Abstrak
1
A. Pendahuluan
Tantangan bangsa Indonesia dalam memasuki era globalisasi sangat berat. Dalam
mengantisipasi pasar bebas seperti APEC dan WTO maka kualitas sumber daya manusia
(sdm) harus ditingkatkan. Pendidikan dalam aneka bentuknya merupakan salah satu instrumen
utama bagi peningkatan sdm karena hal itu akan meningkatkan kualitas penguasaan ilmu
Pelaksanan pendidikan akan efektif bila didukung dengan sistem pendidikan yang
baik, yang didalamnya tersusun pendekatan, sratategi, dan teknik yang sesuai dengan budaya
bangsa yang berorientasi pada nilai spiritual yang inheren dalam masyarakat Indonesia sejak
zaman prasejarah. Pondok pesantren (ponpes) merupakan aset bangsa yang telah dikenal masa
Ponpes merupakan lembaga pendidikan tradisional yang masih laku dan tetap disegani
karena memiliki daya lentur untuk menyesuaikan diri dengan perubahan zaman. Ponpes telah
menjadi benteng nilai-nilai moral, di tengah dekadensi moral di kalangan pelajar (Bernas, 18
Maret 1996). Keberadaan Ponpes tidak lepas dari partisipasi rakyat yang terkait dalam
tradisional yang mempelopori transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi modern secara
berhasil. Gontor memiliki pengaruh yang luas, baik di Indonesia maupun negara tetangga,
karena para alumni mendirikan Pondok Alumni di daerahnya masing-masing. Hal tersebut
mencerminkan hubungan yang erat antara kyai dengan santri. Ponpes, termasuk PMG,
2
mempunyai pengaruh nyata di daerah pedesaan karena memang padamulanya ponpes sengaja
dibangun di daerah pedesaan yang masih relatif steril terhadap dampak negatif dari
modernisasi sehingga ponpes memerankan diri sebagai suatu sub-kultur. Ponpes sebagai sub–
kultur berpusat pada kyai dan ulama yang berperan menjadi filter bagi masuknya pengaruh
Pasang surut peran kyai dan ulama dengan pesantrennya merupakan fokus dari penelitian ini.
Lokasinya di PMG di Gontor, Ponorogo. Sedangkan permasalahan yang akan dianalisa adalah
Ponpes dibentuk dari kata pondok dan pesantren. Pondok berarti suatu tempat yang
digunakan untuk menginap, dan pesantren berasal dari kata santri yang mendapatkan imbuhan
pe-an, yang berarti tempat tinggal para santri, sedangkan santri adalah orang yang sedang
menuntut ilmu (belajar). Beberapa pakar seperti Prof. Johns, C.C. Berg, dan Soeganda
Poerbakawaca berpendapat bahwa kedua istilah tersebut berasal dari bahasa India (Steenbrink,
1994: 21). Kalau diamati memang ponpes memiliki persamaan bentuk dan sistem dengan
ketika menjadi pusat dan ibu kota kerajaan Islam (Yunus, 1982: 31). Begitu juga kebiasaan
para santri yang sering mengadakan perjalanan dan penyerahan tanah oleh negara. Tumbuhnya
3
ponpes dapat ditelusuri dari zawiyah-nya kaum sufi yang telah dikembangkan (Rahardjo (ed.),
1978: 105). Kaum sufi ini memegang peranan penting dalam proses islamisasi pada saat
kekuatan militer dan politik mengalami kemunduran. Merekalah yang menyebarkan agama
Islam ke Indonesia setelah jatuhnya kekhalifahan Bagdad pada tahun 1258. Memang Islam
telah masuk ke Indonesia pada abad ke-7 melalui muhibah ke kerajaan Kalingga di Jawa oleh
utusan dari khalifah Muawiyah, tetapi Islam baru mendapatkan kekuasaan politik pada abad
ke-13 dengan berdirinya kerajaan Samudera Pasai. Proses Islamisasi yang memakan waktu
berabad-abad tersebut membuktikan bahwa Islam masuk secara perlahan-lahan dengan cara
damai.
