Anda di halaman 1dari 22

KILASAN JEJAK TEKNOLOGI ARSITEKTUR

TRADISIONAL PADA KAWASAN URBAN

Studi Kasus Pada Kawasan Pondok Pesantren Gading Kasri

di Kota Malang

Tugas Mata Kuliah Teknologi Arsitektur Tradisional

Dosen Pengampu : Ir. Agung Murtinugroho, M.Ars.,Phd.

Oleh : Ririn Dwi Lestari


13606050111003

17 Juni 2014

PROGRAM PASCA SARJANA ARSITEKTUR LINGKUNGAN BINAAN FAKULTAS


TEKNIK UNIVERSITAS BRAWIJAYA
JL. MT. HARYONO No. 167 MALANG
KILASAN JEJAK TEKNOLOGI ARSITEKTUR TRADISIONAL PADA KAWASAN URBAN

Studi Kasus Pada Kawasan Pondok Pesantren Gading Kasri di Kota Malang

Ririn D. Lestari
Program Magister Jurusan Arsitektur Lingkungan Binaan Fakultas Teknik Universitas Brawijaya
Malang
Jalan MT. Haryono 167, Malang 65145, Indonesia
Email : ririnlestari90@gmail.com

Abstrak

Melihat dari perjalanan sejarah perjuangan bangsa, peran kota Malang yang signifikan pada masa itu
dan dalam perkembangannya kemudian mendapat sebutan kota pendidikan tentu tidak mungkin
dihapuskan dari sejarah. Sebagai kota pendidikan Kota Malang yang mayoritas penduduknya muslim
terrepresentasikan oleh suatu lembaga pendidikan non formal yang lahir hampir bersamaan dengan
masuknya Islam ke Indonesia yaitu pada tahun 1400-an M, memiliki andil yang cukup besar dalam
membentuk morfologi sejarah kota, baik disadari maupun tidak. Lembaga non formal ini biasa disebut
madrasah atau surau (di Sumatera) atau pondok pesantren. Kehadirannya tanpa terasa telah
mewarnai berbagai aspek kehidupan masyarakat dimana dia berada. Dalam kajian ini pengaruh
keberadaannya akan diamati secara fisik arsitektural, terutama menyangkut jejak-jejak teknologi
arsitektur tradisional dan teknologi arsitektur Islam yang ada atau pernah ada dalam kawasan pondok
pesantren tersebut didirikan. Lokasi amatan studi adalah sebuah pondok pesantren yang berusia
ratusan tahun dan merupakan cikal bakal lahirnya kawasan, dimana pada saat pendiriannya pada
tahun 1768 M, kawasan disekitarnya masih berupa lahan pertanian dan pada saat ini sudah berubah
menjadi kawasan permukiman urban. Dalam kajian ini juga akan diidentifikasi apakah penghuni
kawasan yang tergolong pendatang ikut membawa teknologi arsitektur tradisional yang dimilikinya
dari daerah asalnya untuk diterapkan pada hunian mereka. Pendekatan dilakukan melalui teori
tentang arsitektur tradisional dan Islam untuk mengidentifikasi elemen-elemen arsitektural yang
dimiliki oleh bangunan yang ada dalam kawasan dengan menggunakan metode analisa isi kualitatif
(qualitative content analyse) dari data-data primer maupun sekunder yang didapatkan melalui
observasi di lapangan serta literatur-literatur yang berkaitan dengan tema tersebut di atas.

Kata kunci : pondok pesantren, teknologi arsitektur tradisional, arsitektur Islam, kawasan urban

PENDAHULUAN

Kota dan Kabupaten Malang memiliki sejarah panjang dalam perjuangan bangsa Indonesia.
[1]
Dimulai sejak masa kerajaan Kanjuruhan pada abad 7 M , kerajaan Singosari sekitar abad 10 M,
[2]
sampai masa-masa masuknya agama Islam sekitar abad 14M , masa Kolonial atau saat kawasan
Malang menjadi ajang pertempuran antara kompeni Belanda yang membantu Amangkurat II melawan
[3]
Untung Surapati pada tahun 1686 M , masa di mana Belanda mulai masuk kota Malang, yaitu pada
tahun 1767 M dengan mendirikan benteng di daerah yang sekarang ditempati Rumah Sakit Daerah
[5]
Syaiful Anwar di Klojen Lor , sampai terjadi perkembangan pesat pada tahun 1870 dengan
diberlakukannya Undang-Undang Agraria dan Gula yang bertujuan menghapus sistem Tanam Paksa
(Cultuurstelsel) yang sudah berlangsung mulai tahun 1830-1870.
Isi dari undang-undang tersebut pada pokoknya memberi kesempatan kepada pihak swasta
(pertikelir) untuk menyewa tanah (selama 75 tahun), yang digunakan untuk perkebunan. Maka sejak
saat itu berdirilah perkebunan partikelir dalam jumlah besar di Jawa, yang disusul dengan
meningkatnya jumlah penduduk Eropa di Jawa. Di Jawa Timur, terutama bagian selatan, Malang
merupakan kota terdekat yang dapat dicapai dari wilayah perkebunan milik swasta tersebut yang
selanjutnya dilakukan pembangunan secara besar-besaran oleh pihak pemerintah dan swasta untuk
membangun prasarana baik di dalam kota, maupun luar kota berupa jalur transportasi yang
[5]
menghubungkan Malang dengan kota-kota lainnya .

Page 1 of 20
Pada sekitar tahun 1945 beberapa tulisan menceritakan tentang perjuangan kaum muslim
baik para pemuda maupun para ulama yang mempunyai peran besar dalam peristiwa 10 Nopember
1945 di Surabaya. Dan saksi mati seperti Masjid Sabilillah di jalan Ahmad Yani Belimbing Malang
adalah salah satunya. Dinamakan Sabilillah karena masjid ini pernah dijadikan benteng pertahanan
dan strategi para syuhada yang berperang melawan penjajah. Hal ini terbukti dengan adanya
monumen sederhana di teras masjid berupa sebuah prasasti kecil untuk mengenang perjuangan
dimana ulama yang tergabung dalam barisan Sabilillah pernah berjasa dalam sejarah perjuangan
Bangsa Indonesia.
Prasasti itu berbunyi “Masjid Sabilillah sebagai monument perjuangan kemerdekaan RI
yang dipelopori oleh alim ulama.” Prasasti ini menegaskan bahwa di Malang menyimpan kisah heroik
yang dilakukan oleh umat islam pada masa pra dan pasca kemerdekaan. Ihwal riwayat pendirian
masjid ini adalah keprihatinan dari sekelompok ulama di Malang karena kisah heroik ini tidak
dikenang dan mulai dilupakan oleh bangsa Indonesia. Sebagai bentuk terima kasih atas jasa para
syuhada dan upaya mengenang perjuangan mereka, masjid ini didirikan. Selain sebagai rumah
ibadah juga sebagai monument perjuangan. Sabilillah adalah laskar rakyat yang paling kuat yang
pernah hidup di Indonesia. Meskipun disisihkan dalam sejarah dan museum-museum yang ada di
[6]
negeri ini, masyarakat Malang mengabadikan dalam sebuah bangunan ibadah dan prasasti .

