NIM: 40200121021
KELAS: 4 AK 1
Jawab:
Pengolahan data Setelah tahap pertama, data yang dikumpulkan biasanya berbentuk artefak
(benda arkeologi peninggalan bersejarah), ekofak (benda yang menjadi bagian kehidupan
manusia yang tidak mengalami perubahan), dan atau fitur (benda arkeologi yang tidak bisa
dilepaskan dari situs arkeologi). Pada tahap kedua, data harus dikategorikan ke dalam kelompok
yang telah ditentukan. Contohnya diberi penomoran dan diinventarisasikan sesuai dengan
kategorinya. Pengkategorian ini bertujuan untuk memudahkan proses analisis data di tahap
berikutnya.
Analisis data Seusai data diolah, tahap selanjutnya ialah dianalisis. Tahapan analisis dilakukan
dengan mencari hubungan atau keterkaitan antara temuan data. Keterkaitan ini bisa dilihat dari
teknik pembuatan, ukuran, warna, hiasan, bekas pemakaian ataupun hal lainnya. Proses analisis
data memakan waktu yang cukup lama, karena bisa jadi temuan data tersebut sudah banyak yang
rusak. Proses ini juga membutuhkan kesabaran dan ketelitian yang luar biasa dalam mengamati
setiap detail-nya. Publikasi data Tahap terakhir ialah pelaporan dan publikasi data. Pelaporan
berarti bentuk pertanggungjawaban dari sisi akademisnya. Sedangkan untuk publikasi data
bertujuan untuk memberi tahu kepada masyarakat tentang hasil temuan dan analisisnya.
Publikasi data bisa dilakukan lewat penerbitan buku dan atau jurnal. Selain itu, juga bisa
dilakukan dengan melaksanakan pameran publikasi foto dan video.
2. Berbicara metode pedagogis yang dilakukan oleh tenaga pendidik yakni dosen
pengampu mata kuliah arkeologi islam. adalah tidak terlepas kita berbicara mengenai
ruang, objek & subjek. Dalam beberapa pertemuan saya melakukan proses pembelajaran
itu tidak terlepas melakukan pembelajaran dalam ruang lingkup kelas dengan metode
yang sama dari semester 1 hingga saat ini duduk di semester 4, metode yang digunakan
dalam kelas dengan metode deialektis pembagian makalah sesuai silabus, kurang lebih
13 makalah yang dibagi perkelompok lalu dipresentasikan setiap kali melakukan
pertemuan.
Menurut saya secara pribadi metodis pedagogis yang dilakukan itu terbilang kurang
efektif guna mendekatkan terhadap objek yang diteliti kurang lebih saya hanya dapat
mengetahui secara gamblang saja tapi terbatas melakukan objektifikasi yang mendetail
terhadap suatu objek, jadi persoalan internalisasi objek terhadap objek eksternal juga agak
terbatas sehingga proses melakukan suatu penarikan kesimpulan pun agak terbatas.
Bayangkan saja melihat, mengamati & menganalisis suatu hanya dengan pengkajian objek
pengetahuan melalui informasi yang didapati tanpa ada penginderaan yang secara langsung
atau proses interaksi langsung pancaindera terhadap objek yang dimaksud akan
menjadikan pengetahuan tersebut masih dalam ambang fikiran saja.
3.) Mengenai materi yang saya pahami dan membuat saya tertarik adalah masjid jami’ palopo,
karena dengan alasan saya menyukai mulai dari arsitektur bangunan & sejarah-nya.
