Anda di halaman 1dari 24

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN

IKLIM di Indonesia dan Negara-negara


Lainnya
Tugas MK Pembangunan Lingkungan yang Berkelanjutan

Dosen Pengampu : Ir. Surjono, M.Arch, Phd.

Oleh :

YUNITA NURMAYANTI - 136060500111001


RIRIN DWI LESTARI - 136060500111003

23 Juni 2014

PROGRAM PASCA SARJANA ARSITEKTUR LINGKUNGAN BINAAN FAKULTAS


TEKNIK UNIVERSITAS BRAWIJAYA Jl. MT. HARYONO NO. 167 MALANG
ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM

I. PENDAHULUAN
Perubahan iklim umumnya terjadi karena siklus alam. Pada abad modern ini,
perubahan iklim diakibatkan oleh berbagai aktivitas manusia. Salah satu gejala perubahan
iklim yang kerap diperbincangkan adalah pemanasan global sebagai dampak dari
pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang tidak berkelanjutan. Pemanasan global
menyebabkan munculnya kekhawatiran, karena berdampak luas terhadap perubahan
bentang alam dan kondisi lingkungan di seluruh permukaan bumi. Dampaknya mengglobal
yang berarti dapat mengenai negara – negara penyumbang gas rumah kaca (GRK) maupun
bukan.

Gb 1. Mekanisme Efek Gas Rumah Kaca menyebabkan


peningkatan suhu permukaan bumi dan troposfir

1.1. Perubahan iklim sebagai gejala dari pembangunan yang tidak berkelanjutan
Indonesia adalah salah satu negara emitor gas rumah kaca yang berasal dari
pembakaran hutan dan pengeringan gambut. Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca
(GRK) di atmosfer, yang tersusun dari gas-gas CO2, CH4 dan N2O juga melalui
penggunaan bahan bakar fossil maupun kegiatan pertambangan. Sebagai negara yang
1
akan terkena dampak dan bertanggung-jawab terhadap perubahan iklim, maka Indonesia
akan menjadi salah satu negara yang menjanjikan solusi bagi pengurangan gas rumah
kaca.
Karena perubahan iklim tersebut, di Asia Tenggara akan mengalami kekurangan
persediaan air bersih pada 2050, curah hujan tinggi, badai topan tropis yang meningkat,
serta kekeringan yang dikarenakan El Nino South Oscilation (ENSO). Karena tingginya
permukaan air laut, maka pantai merupakan kawasan yang paling rentan.
Sementara di Eropa, perubahan iklim akan berakibat menurunnya gletser, banjir di
pedalaman dan wilayah pantai, gelombang panas yang membawa wabah penyakit dengan
penyebaran yang sangat cepat serta erosi. Khusus di wilayah Eropa Selatan, akan sering
terjadi kekeringan karena temperatur yang tinggi serta berkurangnya persediaan air bersih
dan panen. Berbagai konsekuensi yang harus ditanggung Indonesia sebagai dampak
perubahan iklim, diantaranya adalah semakin meningkatnya angka migrasi dan perpindahan
dikarenakan rusaknya garis pantai dan tanah pertanian serta semakin berkurangnya
kawasan tinggal dan lahan pertanian karena penebangan hutan. Dan lebih dari 2000 pulau
di Indonesia akan terendam karena meningkatnya permukaan air laut dan banjir. Hal inilah
yang akan memaksa individu dan kelompok melakukan migrasi dan perpindahan.
Berdasarkan data UNOCHA (2009), Indonesia berada di posisi 6 (enam) dunia dalam
jumlah migrasi dan perpindahan terbesar yang disebabkan oleh bencana seperti gempa,
banjir dan badai. Posisi teratas berturut-turut diduduki oleh China, India, Philipina, Amerika
Serikat, Kuba dan Myanmar. (sumber : Seminar "Current Ecological Issues on Climate
Change and Problem Related in Developing Countries" yang diselenggarakan di Program
Pasca Sarjana Universitas Brawijaya (PPS UB), Kamis (22/10/2009)).

Gb. 2. Hubungan antara kepadatan penduduk dan emisi GRK

2
Pemanasan global dapat diartikan sebagai ‘gejala kelebihan’. Artinya adalah
penggunaan energy melebihi ketersediaannya di alam sebagai akibat dari pembangunan
yang tidak berkelanjutan. Sebagai ilustrasi, planet bumi hanya memiliki 1.8 ha lahan untuk
digunakan per orang, sedang pada tingkat global rata-rata penggunaannya sudah mencapai
2.2 ha. Menurut (Noordwijk, 2008), hal ini berarti telah terjadi ketidak-imbangan antara
‘penyediaan’ besarnya (luasan x bioproduktivitas dan ‘kebutuhan’ (jumlah populasi x
konsumsi per orang).
x intensitas tapak ekologi per unit konsumsi).

Gb.3. Penggunaan luasan yang melebihi ruang yang ada di bumi pada konsep tapak ekologi
(sumber : Noordwijk, 2008)

Target pembangunan yang berkelanjutan didasarkan pada jumlah penggunaan


sumber daya alam (dinyatakan per kapita tapak ekologi) lebih kecil dari pada daya dukung
bumi. Indonesia berada pada posisi HDI (Human Development Index) sekitar 70, dimana
beberapa komponen tapak ekologi seperti serat pohon (antara lain untuk pulp kertas,
parabotan), energy non-kayu (sebagai kompensasi penggunaan bahan bakar minyak) telah
melebihi ketersediaan pangan sebagai komponen yang dominan.

1.2. Adaptasi perubahan iklim masyarakat adat


Nenek moyang kita telah mengatasi dan menyesuaikan diri terhadap perubahan iklim
selama ribuan tahun. Karena itu adaptasi merupakan proses penyesuaian yang terjadi
secara alamiah di dalam ekosistem sebagai reaksi terhadap perubahan iklim. Beberapa
contoh tradisi adaptasi yang turun-temurun ini diperlihatkan oleh masyarakat adat, sebagai
hasil rangkuman dari (rumahiklim, 2014), yaitu :
• Di Bangladesh, warga desa menciptakan kebun sayur terapung untuk melindungi mata
pencahariannya dari banjir.