LATAR BELAKANG

Dalam perjalanannya kemudian Malang berkembang menjadi salah satu kota pendidikan
terbesar di Indonesia, dimana sebutan ini menjadi salah satu tonggak pembentuk identitas dan
mewarnai karakter kota Malang secara keseluruhan. Sumbangan besar yang menjadikannya sebagai
kota pendidikan diperoleh antara lain dengan berdirinya sejumlah lembaga-lembaga pendidikan
formal maupun lembaga-lembaga pendidikan informal. Dan lembaga informal yang bisa dikatakan
tertua, bahkan tertua di Indonesia dan sekaligus merupakan manifestasi masuknya pengaruh Islam di
Indonesia adalah lembaga Pondok Pesantren.
Apabila dikaji lebih jauh mengenai sejarah perkembangan pondok pesantren mulai dari Aceh
sampai Papua, kita akan menemukan lembaga-lembaga ini ternyata menyebar hampir di seluruh
wilayah di Indonesia, bahkan di daerah-daerah dimana masyarakat muslim sangat sedikit jumlahnya.
Dan berjalan sejalan dengan sejarah perjuangan bangsa, di mana kemudian mayoritas penduduk
Indonesia beragama Islam.
Sehingga perkembangan pondok pesantren, disadari maupun tidak, tentu telah menyatu,
mewarnai dan bahkan ikut andil dalam membentuk pertumbuhan dan perkembangan bangsa, kota
dan wilayah, pada kawasan pedesaan maupun perkotaan di mana dia berada.
Seberapa besar keberadaannya mampu mempengaruhi secara fisik arsitektural, terutama
menyangkut jejak-jejak teknologi arsitektur tradisional dan teknologi arsitektur Islam yang ada atau
pernah ada dalam kawasan di mana dia didirikan, menarik untuk kita amati.
Pemilihan lokasi studi yaitu Pondok Pesantren Miftahul Huda terletak di Jl. Gading Pesantren
Galunggung Kota Malang ini terutama dikarenakan usia pendiriannya yang sudah ratusan tahun,
[4]
yaitu sejak tahun 1768 M . Di mana pada waktu itu hampir berdekatan dengan saat masuknya
Belanda di kota Malang. Pondok pesantren ini merupakan cikal bakal lahirnya kawasan, dimana pada
saat pendiriannya, kawasan disekitarnya masih berupa lahan pertanian. Dalam perjalanan waktu
pada saat ini kawasan tersebut sudah berubah menjadi kawasan permukiman urban. Dalam kajian ini
juga akan diidentifikasi apakah penghuni kawasan yang tergolong pendatang ikut membawa
teknologi arsitektur tradisional yang dimilikinya dari daerah asalnya untuk diterapkan pada hunian
mereka.

METODE

Metode yang digunakan dalam kajian ini adalah metode analisa isi kualitatif (qualitative content
analyse). Analisis konten kualitatif merupakan metode analisis dengan integrasi yang lebih mendalam
secara konseptual (Bungin, 2004).

Metode Pengumpulan Data

Data sekunder diperoleh dari hasil studi literatur terhadap karakter asli teknologi tradisional Jawa,
demikian pula dengan teknologi arsitektur Islam. Data primer diperoleh dari observasi dan

Page 2 of 20
pengamatan langsung di lapangan terhadap tipologi, topologi dan morfologi fisik bangunan yang
dipilih sebagai objek amatan.
Diharapkan melalui kajian ini dapat memperkaya dan melengkapi tulisan-tulisan yang sudah
ada, terutama kajian dari sudut pandang yang berbeda. Karena selama ini masih cukup sulit
mendapatkan tulisan atau kajian-kajian dan pemikiran tentang bentuk peran masyarakat muslim atau
masyarakat pondok pesantren dalam mewarnai morfologi kota, baik secara fisik maupun non fisik.

Metode Analisa Data

Analisis data dilakukan dengan tahap deskripsi data, mencari kecenderungan berdasarkan konteks
sosial seputar dokumen, dan mencari signifikasi, serta relevansinya (Zuchdi, 1993).
Dari data yang telah dikumpulkan, dilakukan analisa mengenai faktor yang sangat berpengaruh
terhadap perubahan karakter fisik bangunan yang dihasilkan, khususnya perubahan pada aspek
teknologi struktur dan konstruksi, dibandingkan dengan karakteristik
aslinya. Aspek teknologi struktur dan konstruksi bangunan yang dikaji, terdiri atas:
1) jenis teknologi struktur dan konstruksi;
2) karakter sambungan konstruksi;
3) bahan bangunan yang digunakan pada teknologi struktur dan konstruksi bangunan;
4) eksisting upper struktur dan lower struktur;
5) eksisting konstruksi dinding.

KAJIAN TEORI

Dewasa ini masyarakat tradisional telah mengalami perubahan budaya dan tradisi, sebagai
pengaruh dari perkembangan teknologi, telekomunikasi, dan transportasi. Hal ini merupakan
ancaman tersendiri untuk kelestarian bangunan tradisional ke depannya (Marhaento, 2004).
Umumnya unsur-unsur dasar (makna) dalam bangunan tradisional mampu bertahan untuk kurun
waktu yang lama, meskipun bentuk fisiknya mengalami proses tumbuh dan berkembang bersamaan
dengan pertumbuhan dan perkembangan kebudayaan suatu masyarakat, (Prijotomo,1997). Proses
tersebut mengakibatkan keadaan sekarang berbeda dengan keadaan sebelumnya, dan dapat berupa
kemunduran maupun kemajuan (Syani, 1995). Faktor penyebab perubahan antara lain: 1) kebutuhan
dan fungsi ruang; 2) kemudahan mendapatkanya; dan 3) kemudahan dalam pelaksanaan.
Di sisi lain bangunan tradisional yang umumnya berlokasi di dalam suatu lingkungan
perumahan tradisional telah ditetapkan sebagai kawasan strategis sosial budaya, yang memiliki
fungsi atau berdampingan langsung dengan kawasan yang berfungsi sebagai kawasan lindung
dan/atau kawasan budidaya (UU No.26, tahun 2007). Sehingga pelestarian bangunan tradisional ke
depannya akan berdampak langsung terhadap kelestarian lingkungan yang berdekatan atau
berdampingan dengannya. Hal-hal teknis lainnya yang tidak kalah penting adalah ketersediaan
bahan, alat dan mekanisme pengangkutan, dan ketersediaan tenaga ahli yang memahami teknologi
struktur dan konstruksi (Prijotomo, 2010).
Bangunan tradisional umumnya memiliki teknologi struktur dan konstruksi yang spesifik,
sedangkan bangunan modern yang ada saat ini bersifat massal (pemanfaatan teknologi struktur
bangunan beton). Perbedaan mendasar karakteristik bangunan tradisional dengan bangunan beton
terlihat jelas pada aspek teknologi struktur dan konstruksi terlihat pada Tabel 1.

