Anda di halaman 1dari 5

Kajian Potensi Kota

Studi Kasus Kampung Polowijen Kecamatan Blimbing Kota Malang

Nur Rochmah.,1, Savana Anggie D.W.,2, Lalu Mulyadi3, Budi Fathony4.


Prodi Arsitektur Institut Teknologi Nasional Malang
Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan
E-mail : 1Nur Rochmah@gmail.com,

ABSTRAK
Kota Malang merupakan kota terbesar kedua di Indonesia setelah Surabaya. Kota ini
sangatlah luas yang di dalamnya terdiri dari Kabupaten Malang dan Kota Batu. Malang memiliki
kekayaan budaya dan seni yang perlu dilestarikan bahkan sampai ke luar negeri, salah satunya di
Kampung Polowijen Singosari Malang. Pelestarian budaya lokal merupakan suatu bentuk
mempertahankan nilai seni, nilai budaya dan nilai tradisional dengan mengembangkan perwujudan
yang dinamis. Upaya ini perlu menyesuaikan dengan situasi dan kondisi yang selalu berubah dan
berkembang. Kampung Budaya Polowijen berada di situs Ken Dedes yang sangat terkenal dan
menjadi icon yang memperbesar kampung tersebut. Jenis metode yang digunakan adalah kualitatif
dengan pendekatan kualitatif deskriptif. Setelah menverifikasi data maka di dapati sebuah kesimpulan
bahwa Kampung ini menjadi penanda kultural, penguat nilai budaya serta menjadi pembeda budaya
lainnya. Dijadikan sebagai media komunikasi berbasis kearifan lokal dan pionir munculnya industry
kreatif dan daya Tarik wisata di wilayah tersebut.

Kata Kunci : Kota Malang, Kampung Polowijen, Pelestarian Budaya Lokal.

Malang is the second largest city in Indonesia after Surabaya. This city is very large which consists of
Malang Regency and Batu City. Malang has cultural and artistic wealth that needs to be preserved
even abroad, one of which is in Polowijen Singosari Village Malang. Preservation of local culture is a
form of maintaining artistic values, cultural values and traditional values by developing dynamic
embodiments. This effort needs to adapt to situations and conditions that are always changing and
evolving. Polowijen Cultural Village is located on the site of Ken Dedes which is very famous and
became an icon that enlarged the village. The type of method used is qualitative with a descriptive
qualitative approach. . After verifying the data, it was found that this village became a cultural
marker, a reinforcement of cultural values and became another cultural differentiator. Used as a
communication medium based on local wisdom and a pioneer of the emergence of creative industries
and tourist attractions in the region.
Keywords : Malang City, Polowijen Village, Local Culture Preservation.

PENDAHULUAN
Malang merupakan sebuah kota yang didirikan sejak zaman Kerajaan Kanjuruhan.
Sebagai pusat kerajaan, salah satu peninggalan Malang pada masa tersebut adalah berupa
reruntuhan benteng pertahanan di dataran antara Sungau Brantas dan Sungai Amprong yang
sekarang dikenal dengan nama Kutobedah. Kekayaan etnik dan budaya yang dimiliki Kota
Malang berpengaruh terhadap kesenian tradisional serta nilai dan warisan budaya yang ada.
Malang merupakan kota terbesar kedua di Jawa Timur, dan dikenal dengan julukan kota
dingin. Selain dikenal dengan julukan Kota dingin, julukan Kota Malang di mata masyarakat
Indonesia beraneka ragam seperti contohnya Paris van East Java, Kota Wisata, Kota Militer,
Kota Sejarah, Kota Olahraga, Kota Apel, Kota Susu, Kota Kuliner serta salah satunya ialah
kota Budaya dan Kota Kesenian. Kekayaan etnis dan budaya yang dimiliki Kota Malang
berpengaruh terhadap kesenian tradisional yang ada. Salah satunya yang terkenal adalah
Wayang Topeng Malangan (Topeng Malang), namun kini semakin terkikis oleh kesenian
modern. Gaya kesenian ini adalah wujud pertemuan tiga budaya (Jawa Tengahan, Madura,
dan Tengger). Hal tersebut terjadi karena Malang memiliki tiga sub-kultur, yaitu sub-kultur
budaya Jawa Tengahan yang hidup di lereng gunung Kawi, sub-kultur Madura di lereng
gunung Arjuna, dan sub-kultur Tengger sisa budaya Majapahit di lereng gunung Bromo-
Semeru. Etnik masyarakat Malang terkenal religius, dinamis, suka bekerja keras, lugas dan
bangga dengan identitasnya sebagai Arek Malang (AREMA) serta menjunjung tinggi
kebersamaan dan setia kepada Malang.

