1, April 2016
ISSN: 1411-3775 E-ISSN: 2548-4729
http://ejournal.uin-suka.ac.id/ushuluddin/esensia
Indal Abror
UIN Sunan Kalijaga
indal.abror@uin-suka.ac.id
Abstract
Pathok Negoro Mosque is the cultural and religious heritage that is very monumental for Yogyakarta. As heir to the triumph
of Islamic Mataram, Yogyakarta is the region with strong religiosity as well as holders of strong Javanese tradition until
today. However, it must be recognized also that the current generation is getting deprived of the intellectual heritage of
culture and religiosity past so it may fail to understand the meaning of the symbols attached to the mosque pathok Negoro.
For that reason, this study is trying to unravel the meaning or the values of the mosque pathok Negoro formulated in two
areas of study, the historicity of the mosque pathok Negoro and material symbols that exist in the mosque. Ultimately,
this study offers a second interpretation of the heritage value of the order to be understood more easily to the context of
the current era.
Keywords: Pathok Negoro mosque, cultural values, interpretation
Abstrak
Masjid Pathok Negoro adalah peninggalan budaya dan agama yang sangat monumental bagi Yogyakarta. Sebagai
pewaris kejayaan Mataram Islam Yogyakarta menjadi wilayah dengan relijiusitas yang kental serta pemegang tradisi
jawa yang kuat hingga saat ini. Namun demikian harus diakui pula bahwa generasi terkini semakin terjauhkan dari
warisan-warisan intelektual budaya dan relijiusitas masa lalu sehingga sangat mungkin gagal memahami makna simbol
yang melekat pada masjid pathok negoro. Dengan alasan itu, kajian ini mencoba mengurai makna atau nilai-nilai dari
masjid pathok negoro yang dirumuskan dalam dua wilayah kajian, historisitas masjid pathok negoro dan simbol-simbol
material yang ada pada masjid tersebut. Pada akhirnya, kajian ini menawarkan interpretasi terhadap kedua warisan
nilai tersebut agar dapat dipahami lebih mudah untuk konteks zaman saat ini.
Kata kunci: masjid pathok negoro, nilai budaya, interpretasi
63
AKTUALISASI NILAI-NILAI BUDAYA MASJID PATHOK NEGORO
historis, Kuntowijoyo membagi periodisasi sejarah demitologisasi yang bernaung dibawah payung
Islam Indonesia dalam tiga babak, yaitu Islam sekularisme dan panji modernisme. Simbol-simbol
sebagai mitos, Islam sebagai ideologi, dan Islam lama dihinggapi stigma kuno, sulit dipahami,
sebagai ilmu.1 Jika mengikuti teori tersebut, maka dan tidak lagi penting. Di sisi lain, gelombang
ada cukup alasan untuk pesimis terhadap peran gempuran dari arus fundamentalisme agama juga
budaya dan simbol-simbolnya. Pasalnya, konteks menyeruak. Simbol-simbol Islam tradisional yang
zaman saat ini sudah bergeser ke periode ketiga muncul sejak periode mitos ini oleh kalangan
(Islam sebagai ilmu) setelah sedikit demi sedikit fundamentalis Islam dianggap sebagai bid’ah dan
meninggalkan periode kedua (Islam sebagai berpotensi menyesatkan.
ideologi) dan telah kian jauh menanggalkan Oleh karena itu, urgen kiranya melakukan
periode pertama (Islam sebagai mitos). upaya-upaya kongkrit untuk menggali kembali
Pe s i m i s m e te r s e b u t m e w u j u d d a l a m makna-makna simbolik dan nilai-nilai budaya
kekhawatiran akan hilangnya urgensi simbol-simbol yang terdapat pada Masjid Pathok Negoro serta
yang banyak bertebaran dalam arsitektur masjid- mereaktualisasikannya dalam perspektif kekinian
masjid Pathok Negoro. Tak dapat disangkal bahwa sehingga applicable bagi masyarakat Yogyakarta
Masjid Pathok Negoro yang menjadi fokus kajian kontemporer. Dalam konteks inilah, penelitian ini
dalam penelitian ini merupakan produk budaya sengaja dihadirkan untuk menjawab permasalahan
dan peradaban Islam pada periode mitos. Simbol- tersebut.
simbol warisan budaya periode mitos mengalami Berangkat dari latar belakang di atas, maka
kesulitan untuk bertahan di era kontemporer. penelitian ini menjawab dua pertanyaan utama,
Apalagi pada era sekarang ini dibanjiri dengan yaitu: 1) Apa saja nilai-nilai budaya yang terdapat
1
Periode mitos terjadi ketika umat berpikir bahwa seorang pada masjid-masjid pathok negoro? 2) Bagaimana
pemimpin (Imam Mahdi, Ratu Adil) akan membebaskan aktualisasi nilai-nilai tersebut agar dapat merespons
mereka dari ketidakadilan. Periode ideologi terjadi ketika umat tuntutan zaman? Dengan demikian, penelitian
menganggap bahwa ideologi politik akan membawa mereka kepada
kemenangan. Periode ilmu dicapai ketika umat percaya bahwa inibertujuan untuk mengetahui nilai-nilai
jalan ilmu (rasionalitas, objektivitas, inklusivitas) akan mengangkat Budaya yang ada pada Masjid-masjid pathok
mereka dari keterpurukan dan menjadikan Islam sebagai rahmat
negoro dan memberikan tawaran aktualisasi
untuk seluruh manusia. Fase pertama yaitu periode mitos muncul
pada abad ke-19 ketika perubahan-perubahan pemikiran Islam nilai-nilai budaya yang terdapat pada masjid-
ramai atau dapat dikatakan sebagai pembaharuan Islam terjadi di masjid pathok negoro agar dapat merespons
tanah air. Pada fase ini, kharisma kepemimpinan sesorangan sangat
menonjol sekali untuk mampu mempengaruhi masyarakat kedalam
tuntutan zaman. Penelitian ini diharapkan dapat
pemikirannya. Selanjutnya, pada periode ideologis, perkembangan memberikan kontribusi akademik terhadap
ideologis diawali dengan kemunculan ideologi Kebangsaan yang pengembangan kajian budaya Islam dan Jawa,
datang dari kaum liberal Eropa sebagai akibat bermunculannya
negara-negara kesatuan, ideologi Islam yang terinsiprasi dari menjadi referensi bagi pemerintah (pusat maupun
konsep Pan- Islamisme Jamaluddin Al-Afgani, maupun ideologi daerah Yogyakarta) guna merumuskan kebijakan
Marxis Sosialis. Semua ideologi ini saling berebut kekuasaan pelestarian nilai-nilai budaya Masjid Pathok
dan pengaruh di Indonesia terutama kepada umat Islam yang
menjadi mayoritas penduduk Indonesia, puncak dari periode ini Negoro, dan mendiseminasikan nilai-nilai budaya
adalah ketika Soekarno mengagas Nasakom (Nasionalis, Agama, yang terdapat pada Masjid Pathok Negoro kepada
Komunis) sebagai upaya penggabungan dari tiga pemikiran ideologi
masyarakat luas, terutama masyarakat Yogyakarta.