3
• Di Vietnam, berbagai komunitas menanam pohon bakau yang rimbun di sepanjang
pesisir untuk memecah ombak badai tropis.
• Di pesisir Fiji, vanua levu (hubungan mistis masyarakat dan tanah yang dijaga roh halus
nenek moyang) berfungsi sebagai prinsip panduan bagi pengelolaan dan penggunaan
berkelanjutan hutan hujan, hutan bakau, terumbu karang, dan kebun desa.
• Di kepulauan Pasifik, masyarakat adat telah membangun dinding-laut yang
menyediakan sebuah sistem drainase air dan tangki air serta melarang penebangan
pohon.
• Di Desa Guarita-Honduras, masyarakat memanfaatkan metode pertanian tradisional
Quezungal, yaitu :
o Menanan tanaman di bawah pohon-pohon yang akarnya mencengkeram tanah
untuk membantu menahan erosi.
o Memangkas tanaman untuk menyediakan gizi bagi lapisan tanah dan
memelihara pasokan air tanah.
o Membuat teras-teras untuk menghindari erosi tanah
Di seluruh dunia, masyarakat adat telah mengembangkan langkah-langkah adaptasi inovatif
untuk menghadapi perubahan iklim berdasarkan pengetahuan tradisional.

1.3. Adaptasi perubahan iklim masyarakat internasional


Adaptasi pada perubahan iklim adalah kemampuan suatu sistem untuk
menyesuaikan diri. Caranya menurut (Sarakusumah, 2012) adalah sebagai berikut :
• mengurangi kerusakan yang ditimbulkan
• mengambil manfaat atau mengatasi perubahan dengan segala akibatnya
Menurut (Murdiyarso dalam Firdaus, 2013) adaptasi terhadap perubahan iklim
adalah salah satu cara penyesuaian yang dilakukan dengan spontan ataupun terencana
yang bertujuan memberikan reaksi terhadap perubahan iklim. Adaptasi terhadap perubahan
iklim sangat potensial dalam mengurangi dampak dan meningkatkan manfaat. Strategi
adaptasi terhadap perubahan iklim dapat memberikan manfaat jangka pendek maupun
jangka panjang. Hambatan yang seringkali terjadi ada pada proses implementasi dan
kefektifan adaptasi. Penyebab hambatan tersebut karena daya adaptasi dari tiap-tiap
daerah, negara, maupun kelompok sosial-ekonomi berbeda-beda.

4
Gb.4. Diagram sumber emisi GRK, konsekuensi perubahan iklim dan adaptasi
(sumber : Noordwijk, 2008)

Sedangkan mitigasi adalah usaha menekan penyebab dari perubahan iklim dalam
rangka mengurangi dan mencegah resiko. Upaya mitigasi yang dilakukan di Indonesia pada
bidang
Energy menurut (Sarakusumah, 2012) contohnya adalah sebagai berikut :
• efisiensi energi minyak bumi melalui pengurangan subsidi dan konversi energi pengganti
minyak bumi,
• pengoptimalkan penggunaan energi terbarukan
• penggunaan energi nuklir
Perubahan iklim yang disebakan oleh aktivitas manusia membuat dunia membuat
suatu badan yang dinamakan Interngovernmental Panel on Climate Change (IPCC). Badan
ini menangani permasalahan perubahan iklim global di dunia. Badan ini dibentuk pada
tahun1998 oleh World Meteorological Organization (WMO) dan United Nations Environment
Programme (UNEP) sebagai amanat kedua organisasi tersebut untuk mengatasi perubahan
iklim global yang menjadi agenda politik Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sejak tahun
1980. Tujuan utama dibentuknya IPCC menurut (Sutamihardja, 2011) adalah sebagai
berikut:
• memberi penilaian secara komprehensif, objektif, terbuka dan transparan atas informasi
ilmiah, teknis dan sosial ekonomi yang berkaitan dengan pengetahuan mengenai basis
ilmiah dari risiko perubahan iklim yang disebabkan oleh perbuatan manusia.
• memetakan potensi dampak dari perubahan iklim
• memberikan pilihan-pilihan mitigasi maupun cara-cara untuk adaptasi.
Indonesia telah melakukan langkah-langkah strategis dalam mendukung pelaksanaan
adaptasi dan mitigasi perubahan iklim sejak konferensi lingkungan di Bali tahun 2007,
5
sejak itu seluruh sektor pemerintahan digerakkan untuk memiliki program-program
adaptif untuk mensuseskannya seperti RAN-PI (Rencana Aksi Nasional dalam
Menghadapi Perubahan Iklim) tahun 2007 dilanjutkan KRAPI (Kajian Resiko dan
Adaptasi Perubahan Iklim) yang dikeluarhan oleh Kementerian Lingkungan Hidup tahun
2012. Sedangkan dari sisi legislasi untuk mendukung penerapannya sebelum itu telah
dikeluarkan berbagai produk hukum seperti Peraturan Presiden no.46 tahun 2008,
Peraturan Menteri, lalu dibentuk DNPI (Dewan Nasional Perubahan Iklim), dsb.

II. HASIL DAN PEMBAHASAN

Gb 5. Diagram posisi Adaptasi dan Mitigasi dalam penanganan Perubahan Iklim


(sumber : Program Iklim (Proklim) Kementerian LH 2012)

Strategi yang digunakan oleh masyarakat asli pedesaaan maupun perkotaan untuk
memperkirakan bencana dan memitigasi dampak perubahan iklim bisa disebar-luaskan
untuk merancang upaya adaptasi global dalam skala besar.

2.1. Adaptasi perubahan iklim masyarakat berbasis pengetahuan tradisional dan


modern di Indonesia
Pengetahuan tradisional dapat menjadi sumber adaptasi terhadap perubahan iklim.
Banyak yang bisa dipelajari dari pendekatan berbasis-adat, tradisi dan masyarakat untuk
kesiap-siagaan bencana alam. Masyarakat asli telah berhadapan dengan perubahan
lingkungan selama ratusan tahun dan mengembangkan strategi berdasarkan pengetahuan
dan praktik tradisional.
6
Kampung Iklim adalah suatu lokasi yang masyarakatnya melakukan upaya adaptasi
dan mitigasi perubahan iklim secara terukur dan berkesinambungan. Sudah digalakkan di
Indonesia seperti telah disebutkan di atas sebagai salah satu contoh adaptasi masyarakat
yang bisa dilakukan sesuai dengan kapasitas dan kapabilitas setempat yang dimiliki.
Desa Ngrancah Kecamatan Grabag Kabupaten Muntilan, Yogyakarta mengadaptasi
iklim dengan cara penanaman pohon di hutan Ngrancah, pembuatan sumur resapan
sehingga dapat melesatarikan mata air dan mempertahankan penghijauan diwilayahnya dan
pemanfaatan bio gas sebagai usaha mengurangi pemakaian bahan bakar fossil. Selain itu
dengan merevitalisasi hutan membuat ekosistem tetap seimbang dan satwa-satwa yang
hidup didalamnya lestari.
Beberapa contoh daerah di seluruh Indonesia yang telah melakukan proses adaptasi
perubahan iklim antara lain :

Gb 6. Proses Adaptasi perubahan iklim di Bekasi, Jawa Barat pada Pengolahan sampah berbasis
Clean Development Mechanism (CDM) di TPA Sumur Batu Bekasi (foto kiri) diharapkan dapat
mengurangi emisi karbon sebagai penyebab gas rumah kaca.(foto kiri).