Para mubaligh melakukan asimilasi dengan unsur-unsur budaya lokal supaya Islam
terasa tidak asing bagi rakyat. Bentuk pondok pesantren meneruskan tradisi pra-Islam Hindu-
Budha yang dikemas dengan materi keislaman yang halus. Adapun proses terbentuknya
ponpes tersebut, seperti dikatakan oleh Rahardjo (1978: 82), bermula dari kelompok
pengajian. Dengan semakin banyaknya santri yang datang dari jauh maka didirikan pondok di
“keduniawian” dipandang sebagai pendidikan praktis yang dapat dipelajari sesuai dengan
kebutuhan. Penekanan pendidikan moral didasarkan pada pandangan bahwa orang yang
disamping ia tidak mudah terpengaruh oleh hal-hal negatif. Sekarang ponpes tertinggal dari
Barat dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) karena pendidikan
4
Perlunya modernisasi di lingkungan ponpes semakin terasa pada abad ke-20, ketika
Modernisasi dilakukan untuk menangkal usaha asimilasi yang dilancarkan pihak Belanda yang
bertujuan untuk menyatukan Indonesia dengan kerajaan Belanda secara budaya melalui proses
bahwa Islam sebagai agama sudah benar dan yang salah tentunya pemahaman dan pengamalan
agama Islam sehingga umat Islam menjadi terpuruk. Iptek itu bersifat netral dan bukan
monopoli Barat, sehingga Islam harus melakukan pembaharuan. Paham pembaharuan tersebut
Sementara itu KH Imam Zarkasyi bersama dengan dua saudaranya mendirikan PMG
pada tanggal 12 Oktober 1926 sebagai sarana untuk melakukan modernisasi (Castles, 1996:
30). Mereka menerapkan pola dan sistem pendidikan yang merupakan ide sintesa dari
tersebut merupakan sesuatu yang inovatif dan bersifat transformatif terhadap sistem
pendidikan Islam tradisional karena mereka tidak membedakan dirinya sebagai kelompok
modern.
Pendirian ponpes ini dilatarbelakangi kejadian pada Muktamar Alam Islam sebagai
casus beli (penyebab langsung). Muktamar Alam Islam adalah organisasi federasi dari
pergerakan masyarakat golongan Islam. Pada muktamar tahun 1926 tidak dapat memilih calon
utusan ke Muktamar Alam Islami Dunia di Mekkah yang memenuhi persyaratan mahir dalam
berbahasa Arab maupun Inggris sekaligus, sehingga harus dikirim dua calon utusan yang
5
masing-masing dapat berbahasa Inggris dan Arab. Masing-masing diwakili oleh HOS
Cokroaminoto dan KH Mas Mansur. Berdasarkan kejadian tersebut maka PMG menggunakan
Sebenarnya ide pendirian PMG merupakan suatu proses yang panjang dari ketiga
pendiri, yaitu KH Ahmad Sahal, KH Zainudin Fananie, dan KH Imam Zarkasyi. Mereka
merupakan elit desa yang telah mendapatkan ide-ide Muhammad Abduh dari Mesir. KH Imam
Zarkasyi, intelektual utama PMG, telah belajar selama 5 tahun kepada M. Yunus di Normal
School di Padang, dimana M. Yunus telah berguru kepada Syekh Ahmad Khatib
Minangkabau, yang telah mendapatkan pengaruh Muhammad Abduh. Sekarang kyai terkenal
di Jawa dan Sumatera mendapatkan pengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung
kyai. Kyai merupakan cikal bakal dan elemen yang paling pokok dari sebuah ponpes; dan
kelangsungan hidup suatu pesantren sangat tergantung kepada kemampuan pesantren untuk
