sumber: diolah penulis, 2012.

Telaah empiris beragam upaya pemerintah Indonesia dalam perubahan iklim,


cukup banyak dilakukan melalui adanya program Clean Development Mechanism (CDM).
Berikut beberapa proyek CDM yang dikembangkan di Indonesia dapat dilihat pada tabel
berikut :

Halaman 17 dari 30

Tabel 4. Proyek CDM Di Indonesia


No
1.

Nama Proyek
Bahari CoComposting
Project

Nagamas
Biomassa
Cogeneration
Project

Gandaerah
Hendana CoComposting
Project

Gas Turbine Cogeneration Project

Pangkalan
Brandan Palm Oil
Waste Power Plant

The Greenhouse
Gases Emission
Reduction
Programme for
Urban Buses in
Yogyakarta

Wayang Windu
Unit 2

Uraian
Proyek manajemen limbah dari industri minyak sawit. Limbah diolah
menjadi kompos untuk mengurangi emisi gas methana dari limbah minyak
sawit. Reduksi emisi diperkirakan mencapai 58,458 ton CO2 per tahun
dalam jangka waktu 10 tahun.
Implementasi proyek Permata Hijau Group (PHG) yang melibatkan
kontruksi pembangkit biomas di terminal induk PHG di Dumai, Sumatera.
Dari proyek ini diharapkan dapat menurunkan CO2 sebesar 75.147
ton/tahun. Penurunan emisi GRK ini dilakukan dengan tidak lagi
menggunakan bahan bakar fosil untuk mengoperasikan generator.
Aktivitas dari proyek ini adalah proyek yang dilakukan di Propinsi Riau,
Sumatera. Proyek ini akan menghindari emisi gas methana melalui proses
pengomposan. Proyek ini akan menggunakan limbah padat dan cair dari
pabrik kelapa sawit untuk memproduksi kompos organik yang dapat
digunakan untuk pemupukan perkebunan kelapa sawit. Proyek ini
diperkirakan dapat mengurangi emisi sebesar 81.629 ton CO2/tahun.
Aktivitas proyek ini bertujuan untuk mengurangi emisi GRK dengan
mengenalkan sistem pembangkit turbine gas oleh PT. Sumi Rubber
Indonesia (SURINDO), yang merupakan perusahaan ban automobile di
Cikampek, Jawa Barat. Sistem pembangkit turbin gas ini akan
menggunakan tenaga listrik dari gas alam dan menghasilkan energi listrik
mencapai 56 GWh/tahun serta 148.860 ton panas. Dan hasil ini akan
dimanfaatkan untuk operasi SURINDO.
Pangkalan Brandan Palm Oil Waste Power Plant, melakukan pembakaran
220.000 ton/tahun ampas buah sawit dari 6 pabrik pengolahan minyak
sawit untuk menggerakkan 10.3 MW di Pangkalan Brandan, Sumatera
Utara. Proyek ini dikembangkan di bawah program Pembina Institute di
Kanada dan Tata Energy Research Institute (TERI) di India yang sedang
mengeksplorasi aplikasi CDM di Asia. Potensi pengurangan emisi sebesar
565.000 ton CO2e untuk jangka waktu 10 tahun. Sekarang, proyek ini
sedang mencari investor dari negara maju (Annex I)
Tipe dari proyek ini adalah proyek transportasi. Tujuan utama untuk
menyediakan sistem transportasi umum kota yang atraktif dan ramah
lingkungan. Sistem ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan mobilitas
populasi penduduk kota dan dapat mengurangi emisi dari sistem
transportasi yang digunakan saat ini. Diharapkan proyek ini dapat
mengurangi 25% emisi CO2 yang dihasilkan oleh urban buses at the end
of demonstration project, 10-15% CO2 yang dihasilkan oleh sistem
transportasi kota, 5-10% ambient CO2
Wayang Windu Unit 2, adalah sebuah proyek Geothermal sebesar 110
MW di Jawa. Potensi pengurangan emisi untuk jangka waktu 7 tahun
sekitar 750.000 tCO2e dengan nilai 5,2 Euro per tonnya. Proyek ini dipilih
sebagai sumber dari karbon kredit oleh pemerintah Belanda dan telah
mendapatkan kontrak CERUPT2001 namun pada perkembangannya,
kontrak tersbut gagal dikarenakan dokumen dokumen untuk persiapannya
kurang

Lokasi
Aceh Tamiang,
NAD

Dumai, Sumatera

Riau, Sumatera

Cikampek, Jawa

Pangkalan Brandan,
Sumatera Utara

Yogyakarta

Gunung Wayang,
Bandung Jawa Barat

Sumber: diolah dari www.cdm.or.id dan http://dna-cdm.menlh.go.id/id/database. Tahun 2012

Komisi Nasional Mekanisme Pembangunan Bersih (Komnas MPB) yang


kemudian

menyatu

dalam

Dewan

Nasional

Perubahan

Iklim

(DNPI)

berhasil

melaksanakan beberapa proyek pembangunan bersih. usulan kegiatan proyek CDM


yang telah disetujui oleh Komnas MPB sejumlah 24 proyek, dan 10 diantaranya sudah
teregistrasi secara internasional di Badan Eksekutif UNFCCC. Dari 24 proyek tersebut,

Halaman 18 dari 30

total emisi yang diturunkan sebesar 33.079.993 ton CO2 eq10. Lebih lanjut, upaya
kerjasama juga dilakukan yang berhasil dilakukan dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 5. Proyek Kerjasama dalam Rangka Perubahan Iklim Di Indonesia
No
1.