Gb 7, TPA Sistem Sanitary Landfill di Sungai Enam Kec. Bintan, Kepulauan Riau (foto kanan).
sumber : Buletin Cipta Karya no. 08 tahun 2011.

Di Banjarmasin dilakukan pengolahan air limbah (PD PAL) melihat struktur topografi
kotanya yang sebagian besar rawa, tidak memungkinkan untuk dilakukan pengurugan
karena akan mengganggu ekosistem dan menghilangkan resapan air, dll. Untuk mengatasi
kebutuhan air bersih warganya harus dilakukan upaya yang sesuai dengan prinsip-prinsip
lingkungan dan mendukung adaptasi perubahan iklim yang ada yaitu dengan cara mengolah
air limbah yang dihasilkan setiap hari oleh masyarakatnya menjadi air bersih melalui
pemanfaatan mikroorganisme tertentu untuk menguraikan bahan-bahan organik dan racun
yang berbahaya pada air limbah tersebut dengan teknologi RBC (Rotating Biological
Contactor) sehingga diperoleh hasil pengolahan yang sesuai dengan standar baku mutu air
bersih yang diijinkan.

7
Gb 8. Peralatan pengolahan Air Limbahdi Banjarmasin (foto kiri). Lingkungan permukiman nelayan di
Kecamatan Banjarmasin Utara(foto kanan) sumber : Buletin Cipta Karya no. 08 tahun 2011.

Di Semarang penanganan rob dan banjir yang semakin tinggi karena perubahan
iklim ditanggulangi dengan membangun Polder Banger (Polder di Kali Banger) yang
bekerjasama dengan pemerintah Belanda. Selain menormalisasi Kali Garang dan Banjir
Kanal Barat, membangun DAM Jatibarang di Kali Kreo dan Drainase Perkotaan yang
meliputi Kali Semarang, Kali Asin dan Kali Baru.

Gb 9. Struktur Utama Polder Banger (foto kiri; sumber:


simpanglima.wordpress.com). Gb 10. Polder Banger di Semarang (foto
kanan atas; sumber: powerlogical.deviantart.com)

Di desa Cibodas, Jawa Barat, sebagai area pertanian sayur di lahan kering yang
sangat penting khususnya di Jawa barat, tidak luput dari pengaruh perubahan iklim.
Gambaran umum desa ini sbb :
Tabel 1. Luas lahan dan penggunaannya

Dengan komposisi mata pencaharian penduduknya :


8
Tabel 2. Komposisi jumlah sesuai mata pencaharian masyarakat desa Cibodas

Perubahan iklim yang dialami desa ini mulai dari pergeseran musim hujan dan
kemarau, curah hujan makin besar, peningkatan suhu udara, angin bertambah kencang, dan
cuaca yang ekstrim (intensitas dan curah hujan yang besar, kemarau panjang, hujan es,
kabut tebal) menyebabkan :
a. Peningkatan serangan organisme penyerang tanaman (OPT)
b. Mempengaruhi ketersediaan air
c. Menurunkan kualitas dan kuantitas pangan
d. Menyebabkan kegagalan panen
Karena keadaan tersebut di atas, para petani mencoba melalukan adaptasi atas perubahan
iklim yang ada tersebut dengan cara :
1. Mengubah waktu tanam
2. Mengubah pola tanam
3. Mengubah teknik pengairan dan drainase
4. Mengubah teknik pengolahan tanah
5. Mengubah teknik pengendalian OPT

Adaptasi yang hampir sama dilakukan oleh para nelayan di desa Ciawitali, Ciamis.
Dalam beradaptasi dengan perubahan iklim yang menyebabkan perubahan ekosistem
lautan membuat pola migrasi ikan berubah, pola musim tangkapan berubah, dsb. Untuk itu
para nelayan terpaksa melakukan penangkapan ikan di daerah lain berdasarkan informasi
dari mulut ke mulut yang tidak selalu benar dan beresiko fisik dan materiil yang besar pula.
Langkah lain yang dilakukan adalah penanaman mangrove di wilayah pesisir, sehingga
dapat membantu hasil tangkapan yang tidak menentu. Dari hutan mangrove yang tumbuh
subur, banyak biota yang tumbuh pula di sana seperti kepiting bakau, kerang dll. Di mana
dapat membantu para nelayan agar tetap dapat berpenghasilan.

9
Cara lain yang dilakukan adalah dengan menggerakkan potensi sumber daya yang
ada dalam keluarga masing-masing, untuk ikut mencari nafkah dari pekerjaan yang
berbeda. Misalnya pada saat paceklik ikan, mereka ikut membantu memanen padi di
wilayah desa tetangga yang sedang panen.
Selain itu penanaman mangrove pada daerah pesisir di atas juga digalakkan pada
daerah-daerah pesisir lainnya, khususnya oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian
Kelautan dan Perikanan karena keberadaan ekosistem mangrove dinilai sangat penting,
selain berfungsi sebagai tempat pemijahan biota laut juga sebagai pelindung pantai,
meredam ombak, arus serta menahan sedimen. Selain itu,mangrove juga berfungsi sebagai
peredam pasang laut, penahan ROB, energi gelombang serta melindungi pantai dari
hempasan badai dan angin, mangrove juga dapat sebagai penyerap polutan, mengurangi
emisi karbon atau penyerapan emisi CO2 yang merupakan gas rumah kaca, di mana hal ini
punya andil besar dalam mitigasi perubahan iklim sebagai upaya penanggulangan dampak
pemanasan global. Kementerian Kelautan dan Perikanan juga membagikan Rumah ramah
bencana kepada masyarakat nelayan di Jawa Tengah (Kota Pekalongan, Kabupaten
Pekalongan, Kabupaten Cilacap, Kabupaten Brebes, Kabupaten Rembang).
ILO (International Labour Organization) yang merupakan salah satu lembaga khusus
PBB yang menangani masalah tenaga kerja/buruh, juga telah ikut andil memberikan
pendampingan di Indonesia melalui kantor cabangnya di Jakarta, kepada masyarakat Bantul
untuk mengadaptasi banjir tahunan yang selalu terjadi didesanya yang sebagian besar
persawahan. (Gb 11.) di bawah ini (foto bawah kiri).