memperoleh seorang kyai pengganti yang terdahulu (Rahardjo, 1984: 28). Namun matinya
sebuah ponpes biasanya diikuti dengan tumbuhnya ponpes baru sebagai kelanjutannya
sehingga kelestarian tradisi pesantren terus terpelihara. Adapun usaha kyai untuk melestarikan
tradisi pesantren adalah dengan membangun solidaritas dan kerjasama di antara sesama
6
1. membangun suatu tradisi bahwa keluarga terdekat harus menjadi calon kuat pengganti
Dengan demikian punahnya sebuah ponpes lama dapat diimbangi oleh munculnya ponpes
baru. Hal ini tidak berarti dimulainya suatu babak baru, karena pada dasarnya warisan kultural
PMG dapat berkembang pesat karena adanya kontinyuitas sejarah, ideologi, dan
genealogi. Secara genealogi, trimurti pendiri PMG masih keluarga kyai Ponpes Tegalsari yang
didirikan pada tahun 1724 (Bruinessen, 1995: 25). Keluarga kyai Tegalsari masih mempunyai
hubungan perkawinan dengan Kanjeng Penghulu Hadirojo Cirebon. Dengan demikian PMG
PMG melanjutkan ideologi madzab ahlul sunnah wal jamaah, yang dianut mayoritas
umat Islam, termasuk di Indonesia. PMG mewarisi transmisi pengetahuan dan intelektual dari
Bentuk pondok merupakan kontinyuitas sejarah dari sistem pendidikan nasional, yang
secara ideal juga dianjurkan dan dalam batas-batas tertentu diterapkan oleh Perguruan Taman
Predikat “modern” pada PMG hanya dapat dipahami sesuai dengan suasana zamannya
dan menempatkannya dalam konteks sejarah. Hal ini berarti menempatkan konsep, gagasan,
7
dan cita-cita para pendiri dan pembina sesuai dengan zamannya, tidak dilihat dari kaca mata
sekarang ini. Sebutan modern merupakan nama yang diberikan masyarakat karena PMG
memasukkan mata pelajaran umum yang sering dikategorikan sebagai “ilmu keduniawian”.
Sebenarnya nama pondok ini bernama Darussalam, yang berarti negeri yang damai; dan
ponpes ini dimaksudkan sebagai ponpes non-golongan karena mengingat pada waktu itu ada
gejala sektarian yang mengancam persatuan dan kesatuan, dimana umat dikotak-kotakkan
menjadi terbentuk seperti sekarang ini. Dimulai dengan tahap pembangunan masyarakat
beragama dan bermasyarakat yang sehat. Pada tahap ini didirikan Tarbiyatul Atfal (Pendidikan
Dasar) di beberapa dusun di sekitar Gontor. Setelah berhasil menamatkan lulusan, pendiri
PMG mendirikan Sallamul Muta’allim sebagai sekolah tingkat menengah pertama. Kemudian
pada tanggal 25 Februari 1937 dibukalah KMI (Kuliyatul Mualimien al-Islamiyah). Dengan
berdirinya KMI ini maka berakhirlah Tarbiyatul Atfal sebagai bagian dari PMG, dan
pengelolanya diserahkan kepada masyarakat. KMI diakui oleh pemerintah sebagai Sekolah
Pendidikan Agama 6 tahun setelah Sekolah Dasar. Sekarang PMG membuka KMI jalur
eksperimen bagi tamatan setingkat SLTP dan SLTA, disamping membuka KMI puteri di
Mantingan. Perkembangan selanjutnya terjadi pada tahun 1963 dengan dibukanya PTD
(Perguruan Tinggi Darussalam) yang membuka program sarjana muda jurusan Syariah dan
Tarbiyah; dan diikuti dengan dibukanya program sarjana penuh pada tahun 1990.