Negara
Kerjasama
Indonesia
Belanda

Uraian

Penandatanganan emissions reductions purchase agreement (ERPA) atau kontrak penjualan penurunan
emisi tersertifikasi antara PT Gikoko Kogyo dan International Bank for Reconstruction and Development
dalam kapasitasnya sebagai penanggung jawab Netherlands Clean Development Mechanism Facility.
Program ini merupakan salah satu proyek Clean Development Mechanism (CDM) atau Mekanisme
Pembangunan Bersih (MPB), proyek ini merupakan hasil kerja sama Pemerintah Kota (Pemkot)
Pontianak dengan PT Gikoko Kogyo Indonesia.Pemerintah Kota Pontianak menjadi satu-satunya kota di
Indonesia yang memiliki mesin pengumpul dan pembakar gas di tempat pengelolaan sampah akhir (TPA)
Batulayang, menghasilkan pengurangan sekitar 1,5 juta ton ekuivalen CO2.
2
Indonesia Kerja sama kedua negara mencakup pertukaran informasi mengenai prosedur persetujuan nasional bagi
Denmark
proyek CDM di Indonesia, promosi pengembangan, peningkatan kapasitas, fasilitas penilaian, dan
penyetujuan proyek, serta penghargaan kepemilikan sertifikat proyek CDM yang dapat ditransaksikan
3
Indonesia - Jepang Pemerintah Jepang melalui NEDO mengalokasikan anggaran sebesar Rp 130 miliar untuk pembangunan
proyek Waste Heal Recovery Power Engineering (WHRPG), aplikasi teknologi pemanfaatan panas
terbuang pada semen di Indonesia. WHRPG meru pakan hasil kerja sama NEDO Jepang yang bertujuan
untuk meningkatkan efisiensi dan daya .saing serta meminimalkan emisi gas Co2 melalui mekanisme
pembangunan bersih atau Clean Development Mechanism (CDM).
4
Indonesia - Inggris Lapan dan United Kingdom Space Agency (UKSA) atau lembaga antariksa Inggris. Fokus pada
perubahan iklim dan peningkatan ekonomi Bermanfaat bagi pembangunan kapasitas Measurement
Reporting Verification (MRV) atau pengukuran emisi karbon akibat degradasi dan deforestasi hutan guna
menangani perubahan iklim. Dari sisi ekonomi, kerja sama ini akan bermanfaat di bidang observasi bumi.
Hal ini akan membantu Indonesia antara lain untuk pemantauan ketahanan pangan, pemantauan laut dan
perikanan, pemantauan penanaman padi, dan penanganan bencana.
5
Indonesia Proyek Kesejahteraan Hijau (Green Prosperity Project) senilai 332,5 jutal dolar guna mendukung
Amerika
pertumbuhan ekonomi lingkungan yang berkelanjutan melalui manajemen peningkatan hutan, lahan
gambut, dan sumber daya alam lainnya serta penyebaran energi terbarukan.
Pusat Perubahan Iklim atau Indonesian Climate Change Center (ICCC) yang baru,yang akan fokus
pada pemetaan dan pemantauan lahan gambut yang kaya akan karbon dan hutan tropis dengan
menggunakan keahlian dari US Forest Service dengan total bantuan dana sebesar 6,9 juta dolar
Pengalihan utang untuk pemeliharaan lingkungan sebesar 28,5 juta dolar guna mendukung
pelestarian hutan tropis.
program USAID baru senilai 58 juta dolar untuk pengelolaan hutan, sumber daya kelautan, dan energi
bersih, sebagai bagian dari 119 juta program kemitran SOLUSI dengan Indonesia untuk pencapaian
emisi rendah.
Disamping itu masih banyak kerjasama dengan negara-negara lain dalam hal penanganan perubahan iklim seperti Perancis, Norwegia,
Jerman dan juga Australia
Sumber: diolah penulis dari berbagai sumber, 2012

Beberapa capaian normatif dan empiris pada level nasional yang dicapai
pemerintah Indonesia sehubungan dengan penanganan perubahan iklim yang dapat
dipaparkan dalam tabel berikut :

10

Republik Indonesia, Rencana aksi Nasional Dalam Menghadapi Perubahan IKlim, (Kementrian
Lingkungan Hidup RI, Jakarta 2007), hal, 22

Halaman 19 dari 30

Tabel 6. Contoh Aksi Skala Nasional dalam Penanganan Perubahan Iklim Di


Indonesia
No

Bentuk
Strategi

1.