Selain itu juga program Pembangunan Hijau melalui perhutanan masyarakat, seperti
penyadapan pohon pinus dan penanaman pohon kayu putih berbasis masyarakat. (Gb 12.)
di atas (foto atas kanan).

10
2.1.1. Lahan pertanian apung sebagai potensi komunitas lokal adaptasi iklim.
Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) sedang memetakan usaha adaptasi dan
mitigasi perubahan iklim di komunitas lokal di seluruh Indonesia dalam program nasional
Kampung Iklim (ProKlim) sebagai upaya pencapaian target penurunan emisi gas rumah
kaca (GRK). Inovasi ‘jemput bola’ ini merupakan upaya pemerintah untuk memperoleh data
pengurangan emisi GRK di tingkat kegiatan masyarakat yang terdaftar dalam ProKlim.
Ditargetkan 1000 kampung akan dapat diinventarisasi dan diberdayakan sampai tahun
2020. Kampung – kampung ini dapat menerima bantuan dana dan pendampingan dari KLH
untuk mendukung keberlanjutannya. Salah satunya adalah budi daya padi apung atau padi
air, yang tumbuh dengan memanfaatkan air, bambu dan limbah sabut kelapa sebagai
pengganti sawah, adalah contoh adaptasi perubahan iklim. Sistem ini digagas pertama kali
guna membantu petani yang mengalami gagal panen akibat banjir di provinsi Lampung.
Menanam padi apung di lahan rawa dapat menjadi solusi semakin tergusurnya lahan
pertanian. Cara ini cukup jitu menghadapi perubahan pola hujan di masa mendatang. Selain
di Lampung di Ciamis petani disana juga mengembangkan menanam padi dengan cara
terapung tetapi bukan di atas rawa melainkan di atas lahan banjir.

Gb 13. Seorang petani sedang memanen padi


apung di lahan persawahan yang terendam
banjir di Desa Ciganjeng, Kabupaten Ciamis,
Jawa Barat. (sumber : wordpress.com)

Padi jenis IR 64 yang ditanam di media apung di atas air sedalam 1 meter ini merupakan
percobaan ketiga kelompok tani setempat di lahan seluas 1.400 meter persegi, sejak tiga
tahun silam. Itu adaptasi terhadap banjir setiap tahun yang kerap menggagalkan panen
pada sekitar 400 hektar sawah di sini. Kedalaman air banjir pada bulan Desember bisa
sampai 2 meter lebih.

11
Pada percobaan pertama, media tanam yang dipakai jerami dan polybag. Eksperimen
kedua menggunakan media tanam sabut dan bawahnya diberi jaring.
Sekarang ini para petani menggunakan bambu dibelah (palupuh) sebagai landasaran sabut
kelapa dan pupuk organik. Media tanam ini bisa naik turun mengikuti ketinggian air. Selain
padi, teknik produksi juga bisa dikombinasikan dengan ternak ikan. Program ini dibantu oleh
Ikatan Petani Pengendalian Hama Terpadu Indonesia ( IPPHTI) yang juga
mengembangkan padi tahan air asin di Cilacap dan Cirebon.

Gb.14. Pertanian rakit di lahan rawa Lampung


sebagai alternatif komunitas lokal dalam adaptasi perubahan iklim
(sumber : Bernas at al, 2012)

Sistem pertanian apung sebelumnya sudah menjadi bentuk adaptasi iklim para
petani Banglades atas pengalaman banjir tahunan. Sistem lahan apung sebagai bukti
kreatifitas manusia sejak ratusan tahun lalu menjadi sumber kearifan lokal. Menggunakan
bahan-bahan alam yang ada di lingkungan setempat, terbukti memiliki produktifitas 10 kali
lipat lahan konvensional. Media tanamnya adalah bambu yang disusun dengan panjang 15-
50m dan lebar 1,5-2m dengan lapisan enceng gondok dan tanaman yang membusuk
sebagai pupuk alami. Supaya tidak hanyut, para petani menancapkan dan menghubungkan
lahan terapung dengan tiang pancang.

Gb.15. Lahan apung di Bangladesh yang ditancapkan ke tiang pancang agar tidak hanyut

12
2.1.2. Adaptasi Perubahan Iklim Masyarakat Tradisional Ghana
Masyarakat desa di cekungan sungai Offin-Ghana menggunakan pengetahuan
tradisional untuk mengatasi perubahan iklim (Molins, 2013). Cekungan Offin merupakan
area semi-basah tropis yang dihuni oleh petani subsisten – yang sangat terpukul akibat
kegagalan panen sejak tahun 2000. Kegagalan panen tersebut ditengarai sebagai akibat
dari :
• peningkatan suhu atau temperatur udara
• peningkatan intensitas sinar matahari
• perubahan pola musim hujan.

Gb.16. Cekungan Offin (kiri) dan sungai sebagai sumber kebutuhan air utama
masyarakat Ghana (kanan) (sumber : Mollins, 2013)

Suhu di Ghana meningkat sekitar 1 derajat Celsius dalam 40 tahun terakhir pada
abad 20. Hujan dan limpasan air menurun sekitar 20 hingga 30 persen. Padahal, 90 persen
penduduk yang bertani tersebar di 20 desa, tinggal di area tersebut dan amat bergantung
pada sungai serta hujan untuk memenuhi kebutuhan air. Menurunnya curah hujan sebagai
dampak deforestasi dan degradasi hutan membuat sungai mengering. Pada pertengahan
musim kering, dasar sungai terlihat dan sumur mengering sebagai akibat penurunan volume
aliran air. Hal inilah mengakibatkan kegagalan panen, petani coklat melaporkan pohon-
pohon mereka layu akibat sengatan matahari. Sementara itu petani sayuran juga
menyatakan produksi mereka matang terlalu cepat sehngga nilai ekonomisnya
menurun.Keterbatasan air selama rendahnya curah hujan juga mengakibatkan masyarakat
menjadi lebih rentan terhadap penyakit diare dan malaria seiring dengan meningkatnya
jumlah nyamuk.
Penduduk di Cekungan Sungai Offin telah belajar beradaptasi terhadap adanya
penurunan suplai air tersebut dengan cara :
• menggunakan kembali air bekas cucian alat-alat dapur dan baju
• mengumpulkan air hujan untuk irigasi.
• mengumpulkan air hujan dan menggunakan metode pertanian tradisional.