besar yang eksis di Indonesia waktu itu pada masa Demokrasi
Terpimpin (1959-2965). Terakhir adalah periode ilmu, pada
periode ini perkembangan ilmu pengetahuan yang sedemikian
pesat pada paruh kedua abad ke-20 mendorong umat Islam untuk
lebih rasional dalam menjawab tantangan maupun permasalahan
masyarakat dan zaman. Kuntowijoyo, Penjelasan Sejarah (Historical
Explanation) (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008).
Kajian Terdahulu tentang Masjid Pathok mengungkapkan makna-makna atau pesan dakwah
Negoro Islam yang terdapat pada Masjid Pathok Negoro
Telah ada beberapa kajian tentang Masjid Ploso Kuning yang ditayangkan dalam rubrik
Pathok Negoro. Beberapa di antaranya adalah Pesona Budaya Nusantara TVRI Yogyakarta
penelitian Indrayadi berjudul “Aliran Udara dengan pisau analisis semiotika.4
Dalam Ruang Masjid Jawa Modern Studi Kasus Rizki Aulia dalam penelitiannya berjudul
Masjid Babadan Yogyakarta”. Penelitian ini “Makna Simbolik Arsitektur Masjid Pathok
menyebutkan bahwa aliran udara pada ruangan Negoro Sulthoni Ploso Kuning Yogyakarta”
masjid sangat dibutuhkan, terutama pada saat mendeskripsikan bahwa makna simbol dari Masjid
pelaksanaan salat Jumat karena ketika itu terjadi Pathok Negoro Ploso Kuning secara filosofis
akumulasi panas dan kelembapan udara yang memiliki makna yang luas, baik dilihat dari segi
akhirnya membuat ruangan menjadi tidak nyaman. fisik maupun non-fisik. Secara non-fisik, Masjid
Pada sistem ventilasi alami, untuk memperbaiki Pathok Negoro Ploso Kuning menyimbolkan jiwa
kondisi demikian biasanya dengan membuat manusia yang senantiasa mendekatkan diri kepada
bukaan sebesar-besarnya agar udara dapat mengalir Tuhan. Sedangkan secara fisik, Masjid Pathok
dengan lancar. Aliran udara pada sekitar bangunan Negoro Ploso Kuning menyimbolkan hakikat
masjid Pathok Negoro Babadan diukur kemudian Islam yang terdiri atas syariat, tarekat, hakikat, dan
dijadikan sebagai besaran untuk simulasi Program ma’rifat dalam kehidupan duniawi.5
CFD (Computational Fluid Dynamics). Hasil Penelitian Indri Rahmawati,6 menyimpulkan
penggambaran CFD kemudian dianalisis untuk bahwa Masjid Pathok negoro memiliki Karakteristik
mengetahui bagian ruangan dalam masjid yang keletakan. Karakteristik tersebut merupakan
mengalami kecepatan aliran udara tinggi dan konsep awal pendirian yang terpengaruh oleh
rendah serta mengetahui faktor pendukung dan keadaan sosial masyarakat di Yogyakarta. Pada
kendalanya.2 Masjid Pathok Negoro Bentuk bangunan yang
Budi Susilo dalam penelitiannya berjudul muncul merupakan perwujudan fungsi dan
“Masjid Ad-Darojat dan Pengaruh terhadap bentuk yang saling mempengaruhi. Wujud
Perubahan Masyarakat di Dusun Babadan” Masjid Pathok Negoro yang menyerupai masjid
menganalisis pengaruh keberadaan Masjid Ad- Agung Yogyakarta merupakan pengaruh dari
Darojat terhadap perubahan masyarakat di Dusun fungsi masjid sebagai Masjid keraton yang berada
Babadan. Menurutnya, sejak adanya Masjid Ad- di bawah Masjid Agung Yogyakarta. Dalam
Darojot yang merupakan salah satu Masjid Pathok perwujudannya, fungsi, bentuk, ruang dan
Negoro, masyarakat Dusun Babadan lebih religius teknik saling mempengaruhi. Aspek Bentuk pada
dan hidup agamis.3 Masjid Pathok Negoro menjadi aspek yang paling
Andi Andrianto dalam penelitiannya berjudul konsisten dari awal pendiriannya hingga saat ini,
“Simbol-simbol Dakwah Masjid Pathok Negoro
Plosokuning dalam Tayangan Pesona Budaya 4
Andi Andrianto, “Simbol-simbol Dakwah Masjid Pathok
Nusantara TVRI Yogyakarta: Kajian Semiotika” Negoro Ploso Kuning dalam Tayangan Pesona Budaya Nusantara
TVRI Yogyakarta: Kajian Semiotika”, Skripsi, UIN Sunan Kalijaga,
2010.
2 5
Indrayadi, “Aliran Udara Dalam Ruang Masjid Jawa Rizki Aulia, “Makna Simbolik Arsitektur Masjid Pathok
Modern Studi Kasus Masjid Babadan Yogyakarta”, Jurnal Vokasi, Negoro Sulthoni Ploso Kuning Yogyakarta”, Skripsi, Fakultas
vol. 7, no. 2, 2011, 156-165. Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga, 2013.