Sektor

Aksi Normatif

Kelautan dan
Perikanan

Integrasi dalam Rencana


Pembangunan Jangka Panjang
(RPJP) 2005 2025,
Integrasi dalam Dokumen Rencana
Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 2010-2014
Tersusunnya dokumen Rencana Aksi
Nasional menghadapi Perubahan
Iklim (RAN-PI)
National Development Planning:
Indonesia Response to Climate
Change Yellow Book, Second
National Communication (SNC)
Indonesia Climate Change Sectoral
Roadmap (ICCSR)
Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2004 tentang Ra fi kasi Protokol
Kyoto
Kebijakan Kementrian dan Dirjen
Capaian normatif dalam sektor
Kelautan dan Perikanan
Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 61 Tahun 2011
Tentang Rencana Aksi Nasional
Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca

Adaptasi

Pertanian

Kesehatan

Sumber Daya
Air
Kehutanan

Capaian normatif dalam sektor Kelautan


dan Perikanan
Capaian normatif dalam sektor Kelautan
dan Perikanan
Capaian normatif dalam Sektor pertanian

Transportasi

Capaian normatif dalam Sektor pertanian

Industri
Energi
Pengolahan
Limbah

Capaian normatif dalam Sektor pertanian


Capaian normatif dalam Sektor pertanian
Capaian normatif dalam Sektor pertanian

6
Mitigasi

7
8
9

Aksi Empiris
Umum

Sektoral
Rasio kawasan lindung
perairan terhadap total luas
perairan teritorial 0,14%
(1990) dan 4,35% pada
tahun (2009) melalui
Konservasi mangrove

Kerjasama
bilateral &
internasional
dalam hal
pendanaan
penanganan
perubahan iklim
(Belanda,
Inggris,
Denmark
Australia,
Norwegia,
Jepang,
Perancis,
Amerika Serikat
dll)
Pengiriman
delegasi dalam
pertemuan,
kovensi tentang
perlindungan
iklim
Pendirian
Dewan
Nasional
Perubahan
Iklim

Varietas padi rendah emisi,


pupuk organik, aplikasi
teknologi tanpa olah tanah,
teknologi irigasi berselang,
Penggunaan varietas
unggul tahan kekeringan,
rendaman, dan salinitas
Program Indonesia Sehat
2010
Prokasih
Peningkatan luas hutan
menjadi 136,88 juta hektar
atau sekitar 72,89 persen
dari total luas daratan di
Indonesia
Cabutan subsidi,
transportasi masal, bahan
bakar alternatif, pajak
progresive
Melalui CDM
Melalui CDM
Pengenaan IPAL, CDM

Sumber: diolah penulis berbagai sumber, 2012

Dalam hal menumbuhkan inovasi pada level pemerintah daerah, di beberapa


daerah pada tahun-tahun belakangan ini, sedikit banyak terdapat inisiatif lokal untuk
membangun institusi hukum yang lebih bergigi dimana contoh salah satunya adalah
Perda Kabupaten Lampung Barat No. 18 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya
Alam dan Lingkungan Hidup Berbasis Masyarakat. Melalui Perda ini diatur secara
komprehensif upaya terpadu untuk mengelola sumber daya alam dan lingkungan hidup
yang menjadi kewenangan daerah yang meliputi proses perencanaan, pemanfaatan,

Halaman 20 dari 30

pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian sumber daya


alam dan lingkungan hidup. Kedua, Perda Kabupaten Lampung Timur No. 3 Tahun 2002
tentang Rehabilitasi Pesisir, Pantai dan Laut Dalam Wilayah Kabupaten Lampung Timur.
Sehubungan dengan pembangunan institusi hukum di daerah, maka regulasi daerah
yang bertujuan melindungi (konservasi) SDA sangat dibutuhkan. Hal ini menyiratkan
tingkat adopsi dari pemerintah daerah, melalui pembentukan peraturan daerah yang
khusus mengatur mengenai pencegahan pemanasan global dan perubahan iklim di
Indonesia relatif baik.
Sehubungan dengan hal tersebut, pemerintah pusat melalui pendekatan top
down, Panduan Penyusunan Rencana Aksi Daerah Pengurangan Emisi Gas Rumah
Kaca (RAD-GRK) pada tahun 2011 yang didalamnya memuat pedoman implementasi
dalam penanganan perubahan iklim khususnya pada sektor kehutanan dan pertanian ;
sektor energi; sektor transportasi; sektor industri; dan sektor pengolahan limbah. Hal ini
tentunya menyiratkan bahwa, eksistensi inovasi kebijakan juga dipengaruhi oleh
hubungan kerjasama antar pemerintah Kebijakan daerah diorientasikan pada kegiatan
mitigasi sektoral dengan menambahkan sektor pertanian dalam strategi mitigasi.
Komparasi Antara Rencana Aksi Nasional & Rencana Aksi Daerah dapat dilihat pada
tabel berikut :
Tabel 7. Komparasi Antara Rencana Aksi Nasional & Rencana Aksi Daerah dalam
Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca Di Indonesia

Rencana Aksi
No
1.
2
3
4
5
6
7
8
9

Bentuk Strategi
Adaptasi

Mitigasi

Sektor pada Rencana Aksi


Nasional
Kelautan dan Perikanan
Pertanian
Kesehatan
Sumber Daya Air
Kehutanan
Transportasi
Industri
Energi
Pengolahan Limbah