8
Dalam bidang pembangunan fisik, PMG baru memiliki satu gedung permanen pada
tahun 1930. Penambahan dan perbaikan gedung terus dilakukan dengan menggunakan dana
yang berhasil dikumpulkan dari berbagai sumber. Pihak pondok sendiri mengumpulkan dana
dengan melakukan berbagai usaha produktif seperti mengusahakan tanah waqaf, mendirikan
toko, mengusahakan infaq, dll.. Disamping itu para santri mendirikan unit-unit kegiatan/kerja
yang dapat menghasilkan uang. Berbagai usaha tersebut merupakan penerapan sistem ponpes
Segala kegiatan pendidikan dan pengajaran diasuh oleh lembaga pengasuh yang
diketuai oleh pemimpin pondok. Pimpinan pondok tidak terfokus pada seorang kyai
sebagaimana lazimnya ponpes tradisional, melainkan dikendalikan oleh trimurti, yang dipilih
dalam suatu sidang Badan Waqaf (Lembaga Tertinggi PMG) setiap lima tahun sekali. Dengan
cara ini diharapkan ponpes tidak mengalami krisis kepemimpinan setelah ditinggal mati
pendirinya. Badan Waqaf ini ada 15 orang dan bertugas menetapkan pimpinan-pimpinan
Lembaga Badan Pendidikan Pondok Modern, yang terdiri dari 5 lembaga yaitu Rektor IPD,
Direktur KMI, Direktur Kuliyatul Muallimat al-Islamiyah, Ketua Yayasan Pemelihara dan
perluasan Waqaf (YPPWPM), dan Ikatan Keluarga Pondok Modern (IKPM) (Wardun, 1988:
55). Perkembangan ponpes yang pesat menunjukkan bahwa modernisasi yang dilakukan PMG
dapat diterima oleh masyarakat, bahkan PMG merupakan ponpes terbesar di Kabupaten
Ponorogo.
9
3. Modernisasi Pendidikan di PMG
tujuan pendidikan di PMG adalah membentuk manusia berkarakter muslim yang berbudi
tinggi, berbadan sehat, berpengetahuan luas, berpikiran bebas, dan berjiwa ikhlas (Rahardjo
Dalam pemahaman agama (teologi) PMG mengikuti Ghazalisme, yaitu suatu aliran
Islam yang menghubungkan ilmu kalam, fiqih, dan tasawuf; namun para pendiri PMG kurang
menaruh minat terhadap tasawuf karena mereka telah terpengaruh oleh ide-ide dari
Muhammad Abduh di Mesir. Konsekuensinya mereka tidak suka mengikuti acara barjanji,
tahlilan, dll.. Tasawuf merupakan ilmu yang mempelajari cara mendekatkan diri kepada Allah
secara esoterisme (emosi/perasaan), yang pada dasarnya merupakan inti pendidikan Islam dan
Tasawuf yang dimaksud adalah tasawuf dalam pengertian via purgiva yang
menekankan aspek filosofis yang sifatnya dinamis, dan bukan tasawuf dalam pengertian via
contemplativa yang menekankan segi praktisnya dan yang diorganisasikan dalam bentuk
tarekat. Dalam hal ini Simuh (1999: 30-31) mengikuti pandangan Ibn Khaldun yang dimaksud
Tasawuf itu merupakan syari’at yang baru yang asalnya adalah bertekun dalam ibadah
dan memalingkan diri dari segala bentuk keduniaan. Hal semacam ini adalah umum
dalam kehidupan sahabat-sahabat Nabi. Di tengah ketekunan beribadah itu sering
terbuka penghayatan alam ghaib (kasyaf), namun mereka anggap itu hanya fitnah
(godaan). Mereka tak tertarik kepada penglihatan kasyaf itu. Hanya orang mutakhir
yang kemudian mencari-cari kasyaf di atas.
Tasawuf yang Islami itu mendidik santri menjadi ‘Abid (hamba Allah) dan Zahid (sederhana).