Di kota Malang juga terdapat tempat yang merupakan sarana apresiasi budaya Jawa
Timur yaitu Taman Krida Budaya Jawa Timur, di tempat ini sering ditampilkan aneka budaya
khas Jawa Timur seperti Ludruk, Ketoprak, Wayang Orang, Wayang Kulit, Reog, Kuda
Lumping, Sendra tari, saat ini bertambah kesenian baru yang semakin berkembang pesat di
kota Malang yaitu kesenian “BANTENGAN” kesenian ini merupakan hasil dari kreatifitas
dan inovasi masyarakat asli Kota Malang, sejak dahulu sebenarnya kesenian ini sudah
dikenal oleh masyarakat Malang namun baru sekaranglah “BANTENGAN” lebih dikenal
oleh masyarakat tidak hanya masyarakat lokal namun juga sampai luar daerah bahkan
mancanegara. Khusus di Malang sering diadakan pergelaran bantengan hampir setiap
perayaan hari besar baik keagamaan maupun peringatan hari kemerdekaan Republik
Indonesia.

Sejalan dengan perkembangan zaman dan teknologi di era globalisasi, wayang topeng
Malangan yang merupakan identitas Malang ini sedikit demi sedikit mulai ditinggalkan
masyarakat Malang. Jadi, yang menjadi tantangan nyata dan harus dihadapi oleh semua
elemen masyarakat perihal itu adalah pelestariannya. Banyak kaum muda yang enggan untuk
melestarikannya karena merasa bahwa kesenian tersebut dianggap kuno dan ketinggalan
zaman. Hanya terdapat Sebagian pemuda yang mau dan mampu meneruskannya karena
faktor kedekatan orang tua dengan penari topeng.

Pelestarian budaya tentu menjadi tugas dan kewajiban seluruh elemen masyarakat
untuk terus menjaga supaya budaya tersebut tidak hilang termakan perubahan zaman.
Kemajuan teknologi dan semakin pragmatisnya masyarakat menjadikan agenda kontruksi
indentitas kultural ini sangat perlu untuk dilakukan demi terjaganya nilai dan warisan budaya
masyarakat Malang. Tidak mudah memang untuk melakukannya, butuh kesabaran,
ketenangan dan komitmen tinggi dalam menjalankannya. Mereposisi budaya Mondial secara
proporsional serta Corcern terhadap budaya lokal sendiri tentu lebih diutamakan demi
kelestarian identitas kultural dan keutuhan keanekaragaman kearifan lokal masyarakat
Malang.

Menanggapi fenomena itu, sampai tahun 2017 Pemerintah Kota Malang telah
membentuk 11 kampung tematik di Kota Malang. Salah satunya adalah Kampung Budaya
Polowijen. Dalam pembentukannya tentu membutuhkan pemerhati dan pelaku seni sebagai
inisiator dan sebagai pelestari budaya malang tersebut. Kampung budaya yang dibentuk
karena adanya situs Ken Dedes dan Makam penemu Topeng Malangan pertama kali (Mbah
Reni) ini menggunakan konsep konservasi nilai dan warisan budaya. Terbukanya mindset
(pola pikir) dari masyarakat asli Polowijen, semakin memudahkan Langkah pemerintah
terhadap pembentukan Kampung Budaya Polowijen ini.
Kampung Budaya Polowijen merupakan salah satu kampung tematik yang
mengusung tema budaya lokal Malang. Lokasi kampung ini berada di Kelurahan Polowijen,
Kecamatan Blimbing, Kota Malang. Keberadaan kampung ini mendapat dukungan dari
Pemerintah Kota Malang karena inovasi dan kreatifitasnya. Kampung ini diresmikan pada 2
April 2017oleh Wali Kota Malang saat itu. Terdapatnya Arca Prajanaparamita (de potrait
Ken Dedes) atau yang lebih dikenal dengan situs Ken Dedes sea kan berelasi dengan
kesejarahan Polowijen. Prajanaparamita merupakan istilah dari dewa Ilmu Pengetahuan
Tinggi, hal ini sangat relevan dengan julukan Kota Malang saat ini yaitu sebagai Kota
Pendidikan. Selain adanya situs Ken Dedes, kesejarahan Polowijen dan asal muasal
berdirinya Kampung Budaya Polowijen adalah dengan adanya makam penemu topeng
Malangan yaitu Boyot Reni atau Mbah Reni.

Pelestarian adalah sesuatu aktivitas atau penyelenggaraan kegiatan melindungi,


mempertahankan, menjaga, memelihara, memanfaatkan, membina dan mengembangkan.
Pelestarian juga merupakan sebuah proses atau upaya-upaya aktif dan sadar, yang
mempunyai tujuan untuk memelihara, menjaga, dan mempertahankan, serta membina dan
mengembangkan suatu hal yang berasal dari sekelompok masyarakat yaitu benda-benda,
aktivitas berpola, serta ide-ide (Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, 2003:146).
Menurut Koentjaraningrat (1984:83), pelestarian kebudayaan merupakan sebuah sistem yang
besar, mempunyai berbagai macam komponen yang berhubungan dengan subsistem
kehidupan di masyarakat. Kebudayaan merupakan cikal bakal dari masyarakat. Budaya
dibuat oleh masyarakat, tidak ada masyarakat tanpa budaya, yang berarti hampir semua
tindakan manusia adalah kebudayaan. Hakikat pelestarian budaya sendiri bukanlah sekadar
memelihara sesuatu hal dari kepunahan dan atau menjadikannya awet semata-mata.
Pelestarian budaya selain mempunyai muatan ideologis yaitu sebagai gerakan untuk
mengukuhkan kebudayaan, sejarah dan identitas (Lewis, 1983:4), juga sebagai penumbuh
kepedulian masyarakat untuk mendorong munculnya rasa memiliki masa lalu yang sama di
antara anggota komunitas (Smith, 1996:68).