Sektor pada Rencana Aksi


Daerah

Kehutanan dan Pertanian


Transportasi
Industri
Energi
Pengolahan Limbah

Sumber: diolah penulis, 2012

Paparan tabel 7 menunjukkan bahwa, pada level pemerintah daerah (provinsi)


kegiatan penanganan difokuskan pada kegiatan mitigasi. Para ranah administrasi publik,
penyiapan institusi untuk Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK) pada tingkat
provinsi juga perlu diawali dengan inventarisasi kewenangan pada setiap sektor yang
terkait dengan emisi gas rumah kaca. Perlu dipahami bahwa RAN GRK mengatur
pembagian kegiatan pengurangan emisi gas rumah kaca ke dalam beberapa bidang
yang pada Dokumen RAN PI ataupun ICCSR diklasifikasikan sebagai sektor dan juga
terdapat beberapa perbedaan di dalamnya. Pembagian ini kemudian perlu diselaraskan
dengan pengaturan urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar susunan
pemerintahan, sebagaimana diatur di dalam PP 38/2007. Berikut ialah tabel komparasi
sektor / bidang kegiatan pengurangan emisi gas rumah kaca :

Halaman 21 dari 30

Tabel 8. Komparasi Pembagian Sektor Bidang Urusan Pemerintahan Terkait


Kegiatan Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca

ICCSR

RAN GRK
1.

PP 38 / 2007*

Bidang Kehutanan dan


Pengelolaan Lahan
Gambut
Bidang Pertanian
Bidang Energi dan
Transportasi
Bidang Industri
Bidang Pengelolaan
Limbah

1. Pekerjaan umum
2. Perumahan
1. Sektor Transportasi
3. Penataan ruang
2. Sektor Kehutanan
2.
4. Perencanaan pembangunan
3. Sektor Industri
5. Perhubungan
3.
4. Sektor Energi
6. Lingkungan hidup
5. Sektor Pengelolaan
4.
7. Pertanian dan ketahanan pangan
Persampahan
5.
8. Kehutanan
9. Energi dan sumber daya mineral
10. Perindustrian
Keterangan : PP 38/2007 mendefinisikan bahwa terdapat 31 urusan pemerintahan yang dibagi
bersama antar susunan pemerintahan, daftar di atas hanya menampilkan yang
berkaitan dengan pembagian pada PP 38/2007, ICCSR, dan Draft RAN GRK.

Kegiatan kegiatan pengurangan emisi gas rumah kaca yang tercantum di dalam
RAN GRK ataupun RAD GRK nantinya pada akhirnya akan memiliki keterkaitan dengan
kewenangan dan juga urusan kepemerintahan yang diemban oleh masing masing
lembaga. Oleh karenanya, ketentuan di dalam UU 32/2004 mengenai Pemerintah
Daerah dan juga PP 38/2007 mengenai Pembagian urusan Pemerintahan Antara
Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
merupakan acuan dalam penentuan lembaga penanggungjawab maupun pelaksana
kegiatan pengurangan emisi gas rumah kaca.
Tabel 9. Keterkaitan Bidang Pengurangan Emisi GRK pada RAN dengan
Pembagian Urusan Pemerintahan

Sumber : Disarikan dari PP 38 Tahun 2007

Halaman 22 dari 30

Padanan pembagian bidang kegiatan pengurangan emisi gas rumah kaca pada
RAN GRK dengan urusan pemerintahan pada PP 38/2007 menunjukkan bahwa seluruh
bidang berada pada urusan pemerintahan yang dibagi persama antar tingkatan dan/atau
susunan pemerintahan. Kenyataan memperlihatkan adanya keterkaitan antara bidang
kegiatan pengurangan emisi gas rumah kaca dengan pembagian urusan pemerintahan.
Pada gambar tersebut juga diindikasikan klasifikasi urusan pemerintahan yang sifatnya
wajib maupun pilihan bagi Pemerintah Daerah Provinsi maupun Kabupaten/Kota
bergantung kepada karakteristik wilayah masing masing. Urusan wajib ialah urusan
pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah Provinsi dan
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota berkaitan dengan pelayanan dasar. Adapun urusan
pilihan adalah urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi
unggulan daerah yang bersangkutan.
Dalam pembagian urusan pemerintahan, baik urusan wajib maupun urusan
pilihan, pada umumnya terdapat beberapa kriteria yang menjadi pertimbangan; yakni
eksternalitas, akuntabilitias, dan efisiensi dengan memperhatikan hubungan antar
tingkatan dan/atau susunan pemerintahan. Pada praktiknya, pembagian urusan
pemerintahan ini sifatnya akan sangat kontekstual dan sangat dimungkinkan untuk terjadi
perbedaan antara suatu periode ke periode lainnya maupun antar daerah. Oleh
karenanya pada pengaturan teknis untuk setiap bidang urusan pemerintahan perlu
dilakukan dengan melihat pengaturan yang dilakukan melalui kementerian/lembaga
pemerintahan non departemen yang membidangi urusan pemerintah tersebut.
Rencana Aksi Daerah Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK),
sebagai bagian tidak terpisahkan upaya penurunan emisi gas rumah kaca yang
direncanakan di dalam RAN GRK, perlu dilaksanakan dalam kerangka institusi yang
sesuai dan telah ditetapkan sebelumnya. Kerangka institusi nasional yang berperan
dalam mendukung pelaksanaan RAN GRK telah ditetapkan dengan melibatkan beberapa
komponen sebagai berikut :