13
• menanam tanaman tahan-kekeringan.
• tidak menebang pohon untuk membuka ladang atau menanam tanaman di bawah pohon
yang sudah ada.
• meninggalkan tradisi persembahan air kepada dewa
• petani dan perusahaan kayu sama – sama menjaga pohon.

2.2. Adaptasi perubahan iklim masyarakat internasional berbasis pengetahuan


modern
2.2.1. Inovasi masyarakat Belanda dalam adaptasi perubahan iklim
Ketika para ahli berdebat tentang bagaimana memperlambat, mencegah bahkan
menghentikan perubahan iklim, Belanda sudah memimpin di depan. Tak cukup berpuas diri
sebagai pionir teknologi pompa dan tanggul yang telah menjaga bangsa Belanda agar tetap
kering meski sudah berabad-abad hidup di bawah permukaan laut. Belanda merupakan
negara kecil di Eropa Barat yang seperempat luas wilayahnya berada di bawah permukaan
air laut.
Dahulu, daerah di negeri Belanda yang dapat dihuni hanyalah dataran tinggi di
sebelah timur dan selatan, sementara dua per tiga sisanya merupakan daerah yang sangat
rawan banjir. Dalam catatan sejarah, salah satu banjir paling merusak di Belanda terjadi
pada tahun 1421, yang dikenal dengan St. Elizabeth’s flood.
Pertambahan jumlah penduduk membuat bangsa Belanda mencoba mencari
pemecahan masalah dari isu banjir yang dimilikinya. Pada abad ke-18, bangsa Belanda
berinovasi dengan membangun polder untuk mengeringkan air di dataran rendah agar
daerahnya dapat ditinggali. Polder adalah sebidang tanah yang rendah, dikelilingi oleh
timbunan atau tanggul yang membentuk semacam kesatuan hidrologis buatan, yang berarti
tidak memungkinkannya kontak dengan air dari luar selain yang dialirkan melalui perangkat
manual. Kini, polder yang menjadi fondasi utama sebagian besar wilayah di negeri Belanda
ini dipakai di beberapa negara seperti Belgia (De Moeren, Kabeljauwpolder, Polder of
Stabroek), Prancis (Marais Poitevin dan Les Moëres), Kanada (Holland Marsh), dan lain-
lain. Inovasi Belanda telah memepengaruhi tata kota berbagai Negara di dunia. Bandara
Schiphol di Amsterdam yang berada 4.5 meter di bawah permukaan air laut adalah bukti
suksesnya pembangunan polder oleh bangsa Belanda.

Selain polder, ada pula bangunan lain yang pertama kali dibuat oleh arsitek Belanda,
Jan Adriaanszoon Leeghwater, yaitu kincir angin. Inilah alasan mengapa Belanda dijuluki
sebagai “Negeri Kincir Angin”. Kincir angin sendiri berfungsi untuk memindahkan air
limpahan polder menuju ke sungai. Ada sebuah desa kecil di Provinsi Zuid Holland bernama
Kinderdijk yang mengoleksi lebih dari 19 kincir angin dari abad ke-18. Pada tahun 1997,
14
UNESCO menempatkannya dalam daftar World Heritage Sites. Mulai dari polder dan kincir
angin, bangsa Belanda berkreasi dan terus-menerus mengembangkan inovasinya untuk
penanggulangan banjir dengan modernisasi dan orientasi internasionalnya, seperti
Zuiderzee Works maupun Delta Works. Polder dan kincir angin adalah dua mahakarya abad
ke-18 bangsa Belanda yang menjadi sumber segala inovasi para penduduknya kini.

Gb.17. Inovasi Belanda berupa Kinderdijk (kiri) dan sistem polder


dan polder di area rawa (kanan)
(sumber : Mahardika, 2012)

Berbekal pengalaman dan kreativitas, kini Bangsa Belanda tetap bekerja lebih keras
daripada bangsa lain untuk menghadapi ancaman perubahan iklim. Bagaimana untuk hidup
berdampingan dengan perubahan iklim (How to live with global warming), begitulah tekad
bangsa Belanda. Meskipun hampir semua negara setuju bahwa pengaturan target emisi
yang lebih rendah menjadi sangat penting, namun banyak ahli sekarang berpendapat bahwa
sudah terlambat untuk mencegah kenaikan suhu pada 50 hingga 100 tahun ke depan.
Berbeda dengan negara-negara lain yang sibuk dengan strategi bertahan
hidup, pendekatan Belanda menggaris-bawahi pergeseran pemikiran di kalangan ilmuwan,
perencana dan politisi, untuk berpikir tidak hanya “out of the box” tetapi “beyond the box”.
Sebagaimana para desainer memamerkan adikarya baru mereka di catwalk, maka catwalk
Belanda dalam perubahan iklim selalu menjadi pelopor yang menciptakan tren terdepan di
antara negara-negara lain.
Menyadari terus naiknya permukaan air laut dan semakin seringnya terjadi badai
akibat cuaca ekstrim, Belanda kembali memperkenalkan inovasi kreatif berupa proyek
“masyarakat mengambang” atau “floating communities”. “Masyarakat mengambang” adalah
mereka yang tinggal di rumah-rumah di atas laut atau dam yang akan mampu bertahan
terhadap gelombang banjir sekaligus sebagai penahan untuk mengkoreksi garis pantai
terhadap pasang. Penghuni generasi pertama dari proyek ini adalah keluarga-keluarga dan
petani yang tinggal di daerah-daerah rawan banjir akibat pasang. Namun, dengan segera

15
proyek ini menjadi hal yang menarik bagi pasangan-pasangan muda sebagai salah satu
gaya arsitektur modern untuk tinggal “di atas laut”.