ASPEK Bangunan Tradisional Bangunan di Perkotaan


Teknologi Struktur dan Rangka Bantang, Konstruksi Dinding Pemikul, Konstruksi
Konstruksi Balok dan Tiang Pasangan Batu/Bata
Karakter Sambungan Konstruksi ‘hidup’, kokoh, kuat Konstruksi ‘mati’, kokoh, kuat
dan bergoyang dan tak bergoyang
Bahan Bangunan Bahan Pokok : Kayu, Bahan Pokok : Batu (dan bata),
berkarakter kesementaraan berkarakter abadi
(aus dan lapuk)
Hubungan dengan Tanah Terletak di muka bumi, tanpa Menancap ke dalam bumi, wajib
pondasi berpondasi
Kedudukan Dinding Bukan Unsur Utama Bangunan, Salah satu unsur utama
sekedar tirai penjinak iklim bangunan, pengisolasi iklim
Sumber : Prijotomo, 2010

Page 3 of 20
IDENTIFIKASI KARAKTER KAWASAN

a. Identifikasi Fisik Arsitektural Kawasan

Dari pengamatan langsung di lapangan, wilayah studi yang memang terletak di tengah kota
Malang, seperti halnya kawasan urban yang telah berdiri dan berkembang dalam kurun waktu
yang cukup lama, memiliki ke-khasan yang sangat jelas dapat kita amati secara visual, yaitu
keberagaman bentuk dan warna bangunan, serta ornamen-ornamen yang dipakai. Selain itu
arah dan orientasi bangunan biasanya juga menyesuaikan dengan poros jalan utama, tanpa
menggunakan kaidah-kaidah kosmologi atau tata nilai tradisional yang biasanya digunakan
oleh masyarakat tradisional. Keberagaman ciri-ciri fisik bangunan seperti ini dapat dikatakan
bisa selalu kita jumpai pada permukiman di tengah kota-kota urban lainnya yang sejenis di
seluruh pulau Jawa.

PETA LOKASI :

JAWA TIMUR
KOTA MALANG

Kel. Gading Kasri Kec.


Klojen (wilayah studi)

Jl. Bondowoso

Pondok Pesantren Miftahul Huda


(PPMH)

Jl. Galunggung

Jl. Raya Dieng

Gbr 1. Peta Lokasi Pondok Pesantren Miftahul


Huda Kota Malang
Sumber : Google Map

Page 4 of 20
Melalui foto-foto di bawah ini dapat kita amati ciri-ciri fisik kawasan secara umum yaitu
sebagai berikut :
- Kepadatan yang tinggi pada rumah-rumah huniannya (Gbr. 2)
- Orientasi bangunan menyesuaikan dengan poros jalan, sedangkan pintu masuk utama
langsung menghadap jalan. (Gbr. 3)
- Sempadan Bangunan, set back bangunan dan ukuran hunian yang relatif kecil dan
berdempetan antara satu rumah dengan rumah lainnya mencirikan bahwa kawasan studi
ini termasuk kawasan perkampungan kota. (Gbr. 4-6)
- Bentukan fisik hunian secara keseluruhan tidak teratur gaya arsitekturnya (Gbr. 7)
- Bentukan atap dan selubung bangunan serta ornamen-ornamen fisik yang digunakan juga
beragam tidak menganut gaya tertentu. Terlihat sangat subyektif tergantung pada selera
dan citarasa pemiliknya (Gbr. 7)

Gambar 2. Kepadatan Hunian dalam Kawasan

A B C D

Gbr.2. Suasana
Kampung dari
berbagai arah view di
A dalam kawasan
C D menunjukkan
kepadatan hunian
yang ada

Gambar 3. Orientasi Bangunan sesuai Arah Poros Jalan Utama

Page 5 of 20
Gbr 3. Orientasi Bangunan
sesuai arah poros jalan

Gbr. Bawah dari ki-ka.4. Suasana Kampung dari


arah Jl. Galunggung.
Gbr.5. Area PPMH di ki-ka atap fiber hijau
(sebelah kiri area Rumah Kyai dan Penginapan
Putri ; sebelah kanan area Masjid dan Penginapan
Putra.
Gbr.6. Suasana Kampung dari dalam kawasan
(view jalan utama dari arah timur ke barat)

Gambar 4-6 di atas ini menunjukkan Jarak Bangunan terhadap Jalan Utama Kawasan.

Gbr 7. Keragaman tampak visual bangunan sepanjang jalan utama kawasan


Gambar 7 di atas ini menunjukkan keberagaman bentuk dan warna sejumlah Bangunan
Hunian dan Masjid yang berada di sepanjang jalan utama kawasan.

Teknologi dan bahan material yang dipergunakan dalam membangun rumah hunian
dan bangunan lainnya di kawasan ini adalah sebagai berikut :
- Pondasi : masuk ke dalam tanah dengan material batu kali dan semen.
- Dinding : menggunakan batu bata
- Tiang Utama (Kolom) : Dinding Pemikul (Panggang Pe=Jengki�tahun 1960-an), besi
dan beton
- Rangka Atap : Kuda-kuda, gording, usuk, reng dari kayu dengan sistem sambungan
tradisional Jawa (sesuai dengan tenaga ahli/tukang yang ada).
- Kusen dan Daun Pintu/Jendela : material kayu dan kaca
- Atap : Penutup atap menggunakan bahan genteng tanah liat, genteng beton dan beton,
dengan listplank atap dari bahan kayu atau beton.

Page 6 of 20
- Lantai : masih terdapat rumah hunian yang berlantai semen, lantai teraso dan lantai
keramik.

b. Identifikasi Sosial Budaya Penghuni Kawasan

Dari uraian bentukan fisik hunian di atas, dapat dianalisa bahwa :


1. Mata pencaharian utama masyarakat bukan pertanian tetapi heterogen (pedagang,
pegawai pemerintah, pegawai swasta, pemimpin lembaga pendidikan pondok pesantren,
dsb) khas mata pencaharian masyarakat urban. Karena tidak lagi ditemukan lahan
persawahan di sekitar kawasan. Umumnya petani tradisional akan tinggal di dekat lahan
persawahan tempatnya bekerja.
2. Etnis masyarakat yang bermukim pada kawasan mayoritas dari suku Jawa, karena tidak
ditemukan atribut-atribut etnis lainnya pada kawasan ini (misal suku Bali biasanya ada
atribut pura kecil pada main entrancenya, atau ornamen-ornamen khas Bali akan tampak
pada hunian, disini tidak ditemukan. Demikian pula atribut –atribut suku atau etnis
lainnya).
3. Dengan adanya beberapa Masjid pada kawasan menandakan bahwa mayoritas
penghuni beragama Islam, selain keberadaan Pondok Pesantren yang merupakan cikal
bakal kawasan. Tetapi dari cara berpakaian masyarakatnya tidak seluruh kaum
wanitanya berbusana muslim, mencirikan sebagian masyarakatnya adalah muslim
‘abangan’.
4. Dari mayoritas etnis Jawa yang berdiam pada kawasan terefleksikan dalam bentukan
fisik atap rumah hunian berupa atap pelana dan atau perisai yang sederhana, yang
apabila ditinjau berdasarkan kosmologi dan ‘pakem’ bentukan atap Jawa yang berasal
dari Jawa Tengah, menunjukkan tingkat strata pemilik hunian tersebut yang berasal dari
kalangan orang biasa.
5. Penghuni yang sebagian besar pendatang dari luar kawasan biasanya membawa latar
belakang sosial budaya dan nilai-nilai tertentu dari daerah asal mereka yang
tertransformasikan secara fisik pada hunian. Tetapi hal ini masih dipengaruhi secara
langsung oleh kemampuan mereka dalam ‘mengadakan’ teknologi, material dan tenaga
ahli yang sesuai, yang berkaitan dengan faktor ekonomi.
6. Secara fisik arsitektural pengaruh etnis, sosial dan budaya tersebut terlihat pula dari
bentukan fisik setiap rumah, penentuan bentuk setiap detail ornamen rumah (mulai dari
bentuk atap tadi, bentuk kusen jendela, kusen pintu, canopy rumah, lubang-lubang
ventilasi) dan materialnya.