Halaman 23 dari 30

Tabel 15. Kerangka Institusi Pendukung Pelaksanaan RAN GRK

Institusi

Tugas & Peran

Kementerian
Koordinator
Perekonomian
Kementerian
Perencanaan
Pembangunan Nasional
/ Kepala Bappenas

Melakukan koordinasi pelaksanaan dan pemantauan RAN GRK dengan melibatkan para Menteri
dan Gubernur yang terkait dengan upaya penurunan emisi gas rumah kaca.
Melaporkan pelaksanaan RAN GRK yang terintegrasi kepada Presiden paling sedikit 1 tahun sekali.
Mengkoordinasikan evaluasi dan kaji ulang RAN-GRK yang terintegrasi
Melaporkan hasil evaluasi kepada Menteri Koordinator Perekonomian
Menyusun pedoman RAD-GRK yang akan diintegrasikan dalam upaya pencapaian target nasional
penurunan emisi GRK.
Mengkoordinasikan inventarisasi GRK yang dilakukan oleh masing-masing Kementerian/Lembaga
dan Pemerintah Daerah dan melaporkan hasil inventarisasi GRK tersebut kepada Menteri
Koordinator Perekonomian.
Menyusun pedoman dan metodologi MRV (Measurable Reportable Verifiable)
Memfasilitasi penyusunan RAD-GRK bersama-sama dengan Menteri Perencanaan Pembangunan
Nasional/Kepala Bappenas dan Menteri Lingkungan Hidup
Melaksanakan RAN-GRK dan inventarisasi GRK pada Kementerian/Lembaga masing-masing.
Memantau pelaksanaan RAN-GRK secara berkala.
Melaporkan pelaksanaan kegiatan RAN-GRK yang telah terverifikasi kepada Menteri Koordinator
Perekonomian, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, dan Menteri
Lingkungan Hidup secara berkala, minimal satu tahun sekali.
Menyusun Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK) yang mengacu
pada RAN-GRK dan sesuai dengan prioritas pembangunan daerah berdasarkan kemampuan
APBD dan masyarakat.
Menetapkan RAD GRK melalui Peraturan Gubernur
Menyampaikan RAD-GRK kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Perencanaan Pembangunan
Nasional/Kepala Bappenas untuk diintegrasikan dalam upaya pencapaian target nasional
penurunan emisi GRK

Kementerian
Lingkungan Hidup
Kementerian Dalam
Negeri

Kementerian / Lembaga

Gubernur / Pemerintah
Provinsi

Sumber :: RAN GRK, 2010.

Secara umum Pemerintah Pusat melalui Menteri/Kepala Lembaga Pemerintah


Non Departemen memiliki kewenangan untuk menetapkan norma, standar, prosedur, dan
kriteria Norma Standar Prosedur Kerja (NSPK) untuk pelaksanaan urusan wajib dan
pilihan. Norma Standar Prosedur Kerja (NSPK) tersebut kemudian berfungsi sebagai
pedoman bagi pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota dalam
melaksanakan setiap urusan wajib serta pilihan tersebut.
Penyiapan institusi juga memerlukan pemahaman distribusi kewenangan antar
tingkat pemerintahan yang terkait dengan perubahan iklim. Pemerintah Pusat pada
dasarnya adalah membangun kebijakan umum yang dilengkapi dengan norma, standar,
prosedur, dan kriteria (NSPK). Pemerintah Provinsi, di sisi lain, adalah perpanjangan
tangan dari Pemerintah Pusat di daerah: Dengan demikian memiliki kewenangan untuk
pengendalian implementasi kebijakan nasional dan NSPK. Pemerintah Provinsi juga
memiliki peran dalam memfasilitasi isu antar kabupaten/kota. Adapun konteks
desentralisasi untuk setiap sektor pada dasarnya berbeda tergantung konteks kebutuhan
sektoral.

Halaman 24 dari 30

Gambar 4. Proses Inventarisasi Emisi Gas Rumah Kaca dan Institusi


Lebih lanjut, berdasarkan kewenangan yang dimiliki (administrative) dan pelibatan
dalam proses penyusunan BAU (Business-As-Usual) /Baseline serta opsi mitigasi
(kemampuan teknis), maka dapat dilakukan pembagian sektor. Pembagian sektor
merupakan pembagian peran pemerintah pusat dan daerah (provinsi) dalam penyusunan
BAU dan opsi mitigasi atau disebut juga dengan menu sektoral. Berdasarkan
karakteristik-karakteristik ini terdapat tiga kategori yaitu:
1.