Kelestarian tidak mungkin berdiri sendiri, oleh karena senantiasa berpasangan dengan
perkembangan, dalam hal ini kelangsungan hidup. Kelestarian merupakan aspek stabilisasi
kehidupan manusia, sedangkan kelangsungan hidup merupakan pencerminan dinamika.
Menjadi sebuah ketentuan dalam pelestari an budaya akan adanya wujud budaya, dimana
artinya bahwa budaya yang dilestarikan memang masih ada dan diketahui, walaupun pada
perkembangannya semakin terkikis.

Desa budaya adalah bentuk konkrit dari pelestarian aset budaya. Pada konteks ini,
desa budaya mengandung pengertian sebagai wahana sekelompok manusia yang melakukan
aktivitas budaya yang mengekspresikan sistem kepercayaan (religi), sistem kesenian, sistem
mata pencaharian, system teknologi, sistem komunikasi, sistem sosial, dan sistem
lingkungan, tata ruang, dan arsitektur dengan mengaktualisasikan kekayaan potensi
budayanya dan menkonservasi kekayaan budaya yang dimilikinya. Status desa budaya juga
mengandung makna penguatan regulasi dan penyusunan pondasi kebijakan yang
mempermudah dan menjamin pelaku-pelaku di bidang kebudayaan dalam melestarikan dan
mengembangkan potensi budaya lokal sehingga menumbuhkembangkan ketahanan budaya
dalam kehidupan bermasyarakat. Sejumlah kendala masih ditemukan dalam melaksanakan
pelestarian budaya lokal melalui desa budaya seperti persoalan sumberdaya manusia,
kelembagaan dan sarana pra-sarana (Rochayanti & Triwardani, 2013). Implikasinya, desa
budaya sebagai wahana pelestarian budaya lokal masih belum berjalan optimal.
KAJIAN PUSTAKA
Artikel ini kami kutip dari dua artikel yang saling berkaitan dengan topik pembahasan
tersebut. Tentang Kebudayaan dan kesenian dari kampung Polowijen Kota Malang dan
Pelestarian Kebudayaan Lokal dan Kearifan Cagar Budaya.

METODE PENULISAN ARTIKEL


Metode yang digunakan dalam penulisan artikel ini adalah metode deskriptif
kualitatif. Menurut Aziza, dkk. (2019) metode deskriptif kualitatif adalah metode yang
menggambarkan kejadian atau peristiwa berdasarkan fakta-fakta yang ada dilapangan.
Metode ini diperoleh dari data observasi dan data studi literatur. Data observasi menurut
Sarita dan Imawati (2022) adalah penyampaian data dari hasil pengamatan secara sistematis
dan faktual. Sedangkan data studi literatur, menurut Siahaan, dkk (2022) adalah serangkaian
kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka. Kemudian data yang
telah terkumpul baik dari data observasi maupun data dari studi literatur dianalisis
menggunakan analisis deskriptif kulaitatif yaitu analisis yang menggambarkan secara rinci
keadaan sebenarnya dengan melakukan interpretasi terhadap data kemudian dibandingkan
dengan teori yang telah dijelaskan pada studi literatur. Berikut diagram penulisan artikel.

PEMBAHASAN
KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku :
- Yuniwati, Eny Dyah, dkk. 2016. “Pemertahanan Budaya Topeng Malangan”.
Seminar Nasional dan Gelar Produk (Sen-asPro), Universitas Muhammadiyah
Malang.
Sumber Jurnal/Proseding :
- IMPLEMENTASI KEBIJAKAN DESA BUDAYA DALAM UPAYA PELESTARIAN BUDAYA LOKAL |
Triwardani | REFORMASI (unitri.ac.id)
- http://urj.uin-malang.ac.id/index.php/lorong/article/view/228
Sumber Peraturan Perundang-undangan :
Sumber Website/Internet :
- Kesenian & Kebudayaan Kota Malang - Malang Guidance (malang-guidance.com)
- Kampung Budaya Polowijen Malang (idntimes.com)
- KAMPUNG BUDAYA POLOWIJEN – Kelurahan Polowijen Kota Malang
(malangkota.go.id)
- https://www.bing.com/search?
q=pelestarian+cagar+budaya&qs=HS&pq=pelestarian+&sc=1012&cvid=3036C8
68830B459C9BAFF11FBFB9CA5E&FORM=QBRE&sp=1&ghc=1&lq=0&sm=csr
main
- https://www.suara.com/lifestyle/2017/04/06/171350/inilah-sejarah-kuno-kampung-budaya-polowijen-
di-malang

Sumber Surat Kabar :

Anda mungkin juga menyukai