3 6
Budi Susilo, “Masjid Ad-Darojat dan Pengaruh terhadap Indri Rahmawati, “Arsitektur Masjid Pathok Negoro
Perubahan Masyarakat di Dusun Babadan”, Skripsi UIN Sunan Ditinjau dari Fungsi, Bentuk, Ruang dan Teknik”, Tesis, Teknik
Kalijaga, 2012. Arsitektur UGM, 2015.
dikarenakan aspek utama dari Fungsi, ruang dan bersifat konotatif ketika makna simbol hanya
teknik pada Masjid Pathok Negoro masih tetap dipahami secara individu, sedangkan simbol
dipertahankan eksistensinya. Unsur budaya yang bersifat denotatif ketika simbol diciptakan untuk
paling mempengaruhi pembentukan karakteristik dapat dimaknai secara sosial atau oleh orang
Masjid Pathok Negoro adalah unsur Organisasi banyak.
sosial dan unsur sistem simbol. Masjid Pathok Negoro bukanlah bangunan
Dari beberapa penelitian di atas, belum ada satu biasa yang hanya bertujuan fungsional sebagai
pun penelitian yang mengkaji aktualisasi nilai-nilai tempat ibadah, namun arsitektur dan desain
budaya Masjid Pathok Negoro. Dengan demikian, interior maupun eksteriornya bertabur simbol-
kiranya penelitian ini dapat dikatakan sebagai simbol yang penuh makna. Makna simbol tersebut
kajian orisinil yang tentunya berbeda dengan sebenarnya tidak dimaksudkan untuk menjadi
tulisan atau penelitian-penelitian sebelumnya. rahasia bagi segelintir orang, namun justru menjadi
Sebagai pijakan teoretis, penelitian ini pepeling (pertanda/signifier) bagi masyarakat umum,
menggunakan beberapa gagasan yang telah terutama umat Islam. Oleh karena itu, masjid
ada sebelumnya, teori seorang filsuf Jerman Pathok Negoro termasuk kategori simbol denotatif.
bermazhab Kantian, Ernst Cassier menyebutkan Ketika simbol berfungsi secara denotatif, maka
bahwa “Manusia adalah makhluk penyimbol simbol tersebut akan banyak memberi manfaat
(Homo Symbolicum)”.7 Ungkapan tersebut tidak bagi lingkungan sosial. Menurut Fredric Bartlett,
berlebihan mengingat dalam peradaban manusia simbol memiliki beberapa peran sosial, yaitu:
telah tersebar jutaan simbol yang dibuat dengan menjadi media untuk transmisi kebudayaan,
menyimpan makna dan maksud tertentu. Tidak sebagai pelestari keutuhan kelompok, mendorong
terkecuali dalam peradaban Jawa yang sarat keharmonisan dan mencegah perpecahan sosial,
dengan akulturasi budaya lokal, Hindu, Buddha serta menjaga agar cita-cita ideal masyarakat tetap
dan Islam. Kehadiran simbol dalam peradaban berspirit dan tidak kabur.9 Dengan demikian,
Jawa, khususnya dalam wilayah Kasultanan simbol secara denotatif memang memiliki manfaat
Yogyakarta, tentunya menyimpan makna penting penting bagi masyarakat pewarisnya.
yang perlu dipahami. Sebab, simbol apapun akan Permasalahannya kemudian muncul ketika
tidak bermanfaat (useless) dan hanya menjadi mengkaji pergeseran makna simbol dari yang
peninggalan material biasa jika makna dari simbol semestinya denotatif menjadi konotatif. Dengan
tersebut tidak dipahami. kata lain, ketika simbol sudah tidak lagi dipahami
Di ranah akademik, pemaknaan terhadap secara sosial dan hanya dimengerti oleh beberapa
simbol tentu tidak dilakukan serampangan, namun tokoh kunci, maka simbol denotatif tersebut
menggunakan teori sebagai pisau analisis. Dalam sudah bergeser ke ranah konotatif. Pada saat yang
penelitian ini, simbol dimaknai secara denotatif sama, tengah terjadi pergeseran fungsi simbol yang
dengan meminjam teori Susanne K.K. Langer. harusnya bermanfaat secara sosial dalam arti seluas-
Langer membagi pemaknaan simbol menjadi dua luasnya menjadi hanya bermanfaat secara individu
macam yaitu konotatif dan denotatif.8 Simbol atau segelintir orang saja.
7
T. McLaughlin & F. Lentricchia, Critical Terms for Literary Tentunya pergeseran tersebut bukan terjadi
Study (Chicago: The University of Chicago press, 1990) tanpa sebab. Untuk itu dalam rangka menemukan
8
Susanne Katherina Knauth Langer, Philosophy in a New
Key: A Study in the Symbolism of Reason, Rite, and Art (Harvard
9
University Press, 1957), 142. Lihat pula dalam Stephen W. Little Fredric Bartlett, “ The Social Functions of
John and Karen A. Foss, Theories of Human Communication (Cengage Symbols”, Astralasian Journal of Psychology and Philosophy, vol. 3,
Learning, 2008), 106. 1925, 1-11.
dari permasalahan yang diteliti. Dengan metode Ada beberapa tahapan yang akan dilakukan.
tersebut diharapkan akan ditemui tokoh-tokoh Pertama, akan dilakukan pereduksian data yang
kunci yang paling otoritatif untuk memberikan diperoleh selama penelitian di Masjid Pathok
keterangan. Negoro. Kegiatan reduksi data ini meliputi
Sebagai sebuah penelitian kualitatif yang pemilihan, kategorisasi, dan pemilahan. Kedua,
menggantungkan perolehan data dari lapangan dilakukan eksplorasi data untuk memperjelas
(field research), maka metode pengumpulan dan memperdalam data yang ditemukan. Ketiga,
data yang digunakan adalah observasi, interview dilakukan verifikasi data untuk membuktikan
(termasuk indepth interview), dan dokumentasi. akurasi kebenaran data yang ada, dengan cara
Observasi dilakukan untuk melihat secara teliti melakukan cross-check dengan data lainnya.