ANALISA DAN PEMBAHASAN

Dari identifikasi fisik arsitektural dan sosial budaya masyarakat yang berdiam di sekitar
pondok pesantren Gading Kasri ini yang mayoritas merupakan ‘etnis Jawa Muslim’, maka dapat kita
analisa tipologi dan topologi bangunannya lebih lanjut berdasarkan pada ‘pakem’ karakter bangunan
tradisional Jawa dan karakter bangunan Islam.

a. KARAKTER BANGUNAN TRADISIONAL JAWA

Sejak masa Majapahit diketahui ada 3 buah stratifikasi sosial dalam bentuk hunian rumah
Jawa Tradisional. Pertama adalah golongan raja dan bangsawan. Kedua adalah golongan
keagamaan, dan ketiga adalah golongan rakyat biasa.
Golongan bangsawan masa Majapahit mempunyai bentuk bangunan dengan ciri-ciri Limasan dengan
atap genteng atau sirap dan dinding papan, terdapat juga draperi atau lipatan kain pada dinding
rumah yang menandakan status sosial tinggi. Bangunan tersebut banyak ditemukan di dalam
lingkungan istana. Golongan keagamaan juga mempunyai rumah yang hampir serupa dengan
golongan bangsawan, dengan bentuk Limasan dengan atap genteng atau sirap tetapi tidak terdapat
draperi. Pada masa selanjutnya bentuk Limasan diperuntukkan bagi masyarakat yang mempunyai

Page 7 of 20
status sosial menengah ke atas, misalnya priyayi dan bangsawan. Golongan rakyat biasa mempunyai
rumah bentuk Kampung dengan atap dari bambu atau jerami.
Setelah jaman Hindu Budha mengalami penurunan kejayaan maka muncullah sejarah baru
dalam sejarah Indonesia di Jawa khususnya dalam bidang arsitektur, yaitu arsitektur dengan
pengaruh Islam khususnya bangunan tempat peribadatan, yaitu bentuk Tajug yang memang
dikhususkan untuk tempat ibadah.
Secara umum, arsitektur tradisional Jawa mempunyai tipologi atau bentuk denah berupa
bujur sangkar atau persegi panjang, sedangkan arsitektur yang tipologinya oval atau bulat tidak
terdapat pada bangunan arsitektur tradisional Jawa, hal tersebut dikarenakan pandangan estetika
orang Jawa yang menggunakan simbol konsep keblat papat limo pancer yaitu simbol kemantapan
dan sekaligus keselarasan yang merupakan lambang empat penjuru mata angin dengan pusat di
tengahnya.
Dalam perjalanannya bentuk atap Jawa berkembang lagi dengan adanya tipe bentuk atap
Panggang-pe yang fungsinya sebagai lumbung,kios, warung dan sebagainya. Dan bangunan dengan
atap Joglo adalah bangunan tradisional Jawa yang paling bagus, paling lengkap baik susunan
bangunan maupun tata ruangnya, diperuntukkan bagi golongan atas, misalnya raja dan kerabatnya.

Masjid Agung Demak,


merupakan arsitektur Jawa
Rumah Limasan (rumah tipe mesjidan (tajug)
Rumah Joglo
beratap perisai)

Rumah Joglo dengan Rumah Kampung


Rumah Limasan Lawakan
atap ijuk (tahun 1919) (rumah beratap
di daerahSalatiga (foto
pelana) Rumah Panggang Pe
diambil tahun 2004)

Gbr 8. Bentuk Atap Rumah Tradisional Jawa

Rumah Jawa Joglo umumnya tidak tunggal melainkan terdiri dari konfigurasi beberapa massa
bangunan.
• Seimbang antara makrokosmos dan mikrokosmos.
• Mikrokosmos diwakili oleh manusia dan makrokosmos berarti alam semesta.
• Bagi masyarakat Jawa pedesaan, rumah meliputi ruang dalam dan ruang luar.
• Tembok yang mengelilingi rumah tinggal tradisional melambangkan batasan antara
makrokosmos dan mikrokosmos.(Sumber : Frick, 1997 dan Sardjono, 2010)

Rumah tradisional Jawa tidak berbentuk panggung seperti di luar Jawa dan disebut sebagai
“menginjak bumi”. Dari sisi antropologi, mungkin ini karena masyarakat Jawa yang umumnya agraris
memiliki pola pertanian menetap atau mapan. Filosofinya yaitu ikatan antara manusia dengan tanah
yang ditempati begitu kuat. Sehingga tanah harus dikuasai dan dipelihara.

Page 8 of 20
Gbr 9. Pola Tatanan Massa Bangunan Rumah
Tradisional Jawa

Teknologi dan bahan material bangunan rumah tradisional Jawa dapat diuraikan sebagai berikut :
- Pondasi : bahan material batu bata dan semen (umpak pada ‘rumah
Kampung’), sebagian muncul di atas tanah. Dan batu kali dengan semen (pada
bangunan ‘rumah Joglo dan Limasan’) serta ditanam di dalam tanah.
- Dinding : pada tipe ‘kampung’ menggunakan material anyaman bambu atau
anyaman bambu dilapis semen, sebagian lagi mengkombinasikan kayu dengan bambu.
Pada tipe ‘limasan dan joglo’ menggunakan material batu bata atau kombinasi kayu
dengan batu bata.
- Tiang Utama (Kolom) : menggunakan material kayu balok
- Rangka Atap : Kuda-kuda, gording, usuk, dan reng menggunakan material kayu
dengan sistem sambungan yang khas.
- Kusen dan Daun Pintu/Jendela : menggunakan material bambu dan papan kayu.
- Atap : Penutup atap menggunakan bahan genteng tanah liat, tanpa
listplank (tipe ‘kampung’) atau dengan listplank dari bahan kayu (tipe ‘limasan dan joglo’).
- Lantai : beralas tanah, lantai semen dan teraso.