Sikap hidup tekun beribadah (‘abid) dan tidak tamak terhadap kehidupan duniawi (zahid),
10
memang telah diamalkan Nabi dan para sahabatnya. Sikap hidup ‘Abid dan Zahid ini
kemudian dijadikan dasar perilaku hidup oleh Hasan Basri (wafat 110/728 M). Ironisnya,
kehidupan Hasan Basri menurut pandangan Ibnu Khaldun menandai akhir dari kehidupan
tasawuf yang Islami. Karena sesudah kehidupan Hasan Basri, muncullah apa yang disebut
sebagai perintisan tasawuf murni yang pada hakekatnya merupakan ajaran Mistik (Tasawuf
Mistik).
ukhuwah diniyah, dan menolong diri sendiri. PMG tidak mau mengikuti sistem sekolah
pemerintah, dan tidak pula mendidik santrinya untuk menjadi pegawai negeri (Castle, 1996:
30). Trimurti pendiri PMG tidak anti pemerintah karena KH Zainuddin Fananie dan KH Imam
diri dari pemerintahan setelah konsep sistem pendidikannya tidak diterima, namun dia masih
Pondok sebagai lembaga keagamaan dan sosial yang bertujuan menyiarkan agama
Islam tidak memungut uang dari santri, ataupun menolak santri. Namun pada tahun 1937
dengan berdirinya KMI maka PMG terpaksa menarik uang untuk membiayai pendidikan yang
besar, walaupun masih relatif murah dan uang itupun dikelola sendiri oleh santri (Tadjudin,
1983: 6). Mengingat daya tampung PMG juga terbatas maka santri yang terpaksa tidak dapat
diterima dialihkan ke pondok alumni. Sejak tahun 1988/1989 didirikan Kelas Khusus Pondok
Alumni (KPA) yang kurikulumnya merupakan perpaduan kelas 1 dan 2 yang ditempuh dalam
waktu 1 tahun. KPA ini diberlakukan kepada santri dari pondok alumni yang akan masuk ke
KMI.
11
Para santri diharuskan aktif dalam kegiatan organisasi supaya mereka dapat hidup
mandiri dan diterima oleh masyarakat. Banyak organisasi didirikan baik yang bersifat
kurikuler, kokurikuler, maupun ekstrakurikuler. PMG menyelenggarakan kelas sore bagi kelas
1-4 yang dibimbing oleh santri senior. Saya melihat kelas sore ini belum dimanfaatkan secara
maksimal untuk mengejar ketertinggalan satu tahun bagi mata pelajaran umum tingkat SLTA
sehingga para santri yang mau melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi harus mengikuti ujian
persamaan SLTA.
Kurikulum PMG menekankan penggunaan bahasa Arab dan Inggris, yang keduanya
dikenal dengan ilmu alat karena bahasa merupakan alat untuk membuka gudang ilmu
pengetahuan. Dengan bekal ilmu alat yang cukup maka diharapkan para santri dapat
mempelajari sendiri ilmu agama maupun umum. Pengajaran bahasa Inggris menggunakan
metoda langsung yang dilengkapi dengan lembar latihan; sedangkan pengajaran bahasa Arab
menggunakan metoda thariqah mubasyarah yang saat ini sedang menjadi metoda di Mesir.
Sementara para santri sehari-harinya diwajibkan melakukan percakapan dalam bahasa Inggris
dan Arab.
Tidak seperti ponpes tradisional yang memberikan pelajaran kitab kuning sebagai mata
pelajaran wajib, PMG memberikan kitab kuning secara tidak langsung melalui koleksi di
perpustakaan dan santri kelas 6 wajib membuat laporan tertulis dari kajian kitab kuning.
Karena penekanan pada ilmu alat maka PMG sebagai sekolah yang bercorak teologi dirasakan
Kalau dilihat perkembangan PMG secara kuantitatif sangat mengesankan, apalagi bila
ditambah dengan aktivitas pendidikan yang dilakukan para alumni. PMG menekankan kepada
12
para santri dengan motto pendidikan bahwa kita harus mengajar ilmu agama kepada siapa saja
yang mau mengaji walaupun satu orang sekalipun. Akan tetapi perkembangan PMG secara
kualitatif masih memerlukan kerja keras agar dapat mewujudkan cita-cita para pendiri dan
pembina untuk dapat mendirikan universitas Islam yang meliputi berbagai cabang ilmu
pengetahuan dan tekonologi. Persyaratan masuk ke IPD juga masih sangat terbatas bagi orang
dari luar PMG karena sebagai kelanjutan dari tingkat KMI, sehingga tidak heran bila lulusan
dari IPD sudah dapat menulis skripsi dengan bahasa Arab atau bahasa Inggris.