berbagai simbol, serta untuk mengamati aktivitas Tahap keempat adalah kontekstualisasi data yaitu
di masjid Pathok Negoro. Dalam beberapa hal, mempertemukan data lapangan dengan data dari
akan dilakukan obervasi terlibat (partisipatoris) library research terutama dengan teori-teori sesuai
di mana peneliti akan ikut terlibat dalam kegiatan pendekatan yang digunakan yaitu pendekatan
subyek sambil terus mengamati atau meneliti fenomenologis dan sosiologis. Keseluruhan proses
aktivitas mereka. ini akan menghasilkan paparan secara deskriptif-
Selain obser vasi, peneliti juga ak an analitis yang diperkaya dengan gambar dan data
menggunakan metode interview. Interview dilakukan pendukung.
pada beberapa anggota masyarakat secara Setelah makna simbol dapat ditemukan
semistructured dan terbuka. Artinya wawancara melalui proses tersebut, maka langkah berikutnya
akan berjalan cair, fleksibel, dan open-ended adalah melakukan reinter pretasi dengan
questions, namun masih tetap terarah pada fokus mempertimbangkan berbagai perkembangan
penggalian data yang ingin ditemukan. Pada sosiologis di masyarakat kontemporer. Hasil dari
beberapa key person akan dilakukan indepth interview reinterpretasi ini akan disusun menjadi out put
untuk mendapatkan penjelasan secara mendalam. naratif (naskah) dan figuratif (dengan gambar).
Adapun metode dokumentasi diterapkan untuk Langkah ini ditempuh agar aktualisasi pesan-
meneliti arsip tertulis, gambar, foto, video serta pesan dari simbol Masjid Pathok Negoro dapat
soft file yang ditemukan. Dokumen tersebut dipahami generasi kini secara lebih mudah.
digunakan untuk memperjelas permasalahan yang Dengan demikian out put penelitian ini akan sangat
diteliti terutama untuk menemukan makna dari membantu dalam upaya transfer of knowledge dan
simbol-simbol yang ditelti. Di samping mengambil transfer of values.
dokumen yang telah ada, peneliti juga akan
mendokumentasikan momen-momen maupun
Nilai-nilai Budaya pada masjid pathok negoro
bukti-bukti yang mendukung dan memperkaya
data penelitian. Nilai Budaya dalam Sejarah Masjid Pathok
Setelah data terkumpulkan, maka akan Negoro
dilakukan analisis data. Analisis data merupakan Berdirinya masjid pathok negoro tidak
suatu proses pengorganisasian data ke dalam pola, bisa dilepaskan dari peran seorang bangsawan
kategori, dan satu uraian dasar, sehingga dapat Mataram yang memilih hidup sebagai seorang
ditemukan dan dirumuskan hipotesis kerja. 12 da’i, yaitu Raden Mas Sandeyo yang juga
bergelar KGPH Kertosuro atau yang lebih
12
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung:
dikenal sebagai Kyai Nur Iman Mlangi. Putra
PT. Remaja Rosdakarya, 2002), 190.
pertama dari istri pertama raja Amangkurat Babadan (Timur), Plosokuning (Utara), dan
IV tersebut sejak lahir diasuh oleh ibunya dan Dongkelan (Selatan). Selain dikenal sebagai
dibawah bimbingan kyai Abdullah Muhsin masjid Pathok nagari, keempat masjid tersebut
di pondok pesantren Gedangan Surabaya. kadang juga disebut masjid Kagungan Dalem
Abdullah Muhsin sendiri adalah guru dari atau masjid Dalem Kasultanan.
M. Ihsan (ayah kyai Nur Iman). Ketika sudah Kyai Nur Iman menempatkan putra-
kembali ke Kraton Mataram M. Ihsan menjadi putranya sebagai Imam di tiga masjid lainnya,
raja dan bergelar Amangkurat IV. Saat ditinggal sementara masjid di Mlangi tetap dipimpin
kembali ke Kraton tersebut, Nur Iman masih oleh beliau sendiri. Anaknya yang bernama
dalam kandungan ibunya. Kyai Mursodo mengurus masjid Plosokuning,
Setelah dewasa, Nur Iman dipanggil anak lainnya yaitu Kyai Ageng Karang Besari
ke Mataram oleh Amangkurat IV untuk mengurus masjid Babadan, sedangkan masjid
dikenalkan pada adik-adiknya serta diberikan Dongkelan dipimpin oleh putra lainnya
kediaman di Sukowati. Namun karena setelah yaitu Kyai Hasan Besari. Orang-orang yang
itu adik-adiknya terlibat konflik kekuasaan ikut membantu kyai untuk mengurus masjid
dan terjadi Geger Pecinan, maka Nur Iman tersebut atau para ta’mir juga termasuk abdi
memilih menjauh menghindar dari konflik dalem kraton.
kekuasaan dan pergi berdakwah ke barat Meskipun masjid Pathok Negoro dibangun
(Kulon Progo). Nur Iman baru dicari oleh dalam masa yang relatif tentram, namun waktu
adik-adiknya setelah terjadinya perjanjian berdirinya tidak jauh dari periode konflik besar
Giyanti (1755) dan keadaan kembali tenang. yang melibatkan putra-putra Amangkurat IV
Saat Nur Iman bertemu salah seorang adiknya, dan Belanda (VOC/Kompeni). Setidaknya
yaitu Sujana atau Pangeran Mangkubumi di terjadi dua huru-hara besar di periode tersebut.