Sektor Campuran (Mixed sektor)


Sektor campuran adalah sektor yang sulit dibagi kewenangannya antara pusat
dan daerah. Pusat memiliki otoritas pada sektor ini, tetapi pada tahap
implementasi, bantuan dari daerah untuk mewujudkan pelaksanaan kebijakan
akan sangat besar. Karena itu, sektor ini melibatkan koordinasi bersama antara
pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dalam kegiatan pengurangan emisi.
Dalam kategori sektor campuran adalah sektor kehutanan, lahan gambut dan
pertanian. Pemerintah pusat atau kelompok kerja nasional (National working
group) yang dikoordinasi oleh Bappenas akan membuat nasional BAU/Baseline
dan kemudian mendistribusikan hasil BAU tersebut ke provinsi-provinsi (misalnya
Papua, Kaltim) (berkoordinasi dengan Bappeda dan dinas kehutanan) sehingga
Provinsi-provinsi dapat membuat BAU masing-masing. Pemerintah pusat akan
memberikan bimbingan teknis dan arahan menyangkut penyusunan BAU dan opsi
mitigasi. Pemerintah daerah dan pusat (kelompok kerja dan Bappenda/dinas)
dapat membuat usulan opsi mitigasi untuk setiap provinsi. Usulan-usulan

Halaman 25 dari 30

pemerintah provinsi digabung (aggregated) oleh kelompok kerja nasional untuk


menjadi rencana tindak mitigasi nasional (NAMAs).
2.

Sektor Tertutup (Isolated sektor)


Sektor ini disebut sektor tertutup karena pada sektor ini pemerintah provinsi
memiliki kewenangan penuh untuk menangani penyusunan BAU dan opsi mitigasi
dimana secara administratif dan teknis sektor ini merupakan kewenangan penuh
daerah, yang termasuk ke dalam sektor tertutup adalah sektor persampahan.
Provinsi (Bappeda dan dinas terkait ) perlu menentukan metodologi BAU dan opsi
mitigasi berdasarkan dokumen yang disusun oleh nasional. Masing-masing
provinsi akan menyerahkan BAU dan opsi mitigasi itu diserahkan ke kelompok
kerja nasional untuk diseleksi dan bilamana terpilih dapat dijadikan satu menjadi
National BAU dan usulan opsi mitigasi.

3.

Sektor Terbuka (Open sektor)


Sektor ini disebut sektor terbuka karena pada sektor ini penyusunan BAU dan
opsi mitigasi sifatnya yang lintas daerah atau lebih tepat menjadi kewenangan
pemerintah nasional, yang termasuk ke dalam sektor ini adalah sektor industri dan
sektor transportasi . Pada sektor ini, Pemerintah provinsi memiliki keterbatasan
dalam pelibatan penyusunan BAU dan opsi mitigasi. Peran daerah adalah
penyediaan data-data yang diperlukan untuk menyusun BAU, pada tahap
implementasi dan reporting. Contohnya yang langsung ditangani oleh pusat
adalah sektor industri dan transportasi. Daerah tidak terlibat secara penuh atau
terbatas keterlibatannya dalam proses penyiapan BAU dan opsi mitigasi, karena
sudah ditangani langsung oleh nasional working group/sektor. Keterlibatan daerah
pada sektor ini adalah dalam tahap implementasi dan reporting saja, juga
penyediaan data-data awal.

Paparan tentang fakta empiris dan normatif di Indonesia nampak jelas bahwa
penanganan masalah perubahan iklim dalam konteks pembangunan membutuhkan
manajemen risiko iklim saat ini secara efektif, dan pada saat bersamaan juga mampu
mengembangkan sistem pembangunan yang tahan terhadap dampak perubahan iklim
jangka-panjang. Upaya tersebut membutuhkan pendekatan lintas-sektor baik pada
tingkat nasional, regional, maupun lokal. Hal yang mendasar adalah, upaya adaptasi
harus disertai upaya mitigasi karena upaya adaptasi tidak akan dapat efektif apabila laju
perubahan iklim melebihi kemampuan beradaptasi. Pertimbangan mendasar bahwa,

Halaman 26 dari 30

perubahan

iklim

berdampak

terhadap

banyak

sektor,

maka

penanganannya

membutuhkan konsep yang holistik dan koordinasi yang baik diantara sektor.

KESIMPULAN
Sebagai negara kepulauan, Indonesia sangat rentan terhadap dampak perubahan
iklim. Agenda adaptasi perubahan iklim difokuskan pada area yang rentan terhadap
perubahan iklim, yakni: sumber daya air, pertanian, perikanan, pesisir dan laut,
infrastruktur

dan

pemukiman,

kesehatan,

dan

kehutanan.

Untuk

mencapai

pembangungan yang tahan terhadap resiko iklim, pada masing-masing area fokus perlu
untuk diketahui: 1) tujuan agenda perubahan iklim yang ingin dicapai terkait erat dengan
tujuan pembangunan nasional, yang dapat juga diselaraskan dengan pencapaian
Millenium Development Goals (MDGs) Indonesia; 2) kondisi yang ada pada masingmasing area fokus saat ini baik biofisik, program dan inisiatif yang ada serta institusi yang
bertanggung jawab terhadap dampak perubahan iklim; 3) perubahan kunci yang
diperlukan pada program, investasi atau rencana yang sudah ada; dan 4) investasi dan
kegiatan tambahan atau baru yang diperlukan.