Gb.18. Rumah “Masyarakat mengambang” atau “floating community” yang tinggal di


pemukiman di atas perairan Belanda Sumber : http://www.floatingcommunities.com/

Tidak ada negara yang bisa menandingi Belanda dengan dua pertiga wilayahnya
berada di bawah permukaan laut dan selama ini bisa ditinggali. Kemajuan teknologi water
engineering dan inovasi menyiasati kerasnya tantangan hidup. Banjir yang merupakan
ancaman yang selalu ada, mengharuskan anak-anak Belanda untuk mampu berenang
dengan mengenakan pakaian sejak usia 6 dan sebagai bentuk perlindungan terhadap banjir,
pemerintah menyediakan asuransi banjir untuk setiap pemilik rumah. Menghadapi
perubahan iklim dan meningkatnya permukaan air laut, menarik untuk merenungi kata-kata
salah seorang penghuni pertama “floating community”, yaitu David Goulooze: “To face the
harsh weather,The Dutch have this in their genes. We just have to start fighting harder”
(Untuk menghadapi cuaca yang keras, Bangsa Belanda memiliki hal ini dalam darah
mereka. Kami hanya harus memulai untuk berjuang lebih keras dari bangsa lain)”.

2.2.2. Inovasi masyarakat Singapura dalam adaptasi perubahan iklim


Akhir – akhir ini, banyak petani mengeluhkan ancaman kekeringan dan serangan
hama terhadap lahan – lahan mereka akibat cuaca ektrim sebagai dampak dari pemanasan
global. Satu solusi yang memungkinkan adalah bertanam banhan pangan secara vertikal
dengan memanfaatkan ruang-ruang kosong pada bangunan-bangunan bertingkat di

16
perkotaan. Selain menghasilkan, cara tersebut juga membantu menurunkan suhu selubung
bangunan dan menghasilkan O2.

Di Singapura, tanah merupakan aset yang sangat berharga. Negara kecil dengan
luas hanya 710 km persegi menjadi rumah bagi 5 juta orang. Tidak mengherankan apabila
Singapura terkenal dengan bangunan yang menjulang tinggi. Sebuah pulau dengan
kepadatan yang tinggi, dimana 93% makanan adalah impor, ide untuk membuat lahan
pertanian di negara ini dapat dikatakan hampir tidak mungkin untuk dilakukan.

Namun, seorang pengusaha mengatakan bahwa dia mampu memproduksi lima kali
lebih banyak sayuran pertanian di pusat kota. Berkat teknik pertaniannya yang bisa
dikatakan radikal, lahan pertanian kota milik Jack Ng mampu menghasilkan 1 ton sayuran
segar setiap harinya, menyediakan makanan bagi warga kota Singapura yang diproduksi
secara lokal.

Teknologi yang digunakan Jack Ng dalam sistem pertaniannya disebut dengan “A-
Go-Gro”, dan tampak seperti Roda Ferris, dengan ketinggian 30 kaki. Rak-rak sayuran
disusun dalam sebuah rangka alumunium, dan dapat berputar untuk menjaga sirkulasi
cahaya matahari, aliran udara dan pengairan. Semua sampah organik menjadi kompos dan
dapat digunakan kembali. Sistem perputaran (Air powering frame) air dibantu oleh gaya
gravitasi dan membutuhkan sedikit konsumsi listrik. Menurut Jack Ng, energi yang
diperlukan untuk daya satu air powering frame adalah setara dengan energi yang
dibutuhkan 60 watt bola lampu.

Seluruh sistem, masing-masing hanya membutuhkan lahan seluas 60 meter persegi.


Sebanyak 120 menara telah didirikan di Kranji, 14 km dari pusat bisnis Singapura. Dalam
beberapa tahun kedepan Jack Ng, ingin membangun 2.000 menara untuk sistem
pertaniannya.

Jack Ng menjual sayurannya dengan merk Sky Greens, yang dijual di supermarket,
memberikan alterntif produk impor kepada konsumen. Meskipun harga sayuran Sky Greens
10% lebih mahal dari sayuran yang dijual di pasaran, namun sayuran ini banyak digemari
karena sayuran vertikal lebih segar daripada sayuran lainnya yang dijual di Singapura.
Sky Greens didukung oleh pemerintah Singapura karena memungkinkan negara
dengan luas wilayah yang kecil menjadi mandiri akan sumber pangan. Jack Ng percaya
bahwa sistem pertaniannya dapat diadopsi di seluruh dunia, terutama di Asia Tenggara.

17
Gb.19. Inovasi Sky Green pada bangunan-bangunan bertingkat di Singapura
Sumber : http://www.mobgenic.com/2013/08/28/sistem-pertanian-vertikal-di-singapura/

2.2.3. Inovasi masyarakat di Kosta Rica dalam adaptasi perubahan iklim

Solusi adaptasi lainnya adalah ‘Rumah Tahan Bencana’ yang mengambang. Casa
Atrevida adalah rumah yang dibangun di antara laut dan sungai di Semenanjung Osa, Kosta
Rika. Luz de Piedra Arquitectos, sebuah firma arsitektur, membangun rumah ini
menggunakan kayuguadua dengan teknik konstruksi tahan terhadap gempa bumi dan
banjir.

Gb 20. Rumah ‘Mengambang’ yang sudah dibangun di Kosta Rica. Menggunakan


material dan tenaga kerja lokal. Sumber : Kompas.com

Rumah yang berada di area seluas 240 meter persegi ini "mengambang" sekitar 3
kaki atau 91,44 cm dari permukaan tanah. Ketinggian tersebut membuat penghuni rumah
mampu bertahan dari luapan sungai atau hujan terus-menerus.
Rumah ini berada di daerah Playa Preciosa. Rumah cantik ini dibangun oleh para pekerja
terlatih menggunakan material lokal. Mereka menggunakan bahan guadua, kayu jati,
beton,strainer, semen, lamina kilap, dan batu alam.

18
Seperti dilansir di www.plataformaarquitectura.cl, rumah ini terdiri dari dua volume
struktural. Tiap-tiapnya memiliki dua lantai dan sebuah koridor terbuka pada level dasar.
Ruang terbuka ini membuat "persediaan" udara segar selalu terjaga di dalam rumah. Selain
itu, pintu-pintu geser tipis yang berada di lantai pertama juga membuat udara dapur berputar
dengan bebas. Perputaran udara ini menciptakan tiupan angin segar di siang hari.
Panel photovoltaic memang membangkitkan energi, dan penghangat air bertenaga matahari
menyediakan air hangat serta tenaga untuk memasak dan menyediakan makanan hangat.
Hal lain yang lebih istimewa, rumah ini dilengkapi dengan 30 spesies tanaman di balkon
lantai pertama, serta memiliki sistem penyaringan air limbah.