Tabel 2. Ukuran Panjang Balok pada Bangunan Rumah Tradisional Jawa

Selain apa yang dipaparkan di atas, aturan lainnya dalam teknologi bangunan Jawa ini
adalah menggunakan ukuran panjang tertentu untuk pemakaian balok-balok di dalam rumah
tergantung tipe rumahnya seperti tabel di atas. Perhitungan yang cukup rumit dengan satuan panjang
yang juga rumit, perlu pembahasan tersendiri dan telah banyak dibahas dalam studi-studi khusus
tentang arsitektur tradisional Jawa.

Page 9 of 20
b. KARAKTER ARSITEKTURAL ISLAM

Arsitektur Islam berkembang sangat luas baik itu pada bangunan sekular maupun di
bangunan keagamaan yang keduanya terus berkembang sampai saat ini. Arsitektur juga telah turut
membantu membentuk peradaban Islam yang kaya. Bangunan-bangunan yang sangat berpengaruh
dalam perkembangan arsitektur Islam adalah mesjid, kuburan, istana dan benteng yang kesemuanya
memiliki pengaruh yang sangat luas ke bangunan lainnya, yang kurang signifikan, seperti misalnya
bak pemandian umum, air mancur dan bangunan domestik lainnya.
Pada tahun 630 M, Nabi Muhammad beserta tentaranya berhasil menaklukkan Makkah dari
suku Quraish. Pada masa ini bangunan suci Ka'bah mulai didedikasikan untuk kepentingan agama
Islam, rekonstruksi Ka'bah dilaksanakan sebelum Muhammad menjadi Rasul. Bangunan suci Ka'bah
inilah yang menjadi cikal bakal dari arsitektur Islam. Dahulu sebelum Islam, dinding Ka'bah dihiasi
oleh beragam gambar seperti Arsitektur Islam - Interior salah satu Mesjid di Edirne : gambar nabi Isa,
Maryam, Ibrahim, berhala, dan beberapa pepohonan.

Gbr 11. Kubah Masjid dan Pola Ornamen

Di bawah ini contoh salah satu Arsitektur Islam berupa Masjid Shah di Isfahan, Iran.

Gbr 12. Kubah Masjid Shah di Isfahan, Iran Gbr 13. Masjid khas Minangkabau, Indonesia Gbr 14. Masjid Demak, Jawa Tengah

Ajaran yang muncul belakangan, terutama berasal dari Al Qur'an, akhirnya melarang
penggunaan simbol-simbol yang menggambarkan makhluk hidup terutama manusia dan binatang.
Pada abad ke-7, muslim terus berekspansi dan akhirnya mendapatkan wilayah yang sangat luas.
Tiap kali muslim mendapatkan tanah wilayah baru, yang pertama kali mereka pikirkan adalah tempat
untuk beribadah, yaitu mesjid. Perkembangan mesjid di saat-saat awal ini sangat sederhana sekali,
bangunan mesjid tidak lain berupa tiruan dari rumah nabi Muhammad, atau kadang-kadang beberapa
bangunan diadaptasikan dari bangunan yang telah ada sebelumnya, misalnya gereja.
Pembangunan mesjid raya di Cordoba pada tahun 785 menandakan bergeliatnya arsitektur
islam di peninsula Iberia dan Afrika Utara. Mesjid dengan gaya Moor sangat mencolok dengan interior
lengkungannya yang penuh dekorasi. Arsitektur moor meraih masa puncaknya dengan dibangunnya
Alhambra, istana sekaligus benteng di Granada, dengan interior yang memiliki ruangan terbuka yang
luas dan memungkinkan udara mengalir secara lancar, dan didominasi dengan pemakaian warna
merah, biru dan emas.
Sebagian besar ornamen berupa tulisan kaligrafi Islam disamping ornamen lainnya yang
berbentuk geometris dan bunga-bunga atau dedaunan.

Page 10 of 20
Sedangkan di Indonesia representasi arsitektur Islam pada abad 14 M terutama di Pulau
Jawa terlihat pada Masjid Demak yang berbentuk atap tajug/masjidan. Dan di Minangkabau Pulau
Sumatera seperti pada gambar 13 di atas.

Sumber : Jurnal of
Islamic Architecture
Volume 1 Issue 3 Juni
2011 Sumber : Paper Symposium
Sumber : Academia.edu Gambar 14. Bentuk Desain
Gambar 13. Ornamen pada Geometris yang ada sejak 1400 M
Masjid di Samarkand di Iran (Dokumen ada di British
Museum London)

c. ANALISA KARAKTER FISIK ARSITEKTURAL & TEKNOLOGI TRADISIONAL WILAYAH STUDI

Dari paparan identifikasi hunian dan bangunan pada kawasan di atas, bangunan-bangunan
yang dianggap dapat mewakili kawasan akan dianalisa melalui variabel-variabel yang ada pada
teknologi bangunan seperti diuraikan pada halaman sebelumnya dan dikelompokkan berdasarkan
tahun pendiriannya menjadi 3 kelompok.

Tabel 3 . Analisa Kelompok A-Rumah Lama (1900-1960) :

Tiang
Penutup
Obyek Amatan Pondasi Dinding Utama Atap Kusen Lantai
Atap
/KOLOM
- tipe
Bata dgn Batu bata Kayu dan ‘Kampung’ -Genteng Kayu semen,
1 semen diplester Bata tanah liat dengan tanah
- Dinding -tanpa kaca
gewel sebagai listplank
struktur
- Gording,
usuk, reng
bahan kayu

Page 11 of 20
Tiang
Penutup
Obyek Amatan Pondasi Dinding Utama Atap Kusen Lantai
Atap
/KOLOM
- tipe
‘Panggang
Batu kali Batu bata Besi dan Pe’ -Genteng Kayu semen,
dengan diplester Beton tanah liat dengan keramik
2 semen - Dinding -listplank kaca
gewel
Berfungsi sebagai kayu
sebagai kuda-kuda
dinding - Gording,
struktur usuk, reng
bahan kayu

- tipe
Bata dgn Batu bata Kayu dan ‘Kampung’ -Genteng Kayu semen,
3 semen diplester Bata tanah liat papan tanah
-Rangka -tanpa
Kuda-kuda listplank
gording
usuk
reng
bahan kayu

- tipe
Bata dgn Batu bata Kayu dan ‘Kampung’ -Genteng Kayu semen,
4 semen diplester Bata tanah liat papan tanah
-Rangka -tanpa
Kuda-kuda listplank
gording
usuk
reng
bahan kayu

Dari pengamatan di atas kelompok A ini mencirikan teknologi tradisional Jawa yang sudah bercampur
dengan gaya yang lebih modern karena sebagian besar bahan bangunannya sudah menggunakan
bahan batubata bukan kayu, kecuali pada daun pintu dan daun jendelanya. Dan dari bentuk atapnya
menggambarkan tingkat strata masyarakat ‘biasa’ karena tidak memiliki atribut-atribut yang
mencirikan tingkatan lainnya.
Apabila diamati ciri lainnya seperti model ornamen pada daun pintu dan jendela serta model lubang
ventilasinya, ada pengaruh langgam kolonial yang tergambar di sana. Dan pagar rumah yang tinggi
terbuat dari bata dan batukali juga merepresentasikan masa tersebut, yang berkesan kuat dan kokoh.
Sedangkan unsur arsitektur Islam sama sekali tidak terlihat secara fisik visual bangunan.