SARAN
Dengan kondisi sebagai negara berkembang, kemampuan Indonesia dalam
melakukan adaptasi terhadap perubahan iklim belumlah sebaik negara-negara maju.
Oleh karena itu dikhawatirkan bahwa pembangunan yang sedang dilaksanakan
pemerintah bisa terhambat karena dampak perubahan iklim. Golongan yang paling
rentan terhadap dampak perubahan iklim adalah masyarakat miskin yang juga
merupakan golongan yang paling terkena dampak terhambatnya pembangunan nasional.
Dengan demikian, respon terhadap perubahan iklim harus mengikutsertakan program
pengentasan kemiskinan.
Strategi nasional menghadapi perubahan iklim juga perlu diarahkan pada
pengembangan rekayasa sosial agar masyarakat dapat mengalami perubahan sosial
secara terencana, sistematis dan menyeluruh yang dapat memberikan manfaat bagi
kelangsungan kehidupan sosial dan ekologi. Adaptasi terhadap perubahan iklim
merupakan aspek kunci yang harus menjadi agenda pembangunan nasional dalam
rangka mengembangkan pola pembangunan yang tahan terhadap dampak perubahan
iklim dan gangguan anomali cuaca yang terjadi saat ini dan antisipasi dampaknya ke
depan. Tujuan jangka panjang dari agenda adaptasi perubahan iklim di Indonesia adalah
terintegrasinya adaptasi perubahan iklim ke dalam perencanaan pembangunan nasional.

Halaman 27 dari 30

Agenda adaptasi dalam strategi pembangunan untuk menghadapi anomali iklim


atau variabilitas iklim saat ini, antara lain dengan cara :

Program pengurangan resiko bencana terkait iklim melalui program


penghutanan kembali, penghijauan terutama di kawasan hutan/lahan yang
kritis, baik di hulu maupun di hilir (kawasan pesisir) dengan keterlibatan
masyarakat;

Peningkatan kesadaran dan penyebarluasan informasi perubahan iklim dan


informasi adaptasi pada berbagai tingkat masyarakat terutama untuk
masyarakat

yang

rentan

sebagai

tindakan

kesiap-siagaan

dini

dan

peningkatan kesadaran tentang bencana iklim yang semakin meningkat;

Peningkatan kapasitas pengkajian ilmiah tentang perubahan iklim dan


dampaknya serta upaya pengendaliannya serta mengembangkan model
proyeksi perubahan iklim jangka pendek, menengah dan panjang untuk skala
lokal atau regional yang diperlukan untuk menilai kerentanan dan dampak
iklim serta menyusun rencana dan strategi kebijakan adaptasi terhadap
perubahan iklim untuk jangka pendek, menengah dan panjang;

Peninjauan kembali kebijakan-kebijakan inti yang secara langsung maupun


tidak

langsung

akan

dipengaruhi

oleh

perubahan

iklim.

Kemudian

mengidentifikasi penyesuaian seperti apa yang harus dilakukan terhadap


program-program yang didesain dengan kebijakan-kebijakan itu dengan
mempertimbangkan arah perubahan iklim dan kenaikan muka air laut serta
perubahan kondisi sosial-ekonomi untuk mendapatkan kebijakan dan program
yang lebih tahan terhadap perubahan iklim;

Peningkatan kapasitas untuk mengintegrasikan perubahan iklim dengan


pengarus-utamaan

adaptasi

perubahan

iklim

kedalam

perencanaan,

perancangan infrastruktur, pengelolaan konflik, dan pembagian kawasan air


tanah untuk institusi pengelolaan air;

Pengarus-utamaan adaptasi perubahan iklim kedalam kebijakan dan program


di

berbagai

sektor

(dengan

fokus

pada

penanggulangan

bencana,

pengelolaan sumberdaya air, pertanian, kesehatan dan industri);

Pengembangan isu perubahan iklim dalam kurikulum sekolah menengah dan


perguruan tinggi;

Pengembangan sistem pengamatan cuaca, iklim dan hidrologi khususnya di


luar Jawa dan peningkatan kapasitas BMG dalam membuat ramalan cuaca
dan iklim yang lebih akurat mencakup seluruh Indonesia;

Halaman 28 dari 30

Pengembangan sistem infrastruktur dan tata-ruang serta sektor-sektor yang


tahan dan tanggap terhadap goncangan dan perubahan iklim, dan
pengembangan serta penataan kembali tata ruang wilayah, khususnya pada
kawasan pantai.