Mungkin saya akan lebih meringkasnya saja.
a.) Perpaduan aneka budaya dalam satu bangunan
Masjid Jami Palopo dibangun di Tanah Ware’ yang artinya masjid ini dibangun di
tengah pusat Tana Luwu. Bangunan masjid ini memiliki unsur penting yang melekat dalam
konstruksi masjid yaitu unsur lokal Bugis, Jawa bahkan Tiongkok. Tak heran jika akulturasi
budaya yang melekat pada ornamen masjid kental dengan beberapa daerah seperti atap rumah
joglo Jawa yang berbentuk piramida bertumpuk tiga dan kenampakan dari beberapa ornamen
masjid yang nampak dari depan menyerupai bangunan dari negeri Tiongkok.
b.) Batu dari gunung & direkatkan oleh kuning telur
Pengurus Masjid Jami Palopo, Usman Abdul Malla mengatakan Masjid Jami dibangun
secara bergotong royong dengan luas 14 x 14 meter, bahan bangunannya terutama dinding
terbuat dari batu yang didatangkan dari gunung. “Konon katanya oleh masyarakat Palopo
bangunan ini direkatkan oleh putih telur, sehingga saling rekat, selain itu batu yang menjadi
dinding masjid ukurannya berbeda yang merupakan simbol untuk merekatkan persaudaraan,”
ucap Usman. Dari depan Masjid Jami Palopo nampak satu pintu utama, di masjid ini hanya
terdapat satu pintu sebagai simbol keesaan Allah sang pencipta, pada kiri dan kanan pintu utama
diapit masing masing tiga jendela atau jumlahnya enam buah yang menandakan simbol enam
rukun iman. “Secara keseluruhan Masjid Jami dikelilingi 20 buah jendela yakni di samping kiri
7 buah dan kanan 7 buah serta depan 6 buah, ini adalah simbol dari 20 sifat wajib bagi Allah,
selain itu terdapat 12 buah lubang-lubang kecil atau jendela bulan yang berukuran kecil, masing
masing 6 buah di sebelah kiri dan kanan, adalah sebagai simbol 12 bulan dalam satu tahun,” ujar
Usman. Di dalam masjid terdapat mimbar yang menggambarkan akulturasi budaya Jawa dan
Tiongkok, di atas dari mimbar tersebut diatapi dengan kulit kerang yang menggambarkan bahwa
penyebaran agama islam di Palopo melalui jalur laut.
c.) Kisah mistis kayu cina duri, tiang penyangga utama masjid
“Tiang penyangga utama terbuat dari fosil kayu cina duri yang telah berumur ratusan
tahun, pada tiang utama ini bersegi 12 yang menandakan bahwa di Luwu atau Palopo memiliki
jumlah anak suku sebanyak 12 atau dengan kata lain pada masa pembuatan masjid seluruh anak
suku tersebut hadir memberikan sumbangsih baik pemikiran maupun pekerjaan fisik, antara satu
tiang dengan tiang lainnya disambung dengan menggunakan pasak kayu sehingga saling
melengkapi dan melekat kuat,” tutur Usman. Kayu tiang penyangga utama dari fosil kayu cina
duri tersebut diyakini oleh warga Palopo sebagai sesuatu yang bernilai mistis, sehingga kayu
tersebut seringkali diambil orang untuk kepentingan pengobatan. Selain itu bagi warga dari luar
daerah jika datang di Palopo belum dikatakan lengkap atau menginjakkan kaki di Palopo jika
belum mendatangi Masjid Jami dan melihat langsung kayu cina duri. Untuk menghindari
pengambilan kayu tiang tersebut pihak pengelola masjid melindungi dengan menggunakan
kaca.
d.) Pintu pagar diangun belanda tahun 1938
Perubahan rona awal Masjid Jami Palopo hingga saat ini tidak terlalu mencolok
meskipun beberapa kali mengalami perbaikan, dari depan perubahan hanya nampak dari pintu
pagar yang dibangun sejak jaman Belanda pada tahun 1938 masehi. Masjid ini tidak pernah
sepi dari jamaah terutama pada bulan Ramadan setiap selesai melaksanakan shalat para jemaah
tetap tinggal di masjid untuk mengaji atau membaca tadarrus Alquran dan berzikir. “Masjid ini
juga menjadi salah satu kunjungan wisatawan baik domestik maupun mancanegara, namun
dikarenakan adanya pandemi Covid-19 sehingga wisatawan mancanegara tidak ada lagi yang
datang,” jelas Usman.