E. Simpulan
perkembangan sendiri. Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang berakar dari
lembaga zawiyah-nya kaum sufi, dan memiliki kesamaan tradisi dengan lembaga keagamaan
Hindu dan Budha. Pesantren dapat memainkan peranan yang menentukan selama zaman
Pada zaman pergerakan terjadi perdebatan sengit dalam Polemik Kebudayaan pada
tahun 1930-an tentang sistem pendidikan yang sesuai dengan jiwa dan karakter bangsa
Indonesia. Setelah zaman kemerdekaan polemik tersebut masih berlanjut sehingga pemerintah
menganut sistem pendidikan ganda, yaitu pendidikan umum dan pendidikan agama.
dalam skala nasional, namun karena belum mendapatkan tempat yang memuaskan maka ia
13
Sejak tahun 1970-an pemerintah mulai memperhatikan pesantren sebagai pendidikan
alternatif bagi pendidikan Barat yang tidak mampu mencegah dekadensi moral di kalangan
generasi muda. Disamping pemerintah merasa berkewajiban untuk melibatkan mayoritas umat
Islam yang masih berpusat di sekitar kyai dengan pesantrennya. Dengan melihat keberhasilan
alternatif, walaupun sejak tahun 1970-an pemerintah sendiri telah berusaha mendirikan
F. Daftar Pustaka
Abdullah, Taufik (ed.). (1974). Pemuda dan Pembaharuan Sosial. Jakarta: LP3ES.
Carr, E.H. (1984). Apakah Sejarah? a.b. Ab. Rahman Haji Ismail. Kuala Lumpu: Dewan
Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajaran Malaysia.
Castle, Lance. (1966). “Pondok Modern Gontor”. Indonesia. Amerika: Cornel University
Press.
_________. (1979). Pendidikan di Indonesia dari Zaman ke Zaman. Jakarta: Balai Pustaka.
Dhofier, Zamakhsyari. (1994). Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai.
Jakarta: LP3ES.
14
Gottschalk, Louis. (1986). Mengerti Sejarah. a.b. Nugroho Noto Susanto. Jakarta: UI Press.
Haikal, Husein. (1997). “Menuju Universitas Pendidikan dan Riset”. Makalah. Yogyakarta:
Pendidikan Sejarah FPIPS IKIP Yogyakarta.
Mahali, A. Mudjab dan Umi Mujawarah. (1989). Kode Etik Kaum Santri. Bandung. Al-Bayan.
Nasr, Seyyed Hussein. (1994). Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern. a.b. Luqman
Hakim. Bandung: Pustaka.
Panitia Penulisan Biografi. (1996). KH Imam Zarkhasyi dari Gontor Merintis Pesantren
Modern. Ponorogo. Gontor Press.
Pondok Gontor. (t.t.). Sejarah Balai Pendidikan Pondok modern Gontor. Jilid I-III. Ponorogo:
BPPMG.
Saridjo, Marwan (dkk). (1982). Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia. Jakarta: Dharma
Bakti.
Simuh. (1999). Sufisme Jawa: Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa. Yogyakarta.
Bentang Budaya.
Steenbrink, Karel A.. (1994). Pesantren, Madrasah dan Sekolah. Jakarta: LP3ES.
15
Syafii Maarif, Ahmad (dkk). (1991). Pendidikan di Indonesia antara Cita dan Fakta.
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Tajudin, Sutadji dan Moh. Mashum Yusuf. (1983). Sejarah Perumahan dan Pergedungan
Pondok Modern Gontor. Ponorogo: BPPMG.
Yunus, Mahmud. (1982). Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Hidakarya Agung.
Zarkhasyi, KH Imam. (1988). Diktat Khutbah Iftitaf dalam Pekan Perkenalan. Ponorogo.
Trimurti Press.
Wardun, 1988.
16