Upaya adaptasi, seperti tertulis dalam Dokumen Rencana Aksi Nasional dalam
Menghadapi Perubahan Iklim (lebih dikenal dengan Dokumen RAN-PI) harus dilakukan
melalui beberapa pendekatan: 1) mengintegrasikan agenda adaptasi perubahan iklim ke
dalam rencana pembangunan nasional seperti Rencana Pembangunan Jangka
Menengah dan Jangka Panjang, 2) meninjau kembali dan menyesuaikan inisiatif atau
program yang ada sehingga menjadi tahan (resilience) terhadap perubahan iklim, 3)
melembagakan pemanfaatan informasi iklim sehingga mampu mengelola resiko iklim, 4)
mendorong daerah otonom untuk mengintegrasikan pertimbangan resiko iklim ke dalam
perencanaan pembangunan daerah, 5) memperkuat informasi dan pengetahuan untuk
mengurangi resiko iklim sekarang dan masa yang akan datang, 6) memastikan
tersedianya sumber daya dan pendanaan yang berasal dari dalam negeri untuk kegiatan
adaptasi serta memanfaatkan semaksimal mungkin bantuan pendanaan internasional, 7)
memilih opsi no-regrets (tanpa penyesalan), yakni mengambil tindakan adaptasi, meski
misalnya perubahan iklim tidak terjadi, sehingga manfaat yang diperoleh selain dapat
mengurangi kerentanan terhadap perubahan iklim sekaligus mendatangkan manfaat bagi
pembangunan nasional, dan 8) mendorong terbentuknya dialog nasional sehingga dapat
mempercepat proses pengimplementasian agenda adaptasi perubahan iklim di
Indonesia.

REFERENSI
Bappenas, 2009, Penyusunan Road Map Pengarusutamaan Isu Perubahan Iklim ke
dalam Perencanaan Pembangunan Nasional. http://www.dephut.go.id/files/Presentasi
_Roadmap_Bapenas_09.pdf
CIESIN, 2007. Population Density Within and Outside of a 10 m Low Elevation Coastal
Zone in Western Indonesia. s.l. : Columbia University, 2007
IIEE (2007), Energy Security and Sustainable Development, The Indonesia Energy
Economics Review Volume 2-2007, Periodical published by IIEE, Jakarta.
Grimmond, S, 2007, Urbanization And Global Environmental Change: Local Effects Of
Urban Warming. The Geographical Journal, 173 (1), hal 8388

Halaman 29 dari 30

Hulme, Mike and Sheard, Nicola (1999), Climate Change Projections in Indonesia.
Climatic Research Unit. United Kingdom : University of East Anglia and WWF
International, 1999
Johnson. 1992, dalam Fabby Tumiwa et al, 2010, Kertas Kebijakan : Strategi
Pembangunan Indonesia Menghadapi Perubahan Iklim: Status dan Kebijakan Saat Ini.,
2010. Penerbit: Friedrich-Naumann-Stiftung fr die Freiheit, Indonesia. ISBN: 978-9791157-29-2
kebayoran
baru,
Jakarta
Electronic
Copy
Available
At
:
http://www.scribd.com/document_downloads/direct/50684525?extension=pdf&ft=
1325914369&lt=1325917979&uahk= J6ydWpx8bQvDVz9uAcBw9ssfm+g, hal 14
Laporan Analisa Lingkungan Indonesia Oktober Tahun dengan tema Berinvestasi Untuk
Yang Lebih Berkelanjutan Indonesia, 2009 yang diterbitkan oleh The World Bank Group,
Jakarta
Electronic
Copy
Available
At
http://wwwwds.worldbank.org/external/default/WDSContentServer
/WDSP/IB/2009/11/19/000333038_20091119000502/Rendered/PDF/507620v20Revis1b
ox0info10CEA1bahasa.pdf.
Naylor, Rosamond et al. (2007), Assessing the risks of climate variability and climate
change for Indonesian rice agriculture, PNAS Early Edition, May 1, 2007.
Nasrullah, 2010, Perubahan Iklim Dan Trend Data Iklim, Electronic Copy Available At:
http://manado.kaukustujuhbelas.org/content/files/1307525387.pdf
Orbethur, Sebastian & Herman E. Ott, 1999. The Kyoto Protocol : International Climate
Policy for the 21st Century. New York : Springer, 1999, hal. 7-8
Olson, M, 1965. The logic of collective action. Cambridge, MA: Harvard University Press
OFDA/CRED (2007), The International Disaster Database, Catholic University of Louvain,
Belgium.
Pusat Standardisasi dan Lingkungan. 2008. Hutan Dan Pemanasan Bumi. Makalah
disampaikan dalam Seminar Sosialisasi Pemanfaatan Jasa Lingkungan (Nilai Intrinsik)
Sumberdaya Hutan Tingkat Propinsi Jawa Barat, 3 April 2008, Departemen Kehutanan
Ratag, Mezak (2 March 2007), Perubahan Iklim : Perubahan Variasi Curah Hujan, Cuaca
dan Iklim Ekstrim. Jakarta : Badan Metereologi dan Geofi sika.
Reinstein, RA. 1993, Climate Negotitations, The Washington Quarterly Vol. 16 No. 1 hal
79-95,
Electronic
Copy
Available
At:
http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/01636609309451439#

Republik Indonesia, Rencana aksi Nasional Dalam Menghadapi Perubahan IKlim,


(Kementrian Lingkungan Hidup RI, Jakarta 2007), hal, 22
Setiasih, Naneng (2006), Bali Barat National Park (BBNP) Coral Monitoring Report. s.l. :
Friends of the Reefs Project WWF Indonesia.
Susandi, Armi et al (2007), Climate Change in Jakarta: Its Historical Study for Projection,
Proceedings of Annual Scientifi c Meeting HAGI, Semarang, Indonesia (13-15 November
2006).

Halaman 30 dari 30

Anda mungkin juga menyukai