Tabel 4 . Analisa Kelompok B-Rumah Lama yang telah mengalami perubahan (1960-1980) :

Tiang
Penutup
Pondasi Dinding Utama Atap Kusen Lantai
Atap
/KOLOM
- tipe Semen
1 Batu kali Batu bata Besi dan ‘Kampung’ -Genteng Kayu &
diplester Beton dengan Tanah liat teraso
tambahan -canopy
canopy Asbes
- Kuda-kuda Gelombang/
Gording, seng

Page 12 of 20
Usuk, reng -listplank
Bahan kayu Tidak ada

- tipe
Batu kali Batu bata Besi dan ‘Kampung’ -Genteng Kayu Semen
2 diplester Beton Tanah liat dengan & teraso
- Kuda-kuda -listplank kaca
Gording, kayu
Usuk, reng
Bahan kayu

- tipe Semen
Batu kali Batu bata Besi dan ‘Kampung’ -Genteng Kayu &
3 diplester Beton -canopy kayu Tanah liat dengan Keramik
-listplank kaca
- Kuda-kuda kayu
Gording, -penutup
Usuk, reng Canopy
Bahan kayu seng

- tipe Semen
Batu kali Batu bata Besi dan ‘Kampung’ -Genteng Kayu &
4 diplester Beton -canopy kayu Tanah liat dengan Keramik
-listplank kaca
- Kuda-kuda kayu
Gording, -penutup
Usuk, reng Canopy
Bahan kayu seng

- tipe Semen
Batu kali Batu bata Besi dan ‘Kampung’ -Genteng Kayu &
diplester Beton -canopy kayu Tanah liat dengan Keramik
5 dan besi -listplank kaca
- Kuda-kuda kayu
Gording, -penutup
Usuk, reng Canopy
Bahan kayu Seng dan
fiberglass
- tipe Semen
Batu kali Batu bata ‘Kampung’ -Genteng Kayu &
6 diplester Beton -canopy kayu Tanah liat dengan keramik
-listplank kaca
- Kuda-kuda kayu
Gording, -penutup
Usuk, reng Canopy
Bahan kayu seng

- tipe Semen
7 Batu kali Batu bata Kayu dan ‘Kampung’ -Genteng Kayu &
diplester Beton -canopy Tanah liat dengan keramik
Rangka kayu -listplank kaca
- Kuda-kuda kayu
Gording, -penutup
Usuk, reng Canopy
Bahan kayu seng

Page 13 of 20
- tipe
8 Batu kali Batu bata Besi dan ‘Kampung’ -Genteng Kayu Semen &
dengan diplester Beton -canopy kayu Tanah liat dengan keramik
semen -listplank kaca
- Kuda-kuda kayu
Gording, -penutup
Usuk, reng Canopy
Bahan kayu seng

KEY PLAN :

2
3
4 5
6

Gbr. 29 Key Plan bangunan hunian masa kolonial yang telah


mengalami perubahan dan penambahan

Kelompok B ini, apabila diamati dengan lebih teliti sebenarnya merupakan bangunan lama yang
sama dengan kelompok A tetapi sudah mengalami perubahan, penyesuaian terhadap fungsi dan
kebutuhan ruang baru bagi penghuninya. Dan tentu saja dengan material yang mudah diperoleh di
saat perubahan tersebut dilakukan.
Sehingga analisa dari sisi teknologi arsitektur Jawa juga semakin banyak yang tidak sesuai terutama
dalam penerapan penggunaan materialnya. Sedangkan konstruksi atap dan sistem-sistem
sambungannya tetap mengadopsi sistem tradisional Jawa karena paling banyak tersedia tenaga
ahli/tukang dengan keahlian tersebut di daerah Malang.
Arsitektur Islam juga tidak terlihat diterapkan pada bangunan hunian pada kawasan ini.

Tabel 5 . Analisa Kelompok C-Rumah Modern (1980-2014) :

Tiang
Penutup
Obyek Amatan Pondasi Dinding Utama Atap Kusen Lantai
Atap
/KOLOM
Batu kali - tipe
dgn Batu bata Besi dan ‘Kampung’ -Genteng Kayu Teraso,
1 semen diplester Beton tanah liat dengan keramik
- Kuda-kuda -listplank kaca
gording, kayu
usuk, reng,
bahan kayu

Page 14 of 20
- tipe
‘Panggang Semen
Batu kali Batu bata Besi dan Pe’ -Genteng Kayu &
-struktur
dengan dengan Beton gewel tanah liat dengan keramik
2 semen rangka -canopy beton -listplank kaca
beton dan fiberglass beton
sebagai rangka besi -penutup
-kuda-kuda,
struktur gording,usuk, canopy
utama reng material giberglass
kayu
- tipe
Batu kali Batu bata Besi dan ‘Panggang -Genteng Aluminium Keramik
dengan diplester Beton Pe’ beton dengan
3 semen - Kuda-kuda -listplank Kaca dan
gording, beton Rolling
usuk, reng, Door
bahan
galvalum

- tipe Semen
Batu kali Batu bata Besi dan ‘Kampung” -Genteng Kayu &
dengan diplester Beton tanah liat dengan keramik
4 semen -canopy beton -listplank kaca
dan fiberglass beton
rangka besi -penutup
-kuda-kuda,
gording,usuk, canopy
reng material fiberglass
kayu
Batu kali Batu bata Besi dan - tipe ‘Kubah’ -plat Kayu Semen,
5 dengan diplester Beton beton beton dengan &
semen -plat beton -listplank kaca keramik
beton

Batu kali Batu bata Besi dan - tipe ‘Kubah’ -plat Kayu keramik
dengan diplester Beton beton beton dengan
6 semen -plat beton -listplank kaca
beton -papan
-ornamen Kayu
pada
kaca
dan daun
pintu

Bata dgn Batu bata Besi dan -Genteng Kayu Semen,


7 semen diplester Beton tanah liat dengan tanah,
- Kuda-kuda -listplank kaca keramik
gording, kayu
usuk, reng,
bahan kayu

Page 15 of 20
- tipe Semen
Batu kali Batu bata Besi dan ‘Kampung” -Genteng Kayu &
dengan diplester Beton tanah liat dengan keramik
-canopy
semen beton -listplank kaca
8 dan
fiberglass beton
rangka besi -penutup
-kuda-kuda,
gording,usuk, canopy

- tipe Semen
Batu kali Batu bata Besi dan ‘Kampung’ -Genteng Kayu &
-struktur
dengan Beton gewel tanah liat dengan keramik
9 rangka -canopy kayu -listplank kaca
beton - tanpa kayu -daun
sebagai Kuda-kuda -penutup pintu
-
struktur gording,usuk, canopy papan
utama reng material asbes kayu
kayu gelombang