Kerisan (sebelah timur Kali Progo), Nur Iman Pertama, perang suadara antara dua orang
diminta pulang ke kraton. Bersamaan dengan putra Amangkurat IV yaitu Raden Mas Said
penobatan Mangkubumi menjadi Sultan (Pangeran Sambernyowo) dan Raden Mas
Hamengkubuwono I, Nur Iman diberikan Sujono (Pangeran Mangkubumi). Kedua,
tanah perdikan (bebas pajak) untuk ditempati terjadinya Geger Pecinan yang melibatkan
dan mengajarkan Islam. Daerah itu kemudian pihak Kraton Surakarta, Etnis Cina, dan
dikenal sebagai tempat “mulangi” (mengajar) Kolonial Belanda.
sehingga populer dengan nama Mlangi. Masjid pathok negoro adalah masjid
Setelah HB I wafat, maka tahta diwariskan pendamping bagi masjid pusat yaitu Masjid
pada RM. Sundoro yang bergelar HB II. Pada Agung di Kauman yang berada di pusat
masa pemerintahaan Hamengku Buwana II pemerintahan Kasultanan. Artinya sudah ada
inilah Kyai Nur Iman menyarankan kepada pusat keislaman yang otoritatif di Kasultanan
Raja untuk membangun empat masjid besar sebelum hadirnya tokoh besar Kyai Nur Iman
sebagai pelengkap Masjid Gede yang sudah yang mendirikan empat masjid pathok negoro.
berdiri terlebih dahulu di kampung Kauman. Oleh karena itu perlu diperjelas terlebih
Kyai Nur iman menyarankan agar masjid dahulu peta otoritas keagamaan di Kasultanan
pendamping itu dibangun di empat arah dan Yogyakarta. Berada di puncak hirarki otoritas
diberi nama Masjid Patok Nagari. Keempat keagamaan Kasultanan Ngayogyakarta
masjid tersebut terletak di Mlangi (barat), Hadiningrat adalah seorang khalifah yang
bergelar Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Kedua sungai itu secara sangat efektif menjadi
Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku batas timur (Kali Code) dan batas barat (Kali
Buwana Senopati Ing Ngalaga Khalifatulloh Winanga) Nagari Ngayogyakarta. Kesulitannya
Ngabdurrohman Sayidin Panotogomo ingkang adalah ketiga hendak membuat batas utara
Jumeneng Sepisan. Atas dasar gelar tersebut, dan selatan karena tidak ada penanda alam
Sultan HB adalah seorang Khalifah Allah, yang bisa secara tegas dijadikan batas. Sangat
artinya dia adalah pemuka agama paling mungkin, jalan keluar dari permasalahan
tinggi yang memimpin sebuah kekhalifan atau tersebut adalah dengan membuat tonggak tapal
Negara berasaskan Islam. Dengan kata lain, batas yang diistilahkan dengan pathok nagara.
Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat adalah Pathok berarti tonggak pembatas, dalam
bentuk kekhalifahan Islam. perwujudannya ternyata bukan berbentuk
Metode yang digunakan Kasultanan batu tapal batas, menhir, ataupun tugu,
Yogyakarta untuk menetapkan batas wilayah namun dalam bentuk bangunan fungsional
dan lapis geopolitisnya tampak masih berupa masjid. Sehingga masjid-masjid tersebut
mengacu pada konsep pembagian wilayah diistilahkan sebagai masjid pathok negoro.
yang diterapkan oleh kerajaan Mataram. Nagara Agung atau wilayah utama meliputi
Sultan Agung, Raja Mataram paling tersohor, beberapa daerah yang meskipun memiliki
menggunakan sistem yang membagi wilayah istilah khusus namun masih kurang jelas
menjadi tiga lapis: lapis paling dalam disebut tapal batasnya. Wilayah yang paling jelas
Kuthagara (atau Kutha Nagara) dimana pusat adalah daerah Siti Gadhing Mataram. Wilayah
kekuasaan berada; Lapis kedua disebut Nagara ini meliputi teritori antara Gunung Merapi di
Agung, yaitu daerah luas yang mengitari bagian utara dan Samudra Hindia di bagian
Kuthagara dimana Yogyakarta hanyalah selatan. dapat dikatakan ini merupakan
salah satu bagian dari Nagara Agung tersebut daerah dengan bidang lurus utara ke selatan
disamping beberapa wilayah lain seperti Pajang, dengan batas yang paling jelas. Namun ketika
Sukowati, Begelen, Kedu, dan Bumi Gede atau menelusuri batas-batas di sisi lain yang selalu
Siti Ageng; adapun lapis terluar adalah Manca berbenturan dengan kawasan tetangga, maka
Nagara yang mendapatkan kontrol paling batasnya semakin kabur. Misalnya untuk batas
lemah dari pusat kekuasaan.13 utara dan timur laut digunakan istilah Siti Ageng
Sistem pembagian model Mataram Mlaya Kusuma yang berbatasan dengan Pajang,
tersebut tampaknya diadopsi oleh Kasultanan Demak dan wilayah lainnya milik Kasunanan.
Yogyakarta. Sama halnya dengan Mataram, Sedangkan wilayah bagian timur, tenggara,
Kasultanan Yogyakar ta juga membagi hingga selatan diistilahkan dengan Siti Panekar
wilayahnya dalam tiga lapis, yaitu: Nagari yang meliputi wilayah Pajang bagian timur, dari
Ngayogyakarta (fungsinya sama dengan Sungai Samin ke selatan sampai Gunungkidul,
Kuthagara dalam konsep Mataram), Nagara lalu ke timur sampai Kaduwang. Kawasan
Agung, dan Manca Nagara. selatan hingga barat disebut dengan wilayah
Nagari Ngayogyakarta adalah wilayah ibukota Siti Numbak Anyar yang meliputi daerah
kasultanan yang terbentang di antara dua Bagelen, antara sungai Bogowonto dan
sungai besar yaitu Kali Code dan Kali Winanga. Progo. Sedangkan batas di bagian barat
hingga utara disebut dengan istilah Siti Bumijo
13
A. Sartono Kartodordjo, dkk., Sejarah Nasional Indonesia yang mencakup wilayah Kedu dari Sungai
(Jakarta: Balai Pustaka, 1977), jilid IV, 1.