2.2.4. Inovasi masyarakat Austria dalam adaptasi perubahan iklim

Inspirasi lain datang dari Austria dengan rumah tahan banjir. Untuk menghindari
efek buruk musibah banjir, sebuah firma arsitektur bernama Wolfgang Tschapeller Architekt
di Austria membuat rumah tahan banjir bernama "St Joseph House". Rumah tersebut
berbentuk seperti bunker persegi panjang, beraksen geometris unik, dan ditopang beberapa
penyangga. Uniknya, dari keempat penyangga tersebut, satu penyangga dibuat "berkaki"
satu, dua penyangga dibikin "berkaki" dua, serta satu penyangga "berkaki" tiga. Kaki-kaki
tersebut menopang rumah hingga lebih dari dua meter di atas permukaan tanah.
Pemilik rumah antibanjir ini dapat memanfaatkan ruang yang disebabkan oleh jarak antara
rumah dan permukaan tanah tersebut sebagai tempat menyimpan barang atau tempat
memarkir mobil. Desain rumah ini sendiri mampu menampung sebuah keluarga dan
membantu mereka bertahan menghadapi ketinggian air.
Ukuran rumah ini sekitar 6,15 m x 6,20 m x 22,30 m. dan jika diukur dari bagian dalamnya,
ruang yang dapat ditempati adalah sepanjang 21,65 m dengan tinggi 5,15 m.

Gb 21. Rumah ‘Tahan Banjir’ yang sudah dibangun di Austria.


Sumber : Kompas.com

19
Di Indonesia sendiri ide-ide tentang ‘Rumah Tahan Bencana’, ‘Rumah Tahan Banjir’
maupun ‘Rumah Tahan Gempa’ banyak ditemui, baik yang masih berupa ide atau inspirasi
maupun yang sudah diterapkan oleh beberapa kementerian seperti Rumah Tahan Bencana
yang sudah dibangun sejak 2006 -2010 sebanyak 2.733 unit dan sudah dibagikan kepada
masyarakat daerah pesisir.
Ilustrasi di bawah ini menggambarkan kemungkinan solusi berkebun dan bertani di
masa depan.

Gb 22. Solusi lahan pertanian masa depan.

KESIMPULAN

Uraian di atas memberikan gambaran bentuk adaptasi dan mitigasi bencana yang
telah dilakukan, baik atas kreatifitas masyarakat adat, pedesaan, perkotaan, baik skala lokal,
regional, nasional maupun internasional melaui swadaya masyarakat maupun bantuan dan
pendampingan pihak pemerintah pada kondisi yang berbeda-beda di setiap daerah/negara.
Dalam menentukan bentuk adaptasi dan mitigasi diharapkan instansi terkait, baik
pemerintah maupun pihak swasta bekerjasama dengan masyarakat atau memperhatikan
masukan dari masyarakat agar dapat ditentukan jenis adaptasi dan mitigasi yang tepat dan
sesuai dengan kondisi masyarakat dan daerahnya masing-masing. Dengan demikian,
adaptasi dan mitigasi bencana dapat tepat sasaran dan mudah dilaksanakan.
Di Indonesia pemerintah melalui seluruh kementerian yang ada telah menetapkan
program-program pendampingan dalam mengadaptasi dan memitigasi perubahan iklim yang
terjadi di seluruh wilayahnya kepada masyarakat daerah setempat. Dan setiap kementerian
20
telah memetakan daerah-daerah tersebut sesuai dengan skla prioritas tingkat
kerentanannya. Contoh-contoh yang diuraikan di atas masih sebagian kecil dari upaya-
upaya yang telah dilakukan hampir di setiap wilayah di Indonesia, mulai barat sampai ke
timur. Demikian pula contoh-contoh dari negara-negara lainnya.
Contoh upaya adaptasi dan mitigasi yang dikemukakan dalam kajian ini diharapkan
dapat menjadi inspirasi bagi wilayah-wilayah lainnya yang mirip kondisi daerahnya,
sehingga dapat diduplikasi dan dikembangkan agar benar-benar sesuai dengan kapasitas
dan kapabilitas daerah masing-masing.
Perlu pemetaan yang terintegrasi antar kementerian yang ada untuk memastikan
seluruh wilayah di Indonesia telah melaksanakan upaya adaptasi dan mitigasi yang benar
dan sesuai.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim.2014.http://rumahiklim.org/masyarakat-adat-dan-perubahan-iklim/adaptasi/ (diakses
pada 16 Juni 2014).

Aini. 2013. Adaptasi Petani Terhadap Perubahan Iklim. Artikel.


http://industri21aini.blogspot.com/2013/05/adaptasi-petani-terhadap-perubahan-
iklim.html (diakses pada 20 Juni 2014).

Allen, Emma, et al.--------.Investasi Lokal untuk Adaptasi Perubahan Iklim. Green Jobs
melalui Pekerjaan Umum Hijau. Brosur ILO (International Labour Organization)
cabang Indonesia.

Anonim. 2012. Floating Community, Catwalk Belanda dalam Menghadapi Perubahan Iklim.

Antara. 2014. Wamentan Optimistis Kelapa Sawit Bantu Penurunan Emisi. Artikel Antara
Kantor Berita Indonesia. https://id.berita.yahoo.com.wamentan-optimistis-kelapa-
sawit-bantu-penurunan-emisi-165052884-finance.html (diakses pada 21 Juni 2014).

Asdep Peningkatan Peran Organisasi Kemasyarakatan. 2012. Proklim Sebagai Penguatan


Inisiatip Pengelolaan SDH berbasis Masyarakat. Kementerian Lingkungan Hidup.

Bernas, S.M, Pohan, A, Fitri, SNA. & Kurniawan. E, 2012. Model Pertanian Terapung dari
Bambu untuk Budidaya Kangkung Darat (Ipomoea reptans Poir.) di Lahan Rawa.
Jurnal Lahan Suboptimal. I (2): 177-185.