- tipe
Bata dgn Batu bata Besi dan ‘Kampung’ -Genteng Kayu Semen,
10 semen diplester Beton tanah liat dengan tanah,
- Kuda-kuda -listplank kaca keramik
gording, kayu
usuk, reng,
bahan kayu

- tipe
Bata dgn Batu bata Besi dan ‘Kampung’ -Genteng Kayu Semen,
11 semen diplester Beton tanah liat dengan tanah,
- Kuda-kuda -listplank kaca keramik
gording, kayu
usuk, reng,
bahan kayu

- tipe
‘Panggang Semen
Batu kali Batu bata Besi dan Pe’ -Genteng Kayu &
-struktur
12 dengan Beton gewel tanah liat dengan keramik
rangka -canopy kayu -listplank kaca
beton - tanpa kuda- kayu
sebagai kuda -penutup
struktur gording,usuk, canopy
utama reng material seng
kayu

Page 16 of 20
- tipe
Bata dgn Batu bata Besi dan ‘Kampung’ -Genteng Kayu Semen,
13 semen diplester Beton tanah liat dengan tanah,
- Kuda-kuda -listplank kaca keramik
gording, kayu
usuk, reng,
bahan kayu

Pada Kelompok C, semakin banyak perubahan dari bangunan lama, bahkan sebagian hunian
mengalami perubahan total, demikian pula yang terjadi pada bangunan masjid dan kantor pondok.
Beberapa hunian sebenarnya rumah aslinya sama dengan kelompok A, tetapi berusaha dirubah
menjadi lebih modern dengan mengadopsi unsur-unsur modern seperti bahan material aluminium
dan galvalum serta banyak menggunakan rangka besi untuk rangka pada canopy dan bahan modern
lainnya seperti fiberglass sebagai penutupnya.
Dibandingkan dengan kelompok A dan B, kelompok C ini semakin jauh dari pakem teknologi
arsitektur Jawa, sekalipun pada sebagian bangunan konstruksi atapnya, bahan materialnya dan
sistem-sistem sambungannya tetap mengadopsi sistem tradisional Jawa. Dan tata nilai dalam
konstruksi Jawa lainnya yang diterapkan pada kelompok A, B dan C adalah semua bangunannya
langsung berdiri di atas tanah, tidak ditemukan sistem panggung.
Pada bangunan Masjid diterapkan bentuk kubah dan ornamen-ornamen kaligrafi sebagai
representasi Arsitektur Islam. Selain pada bangunan masjid tidak ditemukan pada bangunan lainnya
pada kelompok C ini.

KESIMPULAN

Dari uraian dan identifikasi di atas serta hasil analisa berdasarkan gaya teknologi arsitektur Jawa
dan Islam disimpulkan bahwa :

1. Penghuni kawasan ini yang mayoritas adalah etnis Jawa, tetapi hanya menerapkan sebagian
‘pakem’ teknologi Arsitektur Jawa pada huniannya. Sedangkan tingkat strata sosial
masyarakatnya yang mayoritas adalah masyarakat biasa, terefleksikan pada bentuk teknologi
arsitektur tradisional yang dipakai pada hunian mereka, yaitu bentuk atap rumah Jawa ‘tipe
Kampung’ dan ‘Panggang Pe’.

2. Keberadaan Pondok Pesantren dan pengaruh Islam yang dibawanya, tidak mewarnai secara
fisik pada tipologi dan topologi bentuk hunian maupun ornamen yang terdapat pada
bangunan hunian disekitarnya, kecuali pada bentuk kubah Masjid pondok pesantren itu
sendiri.

3. Pengelompokan hunian A, B dan C di atas bertujuan untuk memudahkan pengamatan. Dan


ternyata pada pada semua kelompok yang mewakili kawasan permukiman urban ini terbukti
unsur-unsur tata nilai teknologi arsitektural tradisional mulai memudar. Tentunya disebabkan
oleh banyak hal antara lain keterbatasan luas lahan hunian, kepraktisan dan kemudahan
pembangunannya, dari sisi ekonomi menyesuaikan dengan kemampuan, kemudahan
mendapatkan tenaga ahli, keterbatasan material yang ada dan faktor kecepatan pengerjaan.

4. Selain bentuk arsitektur Jawa dan Islam, langgam arsitektur kolonial yang berkesan kuat dan
kokoh masih terekam dalam jejak-jejak mayoritas hunian dalam kawasan. Bahkan beberapa
rumah hunian tersebut (kelompok A) masih belum banyak mengalami perubahan.

5. Pelestarian dan konservasi kawasan terutama terhadap bangunan-bangunan yang


memenuhi kriteria untuk dilestarikan perlu dilakukan dengan kajian khusus yang lebih
mendalam agar dapat didefinisikan tingkat pelestarian yang tepat yang akan diambil sesuai
dengan kondisi fisik dan tingkat nilai kesejarahan bangunan tersebut, apabila dipandang
sebagai artefak yang telah merekam jejak sejarah pembentukan kawasan.

Page 17 of 20
DAFTAR PUSTAKA

[1] Sejarah Panjang Kota Malang Sejak Zaman Prasejarah Sampai Modern. Arfiati, S.
http://www.slideshare.net/purwo_raharjo/sejarah-panjang-kota-malang-sejak-zaman-p...
Diakses pada 22 April 2014.

[2] Sejarah Kota Malang. Wahyuningtyas, Sri. Pemerintah Kota Malang Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata.
http://budpar.malangkota.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=6:s..Diakse
s pada 22 April 2014.

[3] Sejarah Islam di Singosari. Sofiahazmil. 2010.


http://sofiahazmil.wordpress.com/2010/10/22/sejarah-islam-di-singosari/ Diakses pada 22
April 2014.

[4] Pondok Pesantren Miftahul Huda. http://sejarahpondokpesantrenmiftahulhuda/ (diakses


pada 4 April, 7 April, 8 April 2014).

[5] Kota Malang : Kota Taman Specifiek Indonesische. Baskara, M. 2012.


http://medha.lecture.ub.ac.id/2012/02/kota-malang-kota-taman-speci... Diakses pada 22
April 2014.

[6] Menengok Kisah Heroik Umat Islam di Malang. Handayani, P. 2011.


http://forumgurusejarahkendal.blogspot.com/2011/07/menengok-kisah-heroik-umat-islam-
di.html

[7] Piagam Pelestarian Pusaka Indonesia. 2003. http://www.indonesianheritage.info/produk-


hukum/36-piagam-pelestarian-pusaka-ind... Diakses pada 25 April 2014.

- Antariksa, Sudikno. 2010. Architecture Articles : Pendekatan Deskriptif-Eksploratif Dalam


Pelestarian Arsitektur Bangunan Kolonial Di Kawasan Pecinan Kota Pasuruan.
http://antariksaarticle.blogspot.com/2010/06/pendekatan-deskriptif-eksploratif-dalam....
(diakses 12 Januari 2014).

Diakses 22 April 2014.


- Dickens, Mark. 1990.Timurid Architecture in Samarkand. Articles and Research Paper.
http://oxus@pobox.com (diakses 29 Oktober 2013).