Progo hingga gunung Merbabu. Luas wilayah maupun eksklave milik Kasunanan maupun
Kasultanan Yogyakarta jika dihitung dari luas Mangkunegaran. Wilayah-wilayah tersebut
Nagara Agung adalah 53.000 karya atau setara merupakan hasil dari Perjanjian Palihan Nagari
dengan 309,8645 kilometer persegi. yang ditandatangani di Giyanti (Perjanjian
Manca Nagara adalah wilayah luar. Ini Giyanti) pada 13 Februari 1755.
semacam daerah yang takluk tapi tidak Luas wilayah Kasultanan terus berkurang
mendapatkan kontrol politis yang memadai terutama karena perampasan wilayah yang
dari pemerintah pusat atau Nagari. Manca berhasil dilakukan pada masa Daendels dan
Nagara meliputi: Wilayah Madiun (Madiun Raffles. Setelah Perang Diponegoro selesai
Kota, Magetan, Caruban, dan Setengah Pacitan; pada 1830, pemerintah Hindia Belanda
Wilayah Kediri (Kertosono, Kalangbret, dan akhirnya merampas seluruh wilayah Manca
Ngrowo [Tulung Agung]); Wilayah Surabaya Nagara. Dirampasnya daerah Manca Nagara
(Japan atau Mojokerto); (4) Wilayah Rembang ini adalah sebagai kompensasi atas kerugian
(Jipang dan Teras Karas, keduanya di Ngawen); Belanda yang diterima selama Perang Jawa
dan (5) Wilayah Semarang (Selo atau Seselo atau Perang Diponegoro. Belanda mengklaim
[makam nenek moyang raja Mataram], Warung bahwa mereka merugi ribuan gulden dan
[Kuwu-Wirosari], dan sebagian Grobogan. lantas meminta ganti rugi ke Kasultanan dan
Luas daerah manca nagara sekitar 33.950 Kasunanan namun tidak terbayarkan, sehingga
karya (setara 198,488675 km persegi). Jika luas sebagai gantinya Belanda menyita daerah-
nagara Agung digabung dengan mancanegara daerah Manca Nagara. Pada tahun 1830 pula,
maka luas wilayah Kasultanan Yogyakarta tepatnya pada 27 September, ditandatangani
menjadi 86.950 karya. Apalagi ditambah lagi Perjanjian Klaten yang menegaskan wilayah
wilayah dari Danurejo I (Banyumas) yang seluas dan batas-batas Kasultanan Yogyakarta dengan
1.600 karya (sekitar 9,3544 km persegi) maka Kasunanan Surakarta. Wilayah Kasultanan
totalnya menjadi 88.550 karya atau sekitar Yogyakarta hanya meliputi Mataram dan
507,707 kilometer persegi. Ini merupakan Gunungkidul dengan luas 2.902,54 km persegi.
wilayah yang sangat luas yang jauh berbeda Di wilayah tersebut terdapat enklave Surakarta
dengan luas Yogyakarta saat ini.14 Oleh karena (Kotagede dan Imogiri), Mangku Negaran
itu luas kekuasaan Kasultanan Yogyakarta (Ngawen), dan Paku Alaman (Kabupaten Kota
disinyalir tidak sampai seluas itu, namun hanya Paku Alaman).
sebatas pada luas Nagari (ibukota) dan Nagara Dengan demikian Masjid Pathok Negoro
Agung yang terdekat. Bahkan kekuatan kontrol merupakan tapal batas yang ditetapkan
Kasultanan Yogyakarta sangat mungkin hanya Kasultanan Yogyakarta untuk membingkai
sebatas Siti Gadhing Mataram yang membentang teritorial Nagari atau ibukota. Hal ini
dari Merapi hingga pantai selatan. menegaskan bahwa kawasan yang dibatasi
Sebenarnya di dalam wilayah Kasultanan lima masjid pathok nagara dan dua sungai
yang sangat luas itu juga terdapat beberapa besar (Code dan Winanga) adalah kawasan
daerah kantong, baik berupa enklave pusat, sedangkan diluar itu adalah periphery.
Batas nagari atau ibukota ini sedikit lebih
14
Luas wilayah propinsi DIY untuk konteks sekarang yang luas dibanding batas ibukota (Kota/Kodya
totalnya hanya 3.185,80 km2 yang terdiri atas Kota Yogyakarta 32,50
km2 , Kabupaten Sleman 574,82 km2 , Kabupaten Bantul 506,85
Yogyakarta) yang digunakan sekarang.
km2 ,Kabupaten Kulon Progo 586,27 km2,Kabupaten Gunung
Kidul 1485,36 km2.
Dari nukilan sejarah tersebut dapat ditarik dipasang mahkota utama atau yang biasa disebut
kesimpulan nilai-nilai yang penting, yaitu: mustaka yang berarti kepala. Limasan tiga tingkat
masjid sebagai lembaga pendidikan: Masjid bermakna tingkatan sufistik dari syariat, tarekat
pathok negoro adalah tempat mulangi atau dan hakikat yang puncaknya adalah mustaka
berperan sebagai lembaga pendidikan umat, sebagai simbol ma’rifat. Keempatnya tidak boleh
masjid saling berkoordinasi: Masjid pathok dipisah-pisah tapi harus menyatu.
negoro terkoordinasi satu sama lain, bahkan Pada tingkatan pertama berbentuk bulat
terkesan tersruktur. Masjid Pathok Negoro memanjang mengarah ke langit, sedangkan pada
adalah pelengkap kerja Masjid Gede dan tingkatan kedua berbentuk lingkaran dengan
sebagai penggerak utama dakwah Islam, masjid dikelilingi lima ukiran seperti bentuk burung.