Buletin Cipta Karya. 2011. Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim. Karya Cipta Infrastruktur
Permukiman. Edisi 08/Tahun IX/Agustus 2011.

Chaves, R and Corpus, VT. 2008. Panduan Tentang Perubahan Iklim dan Masyarakat Adat.
Tentebba, Indigenous Peoples’ International Centre and Policy Research and
Education, Philippines.

21
Dahuri. 2011. Strategi Adaptasi Sektor Kelautan dan Perikanan Menghadapi Perubahan
Iklim Global. Artikel. http://dahuri.wordpress.com/2011/0201/strategi-sektor......
(diakses pada 21 Juni 2014).

Diela, T. 2012. St. Joseph’s House, Inspirasi Rumah Tahan Banjir dari Austria. Artikel
Kompas.http://properti.kompas.com/read/2012/11/26/14095037/St.Joseph.House.Ins
pirasi...... (diakses pada 21 Juni 2014).

Diela, T. 2013. “Rumah Mengambang”, Solusi Rumah Tahan Bencana. Artikel


Kompas.http://properti.kompas.com/read/2013/02/06/12050312/Rumah.Mengamban
g.Solusi.Rumah...... (diakses pada 21 Juni 2014).

Djuni. 2009. Strategi Adaptasi Untuk Atasi Dampak Perubahan Iklim. Masyarakat
Penanggulangan Bencana Indonesia (MBPI). Artikel MBPI.
http://www.mpbi.org/content/strategi-adaptasi....... (diakses pada 21 Juni 2014).

Djuni. 2013. Adaptasi Iklim: Petani Ciamis Kembangkan Padi Terapung. Artikel.
http://green.kompasiana.com/iklim/2012/05/15/floating-community-catwalk-belanda-
dalam-menghadapi-perubahan-iklim-457585.html (diakses pada 18 Juni 2014).

El Hida, R. 2011. Kementerian Kelautan Bangun 2.733 Rumah Tahan Bencana. Artikel Detik
Finance. http://finance.detik.com/2011/03/22/120038/1596350/4/kementerian-
kelautan...... (diakses pada 22 Juni 2014).

Firdaus, A.2013. Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Pada Pertanian. Penelitian.
Universitas Brawijaya. Malang.Tidak dipublikasikan.

Heston, YP. 2014. Penyusunan Model Indeks Kapasitas Adaptasi Masyarakat Daerah
Rentan Air Minum Terkait Dampak Perubahan Iklim. Jurnal Balai Penelitian dan
Pengembangan Sosial Ekonomi Bidang Permukiman. Yogyakarta.

Iklim: IPCC, UNFCC, Protokol Kyoto. Bogor: Yayasan Pasir Luhur.


http://cetak.kompas.com/read/2013/03/15/02380543/petani.ciamis.kembangkan.padi.
terapung (diakses pada 21 Juni 2014).

Indepth Report. 2010. Belajar Upaya Adaptasi Perubahan Iklim dari Semarang. Artikel.
http://www.slideshare.net/satudunia/indepth-report-belajar-upaya-adaptasi-
perubahan-iklim-dari-semarang(diakses pada 20 Juni 2014).

Intergovernmental Panel On Climate Change. 2007. Climate Change at Glance. Rumah


Iklim Satu Dunia.

Kementerian Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia. 2007. Rencana Aksi Nasional
Dalam Menghadapi Perubahan Iklim.

Kurniawati, F. 2012. Pengetahuan dan Adaptasi Petani Sayuran Terhadap Perubahan Iklim.
Studi Kasus: Desa Cibodas, Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat. Tesis.
Program Studi Magister Ilmu Lingkungan Universitas Padjajaran Bandung.

Mahardika, T. 2012. Mahakarya Bangsa Belanda yang Tak Habis Dimakan Jaman.
http://kompetiblog2012.wordpress.com/2012/05/22/672-mahakarya-bangsa-belanda-
yang-tak-habis-dimakan-jaman/. (diakses pada 18 Juni 2014).

22
Marwan, A.. 2010. Apa itu REDD? Panduan untuk Masyarakat Adat. Terjemahan. Hal 1-83.
Asia Indigenous Peoples Pact (AIPP), Forest Peoples Programme (FPP),
International Work Group for Indigenous Affairs (IWGIA),Tebtebba.

Mollins, J, 2013. Pengetahuan tradisional dorong adaptasi iklim di Ghana: sebuah kajian.
m.balinga@cgiar.org. (diakses pada 16 Juni 2014).

Muhammad, Sahri, et al. 2009. Adaptasi Pengelolaan Wilayak Pesisir dan Kelautan
Terhadap Dampak Perubahan Iklim Global. Makalah pada Seminar Nasional
Pemanasan Global:Strategi Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim di Indonesia.
Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya.

Noordwijk, M. 2008. Agroforestri sebagai Solusi Mitigasi dan Adaptasi Pemanasan Global.
Seminar Pengelolaan Sumber Daya Alam Berkelanjutan. Institut Pertanian Bogor.
Bogor.

Shaleh,MH. H. 2014. Desa Ngrancah Menangi Program Kampung Iklim 2014. Artikel Suara
Merdeka. http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2014/06/05/2014
(diakses pada 21 Juni 2014).

Surakusumah, W. 2012. Adaptasi dan Mitigasi. http://file.upi.edu/ (diakses pada 17 Juni


2014).

Susanto, Indro. 2013. Strategi Adaptasi Nelayan Pacitan Menghadapi Perubahan Iklim.
Artikel. http://indro-pct.blogspot.com/2013/03/strategi-adaptasi-nelayan-pacitan.html
(diakses pada 21 Juni 2014).

Sutamihardja, & Mulyani, M. E.2011. Climate Change, Dokumen Penting Perubahan.

The World Bank. ------. Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim. Policy Brief. Hal. 1-4.

Vinanda, MY. 2010. Upaya WWF-NU Sosialisasikan Adaptasi Perubahan Iklim. Artikel WWF
Indonesia. http://www.wwf.or.id/?21260/Upaya-WWF-NU-sosialisasikan-adaptasi-
perubahan-iklim (diakses pada 20 Juni 2014).

Yunan. 2013. Adaptasi Perubahan Iklim-Libatkan Masyarakat Adat dan Agama. Artikel
Kompas. http://www.kompas.com/read/2013/03/20/10012737/adaptasi-perubahan-
iklim......... (diakses pada 20 Juni 2014)

23

Anda mungkin juga menyukai