- Dinamika Fungsi Arsitektur Indis Societiet Harmonie Di Kota Pasuruan (1858-1964). Andi
Rosihan Hakim. 2011. http://fis.um.ac.id/dinamika-fungsi-arsitektur-indis-sicietiet-harmonie-
di-kota-pasuruan... Diakses pada 22 April 2014.

- Kajian Historis Kota Malang. 2000. Respati Wikantiyoso.


http://arsitekturindis.wordpress.com/2000/12/01/kajian-historis-kota-malang/ Diakses pada
22 April 2014.

- Majelis Fatwa Al-Khoirot. 2011. Pondok Pesantren Tertua di Indonesia.


http://www.alkhoirot.net/2011/09/pondok-pesantren-tertua-indonesia.html (diakses 10
Oktober 2013)

- Pondok Pesantren Miftahul Huda. http://sejarahpondokpesantrenmiftahulhuda/ (diakses pada


4 April, 7 April, 8 April 2014).

- Sejarah Malang (Di Era Kanjuruhan Abad 8 Masehi-Bagian 1). Kearifan Lokal Malang Raya.
http://www.jurnalmalang.com/2013/10/sejarah-malang-raya-di-era-kanjuruhan.html Diakses
pada 22 April 2014.
.
- Alam, Bachtiar. 1998. Globalisasi dan Perubahan Budaya Perspektif Teori Kebudayaan.
Anthropologi Indonesia 54.

Page 18 of 20
- Aygen, Z. & Flemming, U. Classification of Precedents. A Hybrid Approach to Indexing
Design Cases in SEED (a Software Environment for the Early Phases of Building Design).
Hal. 1-10. School of Architecture Carnegie Mellon University, Pittsburg PA.

- Budiwiyanto, Joko. 2011. Transformasi Pola Tata Ruang Rumah Tradisional Jawa Ke
Dalam Pola Tata Ruang Rumah Tinggal Sederhana. Jurusan Disain Fakultas Seni Rupa
dan Disain ISI Surakarta. Vol. 2 No. 1, hlm 93-107.

- Damayanti, DP & Suprijanto, I. 2012. Penguasaan Teknologi Struktur dan Konstruksi


Bangunan Tradisional Manggarai sebagai Kunci Keberhasilan dalam Upaya Pelestariannya.
Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.1 No.1, hal. 77-86.

- Diasana Putra, IDGA. 2003. Teknologi Bahan Bangunan Rumah Murah Bergaya Tradisional
Bali (Bercermin pada Teknologi Bahan Bangunan SCHDS di UNIKA Soegijapranata). Jurnal
Permukiman “Natah” Vol.1 No.1 , hal. 44-51. Fakultas Teknik Program Studi Arsitektur
Universitas Udayana.

- Djono, et al. 2012. Nilai Kearifan Lokal Rumah Tradisional Jawa. Humaniora, Vol. 24, hlm.
269-278.

- Haron, NA. Et al. 2003. Building Cost Comparison Between Conventional And Formwork
System. Jurnal Teknologi, 43(B) Dis. 2005: 1-11. Universiti Teknologi Malaysia

- Ismail, Yasir. 2011. Sejarah Perkembangan dan Sistem Pendidikan Pesantren di Indonesia.
Islamic Worldview. hlm. 2-20. http://yamannie.blogspot.com/2011/09/sejarah-
perkembangan-dan -sistem-pendidikan-pesantren-di-indonesia ( diakses 10 Oktober 2013)

- Lihawa, Harley Rizal, et al. Tipologi Arsitektur Rumah Tinggal. Studi Kasus Masyarakat
Jawa Tondano (Jaton) di Desa Reksonegoro Kabupaten Gorontalo. Program Studi Teknik
Arsitektur, Kelompok Bidang Ilmu Teknik. Hlm. 1-22.

- Marzuki, et.al. Tipologi Perubahan Dan Model Pendidikan Multikultural Pesantren Salaf. Hal
1-15.

- Maslucha, L. 2012. Spatial And Architectural Design Aspects In Community Based


Mosques. Journal of Islamic Architecture Vol. 2, hal. 70-78. Department of Architecture,
Faculty of Science and Technology Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim
Malang.

- Miftahuddin. 2010. Tipologi pondok pesantren dalam konstelasi pembaharuan pendidikan


islam (studi pada pesantren-pesantren di kota kudus). Skripsi. Fakultas Tarbiyah jurusan
Pendidikan Agama Islam Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang. Hal. 1-24.
- Necipoglu, Gulru. 1992. Geometric Design In Timurid/Turkmen Architectural Practice :
Thoughts On A Recently Discovered Scroll And Its Late Gothic Parallels. Department Of
Fine Arts Harvard University, Cambridge, Massachusetts. Page 48-66.

- Nursito, A. I. 2005. Perubahan bentuk dan tata nilai dalam arsitektur tradisional jawa di
Baluwarti Surakarta. Skripsi. Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa
Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

- Pramono, Andi. 2011. Pola Geometri Pada Seni dan Arsitektur Islam di Andalusia. Journal
of Islamic Architecture Volume 1 Issue 3, hlm 133-136. Department of Architecture,
Universidad de Sevilla, Spanyol.

- Prihatmaji, Y.P. 2012. Perilaku Rumah Jawa Tradisional Terhadap Gempa. DIMENSI
TEKNIK ARSITEKTUR Vol. 35, No. 1, Juli 2007: 1 – 12. Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas
Teknik Sipil dan Perencanaan - Universitas Kristen Petra.

Page 19 of 20
- Ramadanta, A. 2010. Kajian Tipologi Dalam Pembentukan Karakter Visual dan Struktur
Kawasan (Studi Kasus : Kawasan Ijen, Malang). Jurnal SMARTek, Vol. 8, No. 2, hal 130-
142.

- Rosiana, M. 2002. Kajian Pola Morfologi Ruang Kawasan, studi kasus Kawasan Pecinan
Semarang. Tesis. Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro Semarang.

- Santoso, Imam dan Wulandanu, G. Beni. 2011. Studi Pengamatan Tipologi Bangunan pada
Kawasan Kauman Kota Malang. Local Wisdom Jurnal Ilmiah Online, ISSN:2086-3764, Vol.
III No. 2, hlm 10-26.

- Supriyadi, Bambang. 2008. Kajian Ornamen Pada Mesjid Bersejarah Kawasan Pantura
Jawa Tengah. ENCLOSURE, Jurnal Ilmiah Perancangan Kota dan Permukiman, Vol. 7 No.
2, hlm. 106-121.

- Wachid Abdul. 2012. Peranan Pondok Pesantren Buntet Cirebon Bagi Kemajuan
Pendidikan Di Lingkungan Sekitar Tahun1958-2009. Jurusan Sejarah. Fakultas Ilmu Sosial.
Universitas Negeri Semarang. Abstract (viii).

- Zakaria, Gamal Abdul Nasir. 2010. Pondok Pesantren : Changes and Its Future. Journal of
Islamic and Arabic Education 2(2), hlm. 45-52.

Page 20 of 20
���������������������������������������������������������������������������
���������������������������������������������������������������������������������
�����������������������������������������������������

Anda mungkin juga menyukai