sebagai institusi mobilisasi umat: Masjid Lalu pada bagian ketiga berbentuk segi empat
Pathok Negoro merupakan institusi yang dapat dengan terdapat tumpukan kecil seperti gunung
berperan untuk memobilisasi umat untuk di atasnya. Di sampan itu pada tiap sisi segi empat
kepentingan kerajaan/kekhalifahan. yang dimiliki mustaka terdapat ukiran seperti
tanduk. Dan jika dari bawah mustaka gada bersulur
Nilai Budaya dalam Simbol-simbol
ini tampak sepeerti mahkota seorang raja. Selain
Untuk melihat simbol-simbol yang itu warna yang dimilki mustoko ini berwarna
masih asli dari masjid Pathok Negoro, maka coklat seperti warna tanah. Mahkota gada bersulur
tidak semua masjid pathok negoro dapat melambangkan alur kehidupan manusia, yaitu
menyuguhkan keaslian tersebut. sebagian melukiskan kesempurnaan perjalanan hidup
besar masjid pathok negoro sudah mengalami manusia yang musti diraih dalam kehidupan ini
renovasi yang signifikan. Satu-satunya masjid yakni mengelaborasikan antara Iman, Islam, dan
pathok negoro yang paling otentik adalah Ihsan.
masjid Pathok Negoro Plosokuning. Letak
masjid ini sekitar sembilan kilometer arah
utara dari Kraton Yogyakarta. Masjid Pathok Tumpang / Atap Bertingkat
Negara Sulthoni Plosokuning didirikan di Atap pada bangunan Masjid Pathok Negoro
atas tanah kasultanan seluas 2.500 meter Plosokuning atap yang berbentuk tajuk dua
persegi. Bangunan masjid pada saat didirikan tumpang berlambang teplok. Selain sebagai
seluas 288 m2 dan setelah pengembangan pelindung Masjid dari hujan dan panas, atap Masjid
menjadi 328 m2. Masjid Pathok Negoro dengan model tajug dua tumpang mempunyai arti
didirikan setelah pembangunan Masjid Agung yang sangat mulia. Dengan makna yang sederhana,
Yogyakarta, sehingga bentuk masjid tersebut penggunaan atap dua tumpang dimaksudkan
meniru masjid Agung sebagai salah satu usaha supaya Masjid Pathok Negoro tidak melupakan
legitimasi masjid milik KasultananYogyakarta. ciri khas dari bangunannya, tentang siapakah yang
Persamaan ini juga didukung oleh beberapa mendirikan Masjid kuno itu.15
komponen yang ada di dalamnya seperti Memang terdapat perbedaan jumlah atap
mihrob, kentongan dan beduk. Tajug di Masjid Agung Kesultanan dengan
Masjid Plosokuning, di Masjid Agung beratap
Musataka Gada Sulur tajug tiga tumpang (tiga tingkatan) sementara di
Plosokuning beratap tajug dua tumpang. Hal ini
Puncak dari masjid ini menggunakan arsitektur
15
Wawancara dengan Bapak Kemaludin Purnomo Ketua
Jawa berupa limasan tiga tingkat dan di atasnya
takmir Masjid Plosokuning
sejuk area Masjid. Namun terdapat makna secara Saka Kayu Jati
tersirat mengandung pelajaran kehidupan yang Konstruksi bangunan Masjid Pathok Negoro
sangat berharga selain menandakan bahwa Masjid Plosokuning sebagian besar menggunakan kayu jati
tersebut didirikan oleh raja, sebagai simbol baik sebagai tiang penyangga bangunan maupun
kebangsawanan atau keningratan, keberadaan konstruksi atap Masjid. Selain kekuatan kayunya,
pohon sawo berarti sifat kebaikan sejatinya lebih pemilihan kayu jati secara simbolis bermakna
ditonjolkan dimiliki manusia dari pada sifat jahat pepeling agar manusia memiliki jati diri yang kuat.
utamanya ketika orang berada di dalam Masjid Maksudnya adalah jati diri yang kuat mesti dimiliki
Pathok Negoro.19 manusia dalam menjalani liku-liku kehidupan
manusia dengan tanpa meninggalkan ibadah
kepada Allah SWT.20
Lawang Endek
Dan secara keseluruhan jumlah tiang ada (52
Lawang Endek (pintu rendah) sebenarnya
buah tiang) tiang yang di dalam berjumlah 16 buah
merupakan ciri arsitektur jawa yang berlaku
dan di bagian luar berjumlah 36 buah tiang. Dalam
umum, tidak hanya masjid pathok negoro saja.
perlambangan kayu jati oleh orang zaman dulu
Awal didirikan Masjid Pathok Negoro hanya
dinilai bagus untuk digunakan sebagai bangunan
memiliki satu pintu, berkembangnya zaman pintu
rumah atau Masjid. Selain itu sesuai sifatnya
masuk saat ini berjumlah tiga pintu yang sebelah
kayu jati memilki kemampuan elastis yang dapat
utara, selatan dan timur. Ada pertimbangan
bergerak jika mendapat getaran tanah dari perut
kenapa pintu dibagi menjadi tiga yaitu agar
bumi di banding batu yang kaku.21
ruangan terlihat terang dan menambah keindahan
pintu. Pada waktu itu sudah mendapat izin
dengan persetujuan dari Kraton Yogyakarta hingga Gapura
akhirnya pada tahun 1984 merubah pintu Masjid Salah satu arsitektur yang mencolok dari masjid
menjadi tiga bagian. pathok negoro plosokuning adalah gapura yang
Bentuk pintu Masjid Pathok Negoro yang berdiri di depan area masjid. Setiap orang yang
rendah justru mengandung nilai budaya Jawa hendak masuk masjid harus memasuki gapura ini.
yang tinggi. Pintu rendah sejatinya dimaksudkan Meskipun gapura lebih identik dengan bangunan
agar orang yang masuk mau menundukkan kepala pura dalam tradisi hindu, namun gapura dalam
sebagai sikap hormat terhadap pemilik rumah. tradisi islam memiliki arti lain. Tentu bukan
Maka ketika manusia memasuki “rumahnya Allah” berarti pura atau tempat ibadah hindu, namun
ia juga harus menghormat Allah. penyematan kata “ga” untuk menambagi kata
pura telah mengubah makna dari jenis arsitektur
tersebut. Gapura diambil dari kata Ghafura
Waloh atau ampunan. Dengan maksud agar orang yang
Pada tembok masjid pathok negoro terdapat melewati gapura adalah orang yang memasuki
lingkaran yang timbul (relief) dan berbentuk buah ampunan dari Allah SWT.
waloh (labu). Buah waloh dekat pengucapannya
dengan “huwa alloh” dia lah Allah. Simbol ini
dimaksudkan agar manusia selalu ingat kepada
penciptanya, yaitu Allah SWT.
20
Wawancara dengan Kemaludin Purnomo (Ketua takmir
19
Wawancara dengan RM H Baghowi Kasepuhan abdi Masjid Plosokuning)
21
dalem Kraton, tinggal didekat Masjid Plosokuning Andi Andrianto, Masjid Pathok Negoro Plosokunig, 70-73.
maka berbagai masalah kuamatan dapat lebih sekarang. Oleh karena perlu upaya untuk
mudah ditangani, misalnya dengan mekanisme menafsirkan simbol tersebut sesuai kebutuhan
penyaluran zakat, infaq, dan shadaqah yang saat ini. misalnya: Musataka Gada Sulur yang
lebih terintegrasi. bermakna tingkatan sufistik dari syariat,
Ketiga, mobilisasi umat. Masjid pathok tarekat dan hakikat yang puncaknya adalah
negoro telah digunakan sedemikian rupa oleh ma’rifat perlu dijelaskan kepada masyarakat,
kraton sebagai media komunikasi ‘pemerintah’ terutama mereka yang awam, bahwa umat
kepada rakyat, bahkan sebagai media mobilisasi Islam perlu mempraktikkan syariat dan setelah
umum. Termasuk nama “pathok negoro” itu mencapai ekspresi keagamaan di atas syariat
sebenarnya memiliki makna bahwa masjid yaitu jalan-jalan khusus untuk meraih makna
tersebut merupakan tapal batas benteng hidup sehingga menjadi orang yang dekat
pertahanan negara. Oleh karenanya selalu dan dicintai Allah. Jalan khusus (tarekat)
ada abdi dalem yang ditempatkan di setiap tersebut bisa berupa aktifitas sosial, aktifitas
masjid pathok negoro sebagai aktor perantara pendidikan, dan lain-lain yang disandingkan
komunikasi pemerintah kepada rakyat atau dengan syariat. Tarekat tidak harus dimaknai
sebaliknya. Fungsi tersebut sebenarnya sebagai aktifitas retret yang menarik diri dari
masih dapat dilakukan untuk konteks saat kepedulian sosial.
ini. Masjid dapat menjadi sarana sosialisasi Tumpang / Atap Bertingkat sejauh ini
program pemerintah yang bermanfaat bagi hanya dimaknai sebagai hirarki koordinasi
masyarakat. Setidaknya, para dai, khotib, bahwa atap dua tingkat berarti lebih rendah
imam masjid bisa menjadi pemerintah dalam posisinya dibanding masjid agung yang atapnya
mensosialisasikan kebijakan penting, misalnya tiga tingkat. Maka diperlukan penafasiran yang
dalam memerangi narkoba, mengkampanyekan lebih jelas, misalnya dua atap menyimbolkan
toleransi dan kerukunan, menyadarkan dua atasan yang harus dihormati yaitu ulil
pentingnya kebersihan dan kesehatan, serta amri dan ulama serta Kolam perlu dimaknai
isu-isu strateggis lainnya. Sayangnya kerjasama sebagai pengingat bahwa kewajiban manusia
antara pemerintah dengan masjid sejauh ini sebelum dapat dekat dengan Tuhan adalah
belum terkoordinasikan dengan baik. mensucikan diri sendiri. Mensucikan diri ini
tidak lantas diartikan kebersihan secara fisik,
Aktualisasi Makna Simbol dalam Masjid namun perlu dijabarkan menjadi kebersihan
Pathok Negoro hati dan kesucian perilaku. Misalnya bersih
Masjid pathok negoro memiliki aspek dari pengaruh narkoba, bersih dari korupsi,
simbolik yang cukup banyak, namun makna bersih harta karena zakat terbayarkan, dan
simbol itu hanya tersimpan dalam ingatan para seterusnya.
tetua atau pengurus masjidnya. Jika makna Kolam juga dimaknai agar orang yang
simbol tersebut tidak ditransfer kepada generasi masuk masjid memiliki kedalaman dalam hal
penerus, maka simbol tersebut akan lenyap ilmu dan kebijaksanaan. Sehingga orang masuk
maknanya dan tinggal benda-benda tidak masjid bisa teringat bahwa salah satu tujuan dia
punya makna. Pun seandainya pemaknaan datang ke masjid juga untuk menimba ilmu
terhadap simbol tersebut terkesan kaku dan dan memperdalam kebijaksanaan. Denagn
tidak direfleksikan kepada konteks yang semanat itu maka ia lebih serius mendengarkan
dihadapi generasi kini, maka simbol tersebut
juga tidak akan menyentuh perhatian generasi
Indrayadi, “Aliran Udara Dalam Ruang Masjid McLaughlin, T. & F. Lentricchia, Critical Terms
Jawa Modern Studi Kasus Masjid Babadan for Literary Study, Chicago: The University of
Yogyakarta”, Jurnal Vokasi, Vol. 7, No. 2, 2011. Chicago press, 1990.
Kuntowijoyo, Penjelasan Sejarah (Historical Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif,
Explanation), Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002.
Langer, Susanne Katherina Knauth, Philosophy in Susilo, Budi, “Masjid Ad-Darojat dan Pengaruh
a New Key: A Study in the Symbolism of Reason, terhadap Perubahan Masyarakat di Dusun
Rite, and Art, Harvard University Press, 1957. Babadan”, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga,
Lemert, Charles, Social Theory: The Multicultural and 2012.
Classic Readings, Oxford: Westview Press, 1993. Wawancara dengan Kamaludin Purnomo, Ketua
Littlejohn, Stephen W. & Karen A. Foss, Theories takmir Masjid Pathok Negoro Plosokuning.
of Human Communication, Cengage Learning, Wawancara dengan RM H Baghowi Kasepuhan
2008. abdi dalem Kraton, tinggal didekat Masjid
Plosokuning